Nama ku Andi, dan ini adalah kisah ku.
Kisah ini berawal dari sejak aku menikah, dengan gadis cantik yang sangat aku cintai. Namanya Echa, setidaknya begitulah ia di panggil.
Aku dan Echa sudah pacaran hampir lima tahun, sejak kami masih sama-sama kuliah. Hingga akhirnya kami pun sama-sama mulai bekerja. Aku bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan kecil di kota kami, sementara Echa juga bekerja sebagai karyawan di perusahaan lain.
Setelah berpacaran selama tahun, dan karena sudah punya pekerjaan tetap juga, kami pun akhirnya memutuskan untuk menikah. Tentu saja, atas persetujuan kedua keluarga kami.
Setelah menikah, sesuai perjanjian kami dari awal, kami pun memutuskan untuk membeli rumah sendiri. Dan hidup mandiri. Serta memulai kehidupan baru kami sebagai sepasang suami istri.
Sejak awal, pernikahan kami baik-baik saja, bahkan kami sangat bahagia menjalani hari-hari kami bersama. Karena kami memang menikah atas dasar saling cinta. Dan terlebih lagi, kehidupan kami secara ekonomi, juga lumayan mapan.
Jadi, jarang ada persoalan yang timbul di antara kami berdua. Apa lagi, karena sudah lama pacaran, kami pun sudah saling mengenal karakter masing-masing. Selain itu, kami juga punya kesibukan bekerja, dari pagi sampai sore.
Namun setelah lebih dari tiga tahun menikah, kami belum juga di karuniai anak. Padahal, kami sudah sepakat, untuk tidak menunda punya anak. Kami ingin sekali segera punya anak. Tapi kenyataannya, sekuat apa pun kami berusaha, tetap saja, sampai saat ini, kami istri ku belum juga hamil.
Hal itu pun, cukup menarik perhatian dari semua keluarga besar kami, terutama kedua orang tua kami. Mereka tentu saja, sangat ingin punya keturunan dari kami. Apa lagi, Echa merupakan anak pertama dalam keluarganya. Sementara dua adik laki-laki nya belum menikah.
Aku sendiri merupakan anak tunggal. Yang membuat kedua orangtua ku sangat berharap, aku segera punya anak. Hal itu sering mereka sampaikan, saat ada acara kumpul keluarga.
Aku juga sudah sering membahas hal tersebut dengan Echa. Aku pun mulai merasa ada yang salah dengan kami. Aku bahkan pernah membujuk Echa, untuk memeriksakan diri ke dokter ahli. Tapi sampai saat itu, Echa masih menolak. Ia masih berharap, ia akan segera hamil.
****
Lima tahun pun berlalu, dari sejak awal pernikahan kami. Namun Echa tak kunjung jua memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Hal itu membuat aku mulai merasa sedikit putus asa. Harapan ku untuk segera punya keturunan, sepertinya mulai menipis.
Hingga akhirnya, aku pun berhasil, membujuk Echa, untuk memeriksakan diri ke dokter. Kami pun sama-sama menemui dokter ahli, yang merupakan seorang dokter kenalan dekat keluarga kami.
"hasil akan keluar dua atau tiga hari ke depan, nanti akan kami hubungi.." jelas sang dokter, saat kami berdua sudah menjalani pemeriksaan.
Dengan hasil yang masih penuh tanda tanya tersebut, kami pun kembali pulang ke rumah. Perasaan ku sendiri menjadi tak karuan. Teringat kembali dalam pikiran tentang perdebatan dengan Echa, saat aku berusaha membujuknya untuk menemui dokter.
"kalau seandainya nanti hasilnya, salah satu dari kita ada yang tidak sehat atau di vonis mandul, apa mas siap menghadapi kenyataan tersebut?" tanya istri ku waktu itu.
"yah.. mungkin aku gak bakal pernah siap, Cha. Tapi setidaknya kita sudah tahu penyebabnya, dan mungkin akan ada cara untuk bisa mengatasinya..." balasku pelan.
"ya udah... terserah mas aja.." balas istri ku akhirnya pasrah.
Dan begitulah, setelah lima tahun menikah, tanpa keturunan, kami pun akhirnya memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter.
****
Dua hari kemudian, aku pun mendapat telepon dari dokter yang memeriksa kami beberapa dua hari yang lalu. Ia meminta kami untuk datang ke tempatnya, hari itu.
"tapi aku ada meeting penting hari ini, mas. Aku gak bisa ikut ke dokter. Mas aja ya, yang kesana.." pinta istri ku, saat aku menyampaikan hal tersebut padanya.
"baiklah.." kata ku, "nanti aku kabari hasilnya ya.." lanjutku.
"kabari aja, kalau kita sudah di rumah nanti ya, mas. Jangan saat kerja, takutnya nanti malah mengganggu pekerjaan kita.." balas istri ku kemudian.
Dan dengan perasaan tak karuan, aku pun segera melarikan mobil ku menuju tempat praktek dokter tersebut sendirian.
Sesampai di sana, sang dokter pun menyambut kedatangan ku dengan penuh keramahan. Dan setelah berbincang basa basi, dokter itu pun memberikan hasilnya kepada ku.
Aku sempat terguncang, melihat hasil pemeriksaan tersebut. Aku benar-benar tidak percaya, namun dokter itu, berusaha meyakinkan ku, bahwa itu adalah hasilyang maksimal. Dan tak perlu diragukan lagi.
Aku tidak bisa terima hal tersebut. Karena itu, aku pun meminta sang dokter, untuk mengubah hasilnya. Aku tak ingin istri ku kecewa, jika ia tahu hasil yang sebenarnya.
"saya bersedia mengubah hasilnya, tapi.. apa pun yang terjadi setelah ini, itu semua di luar tanggungjawab saya... saya harap kamu bisa mengerti.." begitu ucap dokter tersebut akhirnya, setelah dengan sangat memohon aku memintanya, untuk mengubah hasil tersebut.
****
Saat itu, jam tujuh malam, aku dan istri ku sudah selesai makan malam. Kami memang belum membahas tentang hasil yang aku dapatkan dari dokter tersebut.
"jadi gimana, mas? Hasilnya?" tanya istriku, ketika kami sudah berada di dalam kamar.
Aku pun dengan sangat berat, memberikan amplop berisi catatan hasil pemeriksaan tersebut, kepada istri ku. Tentu saja, dengan hasil yang sudah di rekayasa oleh dokter tadi.
Istri ku mulai membuka dan membacanya. Aku lihat raut keterkejutan yang luar biasa di wajah istri ku, saat ia membaca hasil pemeriksaan tersebut.
"maafkan, aku..." suara ku berat.
"kamu gak perlu minta maaf, mas.." timpal istri ku. "aku akan tetap mencintai kamu, apa pun keadaannya.." lanjutnya.
"tapi... aku tidak akan pernah bisa memberi kamu keturunan, Cha.." ucapku lagi.
"aku gak peduli, mas. Yang penting kita tetap bersama selamanya.." balas istri ku.
"lalu bagaimana dengan keluarga besar kita? Apa mereka bisa menerima semua ini?" tanya ku kemudian.
"mas tenang aja... Mereka pasti bisa mengerti, kok.." balas istri ku pelan.
Aku tahu, istri ku kecewa dengan hasil pemeriksaan tersebut. Ia pasti merasa kecewa, karena tahu, suaminya sudah di vonis mandul. Namun ia akan semakin merasa kecewa, jika ia tahu hasil yang sebenarnya. Ia pasti tidak akan bisa menerima, kalau sebenarnya dia lah yang di vonis mandul.
Aku tahu, aku salah, karena telah membohongi istriku. Tapi, rasanya itu jauh lebih baik. Setidaknya, ia tidak akan terbebani dengan rasa bersalah, karena tidak bisa memberi aku keturunan. Dan bagiku, itu adalah salah satu bentuk, betapa aku sangat mencintai istri ku.
****
Sejak mengetahui hasil tersebut, keadaan rumah tangga kami tiba-tiba saja berubah. Istri ku sudah mulai berubah. Ia jadi sering lembur kerja, bahkan juga sering mengadakan meeting di luar kota. Ia jadi jarang berada di rumah.
Sejujurnya aku kecewa dengan perubahan istri ku tersebut. Aku pikir, ia justru akan semakin perhatian padaku, karena tahu, kalau aku ini mandul. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, ia semakin menjauh dari ku.
Hari-hari berlalu, tanpa ada warna lagi dalam kehidupan rumah tangga kami. Tidak ada lagi suasana romantis yang tercipta di antara kami berdua. Bahkan kami hampir kehilangan komunikasi di antara kami. Istri ku selalu mencari cara untuk menghindar dari ku.
Sampai akhirnya, ia pun meminta aku untuk menceraikannya.
"karena aku mandul?" tanya ku penuh emosi, saat permintaan cerai ia sampaikan padaku malam itu.
"salah satunya itu.. Dan lagi pula, aku sudah tidak rasa apa-apa lagi sama kamu, mas. Jadi lebih baik kita berpisah saja. Dari pada kita terus bertahan, dan hanya menyiksa diri.." balas istri ku.
Aku hanya bisa terdiam pada akhirnya. Mungkin istri ku memang tidak bisa menerima, kalau aku ini mandul. Mungkin ia merasa kecewa pada ku. Padahal, seandainya dia tahu yang sebenanya...
Tapi.. ya sudah lah... Aku tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya. Hal itu pasti akan membuat ia semakin marah pada ku. Mungkin memang lebih baik, kalau kami tidak hidup bersama lagi. Karena sepertinya, istri ku sudah bulat dengan keputusannya untuk bercerai dari ku.
****
Lima bulan berlalu, setelah proses perceraian kami. Aku kembali ke rumah orangtua ku, Echa juga. Kami sepakat untuk menjual rumah kami, dan membagi harta gono gini lainnya.
Keputusan kami tentu saja, membuat kecewa kedua orangtua kami, terutama orangtua ku. Meski mereka tidak pernah tahu alasan yang sebenarnya.
Dan setelah lima bulan bercerai, tiba-tiba aku mendapat kabar, kalau Echa, mantan istri ku tersebut, memutuskan untuk pindah kerja ke luar negeri, ke Jerman tepatnya. Hal itu aku ketahui, dari salah seorang sahabat Echa.
"kamu yakin?" tanya ku melalui telepon genggam, kepada Mitha, yang merupakan sahabat dekat Echa tersebut.
"iya, Ndi. Bahkan Echa titip pesan padaku. Dan harus aku sampaikan sama kamu.." balas Mitha di seberang sana.
"pesan apa?" tanya ku sedikit penasaran.
"mungkin lebih baik, kalau kita bertemu saja langsung, Ndi. Karena rasanya gak mungkin aku menyampaikan hal ini melalui telepon.." balas Mitha lagi.
"oke.. kapan? Dimana?" tanyaku kemudian.
Mitha pun menyebutkan waktu dan tempat pertemuan kami, lalu segera ia menutup teleponnya.
Terus terang aku pun merasa penasaran dengan pesan yang di titipkan Echa melalui Mitha, sahabatnya tersebut. Mengapa Echa tidak menyampaikannya langsung padaku? Tanya ku membathin.
Meski pun memang, sejak sidang perceraian kami, aku dan Echa hampir tidak pernah berkomunikasi lagi. Bahkan nomor ku saja, mungkin sudah di blokirnya.
****
Sesuai dengan jadwal dan tempat yang telah kami sepakati bersama Mitha, kami pun akhirnya bertemu di sebuah kafe. Mitha sengaja memilih tempat duduk paling pojok, agar pembicaraan kami tidak terganggu dengan pengunjung lain.
"sebenarnya ini sangat rahasia, Ndi. Tapi.. aku memang harus menyampaikannya.." Mitha memulai pembicaraan.
"aku menyimak, Mit.." balasku serius.
"sebenarnya Echa tahu, kalau kamu berbohong.." mulai Mitha lagi.
"berbohong? Berbohong tentang apa?" tanyaku jadi penasaran.
"Echa tahu, kalau yang mandul itu dia, bukan kamu, Ndi. Echa sengaja mendatangi dokter yang memeriksa kalian tersebut ke esokan hari nya. Karena ia merasa penasaran. Dan dokter tersebut, tidak bisa bohong pada Echa. Dokter tersebut mengatakan yang sebenarnya.." Mitha menarik napas sejenak.
"Echa tahu, kamu melakukan semua itu, karena kamu sangat mencintainya. Tapi... mungkin cinta Echa buat kamu lebih besar dari itu, Ndi. Karena itu, ia terus berpura-pura tidak mengetahui hal tersebut. Ia pun berniat untuk melepaskan kamu, Ndi.." sekali lagi Mitha menarik napas.
"Echa sadar, kalau ia tidak akan pernah bisa memberi kamu keturunan. Karena itu, Echa pun merubah sifatnya. Jadi tidak perhatian sama kamu. Jadi jarang pulang. Sampai akhirnya ia pun meminta cerai dari kamu. Itu semua ia lakukan, agar kamu mau meninggalkannya. Agar kamu bisa menikah dengan gadis lain, yang bisa memberi kamu keturunan.." kali ini Mitha menarik napas lebih lama.
"lalu kenapa ia harus pindah ke Jerman?" tanyaku tanpa sadar, suara ku pun mulai parau.
"karena jika ia terus di sini, ia merasa tidak sanggup, jika melihat kamu hidup bersama orang lain. Dan lagi pula, Echa pikir, jika ia masih di sini, kamu akan sulit untuk melupakannya dan mencari penggantinya.." balas Mitha menjelaskan lagi.
Oh.. kali ini aku terdiam. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa saat ini. Sebegitu besarnya pengorbana Echa untuk ku. Dan aku tidak pernah menyadari hal tersebut selama ini.
"kini semua terserah kamu, Ndi. Jika kamu memang benar-benar mencintainya, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.." ucap Mitha selanjutnya.
"ini alamat Echa di Jerman.." Mitha berucap lagi, sambil menyerahkan secarik kertas berisi catatan sebuah alamat.
"ini hanya ide ku saja, Echa tidak tahu kalau aku memberikan alamat ini sama kamu. Bahkan sebenarnya, Echa tidak ingin kamu tahu, dimana ia berada sekarang, karena ia ingin kamu benar-benar melupakannya. Tapi... aku adalah saksi hidup perjalanan cinta kalian berdua, Ndi. Dan aku selalu ingin yang terbaik untuk kalian berdua.." begitu Mitha mengakhiri kalimatnya.
Lalu kemudian, Mitha pun segera pamit padaku. Sementara aku masih termangu, menatap kertas berisi alamat tersebut, dengan penuh kebimbangan.
Sebenarnya, aku sudah mulai belajar untuk melupakan Echa. Bukan karena ia mandul, tapi karena aku pikir, Echa tidak mencintai ku sedalam itu. Namun sekarang, aku sudah tahu semuanya. Cinta Echa terlalu besar untuk aku lepaskan begitu saja.
Aku hanya berharap, apa pun keputusan yang aku ambil untuk hidupku selanjutnya, adalah keputusan yang terbaik, yang tidak akan menyakiti siapa pun.
Yah... semoga saja..
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar