Mandor cantik pencuri hati

 

Namaku Keken.

Sekarang usiaku sudah hampir 28 tahun.

Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan seorang gadis yang usia dua tahun lebih tua dari ku.

Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 22 tahun.

Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang.

Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun.

Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku.

Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP.

Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan.

Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan.

Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belum pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja.

Tempat kerja kami yang selalu berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu kota ke kota lainnya. Hal itulah salah satu penyebab mengapa aku belum pernah pacaran sampai saat itu. Selain karena kehidupan ekonomi ku yang kurang mapan.

Sudah banyak proyek bangunan yang berhasil kami selesaikan. Kadang saat job kosong, aku dan mang Rohim pulang ke kampung. Mang Rohim memang sudah punya istri dan anak di kampung.

Biasanya, kalau tidak bisa pulang, mang Rohim hanya mengirimkan uang ke kampung. Aku juga sering mengirim uang untuk orangtuaku di kampung, terutama untuk membantu biaya sekolah adik-adikku.

****

Waktu terus bergulir, aku masih sangat betah menjadi seorang kuli bangunan. Karena sebenarnya memang tidak banyak pilihan pekerjaan untuk seseorang seperti diriku.

Hingga suatu saat, mang Rohim mendapat sebuah proyek yang cukup besar. Sebuah proyek pembangunan perumahan yang cukup elit.

Proyek perumahan itu berada di sebuah kota yang cukup besar. Aku dan mang Rohim beserta beberapa orang kuli bangunan lainnya, tinggal di sebuah rumah kosong, tak jauh dari tempat pembangunan perumahan elit tersebut.

Disanalah saya bertemu dan berkenalan dengan seorang wanita cantik. Namanya Citra, usianya dua tahun lebih tua dariku, dan aku biasa memanggilnya mbak Citra.

Dia adalah mandor kami, selama pengerjaan proyek perumahan tersebut.

Selain cantik, Citra juga memiliki tubuh yang ramping. Ia juga  ramah, dan sangat baik. Dan tentu saja pintar.

Mulanya semuanya berjalan biasa saja. Kami melakukan tugas kami sebagai kuli bangunan, dan begitu juga Citra, ia juga melakukan tugasnya sebagai seorang mandor.

Sebulan saya bekerja disana. Hingga suatu malam, tiba-tiba Citra, si mandor cantik itu, mengajak aku mengobrol. Kami ngobrol berdua di bangku depan rumah tempat kami, para kuli tinggal.

Waktu itu malam minggu. Seperti biasa, hari minggunya kami libur kerja. Untuk itu teman-teman kuli yang lain, tidak berada di rumah. Mereka ada yang pulang kampung, seperti mang Rohim. Ada juga yang keluyuran keluar, menikmati malam minggu mereka sendiri.

Aku sendiri sebenarnya, memutuskan untuk tidak kemana-mana malam itu, aku hanya ingin beristirahat di rumah.

Namun tiba-tiba Citra datang, sendirian. Rumah Citra memang tidak begitu jauh dari situ. Tapi Citra datang memakai mobilnya.

Awalnya aku cukup kaget, karena tak biasanya Citra datang malam-malam.

"saya lagi suntuk di rumah. Lagi butuh teman buat ngobrol juga..." jelas Citra padaku waktu itu, ketika aku mempertanyakan kedatangannya.

Kami ngobrol cukup lama malam itu, Citra bahkan sampai memesan minuman dan beberapa makanan ringan secara online, untuk kami nikmati sambil kami mengobrol.

Citra bertanya banyak hal padaku, terutama tentang kehidupanku. Demikian juga sebaliknya, Citra juga secara blak-blakan bercerita tentang dirinya padaku malam itu.

Aku sebenarnya cukup sungkan, namun karena Citra yang bersifat ramah, aku pun mencoba untuk bersikap rileks.

Dari Citra aku tahu, kalau ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Mereka empat bersaudara semuanya perempuan. Kedua kakaknya sudah berkeluarga dan sudah mempunyai rumah masing-masing.

Jadi dirumahnya, hanya ada Citra dan kedua orangtuanya. Dan tentu saja ada beberapa orang pembantu di rumahnya.

Citra memang anak orang kaya. Ayahnya seorang pengusaha besar. Dan dari Citra juga aku jadi tahu, jika perumahan elit yang sedang kami bangun tersebut adalah milik ayahnya.

"saya masih tak percaya, kalau kamu masih belum pernah pacaran..." ujar Citra di sela-sela obrolan kami.

Aku hanya tersenyum. Tak berniat juga untuk terlalu meyakinkan Citra.

"padahal secara fisik, kamu orang yang menarik, lho..." lanjut Citra lagi. "kamu tampan dan juga bertubuh kekar, pasti banyak cewek-cewek yang naksir sama kamu.." kali ini Citra melanjutkan, dengan tersenyum manis menatapku.

Entah mengapa, mendengar pujian Citra barusan, aku merasa tersanjung. Aku tersenyum tipis dan segera menunduk, tak sanggup lebih lama menentang tatapan Citra.

Harus aku akui, bahwa seumur hidup, aku belum pernah dipuji seperti itu oleh siapa pun. Apalagi aku memang tidak pernah dekat dengang seorang cewek.

"mbak Citra sendiri gimana?" tanyaku dengan suara bergetar, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"maksud kamu?" tanya Citra dengan kening berkerut.

"maksud saya, mbak Citra sendiri, udah berapa kali pacaran?" tanyaku lebih jelas.

"pernah sih, beberapa kali, dulu. Tapi udah hampir dua tahun ini saya memilih untuk sendiri..." jawab Citra dengan nada datar. Ia seperti tak begitu berminat membicarakan kisah cintanya.

****

Singkat cerita, sejak malam itu, aku dan Citra pun menjadi dekat dan akrab. Citra semakin sering mengajakku ngobrol. Seperti saat-saat jam istirahat kerja, atau pada malam hari, Citra lebih sering datang ke tempat tinggal kami. Ia bahkan tidak segan-segan mengajakku jalan-jalan berdua pakai mobilnya.

Ia sering mentraktir aku makan dan berjalan-jalan keliling kota. Dan bahkan kami pernah nonton di bioskop berdua. Citra juga sering mengajakku main ke rumahnya, tentu saja tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Hingga suatu hari, aku mengalami sebuah kecelakaan kerja.

Sebatang kayu besar menimpa kepalaku. Cukup parah. Aku hampir kehabisan darah, kalau saja Citra tidak segera membawaku ke rumah sakit.

Meski sedikit terlambat, tapi setidaknya nyawaku masih terselamatkan.

Dan dari keterangan dokter, aku tahu, bahwa Citra ikut menyumbangkan darahnya, agar aku bisa diselamatkan.

Citra juga yang menanggung semua biaya di rumah sakit.

Lebih dari seminggu aku dirawat. Citra selalu setia menemaniku. Ia juga mengeluarkan banyak uang, untuk biaya aku berobat.

"makasih ya, mbak Citra." ucapku, ketika Citra mengantarku pulang dari rumah sakit, "mbak Citra sudah sangat banyak berkorban untuk saya..."lanjutku lagi.

Citra hanya tesenyum, ia terlihat tulus.

Aku tidak tahu bagaimana caranya bisa membalas semua kebaikan Citra padaku. Rasanya apapun akan aku lakukan, untuk bisa membalas jasanya.

"kamu yakin, gak mau pulang kampung saja, Ken?" tanya mang Rohim, setelah aku beberapa hari pulang dari rumah sakit.

Luka ku memang sudah mulai sembuh, namun aku belum diperbolehkan bekerja, terutama oleh mang Rohim dan Citra.

"iya, gak apa-apa, Mang. Lagian saya juga gak punya ongkos untuk pulang, uang yang kemarin udah saya kirim ke kampung..." balasku kepada mang Rohim, yang masih saja menatapku.

Aku memang tak berniat untuk pulang, selain karena tidak punya uang, aku juga tak ingin membuat cemas kedua orangtuaku. Aku sudah berpesan kepada mang Rohim agar tidak memberitahukan mereka, tentang kejadian yang menimpaku. Mereka tidak perlu tahu.

Lagi pula, beberapa hari lagi, aku juga bakal sembuh dan bisa bekerja lagi.

********

Pagi itu, aku termenung sendirian di dalam rumah. Mang Rohim dan rekan kuli lainnya, sudah berangkat kerja.

Tiba-tiba di balik pintu yang memang tidak tertutup itu, muncul sesosok tubuh seorang wanita.

Aku cukup kaget, namun segera aku tersenyum, karena aku lihat Citra sudah berdiri disana. Ia tersenyum manis, ditangan kanannya ia menenteng sebuah kantong plastik putih transparan.

"aku bawakan sarapan buat kamu..." ucap Citra, sambil ia melangkah masuk dan duduk di dekatku.

Ia menyerahkan kantong plastik itu, dengan masih tersenyum.

Sebenarnya aku merasa cukup berat menerimanya. Namun sudah beberapa hari ini, sejak aku pulang dari rumah sakit, Citra memang rutin membawakan aku sarapan.

Aku tidak tahu lagi, bagaimana cara menolak semua kebaikan Citra padaku. Rasanya kebaikan Citra sudah tidak bisa dibalas dengan apapun.

Namun aku selalu tak bisa menolaknya, aku takut Citra tersinggung. Citra selalu terlihat tulus padaku, sehingga aku menjadi tak kuasa untuk menolaknya.

Pagi itu, entah mengapa aku merasa Citra berpenampilan lebih rapi dari biasanya. Ia memakai blues hijau lengan panjang. Bajunya dimasukkan ke dalam rok mininya, yang terlilit ikat pinggang hitam. Rok mini yang ia pakai berwarna hitam. Rok itu terlihat cukup pendek. Sehingga tubuh Citra yang memang seksi itu, terlihat semakin menarik.

"mbak Citra sudah terlalu baik sama saya. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas semua itu.. " ucapku akhirnya memberanikan diri. Saya baru saja menghabiskan sarapan yang dibawa Citra tadi. Kami duduk di ruang tamu rumah itu. Ruang tamu itu tanpa kursi, jadi kami hanya duduk di lantai. Citra duduk di samping ku.

"saya mau jujur sama kamu, Ken. Tapi kamu jangan marah, ya..?!" ucap Citra perlahan.

Aku menatap Citra sekilas.

"mbak Citra mau jujur tentang apa?" tanyaku penasaran.

"tapi kamu janji dulu, Ken. Kamu gak bakalan ngejauhin saya, apa lagi sampai marah sama saya...." balas Citra, kali ini ia menatapku kembali, dengan wajah sedikit memohon.

Aku justru semakin penasaran.

"saya mana berani marah sama mbak Citra.." ucapku, "mbak Citra sudah terlalu baik sama saya.." aku melanjutkan.

"tapi apa yang ingin saya sampaikan ini, sesuatu yang sangat sensistif..." Citra berujar lagi, suaranya sedikit mengecil.

"iya. Mbak Citra ngomong aja. Saya janji gak bakal marah sedikitpun...." balasku meyakinkan.

Aku benar-benar penasaran dengan semua yang ingin diomongkan Citra padaku. Pikiranku menerawang, mencoba menebak-nebak.

Lama kami terdiam, hingga akhirnya Citra pun berujar,

"sebenarnya... sebenarnya aku.... aku suka sama kamu, Ken..." suara Citra tergagap. Namun cukup mampu membuatku sangat kaget.

"maksud mbak Citra?" tanyaku akhirnya, keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya.

"yah, aku suka sama kamu, Ken. Aku... aku jatuh cinta sama kamu..." Citra berujar lagi, suaranya masih terbata.

"tapi saya, kan...." aku sengaja menggantung kalimat ku.

"iya, saya tahu. Kamu hanya seorang kuli." Citra memotong ucapanku cepat. "tapi aku sudah terlanjur suka sama kamu, Ken. Aku sayang sama kamu. Aku gak peduli, sekali pun kamu hanya seorang kuli. Kamu mau kan pacaran sama saya?" Citra melanjutkan lagi. Ia terdengar semakin berani.

Aku terdiam. Benar-benar terdiam. Tidak tahu juga harus berkata apa.

Seharusnya aku memang sudah bisa menduga hal itu dari awal. Kebaika Citra selama ini padaku, sudah cukup membuktikan hal tersebut. Tapi, aku benar-benar tidak menyangka, kalau Citra akan seberani itu, untuk mengungkapkan perasaannya pada ku.

Aku juga tidak menyangka, kalau Citra bisa jatuh cinta padaku. Padahal aku hanya seorang kuli bangunan. Sedangkan ia adalah putri seorang pengusaha kaya. Citra juga seorang wanita berpendidikan dan berwawasan tinggi. Rasanya, sangat tidak mungkin ia akan tertarik padaku, yang hanya seorang kuli proyek.

Tapi Citra sudah berterus terang padaku. Ia dengan blak-blakan sudah mengungkapkan perasaannya. Dan aku salut atas kejujurannya itu.

Aku memang belum pernah pacaran. Aku belum pernah mengungkapkan perasaanku pada siapapun. Aku tak tahu rasanya. Meski aku sering mengkhayalkannnya.

Namun tak pernah aku sangka, jika aku harus mendengarkan ungkapan perasaan dari seorang wanita secantik dan sekaya Citra.

"kamu gak harus jawab sekarang, Ken." suara Citra mengagetkanku lagi. "kamu bisa pikirkan hal ini dulu. Dan kamu berhak menolak, kok. Jika kamu memang tidak suka. Tapi kamu jangan marah sama saya, yah. Apalagi sampai membenci saya. Saya ingin kita tetap berteman seperti ini..." Citra melanjutkan kalimatnya, melihat saya hanya terdiam.

Tak lama kemudian, Citra pun berdiri.

"saya permisi, Ken. Kita akan ngobrol lagi nanti, kalau kamu udah punya jawabannya." Citra mengakhiri kalimatnya, lalu melangkah pelan keluar.

Aku masih dalam keterdiamanku. Semuanya terasa aneh bagiku. Pikiranku tiba-tiba kacau tak menentu. Hatiku dibalut dilema. Aku masygul.

****

Seminggu kemudian, aku sudah mulai bekerja lagi seperti sedia kala.

Seminggu ini, pikiranku terasa berat. Pernyataan Citra minggu lalu, masih terus menghantui ku setiap saat.

Citra memang tidak pernah lagi datang kerumah, sejak seminggu itu. Kami bahkan tidak pernah bertemu dari jarak dekat, kami hanya saling pandang dari kejauhan.

Perasaanku semakin tak karuan.

Jika aku menolak pernyataan cinta Citra untuk menjadi pacarnya, jelas ia akan kecewa dan sakit hati. Aku tak ingin hal itu terjadi, biar bagaimanapun Citra sudah teramat sangat baik padaku selama ini. Ia rela mengorbankan apa saja untukku. Ia bahkan telah menyumbangkan darahnya, demi menyelamatkan nyawaku. Dan lagi pula Citra adalah mandor, tempat aku bekerja sebagai kuli bangunan.

Bagaimana mungkin aku bisa mengecewakan, orang sebaik Citra?

Sebegitu tidak tahu terima kasihkah aku?!

Sebegitu jahatkah aku?

Yang tega membuat kecewa, orang yang sudah sangat baik padaku.

Namun jika aku menerima cinta Citra, entah mengapa aku merasa tidak pantas.

Bagaimana nantinya kami bisa menjalin hubungan?

Bagaimana rasanya punya pacar yang lebih tua dari ku? dan juga jauh lebih kaya dari ku?

Aku benar-benar merasa tidak pantas.

Aku pernah membayangkan, suatu saat akan punya pacar. Tapi tentu saja, yang aku bayangkan adalah punya pacar seorang cewek yang kehidupannya sepadan dengan ku.

Tapi sekarang?? Akh... aku benar-benar bingung.

Aku sendiri tidak tahu perasaanku yang sebenarnya terhadap Citra. Jujur, aku memang mengagumi sosok seorang Citra. Terlepas dia seorang wanita yang cantik dan seksi, Citra juga seorang wanita yang sangat baik dan ramah. Selama aku bekerja dengannya, aku belum pernah melihat dia marah.

Namun aku tidak bisa begitu saja jatuh cinta padanya. Biar bagaimana pun, aku cukup sadar diri. Dan lagi pula, aku juga tidak ingin punya pacar yang usianya lebih tua dariku, meski pun hanya dua tahun.

Aku memang merasa nyaman, saat bersama Citra. Karena segala kebaikannnya padaku selama ini.

Tapi bukan berarti, aku telah jatuh hati padanya.

Aku juga memang belum pernah pacaran. Hatiku memang selalu kosong. Tapi bukan berarti juga, aku harus membiarkan Citra masuk ke dalamnya dengan begitu mudah.

Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?

Haruskah aku mencobanya?

Setidaknya untuk membuat Citra merasa senang.

Setidaknya untuk membalas semua kebaikan Citra selama ini. Meski sebenarnya, itu semua tidak akan pernah cukup. Citra terlalu baik padaku.

********

"jadi gimana, Ken? Kamu sudah punya jawabannya?" Tanya Citra akhirnya. Setelah lebih dari seminggu kami tak pernah ngobrol.

Saat itu malam minggu, Citra datang sekitar setengah jam yang lalu. Aku memang sedang sendirian di rumah. Seperti biasa, teman-teman kuli yang lain, sudah pergi menikmati malam minggu mereka masing-masing.

"kamu tak perlu merasa tak enak hati, Ken. Saya gak bakal maksa, kok.." Citra berujar lagi, melihat aku hanya terdiam.

Mudah bagi Citra untuk berkata demikian. Aku bisa saja menolak, tapi pasti hubungan kami ke depannya akan merenggang. Dan pasti juga, Citra akan sangat kecewa.

"saya bingung, mbak. sejujurnya saya tidak merasakan apa-apa kepada mbak Citra, selain perasaan sebagai teman.." aku berujar juga akhirnya, meski dengan suara yang sedikit bergetar.

"namun.... namun saya juga tidak ingin hubungan pertemanan kita menjadi renggang. Saya juga tidak ingin mbak Citra kecewa dan sakit hati. Sejujurnya saya memang merasa nyaman, saat bersama mbak Citra. Untuk itu.... mungkin... saya... saya... akan mencobanya..." aku berkata cukup panjang, suaraku semakin terbata.

"maksud kamu, kamu akan mencoba pacaran dengan saya?" tanya Citra sekedar untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Saya tidak menjawab, namun repleks saya pun mengangguk. Meski hati saya sendiri tidak begitu yakin.

Kulihat Citra tersenyum sangat lebar. Gigi putihnya yang rapi terlihat. Wajahnya memperlihatkan kebahagiaan yang terpancar dari hatinya. Aku merasa turut senang, melihat semua itu.

Setidaknya aku hanya ingin membuat Citra merasa bahagia, meski harus mengorbankan perasaanku.

Tiba-tiba Citra menyentuh lembut tanganku. Aku kaget. Namun aku membiarkannya, aku tak ingin Citra tersinggung.

Entah mengapa tangan Citra terasa lembut menyentuh kulitku, meski ada rasa kaku menggelitik hatiku.

Sekali lagi, aku benar-benar merasa tidak pantas.

*****

Dengan segala perasaan tidak pantas ku itu, aku mencoba menjalani hubungan asmara ku bersama Citra.

Tentu saja hubungan kami sangat tertutup. Tidak ada seorang pun yang tahu. Dimata orang-orang, kami hanyalah berteman biasa.

Namun kami selalu punya waktu dan tempat untuk berduaan, menikmati kebersamaan kami.

Biasanya kami sering berduaan dikamar Citra, atau pun di hotel-hotel yang sengaja Citra sewa, agar kami bisa menikmati segala kemesraan kami.

"kamu yakin dengan semua ini, Cit?" tanya ku pada suatu malam, ketika pertama kalinya ia mengajak ku ke kamarnya.

"iya, aku yakin.. Kebetulan orangtua ku sedang ada acara ke luar negeri.." balas Citra.

"tapi....." kalimat ku terputus, karena tiba-tiba Citra menarik tangan ku untuk masuk.

"udah kamu masuk aja.. Kita aman kok, disini.." ucap Citra, sambil terus menarik tangan ku.

Aku pun akhirnya, hanya bisa menuruti semua itu. Tanpa bisa berkata apa-apa lagi.

Berbulan-bulan hal itu terjadi. Berbulan-bulan hubungan asmara ku dengan Citra terjalin.

Entah mengapa, lama kelamaan, aku mulai merasa menyukai Citra.

Aku mulai merasakan benih-benih cinta tumbuh dihatiku untuk Citra. Aku semakin sering memikirkan Citra. Aku sering menatapnya dari kejauhan, saat kami bekerja. Aku kadang juga merasa rindu, bila sehari tak bertemu dengan Citra.

Sejak pacaran, Citra memang semakin baik padaku. Ia tidak pernah sekalipun membuat aku kecewa. Ia selalu berusaha, untuk membuatku selalu tersenyum. Ia juga sering memberi aku kejutan, dengan memberiku beberapa hadiah, seperti jam tangan atau pun pakaian.

Hal itulah yang mungkin membuat aku semakin menyayangi Citra. Dan aku pun akhirnya jatuh cinta padanya. Rasanya begitu nyaman, saat berada di samping Citra.

Hari-hari terasa begitu indah bagiku. Segala perasaan tidak pantas yang aku rasakan dari awal hubungan kami, kini telah sirna. Berganti dengan rasa bahagia yang tak terkira.

***

Hampir setahun kami menikmati kebahagiaan itu.

Hingga akhirnya proyek perumahan elit itu pun selesai. Aku dan Citra harus berpisah untuk sementara, karena aku harus kembali ke kampung halamanku.

Meski terpisah jarak yang begitu jauh, kami tetap menjalin hubungan. Kami tetap berusaha menjaga cinta kami.

Rasanya begitu berat, saat harus terpisah dengan Citra. Begitu juga yang dirasakan Citra.

Tapi aku harus kembali ke kampung, karena sudah sangat lama aku tidak pulang. Dan lagi pula, aku tidak punya pekerjaan lagi di kota itu.

Meski Citra berusaha menahanku, dan meminta ku untuk tetap tinggal di kota. Ia  bersedia menyewakan sebuah apartemen untukku. Namun aku terpaksa menolak. Aku merasa tidak enak hati, harus tetap tinggal di kota, sementara aku tidak punya pekerjaan. Citra pun mencoba untuk memahaminya.

***

Waktu masih saja terus bergulir. Lebih dari dua bulan aku berada di kampung. Selama itu, aku dan Citra, masih saling memberi kabar, meski tentu saja hanya melalui telepon genggam.

Citra pernah sekali datang ke kampungku, sekedar melepas rindu katanya. Tapi ia tidak bisa berlama-lama, karena ia harus bekerja. Lagi pula, jarak antara kampungku dengan kota tempat Citra tinggal sangat jauh. Butuh waktu hampir seharian, untuk Citra bisa sampai ke kampungku.

Dua bulan lebih kami terpisah.

Hingga akhirnya, Citra pun mengabarkan padaku, bahwa ia akan menikah dengan seorang pria pilihan orangtuanya.

Citra sebenarnya sudah berusaha menolak. Namun keinginan orangtuanya sudah sangat kuat, mengingat usia Citra yang sudah cukup dewasa. Dan lagi pula, Citra juga tidak pernah berani untuk menceritakan tentang hubungan kami kepada keluarganya. Untuk itu orangtuanya, bersikeras menjodohkan Citra dengan anak salah seorang rekan bisnis ayahnya.

Entah mengapa, aku merasa begitu sakit mendengar kabar itu. Hatiku tak rela Citra-ku, menikah dengan orang lain.

Namun aku dan Citra tidak bisa berbuat banyak.

Biar bagaimana pun, hubungan kami pasti tidak akan pernah direstui oleh orangtua Citra. Mengingat betapa banyaknya perbedaan yang ada diantara kami berdua.

Citra pernah mengajak ku untuk kawin lari dengannya. Tapi aku dengan tegas menolak. Rasanya itu bukanlah jalan keluar terbaik untuk hubungan kami berdua.

Kami harus bisa menerima kenyataan, bahwa hubungan kami memang harus berakhir. Kami tidak mungkin lagi bisa mempertahankannya. Apa lagi sekarang, jarak antara kami berdua kian jauh terbentang.

Tapi rasanya sangat berat menerima itu semua.

Sebenarnya Citra berharap, agar kami tetap berhubungan, sekali pun ia sudah menikah. Tapi aku tak menginginkan hal itu. Aku tak ingin menjadi penghalang untuk kebahagiaan Citra dan suaminya.

Aku berusaha untuk mengikhlaskannya.

Mengikhlaskan orang yang aku cintai hidup dengan orang lain.

Aku hanya ingin Citra bahagia dan menjalani hidupnya dengan baik. Menjalani hidupnya bersama orang yang sepadan dengannya. Bukan seorang kuli seperti diriku.

Aku sendiri akan berusaha untuk melupakan Citra, dan berusaha untuk menemukan jodohku sendiri. Dari golongan orang yang sederajat pula kehidupannya dengan ku.

Meski akhirnya harus terpisah, setidaknya aku pernah merasakan bahagia dengan orang yang aku cintai dan mencintaiku.

Setidaknya aku pernah merasakan, indahnya hubungan cinta dengan wanita yang usianya lebih tua dariku.

Kini semua itu, hanyalah tinggal kenangan bagiku.

Aku akan memulai hidupku yang baru. Meski aku sendiri tidak yakin, aku akan mampu melupakan segala kenanganku dengan Citra seutuhnya.

Tapi setidaknya aku akan mencoba.

Semoga saja aku mampu...

Yah.. semoga saja..

Sekian...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate