Ini adalah kisah nyata yang aku alami beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 20 tahun.
Kisah berawal dari pertemuan dan perkenalanku dengan seorang laki-laki bernama Andi. Bang Andi, begitu aku biasa menyapanya.
Bang Andi tidak tampan, tapi memiliki tubuh yang kekar. Ia benar-benar laki-laki biasa, dengan penampilan yang sederhana.
Awal bertemu bang Andi aku tidak merasa begitu tertarik padanya. Perasaanku biasa saja.
Aku dan bang Andi memang tinggal satu komplek, setidaknya sejak aku pindah ke kota ini.
Dulu aku tinggal di kota yang berbeda, namun karena papa ku pindah tugas ke kota ini, aku mau tidak mau harus ikut pindah ke sini.
Bang Andi adalah seorang alkoholic, setidaknya begitulah yang aku ketahui tentangnya pada awal aku mengenalnya.
Dia sering mabuk-mabukan dan membuat kegaduhan di komplek tempat kami tinggal.
Namun begitu ia juga punya sisi kebaikan dalam dirinya. Hal itu aku buktikan ketika suatu malam, aku di ganggu oleh beberapa orang preman di ujung gang, yang meminta uang padaku dengan paksa.
Bang Andi tiba-tiba muncul dan segera membantuku menghadapi para preman tersebut. Namun karena para preman itu sudah tahu siapa bang Andi, mereka pun tidak berani, dan dengan tergesa segera meninggalkan kami.
Bang Andi memang cukup di segani oleh para preman di gang tersebut, tapi bang Andi juga ditakuti oleh para warga, karena sering membuat kegaduhan.
Singkat cerita, sejak malam itu, aku dan bang Andi tiba-tiba saja menjadi dekat. Aku yang sangat berterima kasih kepada bang Andi, jadi sering mentraktirnya makan.
Meski pun terlihat sangar dan nakal, bang Andi ternyata punya hati yang sangat lembut. Dia menjadi seorang alkoholic karena ia memiliki kehidupan yang cukup tragis.
Saat ia masih berusia 5 tahun ayahnya meninggal, dan lima tahun kemudian ibunya pun meninggal. Sejak saat itu bang Andi hanya tinggal berdua bersama kakak perempuan satu-satunya, yang bernama Dila.
Mereka berdua harus berjuang keras untuk tetap bisa bertahan hidup. Sampai akhirnya kakak perempuannya pun dinikahi oleh seorang juragan kaya, bernama Toni. Tapi kakak bang Andi hanyalah seorang istri kedua.
Abang ipar bang Andi, Toni, memang seorang juragan kaya, tapi ia bukanlah orang yang baik. Ia sering berbuat kasar kepada kak Dila, istri keduanya itu.
Bang Andi awalnya mencoba membiarkan sikap kasar sang abang ipar terhadap kakaknya. Namun lama kelamaan ia merasa tidak tahan, sehingga ia pun memukuli abang iparnya itu hingga sekarat, yang membuat bang Andi harus tinggal di bui selama dua tahun.
Setelah keluar dari penjara itulah, sikap bang Andi pun berubah. Apa lagi sejak ia tahu, kalau Toni, abang iparnya itu, akhirnya meninggalkan kakaknya.
Sebagai seorang janda muda yang cantik, kak Dila memang sering di goda oleh para pria hidung belang. Namun bang Andi selalu menjaga kakaknya itu dengan baik.
Tapi, ya itu tadi, bang Andi jadi semakin tak terkontrol. Ia merasa hidupnya selalu gagal, karena itu ia melarikan semua kekecewaannya terhadap hidup, dengan sering minum-minum.
Kak Dila memang sudah bekerja di sebuah supermarket, sementara bang Andi terus tenggelam dalam dunia kelamnya.
Kak Dila sendiri sebenarnya sudah sering menasehati bang Andi untuk bisa berubah menjadi lebih baik, namun karena bang Andi sudah kecanduan minuman, ia merasa sulit untuk lepas dari semua itu.
Apa lagi setiap kali ada orang yang coba mengganggu kakaknya, bang Andi akan minum-minum lalu kemudian ia akan mencari orang yang mengganggu kakaknya tersebut dan menghajarnya habis-habisan.
Setidaknya begitulah yang bang Andi ceritakan padaku, saat kami akhirnya menjadi akrab.
****
Hari berlalu, bulan pun berganti. Aku dan bang Andi semakin dekat dan akrab. Aku jadi sering main ke rumah bang Andi, dan juga sudah mulai biasa dengan kak Dila, kakak perempuan bang Andi tersebut.
Kak Dila bahkan berterima kasih padaku, karena mau berteman dengan bang Andi. Karena menurutnya, sejak bang Andi dekat denganku, bang Andi sudah mulai ada perubahan, menjadi lebih baik.
Harus aku akui, kalau bang Andi sekarang memang jadi jarang minum-minum, setidaknya saat bersamaku.
Karena sudah semakin dekat dan semakin mengenal sosok bang Andi, aku diam-diam mulai menyukainya.
Ada rasa kagum tiba-tiba hadir di hatiku kepada bang Andi. Aku mulai menyayanginya.
Dan perlahan rasa cinta pun tumbuh di hatiku untuk bang Andi.
Bang Andi dengan segala kesederhanaannya telah mampu membuatku semakin memujanya.
Hampir setiap malam, aku selalu berkhayal tentang bang Andi. Meski tidak tampan, namun bang Andi mempunyai tubuh yang kekar dan berotot.
Aku selalu membayangkan bisa berada dalam dekapan hangat tubuh kekar itu.
Selama denganku bang Andi memang tidak pernah pacaran, bahkan ia tidak pernah bercerita tentang perempuan padaku.
Mungkin bang Andi masih merasa sungkan untuk bercerita padaku tentang hal tersebut, atau memang sebenarnya bang Andi tidak punya pacar.
Entahlah, aku juga tidak peduli tentang semua itu. Yang aku tahu, aku mencintainya dan berharap suatu saat kelak kami bisa bersatu dalam sebuah ikatan cinta.
Namun akhirnya harapanku itu kandas, saat aku mengetahui kalau ternyata bang Andi punya seorang kekasih.
Pacarnya itu bernama Gina, seorang gadis cantik anak seorang pengusaha kaya. Ternyata hubungan mereka berdua tidak di restui oleh kedua orangtua Gina, karena bang Andi yang seorang pengangguran dan juga seorang preman.
Tapi bang Andi dan Gina, tetap menjalin hubungan secara diam-diam, tanpa diketahui siapa pun. Karena itu juga ternyata bang Andi tak berani bercerita padaku tentang hubungannya itu. Ia takut hubungannya dengan Gina akan diketahui oleh orangtua Gina.
Namun akhirnya aku pun mengetahuinya, saat aku memergoki mereka berdua, sedang berduaan di rumah bang Andi, saat kak Dila sedang bekerja. Mereka memang sudah biasa bertemu di rumah bang Andi secara sembunyi-sembunyi.
Karena terlanjur aku pergoki, bang Andi pun mengakui semuanya padaku dan memperkenalkan Gina padaku. Bang Andi juga berharap, agar aku bisa menjaga rahasia mereka berdua.
"lalu sampai kapan, bang Andi akan menjalin hubungan diam-diam dengan Gina?" tanyaku, ketika kami tinggal berdua. Gina sudah terlebih dahulu pamit pulang.
"entahlah, Bay. Saya juga gak tahu sampai kapan. Namun yang pasti saat ini, kami sedang berusaha untuk mendapatkan restu dari kedua orangtua Gina." jawab bang Andi terdengar lemah.
"bagaimana abang akan bisa mendapatkan restu dari orangtua Gina, kalau abang masih saja sering minum-minum dan juga belum punya pekerjaan.." ucapku lagi.
"itu dia masalahnya, Bay. Aku sudah berusaha untuk berhenti minum, tapi selalu saja aku tidak mampu menahan keinginanku tersebut. Dan aku juga sudah berusaha mencari pekerjaan, namun sebagai seorang mantan narapidana dan juga hanya bermodal ijazah SMP, pekerjaan apa yang bisa aku dapatkan di kota yang penuh persaingan ini.." cerita bang Andi lagi.
"kalau abang memang serius dengan Gina, dan juga untuk membuktikan kepada orangtua Gina, sepertinya abang memang harus berusaha lebih keras lagi.." saranku sok bijak.
Padahal sebenarnya hatiku merasa terluka, setelah mengetahui hubungan bang Andi dan Gina.
Aku merasa cemburu dan kecewa. Karena itu artinya kesempatanku untuk bisa mendapatkan bang Andi jadi terasa tidak mungkin.
*****
Meski pun aku sudah tidak punya harapan lagi untuk bisa mendapatkan bang Andi, namun aku tetap setia menemaninya.
Bang Andi bahkan sekarang sering mengajakku menemaninya mencari pekerjaan.
"jika aku bersama kamu, aku selalu bisa menahan keinginanku untuk tidak minum-minum lagi.." ucap bang Andi suatu hari, saat kami berkeliling mencari lowongan pekerjaan.
"sementara kalau aku sendirian atau sedang bersama teman-teman nongkrongku, aku pasti selalu kepikiran untuk minum-minum.." lanjutnya.
"karena itu, aku ingin kamu lebih sering menemaniku..." ucapnya lagi, yang membuatku merasa sedikit tersanjung.
Beberapa hari aku menemani bang Andi berkeliling mencari lowongan pekerjaan, dan juga mencari pekerjaan melalui internet, namun hasilnya selalu gagal, karena bang Andi sangat tidak memenuhi syarat.
Bang Andi sendiri pun sepertinya sudah mulai putus asa. Hingga suatu malam, aku memergoki bang Andi sedang minum sendirian di rumahnya, malam itu kak Dila sedang kerja lembur.
Sepertinya bang Andi sudah minum terlalu banyak, saat aku sampai di rumahnya. Aku datang ke rumah bang Andi malam itu, karena ia menelpon dan memintaku untuk datang.
"Gina akhirnya memutuskanku, Bay.." celoteh bang Andi dengan keadaan setengah mabuk. Kami tepat berada di dalam kamarnya saat itu.
"dia lebih memilih untuk menerima perjodohan dari orangtuanya, dari pada harus mempertahankan hubungan kami.." lanjutnya lagi.
Aroma minuman menyeruak di rongga hidungku, aku merasa sedikit mual. Namun melihat kondisi bang Andi yang mulai mabuk parah, aku jadi tak tega meninggalkannya sendirian.
"kenapa hidupku harus seperti ini sih, Bay." bang Andi mengoceh lagi.
Aku hanya diam memperhatikannya. Aku merasa perihatin melihat keadaan bang Andi malam itu.
Selama berteman dengan bang Andi, baru kali ini aku melihatnya begitu mabuk.
Setelah menghabiskan minuman terakhirnya, bang Andi segera merebahkan tubuh kekarnya di atas ranjang reot dalam kamar itu.
Bang Andi hanya memakai anak baju putih dan celana pendek kaos malam itu. Tubuhnya yang kekar dan berotot terlihat jelas.
Aku menelan ludah memperhatikan pemandangan indah di depanku, saat bang Andi terbaring telentang di ranjang tersebut.
Betapa gagahnya tubuh itu. Ingin rasanya aku berada di atasnya dan mendekapnya dengan erat.
Apa lagi saat itu, bang Andi sedang mabuk parah. Ia pasti akan pasrah jika aku mau melakukan hal tersebut padanya.
Tapi segera ku tepis segala keinginan itu, aku tidak mau memanfaatkan kesempatan, hanya untuk memuaskan diriku sendiri.
Bang Andi butuh dukunganku saat ini. Dan sebagai teman sekaligus sebagai orang yang mencintai bang Andi dengan tulus, aku harus bisa membuatnya bangkit kembali.
Karena itu, aku hanya membiarkan bang Andi terus terbaring diatas tempat tidurnya, sementara aku duduk di sebuah kursi di sudut kamar itu, sambil terus memperhatikan tubuh kekar bang Andi.
Bang Andi terus saja berceloteh tak jelas, mengungkapkan kekecewaannya terhadap Gina dan juga terhadap kehidupan ini.
Sampai tiba-tiba ia bangkit dan berjalan mendekatiku.
"hanya kamu, Bay. Yang mau menemaniku dan menerima aku apa adanya.." ucap bang Andi, sambil ia duduk bersimpuh di depanku. Wajahnya ia sandarkan di kakiku.
Aku merasa risih sebenarnya, tapi aku hanya diam membiarkannya. Aku tahu, saat ini bang Andi, butuh tempat untuk bersandar.
Dengan sedikit ragu, aku mulai menyentuh kepala bang Andi sambil sedikit membelai rambutnya lembut.
"bang Andi harus kuat..." ujarku ringan.
"tapi aku sudah tidak sanggup lagi menjalani hidup ini, Bay. Aku lelah menghadapi kenyataan setiap hari. Aku ingin mengakhiri semua ini, Bay.." suara bang Andi sangat lemah dan mulai terdengar sedikit parau.
"abang gak boleh berkata seperti itu," ucapku sambil terus membelai rambut bang Andi yang ikal tersebut. "semua pasti ada jalannya, bang. Semua pasti ada hikmahnya. Karena hidup ini pilihan.." lanjutku dengan gaya sok bijakku.
"hidup ini memang pilihan, Bay. Tapi aku memilih untuk tidak memilih apapun, selain yang telah di takdirkan untukku." balas bang Andi, yang sebenarnya tidak aku mengerti apa maksudnya.
Bang Andi kemudian tengadah, ia menatapku dengan senyum manisnya. Aroma minuman kembali merasuki hidungku.
"aku boleh peluk kamu gak, Bay?" tanya bang Andi tiba-tiba, yang membuat jantungku berdegup tiba-tiba.
Aku tahu maksud bang Andi sebenarnya. Ia ingin memelukku sekedar melepaskan kelelahan di dalam hatinya. Saat-saat seperti itu, kita memang butuh dekapan dari seseorang. Kalau aku biasanya sih, sering minta dipeluk sama ibuku, saat aku sedang merasa lemah dan lelah.
Namun yang aku takutkan, jika aku dipeluk bang Andi, aku takut tidak bisa menahan perasaanku nantinya. Aku takut, aku akan terbawa suasana. Tapi aku juga tidak mungkin menolak permintaan bang Andi tersebut, karena itu aku pun mengangguk.
Bang Andi segera berdiri, dan menarik tanganku untuk ikut berdiri di depannya.
Tubuh kekar itu, akhirya mendekapku dengan erat. Aku merasa hangat tiba-tiba. Aku merasa tenang dan nyaman.
Aroma minuman yang sejak tadi mengganggu hidungku sudah tidak aku pedulikan lagi.
"makasih ya, Bay. Kamu benar-benar teman yang baik, yang selalu ada kapan pun aku membutuhkanmu. Aku tidak tahu, bagaimana caranya membalas itu semua.." bisik bang Andi, sambil terus memelukku.
Repleks aku pun menciumi bahu kokoh bang Andi. Seperti yang aku takutkan, aku mulai terbawa suasana.
Meski bang Andi tak berkomentar apa-apa tentang tindakan spontan ku itu, aku tetap saja merasa bergetar, dan berniat untuk mengulangnya kembali.
Tapi..
Tiba-tiba bang Andi melepaskan dekapannya, lalu tanpa berucap sekata pun, ia pun memutar tubuhnya dan berjalan kembali ke ranjang.
Bang Andi kembali membaringkan tubuh kekarnya itu di atas ranjang. Ia telentang, dengan kedua tangannya berada diatas kepalanya. Hal itu justru membuat ia semakin terlihat gagah.
"andai saja kamu seorang perempuan, Bay. Aku pasti sudah menikahi kamu.." ucap bang Andi berceloteh lagi, matanya terpejam.
Aku tidak tahu, apa bang Andi sadar telah mengucapkan kalimat tersebut, atau hanya karena ia dalam pengaruh minuman.
Namun yang pasti hatiku merasa sedikit berbunga mendengar kalimat tersebut.
Tak lama berselang, kak Dila pun pulang. Aku pun segera pamit untuk pulan ke rumahku. Sementara bang Andi sepertinya, sudah terlelap.
****
Hari-hari terus berlalu, aku masih saja terus mencintai bang Andi dalam diam. Sementara bang Andi sudah mulai pulih kembali. Sepertinya ia sudah mulai bisa melupakan Gina.
Aku masih saja selalu setia menemaninya dan memberikan dukungan dan dorongan semangat untuknya.
Sampai setahun kemudian, karena bang Andi yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan, aku pun berinisiatif untuk membuka usaha bersama bang Andi.
Aku dengan sedikit memohon, meminta modal kepada ayahku.
"emangnya kamu mau buka usaha apa?' tanya ayahku di sela-sela permohonanku.
"saya mau buka usaha minuman kekinian, Yah.." jawabku sedikit manja.
Aku memang anak satu-satunya ayah dan ibuku, karena itu juga ayah atau ibu biasanya jarang tidak memenuhi keinginanku.
"tapi kamu kan kuliah, Bay.." sela ayah lagi.
"iya.. karena itu aku ingin kerja sama dengan bang Andi. Jadi saat aku kuliah, bang Andi yang akan berjualan.." balasku menjelaskan.
"kamu yakin, mau kerja sama dengan Andi si pemabuk itu?" ucap ayah sedikit kasar. Dari awal ayah dan ibu memang tidak begitu suka melihat kedekatanku dengan Andi. Tapi aku berusaha mengabaikannya.
"Bayu yakin, yah. Lagian bang Andi sekarang juga sudah berubah. Ia tak pernah minum-minum lagi. Itung-itung sebenarnya Bayu juga ingin membantu bang Andi. karena selama ini bang Andi sudah coba cari pekerjaan, namun gak pernah dapat. Karena itu aku ingin membuka usaha bersamanya.." jelasku lagi panjang lebar.
Dan akhirnya setelah perdebatan yang cukup panjang, ayah pun menyetujui permohonanku. Tantu saja dengan beberapa syarat. Diantaranya, aku harus tetap mengutamakan kuliahku dan juga aku harus bisa mengembalikan pinjaman tersebut dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Setelah mendapatkan pinjaman dari ayah, aku dan bang Andi pun segera mengatur segala sesuatunya.
Kami membuka gerai kecil di rumah bang Andi, untuk tempat kami berjualan minuman yang sedang tren saat itu.
Aku juga membuat situs khusus untuk penjualan minuman kami secara online.
Awalnya semua tidak berjalan dengan baik. Karena untuk mendapatkan pelanggan itu ternyata tidak mudah. Butuh usaha yang keras dan perjuangan yang panjang.
Berbagai cara kami lakukan untuk bisa mempromosikan dagangan kami. Hingga akhirnya pelan-pelan minuman kami mulai di kenal orang-orang, terutama para kaum muda.
Kombinasi antara kekekaran tubuh bang Andi dan di dukung oleh wajahku yang lumayan tampan, akhirnya kami punya banyak pelanggan.
Setelah perjuangan yang gigih dan tak kenal lelah, usaha kami pun mulai menuai hasil.
Aku dan bang Andi pun kian dekat dan akrab. Hubungan kami sudah seperti dua orang adik kakak.
Cinta ku kepada bang Andi pun masih sama. Masih seutuh dulu. Namun aku tak pernah memperlihatkannya kepada bang Andi, apa lagi mengungkapkannya.
Aku hanya bisa mencintainya dalam diam, mengaguminya dalam relung hatiku dan mengkhayalkannya di setiap malam-malam ku.
Karena usaha kami yang kian berkembang, kami pun membuka beberapa cabang dan mempekerjakan beberapa orang pekerja untuk membantu kami.
Hingga bertahun-tahun, bang Andi pun akhirnya menemukan tambatan hatinya dan memutuskan untuk segera menikah.
Antara kecewa dan bahagia aku menyadari hal tersebut. Kecewa karena akhirnya, setelah bertahun-tahun, bang Andi ternyata hanya menganggapku sebagai sahabat, ia tidak berhasil aku miliki sebagai kekasih.
Dan aku juga merasa bahagia, karena kini bang Andi sudah benar-benar berubah. Ia tidak lagi seorang alkoholic seperti awal aku mengenalnya.
Meski pun akhirnya, ia memutuskan untuk menikah dengan gadis yang ia cintai.
Aku turut bahagia untuk itu.
Aku memang merasa kecewa, karena aku tidak bisa mendapatkan cinta bang Andi.
Namun seperti yang bang Andi pernah katakan, bahwa hidup ini adalah pilihan dan aku memilih untuk tidak memilih, sesuatu yang tidak ditakdirkan untukku. Aku tidak memilih, kecuali yang sudah ditakdirkan untukku.
Ya, bang Andi memang tidak ditakdirkan untuk aku miliki sebagai kekasih, tetapi ia telah ditakdirkan untuk aku miliki sebagai sahabat dan juga sebagai saudara.
Semoga saja bang Andi juga bahagia dengan pernikahannya.
Dan semoga saja, aku juga bisa menemukan kebahagiaanku yang lain. Sebuah kebahagiaan yang mungkin telah ditakdirkan untukku.
Ya, semoga saja..
****
Namun takdir adalah takdir. Ada takdir yang bisa kita ubah, namun ada juga takdir yang tidak bisa kita ubah.
Takdirku sebagai seorang laki-laki, adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa diubah.
Dan untuk memenuhi takdirku tersebut, setelah lulus kuliah dan dengan tetap masih membuka usaha bersama bang Andi, aku pun memutuskan untuk menerima perjodohanku dengan gadis pilihan orangtuaku.
Meski pun sejujurnya aku tak pernah mencintai gadis itu. Namun demi memenuhi keinginan kedua orangtuaku, aku pun menyetujui pernikahan tersebut.
Takdir ku sebagai seorang laki-laki juga lah yang akhirnya membuat aku, setahun kemudian, menjadi seorang ayah.
Dan bang Andi sendiri juga sudah punya dua orang putra.
Meski pun sudah memiliki keluarga masing-masing, aku dan bang Andi masih terus bersama. Terutama karena kami masih bekerja sama dalam menjalankan usaha kami.
Sebenarnya aku masih mencintai bang Andi. Bang Andi adalah cinta sejati dalam hidupku. Walau pun takdir tidak membuatku bisa memilikinya sebagai pasangan hidup. Tapi setidaknya, aku masih bisa terus bersamanya, menjadi sahabatnya dan melewati hari-hari bersama.
Hingga suatu saat, dan ini adalah bagian penting dari kisah ku ini.
"saya mau cerai dari istriku, Bay.." begitu bang Andi memulai curhatannya.
Aku dengan sedikit mengerutkan kening pun menatapnya, "kenapa?" tanyaku.
"kami sudah tidak sejalan lagi, Bay. Istriku sudah mulai berubah. Ia tak lagi seperti dulu.." balas bang Andi, suaranya terdengar lemah.
"tapi apa harus bercerai, bang. Bukankah sebaiknya abang bicarakan dulu dengan istri abang.." ucapku ringan. Kami ngobrol di salah satu gerai usaha kami. Saat itu sudah jam sepuluh malam, gerai kami sudah tutup.
"saya udah coba bicara baik-baik dengan istri saya, tapi sepertinya ia juga tidak berniat untuk mempertahankan rumah tangga kami.." balas bang Andi lagi.
"pasti ada penyebabnya kenapa istri bang Andi berubah. Abang sudah mempertanyakan hal tersebut?" tanyaku.
"katanya sih, karena aku terlalu sibuk kerja dan juga jarang berada di rumah. Tapi aku tahu, kalau istri ku sudah punya pria lain di hatinya. Karena itu juga ia sudah sering meminta cerai dariku.." cerita bang Andi lagi.
"aku sudah berusaha untuk mempertahankan rumah tangga kami, tapi seperti yang pernah aku katakan, bahwa aku tidak akan memilih sesuatu yang sudah tidak ditakdirkan untukku lagi. Mungkin takdir jodoh kami hanya sampai disini.." lanjut bang Andi.
"lalu bagaimana dengan anak-anak, bang?" tanyaku lagi.
"istriku bersedia membawa anak-anak bersamanya. Sebenarnya aku merasa berat harus melepaskan anak-anak, tapi rasanya lebih baik, kalau anak-anak ikut bersama ibunya. Karena aku juga tidak punya banyak waktu untuk mengurus mereka.." balas bang Andi.
Sepertinya keputusan bang Andi dan istrinya untuk berpisah sudah sangat bulat. Hanya saja aku tidak pernah menyangka, kalau ternyata rumah tangga bang Andi selama ini tidak benar-benar bahagia. Bang Andi tidak pernah cerita hal ini sebelumnya padaku.
Aku merasa perihatin melihat bang Andi, seperti yang ia katakan, hidupnya selalu dipenuhi dengan kepahitan. Padahal baru beberapa tahun ini, hidup bang Andi sudah cukup membaik.
Sekarang ia harus kehilangan istri dan juga anak-anaknya. Aku yakin bang Andi pasti sangat terpukul dengan semua itu.
Dan aku juga merasa takut, kalau bang Andi akan kembali menjadi seorang alkoholic seperti dulu, karena kejadian tersebut.
Untuk itu, aku berusaha tetap menemani bang Andi, aku berusaha menjaganya agar ia tidak larut dalam kesedihannya.
*****
"aku sudah tidak punya tujuan lagi, Bay." keluh bang Andi suatu malam, saat ia sudah benar-benar bercerai dari istrinya.
Sekarang bang Andi tinggal sendiran di rumahnya. Istri dan kedua anaknya sudah pindah ke rumah orangtua istrinya.
"abang gak boleh ngomong seperti itu. Setidaknya sekarang abang sudah punya dua orang anak, yang harus abang pikirkan. Dan jadikan mereka sebagai tujuan hidup abang.." ucapku sok bijak.
Bang Andi memang sudah bercerai dari istrinya. Namun ia masih diizinkan untuk menemui anak-anaknya kapan pun ia mau.
"iya, Bay. Hanya mereka berdua lah yang membuatku tetap bertahan hingga saat ini. Tapi tetap saja aku merasa hampa, Bay." ucap bang Andi kemudian.
"abang tenang aja. Aku akan selalu ada untuk abang, dalam kondisi apa pun." ucapku penuh keyakinan, dan sebenarnya juga tidak bermaksud apa-apa.
"tapi kamu kan juga punya istri dan anak, Bay. Kamu harus lebih sering menghabiskan waktu bersama mereka. Jangan sampai kejadian yang aku alami, akan menimpa kamu juga.." balas bang Andi.
"entahlah, bang. Aku juga mulai merasa jenuh dengan hidupku. Aku tidak benar-benar merasa bahagia saat bersama istriku. Justru aku lebih merasa nyaman saat bersama bang Andi." ucapku mencoba utnuk jujur dengan perasaanku sendiri.
"tapi keluarga itu penting loh, Bay. Terutama anak kamu.." balas bang Andi.
"abang juga penting bagi saya.." ujarku tanpa sadar.
Bang Andi menatapku dengan tatapan penuh selidik, yang membuatku merasa jengah.
"aku juga sayang sama kamu, Bay. Aku juga merasa nyaman saat bersama kamu. Kamu satu-satunya sahabat yang selalu ada kapan pun aku membutuhkanmu. Tapi sayangnya, kamu tidak ditakdirkan untukku...." ucap bang Andi akhirnya, yang membuatku kembali menatap wajah sendunya.
"kalau kita mau, kita bisa mengubah takdir itu, bang." balasku ringan.
"maksud kamu?" tanya bang Andi dengan kening berkerut.
"aku mencintai bang Andi sudah sejak dulu. Dan jika bang Andi juga sayang padaku, mengapa kita tidak mencoba untuk menjalin hubungan yang lebih serius?" ucapku akhirnya dengan cukup berani.
Bertahun-tahun memendam perasaan pada bang Andi, membuat aku merasa jadi punya keberanian untuk jujur, apa lagi kami juga sudah sangat dekat.
"sekali pun kita saling sayang, Bay. Kita tak mungkin menyatu seperti yang kita harapkan. Itulah yang dinamakan takdir, Bay. Dan kita tidak mungkin bisa mengubahnya. seperti yang selalu aku katakan, bahwa pilihan apa pun yang kita pilih dalam hidup ini, janganlah sekali-kali kita memilih sesuatu yang tidak ditakdirkan untuk kita, karean pasti akan berakhir dengan sangat menyakitkan.." ucap bang Andi panjang lebar, yang membuatku akhirnya terdiam.
Apa yang dikatakan bang Andi memanglah sesuatu yang masuk akal. Tidak ada seorang manusia pun, yang bisa melawan takdir.
"aku sering mengatakan, bahwa aku tidak akan memilih sesuatu yang tidak ditakdirkan untukku. Sebenarnya kalimat itu khusus aku tujukan buat kamu, Bay." ucap bang Andi kemudian.
"sebenarnya sudah sejak lama juga, aku menyukai kamu, Bay. Namun aku sadar, kalau kita tidak akan pernah bisa menyatu lebih dari sekedar sahabat. Kita ditakdirkan untuk bertemu, dan mungkin juga ditakdirkan untuk saling tertarik. Tapi kita tidak ditakdirkan untuk bisa saling memiliki.." lanjut bang Andi lagi.
"aku memilih untuk memendam perasaanku padamu, Bay. Karena menurutku percuma, sekalipun aku jujur tentang perasaanku, dan sekalipun kamu juga menyukaiku, namun sekali lagi kita tidak ditakdirkan untuk bersama, kecuali hanya sekedar sebagai sahabat." bang Andi berucap lagi.
"tapi gak ada salahnya kan, bang? Kalau kita mencobanya?" aku berucap kembali.
"untuk apa, Bay? Untuk apa kita mencoba sesuatu yang kita sudah tahu akhirnya seperti apa? Untuk apa kita mencoba sesuatu yang pada akhirnya akan membuat kita terluka? Kita tidak akan bisa bersama selamanya, Bay. Sebesar apa pun cinta yang kita miliki berdua. Takdir pada akhirnya akan memisahkan kita jua.." balas bang Andi terdengar lirih.
"seperti bang Andi yang memilih untuk menikah dengan gadis yang sebenarnya tidak abang cintai, lalu kemudian takdir juga yang membuat bang Andi memilih untuk bercerai? Apa seperti itu?" ucapku sedikit kasar.
"tidak ada sebuah hubungan apa pun di dunia ini, yang akan menyatu selamanya, bang. Bahkan pasangan yang menikah dengan dasar saling cinta, pada akhirnya juga akan terpisahkan oleh takdir, kalau tidak perceraian ya kematian.." lanjutku lagi.
"tapi setidaknya mereka tidak melawan takdir, Bay. Seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan itu adalah sebuah takdir yang seharusnya. Tapi kita? Kita ini sama-sama laki-laki, Bay. terlalu banyak takdir yang akan kita lawan. Dan aku gak sanggup, Bay. Aku gak sanggup memulai sesuatu yang sudah jelas tidak diperbolehkan.." balas bang Andi.
"tapi setidaknya beri aku kesempatan, bang. Untuk bisa merasakan bagaimana rasanya dicintai oleh orang yang juga mencintaiku. Selama ini aku hanya mencintai bang Andi, sementara aku hidup bersama orang yang tidak aku cintai. Aku merasa tersiksa, bang. Apa takdir seperti itu yang harus kita jalani?" aku membalas dengan sedikit sengit.
"terkadang dalam hidup, kita juga harus mengikuti ego kita, bang. Kita tidak harus hidup hanya mengikuti apa yang orang lain inginkan. Menikah dengan seorang perempuan memang sudah menjadi takdir seorang laki-laki. Tapi hidup bersama orang yang kita cintai, merupakan sesuatu yang harus kita rasakan juga. Tak peduli orang lain setuju atau tidak. Karena yang tahu apa yang membuat kita bahagia hanyalah diri kita sendiri, bang. Bukan orang lain.." aku melanjutkan lagi.
"lalu kamu mau nya gimana?" tanya bang Andi dengan suara lembut, setelah untuk beberapa saat kami saling terdiam.
"aku ingin kita hidup bersama, bang. Aku ingin menghabiskan waktu bersama abang. Menjalani hari-hari berdua. Menikmati indahnya cinta kita. Aku ingin hidup bahagia selamanya bersama abang, sampai maut memisahkan kita." balasku yakin.
"kamu yakin?" tanya bang Andi.
"saya yakin, bang. Kita sudah mencoba menjalankan takdir kita sebagai laki-laki, menikah dan punya anak. Mungkin kini saatnya kita menjalankan hidup kita seperti yang kita inginkan.." balasku cepat.
"lalu bagaimana dengan istri dan anakmu, Bay?" tanya bang Andi lagi.
"kalau abang berani memilih untuk berpisah dari istri abang, kenapa aku gak? Aku akan bercerai dari istriku dengan cara baik-baik, bang. Dan setelah itu, kita akan hidup bersama selamanya, bang." jawabku dengan penuh keyakinan.
"lalu bagaimana dengan orangtua kamu?" bang Andi bertanya lagi.
"kita sudah cukup dewasa, bang. Untuk menentukan jalan hidup kita sendiri dan memilih apa pun yang kita inginkan. Aku juga sudah memenuhi keinginan mereka, untuk menikah dan punya keturunan. Jadi aku rasa mereka juga tidak akan bisa mengatur hidupku sepenuhnya. Meski tentu saja, mereka tidak harus tahu apa yang terjadi diantara kita berdua sebenarnya." balasku.
"terserah kamu aja, Bay. Aku juga sangat mencintai kamu. Aku juga sebenarnya sangat ingin merasakan hidup berdua bersama kamu. Seperti yang pernah aku katakan, jika saja seandainya kamu adalah perempuan, maka sudah sejak lama aku akan menikahi kamu, walau apa pun rintangannya." ujar bang Andi, sambil kali ini ia menggenggam tanganku erat.
Aku merasakan begitu hangatnya genggaman tangan itu. Aku merasa begitu bahagia.
Mungkin keputusan kami adalah sebuah kesalahan, namun untuk merasakan sebuah kebahagiaan, terkadang kita memang harus mengorbankan banyak hal.
Takdir mungkin menginginkan kami untuk bersama, tapi kami tidak ingin terus memasrahkan diri kepada takdir.
Mungkin dunia dan seisinya menolak hubungan kami, tapi sekali lagi, kami juga ingin merasakan hidup yang bahagia, bersama orang yang benar-benar kami cintai.
Sudah bertahun-tahun kami mencoba mengikuti takdir yang telah di tetapkan untuk kami, namun kami tidak pernah merasakan bahagia seperti yang kami harapkan.
Untuk pertama kalinya dalam hidup kami, kami mencoba memilih sesuatu yang tidak ditakdirkan untuk kami.
Aku tahu, seperti yang bang Andi katakan, bahwa akhir dari kisah kami sudah cukup jelas, namun selagi kami masih punya waktu untuk terus bersama, kami akan tetap terus bersama.
Dan begitulah kisahku bersama bang Andi, si alkoholic tersebut. Sebuah kisah yang selama ini hanya menjadi rahasia antara aku dan bang Andi.
Aku dan bang Andi memang memutuskan untuk hidup bersama. Namun kami tidak ingin siapa pun tahu, tentang hubungan kami. Di mata orang-orang kami hanyalah dua orang sahabat, yang bekerja sama dalam menjalankan sebuah usaha.
Kami bahagia dengan hidup kami saat ini. Dan semoga kami tetap bisa bahagia selamanya, sampai maut memisahkan kami.
Terima kasih sudah menyimak kisahku ini sampai selesai, salam sayang untuk kalian semua.. Muuuaach..
*****
Selesai..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar