Pernah pada suatu ketika, aku pergi berjalan-jalan ke kota sendirian, dengan mengendarai motor butut ku. Jarak kota dari kampung tempat aku tinggal, hanya sekitar satu jam perjalanan naik motor.
Aku teramat jarang datang ke kota, kecuali jika ada keperluan penting atau pun ada sesuatu yang harus aku beli di kota.
Dan kebetulan waktu itu, ada sesuatu yang harus aku beli ke kota, kebetulan juga waktu itu, aku baru saja gajian. Jadi aku juga sekalian jalan-jalan, untuk melepas penat, setelah bekerja sebulan penuh.
Singkat cerita, setelah perjalanan yang cukup panjang, dan menemukan apa yang aku cari, serta setelah lelah berkeliling-keliling gak jelas, akhirnya aku memutuskan untuk segera pulang ke kampung. Saat itu sudah hampir jam 10 malam.
Namun rencana pulang ku harus berantakan, karena tiba-tiba saja hujan turun sangat deras malam itu. Mau tidak mau, aku harus singgah untuk sekedar berteduh. Aku singgah di sebuah halaman ruko yang tertutup. Beberapa orang pengendara lain juga ikut berteduh di sana.
Ruko itu berderet panjang sebanyak lima pintu. Semua pintu ruko itu sudah tertutup, kecuali ruko paling ujung. Kebetulan aku berteduh di ruko deretan nomor dua dari ujung, tepat di samping ruko yang masih terbuka tersebut.
Hujan turun sanga deras, di iringi suara petir yang bersautan di langit sana. Padahal waktu itu masih musim kemarau. Namun entah mengapa, setelah sekian lama, hujan akhirnya turun juga malam itu.
Aku berdiri dengan menyilangkan kedua tangan ku di dada, sambil aku bersandar di pintu ruko yang tertutup tersebut. Motor ku segaja aku parkir di depan. Sedikit terkena hujan, karena angin yang berhembus cukup kencang.
****
Hampir lima belas menit aku berdiri di situ, saat tiba-tiba pintu ruko yang aku sandari tersebut, terbuka dengan perlahan dari dalam. Seorang wanita menongolkan kepalanya, untuk melihat keadaan di luar.
Karena kaget, aku pun spontan menatap wanita tersebut. Wanita itu juga menatap ku. Kami saling tatap beberapa saat, lalu kemudian sama-sama tersenyum.
"kamu.. Jaya, kan?" ucap wanita itu setengah ragu.
Aku mencoba menatap wanita itu lebih lama. Mencoba mengenali wajahnya. Rasanya aku tidak punya kenalan yang tinggal di daerah ini, tapi mengapa wanita itu tahu nama ku? tanya ku membathin sejenak.
"iya, tante.." balasku akhirnya, "tante kok tahu saya?" tanya ku melanjutkan.
"saya tante Wina. Masih ingat?" wanita itu balas bertanya.
"tante Wina?" aku meragu.
"iya.. ibunya Arkan. Ingat toh?" ucap wanita yang hanya memakai baju tidur tersebut.
"oh, iya.. aku ingat, tante.." balasku akhirnya, setelah aku benar-benar yakin, kalau itu adalah tante Wia yang aku kenal.
"kamu ngapain di sini? Ayo masuk!" ucap tante Wina akhirnya menawarkan.
"iya, tante.." balasku, sambil mulai melangkah mengikuti langkah kaki tante Wina yang kembali masuk ke dalam ruko nya.
Tante Wina mempersilahkan aku duduk di salah satu kursi yang tersusun rapi di dalam ruko tersebut. Kursi-kursi tersebut di susun layaknya sebuah warung makan, yang di sertai beberapa buah meja juga. Ternyata Ruko tersebut adalah sebuah toko yang menjual berbagai macam minuman jamu tradisional dan juga jamu modern.
Ada sebuah etalase panjang di tengah ruangan, yang berisi berbagai perlengkapan, dan juga berbagai rempah-rempah sebagai bahan untuk membuat jamu. Di dinding-dinding ruko, juga tersusun, jamu-jamu yang sudah di kemas dengan rapi.
"silahkan di minum.." ucap tante Wina, saat ia sudah kembali dari dalam. "ini jamu buatan tante sendiri loh.." lanjutnya.
"iya, tante.. makasih.." balasku masih merasa sedikit sungkan.
"kalau boleh tahu ini jamu apa, tante?" tanya ku berbasa-basi, saat aku sudah meneguk jamu tersebut beberapa kali.
"itu jamu sehat. Biar kamu gak masuk angin, dan juga bisa untuk meningkatkan daya tahan tubuh.." jelas tante Wina lembut.
****
Aku mengenal tante Wina, sekitar lima belas tahun yang lalu. Namun sudah hampir sepuluh tahun kami tidak pernah bertemu lagi. Dulu tante Wina sempat tinggal di kampung ku, selama lebih kurang lima tahun lamanya.
Yang aku tahu, tante Wina adalah seorang single parent. Ia mempunyai seorang putra. Namanya Arkan. Arkan dulu, ketika masih di kampung, adalah teman sekelas ku saat SMP. Kami juga berteman cukup dekat waktu itu. Aku juga sering main ke rumah Arkan, begitu juga sebaliknya.
Tante Wina adalah penjual jamu gendong keliling waktu itu. Ia bekerja keras, untuk bisa membiayai hidup mereka berdua. Sampai Arkan lulus SMP, lalu kemudian mereka pun pindah. Dan setelah itu, kami tidak pernah bertemu lagi.
"tante kok masih ingat ya, sama saya? Padahal kita sudah hampir sepuluh tahun loh, gak pernah ketemu." ucapku mencoba memecah keheningan. Hujan di luar masih terdengar cukup deras.
"tante selalu ingat senyum kamu yang khas itu, Jay. Di tambah lagi tahi lalat yang ada di ujung hidung mu itu. Yang membuat kamu jadi semakin manis, dan sulit untuk di lupakan.." balas tante Wina.
"ah.. tante bisa aja.." ucapku sedikit tersipu. "tante juga tidak banyak berubah, masih kelihatan muda dan masih cantik..." lanjutku apa adanya.
Ku lihat tante Wina hanya tersenyum simpul mendengar kalimat ku barusan.
"oh, ya tante, Arkan ada dimana sekarang? Apa kabar dia?" aku bertanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Arkan sekarang udah kerja di luar kota. Jadi, tante hanya tinggal sendiri di kota ini." balas tante Wina. "kamu sendiri gimana, Jay? Kerja dimana sekarang?" lanjutnya bertanya.
"saya masih tinggal di kampung, tante. Sekarang saya udah kerja di kantor desa, jadi salah satu staff disana.." jawab ku sejujurnya.
"oh.. baguslah... orang tua mu apa kabar?" tanya tante Wina lagi.
"mereka baik, tante." balasku pelan.
Untuk sesaat suasana pun kembali hening. Sementara hujan masih juga belum reda.
****
"kamu udah married?" tiba-tiba tante Wina bertanya demikian, setelah lama kami saling terdiam.
"belum, tante.." balasku jujur.
"kenapa?" tanya tante Wina lagi.
"yah... kan saya masih 25 tahun, tante. Masih cukup muda. Saya masih ingin menikmati masa lajang saya, sambil saya mengumpulkan uang buat married.." balasku apa adanya.
"berarti calonnya udah ada ya?" tante Wina bertanya kembali.
"belum juga tante... Saya sudah lama jomblo. Sejak lulus kuliah, dan mulai bekerja di kantor desa, saya tidak pernah lagi pacaran." jelasku.
"oh.. gitu.." balas tante Wina singkat.
"iya, tante.. Tante sendiri gimana?" aku memberanikan diri untuk bertanya.
Tante Wina menatapku beberapa saat. Mungkin ia tak percaya aku akan bertanya demikian.
"tante... ya.. gini-gini aja sih, Jay. Masih seorang single parent. Dan berusaha untuk tetap bertahan menjalani kehidupan ini." ucapnya akhirnya.
"tapi. .sekarang tante Wina kan udah cukup sukses. Udah punya toko jamu sebesar ini.. Dan Arkan juga sudah lulus kuliah, bahkan juga sudah punya pekerjaan tetap. Artinya perjuangan tante selama ini tidak sia-sia.." aku berucap sok bijak.
"yah.. tante sangat bersyukur dengan semua ini, Jay. Tapi tetap saja, sebagai seorang wanita, tante juga sering merasa kesepian. Apa lagi sejak Arkan pindah ke luar kota, tante jadi semakin merasa kesepian.." balas tante Wina terdengar lemah.
"kenapa tante Wina gak menikah lagi?" tanyaku sekedar ingin tahu.
"tante sih mau aja menikah lagi, tapi... tante masih merasa trauma.." suara tante Wina sedikit serak.
"kalau boleh saya tahu, apa yang terjadi dengan pernikahan tante dulu?" aku bertanya kembali.
"panjang ceritanya, Jay..." balas tante Wina pelan.
****
"dulu ... tante itu nikah muda, karena kebablasan. Waktu itu, usia tante baru 20 tahun. Beruntunglah pacar tante waktu itu, mau bertanggungjawab. Apa lagi ia juga sudah berusia 25 tahun waktu itu, dan juga sudah punya pekerjaan tetap."
"kami pun akhirnya menikah. Kedua belah pihak keluarga kami juga sangat mendukung pernikahan kami. Kami juga sebenarnya saling cinta. Dan kami pun merasa bahagia dengan pernikahan tersebut. Apa lagi sejak anak pertama kami lahir, Arkan."
"namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setelah Arkan berusia lima tahun, tante hamil anak kedua kami. Beberapa bulan kemudian, anak kedua kami pun lahir, seorang perempuan. Cantik."
"tapi sayang.. usianya tidak genap satu tahun. Karena akhirnya ia di serang penyakit diabetes, yang menyebabkan ia meninggal dunia. Suami tante tidak bisa terima hal tersebut. Ia marah sama tante. Ia menganggap tante sebagai penyebab kematian putri kami."
"sejak saat itu, rumah tangga kami mulai berantakan. Hampir setiap hari kami hanya saling bertengkar dan saling menyalahkan. Suami tante juga mulai berubah. Ia jadi jarang berada di rumah."
"hingga akhirnya, dengan terang-terangan, suami tante membawa perempuan lain ke rumah kami. Mereka melakukan hal tersebut di depan mata ku. Aku tidak bisa terima hal tersebut. Aku pun meminta cerai."
"suami tante bersedia menceraikan tante, dengan syarat tante tidak boleh membawa Arkan. Tapi tante tidak mau memenuhi syarat tersebut. Tante tetap membawa Arkan diam-diam. Tanpa sepengetahuan suami tante."
"suami tante tentu saja marah besar. Ia berusaha mencari dimana pun kami bersembunyi. Tante terus saja bersembunyi. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tante tidak pernah menetap. Karena takut, ditemukan oleh mantan suami tante tersebut."
"hingga akhirnya tante sampai ke desa kamu, Jay. Di sana tante merasa sedikit aman. Karena mantan suami tante, tidak mungkin menemukan kami di sana. Itu lah kenapa, kami bisa bertahan selama lima tahun tinggal di sana. Sebelum akhirnya tante memutuskan untuk pindah ke kota ini."
"setelah pindah ke kota ini, tante tetap berjualan jamu gendong keliling, hasilnya jadi lebih lumayan, karena lebih banyak peminat, dari pada saat di desa dulu. Hingga tante berhasil mengumpulkan uang buat modal, dan tante memutuskan untuk membuka usaha toko jamu ini.."
"yah.. meski pun ruko ini bukan milik kami, hanya sewa. Tapi... setidaknya, tante tidak perlu lagi repot-repot berkeliling untuk berjualan jamu. Ini semua juga atas ide nya Arkan. Ia juga yang berhasil mempromosikan toko kami, melalui media sosial."
"dan sekarang... disinilah tante. Sendirian. Sementara Arkan, memutuskan untuk bekerja di luar kota."
begitulah kira-kira cerita tante Wina, perihal perjalanan hidupnya padaku waktu itu.
"lalu sekarang? Mantan suami tante Wina gimana? Apa masih terus mencari tante?" tanya ku sedikit berempati.
"tante gak tahu pasti, Jay. Tapi sepertinya ia sudah menyerah. Kabar terakhir yang tante dapat, ia sudah menikah lagi, dan bahkan sudah punya dua orang anak. Tante yakin, ia pasti sudah melupakan semuanya. Apa lagi sekarang Arkan juga sudah cukup dewasa. Jadi tante gak perlu merasa khawatir lagi akan hal tersebut." jelas tante Wina.
****
"makasih ya, Jay. Sudah mau mendengarkan cerita tante. Sebelumnya tante belum pernah bercerita hal ini, kepada siapa pun. Sekarang tante jadi merasa sedikit lega.." ucap tante Wina kemudian, setelah untuk beberapa saat kami hanya terdiam.
"saya yang harusnya terima kasih sama tante. Karena sudah diperbolehkan untuk berteduh di sini. Dan juga sudah dijadikan orang yang di percaya untuk bercerita hal tersebut." balasku pelan.
"kamu gak perlu merasa sungkan, Jay. Kamu boleh mampir disini lagi, kapan pun kamu mau.." ucap tante Wina kemudian.
"iya, tante.. saya pasti akan sering-sering main ke sini. Dan jangan lupa, sampaikan juga salam saya buat Arkan ya, tante.." balasku kemudian.
Hujan di luar mulai reda. Namun malam sudah semakin larut, sudah hampir jam satu malam. Cuaca pun semakin terasa dingin.
"kalau begitu saya pamit dulu ya, tante.. hujan juga udah mulai reda kayaknya.." ucapku kemudian.
"loh.. ini kan sudah larut, Jay. Kamu yakin mau pulang? Gak nginap di sini aja?" balas tante Wina sedikit menawarkan.
"gak usah tante.. saya gak enak, takut merepotkan.." balasku ragu.
"ruko ini terlalu besar, untuk tante tempati sendiri, Jay. Kadang tante merasa gak kuat, harus tinggal sendirian. Jadi.. gak apa-apa loh, kalau malam ini kamu mau menginap di sini." tawar tante Wina lagi sedikit bersikeras.
"saya sih mau menginap di sini, tante. Tapi... besok saya harus kerja. Jadi mungkin lain waktu ya, tante.. Saya pasti akan kesini lagi, kok." balasku berusaha meyakinkan.
"baiklah, Jay. Tante akan tunggu kedatangan kamu berikutnya.." ucap tante Wina terdengar pasrah.
Dan aku pun segera keluar dari ruko tersebut. Keadaan di luar sudah mulai sepi. Orang-orang yang tadi ikut berteduh, sudah tidak ada lagi di teras ruko. Jalanan juga sudah mulai terlihat sunyi. Hanya ada satu dua kendaraan yang berlalu lalang. Dan cuaca terasa begitu dingin.
Jika tidak mengingat besok harus kerja. Sudah pasti aku akan memutuskan, untuk menginap saja di tempat tante Wina. Tapi.. ya sudahlah... Mungkin next time kali ya...?!
****
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar