Ku pinjam istri mu satu malam

Malam mulai larut, ketika terdengar deringan sesaat. Aku melirik ke meja kecil di samping tempat tidurku, mengambil telepon genggamku. Ada pesan singkat dari Arjun, sahabatku dari semasa kuliah. Seperti biasa, ia hanya melontarkan sejuta keluh kesah.

Ku hela nafas panjang. Di kepala ku sendiri masalah pun rasanya sudah segudang. Namun aku tetap berusaha untuk menanggapinya, walaupun hanya sekedar basa-basi saja.

“Perkawinanku sudah di ambang batas. Aku tahu aku salah, aku menyesal. Aku ingin mencoba memperbaikinya, tapi Berliana tak pernah mau memberi aku kesempatan,” begitu bunyi pesannya.

“Kau telpon aku saja lah.., sedang malas aku mengetik,” singkat, aku menjawab.

Aku sendiri sedang sibuk mempersiapkan draft replik perceraianku dengan Elsa.

Ya, aku memang tidak memakai pengacara untuk mengurus masalahku ini. Percuma membuang-buang uang untuk sesuatu yang telah telanjur menjadi ampas dan sama sekali tak ada gunanya.

Segala rasa berkecamuk dalam diri ku, namun deraan banyak hal sepertinya tak henti-hentinya berdatangan, menambah sesak dada.

Termasuk urusan sahabat ku ini, yang sepertinya hidupnya hanya diisi dengan mengeluh saja, dan aku yang selalu menjadi penampungannya. Seakan-akan tidak ada satu kesenanganpun yang pernah diberikan Tuhan untuknya dan dunia ini hanya penuh dengan problemanya saja.

Tak lama kemudian, meluncurlah kata-kata panjang tanpa titik koma dari suara di seberang. Suara Arjun. Aku hanya bisa menyimak sepintas, mengambil intinya.

Kepala ku sudah terlalu penuh untuk menyimpan berbagai masalah. Jangankan untuk orang lain, untuk diri ku sendiri saja sebagian keluh kesah kepahitan hidup ku sudah aku buang ke tong sampah. Tak ingin diingat lagi atau diucap.

Diiringi dengan nada suara yang cukup serius, Arjun mengutarakan apa yang diinginkannya dari ku.

“Kau tolonglah aku. Coba bicara dengan Berliana, agar dia bisa menerima aku kembali. Posisi mu kan sama dengannya, teraniaya. Mungkin dia bisa mengambil pelajaran dari apa yang terjadi denganmu, sehingga dia mau kembali padaku, demi anak,” pinta Arjun memelas pada ku.
 

Aku menghela nafas panjang sekali lagi. Ku singkirkan sejenak batu besar yang serasa menindih benak ku, berusaha berempati.

“Ok, kapan aku harus menemuinya..??” tanya ku pada Arjun.

“Besok malam. Aku beri kau nomor telpon genggamnya. Tolong hubungi dia secepatnya. Aku percayakan urusan ini padamu,” pasrah suara Arjun terdengar.

****


Sore itu, di sudut sebuah café bernuansa Italy. Aku menunggu Berliana, menyeruput segelas cappuccino dingin sambil mata ku sesekali menyapu ke luar jendela. Empat potong roti yang tadi aku pesan pun sudah ludes ku santap. Namun tak juga ku lihat sosok yang ku nanti.

Aku pun mulai merasa kesal. Untunglah beberapa menit kemudian pesan singkat dari Berliana masuk.

“Sudah dekat, maaf tadi keluar kantor agak terlambat,” begitu katanya.

Selang seperempat jam setelah itu, kami pun telah duduk berhadapan. Berliana memesan minuman yang sama dengan yang aku pilih.

“Kamu gak pesan makanan..??” tawar ku.

Berliana menggeleng. “Masih agak kenyang. Tadi makan siang agak terlambat,” jawabnya, sambil meletakkan tasnya di atas meja.

Matanya setelah itu justru sibuk mengamati ku, dari atas ke bawah, sambil tersenyum sedikit nakal.

”Lain kau sekarang,” katanya.

Terkekeh aku mendengarnya.

“Kenapa..??" tanya ku sedikit heran.

"terlihat lebih keren dan tampan.” jawabnya yang diikuti dengan derai tawa kencang.

 Aku pun mencoba untuk ikut terbahak.

“Awal yang baik memulai pembicaraan”, pikir ku.

Suasana yang tadinya ku kira akan kaku karena sudah sekian lama aku tak bertemu dengan istri sahabat karib ku ini, ternyata tak terjadi.

Sudah tiga tahun lebih kalau tak salah, sejak Arjun membawa Berliana ke rumah ku, mengantarkan undangan perkawinan mereka kala itu. Wajar, jika aku sempat kuatir apa yang diamanatkan pada ku akhirnya gagal.

“Akan lancar sepertinya misiku,” ujar ku lagi dalam hati.

Namun perkiraan ku salah. Susah betul meyakinkan perempuan itu untuk menerima suaminya kembali. Dianggapnya semua tingkah dan penyesalan yang diperlihatkan suaminya, itu hanya kepalsuan sesaat yang akan kembali lagi kala lelaki yang sudah memberinya satu anak itu kelelahan memakai topengnya. 

Oh.., paham betul aku akan perasaan itu. Tak jauh lebih baik dari yang aku alami. Hidup dalam kepalsuan yang kurang lebih sama, pengkhianatan-pengkhianatan dan rekayasa mimpi-mimpi dalam keterkurungan sebuah sangkar besi yang dinamakan perkawinan, berakhir dengan terbongkarnya maksud dan tujuan Elsa mau menikah dengan ku dahulu, yang tak pernah terbayangkan olehku, lalu tersadar telah membuang sekian belas tahun penuh pengorbanan tanpa pernah ada hitungan.

Pengkhianatan paling menyakitkan yang pernah ada, manakala pada akhirnya aku tahu bahwa keberadaan diriku ternyata dinilai sebatas materi saja.

Mungkin akan lebih baik bagiku melihat Elsa berselingkuh dengan 1000 laki-laki, daripada setelah sekian lama mata ku baru terbuka, bahwa Elsa mau menjadi istri ku, hanya karena harta.

Mengingat itu, seketika seperti ada yang terlepas sumbatannya. Cerita kelam dari lubuk hati ku pun bagai banjir bandang, tumpah ruah membludak diiringi penyesalan yang sudah tak terbendung lagi, tanpa bisa diredam.

Terlalu lama semua kepahitan itu aku simpan sendirian, tanpa pernah aku bagikan barang sedikit pada siapapun, walau hanya untuk sekedar meringankan pikiran.

Sudah tak ku ingat lagi tugas yang ku emban, terkubur oleh himpitan beban yang menggerus ketahanan mental ku. Saat itu, yang tinggal hanyalah diri ku dan segala penyesalan.

Mungkin karena melihat pemandangan nelangsa di depan matanya, tangan lembut Berliana itupun spontan menggenggam tangan ku yang sedikit gemetar, menahan emosi.

“Sudahlah..sabar saja,” kata Berliana, mencoba menghibur. Hmm.., memang apa lagi yang bisa aku lakukan selain itu..?? Menangis hanyalah pelampiasan sesaat untuk membuang beban. Menjadikan butiran-butiran air mata itu sebagai tiang-tiang pembangun kekuatan diri ku untuk bangkit dari keterpurukan. Bukan untuk memperlihatkan kelemahan.

Kami pun sama-sama terdiam, dalam hening. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Lalu mata kami pun saling beradu. Satu sama lain seperti mengerti apa yang kami mau, walau tanpa suara. Hanya bahasa tubuh kami yang saling bicara.

“Yuk,” ajak Berliana.

Dan tak perlu banyak kata, kami pun keluar dari café itu, mencari sebuah tempat pelampiasan. Puaskan segala amarah, kegetiran, luka dan ketercampakan. Dua orang dewasa dalam satu nasib. Beradu salurkan energi negatif. Mengamuk rasa dalam gelora sesaat tanpa cinta. Sisakan peluh penuh kenikmatan dalam dekapan dosa.

“Maafkan aku, teman..”, ucap ku lirih, dalam ketel4n-j*ngan yang masih menyisakan r3ng-kuh*n hangat Berliana di t*buhku. Pulas terlelap usai h4s-r*tnya terurai. Tak peduli ada keinginan yang masih menggantung tanpa penyelesaian. Sesuatu yang sudah sangat biasa aku terima dalam pendaman kecewa. Kesepihakan. Dan ketakacuhan atas apa yang aku rasakan.

****

Selama lebih dari delapan bulan, aku merasa lelah terjebak dalam kebohongan. Tak sanggup lagi aku menahannya. Memang tak perlu diumbar, namun aku pun tak mau lagi menyimpannya. Beban berat bagi ku, walau aku sadari bahwa yang tahu hanya aku, Berliana dan Tuhan.

Memang, belasan tahun yang lalu Arjun pernah melakukan hal yang sama pada diri ku. Diam-diam di belakang ku, ia menjalin hubungan dengan Gladis, wanita yang dulu aku harapkan bisa mejadi pelabuhan terakhirku.

Namun demi Tuhan, apa yang aku lakukan dengan Berliana sama sekali bukan sebagai pembalasan, tapi karena tergelincirnya aku dalam kebodohan. Kebodohan akan pemuasan n*fsu sesaat yang pada ujungnya sangat aku sesalkan.

Ku kirim sebuah pesan berisi pengakuan kepada Arjun. Sudah siap aku terima segala makian dan hujatan dengan lapang dada. Menerima getah dari nangka yang sama sekali tak manis namun terlanjur rakus aku makan, hingga habis tak bersisa.

Benar saja, balasan pesan itu aku terima hanya dalam hitungan detik, dengan huruf-huruf kapital. Singkat, namun padat makna.

“DASAR GIG*LO..!! PENGKHIANAT..!!”, itu yang terpampang di layar telpon genggam ku. Dari Arjun.

Aku mencoba tersenyum, sadar gelar itu memang pantas untuk ku.

Ya, aku adalah pengkhianat dengan nurani mati, berdarah dingin. Gi-gol* jah4nam, walau tanpa pernah ada bayaran.

Penyesalan memang selalu datang belakangan. Kini aku telah kehilangan semuanya. istri ku dan juga sahabat ku. Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Karena saat ini, aku ingin memulai hidup ku yang baru.

Aku akan melupakan semua yang terjadi di masa lalu ku. Melupakan semua kepahitan-kepahitan yang pernah aku rasakan selama ini.

Aku hanya berharap, semoga aku tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari.

Yah... semoga saja.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate