Lanjutan kisah "Istriku memilih untuk pergi saat aku sedang terpuruk" (part 2)

"kamu terlambat, mas.." suara istriku cukup keras, mengimbangi suara gerimis di luar. Kami duduk di teras.
"maksud kamu?" tanyaku heran.
"aku bukan Dewi yang dulu lagi, mas. Aku bukan istrimu lagi. Aku sudah menikah dengan orang lain." balas Dewi dengan sedikit tertunduk.
"kita belum resmi bercerai, Wi..." aku membesarkan volume suaraku.
"secara hukum mungkin belum. Tapi secara agama kita sudah bukan suami istri lagi. Sudah lebih dari enam bulan kita tidak bersama. Sudah lebih dari enam bulan kamu tidak menafkahi aku dan Azzam, mas."
"tapi bukannya kamu yang memilih untuk pergi?"
"iya. Karena aku tidak ingin membebani kamu disana, mas. Aku hanya berharap, jika aku pergi, kamu bisa lebih fokus mencari pekerjaan."
"tapi mengapa kamu tidak menungguku, Wi?" balasku sambil menatap wajah Dewi cukup lama.
"karena ayah dan Ibuku, mas. Mereka bersikeras untuk menikahkan aku dengan mas Dadang. Karena kamu tak kunjung datang, aku terpaksa menerimanya." suara Dewi terdengar parau.
"apa kamu mencintainya?" tanyaku akhirnya, setelah cukup lama kami saling terdiam.
"cinta tidak menjadi prioritas utama bagiku saat ini, mas. Aku pernah menikah dengan orang yang aku cintai, tapi untuk apa cinta itu, jika hidup kita menderita." Dewi menarik napas, "yang penting mas Dadang bertanggungjawab..." lanjutnya.
"aku juga bertanggungjawab..."
"tapi nyatanya kita menderita, mas."
"hanya beberapa bulan, Wi. Hanya beberapa bulan aku menganggur. Dan kamu tidak sabar menjalani itu semua.."
"bagimu mungkin hanya beberapa bulan, mas. Tapi bertahun-tahun aku harus menahan kerinduanku pada Ibu dan ayahku, pada keluargaku..."
"tapi bukannya kamu yang ingin kita segera menikah, meski tanpa restu dari orangtuamu?!" suaraku meninggi lagi.
"ya. Itu karena aku mencintai kamu. Aku pikir cinta saja sudah cukup membuatku bahagia. Tapi lama kelamaan aku mulai sadar, bahwa cinta bukanlah segalanya. Cintaku padamu telah membuat aku terpisah dari keluargaku, bahkan sampai bertahun-tahun aku masih berharap cinta itu bisa membuat aku kuat. Tapi ternyata aku salah..."

"apa dia menyayangi Azzam?" tanyaku lagi.
"kalau kamu bertanya apa mas Dadang menyayangi Azzam seperti kamu menyayangi Azzam, tentu saja tidak. Tapi yang pasti mas Dadang bertanggungjawab dan dia tidak pernah menyakiti Azzam."
"aku ingin membawa Azzam bersamaku.." ucapku lagi, kali ini aku menatap rintik-rintik hujan yang sudah mulai reda.
"kalau kamu ingin bertemu Azzam kapanpun, aku tidak akan melarang, mas. Tapi jangan harap kamu bisa membawanya pergi.." suara Dewi terdengar tegas.
"dia anakku.."
"dia juga anakku." potong Dewi cepat. "aku yang melahirkannya, aku juga yang merawatnya." kali ini suara Dewi terdengar ketus.
"aku akan tuntut di pengadilan.."
"silahkan, mas. Aku juga tidak takut. Aku bukan sosok Ibu yang tidak bertanggungjawab. Aku merawat Azzam dengan baik. Pengadilan tidak akan membiarkanmu mengambil Azzam dariku, mas. Apa lagi jika mereka tahu, bagaimana kehidupan kita sebelumnya..."
"aku sudah kerja sekarang. Hidupku juga sudah jauh lebih baik. Aku bahkan sudah punya rumah sendiri. Penghasilanku jauh lebih dari cukup untuk membiayai Azzam." ucapku berusaha lembut. Biar bagaimanapun, aku ingin anakku tinggal bersamaku. Meski Dewi telah memilih untuk menikah lagi, setelah lebih dari enam bulan kami tidak bertemu.
Yah, enam bulan sudah peristiwa tragis hidupku telah berlalu. Sekarang aku sudah bekerja dengan Bayu, sahabatku. Aku bahkan dipercaya Bayu untuk menjadi manager di salah satu kafenya, seperti janjinya.
Hidupku sudah jauh lebih baik, berkat Bayu. Aku sudah punya rumah sendiri. Punya kendaraan yang layak. Dan yang pasti aku sudah punya penghasilan yang jauh lebih dari cukup.
Enam bulan, akhirnya aku memutuskan untuk menemui istri dan anakku. Aku ingin mengajak mereka kembali bersamaku. Tapi ternyata, istriku sudah menikah lagi.
Aku sempat terpukul mendengarnya. Tapi sebagai laki-laki aku tak ingin terlihat lemah. Aku harus terlihat tegar. Dan berusaha ikhlas melepas Dewi dari hidupku.
Namun aku tidak bisa ikhlas melepaskan Azzam begitu saja.

"kalau memang hidupmu sudah membaik, kenapa kamu baru datang sekarang?" tanya dewi mengagetkanku.
"aku baru saja mulai kerja, Wi. Aku tak mungkin meninggalkan pekerjaanku. Dan baru sekarang aku punya kesempatan untuk bisa datang kesini.." jawabku dengan suara berat.
"tapi tetap saja kamu sudah terlambat, mas. Lebih baik mas pulang. Mungkin kisah kita memang harus berakhir sampai disini.."
Aku terenyuh mendengar semua itu. Tak kusangka Dewi begitu cepat berubah. Kami yang dulu saling mencintai, kini hanya tinggal puing-puing kenangan.
Kutatap mata Dewi tajam. Namun Dewi memalingkan wajahnya cepat. Tak ada lagi cinta. Tak ada lagi kebahagiaan yang dulu sempat mewarnai hari-hari indah kami.
Kini semua telah musnah. Tak ada lagi yang harus diperjuangkan. Yah, Dewi benar. Kisah kami memang telah berakhir. Namun Azzam adalah anakku. Aku tetap akan berjuang untuknya.

*******

Ternyata perjuanganku hanya sia-sia. Telah berbagai cara aku lakukan untuk mendapatkan hak asuh anakku. Namun pengadilan memutuskan bahwa istriku lebih berhak mendapatkan hak asuh-nya.
Aku bukan saja kehilangan istriku, tapi aku juga harus kehilangan anakku. Meski pun sewaktu-waktu aku masih bisa mengunjungi Azzam. Tapi tetap saja aku merasa telah kehilangan segalanya.
Usahaku untuk memperbaiki hidup, ternyata tetap tidak mampu membuatku bisa mempertahankan rumah tanggaku, yang sudah terlanjur hancur.

Aku kembali ke kota dengan perasaan hampa. Aku merasa gagal. Kehidupanku memang telah membaik. Tapi apa arti itu semua bagiku saat ini. Jika semua terasa menyakitkan.
Mimpiku untuk membangun kembali rumah tanggaku yang retak, ternyata hanya sia-sia.

Aku menjani hari-hariku dengan berat. Perlahan aku mulai menghapus nama Dewi dari hatiku. Aku tak ingin mengingatnya lagi. Kalau Dewi bisa berubah, kenapa aku tidak. Toh, sekarang hidupku sudah cukup mapan. Aku masih cukup muda. Aku bisa mencari pengganti Dewi dengan mudah. Meski tentu saja, mencari pasangan yang selalu setia menemaniku dalam kondisi apa pun itu tidak mudah. Tapi setidaknya, aku harus bisa membuka hatiku untuk kehadiran wanita lain. Menemukan kembali kebahagiaanku.

"hei. Melamun lagi?" suara Bayu mengagetkanku.
Aku menoleh sejenak ke arah Bayu. Kami duduk di sudut ruangan kafe sore itu. Bayu sengaja mengajakku bertemu disitu.
"masih memikirkan Dewi?" lanjut Bayu lagi.
Aku menggeleng. "bukan Dewi, Bay. Tapi Azzam.." balasku tegas.
Bayu hanya menatapku. Aku tahu, Bayu tidak percaya kalau aku sudah melupakan Dewi. Namun kemudian Bayu tersenyum. Akhir-akhir ini Bayu memang terlihat bahagia. Apa lagi sejak anak pertamanya lahir tiga bulan yang lalu.
"gimana kabar Surya?" tanyaku akhirnya. Surya adalah nama anak Bayu. Dia beri nama Surya, agar bisa selalu bersinar, katanya.
"owh, lagi sedang rewel-rewelnya sekarang, Lif. Rewelnya itu yang bikin aku selalu kangen.."

"ada apa kamu ajak aku kesini, Bay?" tanyaku lagi.
"oh, ya. jadi lupa. Aku mau kenalkan kamu dengan seseorang." balas Bayu ringan.
"siapa?"
"adalah... seseorang. Sebentar lagi ia sampai sini." ucap Bayu dengan sedikit menyunggingkan senyum.
Aku hanya terdiam. Pikirku Bayu pasti akan memperkenalkanku dengan salah seorang rekan bisnisnya. Mungkin untuk mengembangkan usahanya.
Tak lama kemudian, seorang gadis berjalan mendekati meja kami. Gadis itu berjalan dengan anggun, senyumnya mengembang. Wajahnya mulus terawat, bak seorang model sebuah majalah.
"hai! Akhirnya sampai juga.." sapa Bayu kepada gadis itu, sambil mereka berjabat tangan. "oh, ya. Kenalkan! Ini Alif." lanjut Bayu lagi.
Gadis itu menatapku beberapa saat, kemudian tersenyum.
"hei.." sapanya ringan. "saya Airin.." lanjutnya dengan suaranya yang merdu, membuat jantungku berdegup cukup kencang.
Dengan sedikit gugup aku menjabat tangan lembut gadis itu. "Alif.." balasku.

Ternyata Bayu memang sengaja ingin memperkenalkan aku dan Airin. Bayu bahkan dengan sengaja, beberapa saat kemudian, pergi meninggalkan kami berdua disana.
Dari cerita Airin, aku akhirnya tahu, kalau ia seorang dosen. Usianya hanya lebih muda dua tahun dariku. Dia juga masih lajang.
"Bayu sudah cerita banyak tentang kamu.." ucap Airin lembut. "Bayu adalah kakak seniorku, waktu kuliah di Singapur..." lanjutnya.
"oh.." aku membulatkan bibir.

******

Berbulan-bulan aku dan Airin akhirnya sering jalan bareng, makan bareng dan bahkan nonton bareng. Rasanya hatiku mulai menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang sudah lama hilang.
Airin tahu semua kisahku. Selain dari yang ia dengar dari Bayu. Aku juga menceritakan semuanya.
Airin tidak mempermasalahkan tentang statusku.
Kedekatan kami akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta. Airin dengan sangat bahagia, menyambut semua perasaan cintaku padanya.
Kami menjalin hubungan yang serius. Hatiku telah pulih kembali. Kehadiran Airin benar-benar membuatku bangkit.

Setelah hampir setahun pacaran, kami pun akhirnya memutuskan untuk menikah.
Airin gadis yang mandiri. Punya pekerjaan yang mapan. Namun itu tidak menjadi penghalang bagi kami untuk hidup bersama. Meski pun secara pendidikan Airin lebih tinggi dari aku, ia tetap menghormatiku sebagai seorang suami.
Rumah tangga kami berjalan lancar dan bahagia.

Namun ternyata itu semua tidak berlangsung lama. Dua tahun membina rumah tangga yang bahagia, kami belum juga dikarunia anak. Hal itu ternyata membuat hubungan kami kian hari kian renggang. Airin lebih sibuk dengan pekerjaannya. Ia jadi jarang berada di rumah.
Awalnya aku coba memahaminya. Mungkin dia kesepian, pikirku.
Tapi lama kelamaan, sikap Airin justru berubah. Ia tak lagi semanis dulu. Airin lebih sering diam, jika berada di rumah.
"kamu kenapa?" tanyaku suatu hari, mencoba bersikap lembut.
Airin menghela napas, "aku capek, Lif.." jawabnya terdengar lesuh.
"tapi akhir-akhir ini, kamu jadi jarang di rumah, Rin. Dan jika pun di rumah kamu seperti enggan menyapaku.."
"itu hanya perasaan kamu aja, Lif."
"tapi kamu berbeda sekarang, Rin. Udah gak kayak dulu lagi.." aku masih berusaha melembutkan suaraku.
"berbeda apanya!" tiba-tiba suara Airin sedikit meninggu, "kamunya aja yang terlalu perasa.."

Hari-hari berikutnya justru hubungan kami semakin parah. Ada-ada saja hal-hala sepele yang membuat kami sering bertengkar.
"aku capek, Lif. Aku baru pulang kerja. Kamu sih enak, kerja gak seberapa. Gaji juga gak seberapa." suara Airin lantang.
"maksud kamu?" suaraku lebih lantang lagi, kali ini aku benar-benar tersinggung.
"kamu pasti ngerti maksud aku apa.."
"oh. jadi sekarang kamu mempermasalahkan penghasilanku yang tak seberapa dibandingkan dengan penghasilan kamu?" suaraku cukup bergetar menahan amarahku.
Airin hanya menghempaskan kakinya, lalu berjalan tergesa menuju kamar dan menghempaskan pintu dengan keras.
Hatiku semakin terasa pilu.

Keesokan harinya Airin pergi dengan membawa koper. Aku tidak memperdulikannya.
"aku mau ke rumah mama, beberapa hari.." ucapnya sambil menutup pintu. Aku hanya terdiam.
Aku benar-benar tidak tahu, apa yang terjadi. Mengapa Airin tiba-tiba berubah? Mengapa sekarang sikapnya tidak semanis dulu? Bahkan sekarang ia pergi meninggalkan aku sendirian di rumah ini.
Aku benar-benar dibuat bingung. Tak mengerti!

Bersambung lagi....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate