Security tampan itu, pacarku (part 2) Dio Version

Dio ...

Namanya Abe. Aku biasa memanggilnya bang Abe. Dan dia adalah pacarku.

Aku pacaran dengan bang Abe sudah hampir setahun.

Setiap malam aku dan bang Abe selalu tidur bersama di rumahnya.

Aku seorang security dan bang Abe sendiri adalah seorang mandor panen. Kami sama-sama bekerja di sebuah perusahaan sawit yang cukup besar.

Sebagai seorang karyawan tetap di perusahaan tersebut, bang Abe memang mendapat jatah sebuah rumah di perusahaan tersebut. Dan di rumah itulah kami selalu bertemu hampir setiap malam untuk memadu kasih.

Bagaimana kisah cinta kami terjalin awalnya, bisa kalian simak pada kisah sebelumnya di channel ini.

Atau bisa langsung klik pada deskripsi video ini.

Dan kali ini saya akan bercerita tentang kelanjutan kisah cinta kami yang sudah terjalin dengan manis selama hampir setahun ini.

Seperti apakah kelanjutan kisah cinta kami?

Simak sampai selesai ya..

Namun sebelumnya ... bla...bla...

****

Aku benci bang Abe. Aku sangat membencinya saat ini.

Setelah hampir setahun pacaran, tiba-tiba saja ia memutuskan untuk menikah dengan gadis pilihan orangtuanya di kampung.

Padahal ia sudah berjanji, tidak akan pernah meninggalkan ku walau apapun yang akan terjadi. Tapi nyata nya....

"maafkan aku, Dio..." pelan suara bang Abe sore itu, saat akhirnya ia datang kembali menemui ku, setelah selama dua minggu dia berada di kampungnya untuk melangsungkan pernikahannya.

Hatiku masih terasa sakit. Sangat sakit.

Dua minggu yang lalu, bang Abe tiba-tiba saja pamit padaku untuk pulang ke kampung halamannya karena harus menikah.

Saat itu, bang Abe pergi seperti tanpa ada merasa bersalah sedikit pun. Dia pergi benar-benar tiba-tiba.

Dan sekarang ia datang lagi, dengan kalimat permintaan maafnya.

Semudah itukah? Bathin ku lirih.

"aku benar-benar minta maaf, Dio." bang Abe mengulangi kalimatnya. Aku masih diam.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Ingin rasanya aku mencurahkan semua kekecewaanku padanya. Namun bibirku terasa kaku, karena harus menahan perih di hatiku.

"sebenarnya aku ingin menjelaskan semua ini dari awal, Dio. Tapi aku tidak punya keberanian untuk mengatakannya. Aku takut kamu akan membenciku.." ucap bang Abe lagi.

"lalu bang Abe pikir, sekarang aku tidak membenci bang Abe?" suaraku bergetar.

"iya, aku tahu. Aku sangat mengerti apa yang kamu rasakan saat ini, Dio. Tapi seandainya saja kamu tahu, bahwa aku juga tersiksa dengan semua ini.." bang Abe membalas, suaranya mulai parau.

"kalau bang Abe merasa tersiksa, lalu kenapa bang Abe tidak menolak saja perjodohan tersebut?" tanyaku sedikit sengit.

"seandainya saja aku bisa menolaknya, aku sudah pasti akan menolaknya, Dio. Tapi seandainya saja kamu tahu, seperti apa watak kedua orangtuaku. Mereka sangat keras, Dio. Dan aku tidak ingin menjadi anak yang durhaka.." jelas bang Abe, suaranya masih parau.

"tapi bukankah bang Abe sudah berjanji padaku, tidak akan pernah meninggalkanku..." suaraku masih sengit.

"aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Dio. Aku sangat mencintai kamu. Karena itu aku kembali kesini, hanya untuk kamu.." balas bang Abe pelan.

"tapi faktanya sekarang bang Abe sudah menikah, dan itu sangat membuat aku terluka.." suaraku ikut memelan, hatiku terasa perih.

"aku memang harus menikah, bukan saja karena harus mengikuti keinginan orangtuaku. Tapi juga karena begitulah kodrat ku sebagai seorang laki-laki.." ucap bang Abe.

"namun sekali pun aku sudah menikah, aku masih tetap mencintai kamu, Dio. Aku masih milik kamu seutuhnya. Kita masih bisa tetap bersama, seperti biasa. Aku akan selalu ada untuk kamu, Dio."

"aku hanya akan pulang ke kampung menemui istri ku, sekali dalam seminggu, yaitu setiap sabtu sore dan minggu sorenya aku akan kembali lagi kesini. Aku milik kamu selama aku disini. Kita tetap bisa bersama-sama. Tidak ada yang berubah, Dio." lanjut bang Abe.

"tapi tetap saja aku merasa sakit, bang. Membayangkan abang tidur bersama orang lain, adalah hal paling menyakitkan bagiku. Dan aku tidak rela. Bang Abe hanya milikku." ucapku tegas.

"maafkan aku, Dio. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan keadaanku saat ini. Aku hanya berharap kamu bisa mengerti." balas bang Abe.

"tapi aku tidak bisa, bang. Harus berbagi bang Abe dengan orang lain.." suaraku tegas lagi.

"aku mohon kamu mengerti, Dio. Tak ada bedanya, kan? Selama kita masih bisa bersama." bang Abe berucap, sambil mulai mendekat.

"mudah bagi bang Abe berucap seperti itu. Karena disini aku yang jadi korban, bang. Bukan bang Abe. Aku yang harus menahan rasa cemburuku, setiap kali abang bersama istri abang. Aku sakit, bang. Aku tak sanggup menjalani hubungan seperti itu.." suaraku sedikit terbata.

"aku sangat mengerti bagaimana perasaan kamu Dio. Tapi aku juga memohon sama kamu, untuk bisa mengerti posisiku saat ini. Aku juga sakit. Aku juga terluka.." suara bang Abe terdengar parau lagi.

"enam malam kita bersama, Dio. Dan hanya satu malam aku habiskan waktuku bersama istriku. Apa itu masih belum cukup?" bang Abe melanjutkan.

"entahlah, bang. Aku hanya tak ingin berbagi bang Abe dengan siapa pun, sekali pun itu istri bang Abe.." ucapku pelan.

"aku tidak berbagi diriku dengan orang lain, Dio. Hatiku hanya untukmu.." ucap bang Abe lagi, kali ini ia menatapku tajam.

"tapi tubuh bang Abe juga di sentuh orang lain. Dan itu yang membuat aku sakit.." balasku sambil sedikit menunduk, menghindari tatapan tajam mata bang Abe.

"sebagai seorang suami, aku memang harus menjalankan kewajibanku kepada istriku. Tapi hatiku tetap utuh untukmu, Dio. Dan tidak ada yang akan bisa mengubah itu semua.." bang Abe membalas, ia mengalihkan pandangannya.

"apa arti semua itu, bang. Jika aku tidak bisa memiliki abang seutuhnya.." ucapku lagi.

"aku milik kamu seutuhnya, Dio. Tapi kita juga harus realistis. Kita memang tidak bisa menyatu lebih dari yang telah kita jalani selama ini. Seandainya saja, aku bisa menikahi kamu, aku pasti sudah menikahi kamu, Dio. Tak peduli apapun resikonya."

"tapi pada kenyataannya, hal itu jelas tidak mungkin. Sekali pun kita saling mencintai. Sebesar apapun cinta yang kita punya saat ini, tidak akan membuat semua orang bisa menerima hubungan kita.."

Ucapan bang Abe barusan itu, benar-benar menusuk jantungku. Aku merasa sakit.

Tidak bisa aku pungkiri memang, semua yang diucapkan bang Abe adalah sebuah kebenaran.

Tapi bukankah cinta itu egois?

Tidak ada seorang pun yang rela berbagi orang yang ia cintai dengan orang lain. Terlepas dari apa pun statusnya. Terlepas dari cinta sesama jenis atau bukan.

Namun pada akhirnya aku memang harus menyerah. Aku terlalu mencintai bang Abe. Aku mencoba mengikhlaskan hatiku, menerima semua kenyataan yang ada. Menerima kenyataan bahwa, bang Abe sekarang bukan lagi bang Abe yang dulu.

Dulu aku bisa memilikinya seutuhnya, tanpa batas. Bang Abe hanya milikkku sendiri.

Tapi kenyataannya sekarang, dia sudah menjadi suami orang. Aku jarus rela berbagi dirinya dengan istrinya.

Meski sakit, aku harus menerimanya. Aku harus menjalaninya.

Setidaknya aku masih bisa terus bersamanya, menikmati keindahan cinta kami, meski pun tentu saja tidak lagi sesempurna dulu.

****

Aku mencoba terus menjalani hubunganku bersama bang Abe. Menikmati setiap detik kebersamaan kami.

Seperti janjinya, bang Abe memang setiap sabtu sore pulang ke kampung dan bertemu istrinya, lalu kemudian, sore minggunya ia sudah kembali ke tempat kerja.

Selama di rumah tempat kerjanya itulah, kami selalu bertemu setiap malam.

Kami selalu menghabiskan waktu bersama. Merajut benang-benang cinta.

Selama enam malam dalam seminggu aku bisa bersama bang Abe. Dan hal itu sebenarnya sudah lebih dari cukup. Namun tetap saja, aku merasa sakit setiap kali bang Abe pulang ke rumah istrinya di kampung.

Aku berhak cemburu kan?

Tapi bang Abe selalu berhasil membuatku terlena dengan segala rayuan cintanya padaku, yang membuatku tetap merasa bahagia.

Namun kebahagiaan itu ternyata tidak berlangsung lama.

Beberapa bulan kemudian, bang Abe bercerita padaku, kalau saat ini istriny sedang hamil.

Aku merasa sakit kembali. Aku tak bisa menerima semua itu.

Rasa cemburuku kian menjadi-jadi.

"orangtua dan keluargaku, menuntut kami untuk segera punya keturunan, Dio. Dan aku tidak bisa menghindar lagi. Aku harus memenuhi keinginan orangtuaku.." ucap bang Abe berusaha memberi pengertian padaku.

"dan selama istriku hamil, ia akan tinggal bersamaku disini.." lanjutnya pelan.

Aku menatap tajam kearah bang Abe. Jika istrinya tinggal bersamanya disini. Itu berarti kami tidak punya waktu lagi untuk bersama.

"maafkan aku, Dio. Semua itu adalah permintaan orangtuaku.." bang Abe berucap lagi, menjawab tatapan tajamku.

"lalu bagaimana dengan hubungan kita, bang?" tanyaku akhirnya.

"kita akan tetap bersama, Dio. Tidak akan ada yang berubah.." balas bang Abe tegas.

"kalau istri bang Abe tinggal disini, bagaimana kita bisa bersama, bang?" tanyaku lagi.

"kita bisa bertemu dimana saja, Dio. Gak harus di rumahku kan?" jawab bang Abe.

"tapi pasti akan sangat sulit bagi kita untuk bertemu, bang. Dan kalau pun bisa bertemu pasti waktu kita terbatas. Aku tidak bisa lagi tidur bersama bang Abe.." ucapku kemudian.

"iya, aku tahu itu. Tapi setidaknya kita masih bisa terus bersama kan?" balas bang Abe.

"aku pasti tidak kuat melihat bang Abe bersama istri bang Abe.." ucapku lagi.

"kamu harus sabar, Dio. Kita akan melewati ini bersama.." balas bang Abe lagi.

"mungkin bagi bang Abe ini mudah. Tapi tidak bagiku, bang. Disini aku yang jadi korban..." suaraku sedikit meninggi.

"aku juga korban disini, Dio. Andai kamu mengerti, betapa tersiksanya aku menjalani ini semua. Tapi aku bisa apa?" suara bang Abe mulai serak.

"abang bisa ceraikan istri abang.." suaraku bergetar, ucapan itu keluar juga dari mulutku. Ucapan yang sudah sangat lama ingin aku ungkapkan.

"gak semudah itu, Dio. Apa lagi saat ini istriku sedang hamil. Dan lagi pula, andai engkau tahu, bagaimana keluarga dan orangtuaku. Mereka pasti akan mengutukku, jika aku menceraikan istriku tanpa alasan yang jelas.." bang Abe membalas juga akhirnya, setelah untuk beberapa saat ia terdiam.

"kalau begitu kenapa abang gak jujur saja sama istri abang, kalau abang tidak mencintainya. Abang juga bisa ceritakan tentang hubungan kita. Setidaknya dengan begitu, istri abang pasti akan meminta cerai.." ucapku lagi.

"dan setelah itu apa? Kita akan menikah?" ucap bang Abe sedikit kasar, keningnya mengerut. "kamu jangan bodoh, Dio. Kita harus realistis. Lagi pula jika aku menceritakan semuanya pada istriku, ia pasti akan menceritakan juga pada orangtuaku. Dan orangtuaku pasti akan mengutukku dan tidak akan menganggapku sebagai anak mereka lagi.." lanjutnya.

Aku terhempas pilu. Sakit sekali rasanya. Tapi seperti kata bang Abe, aku memang harus realistis.

Cintaku dan cinta bang Abe memang sangat besar. Namun sebesar apapun cinta kami, tetap hal itu tidak akan membuat kami bisa bersama seutuhnya.

Dan dengan berat hati akhirnya, aku memang harus merelakan bang Abe untuk tinggal serumah bersama istrinya di sini.

****

Seminggu kemudian, bang Abe pun membawa istrinya ke perumahan tempat ia bekerja. Ke rumah yang selama ini menjadi saksi hubungan indah kami.

Aku sempat melihat istri bang Abe. Ia wanita yang cantik dan juga soleha. Ia terlihat anggun dengan hijabnya yang panjang. Senyumnya ramah.

Aku justru jadi merasa bersalah saat melihat istri bang Abe.

Bagaimana mungkin aku tega menghancurkan kebahagiaan wanita baik itu?

Ia tidak tahu apa-apa. Ia mungkin hanya mencoba menjadi istri yang baik untuk bang Abe. Ia mungkin hanya mencoba menjadi anak yang berbakti, dan memenuhi keinginan orangtuanya untuk dijodohkan dengan bang Abe.

Aku mungkin memang menjadi korban dalam kisah ini, bang Abe juga jadi korban. Namun korban yang sebenarnya adalah istri bang Abe.

Ia jadi korban dari keegoisan cintaku dan bang Abe.

Tiba-tiba hatiku teresa terenyuh. Antara kecewa, marah, cemburu, dan merasa bersalah.

*****

Keesokan harinya, bang Abe menghampiriku di pos penjagaan. Tapi ia tidak mengucapkan apa-apa.

Aku juga hanya terdiam. Aku tidak tahu harus mengatakan apa saat ini.

Hubungan kami terasa asing bagiku. Mungkin bagi bang Abe juga.

Tiba-tiba kami merasa ada jarak yang begitu jauh diantara kami. Kemesraan kami selama ini, tiba-tiba hilang.

Kami hanya saling tatap tanpa makna. Tanpa mengerti apa yang sedang kami pikirkan masing-masing.

Aku bahkan merasa, kalau aku sudah tidak bisa berpikir lagi tentang hubungan kami.

Semuanya terasa gelap. Kelam. Sepi. Dan buntu.

Kami menemukan jalan buntu dari hubungan kami. Kami pasrah.

Tapi hatiku masih sangat mencintai bang Abe. Dia satu-satunya orang yang paling aku sayang saat ini.

Aku rela dia menikah, aku juga rela saat tahu istrinya hamil. Namun sekarang, aku jadi semakin terluka, melihat bang Abe akhirnya tinggal serumah dengan istrinya. Dan lebih menyakitkannya lagi, mereka tinggal di rumah yang dulunya adalah rumah tempat kami saling memadu kasih.

Beberapa saat kemudian, bang Abe pun berlalu, masih tanpa sepatah kata pun. Aku juga enggan berbicara.

Aku lelah dengan hubungan kami. Tapi siapa yang akan aku salahkan dalam hal ini?

Salahkah aku bila terlalu mencintai bang Abe?

Ataukah salah bang Abe yang juga dengan tulus mencintaiku?

Atau mungkin ini adalah salah istrinya bang Abe yang dengan pasrah mau saja menikah dengan bang Abe?

Aku tidak tahu, sekali lagi aku tidak tahu siapa yang salah sebenarnya.

Aku jadi benci dengan bang Abe. Aku jadi benci dengan diriku sendiri. Aku benci akan perasaan cintaku.

Aku jadi benci dengan istri bang Abe, yang tiba-tiba saja hadir diantara kami.

Aku jadi benci orangtua bang Abe, yang dengan otoriternya memaksa bang Abe menikah.

Aku benci semuannya. Aku benci hidup ini.

Tiba-tiba hidup ini terasa tak adil bagiku.

*****

"aku ingin kita pisah, bang.." ucapku dengan suara serak.

Aku sengaja mengajak bang Abe bertemu di dalam kebun sawit yang cukup sepi.

"maksud kamu apa?" tanya bang Abe dengan kening berkerut.

"aku sudah tidak sanggup lagi bang menjalani semua ini. Aku capek, bang. Aku capek harus setiap hari menahan rasa cemburuku. Aku capek harus setiap hari menahan keinginanku untuk bisa bersama abang. Aku benar-benar capek, bang. Jadi aku pikir, mungkin lebih baik kalau kita akhiri saja semuanya." ucapku masih dengan suara serak.

Semalaman aku menangis memikirkan tentang hubungan kami. Aku tahu, kalau bang Abe sangat mencintaiku. Tapi apa arti semua itu, jika kami tetap tidak bisa menyatu.

"aku mohon, Dio. Kamu jangan pernah meninggalkanku. Aku sangat mencintai kamu..." suara bang Abe tiba-tiba terbata.

"tapi aku sudah tidak kuat lagi, bang. Aku ingin bang Abe memilih. Jika abang mencintaiku, abang harus ceraikan istri abang. Namun jikaabang tidak bisa menceraikan istri abang, walau dengan alasan apapun, lebih baik kita pisah, bang.." ucapku berusaha tegas.

"kamu jangan bikin aku semakin bingung, Dio. Aku tidak bisa memilih untuk saat ini. Aku ingin kamu sedikit bersabar. Kita pasti bisa melewati ini semua bersama..." suara bang Abe parau.

"tidak ada yang harus kita lewati, bang. Kita hanya harus memilih. Dan aku sudah punya pilihan. Jika memang begitu berat bagi bang Abe untuk menceraikan istri abang, aku yang memilih untuk pergi, bang. Aku akan pergi dari sini. Aku akan pergi jauh dari kehidupan abang.." aku berucap kembali.

"kamu akan pergi kemana, Dio?" tanya bang Abe spontan.

"abang tidak harus tahu, dan itu juga tidak penting. Yang penting sekarang, abang harus bisa membuat pilihan..." jawabku tegas.

"aku sangat mencintai kamu, Dio.." ucap bang Abe tulus.

"aku juga sangat mencintai bang Abe.." balasku lebih tulus.

"tapi seperti yang abang katakan, kita juga harus realistis. Jika aku tidak bisa memiliki abang seutuhnya, maka aku memilih untuk tidak memiliki abang sama sekali.." aku melanjutkan.

"tapi aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Dio.." suara bang Abe menghiba.

"kalau begitu ceraikan istri abang.." balas ku tegas.

"aku butuh waktu, Dio. Aku butuh waktu untuk berpikir. Banyak yang harus aku pikirkan dalam hal ini. Banyak yang harus aku korbankan. Tidak mudah bagiku untuk membuat pilihan saat ini.." suara bang Abe masih terdengar menghiba.

"aku juga telah dan akan mengorbankan banyak untuk bisa bersama bang Abe. Karena itu aku ingin kita adil. Jika kita memang ingin saling memiliki secara utuh, maka kita memang harus saling berkorban.." balasku lugas.

Aku tidak ingin lemah lagi karena cinta. Aku harus tegas dengan hubungan kami. Selama ini aku membiarkan bang Abe melakukan apapun yang ingin ia lakukan dan aku hanya bisa pasrah menerimanya. Namun sekarang aku harus benar-benar tegas dan tega.

"kamu sih gampang, Dio. Karena kamu belum menikah.." bang Abe membalas.

"jika abang bercerai dari istri abang dan hidup bersamaku, maka aku berjanji bang, aku tidak akan pernah menikah, selama abang masih bersamaku. Dan itu adalah salah satu pengorbananku untuk bisa mewujudkan cinta kita.." balasku penuh keyakinan.

Kali ini bang Abe terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras.

"mungkin kamu benar, Dio. Untuk bisa saling menyatu, kita memang harus saling berkorban. Tapi aku butuh waktu, Dio. Aku tidak mungkin menceraikan istriku saat ini, karena dia sedang hamil. Aku akan menceraikannya nanti kalau ia sudah melahirkan anak kami."

"namun untuk sementara, aku ingin kamu tetap bertahan. Aku ingin kita tetap bersama. Aku janji akan membuat pilihan, setelah anakku lahir nantinya.." ucap bang Abe akhirnya.

Hatiku pun akhirnya luluh. Menunggu beberapa bulan lagi, tidaklah terlalu jadi masalah bagiku.

Setidaknya hubungan kami jadi punya tujuan yang jelas.

"oke. Aku akan beri abang waktu. Namun selama itu, aku ingin kita tetap menjaga jarak. Kita akan bertemu hanya pada waktu-waktu tertentu.." ucapku akhirnya terdengar pasrah.

****

Dan begitulah akhirnya. Aku dan bang Abe tetap menjalin hubungan diam-diam. Meski tentu saja, intensitas dan kwalitas pertemuan kami semakin sempit dan terbatas.

Hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi nantinya.

Pertama, bang Abe akan menepati janjinya dan menceraikan istrinya serta hidup bersamaku selamanya.

Atau bang Abe akhirnya berubah pikiran, setelah anaknya lahir, dan ia memilih untuk tetap mempertahankan rumah tangganya. Dan kami akan berpisah untuk selamanya.

Aku hanya berharap, semoga bang Abe bisa membuat pilihan yang tepat.

Aku hanya berharap, pilihan apa pun yang akan bang Abe pilih untuk hubungan kami, semoga aku bisa menerimanya dengan lapang dada.

Ya, semoga saja..

****

Sekian..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate