Islam-kan saya karena Allah ....

Nama saya Baskoro, orang-orang biasa memanggil saya Bas.
Saya adalah seorang penganut Katholik. Saya seorang Katholik karena kedua orang tua dan seluruh keluarga saya merupakan penganut Katholik secara turun temurun.
Namun kedua orang tua saya bukanlah Katholik yang taat, mereka jarang sekali beribadah seperti penganut Katholik pada umumnya.
Mereka juga orang-orang yang modern, dimana agama bukan lagi menjadi tolak ukur dalam kehidupan.
Mereka tidak pernah memberatkan kami, anak-anaknya, dalam hal beribadah.
Jadi saya pun tumbuh dengan tidak begitu mengenal agama. Saat kecil dulu, ayah dan ibu, sering mengajak saya untuk datang ke gereja setiap minggu. Namun setelah menjadi dewasa, saya hampir tak pernah lagi datang ke gereja.


Saya lulus kuliah saat masih berusia sekitar 23 tahun. Mengambil jurusan pendidikan, membuat saya akhirnya menjadi seorang guru.
Pada suatu waktu saya mencoba mengikuti tes CPNS yang diselenggarakan secara umum oleh pemerintah. Saya pun lulus dengan hasil memuaskan.
Singkat cerita, saya pun akhirnya ditugaskan disebuah desa yang cukup jauh dari kota. Saya ditugaskan menjadi seorang guru SD di sana.
Awalnya kehadiran saya di desa itu, tidak bisa diterima dengan baik oleh penduduk disana, karena saya yang seorang Katholik. Penduduk desa tersebut seratus persen menganut agama Islam. Mereka orang-orang yang taat.
Kehadiran saya, yang non muslim, benar-benar sesuatu yang baru bagi mereka.
Mereka tidak terima, jika saya harus mengajarkan anak-anak mereka di sekolah. Mereka takut saya akan mengajarkan sesuatu yang diluar agama mereka, kepada anak-anak mereka.
Namun dengan drama yang cukup panjang, dan tentu saja penjelasan yang panjang lebar dari kepala desa dan juga orang-orang yang berpendidikan disana, akhirnya mereka bisa mengerti dan menerima kehadiran saya. Meski tentu saja tidak sepenuh hati, dan tidak semua masyarakat bisa menerima semua penjelasan tersebut.

Sebagai seorang guru dari luar daerah, saya memang diharuskan tinggal dan menetap disana. Sebuah perumahan guru tersedia disana. Saya tinggal di salah satu perumahan guru tersebut. Selain saya, ada empat orang guru lainnya yang tinggal disana, mereka juga berasal dari daerah lain. Mereka sudah menetap disana selama bertahun-tahun. Mereka juga telah berkeluarga. Selain itu, ada tiga orang guru lagi yang merupakan penduduk setempat.
Secara ekonomi, kehidupan penduduk disana, cukup sejahtera. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan. Karena memang desa tersebut berada tidak jauh dari sungai. Sebagian lagi ada yang menjadi petani dan bekerja di kebun-kebun sawit milik para pengusaha.
Masyarakat disana sangat taat beragama, banyak kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan untuk memperingati hari-hari besar Islam.

Disana terdapat sebuah mesjid yang cukup megah. Mesjid tersebut selalu ramai setiap harinya, terutama pada hari jum'at.
Pada hari jum'at, biasanya semua penduduk meliburkan diri dari bekerja. Kecuali bagi mereka yang bekerja di pemerintahan, termasuk guru tentunya.
Bagi mereka, hari jum'at adalah hari dimana mereka bisa berkumpul dengan keluarga dan bercengkerama dengan tetangga dan sanak saudara.
Selain itu, biasanya mereka pada hari jum'at, melaksanakan kegiatan semacam majelis ta'lim. Dimana setiap jum'at-nya secara bergiliran, mereka berkumpul di salah satu rumah penduduk, untuk membaca surat yasin bersama dan melakukan kegiatan ibadah ringan lainnya.
Kegiatan rutin ini terbagi dalam tiga kelompok, yakni ada kelompok wirid yasin remaja putri, ada kelompok wirid yasin ibu-ibu dan ada juga kelompok wirid yasin pemuda dan bapak-bapak.
Kegiatan-kegiatan seperti itu memang sangat sering mereka lakukan.

Hampir setahun tinggal disana, saya mulai mengenal beberapa orang, terutama rekan-rekan guru. Saya mulai hafal rutinitas kegiatan masyarakat disana. Mengenal beberapa orang penduduk disana dan juga para pemuda dan pemudinya.
Saya sering ikut kegiatan pemuda disana, karena memang usia saya masih tergolong muda.
Meskipun kegiatan pemuda disana lebih sering dilakukan di Mesjid, saya tetap mencoba berbaur dengan mereka.
Dari situlah saya akhirnya berkenalan dengan seorang gadis, yang dua tahun lebih muda dari saya. Dia gadis yang cantik, namanya Aisyah, anak salah seorang tokoh agama yang cukup disegani. Aisyah lulusan sebuah pesantren, namun ia tidak kuliah. Karena kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan dan juga Aisyah lebih memilih untuk merawat kedua orangtuanya yang memang sudah tua, serta untuk mengabdikan diri ke masyarakat, dalam mengajarkan ilmu agama melalui kegiatan majelis ta'lim.

Mengenal Aisyah, membuat saya seperti menemukan hal baru dalam hidup. Gadis yang selalu berhijab itu, telah mampu mengetuk pintu hati saya. Sikapnya yang sopan, ramah dan pintar, menumbuhkan rasa kagum saya yang besar padanya.
Namun Aisyah sendiri selalu menjaga jarak dengan saya. Saya tahu, itu semua karena latar belakang kepercayaan kami yang berbeda.
Sebagai satu-satunya orang yang berbeda agama disana, tentu saja, tindakan yang bisa saya lakukan sangat terbatas. Saat berkumpul pun, saya lebih memilih untuk banyak diam. Karena pembicaraan mereka yang lebih sering membahas soal agama mereka.
Meski sebenarnya, sebagian besar dari mereka, lebih terbuka menerima kehadiran saya disana. Karena selama tinggal disana, sikap saya cukup baik terhadap mereka.
Mereka juga memperlakukan saya dengan cukup baik.

**********

Dua tahun saya berada disana, saya belajar banyak hal. Terutama tentang Islam. Saya jarang sekali pulang ke kota, karena saya merasa sangat nyaman berada di desa tersebut.
Orang tua saya tidak terlalu menghiraukan hal tersebut. Seperti yang pernah saya ceritakan, orang tua saya telah memberikan kebebasan penuh kepada saya, untuk memilih jalan hidup saya sendiri.
Lagi pula, di kota, masih ada adik dan kakak saya yang tinggal dan bekerja disana.
Adik laki-laki saya, masih kuliah, dia masih tinggal bersama orang tua kami.
Kakak saya yang perempuan, sudah menikah dan tinggal tak jauh dari rumah orang tua kami.
Sementara kakak sulung saya, laki-laki, juga sudah menikah dan bekerja disebuah perusahaan.
Jadi Ayah dan Ibu saya, tidak terlalu mempersoalkan, jika pun saya sampai berbulan-bulan tak pulang.

Dua tahun berada di desa tersebut dan mengenal Aisyah, perlahan telah membuka hati saya untuk mengenal Islam lebih dalam. Diam-diam, saya mencoba mendatangi seorang ustadz yang berada di desa tersebut. Namanya ustadz Salman, beliau merupakan salah seorang ustadz yang senior di desa tersebut, usianya sudah hampir enam puluh tahun. Namun beliau masih terlihat segar dan energik. Ilmu agamanya sudah tidak diragukan lagi.
Saya mendatangi beliau, mencoba bertanya-tanya tentang Islam lebih dalam.
Saya pun membeli dan membaca beberapa buah buku tentang Islam.
Sampai akhirnya, hati saya merasa terbuka, untuk menerima Islam sebagai agama yang benar.
Ajaran Islam terasa sangat masuk akal bagi saya.
Apa lagi selama ini, saya sering ngobrol dengan Aisyah, meski hanya melalui telepon genggam. Aisyah banyak mengajarkan saya tentang nilai-nilai kebaikan dalam ajaran Islam.
Kedekatan saya dengan Aisyah semakin membuka hati dan pikiran saya.
Kecerdasan Aisyah dalam menyampaikan ilmu-ilmu Islam mampu membuat saya terkagum-kagum.
Dan sejujurnya harus saya akui, kalau Aisyah telah mampu mencuri hati saya. Aisyah telah benar-benar membuat saya jatuh cinta padanya.

Tak sanggup memendam semua perasaan cinta tersebut, saya pun dengan cukup berani mengungkapkannya kepada Aisyah.
"maaf, Bang. Dalam Islam tidak ada yang namanya pacaran atau pun cinta-cintaan. Kami hanya mengenal istilah taaruf..." ucap Aisyah dari telepon genggamnya. Setelah dengan susah payah saya mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan perasaan saya.
"taaruf? apa itu?" tanya saya penasaran.
"taaruf itu, semacam kegiatan perkenalan diri dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan dan juga sebaliknya. Taaruf harus dilakukan di dalam rumah, dan harus di depan kedua orang tua atau pun keluarga." jelas Aisyah.
Saya terdiam, mencoba memahami hal tersebut.
"nanti jika kedua belah pihak sudah saling kenal dan saling suka, baru lah lamaran bisa dilakukan. Jadi gak ada yang namanya pacaran..." lanjut Aisyah lagi.

Saya tidak terlalu mengerti dengan apa yang Aisyah jelaskan barusan. Saya hanya menyimpulkan, bahwa jika saya memang mencintai Aisyah, saya harus segera melamarnya.
Namun bagaimana mungkin saya bisa melamar Aisyah. Sementara saya bukan seorang muslim. Sudah jelas saya akan ditolak mentah-mentah oleh keluarga Aisyah.
Sekalipun Aisyah juga mencintai saya, dia jelas tidak akan bisa menerima kehadiran saya yang bukan seorang Islam.
Menyadari hal tersebut, saya pun lebih mendalami Islam. Belajar lebih banyak, baik dari Ustadz maupun dari Aisyah sendiri, dan juga dari buku-buku yang sengaja saya beli.
Sampai akhirnya, saya pun memutuskan untuk memeluk Islam secara utuh.
Saya menyampaikan niat tersebut kepada kedua orang tua saya dan keluarga saya, mereka tidak keberatan dan mengizinkan saya untuk melakukan apa yang terbaik buat saya.

Saya pun segera menemui ustadz Salman, ustadz yang selama ini mengajarkan saya tentang Islam, untuk memintanya membantu saya memeluk agama Islam.
Tentu saja dengan senang hati ustadz Salman bersedia untuk membantu dan meng-Islam-kan saya. Hal ini pun saya ceritakan kepada Aisyah, sebagai salah satu bukti keseriusan saya padanya.

******
Bersambung ...

Islam-kan saya karena Allah (Part 2)

Setelah masuk Islam, saya merasa lebih tenang, sebuah ketenangan yang selama ini belum pernah saya rasakan. Saya merasa lebih percaya diri, terutama dalam pergaulan saya dengan masyarakat. Saya semakin rutin mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan, pengajian-pengajian dan juga majelis ta'lim. Saya rutin melaksanakan sholat lima waktu di mesjid. Masyarakat desa sangat terbuka menerima saya sebagai seorang muslim yang baru. Saya semakin mengenal Islam lebih baik.
Apa lagi dengan terang-terangan, Aisyah mendukung dan memberikan motivasi kepada saya. Kami semakin sering ngobrol, meski tentu saja hanya lewat telepon genggam.
Kami jarang bertemu, kecuali ada kegiatan-kegiatan pemuda di desa tersebut. Namun hal tersebut tidak mengurangi rasa cinta saya pada Aisyah, meski Aisyah sendiri tidak pernah benar-benar terbuka dengan perasaannya.


Setelah hampir enam bulan menjadi seorang mu'alaf, akhirnya saya memberanikan diri untuk datang menemui kedua orang tua Aisyah. Saya memberanikan diri untuk menyatakan keinginan saya, untuk melamar Aisyah, kepada orang tua Aisyah.
Mereka cukup kaget mendengar hal tersebut, namun mereka tak segera menjawab. Mereka meminta waktu kepada saya selama beberapa hari, untuk bisa memberikan jawaban.
Saya pun memakluminya dan segera mohon izin pulang.
Setelah beberapa hari kemudian, orang tua Aisyah pun meminta saya untuk datang kerumahnya. Saya pun dengan sedikit tak sabar segera menuju kesana. Saya hanya ingin tahu jawaban dari mereka.
"maaf, nak Bas.." begitu awalnya sang ayah memulai pembicaraan, setelah saya dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu. Disana hanya ada saya, ayah dan ibunya Aisyah.
"kami tahu, niat nak Bas baik. Namun kami harus berterus terang mengenai hal ini. Sebenarnya, Aisyah telah lama kami jodohkan dengan ustadz Lukman. Tentu saja atas permintaan dari ayah ustadz Lukman." lanjut sang ayah.
Saya pun tertunduk lesuh mendengar hal tersebut. Saya terhenyak!

Saya tahu ustadz Lukman. Dia anak dari kepala desa. Seorang sarjana agama lulusan dari Mesir. Ilmu agamanya sangat tinggi, orangnya juga shaleh dan taat. Selain tentu saja, ia memiliki kebun sawit yang sangat luas, warisan dari orang tuanya yang memang cukup kaya.
Ustadz Lukman sosok yang ramah, baik dan rajin beribadah. Beliau sering memberi pengajian-pengajian di mesjid, bahkan sampai keluar desa.
Dibandingkan dengan saya, tentu saja Ustadz Lukman jauh lebih baik, bahkan dalam segala hal.
Saya yang baru saja memeluk Islam, tidak ada apa-apanya jika harus dibandingkan dengan ustadz Lukman yang sejak kecil memang sudah di didik tentang Islam, bahkan hingga kuliah ke Mesir.
Setelah merasa sedikit tenang, karena syok menyadari hal tersebut, saya pun pamit pulang.
Disepanjang jalan pulang, saya hanya menggerutu tak jelas. Saya sangat terpukul mendengar semua itu. Saya sangat mencintai Aisyah. Dan berharap bisa memilikinya.
Namun semua harapan saya hancur berantakan.
Saya merasa perjuangan dan usaha saya selama ini sia-sia, saya merasa putus asa. Saya telah berjuang begitu lama, untuk bisa mendapatkan Aisyah. Saya belajar Islam dan bahkan sampai memeluk Islam, hanya demi bisa mewujudkan mimpi saya tentang Aisyah.
Namun semuanya hanya sia-sia belaka.

"tidak ada yang sia-sia, nak Bas..." begitu ucap ustadz Salman, ketika akhirnya saya menceritakan hal tersebut padanya.
"semua tergantung dari segi mana kamu menilainya. Pertanyaannya adalah, apakah niat kamu untuk masuk Islam adalah murni dari hati nuranimu? Apakah kamu masuk Islam karena kamu benar-benar telah jatuh cinta pada Islam itu sendiri? Apakah kamu memeluk Islam hanya karena Allah semata? Atau justru kamu masuk Islam hanya karena kamu ingin menjadi suami dari Aisyah?" lanjutnya lagi.
Saya terdiam mendengar pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sejujurnya, saya sendiri tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya membuat saya akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam.
"jika kamu masuk Islam karena Allah, maka kamu akan ikhlas menerima segala ketentuan Allah yang berlaku terhadapmu. Namun jika niatmu masuk Islam hanya karena kecintaanmu kepada ciptaan-Nya, saran saya, sebaiknya kamu perbaiki lagi niatmu itu..." ustadz Salman berujar lagi.

"lalu sekarang saya harus bagaimana ustadz?" tanya saya, dengan nada putus asa.
"Islam adalah agama yang benar, nak Bas. Dan Allah adalah sebaik-baiknya tempat minta petunjuk dan pertolongan. Memohonlah pada-Nya dengan ikhlas. Semoga Allah memberikan jalan terbaik dari persoalanmu." ustadz Salman menjawab ringan, "namun yang paling terpenting dari semua itu ialah, kamu harus bisa ikhlas menerima apa pun yang akan terjadi. Kamu harus percaya, bahwa jika memang kamu dan Aisyah ditakdirkan untuk berjodoh, maka Allah akan mempermudah segalanya. Namun jika tidak, maka kamu harus ikhlas. Karena Allah hanya akan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Mintalah yang terbaik kepada Allah, bukan sekedar meminta apa yang kamu inginkan.." kali ini ustadz Salman berbicara sambil menepuk-nepuk ringan pundak saya.
Entah mengapa saya merasa sedikit tenang setelah ustadz Salman melakukan hal tersebut.
Kalimat dan tepukannya itu seakan memberikan saya sebuah energi baru.
Setelah mengucapkan terima kasih, saya pun izin pulang....

Saya kembali merenungi semua ucapan ustadz Salman. Saya kembali bertanya kepada hati saya sendiri. Benarkah saya masuk Islam hanya karena ingin mendapatkan cintanya Aisyah?
Saya telah belajar Islam begitu banyak, sebelum akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Saya mengagumi ajaran-ajaran Islam yang begitu indah dan sempurna. Kitab suci Al-Qur'an telah melukiskan keindahan Islam dengan begitu sempurna. Segala yang ada di bumi Allah ini, sudah tertulis jelas dalam Al-Qur'an. Segala ketentuan Allah adalah baik, kecuali bagi mereka yang tidak pandai bersyukur. Jodoh, maut dan rejeki adalah sebagian dari ketentuan-ketentuan Allah. Dan tidak ada seorang manusia pun yang bisa merubah ketentuan tersebut, kecuali atas izin Allah.
Menyadari hal tersebut, saya pun mencoba menjalankan apa yang telah ustadz Salman sarankan.
Saya bangun tengah malam, berwudhu' dan melakasanakan sholat malam dengan khusyu', kemudian saya berdo'a dengan sepenuh hati. Meminta kepada Allah, agar saya diberi kesabaran dan keikhlasan, untuk bisa menerima segala ketentuan-Nya.

************

Siangnya, saya pun menghubungi Aisyah melalui telepon genggam. Saya hanya ingin meyakinkan, tentang bagaimana sebenarnya perasaan Aisyah kepada saya.
"saya tidak tahu pasti, apa yang saya rasakan terhadap bang Bas. Tapi sejujurnya, saya memang merasa nyaman, ketika berbicara dengan bang Bas. Saya kagum dengan perjuangan bang Bas untuk mempelajari Islam. Keingintahuan bang Bas tentang Islam. Hingga saya pun semakin kagum, ketika bang Bas memutuskan untuk memeluk Islam. Tapi saya tidak bisa mendefenisikan rasa kagum tersebut sebagai cinta. Karena cinta yang sesungguhnya hanyalah milik Allah." ucap Aisyah diujung telpon.
"jika bang Bas mencintai ciptaan Allah, maka mintalah pada-Nya. Karena sesungguhnya saya dan siapa pun itu, adalah milik Allah. Jika benar bang Bas mencintai saya, cintailah saya karena Allah. Mencintai makhluk Allah, sering membuat manusia terluka. Namun cinta karena Allah, tidak mengenal kata kecewa. Dan bang Bas harus meyakini hal itu..." lanjut Aisyah lagi.

Saya tergugu mendengar semua itu. Sungguh sebuah kalimat yang luar biasa. Aisyah memang gadis yang shaleha. Akhlaknya sungguh membuat saya semakin mengaguminya.
"mengenai perjodohan saya dengan ustadz Lukman, sejujurnya saya sendiri tidak bisa menerimanya. Namun sebagai anak yang berbakti, saya juga tidak bisa menolaknya. Saya tidak ingin menjadi anak yang durhaka. Sebagai anak, saya hanya ingin membuat kedua orang tua saya bahagia." Aisyah berbicara lagi, saat saya hanya terdiam.
"meski kamu harus mengorbankan kebahagiaan kamu sendiri..?" tanyaku pelan.
Kudengar Aisyah menghembuskan napas berat,
"kebahagiaan adalah dambaan setiap orang. Namun apa arti kebahagiaan itu, jika harus menyakiti perasaan orang yang kita sayang. Jika kita melakukan sesuatu karena Allah, maka kebahagiaan itu akan mengikuti. Begitu juga ketika kita dengan ikhlas membuat orang lain bahagia, maka kebahagiaan itu juga akan hadir dalam hati kita..." jawaban Aisyah kian membuatku semakin terperangah.
Aisyah adalah contoh gadis yang memiliki akhlak yang mulia, pemikiran yang cerdas dan hati yang tulus.

Aisyah sudah sepatutnya untuk diperjuangkan. Bukan hanya karena ia gadis yang cantik secara fisik, tapi ia juga memiliki hati yang jauh lebih indah dari parasnya.
Tapi apa yang bisa kuperbuat saat ini?
Ustadz Lukman bukan laki-laki sembarangan. Ia juga memiliki akhlak yang indah, tutur bahasa yang sopan dan ilmu Islam yang tinggi. Tiba-tiba saya merasa, mereka adalah pasangan yang cocok. Mereka memang sudah ditakdirkan untuk bersama.
Tidak ada lagi yang harus saya perjuangkan. Saya hanya harus belajar ikhlas melepaskan sesuatu yang memang tidak ditakdirkan untuk saya.
Tapi bagaimana dengan Aisyah sendiri. Akankah dia bahagia?
 
******
Bersambung ....

Islam-kan saya karena Allah (Part 3)

"apakah seseorang yang menikah karena terpaksa dan bukan karena cinta, juga bisa disebut jodoh, ustadz?" dalam sebuah kesempatan, akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya kepada ustadz Lukman. Kebetulan sekali pada saat itu, ustadz Lukman menjadi pemberi tausyiah atau ceramah singkat, pada suatu acara majelis ta'lim di rumah salah seorang warga. Dan kebetulan juga waktu itu, ia membahas tentang 'jodoh'.
Pada acara mejelis ta'lim seperti ini, kami sebagai peserta memang diberi kesempatan untuk bertanya. Saya sudah sering bertanya pada acara-acara seperti ini, namun selama ini saya hanya bertanya tentang sesuatu yang lebih umum.
Mendengar pertanyaan saya, ustadz Lukman spontan menatap saya, mata kami bertemu pandang beberapa saat. Namun segera ustadz Lukman mengalihkan pandangannya.
Saya pun melirik kesekeliling, beberapa pasang mata menatap saya tajam. Biar bagaimana pun, cerita tentang saya, Aisyah dan ustadz Lukman, sudah menjadi gosip hangat saat ini.
Tapi saya toh, tak perlu merasa bersalah. Pada saat-saat tertentu, pertanyaan saya adalah sesuatu yang normal. Saya juga tidak bermaksud menohok siapa pun. Terserah orang-orang menafsirkannya seperti apa.

Sebagai seseorang yang cukup profesional, tentu saja ustadz Lukman menjawab pertanyaan saya,
"ada tiga jenis jodoh yang kita kenal dalam Islam." suara ustadz Lukman cukup lantang, apa lagi dibantu oleh sebuah pengeras suara.
"yakni, yang pertama jodoh karena nafsu syetan. Yang artinya ialah ketika sepasang manusia bertemu, lalu saling tertarik, kemudian melakukan hubungan terlarang hingga hamil. Dan mau tidak mau mereka harus dinikahkan. Jodoh seperti ini ialah tidak baik, dan biasanya tidak akan bertahan lama. Sekalipun bisa bertahan lama, akan selalu banyak masalah dalam rumah tangganya.." ustadz Lukman menarik napas sejenak, kemudian melanjutkan.
"yang kedua, jodoh karena bantuan Jin. Maksdunya ialah, ketika seseorang tertarik kepada orang lain, namun ternyata orang lain tersebut tidak tertarik padanya, atau lebih sering disebut cinta bertepuk sebelah tangan. Kemudian orang tersebut mengambil jalan pintas, dengan mendatangi dukun, agar orang yang ia inginkan tersebut, bisa tergila-gila padanya, hingga akhirnya mereka pun menikah. Jodoh seperti ini juga tidak baik."

"yang ketiga ialah jodoh karena Allah. Dan ini adalah yang terbaik. Ketika dua orang saling bertemu, lalu saling jatuh cinta, dan mereka berusaha menjaga pandangan dan perilaku mereka dari berbuat maksiat, sampai akhirnya mereka menikah. Jodoh seperti inilah yang dicintai oleh Allah.." ustadz Lukman mengakhiri kalimatnya.
Namun penjelasan tersebut, belum sepenuhnya menjawab pertanyaan saya. Ustadz Lukman sepertinya menyadari hal tersebut. Ia berpikir sejenak, lalu berujar lagi,
"tentang seseorang yang menikah tanpa dasar cinta, jika mereka berdua mampu menjaga hati dan pikirannya untuk tidak bermaksiat, hingga mereka menikah, artinya ini juga merupakan jodoh dari Allah. Mengenai ada atau tidaknya cinta diantara mereka, itu adalah kuasa Allah. Mereka akan tetap bahagia dan Allah akan menumbuhkan cinta diantara keduanya sepanjang perjalanan pernikahan mereka..."
"tapi bagaimana mungkin sebuah rumah tangga akan bahagia, bila tidak ada cinta di dalamnya? Dan tidak ada jaminan juga, bahwa pada akhirnya cinta itu akan tumbuh..." saya bertanya lagi, suara saya sedikit bergetar.

Ustadz Lukman berpikir lagi, kali ini sedikit lebih lama.
"cinta adalah rahasia Allah, seperti halnya jodoh. Kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta. Kita juga tidak tahu, kapan kita akan jatuh cinta. Cinta adalah sebuah anugerah dari Allah. Jika Allah berkehendak, maka rasa benci pun bisa berubah menjadi cinta. Jadi tidak usah meragukan hal tersebut. Lagi pula kebahagiaan itu, tidak selalu tentang cinta..." jawaban ustadz Lukman kali ini cukup mengena hati saya.
Saya hanya terdiam.
"ada lagi yang ingin bertanya?" suara pembawa acara yang duduk tak jauh dari ustadz Lukman, memecahkan keheningan yang sempat tercipta beberapa detik.

**********

"sainganmu berat, bro.." celetuk pak Hasan, rekan guru saya yang senior.
Beliau satu-satunya tempat saya curhat selama ini, terutama soal Aisyah. Selain ustadz Salman sih.
"itu dia masalahnya pak..." balas saya dengan nada lemas. Kami ngobrol di salah satu kantin sekolah, saat itu jam istirahat. Saya dan pak Hasan memang sering ngobrol, saya dapat banyak pelajaran dari beliau. Terutama tentang cara menjadi guru yang baik.
Pak Hasan sudah dua puluh tahun menjadi guru, pengalamannya sudah tidak diragukan lagi. Usianya sekarang sudah mencapai 45 tahun. Tapi beliau punya semangat muda yang tinggi.
"tapi emang kamu yakin, kalau Aisyah juga suka sama kamu?" tanya pak Hasan dengan nada ragu.
"gak pasti juga sih, pak. Tapi kalau melihat dari cara dia memperhatikan dan memperlakukan saya selama ini, saya yakin kok, kalau Aisyah juga suka sama saya.."
"kalau memang Aisyah juga suka sama kamu, kenapa dia masih mau dijodohkan sama ustadz Lukman?"
"saya gak tahu, pak Hasan. Pusing saya..."

"udah, kamu tenang aja. Kalau jodoh mah gak bakal kemana. Yang penting kamu terus berdo'a dengan sungguh-sungguh, ya." kalimat pak Hasan yang energik, tak benar-benar memberikan saya semangat.
"ingat, bro. 'man saara ala darbi washala'...." sambungnya.
"apaan tuh?!" tanya saya sambil menatap wajah serius milik pak Hasan.
"siapa yang  berjalan di jalannya, akan sampai ditujuan..." balasnya, dengan nada seriusnya.
"gak ada hubungannya, pak Hasan..!!" suara saya meninggi. Saya mengalihkan pandangan.
Pak Hasan memang suka sekali membuat kalimat-kalimat yang aneh-aneh. Tapi saya tahu, ia hanya berniat ingin menghibur saya.
"emang gak ada, sih. Tapi minimal mendekatilah dengan kasusmu ini, bro." beliau memang suka menyebut anak muda jaman sekarang dengan panggilan sok akrabnya. Bro!
"tapi intinya, pokoknya kamu harus semangat, jangan putus asa, jangan menyerah. Kayak lirik lagu D'masiv, bro. Jangan menyerah! Jangan menyerah!..." pak Hasan berceloteh lagi dengan gaya guyon khasnya, sambil sedikit bernyanyi tentunya.

Kelakuan pak Hasan, terkadang memang cukup mampu membuat saya terhibur. Pak Hasan selalu punya cara membuat orang-orang disekelilingnya tertawa. Saya sudah menganggap beliau seperti ayah sendiri.
"kalau saya gak boleh menyerah, terus apa yang harus saya lakukan sekarang? Sebentar lagi mereka bakal nikah loh, pak Hasan." ucap saya lagi, setelah beberapa saat kami terdiam.
Pak Hasan terlihat sedang memikirkan sesuatu dengan serius.
"bagaimana kalau kalian kawin lari saja..." ucapnya.
"ya Allah, pak. Saya serius ini..."
Pak Hasan terkekeh. Saya menatapnya tajam. Beliau menutup mulutnya segera, menahan tawa.
"oke, saya akan bantu kamu, bro. Tapi saya gak janji ini akan berhasil..." ucap pak Hasan, kali ini dengan nada yang benar-benar serius.

****************

"kamu benar..." ucap ustadz Lukman, beberapa hari kemudian. Kali ini tidak di depan publik. Hanya kami berdua. Ia mengundang saya untuk datang kerumahnya. Atas saran pak Hasan ternyata. Diam-diam pak Hasan mendatangi ustadz Lukman, dan meminta beliau untuk bertemu dengan saya.
'setidaknya kalian harus bersaing secara sehat dan sportif..' begitu bisik pak Hasan, sebelum saya berangkat ke ruman ustadz Lukman tadi.
"maksud ustadz apa ya..?" tanya saya kemudian.
"saya sangat mencintai Aisyah. Tapi saya juga tahu, kalau Aisyah tidak mencintai saya. Aisyah bersedia menikah dengan saya, hanya karena menghargai ayah saya dan juga ia menghormati keputusan orangtuanya." ustadz Lukman berucap lagi.
"lalu apa maksud ustadz mengundang saya kesini?" tanya saya lagi.
"hampir seminggu saya memikirkan hal ini. Kamu memang benar, tidak ada jaminan akan sebuah kebahagiaan untuk pernikahan yang tidak saling mencintai. Menyadari hal tersebut, saya pun mempertanyakan hal ini langsung kepada Aisyah. Tentang perasaannya. Tentang keinginannya yang sejujurnya. Aisyah menegaskan, bahwa ia akan tetap menikah dengan saya, dan akan belajar untuk mencintai saya.." jawab ustadz Lukman.

Untuk sesaat saya hanya terdiam, menunggu penjelasan ustadz Lukman selanjutnya.
"saya tahu ini tidak mudah. Saya juga tahu, kalau Aisyah tidak akan pernah mencintai saya, selama kamu masih ada di kampung ini.." ucap ustadz Lukman lagi.
"jadi maksud ustadz, saya harus pergi dari desa ini?" saya menelan ludah, suara saya sedikit serak.
"bukan! Kamu jangan berprasangka buruk dulu. Saya tidak sepicik itu. Saya hanya ingin memastikan, bahwa kamu benar-benar mencintai Aisyah. Bahwa kamu memang orang yang layak untuk Aisyah." ucapan itu sedikit membuat saya bingung.
"maksudnya?" saya bertanya lagi. Kening saya kembali berkerut.
"pernikahan saya dengan Aisyah tinggal menghitung hari. Sekarang semua tergantung saya, jika saya bersikeras untuk tetap menikah, maka pernikahan itu akan terjadi. Jika saya tidak ingin menikahi Aisyah, maka pernikahan kami akan dibatalkan. Kecuali...."
"kecuali apa?" tanya saya semakin penasaran.
"kecuali kalau kamu bisa membuktikan kepada saya dan juga Aisyah, bahwa kamu benar-benar mencintainya.."
"caranya?" kening saya berkerut dua kali lipat dari biasanya.

*****
Bersambung ....

Islam-kan saya karena Allah (part 4)

"assalamualaikum..." saya sedikit berteriak sambil mengetuk pintu rumah itu dengan pelan. Pintu itu terbuat dari kayu yang cukup keras. Sebuah rumah yang sangat sederhana. Seraut wajah tua laki-laki muncul dari balik pintu yang terbuka perlahan tersebut.
"waalaikumsalam..." jawab laki-laki itu.
Saya tersenyum menatap laki-laki tua tersebut. Ini bukan pertama kalinya saya datang kesini. Namun tetap saja jantung saya berdegup sangat kencang.
Laki-laki tua itu menyunggingkan senyum tipis.
"saya ingin bicara dengan Aisyah. Bisa?" tanya saya.
"ada apa lagi?" tanya laki-laki tua itu, yang tak lain adalah ayah Aisyah.
"Aisyah sudah tidak bisa keluar rumah lagi, ia sebentar lagi akan menikah..." lanjutnya
"yah, saya tahu.."
"lalu untuk apa bang Bas kesini?" suara itu tidak berasal dari laki-laki tersebut, tapi sebuah suara lembut milik seorang perempuan.
Sejenak kemudian, tiba-tiba Aisyah sudah berdiri di belakang ayahnya.


Saya memasang senyum termanis saya, menatap gadis cantik itu. Aisyah hanya tersenyum tipis.
"bang Bas belum jawab pertanyaan saya.." ucap Aisyah lagi, sedikit membuat saya kaget.
"ah. oh, ya. Saya kesini hanya ingin memberikan ini..." saya berujar sambil menyerahkan sebuah kertas berlipat segi empat.
"apa ini?" tanya Aisyah, sambil mengambil kertas itu dari tangan saya, kali ini ia sudah berdiri di samping ayahnya.
"itu... itu dari ustadz Lukman.." suara saya tergagap.
"ustadz Lukman?" dengan penasaran Aisyah membuka kertas tersebut, di dalamnya terdapat beberapa kalimat tulisan tangan ustadz Lukman.
"surat apa itu?" kali ini ayah Aisyah yang ikut berbicara.
Aisyah tidak segera menjawab pertanyaan ayahnya. Saya melihat, kalau Aisyah mencoba membaca surat itu sampai dua kali. Keningnya berkerut.

"apa isi suratnya?" ayah Aisyah bertanya lagi.
"ini surat dari ustadz Lukman. Ia meminta maaf karena harus pergi terburu-buru. Ia tidak sempat berpamitan. Ia juga minta maaf, jika harus membatalkan pernikahan kami. Katanya, ia akan melanjutkan kuliah S2 ke Madinah. Ia berangkat pagi tadi. Ia memberi saya kebebasan untuk memilih pasangan hidup yang saya inginkan. Saya tidak harus menunggunya. Katanya hal itu sudah ia sampaikan pada ayahnya. Intinya, pernikahan kami dibatalkan..." jawab Aisyah, tanpa melepaskan pandangannya dari tulisan tersebut.
"kok bisa?" tanya Aisyah, lebih kepada dirinya sendiri.
"saya bisa jelaskan. Tapi pertama, izinkan saya masuk dulu..." ucap saya menjawab kebingungan mereka berdua.
Serentak mereka menatap kearah saya. Saya memasang senyum manis lagi.

"jadi ceritanya begini.." ucap saya dengan gaya sok bijak, setelah mereka mempersilahkan saya duduk dan menyuguhkan segelas air putih. Jadilah. bathin saya.
Kedua wajah kebingungan itu menatap saya dengan penuh tanda tanya.
"seminggu yang lalu, saya diundang oleh ustadz Lukman untuk datang kerumahnya. Mulanya saya merasa enggan untuk datang, karena biar bagaimana pun beliau adalah rival saya." saya tersenyum nyengir, "namun mengingat yang mengundang adalah seorang ustadz, saya akhirnya memutuskan untuk datang. Meski dengan berat hati tentunya." saya menghela napas.
"sesampai disana kami pun berbicara dari hati ke hati, sebagai sesama laki-laki yang sudah dewasa. Dan tentu saja sebagai sesama laki-laki yang mencintai gadis yang sama." saya nyengir lagi.
Sepertinya mereka berdua mulai jengah melihat saya.
"ustadz Lukman tahu, kalau Aisyah tidak mencintainya. Tapi ustadz Lukman sangat mencintai Aisyah. Ia hanya ingin yang terbaik untuk Aisyah. Ustadz Lukman seorang laki-laki terhormat dan sangat bijak. Ia tahu, kalau saya juga mencintai Aisyah. Namun ia tidak yakin, kalau saya akan bisa menjadi imam yang baik untuk Aisyah..." kali ini saya manarik napas lagi, dua kali.

"beliau khawatir, kalau Aisyah salah dalam memilih jodoh. Apa lagi kalau orangnya itu saya. Karena seperti kita semua tahu, saya baru menjadi Islam belum sampai setahun. Beliau tidak yakin, kalau saya bisa menjadi muslim yang taat. Untuk itu kemudian beliau hendak menguji saya. Beliau meminta saya untuk menghafal salah satu surah dalam Al-Qur'an, yakni surah Yasin. Jika dalam waktu satu hari, saya bisa menghafal surah Yasin, maka beliau akan yakin, bahwa saya benar-benar tulus mencintai Aisyah." saya berhenti sejenak, menghembuskan napas lagi.
"karenaaa..." saya meninggikan suara, ketika saya lihat Aisyah hendak membuka mulutnya untuk berbicara, "menurut beliau, jika saya memang serius untuk mempersunting Aisyah, maka saya pasti bisa menghafal surah Yasin tersebut, bahkan tidak sampai dalam waktu sehari...." lanjut saya lagi.
"dan?" kali ini ayah Aisyah yang mengeluarkan suara.
"dan ternyata, karena saya memang benar-benar mencintai Aisyah dengan tulus, atas izin Allah, alhamdulillah saya sudah hafal surah Yasin tersebut. Sekali lagi ustadz Lukman adalah laki-laki terhormat, ia menepati janjinya. Seperti yang tertulis di surat yasin eh surat itu, maksud saya," sambil menunjuk ke surat yang masih dalam genggaman tangan lembut milik Aisyah.

"kira-kira sampai disini kalian paham gak?" tanya saya dengan gaya kocak seorang guru di depan murid-muridnya. "kalau kurang paham akan saya ulangi dari awal..." lanjut saya masih dengan gaya yang sama.
"gak..gak... gak usah..." jawab mereka hampir serempak.
Laki-laki tua itu menghempaskan napas beratnya. Entah karena kecewa atau karena lega, saya juga kurang yakin.
Sementara Aisyah menggigit bibirnya sendiri. Saya juga tidak tahu, mengapa Aisyah melakukan hal itu di depan saya. Mungkin dia geram. Saya membathin.
"jadi sekarang gimana?" tanya saya akhirnya, setelah sejenak kami hanyut dalam lamunan kami masing-masing.
"gimana apanya?" tanya Aisyah, sambil melepaskan gigitan bibirnya.
"lamaran saya diterima gak..?" kali ini saya bertanya dengan nada terdengar benar-benar serius.
Mereka berdua terdiam, saling pandang.
"saya terserah ayah..." suara Aisyah terdengar sangat pelan, seakan berbisik. Kepalanya tertunduk.

***********
"saya terima nikahnya, Aisyah Nurmala binti Akmal Hadi, dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai..." akhirnya saya mengucapkan kalimat itu dengan benar, setelah lebih dari lima kali diulang.
Kemudian para hadirin yang hadir pun berteriak serempak. Sah!!!
Yah. Saya dan Aisyah akhirnya menikah, setelah melewati drama yang sangat panjang. Sebuah pernikahan yang sederhana. Dilaksanakan dirumah Aisyah, yang hanya dihadiri oleh keluarga dekat kami saja.
"yang penting itu ijab kabulnya, bukan pestanya..." begitu alasan orangtua Aisyah, ketika saya mengusulkan untuk membuat acara resepsi sederhana.
Tapi itu tidak jadi masalah sekarang bagi saya. Yang terpenting dari semuanya, saya akhirnya bisa menikah dengan gadis yang selama ini saya impikan. Dengan izin Allah tentunya.

Ternyata kekuatan do'a itu sangat luar biasa. Saya jadi semakin mencintai Islam karenanya. Saya mencintai Islam, bukan karena Aisyah yang cantik. Atau karena seorang ustadz Lukman yang sungguh terhormat, saya begitu menghargai beliau.
Saya mencintai Islam, karena saya memang telah jatuh cinta padanya. Saya mencintai Islam karena Allah. Saya memeluk Islam karena Allah.
Seperti yang Aisyah pernah ucapkan, "ketika kita ikhlas, maka kebahagiaan akan mengikuti kita".
Atau seperti pepatah pak Hasan, "man saara ala darbi washala..."
Akhirnya saya menemukan jawabannya, ternyata kalimat tersebut pak Hasan ambil dari sebuah buku karya penulis terkenal, A. Fuadi. Kalau tidak salah buku tersebut berjudul 'Rantau satu muara', salah satu novel terbaik yang pernah saya baca.

Sekian ...

Nasib cinta sang pengamen

"aku ingin kita putus, Mil..." ucapku akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam. Aku menatap wajah cantik yang sejak tadi duduk di sampingku. Suara hiruk pikuk bunyi kendaraan di jalan terdengar semakin sibuk sore itu. Kami duduk disebuah bangku taman yang berada dipinggiran jalan raya.
Gadis itu, Mila, menoleh padaku. Mata kami bersirobok pandang. Tapi aku segera memalingkan wajah, menatap lalu lalang kendaraan. Aku merasakan tatapan Mila begitu tajam padaku.
"kamu kenapa, Don?" ucapnya, suaranya masih terdengar begitu lembut.
"aku? aku gak kenapa-kenapa. Aku hanya ingin kita mengakhiri semua ini.." balasku.
"iya. Tapi kenapa tiba-tiba kamu ingin putus? Dua tahun, Don. Dua tahun kita menjalin hubungan ini, tanpa ada masalah yang berarti. Sekarang tiba-tiba kamu ingin kita putus! Itu aneh, Doni.." kali ini suara Mila cukup lantang, matanya masih saja menatapku tajam.
"aku gak sanggup lagi, Mil..."
"melanjutkan hubungan kita?"
"yah..." desahku sangat pelan.

"aku butuh penjelasan, Don." Mila berujar lagi, kali ini matanya sudah tidak lagi menatapku.
"aku rasa semuanya sudah cukup jelas..."
"jelas apanya sih, Don. Jelas kalau kamu merasa tidak pantas denganku? Karena kamu hanya seorang pengamen?" Suara Mila meninggi.
Aku menarik napas, lalu berdiri.
"iya, Mil! Itu yang harusnya aku sampaikan sama kamu. Aku hanya seorang pengamen jalanan, sedang kamu adalah seorang putri. Kamu putri seorang pengusaha kaya, Mil. Sudah tidak ada lagi alasan apapun bagiku, untuk tetap bisa bersama kamu.." suaraku tertekan menahan gejolak. Hatiku sakit mendengar ucapanku sendiri.

Mila akhirnya ikut berdiri, ia melangkah mendekatiku. Kami hanya berjarak tak lebih dari setengah meter.
"lihat aku, Doni..." ucap Mila, melihat aku hanya tertunduk.
Aku mencoba mengangkat wajahku. Mata kami bertemu pandang lagi. Aku merasa jengah.
"aku tak menyangka kamu akan sepicik ini, Don. Bukankah dari awal, aku sudah katakan sama kamu, bahwa aku tak peduli dengan status kamu. Mau kamu pengamen, kek. Pemulung, kek. Itu tidak akan mengubah apa pun. Aku mencintai kamu dengan apa adanya dirimu. Selama kamu tidak membuat aku sakit, itu sudah lebih dari cukup bagiku." suara Mila terdengar sedikit serak.

Aku terdiam. Tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskannya pada Mila. Hubungan kami mungkin sudah terlalu dalam. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk kami saling mendalami perasaan masing-masing. Aku memang mencintai Mila, bahkan sangat mencintainya. Aku masih ingat, ketika awal-awal kami bertemu dulu. Bagaimana dengan begitu gigihnya Mila berusaha mendekatiku. Setelah kami berjumpa tak sengaja di dalam sebuah bis umum. Saat itu aku sedang melakukan pekerjaanku sebagai seorang pengamen. Aku biasa menaiki bis-bis yang rutin melewati jalan raya, untuk sekedar mengamen demi mendapatkan sejumlah rupiah hanya untuk bertahan hidup.
Aku hidup sebatang kara di kota ini, ayah ibuku sudah lama meninggal, sejak aku masih sangat kecil. Aku hidup di jalanan, dan mengamen adalah keahlianku.

"suara kamu bagus.." ucap Mila waktu itu, setelah ia berhasil membuntutiku saat turun dari salah satu bis yang ia tumpangi.
Aku menatap gadis cantik itu cukup lama, mencoba mengenalinya.
"kamu siapa?" tanyaku pelan.
Mila tersenyum manis, tubuh jangkungnya berbalut pakaian putih abu-abu.
"aku Karmila. Panggil aja Mila. Aku sekolah di situ.." balasnya sambil menunjuk kearah sebuah gedung sekolah yang megah.
"aku Doni.." balasku, aku menyodorkan tangan. Mila menyambut tanganku dengan lembut.
"aku belum pernah lihat kamu sebelumnya di bis.." aku berujar lagi, setelah Mila melepaskan tangannya.
"iya. Biasanya aku diantar sopir. Tapi hari ini sopirku pulang kampung, aku terpaksa naik bis ke sekolah.."
"oh.." aku membulatkan bibir.
"tapi kayaknya mulai hari ini aku bakal naik bis terus deh, ke sekolah..." ucap Mila lagi.
"kenapa?" tanyaku, keningku berkerut.
Mila tidak menjawab, ia hanya tersenyum tersipu. Mukanya memerah.

Sejak saat itu aku hampir setiap hari bertemu Mila. Awalnya kami hanya ngobrol biasa, namun kian hari, Mila kian terang-terangan menunjukkan perasaannya padaku. Hingga akhirnya dengan cukup berani, Mila mengungkapkan keinginannya untuk menjalin hubungan yang serius denganku.
"aku hanya seorang pengamen, Mil. apa kamu gak malu?" ucapku, mencoba memberi Mila pengertian.
"gak. ngapain malu. Justru aku merasa nyaman jalan bareng kamu..." balas Mila meyakinkanku.
Aku pun mencoba mengabaikan perbedaan yang ada diantara kami. Mencoba menerima kehadiran Mila untuk menghiasi hari-hariku. Mila gadis yang baik, ramah dan juga lembut.
Meski hati kecilku selalu saja meronta. Biar bagaimana pun, aku merasa cukup sadar diri, bahwa diantara kami berdua jelas sangat berbeda. Namun cinta Mila mampu membuatku kuat dan tetap bertahan hingga dua tahun hubungan kami.

Dua tahun hubungan kami, semuanya terasa indah. Kehadiran Mila benar-benar telah memberiku motivasi dan semangat dalam menjalani hari-hariku yang berat.
Dua tahun hubungan kami semuanya berjalan baik-baik saja. Meski aku tidak bisa menjanjikan apa-apa untuk Mila. Tapi Mila bisa menerima semuanya, Mila bisa menerima semua kekuranganku.
Perbedaan diantara kami tidak menjadi penghalang bagi kami untuk tetap bahagia.
Sampai akhirnya, seminggu yang lalu, aku bertemu dengan pak Teddy, papanya Mila. Tentu saja diluar sepengetahuan Mila.
"saya Teddy, papanya Mila.." begitu pak Teddy memulai pembicaraannya denganku.
Mendengar hal itu aku cukup kaget, namun aku hanya terdiam.
"Mila anak gadis saya satu-satunya. Saya hanya ingin dia bahagia. Saya hanya ingin ia mendapatkan laki-laki yang sepadan dengannya, punya masa depan yang jelas. Bukan seorang pengamen seperti kamu..." suara itu terdengar kasar di telingaku. Bahkan terasa sangat menusuk hatiku.
Aku tetap saja diam, dan pak Teddy-pun beranjak pergi meninggalkanku.

Berhari-hari aku memikirkan ucapan pak Teddy, memikirkan cara terbaik untuk mengakhiri hubunganku dengan Mila. Aku sadar sekali, apa yang dikatakan pak Teddy adalah sebuah kenyataan yang tak bisa aku hindari. Meski hatiku tercabik karenanya. Aku tak ingin tersinggung, tak ingin marah juga. Pak Teddy pantas berkata demikian. Biar bagaimanapun, sebagai seorang ayah, wajar rasanya ia menginginkan yang terbaik buat putrinya. Dan bersama denganku bukanlah yang terbaik. Untuk itu, aku akhirnya mengajak Mila bertemu, untuk mencoba menjelaskan semuanya. Mencoba untuk membuat Mila mengerti, bahwa hubungan kami tidak mungkin lagi bisa dipertahankan. Meski kami masih saling mencintai. Tentu saja, aku tidak akan menceritakan tentang pertemuanku dengan papanya. Mila tidak harus tahu hal itu.

"tidak ada yang harus aku jelaskan lagi, Mila. Aku tak sanggup meneruskan ini. Aku ingin kita mengakhirinya. Kita jalani hidup kita masing-masing.." aku berucap juga akhirnya, setelah cukup lama aku terdiam dalam tatapan tajam Mila.
"oh.." Mila hanya mendesah kecil, matanya sedikit berkaca kulihat. Namun dengan segera aku memalingkan wajah. Kuputar tubuhku membelakanginya, lalu melangkah pelan.
Setelah beberapa langkah, aku berhenti dan memutar tubuhku kembali.
"aku sudah tidak mencintaimu lagi, Mila. Aku harap kamu mengerti, dan jangan pernah mencoba menemuiku lagi..." ujarku, kemudian dengan tergesa kembali memutar tubuhku, lalu melangkah menjauh.
Hatiku terasa teriris oleh perkataanku sendiri. Aku tahu, Mila juga merasakan sakit. Sekilas kulihat air matanya mulai bergenang. Tapi rasanya ini jauh lebih baik, dari pada aku mencoba mempertahankan sesuatu yang memang bukan diciptakan untukku.

Mila mungkin akan membenciku seumur hidupnya. Menganggap aku sebagai laki-laki jahat. Separoh hatiku tak rela, namun aku tak ingin membuat semuanya semakin rumit. Hubungan kami memang tidak akan pernah bisa dipertahankan. Sampai kapanpun, papa Mila, tidak akan pernah membiarkan anak gadis semata wayangnya hidup menderita bersama seorang pengamen seperti diriku.
Mungkin semua memang harus seperti ini, kami dipertemukan, lalu saling jatuh cinta. Namun kemudian takdir akhirnya memisahkan kami. Takdirku sebagai seorang pengamen, dan takdir Mila sebagai seorang putri yang kaya raya. Kenyataan seperti itu, memang tidak bisa dipungkiri. Sebesar apa pun cinta yang kami miliki, tidak akan membuat sebuah realita menjadi lebih baik.

Sekian...

Sang mantan

Gadis itu menatapku cukup lama, keningnya berkerut. Ia seolah tak percaya dengan apa yang barusan saya ucapkan padanya.
"aku tahu aku salah, Bay. Untuk itu aku minta maaf. Dan tolong beri aku kesempatan untuk memperbaiki ini semua, serta memulainya lagi dari awal.." akhirnya Gadis itu bersuara lagi, suaranya semakin pelan.
"gak segampang itu, Na. Hatiku bukanlah sesuatu yang bisa engkau permainkan begitu saja. Setelah kamu dengan begitu mudah pergi meninggalkanku, hanya karena laki-laki lain. Sekarang kamu dengan mudahnya, meminta aku untuk kembali padamu." balasku tajam.
Nana kembali terdiam. Wajahnya murung. Sebagian kecil hatiku, tak tega melihatnya. Tapi luka yang telah ia goreskan, terlalu dalam. Tak mudah bagiku untuk memberinya kesempatan lagi.
Aku menarik napas, menatap indahnya keremangan senja. Di pinggiran sebuah pelabuhan kami bertemu. Nana yang memintanya, setelah hampir satu tahun kami tidak bertemu.
Pikiranku menerawang, mencoba mengulas kembali kenangan demi kenangan yang pernah terjadi antara aku dan Nana.

Nana gadis yang cantik, dimataku ia terlihat begitu sempurna. Dengan senyumnya yang begitu manis.
Kami bertemu tak sengaja di perpustakaan kampus, tempat kami sama-sama kuliah. Nana berada satu tingkat dibawahku.
Pertemuan tak sengaja itu, telah menghadirkan benih-benih cinta diantara kami. Terutama bagiku.
Cintaku tidak bertepuk sebelah tangan, Nana menyambutnya dengan penuh kebahagiaan.
Dua tahun hubungan kami berjalan dengan begitu manis. Tatapan penuh iri dari teman-teman kampus, melihat kemesraan kami, justru membuat kami semakin lengket. Kami sering menghabiskan waktu berdua. Nana bahkan telah kuperkenalkan kepada ibu dan adikku, Dewi. Mereka turut bahagia melihat kami.
"mbak Nana cantik sekali. Kok mau sih, sama bang Bayu...?" celetuk Dewi, ketika suatu hari aku mengajak Nana makan malam dirumah.
Aku tersenyum pasrah, mendengar ucapan Dewi yang baru beranjak remaja itu. Sementara Nana hanya tersipu, mukanya memerah.

Hari-hari berlalu begitu indah. Hingga suatu saat, tiada angin, tiada hujan, bahkan tiada badai, tiba-tiba Nana dengan terbata berucap,
"Bay, aku ingin kita putus.."
Aku menoleh penuh tanya kearah Nana. Kami duduk di bangku sebuah taman yang ada di pinggiran pelabuhan. Setengah tak percaya, aku menatap Nana.
Wajah cantik Nana memperlihatkan keseriusan dari ucapannya. Sesaat aku menganggap Nana hanya ingin mengerjaiku.
"kenapa?" tanyaku akhirnya, setelah cukup yakin kalau Nana tidak sedang bergurau.
"aku menemukan sesuatu yang lebih indah dari ini, Bay. Sesuatu yang membuatku yakin, kalau tempatku bukanlah disini. Bukan bersama kamu.." suara Nana terdengar pelan, namun mampu menghancurkan lebih dari separoh hatiku.
Aku terdiam. Marah dan terluka.
"aku harap kamu bisa melupakan aku, Bay. Karena aku telah menemukan seseorang yang lebih baik dari kamu..."
Setelah berkata demikian, Nana berdiri dan beranjak pergi tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Aku menatap kepergian Nana dengan mata yang hampir saja berkaca. Begitu mudah bagi Nana mencampakkanku. Dua tahun hubungan kami, tapi bagi Nana itu semua sungguh tiada artinya. Aku merasa hancur. Hatiku tergores luka yang begitu dalam. Harapanku terlalu besar kepada Nana. Mimpiku terlalu indah untuk kubangun bersamanya. Tiba-tiba saja semuanya berantakan, hancur berkeping. Aku mencoba menabahkan hatiku. Mencoba menerima nasib buruk yang tiba-tiba merasuki kisah cintaku. Mencoba merelakan kepergian Nana dari hidup dan hatiku. Meski hatiku terasa sangat sakit.

Hari-hari berikutnya, kulalui dengan penuh kekecewaan. Tak ingin membuka hatiku untuk siapapun. Bahkan hampir tak percaya lagi dengan yang namanya cinta.
Namun aku mencoba bangkit. Bangkit dari keterpurukanku karena cinta. Bagiku, kepergian Nana, bukanlah akhir dari segalanya. Perjalananku masih sangat panjang.
Hingga suatu hari, setelah hampir setahun kesendirianku, tiba-tiba Nana menghubungiku. Memintaku untuk menemuinya di tempat biasa, katanya.
Awalnya aku ingin menolak, tapi sebagian kecil hatiku juga ingin tahu, mengapa Nana tiba-tiba mengajakku ketemuan, setelah sekian lama ia pergi.

"aku minta maaf, Bay." begitu Nana mengawali pembicaraan kami sore itu. "aku terlalu egois meninggalkan kamu, hanya demi laki-laki lain. Aku pikir aku bisa bahagia dengannya. Tapi ternyata ia hanya laki-laki brengsek, yang tak bisa menerima aku apa adanya, seperti halnya kamu..." lanjutnya lagi.
Untuk beberapa saat, aku hanya terdiam. Mencoba memahami semua kalimat Nana barusan.
"aku ingin kembali, Bay. Aku ingin kita memulainya lagi dari awal..." Nana berucap lagi, kali ini ia beranikan diri untuk menatapku.
"maaf, Na. Aku gak bisa..." suaraku bergetar menahan gejolak. Ingin rasanya saat itu aku memaki dan mengeluarkan semua kata kotor yang selama ini terpendam dalam hatiku. Kepergian Nana telah menghancurkan semuanya. Hatiku, harapanku, semua mimpi-mimpiku. Dan sekarang, dengan begitu mudahnya ia memintaku untuk kembali, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.
Ingin rasanya saat itu, aku mengutarakan itu semua pada Nana. Tapi hatiku memilih untuk diam, dan membiarkan Nana menatapku cukup lama.

Kulihat Nana menarik napas panjang, kemudian mengalihkan pandangannya dariku. Ia ikut menatap keremangan senja yang indah itu.
"apa karena kamu sudah menemukan orang lain?" tanya Nana tiba-tiba, setelah cukup lama kami terdiam.
Aku menoleh kearah Nana sejenak,
"aku bukan kamu, Na...." jawabku pelan. "aku bukan kamu, yang dengan begitu mudahnya mencampakkan seseorang, hanya karena merasa telah menemukan sesuatu yang lebih baik..." lanjutku dengan sengaja, mengingatkan Nana akan kesalahannya.
"apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" Tanya Nana, seolah mengabaikan ucapanku barusan.
Cinta? tanyaku dalam hati. Selama ini aku tak pernah memikirkan hal itu. Sejak Nana pergi, aku seakan tak mau lagi berbicara dengan hatiku. Aku juga tidak tahu, apa aku masih mencintai Nana, setelah apa yang ia lakukan padaku?

Aku berdiri dan meletakkan kedua tanganku ke dalam saku jaket, kiri kanan. Menghela napas sejenak. Pikiranku menerawang kembali.
Nana?
Dia datang dengan cinta yang begitu indah, menghiasi hari-hariku selama hampir dua tahun. Kemudian ia pergi, hanya karena merasa telah menemukan laki-laki yang jauh lebih baik dariku. Ia pergi tanpa rasa bersalah.
Sekarang ia datang lagi, meminta maaf, lalu berharap aku bisa menerimanya kembali.
Serendah itukah aku dimata Nana?
Seolah-olah cintaku padanya bisa membuat aku buta. Buta akan semua kesalahannya. Seolah-olah cintaku padanya bisa membuatku melupakan semua rasa sakit yang ia goreskan dihatiku.
Memikirkan semua itu, aku jadi teringat akan lirik sebuah lagu, milik salah seorang penyanyi favoritku.

Lebih baik putih mata, dari pada putih tulang. Bila kuterima sisa cintamu lagi.
Lupakanlah semua, kenangan masa lalu. Dan jangan sesali apa yang telah terjadi.
Anggap saja semua, hadiah cinta....
Walaupun akhirnya kau kini yang merana..

Lagu dangdut? Ya. Lagu dangdut. Aku salah satu penggemar lagu dangdut. Terutama lagu-lagu dangdut tempo dulu... he..he..

Oke! Kembali ke Nana, yang masih saja duduk terdiam. Kali ini kulihat ia menundukkan kepala.
Aku yakin, Nana telah menyesali perbuatannya. Dan ia memang berhak mendapatkan kesempatan kedua.
Tapi....
"aku masih mencintai kamu, Na. Kamu adalah cinta terindah yang pernah singgah dalam hatiku." ucapku dengan suara lantang, mengimbangi suara deburan ombak yang menerpa tembok pelabuhan tersebut.
"tapi rasa cintaku padamu, tidak bisa membuatku melupakan semua yang telah engkau lakukan padaku. Rasanya terlalu sakit, Na. Dan aku masih punya harga diri, untuk tidak dibutakan oleh cintaku padamu. Sebesar apa pun aku mencintai kamu. Semua itu tidak akan bisa menghapus semua luka yang telah engkau goreskan...." lanjutku tanpa menoleh sedetikpun ke arah Nana.
Aku tersenyum kecut, mendengar kalimatku sendiri. Terlalu sering mendengarkan lagu dangdut, telah membuatku tanpa sadar, menjadi seorang yang puitis...

Kudengar Nana terisak, dan itu yang aku takutkan!
Bagiku, melihat seorang perempuan menangis, adalah sebuah pukulan yang sangat berat. Aku akan menjadi lemah seketika.
"aku tahu... kamu akan membenciku, Bay..." suara Nana ditengah isaknya, "tapi tak pernah kusangka akan sedalam ini..." lanjutnya.
Aku menarik napas. Bingung. Tidak tahu harus mengatakan apa.
"aku tidak membencimu, Na. Hanya saja, aku tidak bisa kembali lagi seperti dulu. Aku harap, kamu bisa memahaminya. Seperti aku yang mencoba memahami kepergianmu yang tiba-tiba..." ujarku akhirnya.

Nana menghentikan isaknya, kulihat ia mengusap pipinya sendiri, lalu berdiri dengan berat.
"aku tidak akan memohon padamu, Bay. Aku rasa, aku memang pantas menerima semua ini..." ucapnya pelan, "aku telah menyia-nyiakan cintamu yang begitu tulus padaku. Dan saat aku menyadarinya, kamu tak lagi memiliki hal itu. Aku salah. Aku pikir, aku masih punya sedikit kesempatan untuk memperbaiki semua ini dan mendapatkan ketulusan cintamu kembali.." Nana melanjutkan, sambil terus menatapku dari belakang.
"tapi ternyata, aku tidak bisa menyatukan kembali serpihan-serpihan cinta kita yang telah berserakan. Meski begitu besarnya inginku, sebesar penyesalan yang aku rasakan. Aku pergi, Bay. Aku harap tidak akan ada lagi penyesalan diujung senja lainnya..." ucap Nana mengakhiri kalimatnya.
Nana melangkah pergi. Aku menarik napas. Entah apa yang aku rasakan saat ini.
Senja pun kian temaram. Mentari telah kembali keperaduannya. Tenggelam, bersama kisah yang akan aku kubur selamanya. Setidaknya saat ini aku tahu, bahwa sebuah penghianatan, selalu akan berakhir dengan sebuah penyesalan. Semoga saja Nana bisa mengambil hikmah dari semua kisah ini.
Semoga saja, ia bisa menemukan kembali kebahagiaan yang dulu pernah ia sia-siakan.
Dan aku, akan tetap melangkah menuju peraduan yang lebih baik. Menuju sebuah perhentian, yang mungkin telah menungguku di ujung senja yang lain....

Sekian...

Kisah Cinta dalam Do'a, Ali dan Fatimah

Ali bin Abi Thalib adalah seorang pemuda miskin yang hidup dalam kesederhanaan. Ali merupakan salah seorang sahabat baginda Rasulullah Saw. Ia sangat dekat dengan baginda Nabi. Ali adalah seorang pemuda yang sangat taat. Kepribadiannya sangat dikagumi oleh baginda.
Dalam suatu kesempatan Ali akhirnya bertemu dengan putri Rasulullah, yakni Fatimah Az-Zahra. Seorang gadis yang sangat cantik dan sangat saleha.
Sebagai seorang putri dari baginda Rasulullah, Fatimah sangat menjaga sikap dan perilakunya. Hal itulah yang akhirnya membuat Ali jatuh cinta padanya. Sosok Fatimah yang lembut dan penuh kasih sayang, membuat Ali begitu mengagumi Fatimah.
Meski demikian, Ali sangat menyadari akan keadaan dirinya yang tidak memiliki apa-apa. Ali hanya bisa memendam perasaannya kepada Fatimah. Ia tidak pernah menceritakan tentang perasaannya itu kepada siapapun. Diam-diam setiap malam, Ali selalu berdo'a kepada Allah, agar ia bisa menjadi pendamping bagi Fatimah.

Karena cintanya yang begitu besar dan tulus, Ali berusaha keras untuk mengumpulkan uang agar bisa melamar Fatimah dengan mahar yang pantas. Ali juga berusaha memperbaiki akhlaknya. Setiap hari ia belajar banyak dari Rasulullah untuk menjadi sosok yang pantas untuk mendampingi Fatimah. Sambil terus berdo'a, agar Allah mempermudah perjuangannya.
Dalam masa perjuangan itulah, tiba-tiba ia mendapat kabar, jika Fatimah yang sangat ia cintai itu, akan dilamar oleh salah seorang sahabat Rasulullah yang sangat terkenal kesolehannya, yakni Abu Bakar As- Shidiq.
Ali merasa tidak punya harapan lagi untuk dapat menjadi suami dari Fatimah, biar bagaimana pun Abu Bakar As-Shidiq adalah sosok laki-laki yang tepat untuk menjadi pasangan Fatimah.
Rasulullah pasti akan dengan senang hati menikahkan putrinya dengan laki-laki itu.
Ali hanya bisa berpasrah diri mendengar kabar tersebut.

Namun ternyata, diluar dugaan Ali, Fatimah menolak lamaran dari Abu Bakar As-Shidiq. Ali bergembira mendengar kabar tersebut, ia merasa punya kesempatan lagi untuk menjadikan Fatimah pasangan hidupnya. Usaha dan do'a-nya semakin ia perbanyak setiap harinya.
Tetapi tak lama kemudian, harapan Ali kembali kandas, ketika tersiar kabar, kalau Fatimah akan dilamar oleh Umar bin Khattab, salah seorang sahabat Rasulullah yang juga memiliki kesolehan yang luar biasa hebat.
Umar bin Khattab adalah sosok sahabat yang sangat terkenal dengan ketakwaan dan keteguhan imannya. Ia sangat berperan penting membantu Rasulullah dalam perjuangannya menegakkan agama Islam.
Mendengar kabar tersebut, Ali kembali merasa tidak punya kesempatan. Ia merasa kalau Fatimah bukanlah tercipta untuk dirinya. Fatimah terlalu sempurna untuk dirinya yang hanya seorang pemuda miskin dan tak memiliki apa-apa.

Tapi ternyata, sekali lagi, Fatimah kembali menolak lamaran dari Umar bin Khattab. Ali merasa lega mendengar hal tersebut. Namun dari dalam hatinya terselip keraguan yang mendalam.
Kalau sosok seperti Abu Bakar As-Shidiq dan Umar bin Khattab saja, yang sangat soleh dan taat, ditolak oleh Fatimah. Lalu bagaimana dengan dirinya? Jika dibandingkan dengan Abu Bakar dan Usman, ia merasa tidak ada apa-apanya. Bagaimana mungkin Fatimah bisa menerima seseorang seperti dirinya? Ali membathin dalam keraguannya.

Ali pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk melamar Fatimah, ia menceritakan hal tersebut kepada sahabatnya, Abu Bakar.
"wahai sahabatku Abu Bakar, demi Allah, seperti halnya dirimu, aku juga menginginkan Fatimah. Tapi jika orang seperti anda dan Usman saja ditolak, bagaimana dengan diriku yang tidak punya apa-apa ini?"
Mendengar hal tersebut, Abu Bakar pun berkata kepada Ali,
"wahai Ali, janganlah engkau berkata demikian. Bagi Allah dan Rasul-Nya, dunia dan seisinya hanyalah ibarat debu yang berterbangan saja."

Mendengar ucapan dari Abu Bakar tersebut, Ali kembali termotivasi. Cintanya kepada Fatimah begitu tulus, jika Allah memang mengizinkan mereka untuk bersama, maka akan mudahlah segalanya. Namun jika Allah berkehendak lain, ia akan menerimanya dengan ikhlas.
Dengan keadaan demikian, Ali pun memberanikan diri untuk datang kerumah Rasulullah dan menyampaikan niatnya, sambil tak lupa ia terus berdo'a di sepanjang perjalanannnya.
"apa yang engkau miliki ya Ali bin Thalib, sahabatku. Untuk engkau jadikan mahar, melamar putriku?" berkatalah Rasulullah kepada Ali, setelah ia mendengar pernyataan dari Ali.
"Demi Allah, ya Rasulullah, seperti yang engkau ketahui, bahwa aku tidaklah memiliki apa-apa, kecuali sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta.." balas Ali dengan suara pelan.

Mendengar jawaban Ali, Rasulullah pun tersenyum lantas mengatakan,
"Tentang pedangmu, engkau tetap memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu, engkau tetap memerlukannya untuk mengambil air bagi keluargamu juga bagi dirimu sendiri. Engkau tentunya memerlukannya untuk melakukan perjalanan jauh. Oleh karena itu, aku hendak menikahkanmu dengan mas kawin baju besi milikmu. Aku bahagia menerima barang itu darimu Ali. Engkau wajib bergembira sebab Allah-lah sebenarnya yang Maha Tahu lebih dulu. Allah-lah yang telah menikahkanmu di langit lebih dulu sebelum aku menikahkanmu di bumi." (HR. Ummu Salamah).

Ali pun bergembira mendengar hal tersebut, ia sangat bersyukur kepada Allah.
Ali dan Fatimah pun akhirnya menikah dengan mahar sebuah baju besi milik Ali.
"wahai suamiku, aku ingin menceritakan suatu hal padamu. Aku berharap engkau tidak marah padaku." ucap Fatimah kepada Ali, ketika sudah beberapa hari mereka menikah.
"hal apakah itu, wahai istriku?" bertanya Ali kepada Fatimah kemudian.
"sebenarnya sebelum kita menikah, aku telah jatuh cinta kepada seorang pemuda. Pemuda itu sangat baik dan soleh. Aku jatuh cinta padanya dan selalu berdo'a setiap malam, agar aku bisa menikah dengannya. Bertahun-tahun aku menunggu untuk dilamarnya. Bertahun-tahun aku berdo'a setiap malam untuk bisa menikah dengannya." balas Fatimah, sambil terus menatap lembut kepada suaminya.
Mendengar ucapan Fatimah barusan, Ali mencoba menahan gejolak di dalam hatinya. Kemudian ia bertanya kembali,
"siapakah gerangan pemuda yang sangat beruntung itu, wahai istriku?"

"pemuda itu bernama Ali bin Abi Thalib, wahai suamiku. Ia adalah dirimu, yang sekarang sudah menjadi suamiku..." jawab Fatimah dengan senyum manja.
Ali merasa gemas, mendengar hal tersebut. Dengan serta merta ia mengecup kening Fatimah dengan penuh kasih sayang.
Ternyata selama ini, Ali dan Fatimah selalu melantunkan do'a yang sama setiap malam, hingga akhirnya mereka dipersatukan Allah, dalam sebuah ikatan pernikahan yang suci.
Cinta mereka begitu indah dan tulus.
Tidak ada seorang manusia pun yang tahu akan kebesaran cinta mereka berdua. Tapi seluruh penghuni langit telah mengetahuinya, melalui do'a-do'a mereka berdua.
Begitu hebatnya sebuah do'a, yang dapat menyatukan dua hati yang memang saling mencintai.
Menyatukan dua hati yang saling mencintai atas ridho Allah Swt.

Sejak awal Fatimah memang mengagumi sosok Ali yang sopan dan bersahaja. Pemuda itu telah mampu mengetuk hatinya sejak lama. Ketaatan dan kesolehan seorang Ali telah membuat Fatimah begitu mengaguminya. Namun Fatimah tidak pernah sekalipun mengungkapkan hal itu, apa lagi mengumbarnya kepada orang-orang. Ia hanya memendam semua rasa cintanya, dan ia lantunkan perasaannya dengan bait-bait do'a yang begitu tulus, disambut oleh alunan do'a dari Ali yang begitu syahdu. Sampai Allah akhirnya membalas do'a-do'a mereka dengan begitu indah.

Sungguh sebuah kisah cinta yang begitu sempurna. Sangat jauh dari fitnah dan prasangka. Mereka pasrahkan semuanya kepada Allah, sebagai pemilik segala kehidupan.
Sebuah kisah cinta yang tidak lagi bisa kita temukan dalam kehidupan zaman modern saat ini.
Dimana orang-orang dengan gamblang menceritakan perasaan cintanya kepada siapa pun.
Bukan kepada Tuhan meraka, yang merupakan pemilik cinta yang sesungguhnya.

Sekian...

Kisah Si Badui yang hendak menghisab Allah Swt...

Pada zaman dahulu kala, zaman dimana baginda Rasulullah Saw masih hidup.
Terdapatlah sebuah kisah tentang seorang Badui yang baru saja memeluk agama Islam.
Si Badui ini, diceritakan dalam sejarah, adalah berasal dari keluarga yang kurang mampu. Kehidupan ekonominya sangat terbatas, dan ia tinggal sangat jauh dari Madinah.
Si Badui belum pernah bertemu secara langsung dengan Nabi Muhammad Saw.
Ia memeluk Islam dan belajar tentang Islam dari para pemuka kabilahnya yang pernah mendapat pengajaran dari baginda Rasulullah Saw.
Tetapi dengan segala keterbatasannya itu, si Badui mampu menjadi seorang mukmin yang taat, dan bahkan ia sangat mencintai Rasulullah Saw, meski ia belum pernah berjumpa.
Ia sangat mengagumi sosok Rasulullah Saw, dan ia berharap suatu saat kelak ia bisa bertemu langsung dengan baginda Rasulullah Saw.
Selama ini si Badui hanya mendengar tentang kehebatan Rasulullah dari cerita-cerita kaum muslimin lainnya.

Pada suatu ketika si Badui mengikuti rombongan kabilahnya yang melaksanakan ibadah umroh ke Mekkah. Sebagai seorang yang baru saja memeluk Islam, si Badui belum mengetahui dengan benar bagaimana cara pelaksanaan ibadah umroh sesuai ajaran Nabi Saw.
Untuk itu ia mencoba memisahkan diri dari rombongannya, dan membaca satu-satunya dzikir yang ia hafal, berulang-ulang.
"yaa Kariim, yaa Kariim, yaa Kariim...." tasbihnya terus-menerus.
Dia berdzikir sendirian, sengaja menjauh dari orang-orang lainnya.

Si Badui memang bukanlah seorang yang cerdas, sehingga ia belum mampu menghafal dengan tepat do'a atau dzikir yang seharusnya orang-orang baca ketika thawaf.
Ia hanya membaca dzikir 'ya Kariim' berulang-ulang dengan sangat khusyu'.
Saat ia sedang berdzikir sendirian itulah, tiba-tiba seorang laki-laki berjalan mengikutinya dari belakang, sambil mengucapkan juga dzikir, "yaa Kariim... yaa Kariim..." berulang-ulang seperti yang dilakukan si Badui.
Mendengar hal tersebut, si Badui pun berpindah dan menjauh dari orang tersebut, sambil terus melafadzkan dzikirnya. Si Badui mengira orang tersebut hanya memperoloknya.
Namun laki-laki tersebut terus saja mengikutinya kemana pun si Badui berjalan dan menghindar.
Laki-laki itu masih saja mengikuti si Badui sambil terus mengucapkan dzikir yang sama.

*****

Merasa terus diperolok-olok, si Badui menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya menghadap laki-laki tersebut. Ia melihat seorang laki-laki dengan wajah sangat cerah dan berbadan sangat tegap.
Dengan sedikit tergagap si Badui pun berucap,
"wahai orang yang berwajah cerah, apakah anda sedang memperolok saya? Demi Allah, kalau tidak karena wajahmu yang cerah dan badanmu yang indah, tentu saja saya sudah mengadukan kamu kepada kekasihku...."
Laki-laki yang berdiri di hadapan si Badui pun tersenyum sambil berkata,
"wahai saudaraku, siapakah kekasihmu itu?"
"ia adalah Nabiku, Muhammad Rasulullah Saw..." balas si Badui dengan suara lantang.

Mendengarkan ucapan si Badui barusan, laki-laki tersebut semakin melebarkan senyumannya.
"wahai saudaraku Badui, apakah engkau belum mengenal dan bertemu dengan kekasihmu itu..?" laki-laki itu bertanya lagi, suaranya begitu lembut.
"tentu saja belum..." si Badui menjawab pelan.
"bagaimana mungkin kamu bisa mencintai seseorang yang bahkan engkau belum mengenalnya dan belum bertemu dengannya? Bagaimana bisa engkau mengimaninya?" tanya laki-laki itu lagi.
Si Badui berpikir sejenak, lalu dengan tegas menjawab,
"saya beriman atas kenabiannya, meski saya belum pernah melihatnya. Saya membenarkan kerasulannya meski saya belum pernah bertemu dengannya..."

Laki-laki itu tersenyum lagi dan menatap si Badui cukup lama.
"wahai saudaraku orang badui, saya inilah orang yang engkau cintai tersebut. Saya inilah Nabimu di dunia, dan pemberi syafaat padamu di akhirat kelak..." laki-laki itu berkata dengan penuh kelembutan.
Si Badui menatap tajam laki-laki itu, ia sempat berpikir kalau laki-laki tersebut hanya memperoloknya lagi. Tapi melihat penampilan dan cara berbicara laki-laki dihadapannya, si Badui sangat yakin bahwa orang tersebut ialah baginda Rasulullah Saw yang sangat dirinduinya selama ini.
Lelaki yang berdiri dihadapan orang Badui tersebut memanglah sosok Nabi Muhammad Saw, yang juga sedang melaksanakan ibadah umroh saat itu. Baginda Rasulullah sengaja mengikuti si Badui, karena melihat tingkahnya yang unik dan polos, menyendiri, tetapi tampak begitu khusyu' melafadzkan dzikirnya.

Si Badui masih menatap Rasulullah Saw setengah tak percaya, matanya berkaca penuh keharuan. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan sosok yang selama ini sangat ia kagumi. Sambil menahan haru si Badui pun berjalan dengan pelan mendekati Rasulullah, ia menunduk dan hendak mencium tangan Nabi Muhammad Saw. Namun Rasulullah segera memegang pundak si Badui dan beliau pun berkata,
"wahai saudaraku, jangan perlakukan saya sebagaimana orang-orang asing memperlakukan para rajanya, karena sesunggunya saya diutus oleh Allah bukanlah sebagai orang yang sombong dan sewenang-wenang. Allah mengutus saya dengan kebenaran, sebagai pemberi kabar gembira (yakni akan kenikmatan di syurga) dan pemberi peringatan (akan pedihnya siksa api neraka) ..."

Si Badui masih menatap penuh kekaguman, hatinya begitu gembira bisa bertemu dengan baginda Rasulullah Saw.
Saat itulah tiba-tiba malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad Saw, menyampaikan salam dan penghormatan dari Allah Swt kepada beliau, dan Allah memerintahkan beliau untuk menyampaikan beberapa kalimat kepada orang Badui tersebut.
Rasulullah pun menyampaikan kalimat tersebut kepada si Badui,
"hai Badui, sesungguhnya Kelembutan dan Kemuliaan Allah (yakni makna asma Allah ; yaa Kariim) bisa memperdayakan. Dan Allah akan menghisab (memperhitungkan)-nya dalam segala hal, baik yang sedikit ataupun yang banyak, yang kecil maupun yang besar..."
Mendengar ucapan Rasulullah tersebut, si Badui pun bertanya...
"ya Rasulullah, apakah Allah Swt akan menghisab saya?"
"iya. Dia akan menghisabmu jika Dia menghendaki..." jawab Rasulullah.

Si Badui tiba-tiba berucap sesuatu yang tak disangka-sangka,
"demi Kebesaran dan Keagungan-Nya, jika Dia menghisabku, aku juga akan menghisab-Nya...!"
Nabi Muhammad Saw tersenyum kembali mendengar ucapan si Badui tersebut, beliau pun bersabda,
"dengan apa engkau akan menghisab Tuhanmu, wahai Badui saudaraku?"
"jika Tuhanku menghisabku atas dosaku, aku akan menghisab-Nya dengan maghfiroh-Nya, jika Dia menghsiabku atas kemaksiatanku, aku akan menghisab-Nya dengan Afwan (pemaafan)-Nya, dan jika Allah menghisabku karena kekikiranku, aku akan menghisab-Nya dengan kedermawanan-Nya..." ucap si Badui lagi.

Nabi Muhammad Saw sangat terharu mendengar jawaban si Badui, sampai beliau menangis meneteskan air mata yang membasahi jenggotnya. Jawaban yang sangat sederhana, namun mencerminkan betapa 'akrabnya' si Badui Sang Pencipta-nya, betapa tinggi tingkat ma'rifatnya kepada Allah, padahal ia belum pernah mendapatkan didikan langsung dari baginda Rasulullah Saw.
Sekali lagi malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad Saw dan berkata,
"wahai Muhammad, Tuhanmu, Allah Swt mengirim salam kepadamu dan berfirman : kurangilah tangismu, karena hal itu melalaikan malaikat-malaikat pemikul Arsy dalam tasbihnya. Katakan kepada saudaramu, si Badui, ia tidak usah menghisab kami dan kami tidak akan menghisab dirinya, karena ia adalah (salah satu) pendampingmu kelak di syurga..."
Rasulullah pun dengan segera mengusap air matanya. Beliau tersenyum menatap kagum kepada sosok si Badui yang masih berdiri di depannya.

Sekian...

Kisah pilu seorang pendosa besar...

Orang-orang memanggil ku Abe, begitu lah nama sapaan ku sehari-hari.
Dan ini adalah kisah ku.
Tidak ada yang istimewa sebenarnya dari kisah ku. Semua nya biasa saja.
Aku hanya laki-laki biasa, terlahir dari keluarga biasa, di besarkan dengan cara biasa dan tumbuh menjadi orang yang biasa.
Dan sebagai manusia biasa, dalam hidup aku melakukan banyak kesalahan.
Kesalahan-kesalahan itu terjadi begitu saja, bahkan ada yang dengan sengaja aku lakukan.

Dan tentunya sebagai manusia biasa, aku tidak punya banyak keinginan. Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan sebagai mana yang orang-orang lain rasakan. Aku hanya ingin menikmati hidupku.
Itu saja! ya, hanya itu!

Tapi hidup tak pernah berjalan seperti yang aku harapkan. Hidup terlalu berat bagiku. Hidup ku terlalu rumit dan membosankan.

Semua penderitaan ku berawal ketika Ibu ku meninggal, saat aku masih berusia enam tahun. Saat aku masih sangat kecil dan belum mengerti arti sebuah kehilangan.
Lima tahun kemudian, ayah ku pun menyusul ibuku. Jadi lah aku seorang yatim piatu pada usia ku masih sebelas tahun.
Aku dirawat dan dibesarkan oleh kakak-kakak ku.
Pada usia itu, tentu saja aku masih belum merasa kehilangan. Aku masih merasa baik-baik saja.
Hidup, ku jalani sebagai mana layak nya seorang anak-anak.

Waktu pun terus berputar, dan aku pun mulai tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa. Aku tumbuh menjadi dewasa jauh lebih cepat dari pada orang-orang pada umumnya.
Bagaimana tidak, setelah lulus SMP aku tidak bisa lagi melanjutkan sekolah ku, karena kakak-kakak ku tidak mampu lagi membiayai sekolah ku.
Aku putus sekolah dan mulai melakukan pekerjaan yang hanya dilakukan oleh orang dewasa pada umumnya. Semua itu aku lakukan hanya untuk bisa bertahan hidup.
Karena aku tidak bisa berharap banyak kepada kakak-kakak ku, biar bagaimana pun mereka juga punya keluarga dan anak-anak yang harus mereka biayai.
Dan aku harus berjuang sendiri untuk hidup ku.

Sejak saat itu, aku pun mulai bergaul dan berteman dengan orang-orang yang sudah dewasa.
Dan aku pun terjerumus dalam lembah hitam penuh dosa.
Aku mulai mengenal dunia kelam, aku sudah mulai mabuk-mabukan, memakai narkoba dan berbagai jenis barang haram lainnya.
Aku tak pedulikan lagi masa depan ku, keluarga ku dan bahkan aku tak peduli lagi dengan hidup ku.
Yang ingin aku lakukan hanyalah menikmati hidup dengan caraku. Meski aku tahu itu salah.
Tapi aku marah pada kehidupan.

Aku marah pada takdir. Aku marah kepada kedua orang tua ku, yang pergi begitu cepat, saat aku masih sangat membutuhkan mereka. Saat aku masih begitu rapuh dan ingin mereka selalu ada di dekat ku.
Bahkan aku marah kepada Tuhan, mengapa Ia dengan begitu tega mengambil kedua orang tua ku di saat aku belum jadi apa-apa. Di saat aku masih begitu lemah.

Aku kehilangan pegangan dalam hidup. Aku kehilangan arah dan bahkan aku kehilangan harapan!
Hingga aku tumbuh menjadi laki-laki liar.
Aku tumbuh menjadi orang yang hampir tidak punya perasaan. Aku akan begitu mudah memukuli siapa saja yang mencoba mengganggu ku.
Tiada hari yang aku lewati tanpa melakukan perbuatan dosa.
Mabuk-mabukan sudah menjadi hobi ku. Berzina sudah menjadi kebiasaan ku setiap hari.
Orang-orang menjadi takut padaku, karena bahkan aku pernah membunuh orang yang tidak bersalah.
Aku keluar masuk penjara beberapa kali. Tapi itu tidak membuat aku jera.

Aku hanya menuntut keadilan pada dunia, kepada Tuhan. Dia yang menciptakan dunia ini, dan Dia harus bertanggung jawab atas semua ketidakbahagiaanku.
Aku benar-benar marah pada kehidupan ini. Bahkan sangat marah!

Sejak kecil aku sudah terbiasa kerja keras, banting tulang, peras keringat. Namun selalu saja nasib tak pernah memihak pada ku. Cita-cita ku, keinginan ku tenggelam. Karena aku memang tidak pernah beruntung sebagai seorang Abe di dunia ini.
Tapi sebagai laki-laki dan tentu saja untuk bertahan hidup aku harus kuat menghadapi kegagalan demi kegagalan yang aku alami.
Namun sekarang aku bahkan sudah tidak yakin pada diri ku sendiri, kalau aku masih mampu meraih sedikit saja dari semua impian ku.

Aku tidak mengharapkan untuk hidup bergelimang harta.
Tidak sama sekali!
Aku hanya ingin merasakan kasih sayang, yang sejak kecil bahkan belum pernah aku rasa kan.
Tapi siapa yang mau peduli pada  ku.
Di mata orang-orang aku hanya lah sampah!

****************

Aku masih saja terus menjalani hidup ini dengan semua kebiasaan burukku. Dengan terus bergelimang dosa-dosa yang semakin hari semakin tak bisa aku hindari.
Aku tak mengenal cinta dalam hidup ku, aku bisa mendapatkan perempuan mana pun yang aku inginkan, meski dengan sedikit paksaan.
Karena memang aku terlahir cukup tampan dan memiliki tubuh yang atletis, yang terbentuk oleh penderitaan hidupku.

Aku tak mengenal cinta dan bahkan aku membencinya.
Aku pernah jatuh cinta dan mencoba menjalin hubungan yang serius, tapi aku tak pernah mendapat restu dari kedua orang tua kekasihku.
Seperti yang aku katakan, di mata orang-orang aku hanyalah sampah, tidak punya masa depan yang jelas dan tidak memiliki kehidupan yang mapan.
Orang tua mana yang akan dengan begitu mudah, mengizinkan anak gadisnya hidup bersama dengan orang sepertiku.
Tidak satu pun! Dan tak kan pernah ada.
Dan aku juga tidak peduli akan semua itu.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Hingga suatu saat, Tuhan akhirnya menghajarku!
Aku mengalami sebuah kecelakaan yang sangat parah. Aku koma di rumah sakit, selama sepuluh hari. Aku tak sadarkan diri.
Selama masa koma itu lah, aku seakan mendapat pencerahan. Aku bermimpi bertemu kedua orangtuaku. Mereka sangat marah pada ku, mereka seperti membenciku. Dan aku menangis tersedu-sedu dalam mimpiku. Aku ingin meminta maaf kepada kedua orangtuaku, tapi sepertinya mereka tak mau lagi mendengarku. Mereka pergi menjauh dan hilang. Aku mencoba memenggil mereka sekeras-kerasnya, namun suaraku tertahan dan yang keluar hanyalah rintihan kesakitan.
Aku pun tersadar dari koma ku, tak sadar air mataku pun menetes.
Semua kakak dan keluargaku sudah berkumpul di dekatku. Wajah mereka menunjukkan kesedihan yang tampak begitu tulus di mataku.

Aku pun terhenyak, luka-luka ku akibat kecelakaan itu masih terasa sangat sakit. Namun yang paling menyakitkan dari semua itu adalah, ketika aku tahu, aku telah kehilangan sebelah kakiku. Kaki kiri ku harus di amputasi karena mengalami patah yang sangat parah. Tuhan telah mengambilnya dengan paksa dariku.
Seketika aku sadar, ini adalah salah satu bentuk teguran Tuhan pada ku. Atau bahkan ini adalah hukuman untuk semua dosa-dosa ku.
 
Aku kehilangan satu kakiku, dan kehilangan bukanlah hal yang baru bagiku. Aku sudah terlalu biasa dengan yang namanya kehilangan. Dan aku tidak ingin menangisinya atau pun menyesalinya.
Takdirku memang selalu buruk, keberuntungan tidak pernah benar-benar datang padaku.
Dan aku membenci semua itu.

**************

Waktu terus berlalu dan aku membiarkan takdir menjalankan tugasnya. Berbulan-bulan aku hidup dan berjalan dengan memakai satu tongkat. Untunglah kakakku masih mau merawatku.
Hampir setiap malam, aku selalu di hantui oleh mimpiku. Mimpi bertemu ayah dan ibuku. Mereka selalu datang dalam mimpiku dengan keadaan marah dan kecewa.
Aku menghabiskan hari-hariku merenungi semua itu. Aku pun mulai membaca beberapa buku tentang menjadi seorang muslim yang baik.
Ya, dari kecelakaan yang ku alami dan dari mimpi-mimpiku, aku mulai sadar, kalau apa yang aku lakukan selama ini adalah sebuah kesalahan.
Dan Tuhan sudah menegurku berkali-kali. Namun selama ini hatiku begitu tertutup oleh kekecewaanku terhadap hidup.

Sekarang aku mulai menghafal kembali bacaan-bacaan sholat, yang sempat aku pelajari pada waktu aku sekolah dulu. Mulai membaca Al-Qur'an kembali. Aku mulai melaksanakan sholat yang sudah sangat lama aku tinggalkan.
Aku mulai mendekatkan diriku kepada Tuhan yang selama ini aku benci.
Tengah malam aku pun bersujud, memohon ampunan kepada Allah. Berharap semoga Allah masih mau memberikan aku kesempatan, untuk memulai kembali hidupku.
Memulai hidupku yang baru. Meninggalkan semua kezholiman yang pernah aku lakukan.
Aku manangis tersedu-sedu, mengingat semua dosa-dosaku. Sadar betapa tak berharganya aku di mata Allah. Betapa rendahnya aku dan betapa hinanya apa yang lakukan selama ini.
Betapa kecewanya kedua orangtuaku atas semua perbuatanku selama ini.

Aku hanya seorang pendosa yang berusaha mendapatkan Rahmat Tuhan kembali. Hidupku bagai dipenjara sunyi, siang berlumur dosa malam pun berteman sepi, tiada tempat mengadu. Namun kenyatan tak jua aku temui.
Dosa-dosaku sudah terlalu banyak. Aku hidup dalam lumpur dosa selama ini. Mungkinkah masih ada kesempatanku untuk memperbaiki semuanya?
Ataukah tak ada tempat lagi untuk orang sepertiku ini?
Semua tanyaku tak terjawab.
Aku dirundung pilu setiap hari dan Tuhan masih belum juga menjawab do'a-do'aku.

Tak mudah memang, melepaskan diri dari semua kebiasaan buruk yang hampir sudah mendarah daging. Tapi aku harus berjuang. Aku harus bisa. Tak peduli sebesar apapun resiko yang harus aku hadapi nanti.
Aku harus meminta maaf kepada siapa pun yang pernah aku sakiti dulu.
Aku tahu, terlalu banyak waktu yang aku buang percuma selama ini. Aku telah menyia-nyia kan hidupku. Dan aku tidak akan mengulanginya. Meski aku harus melanjutkan hidupku hanya dengan satu kaki.
Aku benar-benar berharap kelak suatu saat aku akan menemukan kebahagiaan yang selama ini aku harapkan.
Atau justru sebaliknya, aku akan kembali terjerumus dalam lumpuran dosa, yang bahkan mungkin akan jauh lebih parah?!

****

Sekian ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate