Aku menatap wanita tua yang ada di hadapanku. Ia tersenyum tipis.
"ada apa, Ma?" tanyaku lembut.
Wanita itu, mamanya Airin, menarik napas ringan. Ia memang sengaja datang ke kafe tempat aku bekerja. Sudah lebih dari seminggu Airin pergi dari rumah. Selama seminggu aku dan Airin tidak berkomunikasi apa lagi bertemu.
"ada hal penting tentang Airin yang harus kamu ketahui, Lif." ucap Mama pelan. "mama tahu, tak seharusnya mama ikut campur urusan rumah tangga kalian. Tapi mengingat kondisi Airin saat ini, rasanya mama memang harus turun tangan.." lanjutnya, sekali lagi ia menarik napas.
Aku sedikit mengerutkan kening, "Airin kenapa, Ma? Apa Airin sakit?" tanyaku.
"lebih dari itu, Lif." desah mama.
"maksud mama?" tanyaku lagi, benar-benar tidak paham.
"sebenarnya Airin tak ingin kamu tahu, Lif. Dan ia juga meminta mama untuk tidak menceritakan semua ini sama kamu." mama tertunduk lesu.
"menceritakan tentang apa?" ucapku, semakin tidak paham.
"Airin penasaran, kenapa setelah lebih dari dua tahun kalian menikah, kalian belum juga dikaruniai anak. Untuk itu ia memeriksakan diri ke dokter keluarga kami." Mama menghempaskan napasnya berat, "dan ternyata..... Airin memang tidak bisa hamil, Lif. Dia di vonis mandul oleh dokter." lanjut mama dengan suara bergetar.
Aku bagai mendengar suara petir di siang itu. Dengan rasa tak percaya, aku menatap mama cukup lama. Matanya berkaca. Aku tahu, mama tak mungkin berbohong. Dan itu membuat tubuhku terasa lemas. Sakit kepalaku kambuh lagi.
"tapi apa hubungan itu semua dengan sikap Airin akhir-akhir ini padaku?" tanyaku akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam.
Mama meneguk minumannya, kemudian berucap "Airin sangat mencintai kamu, Lif. Ia hanya ingin yang terbaik buat kamu..."
"dengan menyakitiku?" keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya, aku benar-benar tidak mengerti.
"yah, Airin memang sengaja membuatmu sakit hati dan marah. Ia berharap, dengan begitu, kamu akan membencinya. Lalu kemudian kamu akan menceraikannya. Ia hanya ingin kamu bahagia, Lif. Dan dengan terus bersamanya, kamu tidak akan pernah bahagia. Karena Airin sadar, ia tidak bisa memberikanmu keturunan." mama menghempaskan napasnya lagi, matanya masih berkaca.
Aku terenyuh mendengar itu semua. Bagaimana mungkin Airin bisa berpikir sepicik itu?
"sekarang kamu sudah tahu semuanya, Lif. Mama berharap kamu bisa melakukan yang terbaik.." mama berucap lagi.
"aku sangat mencintai Airin, ma. Dan aku tak mungkin meninggalkannya." jawabku tegas.
Mama berdiri tiba-tiba. Ia melangkah pelan mendekatiku.
"mama percaya sama kamu, Lif." ucap mama, sambil menyentuh bahuku pelan. "semoga kalian bisa menemukan jalan yang terbaik..." lanjutnya pelan. kemudian ia melangkah pergi. Meninggalkanku yang masih terpaku. Hatiku terasa miris. Bayangan wajah cantik Airin melintas seketika.
Sekarang aku paham, mengapa Airin tiba-tiba berubah. Meski tetap saja, hati kecilku belum bisa menerima perlakuan Airin padaku.
*********
Sudah lebih dari dua bulan aku tidak menjenguk anakku, Azzam. Makanya akhir pekan ini aku sempatkan untuk berkunjung. Tapi kali ini aku pergi bersama Bayu. Kebetulan sekali Bayu memang ingin pergi melihat salah satu cabang kafenya, yang berada tidak jauh dari kampung tempat mantan istriku, Dewi dan anakku tinggal.
Aku sengaja memaksa Bayu untuk memakai mobilnya, meski harus menempuh perjalanan kurang lebih dua hari. Aku hanya ingin sedikit menenangkan pikiranku. Pembicaraanku dengan mama Airin kemarin, benar-benar membuatku tidak bisa tidur. Aku masih bingung harus melakukan apa saat ini. Airin juga tidak bisa dihubungi.
"ada apa, Lif?" tanya Bayu diperjalanan, sambil menyetir.
Aku menoleh sekilas, "gak ada apa-apa. Aku hanya ingin mengunjungi anakku.." jawabku datar.
"kita sudah kenal sejak lama, Lif. Aku sudah hafal sifat kamu. Kalau tidak ada apa-apa, ngapain kamu maksa aku harus naik mobil. Kenapa kita gak naik pesawat saja, biar cepat sampai..."
"aku pengen jalan-jalan. Aku kangen jalan-jalan bareng kamu.." ucapku lagi dengan nada masih datar.
"bullshit! Hentikan omong kosong kamu, Lif! Jika kamu gak mau cerita, kita balik!" ancam Bayu, dengan sedikit mengurangi laju mobil.
Aku terdiam sesaat. Niatku memang dari awal ingin cerita sama Bayu, tentang Airin. Tapi mengingat betapa begitu banyaknya kebaikan Bayu selama ini padaku, tiba-tiba aku merasa enggan. Bayu selalu ada setiap kali aku dalam masalah. Dia memang benar-benar sahabat yang baik. Tapi kalau bukan kepada Bayu, kepada siapa lagi aku harus bercerita. Biasanya Bayu memang selalu punya solusi dari setiap persoalanku.
Aku menarik napas panjang, dan menghempaskannya perlahan. Hatiku benar-benar bingung.
Dengan sedikit berat, aku ceritakan semuanya pada Bayu. Semuanya tentang Airin. Tentang apa yang terjadi dengan kami saat ini. Biar bagaimana pun, Bayu lah yang memperkenalkan aku dengan Airin.
Bayu menelan ludah mendengar semua ceritaku.
"kamu mencintai Airin?" tanya Bayu.
Aku mengangguk yakin.
"kalau begitu, kamu harus memperbaiki semuanya, Lif."
"tapi Airin tak bisa aku hubungi, Bay.." suaraku lemah.
"kamu sudah coba datang ke rumah mamanya?" tanya Bayu lagi, yang membuatku terdiam.
Bayu menoleh sejenak. Aku hanya menggeleng ringan.
"saran saya, Lif. Kamu harus menemui Airin. Kalian harus bicara. Jangan sampai masalah ini semakin berlarut-larut..." ucap Bayu pelan.
Aku manarik napas lagi, kali ini lebih pelan. Ada sedikit kelegaan yang kurasakan setelah menceritakan semuanya pada Bayu. Meski aku belum benar-benar tahu, tindakan apa yang harus aku ambil.
Tapi rasanya Bayu memang benar, kami memang harus bicara.
*************
Kami duduk di ruang tamu rumah mama, setelah dengan sangat susah payah mama membujuk Airin untuk keluar dari kamarnya. Airin terlihat pucat dan sedikit berantakan. Aku tahu apa yang Airin rasakan saat ini.
"kenapa kamu kesini?" Airin berbicara, setelah mama meninggalkan kami berdua.
Aku menatap Airin lama, tak tahu harus memulainya dari mana.
Airin meneguk minumannya, ia masih menunggu jawabanku. Aku menelan ludah pahit.
"aku sudah tahu..." ucapku pelan, Airin mendongak. "mama sudah cerita semuanya.." lanjutku.
"lantas?"
"aku mencintai kamu, Airin. Aku ingin kamu kembali lagi ke rumah kita..."
"aku gak bisa, Lif..."
"kenapa?"
"kamu sudah tahu jawabannya, Lif." Airin menunduk, ia sengaja menghindari tatapanku.
"kamu salah, Airin. Apa pun kondisimu saat ini, itu tidak akan merubah perasaanku padamu..." aku berujar, tanpa mengalihkan pandanganku.
"aku hanya ingin yang terbaik buat kamu, Lif."
"yang terbaik buat aku ialah tetap bersama kamu.." ucapku tegas.
"tapi aku tidak bisa memberikan kamu keturunan, Lif. Kamu sudah tahu itu.."
"kita pasti bisa bahagia....."
"tanpa anak? tanpa keturunan? omong kosong, Lif." potong Airin cepat. "apa arti sebuah rumah tangga, tanpa ada anak di dalamnya, Lif. Pasti semuanya akan terasa hampa..."
"siapa bilang? banyak kok, pasangan yang tetap bahagia sampai tua, meski mereka tidak punya keturunan.." balasku.
"kamu terlalu banyak nonton sinetron, Lif..'
"kamu yang terlalu pesimis, Rin!" suaraku sedikit meninggi.
"aku tidak pesimis! Aku hanya mencoba realistis, Lif. Aku mencoba menerima kenyataan, kalau aku tidak bisa hamil. Dan itu jelas akan membuat rumah tangga kita tidak akan sempurna.."
"tidak ada manusia yang sempurna, Rin. Tidak ada juga rumah tangga yang sempurna. Tapi yang terpenting, kita bisa saling melengkapi. Kita bisa saling menerima kekurangan masing-masing.."
Kali ini Airin terdiam. Ia meneguk minumannya kembali. Menatapku sekilas, lalu memalingkan muka.
"aku hanya ingin, kamu mendapatkan wanita yang pantas buat kamu, Lif. Dan wanita itu bukanlah aku..."
"kamu sudah jauh lebih pantas buatku, Airin! Kamu sempurna di mataku. Aku mencintai kamu dengan apa adanya dirimu. Apa itu masih belum cukup?!"
Kulihat Airin menarik napas panjang, matanya mulai berkaca, "atau sebenarnya kamu tidak mencintaiku lagi?" lanjutku pelan.
"aku mencintai kamu, Lif. Dan kamu juga tahu itu.."
"kalau begitu mari kita pulang, Rin. Kita mulai lagi semuanya dari awal.."
"aku takut, Lif.." Airin berujar dengan suara bergetar, setelah cukup lama ia terdiam.
"kita hadapi semuanya bersama-sama, Rin. Masih banyak cara agar kita bisa punya anak. Kita hanya harus percaya. Kita harus berusaha, Rin."
"itu mustahil, Lif..." suara Airin semakin parau.
"apanya yang mustahil?! Di jaman yang serba canggih sekarang ini, tidak ada yang tidak mungkin, Rin. Kita akan mencobanya..."
"apa yang harus kita coba, Lif?"
"banyak, Rin." balasku cepat. "bayi tabung, misalnya..."
"bagaimana kalau tetap tidak berhasil...?"
"yah, kita coba terus, Rin. Atau kita bisa angkat anak. Apa bedanya? Yang penting kita tetap bersama..."
"kamu yakin, Lif?" kali ini Airin berkata sambil menatapku lembut.
"aku yakin, Airin." aku menangguk mantap, ada secercah harapan, kalau Airin akan bersedia untuk kembali. "kamu jangan menyerah, Airin! kamu jangan berputus asa seperti ini.." lanjutku.
**********
Hari ini, aku pulang lebih awal. Aku sudah berjanji pada anakku untuk mengajaknya jalan-jalan. Hari ini ia genap berusia empat tahun. Namanya Aznah. Dia memang tidak terlahir dari rahim istriku, Airin.
Aznah kami ambil dari sebuah panti asuhan, waktu itu usianya masih tiga bulan. Meski demikian, Aznah mampu membuat rumah tangga kami semakin bahagia. Kehadirannya mampu memberi warna-warna indah dalam hidup kami. Airin bahkan sangat menyayanginya.
Diperjalanan pulang, tiba-tiba handphone-ku berdering. Nama istriku terpajang di sana. Aku buru-buru mengangkatnya.
"ada apa, ma?" tanyaku.
"Aznah, pa..." suara istriku terbata.
"Aznah? Aznah kenapa, ma?"
"gak tahu, pa. Ia tiba-tiba kejang-kejang tadi, mukanya pucat. Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit sekarang. Papa langsung menyusul kesini ya.."
Aku memacu mobilku menuju rumah sakit yang disebutkan istriku. Perasaanku menjadi tak karuan. Aku mencemaskan putriku. Selama ini ia jarang sekali sakit. Kecuali hanya demam biasa.
Pikiranku terasa tidak enak.
Aku memarkir mobilku dengan terburu. Aku masuk ke rumah sakit dengan tergesa. Tak lama kemudian, aku melihat istriku sedang berbicara dengan seorang dokter. Wajah istriku begitu pucat, air matanya mengalir deras. Ia langsung memelukku. Tangisnya semakin menjadi.
"maaf!" ucap dokter itu, "kami sudah berusaha semaksimal mungkin.." lanjutnya, yang membuatku terhenyak. Meski aku tidak tahu pasti, tapi aku sangat mengerti apa maksud dari perkataan dokter tersebut.
Istriku semakin erat memelukku. Tubuhku lunglai tak berdaya. Istriku akhirnya tak sadarkan diri. Air mataku akhirnya pun tumpah.
Semua terjadi begitu cepat. Aku tak berdaya menerima semuanya. Terlalu sakit bagiku. Aku bahkan rasanya sudah tidak sanggup berdiri. Kaki ku terasa lemas. Sampai kemudian aku benar-benar tak sadarkan diri.............................................
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar