Bersama tante Mirna

Nama ku Ferdy, saat ini usia ku sudah 21 tahun lebih. Aku tidak kuliah. Karena aku memang berasal dari keluarga tidak mampu. Dan lagi pula aku ini seorang yatim piatu.

Ibu ku meninggal, pada saat aku masih berusia 10 tahun. Sementara ayah ku juga meninggal lima tahun kemudian. Sejak saat itu, aku tinggal bersama kakak perempuan ku, yang terpaksa menikah muda, demi kami bisa bertahan hidup.

Abang ipar ku memang seorang karyawan di sebuah perusahaan kecil di kota tempat kami tinggal. Gajinya cukup besar. Usianya terpaut hampir tujuh tahun lebih tua dari kakak ku. Mereka menikah sekitar lima tahun yang lalu. Sekarang mereka sudah punya dua orang anak yang masih kecil-kecil.

Kami tinggal di sebuah perumahan yang berada di tengah-tengah kota. Rumah itu cukup besar, meski pun masih kredit. Kami tinggal di sana, sejak mereka menikah. Sebenarnya rumah itu, sudah mulai di kredit oleh abang ipar ku sejak ia masih lajang.

Kakak ku sendiri tidak bekerja. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Karena memang ia tidak sempat menamatkan sekolah SMA nya. Sementara aku juga belum punya pekerjaan tetap. Sejak lulus SMA beberapa tahun lalu, aku hanya bekerja serabutan.

Mulai dari jadi buruh bangunana, buruh angkut di pasar, membantu orang berjualan, jari juru parkir, hingga jadi pengamen, semuanya pernah aku lakukan. Hanya untuk mengurangi beban abang iparku, yang merupakan tulang punggung keluarganya.

****

Suatu malam, aku duduk sendirian di sebuah pos ronda. Kebetulan memang giliran aku dan dua orang teman ku yang ronda malam itu. Tapi karena hujan yang turun cukup deras, kedua temanku tersebut belum datang.

Pos ronda tersebut terletak di gerbang masuk ke perumahan tempat kami tinggal. Dari situ, kami bisa melihat lalu lalang kendaraan di jalan raya. Namun malam itu, karena hujan yang sangat deras, hampir tidak ada kendaraan yang berlalu lalang seperti biasa.

Dalam kesendirian, aku menatap rintik-rintik hujan yang jatuh begitu deras membasahi jalan. Pikiran ku melayang entah kemana. Perjalanan hidup ku begitu berat. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa, untuk mengubahnya.

Saat aku terhanyut dalam lamunan ku yang tak berarah, tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti secara mendadak di persimpangan gang menuju perumahan kami. Tak lama kemudian, seorang wanita paroh baya, turun dengan tergesa dari mobil tersebut.

Setelah wanita itu turun, mobil itu pun kembali melaju di jalan raya, dengan kecepatan tinggi. Sementara wanita tadi terus berlari menuju pos ronda tempat aku berada. Wanita itu mulai kelihatan basah kuyup, karena di timpa hujan yang begitu deras.

Sesampai di pos ronda, aku melihat wanita itu sedikit terisak. Sepertinya ia habis menangis. Matanya terlihat sedikit memerah. Wajahnya terlihat kusut dan berantakan.

"tante Mirna?" sapa ku, setengah tak yakin.

Wanita itu pun menolah pada ku. Ia berusaha mengusap air mata di pipinya. Lalu ia pun berusaha untuk tersenyum, menyadari siapa yang memanggilnya.

"eh.. kamu Ferdy... lagi giliran ronda ya?" suara tante Mirna sedikit serak.

"iya, tante.." balasku dengan seulas senyum ramah.

Tante Mirna segera duduk di atas pos ronda, lalu ia pun menyalakan sebatang rokok.

"kamu sendirian?" tanya tante Mirna kemudian, berusaha bersikap santai.

"harusnya sih bertiga, tante. Tapi karena hujan yang dua lagi belum datang, bahka mungkin gak bakalan datang.." balasku berusaha akrab.

Tante Mirna memang tinggal di perumahan tersebut. Rumahnya hanya berjarak lima buah rumah dari rumah tempat aku tinggal. Aku juga sudah cukup lama mengenal tante Mirna. Biasanya setiap kami giliran ronda, tante Mirna memang selalu mampir di pos ronda, dengan membawa beberapa makanan, untuk kami.

Sebagai wanita yang tinggal sendirian di perumahan tersebut, tante Mirna memang tidak punya seseorang yang ia utus untuk tugas ronda. Karena itu, sebagai warga yang baik, tante Mirna selalu berkontribusi dengan membelikan kami, para petugas ronda , makanan hampir setiap malamnya.

Tante Mirna memang tinggal sendiri, ia juga seorang janda tanpa anak. Usianya mungkin sudah kepala empat. Tapi tante Mirna masih kelihatan cantik dan seksi. Ia sudah lama tinggal sendirian. Setidaknya begitulah sedikit hal yang aku ketahui tentang tante Mirna, dari cerita para tetangga.

Pernah tersiar kabar, bahwa tante Mirna adalah istri simpanan seorang pejabat. Namun kabar tersebut, tidak pernah terbukti. Karena tidak pernah sekali pun, tante Mirna pernah membawa laki-laki ke rumahnya.

"tante mau saya antar pulang?" tanya ku berbasa-basi, karena aku lihat tante Mirna begitu murung. Tatapannya kosong.

"masih hujan, Fer. Nanti aja, tunggu hujannya reda.." balas tante Mirna pelan.

"tapi hujannya masih lama kayaknya, Tante. Dan ini juga sudah larut malam. Saya juga sudah mau pulang. Tante pakai aja jaket saya, biar gak terlalu basah." ucapku selanjutnya.

Jarak rumah tante Mirna dari pos ronda memang masih sekitar 500 meter lagi. Sementara rumah ku sendiri masih lima buah rumah lagi setelah rumah tante Mirna. Karena itu, aku berusaha membujuk tante Mirna untuk segera pulang.

"baiklah, Fer. Saya juga sudah mulai menggigil karena kedinginan.." balas tante Mirna akhirnya.

****

Kami berjalan beriringan dengan langkah cepat menuju rumah tante Mirna. Tante Mirna menyelimutkan jaket yang aku berikan padanya ke tubuhnya, sambil terus berlari-lari kecil. Hujan turun semakin deras. Suara gemuruh juga terdengar silih berganti di langit sana.

Tak lama kemudian, kami pun sampai di rumah tante Mirna. Ia segera membuka pintu dan langsung masuk ke rumahnya. Aku jadi ragu, mau langsung pulang atau harus menunggu jaket ku yang di pinjam tante Mirna?

Saat aku hendak melangkah pergi, tiba-tiba tante Mirna muncul kembali di ambang pintu. Kali ini ia membawa sebuah handuk, baju kaos dan celana kering.

"ini.. kamu ganti pakaian mu dulu..." ucap tante Mirna, sambil menyodorkan pakaian tersebut pada ku.

"gak usah, tante. Saya langusng pulang aja. Saya ganti baju di rumah aja.." balas ku cepat.

"ayolah, Fer. Kamu temani tante ngobrol dulu. Nanti kalau hujannya udah reda, kamu baru pulang, ya.." ucap tante Mirna, dengan nada sedikit memohon.

Karena merasa tidak enak menolak hal tersebut, aku pun segera mengambil pakaian dan handuk tersebut. Lalu kemudian aku melangkah menuju kamar mandi yang berada di belakang. Sementara tante Mirna juga masuk ke kamarnya, untuk berganti pakaian.

Setelah berganti pakaian, aku pun kembali ke ruang tamu. Di situ sudah ada tante Mirna duduk dengan santai di kursi tamu. Di atas meja terdapat beberapa cemilan dan juga dua gelas teh hangat. Tante Mirna ternyata sudah mempersiapkan semuanya.

Tanpa menunggu perintah dari tante Mirna, aku pun segera duduk di hadapan tante Mirna, dengan senyum kikuk. Terus terang aku merasa sedikit grogi. Apa lagi tante Mirna hanya memakai baju tidur. Rambutnya yang panjang sebahu, ia biarkan terurai, karena masih basah. Senyumnya terlihat penuh pesona.

"maaf ya, Fer. Harus menahan kamu sebentar dulu di sini, karena tante lagi butuh teman untuk bercerita, setelah kejadian pahit yang baru saja tante alami tadi..." ucap tante Mirna, setelah ia mempersilahkan aku meminum teh nya.

"iya, tante. Gak apa-apa. Tapi kejadian pahit apa yang baru saja tante alami?" tanyaku jadi penasaran.

Lalu tante Mirna pun bercerita, bahwa ia baru saja putus dari pacarnya. Pacarnya yang seornga pengusaha tersebut, ternyata telah membohonginya selama ini. Pacarnya mengaku kalau ia sudah bercerai dari istrinya, tapi ternyata tidak. Ia hanya sekedar memanfaatkan tante Mirna. Menjadikan tante Mirna, hanya sebagai pelampiasannya semata.

"begitulah, Fer. Setelah tante tahu semua itu, tante pun meminta putus darinya. Tapi ia tidak terima, dan malah marah-marah padaku." tante Mirna mengakhiri ceritanya.

"jadi yang antar tante tadi orang itu?" tanya ku kemudian.

"iya, Fer. Karena itu, ia tidak mau mengantar tante sampai ke rumah. Ia marah, karena aku minta putus darinya." balas tante Mirna.

Hujan di luar pun mulai reda. Jam sudah menunjukan pukul satu malam.

"terima kasih ya, Fer. Sudah mau mendengarkan cerita saya.." ucap tante Mirna selanjutnya.

"iya, tante. Sama-sama. Kalau begitu saya pamit dulu ya, tante. Mumpung hujannya udah mulai reda." balasku kemudian.

"kamu gak menginap di sini aja?" tawar tante Mirna.

"gak usah tante. Gak enak dilihat tetangga, saya bangun pagi-pagi disini.." balasku polos.

"ya udah.. kamu hati-hati, ya.." ucap tante Mirna lagi.

Lalu kemudian aku pun pamit. Meninggalkan tante Mirna, yang masih terlihat sedih.

****

Sejak malam itu, aku dan tante Mirna jadi sering ngobrol. Ia jadi sering menelpon ku. Ia jadi sering bercerita banyak hal padaku. Kami pun menjadi dekat.

Setiap pulang kerja, tante Mirna selalu mampir di pos ronda, terutama saat aku giliran ronda. Ia sengaja membelikan makanan spesial untuk ku. Hal itu membuat aku menjadi merasa di perhatikan.

Bahkan bukan cuma itu. Tante Mirna juga sering membelikan aku barang-barang mewah. Seperti jam tangan, sepatu, atau pun baju.

Aku tidak pernah tahu, apa pekerjaan tante Mirna sebenarnya. Aku juga tidak berani mempertanyakan hal tersebut padanya. Dan aku juga tidak peduli, karena itu bukan urusan ku. Hanya saja aku merasa, tante Mirna sudah terlalu baik padaku.

"kenapa tante begitu baik padaku?" tanyaku suatu malam, saat itu kami ngobrol berdua lagi di pos ronda. Kebetulan malam itu, teman-teman ronda ku belum datang.

"karena kamu orang baik, Ferdy. Tante suka pemuda seperti kamu. Tidak pernah memandang rendah orang lain, dan tidak pernah mau ikut campur urusan orang lain.." balas tante Mirna.

"tapi saya jadi gak enak sama tante, saya gak bisa balas apa-apa.." ucapku lagi.

"sebenarnya tanpa kamu sadari, kamu sudah membalas semuanya, Ferdy. Kamu sudah mampu membuat aku melupakan segala kejadian pahit yang aku alami. Kamu selalu ada saat aku butuh. Kamu mampu mengusir rasa kesepian ku, selama ini.." balas tante Mirna terdengar tulus.

"tapi tetap saja, aku merasa berhutan budi sama tante.." ucapku pelan.

"kalau begitu, bagaimana kalau nanti malam, sepulang ronda, kamu mampir ke rumah tante.." balas tante Mirna.

"ada apa, tante? Kenapa aku harus mampir?" ucapku penuh tanya.

"kamu benar-benar lugu, Ferdy. Hal itu yang membuat tante jadi semakin suka sama kamu.." balas tante Mirna.

Kali ini aku hanya terdiam. Tidak tahu harus berkata apa.

"kalau kamu memang merasa berhutang budi, ada satu hal harus kamu lakukan untuk tante." ucap tante Mirna kemudian.

"apa?" tanya ku benar-benar polos.

"makanya nanti kamu harus mampir ke rumah tante, biar kamu tahu, ya.." balas tante Mirna, seperti penuh harap.

"baiklah, tante. Nanti saya akan mampir.." ucapku akhirnya.

****

Malam itu, dengan perasaan yang tak karuan, aku pun mampir ke rumah tante Mirna. Ia menyambutku dengan penuh senyum.

"jadi... apa yang harus saya lakukan, tante? Untuk membalas semua kebaikan tante selama ini?" tanya ku langsung, saat kami sudah duduk di ruang tamu rumah tante Mirna.

"kamu benar-benar tidak mengerti apa yang tante inginkan dari kamu, Fer?" tante Mirna balas bertanya.

"saya benar-benar tidak mengerti, tante.." balasku polos.

"oke.. jadi gini... sebenarnya... tante suka sama kamu, Ferdy. Kamu tampan dan gagah. Kamu juga masih begitu polos. Tante jadi penasaran sama kamu. Apa kamu mau, jadi pacar tante?" ucap tante Mirna dengan sangat blak-blakan.

Aku terdiam sesaat. Aku bukanya tidak tahu, akan hal tersebut. Dari awal aku sudah menduganya. Tapi.. aku sendiri tidak mengerti dengan perasaanku terhadap tante Mirna. Ia begitu baik padaku. Namun, ia juga sudah cukup tua, untuk aku jadikan pacar. Rasanya hal itu gak mungkin.

"kalau kamu memang merasa keberatan untuk jadi pacar tante, gak apa-apa kok, Fer. Tapi.. izinkan malam ini saja. Sekali ini saja, kamu mau ya... t!dur sama tante. Setelah itu terserah kamu. Karena tante memang benar-benar merasa penasaran sama kamu, Fer. Tante mohon, ya.." ucap tante Mirna lagi, dengan nada penuh harap.

"saya tidak tahu bagaimana perasaan saya terhadap tante. Jujur, di mata saya, tante terlihat masih sangat cantik. Tapi.... kalau untuk jadi pacar, rasanya saya belum siap... Namun.. karena tante sudah sangat baik sama saya selama ini, saya mau, kok. Tapi hanya sekali ini saja. Bukan sebagai pacar, hanya sebagai ucapan terima kasih saya.." balasku akhirnya.

Dan begitulah, malam itu, tante Mirna berhasil membuat saya harus melepaskan kep3r-j*kaan saya, sesuatu yang selama ini berusaha untuk saya pertahankan.

Aku memang masih lugu, aku memang masih polos, karena itu aku pun membiarkan saja semua itu terjadi. Setidaknya hal itu, cukup menambah pengalaman bagi ku. Sebuah pengalaman baru dalam hidupku.

****

Sudah lebih dari seminggu, sejak kejadian malam itu, tante Mirna tidak pernah lagi menghubungi ku. Ia juga tidak pernah terlihat di pos ronda seperti biasa. Tiba-tiba saja, ia menghilang, tanpa kabar.

Aku mencoba untuk tidak peduli akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, itu bukan urusan ku. Namun hati kecil, selalu bertanya-tanya, dimana tante Mirna sekarang? Kenapa dia tak pernah menghubungi ku lagi?

Ah, tiba-tiba saja, aku merasa rindu padanya. Pengalaman pertama ku dengannya, benar-benar menumbuhkan kesan yang begitu dalam di hati ku. Aku jadi sulit untuk melupakannya.

Karena itu, aku pun mencoba untuk menghubungi tante Mirna. Tapi ternyata nomornya sudah tidak aktif. Rumahnya juga sudah beberapa hari ini, tidak pernah terbuka. Aku mencoba bertanya kepada beberapa orang, namun tidak seorang pun yang tahu, kemana tante Mirna.

Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan sudah lebih dari tiga bulan berlalu, namun tetap saja tidak ada kabar apa pun dari tante Mirna. Nomornya juga tidak pernah aktif. Aku benar-benar merasa kehilangan tante Mirna. Kenapa dia pergi disaat aku mulai menyukainya?

Sampai pada suatu hari, aku menerima sebuah pesan dari nomor yang tidak aku kenal.

"buat Ferdy. Ini tante Mirna. Maafkan tante ya, Fer. Tante harus pergi. Tante pergi tanpa memberi tahu kamu. Karena tante perginya juga buru-buru waktu itu. Dan maafkan tante juga, karena baru mengabari kamu sekarang."

"saat ini, tante sudah pindah keluar kota, dan rumah yang disana dalam proses penyitaan. Tante terpaksa pindah, karena tidak mau masuk penjara, akibat hutang tante yang tidak bisa tante lunasi. Jadi mulai sekarang, kita tidak akan pernah bertemu lagi. Tante tidak akan mengganggu kamu lagi. Selamat tinggal, Ferdy..."

Begitu kira-kira pesan yang aku terima dari nomor yang tidak kenal tersebut. Aku coba menghubungi nomor tersebut, tapi sudah tidak aktif. Aku coba membalas pesan tersebut, tapi tidak terkirim.

Pada akhirnya, aku hanya bisa pasrah. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tante Mirna sudah memutuskan untuk perg. Ia pergi, saat aku mulai menyayanginya. Namun aku harus bisa melepaskan kepergiannya. Biar bagaimana pun, kami tidak akan pernah bertemu lagi. Apa lagi mengingat, kasus yang sedang di hadapinya saat ini.

Aku pun akhirnya tahu, siapa tante Mirna sebenarnya. Ternyata selama ini, ia adalah seorang penjual barang-barang antik. Tapi usahanya tidak berjalan mulus. Ia sempat menjual barang palsu, dan ketahuan. Sehingga ia harus berurusan dengan pihak berwajib.

Tante Mirna juga memiliki hutang pada pihak bank, yang mengakibatkan rumahnya harus di sita.

Kini, tiada siapa pun yang tahu dimana keberadaan tante Mirna. Berbagai pihak sedang mencarinya. Ia sangat berani, untuk sekedar mengirimkan pesan padaku. Namun hal itu, tidak pernah aku ceritakan pada siapa pun.

Biarlah apa yang terjadi antara aku dan tante Mirna, hanya akan menjadi sebuah rahasia dalam perjalanan hidupku. Akan aku jadikan sebagai pengalaman yang berharga, yang tidak akan pernah aku lupakan.

Semoga saja, tante Mirna bisa menemukan jalan keluar dari persoalan yang sedang ia hadapi. Semoga saja, aku bisa melanjutkan hidupku seperti biasa.

Yah.. semoga saja.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate