"kamu yakin, Nur..?" laki-laki itu bertanya dengan lembut.
Nur hanya menatap laki-laki itu sekilas. Kemudian kembali menatap jauh ke arah jalan yang semakin ramai. Sudah hampir jam empat sore, kendaraan berlalu lalang kian memadati jalan raya tersebut.
"kamu sendiri sudah siap atau belum?" Nur malah balik bertanya pada laki-laki itu.
"entahlah, Nur. Andai saja ada pilihan yang lebih mudah dari ini.." suara laki-laki itu terdengar lemah.
"tapi kenyataannya kita memang harus memilih jalan ini, Jo.." Nur berucap lagi, kali ini ia tatap laki-laki itu cukup lama.
Laki-laki yang dipanggil Jo, oleh Nur itu, hanya tersenyum sekilas. Hatinya tiba-tiba merasa berat. Ia menyadari sekali, bahwa pilihan yang akan mereka ambil penuh dengan resiko.
"saya hanya merasa, kalau kita tak lebih dari dua orang jahat, yang akan menghancurkan begitu banyak harapan." Jo menghempaskan napasnya.
"cinta terkadang memang harus egois, Jo." balas Nur.
"tapi tidak dengan mengorbankan begitu banyak perasaan.."
"lalu apa kamu punya pilihan lain?"
Jo kembali menghempaskan napasnya berat. Sebenarnya begitu banyak pilihan bagi mereka, namun pilihan apa pun yang akan mereka ambil, semua mengandung resiko yang hampir sama beratnya.
"aku tahu sedikit banyak bagaimana keluarga kamu, Nur." ucap Jo akhirnya, setelah cukup lama mereka terlarut dalam lamunan mereka masing-masing. "terutama Ayah kamu. Beliau seorang yang terpandang dan sangat taat pada ajaran agamanya." lanjutnya.
"ya, aku tahu." desah Nur.
"aku tak bisa membayangkan, bagaimana reaksi beliau, jika akhirnya ia tahu..."
"Ayah pasti akan tahu, Jo. Cepat atau lambat..." potong Nur. "demikian juga keluargamu, papa mama kamu. Mereka pasti akan tahu dan tentunya akan sangat marah besar.."
"tapi saat mereka tahu, kita seharusnya sudah berada di tempat yang sangat jauh.." Jo meneguk minumannya. Suasana kafe itu masih sunyi, hanya ada beberapa orang pengunjung. Biasanya kafe ini hanya ramai pada malam hari, terutama malam minggu.
"kalau semuanya berjalan sesuai dengan rencana kita, Jo.."
"apakah ada kemungkinan kalau rencana kita akan gagal?" Jo mengerutkan kening.
"aku hanya sedang memikirkan alasan yang paling tepat kepada Ayah, agar aku bisa pergi dengan aman..." Suara Nur pelan, hatinya merasa berat.
"bukankah tadi kamu mengatakan, kalau kamu akan beralasan untuk pergi ke tempat Yani di Batam?!"
"iya. Tapi tidak mudah meyakinkan Ayah, kecuali ia mendengarnya langsung dari Yani..."
"kamu bisa telpon Yani dan minta tolong sama dia, agar bisa menyakinkan Ayahmu.."
Nur hanya mengangguk. Bukan itu persoalan terberatnya bagi Nur. Keputusan mereka untuk pergi, Nur sadar betul, itu adalah sebuah kesalahan. Tapi Nur terlalu mencintai Jo.
Hampir empat tahun mereka pacaran. Nur tak lagi ragu dengan perasaannya terhadap Jo. Nur benar-benar mencintai Jo. Hubungan mereka selama empat tahun ini juga baik-baik saja. Meski mereka harus menjalin hubungan secara diam-diam.
Nur masih ingat, ia bertemu Jo empat tahun lalu, di kantin kampus. Pertemuan yang tak sengaja yang menghadirkan benih-benih cinta diantara mereka berdua. Mereka sering jalan bareng, ngampus bareng, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius.
"kamu yakin, Nur?" tanya Yani, sahabat Nur, ketika Nur cerita tentang hubungannya dengan Jo.
Nur mengangguk mantap waktu itu.
"tapi kalian kan..."
"iya, aku tahu." Nur memotong cepat. "tapi kami saling mencintai, Yan. Meski kami tahu, ada perbedaan diantara kami. Tapi kami yakin, itu tidak akan menjadi penghalang hubungan kami."
"saran saya sih, Nur. Lebih baik kamu pikir-pikir dulu, dari pada nanti hubungan kalian semakin serius. Dan kamu tahu, konsekuensinya apa? Pada akhirnya kamu harus memilih antara keluargamu atau Jo." Nur tersenyum kecut, ia harus akui kalau yang diucapkan Yani ada benarnya. Tapi ia dan Jo baru saja memulainya.
************
"Ayah tidak setuju!" ucap Ayah Nur, dengan muka memerah. Ketika dengan cukup berani akhirnya Nur dan Jo datang kerumahnya dan meminta restu, setelah hubungan mereka berjalan lebih dari tiga tahun.
"tapi, yah.."
"cukup, Nur!" laki-laki itu berdiri menatap tajam kearah Nur. Dia sudah menahan amarahnya dari tadi, sebelum Jo pamit pulang. "apa pun alasannya, Ayah tidak akan pernah sudi punya menantu yang tidak se aqidah dengan kita. Kamu jangan mempermalukan keluarga, Nur. Kita ini dari keluarga muslim yang taat. Kamu harusnya bisa berpikir, sebelum memutuskan untuk berhubungan dengan laki-laki itu. Laki-laki yang jelas bukan seorang muslim. Laki-laki yang tidak seagama dengan kita!" suara Ayah masih terdengar kasar. Nur hanya bisa tertunduk. Ia tahu Ayahnya akan marah, tapi Jo yang bersikeras untuk datang.
Sekarang Ayah dan keluarganya sudah tahu tentang hubungan mereka.
"pokoknya Ayah tidak mau tahu, kamu harus segera mengakhiri hubunganmu dengan laki-laki itu. Dan jangan pernah bermimpi untuk mendapat restu dari Ayah!"
Nur menangis semalaman. Hatinya hancur. Tapi cintanya pada Jo sangat besar. Ia tak mungkin memutuskan Jo. Ia tak mungkin membunuh cintanya untuk Jo. Meski ia tahu resiko yang akan ia dapat.
"Ayah sangat marah, Jo. Beliau meminta kita untuk mengakhiri hubungan ini.." cerita Nur esoknya.
Jo terdiam sesaat. Hatinya pilu.
"aku udah cerita sama mama papa tentang hubungan kita. Mereka juga memarahiku, dan meminta kita untuk putus.." Jo berkata pelan.
Tapi mereka saling mencintai. Meski tidak mendapat restu dari keluarga. Mereka tetap berhubungan. Mencuri-curi waktu agar bisa bersama. Mereka bahagia dengan semua itu. Sampai akhirnya...
"kita kawin lari aja, Nur!" ucap Jo sore itu, mengawali pembicaraan. Mereka duduk di sebuah kafe, tempat biasa mereka bertemu.
Lama Nur menatap Jo tanpa kedip. Mencoba memahami apa yang dipikirkan Jo, sampai ia bisa berkata demikian.
"sampai kapan pun mereka tidak akan pernah merestui hubungan kita, Nur. Dan aku terlalu mencintai kamu. Aku tak ingin kehilangan kamu. Aku ingin kita tetap bersama selamanya..."
"aku juga sangat mencintai kamu, Jo. Tapi apa dengan lari, itu bisa menyelesaikan masalah?"
"lalu apa kamu punya cara lain?" tanya Jo.
Nur terdiam. Jo benar. Bathinnya.
"kita bisa pergi ke Bali. Disana aku punya seorang teman. Aku yakin beliau tidak akan mempermasalahkan tentang status kita. Aku juga bisa dapat pekerjaan disana.." ujar Jo lagi.
Begitulah akhirnya. Setelah Jo berhasil meyakinkan Nur. Mereka memutuskan untuk pergi dari rumah. Mengatur rencana agar kepergian mereka tidak terlalu mencurigakan. Nur berencana meminta izin Ayahnya untuk jalan-jalan ke Batam, ke tempat sahabatnya, Yani. Dan Jo berusaha pergi secara diam-diam.
************
Nur meneguk minumannya. Ia menarik napas sangat panjang. Pikirannya menerawang. Memikirkan semua rencana mereka untuk pergi. Nur membayangkan bagaimana reaksi Ayahnya, ketika tahu kalau Nur pergi bersama Jo. Nur membayangkan betapa malunya Ibu, ketika orang-orang tahu Nur melarikan diri bersama laki-laki non Muslim. Ibunya yang sering ikut pengajian. Dan Ayahnya yang seorang Imam Mesjid. Nur akan sangat mencoreng muka keluarganya sendiri.
Nur tertunduk, matanya tiba-tiba berkaca. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya, jika semua akan menjadi serumit ini. Yani benar, pada akhirnya ia harus memilih antara Jo atau keluarganya. Antara mempertahankan cintanya dengan Jo, atau menjaga nama baik keluarganya. Hati Nur merintih pilu.
"aku rasanya gak sanggup, Jo.." suara Nur serak.
"kalau begitu, kamu gak benar-benar mencintaiku.." balas Jo ringan.
"aku mencintai kamu, Jo. Aku bahkan sangat mencintai kamu. Tapi apa artinya semua itu, kalau kita harus kehilangan keluarga kita."
"suatu saat mereka juga akan sadar, dan memaafkan kita.." ujar Jo lagi.
"gak semudah itu, Jo..."
"kamu pikir, aku gak merasa berat berpisah dengan keluargaku?" tanya Jo, suaranya sedikit meninggi. "berat, Nur. Tidak mudah bagiku untuk membuat keputusan ini. Tapi ini semua demi kita. Demi cinta kita. Kamu sendiri yang meyakinkanku, bahwa kamu akan rela melakukan apa pun, asal kita tetap bersama. Kamu akan melakukan apa pun, untuk mempertahankan cinta kita.." lanjut Jo, suaranya justru terdengar parau.
Nur merintih lagi dalam hati. Sedikitpun ia tidak memungkiri apa yang Jo ucapkan barusan. Tapi seegois itukah cinta? tanyanya membathin. Bukankah cinta diciptakan untuk menyatukan perbedaan? Tapi mengapa cinta tak bisa berbuat apa-apa, ketika perbedaan menjadi alasan untuk tidak bisa bersatu?
"aku rasa, keputusan kita terlalu cepat, Jo." Nur akhirnya berbicara pelan, "alangkah lebih baiknya, kita selesaikan saja dulu kuliah kita. Lalu kemudian, kita bisa pikirkan apa yang harus kita lakukan ke depannya." lanjutnya.
Jo mendongak. Menatap mata Nur tajam. "lalu bagaimana dengan hubungan kita?" tanyanya.
"kita jalani seperti biasa, Jo. Kalau memang kita berjodoh, takdir pasti akan menyatukan kita." jawab Nur merasa sedikit bijak.
Jo memalingkan muka, menatap lalu lalang kendaraan. Sore sudah mulai gelap. Pengunjung kafe semakin ramai.
"cinta seharusnya mampu menciptakan keindahan, Jo. Kita bukan dua orang jahat, yang harus menghancurkan begitu banyak harapan. Kalau pun harus ada yang hancur, itu bukan harapan, Jo. Tapi mungkin hati kita.."
Setelah berucap demikian, Nur berdiri. "kita pulang, Jo. Begitu banyak cinta di rumah kita, dan cinta kita bukanlah apa-apa, dibandingkan itu semua..."
Nur melangkah pergi keluar dari kafe. Jo hanya terdiam. Terbayang olehnya senyuman tulus mamanya. "hidup ini pilihan, nak. Namun selalu ada konsekuensi dari sebuah pilihan, apa pun itu." terngiang kata-kata mamanya tiba-tiba. Jo menarik napas perlahan dan menghembuskannya berat. Mungkin memang lebih baik begini. Pikirnya, sambil melangkah pergi.
Sekian...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar