Nama ku Aris. Dan aku seorang penjual sayur keliling. Aku jadi penjual sayur keliling sudah 5 tahun lebih. Aku berjualan sayur keliling sudah sejak aku masih lajang, hingga sekarang aku sudah menikah. Istri ku juga saat ini sedang hamil anak pertama kami.
Aku dan istri ku tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana. Sebuah rumah kontrakan kecil, yang mulai kami sewa sejak kami memutuskan untuk menikah. Rumah itu sangat sederhana, namun cukup untuk bisa aku tempati bersama istri ku.
Istri ku sendiri tidak bekerja. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Dulu, sebelum menikah dengan ku, istri ku pernah bekerja di sebuah mini market. Namun karena sudah menikah, ia terpaksa berhenti bekerja.
Kehidupan kami sangat sederhana. Tapi kami saling cinta. Kami bahagia dengan pernikahan kami. Apa lagi semenjak kehamilan pertama istri ku. Kehidupan rumah tangga kami berjalan dengan baik. Meski secara ekonomi kami masih sering merasa kekurangan.
Kami berdua, sama-sama merantau ke kota ini. Kami tidak punya keluarga dekat atau pun kerabat di kota ini. Kami sudah hidup mandiri, bahkan sejak kami belum saling kenal sebelumnya. Semua keluarga kami berada di kampung.
Pernikahan kami sudah berjalan hampir dua tahun lamanya. Dan sekarang istri ku sedang mengandung anak pertama kami. Kandungannya sudah memasuki bulan ke delapan saat ini.
Hal itu cukup menjadi beban bagiku. Karena menurut keterangan dokter, istri ku tidak bisa melahirkan normal. Ia harus menjalani operasi. Dan itu butuh biaya banyak. Sementara kami tidak punya tabungan sama sekali. Karena pendapatan ku sebagai penjual sayur keliling selama ini, hanya cukup untuk biaya hidup dan membayar sewa rumah kami.
Di tambah pula, sejak hamil, istri ku jadi sering sakit-sakitan dan harus sering di bawa ke dokter. Semakin banyak biaya yang harus kami tanggung. Sementara penghasilan ku sebagai penjual sayur keliling, tidak kunjung meningkat. Meski aku sudah berusaha untuk berjualan lebih banyak dan lebih lama dari biasanya.
****
Aku berjualan sayuran, dari pagi hingga siang hari. Aku berkeliling dari satu kompleks perumahan ke kompleks perumahan lainnya, dengan hanya memakai gerobak dorong. Rasa letih tidak membuat aku menyerah, untuk terus berjuang mendapatkan rupiah yang aku kumpulkan dari satu pembeli ke pembeli lainnya.
Setiap hari, aku terus saja berkeliling untuk menjual sayur-sayur yang aku dapatkan dari agen. Setiap hari aku terus berusaha, agar semua dagangan ku habis. Meski tak jarang, masih banyak sisa-sisa dagangan ku, yang harus aku bawa pulang kembali, karena tak habis terjual.
Perjuangan ku tak hanya sampai di situ. Sepulang berjualan sayuran, aku juga nyambi kerja di sebuah tempat cucian motor. Tempat cucian motor tersebut, memang milik salah seorang teman ku. Ia sengaja mengajak aku bekerja di tempat cuciannya, karena ia tahu, aku butuh tambahan uang. Meski aku hanya bekerja di sana, dari siang sampai sore hari.
Namun setelah berbulan-bulan berjuang, dan berusaha sekuat kemampuanku, uang yang aku kumpulkan belum juga cukup, untuk biaya operasi melahirkan istri ku. Sementara, waktunya hanya tinggal beberpa minggu lagi.
Pernah temanku menyarankan agar aku menggunakan BPJS saja. Namun karena kami hanya merantau ke kota ini, kami tidak punya BPJS. Pernah aku coba datang ke Kelurahan untuk mengurus hal tersebut, tapi pengajuan kami di tolak, karena kata mereka tidak memenuhi syarat. Meski aku tidak tahu pasti, syarat apa yang tidak terpenuhi tersebut, tapi aku memang tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Aku juga pernah ingin mengajukan pinjaman ke pihak bank, tapi aku gak punya agunan untuk jadi jaminan, dan sudah pasti pihak bank tidak akan mengabulkan permohonan pinjaman kami. Karena itu, aku hanya bisa pasrah pada akhirnya.
Aku tidak punya teman atau kenalan yang kehidupan ekonominya lebih baik dari kami, yang bisa aku jadikan tempat untuk aku meminjam uang. Kalau pun ada, mereka juga pasti tidak mau, karena mereka tahu, aku tidak akan mampu membayarnya.
Sementara dari pihak keluarga ku sendiri, yang jauh berada di kampung sana, juga tidak ada untuk tempat aku mengadu. Karena kehidupan mereka di kampung, juga sangat kekurangan. Apa lagi, sejak kedua orangtua ku meninggal, beberapa tahun lalu, hampir tidak ada pihak keluarga yang peduli lagi sama kami.
Dari pihak keluarga istri ku sendiri, juga tidak ada yang peduli dengan kehidupan kami. Sejak istri ku memutuskan untuk menikah dengan ku, pihak keluarganya sudah tidak pernah lagi menghubungi kami. Bahkan jika pun kami hubungi, tanggapan mereka sangat dingin. Karena memang, dari awal, mereka sudah tidak setuju akan pernikahan kami.
Istri ku merupakan anak ketiga
dari mereka lima bersaudara. Mereka lima bersaudara, empat orang
perempuan, dan satu orang laki-laki. Orangtua istri ku sangat ingin
kalau anak-anak perempuannya menikah dengan orang yang punya kehidupan
ekonomi yang baik, dan punya masa depan yang jelas.
Namun istri ku waktu itu, tetap bersikeras untuk menikah dengan ku, meski tanpa restu kedua orangtuanya. Hal itu membuat ia harus diasingkan oleh keluarganya sendiri, terutama oleh orangtuanya. Ia sudah tidak dianggap sebagai bagian dari keluarganya lagi.
Memikirkan hal tersebut, terus terang aku jadi merasa bersalah terhadap istri ku. Hanya demi bisa menikah dengan ku, istri ku rela, harus terbuang dari keluarga besarnya. Dan hal itu, cukup menjadi beban tanggungjawab yang sangat besar bagi ku. Hal itu juga yang membuat aku jadi tidak pernah berhenti berjuang.
****
Sebagai seorang penjual sayur keliling, aku memang punya banyak pelanggan. Terutama dari ibu-ibu kompleks perumahan yang aku datangi setiap harinya. Apa lagi aku sudah berjualan sayur keliling, sejak lama. Sudah bertahun-tahun.
Dari
sekian banyak pelanggan sayuran ku, yang rata-rata nya adalah ibu rumah
tangga, ada satu orang pelanggan, yang baru beberapa bulan ini menjadi pelanggan ku. Namanya mbak Lidya.
Menurut ceritanya, ia juga baru pindah ke kompleks perumahan tersebut. Dan ia seorang janda.
Karena sudah bercerai dari suaminya, mbak Lidya memang sengaja pindah ke perumahan tersebut. Ia sebenarnya juga sudah punya dua orang anak, yang ia tinggalkan bersama mantan suaminya.
Karena itu, mbak Lidya hanya tinggal sendiri di rumahnya yang sederhana itu. Ia juga masak sendiri. Ia bekerja di sebuah showroom mobil di kota tersebut. Penghasilannya juga lumayan besar. Setidaknya begitulah cerita yang aku dengar dari mulut mbak Lidya sendiri.
Mbak Lidya memang cukup supel orangnya, ia juga sedikit humoris. Ia suka bercerita banyak hal, ketika ia berbelanja sayuran pada ku. Hal itu cukup membuat kami jadi cepat akrab.
Mbak Lidya juga orang yang baik, ia suka memberi uang kembaliannya padaku, setiap kali ia berbelanja.
Kedekatan ku dangan mbak Lidya, cukup membuat aku merasa sedikit nyaman. Mbak Lidya mampu menghiburku, saat aku sedang merasa letih. Ia juga sering menawarkan ku, untuk mampir ke rumahnya. Namun selama ini, aku selalu menolaknya. Karena selain merasa tidak enak, aku juga harus berkeliling untuk berjualan.
Mbak Lidya memang langganan khusus bagi ku. Hanya ia satu-satunya pelanggan ku, yang aku langsung masuk ke halaman rumahnya, tentu saja atas permintaan mbak Lidya sendiri.
"aku malu, kalau belanja
bareng ibu-ibu kompleks lainnya. Soalnya aku ini kan janda, dan aku juga baru pindah kesini, aku takut jadi bahan gosip buat mereka." begitu alasan mbak Lidya waktu itu, saat aku tanya, kenapa ia meminta aku langsung masuk ke halaman rumahnya.
Karena itu, setiap kali melewati rumah mbak Lidya, aku langsung saja masuk ke pekarangan rumahnya. Dan pasti ada aja yang mbak Lidya akan beli dari ku. Ia memang termasuk orang yang hobi masak. Kadang, ia juga pernah menawarkan aku makanan yang ia buat sendiri.
Mbak Lidya memang orang yang baik.
Hal itu, membuat aku jadi merasa terkesan dengannya. Aku kadang jadi betah
berlama-lama berada di halaman rumahnya, hanya untuk mendengarkan ia
bercerita, sekaligus untuk aku bisa beristirahat sejenak di sana.
****
"kamu kok kelihatan murung banget hari ini, Ris? Capek ya?" tanya mbak Lidya suatu pagi, saat aku sudah berada di depan rumahnya, membawa barang
dagangan ku. Saat itu tinggal menghitung hari, istri ku akan menjalani operasi melahirkan anak kami.
"masih pagi kok udah capek aja?" lanjut mbak Lidya lagi, tanpa menunggu jawaban ku.
"tubuh ku sih gak terlalu capek, tapi pikiran ku yang capek banget, mbak." jawab ku akhirnya, asal.
Usia mbak Lidya memang lebih tua empat tahun dari ku. Aku sendiri masih berusia 31 tahun, sedangkan mbak Lidya sudah berumur 35 tahun.
"capek pikirannya kenapa, Ris?" tanya mbak Lidya lagi, sambil ia mulai memilah sayuran yang ingin ia beli.
"yah.. biasalah, mbak. Persoalan hidup.." balasku lemah.
"emang apa persoalan hidup yang sedang Aris alami saat ini? Kamu cerita aja, siapa tahu saya bisa bantu.." ucap mbak Lidya lagi.
"persoalan hidup orang miskin kayak saya ini, yah.. gak jauh-jauh lah dari masalah uang, mbak." balasku masih dengan nada lemah.
"emangnya Aris lagi butuh uang buat apa?" mbak Lidya bertanya kembali.
"istri ku tiga hari lagi mau melahirkan, mbak. Dan ia harus di operasi, tapi saya belum punya cukup uang untuk biaya operasi tersebut. Saya jadi bingung mau cari uang kemana lagi. Segala usaha sudah saya lakukan, tapi tetap saja, uangnya belum cukup.." balasku apa adanya.
"Aris butuh uang berapa?" tanya mbak Lidya kemudian, sambil ia memasukan sayuran yang sudah ia pilih ke dalam kantong plastik.
"biaya operasi nya sih hampir 15 jutaan, tapi uang yang sudah saya kumpulkan baru sekitar tujuh juta. Masih ada separohnya lagi yang harus saya cari, sementara waktunya kian mepet.." jelasku, tanpa bermaksud apa-apa.
"ya udah, kamu pake uang ku aja dulu. Kebetulan aku punya beberapa tabungan yang belum aku pakai.. jadi kamu bisa pinjam dulu." ucap mbak Lidya terdengar serius.
"gak usah, mbak. Saya gak yakin akan bisa bayar dalam waktu dekat ini.." balasku spontan.
"gak apa-apa, Ris. Kamu pake aja dulu. Bayarnya bisa kapan aja, kok. Gak usah terlalu di pikirkan juga..." ucap mbak Lidya sedikit bersikeras.
"tapi.. aku jadi gak enak loh, mbak. Padahal kita kan juga baru saling kenal. Tapi mbak Lidya sudah sangat baik padaku. Selama ini aja, mbak Lidya juga sudah selalu baik pada ku, sekarang malah di pinjamkan uang. Aku ..." aku sengaja menggantung kalimatku, karena tidak tahu lagi harus berkata apa.
"kamu tenang aja. Dan gak usah merasa berhutang budi seperti itu. Meski pun kita baru kenal, tapi aku yakin, kamu pasti orang baik. Lagi pula, bukankah sudah seharusnya sebagai sesama manusia, memang harus saling bantu. Selama saya mampu kenapa gak?" mbak Lidya berucap kemudian.
Untuk selanjutnya aku hanya bisa terdiam. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus berkata apa. Sebenarnya aku juga tidak ingin menerima bantuan dari mbak Lidya tersebut, karena aku tidak yakin akan bisa mengembalikannya.
Tapi, aku juga merasa tidak enak hati jika harus menolak hal tersebut. Aku takut mbak Lidya tersinggung. Dan lagi pula, aku memang butuh uang tersebut. Aku juga gak tahu, harus mencari uang kemana lagi. Jadi gak ada salahnya, kalau aku menerima tawaran mbak Lidya tersebut. Toh, ia juga terlihat tulus ingin membantu, tanpa mengharapkan apa-apa dari ku.
"ya udah, kalau mbak Lidya memang mau meminjamkan saya uang, saya akan terima. Tapi.. saya gak bisa janji, akan bisa membayarnya dalam waktu dekat ini.." ucapku akhirnya.
"oke, gak apa-apa. Kamu bisa bayar kapan kamu punya uang aja nanti." balas mbak Lidya, "kamu tunggu di sini dulu, ya. Saya mau ke dalam dulu, ngambil uangnya." mbak Lidya melanjutkan ucapannya, sambil ia melangkah masuk ke dalam rumahnya.
Beberapa saat kemudian, mbak Lidya pun keluar, dengan membawa uang tersebut. Ia langsung menyerahkan uang itu padaku.
"kamu hitung dulu aja, Ris." katanya ringan.
"gak usah, mbak. Aku percaya aja sama mbak Lidya. Dan.. terima kasih banyak ya.. Mbak Lidya sudah sangat baik padaku... Sekali lagi terima kasih.." ucapku sedikit bergetar, karena merasa terharu.
"iya, sama-sama, Ris. Semoga operasinya berjalan lancar ya..." balas mbak Lidya terdengar tulus.
"iya, mbak. Terima kasih sekali lagi... Kalau begitu saya pamit, ya..." ucapku akhirnya.
"oke, Ris. Oh, ya... Nanti malam kalau ada waktu, kamu jalan-jalan kesini ya, Ris. Kita ngobrol-ngobrol. Ada yang ingin saya sampaikan sama kamu." balas mbak Lidya kemudian.
"oh, oke.. saya usahakan datang nanti malam ya, mbak.." ucapku membalas, dengan perasaan sedikit bingung.
Ada apa kok mbak Lidya tiba-tiba ingin aku datang ke rumahnya malam-malam? Aku merasa jadi tidak enak, karena biar bagaimana pun, mbak Lidya itu seorang janda, dan ia tinggal sendiri. Tapi aku gak mungkin menolak hal tersebut, karena mbak Lidya sudah baik padaku.
Mungkin saja mbak Lidya hanya ingin curhat padaku. Mungkin saja ia hanya butuh teman untuk bercerita. Aku gak boleh berpikiran macam-macam tentang mbak Lidya, karena sampai saat ini, yang aku tahu, mbak Lidya itu orang baik.
Dan
dengan perasaan lega, aku pun segera pergi dari rumah mbak Lidya. Aku ingin
segera membawa pulang, uang yang aku dapat dari mbak Lidya barusan. Meski perasaan ku saat ini, jadi merasa kurang enak hati,
terhadap mbak Lidya.
Biar bagaimana pun, aku merasa sangat berhutang budi padanya. Ia sudah sangat membantu ku. Sementara, ia bukan siapa-siapa bagi ku. Kami hanya kenalan biasa, tapi mbak Lidya sudah begitu baik padaku. Apa pun akan aku lakukan, untuk bisa membalas kebaikannya tersebut.
***
Malam itu, aku pun datang menemui mbak Lidya di rumahnya.. Mbak Lidya menyambutku dengan senyum ramahnya. Lalu kemudian, ia pun mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamu rumahnya.
Meski pun merasa sedikit sungkan, aku pun dengan sedikit berat, masuk ke rumah tersebut. Aku berusaha duduk dengan tenang di ruang tamu yang terlihat sangat rapi dan bersih itu. Rumah mbak Lidya memang terlihat terawat dengan baik.
"diminum teh nya, Ris. Mumpung masih hangat.." ucap mbak Lidya, saat ia sudah kembali dari dapur, dengan membawa dua gelas teh dan sepiring kue basah.
"iya, mbak. Makasih.." balas ku, sambil mulai meminum teh tersebut.
"kue nya juga sekalian di cicipi, ya..." ucap mbak Lidya lagi.
Aku pun mencoba mencicipi kue tersebut dengan pelan. Sementara mbak Lidya terus memperhatikan ku dengan seksama.
"gimana, Ris? Enak kue nya? Itu buatan saya sendiri loh.." tanya mbak Lidya kemudian.
"wah ini sih enak banget, mbak. Kue buatan mbak Lidya ini memang enak.." balasku apa adanya, tanpa bermaksud apa-apa.
"kamu mau coba kue yang lain gak?" tanya mbak Lidya lagi.
"gak usah, mbak. Ini aja udah cukup." balas ku terdengar polos.
"kamu yakin, gak mau coba kue yang lain?" mbak Lidya bertanya lagi, dengan nada sedikit manja.
"maksud mbak Lidya apa?" tanya ku membalas, mulai merasa kurang nyaman.
"masa' kamu gak ngerti sih, Ris? Kita sudah sama-sama dewasa loh, gak usah terlalu kaku gitu. Santai aja. Di rumah ini cuma ada kita berdua loh.." kali ini suara mbak Lidya benar-benar manja.
Pikiran ku benar-benar menjadi tak karuan. Aku mulai paham maksud mbak Lidya mengundang ku ke rumahnya malam-malam. Penilaian ku terhadap mbak Lidya pun berubah total. Ternyata ia tidak sebaik yang aku sangka kan selama ini. Segala kebaikannya padaku, ternyata punya tujuan tertentu.
"maaf, mbak. Bukan itu tujuan saya datang kesini.." ucapku akhirnya dengan sedikit bergetar.
"apa itu berarti kamu menolak saya?" suara mbak Lidya berubah sedikit meninggi.
"maaf, mbak. Saya gak bisa. Saya sudah menikah, mbak." aku berusaha berucap dengan tegas.
"saya tahu kamu udah nikah. Saya juga gak ingin mengikat kamu dengan hubungan apa pun. Saya cuma ingin kamu mengisi kesepian saya selama ini." ucap mbak Lidya kemudian.
"sebagai seorang janda yang sudah lama bercerai, saya benar-benar merasa kesepian, Ris. Dan saat saya melihat kamu pertama kali, saya sudah tertarik sama kamu. Jadi saya mohon, Ris. Kamu mau ya.. Please..." suara mbak Lidya tiba-tiba terdengar menghiba.
"maaf, mbak. Tapi saya gak bisa mengkhianati istri saya, apa pun alasannya. Ia sudah banyak berkorban untuk saya selama ini.." balasku, dengan sedikit menarik napas.
"tapi saya juga sudah banyak membantu kamu selama ini, Ris. Bahkan saya rela meminjamkan kamu uang sebanyak itu, tanpa jaminan apa-apa. Jadi wajar dong, kalau saya juga ingin mendapatkan imbalannya. Minimal untuk malam ini pun jadi lah.." suara mbak Lidya sedikit berat.
"maaf, mbak. Saya tetap gak bisa. Saya akan kembalikan uang mbak Lidya malam ini juga. Dan saya terima kasih atas kebaikan mbak selama ini sama saya. Mungkin saya gak akan bisa membalasnya, tapi jujur saja, saya gak pernah minta itu semua.." balasku tegas.
"lalu kalau kamu kembali kan uangnya, istri kamu mau kamu operasi pakai uang apa?" mbak Lidya berucap dengan sedikit kasar.
"saya rasa, itu bukan urusan, mbak Lidya. Saya pasti akan dapatkan uangnya, tapi tidak dengan cara seperti ini. Saya pamit, mbak. Nanti saya antar uangnya kesini.." balasku masih dengan suara tegas.
Lalu tanpa menunggu jawaban mbak Lidya lagi, saya pun segera keluar dari rumah tersebut. Saya memacu motor butut saya ke rumah. Lalu mengambil uang yang tadi masih saya simpan di lemari. Beruntunglah uang tersebut, belum sempat saya berikan kepada istri saya.
Dengan kecepatan yang sama, saya memacu motor saya kembali menuju rumah mbak Lidya. Lalu tanpa berkata apa-apa, saya berikan uang tersebut kepada mbak Lidya, yang masih duduk di ruang tamu rumahnya. Dan tanpa permisi, saya langsung saja keluar dari rumah itu lagi. Setelah mbak Lidya menerima uangnya dengan wajah penuh kekecewaan.
Saya gak tahu, apakah tindakan saya tersebut, benar atau salah. Tapi yang pasti, saya tidak ingin mendapatkan uang dengan cara seperti itu. Biar bagaimana pun saya masih punya harga diri. Dan saya tidak mungkin mengkhianati istri saya, walau dengan cara dan alasan apa pun.
Kini, jalan satu-satunya bagi ku, untuk mendapatkan uang tambahan, untuk biaya operasi istri ku, hanyalah dengan menjual motor butut ku satu-satunya ini. Walau pun harganya mungkin tidak seberapa, tapi saya yakin, uang itu pasti cukup, dan yang pasti halal.
Dan satu hal lagi, setidaknya saya sudah berusaha semampu saya. Meski pun hasilnya tidak semaksimal yang saya harapkan. Dan setidaknya lagi, saya masih bisa menjaga harga diri saya, dan juga kesetiaan saya terhadap istri saya. Dan saya rasa, itu semua sudah lebih dari cukup.
Saya berjanji tidak akan pernah menemui mbak Lidya lagi. Saya akan pindahkan rute perjalanan saya, untuk berjualan sayuran, agar tidak melewati rumah mbak Lidya.
Semoga saja, saya selalu mampu menolak godaan-godaan yang datang dalam kehidupan saya ke depannya. Semoga saja, saya tetap mampu mempertahankan kesetiaan saya kepada istri saya.
Yah... semoga saja..
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar