Namaku Randy. Saat ini usiaku sudah dua puluh dua tahun.
Aku bekerja di sebuah laundry yang cukup besar di kota ku. Ada tujuh orang karyawan yang bekerja di sana. Dan aku bertugas sebagai tukang sorter pakaian dari setiap pelanggan. lebih tepatnya, aku yang memisahkan pakaian-pakaian pelanggan berdasarkan jenis bahan, bentuk cucian, tingkat kekotoran dan warna cucian.
Beberapa orang lainnya ada yang bertugas mencuci dan memeras, mengeringkan, melicinkan serta beberapa tugas lainnya. Selebihnya kami sebenarnya bekerja sama dalam menyelesaikan setiap tugas kami.
Kami bekerja dari pagi sampai sore setiap harinya. Tentu saja dengan gaji yang kami terima setiap bulannya.
Pemilik laundry tempat aku bekerja adalah seorang laki-laki paroh baya, yang sudah menikah dan sudah mempunyai dua orang anak.
Namanya pak Ramli. Begitu biasanya kami memanggil beliau.
Pak Ramli seorang yang baik, ramah serta sangat royal kepada kami sebagai karyawannya.
Laudry tempat aku bekerja tersebut sebenarnya masih satu atap dengan rumah tempat pak Ramli dan keluarganya tinggal. Hanya saja ada sekat yang memisahkan rumah pak Ramli dengan ruangan tempat laundry tersebut.
Rumah itu sangat besar dengan halaman yang cukup luas.
Aku bekerja di sana baru sekitar tiga bulan, menggantikan seorang karyawan yang baru saja mengundurkan diri karena akan menikah.
Aku hanya lulusan SMA. Jadi hanya pekerjaan seperti inilah yang bisa aku dapatkan. Sebelumnya aku sempat bekerja serabutan di kota. Menjadi buruh angkut dan pernah juga menjadi kuli bangunan.
Aku seorang yatim. Ayahku sudah lama meninggal, karena sakit. Ibu ku juga saat ini sering sakit-sakitan.
Aku anak ketiga dari empat bersaudara. Kedua kakakku perempuan dan sudah menikah. Sedangkan adik perempuan bungsu ku, masih kuliah saat ini.
Aku, adik bungsu ku dan ibu ku tinggal serumah, sedangkan kedua kakak perempuan ku sudah tinggal di rumahnya masing-masing, meski tentu saja masih kontrak.
Aku memang harus bekerja keras, untuk biaya hidup kami dan juga untuk biaya kuliah adikku.
Sebagai anak laki-laki satu-satunya, mau tidak mau saat ini aku harus menjadi tulang punggung keluarga ku. Beruntunglah kakak ku yang nomor dua punya suami yang sudah memiliki pekerjaan yang cukup mapan, sehingga bisa sedikit membantu keuangan keluarga kami.
Dan begitulah kehidupan yang aku jalani setiap harinya.
****
Meski pun baru bekerja tiga bulan, kehadiranku di sana sangat di terima dengan baik oleh rekan-rekan kerja lainnya. Pak Ramli juga menyambutku dengan baik.
Aku merasa betah bekerja di sana. Aku seperti menemukan keluarga baru di sana.
Apa lagi sejak mengenal pak Ramli, si pemilik usaha laundry tersebut. Meski pun sudah berusia kepala empat, ketampanan wajah pak Ramli masih terlihat utuh. Tubunya juga berotot dan terlihat gagah.
Sejak pertama melihat pak Ramli aku mulai menaruh hati padanya. Meski tentu saja, semua itu hanya aku pendam sendiri. Biar bagaimana pun pak Ramli sudah menikah dan sudah mempunyai anak. Yang artinya, sangat tidak mungkin bagiku untuk bisa memilikinya.
Tapi cinta adalah cinta. Ia tak mengenal ruang dan waktu. Cinta bisa tumbuh kapan saja dan kepada siapa saja. Dan itu yang aku rasakan.
Aku jadi punya semangat lebih untuk berangkat kerja setiap paginya. Aku bahagia bisa menatap wajah tampan pak Ramli. Mendengar lantunan suaranya yang terdengar maskulin.
Aku suka memperhatikan pak Ramli diam-diam. Menatapnya dari kejauhan. Dan kemudian mengkhayalkannya di setiap menjelang tidurku.
Dunia ku menjadi penuh warna dengan semua itu. Aku jadi punya tujuan tersendiri dalam hidupku.
Aku mencintai pak Ramli dan akan selalu mencintainya. Meski pun aku sadar, bahwa semua itu adalah sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan yang indah.
"woi.. melamun aja dari tadi.." suara Tegar, salah satu rekan kerjaku membuyarkan lamunanku tentang pak Ramli pagi itu.
Aku tidak menajwab teguran itu. Namun buru-buru aku kembali mulai bekerja.
Saat itu tiba-tiba pak Ramli datang. Dia hanya memakai celana jeans pendek dengan baju kaos oblong putihnya.
Kaki pak Ramli memang ditumbuhi bulu-bulu halus yang lebat. Dadanya terlihat bidang. Rahangnya kokoh. Hidungnya mancung, dengan lekukan tipis di pipi kirinya.
Benar-benar sosok laki-laki sempurna. Betapa beruntungnya istri pak Ramli bisa memilikinya tanpa batas.
Sementara aku hanya bisa mengkhayalkannya.
"kamu bisa temani saya sebentar ke pasar, Randy?" ucap pak Ramli padaku.
"ibu lagi gak enak badan, jadi hari ini ia memintaku untuk belanja.." lanjut pak Ramli.
"iya, bisa, pak.." jawabku sedikit bergetar.
Membayangkan aku satu mobil dengan pak Ramli dan bisa dekat-dekat dengannya, membuat debaran di jantungku jadi dua kali lebih cepat dari biasanya.
Dengan perasaan yang berdebar-debar itu, aku mengikuti langkah pak Ramli menuju mobil di garasi.
Perjalanan ke pasar dari rumah pak Ramli sebenarnya tidak begitu jauh, mungkin hanya butuh waktu sepuluh menit.
Aku duduk di samping pak Ramli dengan perasaan yang masih berdebar-debar. Aku hanya menunduk, tak berani menatap ke arah pak Ramli yang sedang menyetir.
"kamu kok kelihatan grogi, Randy. Kamu gak suka menemani saya ke pasar?" tegur pak Ramli, melihat aku yang salah tingkah.
"gak kok, pak. Saya malah senang diajak pak Ramli.." balasku, suaraku masih bergetar.
"senang kok mukanya di tekuk gitu?" ucap pak Ramli lagi.
"gak ditekuk kok, pak. Saya emang gini orangnya.." balasku asal-asalan.
"kalau senang senyum dong. Padahal kamu kalau senyum manis loh.." ucap pak Ramli kemudian, yang membuatku semakin merasa tak karuan.
Pak Ramli menatapku beberapa saat, melihat reaksi ku yang jadi serba salah.
"ah, pak Ramli bisa aja.." ucapku akhirnya, sekedar menenangkan pikiranku.
"benaran loh.. kamu manis. Saya suka lihat kamu tersenyum.." ucap pak Ramli semakin blak-blakan.
"pak Ramli juga gagah, tampan lagi.." balasku tanpa sadar.
Ucapan pak Ramli yang blak-blakan barusan, membuat aku jadi sedikit berani untuk sekedar menatapnya.
"tapi udah tua.." balas pak Ramli spontan.
"gak kelihatan tua kok, pak. Masih segar dan terlihat awet muda.." ucapku lagi semakin berani.
Pak Ramli kembali menatapku. Ia memperlihatkan senyum manisnya.
"kamu suka gak?" tanyanya kemudian, sambil kembali menatap jalanan.
"siapa yang gak suka dengan orang setampan dan segagah pak Ramli?" balasku mulai terasa santai.
Keramahan dan keterbukaan pak Ramli, membuatku jadi merasa lebih leluasa untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan padanya.
"tapi saya udah nikah loh, udah punya anak juga.." pak Ramli berucap lagi.
"kalau saya sih, jangankan di jadikan yang kedua sama pak Ramli, dijadikan yang kesepuluh saya pun pasti mau, pak.." aku membalas semakin blak-blakan.
Ada kelegaan tersendiri yang aku rasakan, saat perasaanku terhadap pak Ramli mulai terungkap.
"kamu yakin mau sama saya? yang sudah tua, sudah punya istri dan anak juga?" tanya pak Ramli lagi.
"saya sih yakin, pak. Tapi bagaimana dengan pak Ramli sendiri. Pak Ramli suka gak sama saya?" balasku ringan.
"melihat kamu tersenyum saja saya suka. Apa lagi ... kalau sampai bisa memiliki kamu.." ucap pak Ramli. Saat itu mobil kami sudah parkir di tempat parkir pasar tersebut.
Pembicaraan kami pun terputus, karena harus segera turun dan berbelanja.
Namun hatiku merasa berbunga-bunga saat itu. Indah sekali rasanya. Bisa berjalan berduaan dengan pria pujaanku. Tambahan lagi, aku akhirnya tahu, kalau pak Ramli juga menyukaiku.
Kebahagiaanku menjadi berlipat-lipat saat itu.
****
"jadi gimana? Kamu mau kan jadi yang kedua?" tanya pak Ramli, saat itu kami sudah berada di jalan menuju pulang.
"iya, saya mau, pak..." balasku cepat dan penuh keyakinan.
"jadi mulai sekarang, kita pacaran ya.." ucap pak Ramli lagi, sambil tangannya menyentuh tanganku.
Tangan pak Ramli terasa begitu hangat menyentuh tanganku. Aku kembali bergetar.
Aku berusaha membalas genggaman tangan pak Ramli. Dunia kembali terasa begitu indah bagiku.
Tiba-tiba pak Ramli mengangkat tanganku lalu kemudian mengecupnya lembut.
Oh, aku semakin bergetar. Sungguh terasa sangat indah.
"I love you.." pelan suara pak Ramli, sambil ia mulai melepaskan tanganku kembali.
Aku tiba-tiba merasa tersipu. Dadaku bergemuruh mendengar kalimat indah tersebut.
"i love you too, pak Ramli.." balasku penuh perasaan.
"nanti malam kita ketemuan ya.." tawar pak Ramli kemudian.
"ketemuan dimana?" tanyaku.
"nanti aku kirimkan lokasinya ya.." jelas pak Ramli.
Aku hanya mengangguk ringan membalas ucapan tersebut. Aku tersenyum penuh kebahagiaan.
Aku membayangkan saat kami akan bertemu nanti. Betapa indahnya hal tersebut.
Tak lama kemudian, kami pun sampai kembali ke rumah. Kami pun berusaha bersikap biasa saja, saat sudah berada di rumah kembali.
Namun sepanjang hari, aku sering senyum-senyum sendiri membayangkan kejadian pagi tadi bersama pak Ramli dan juga membayangkan kejadian nanti malam saat kami bertemu nantinya.
Indah sekali rasanya hidup ini. Begitu sempurna. Sesempurna ketampannan wajah pak Ramli di mataku. Sesempurna rasa cintaku untuk pak Ramli.
****
Pagi itu aku terbangun. Benar-benar terbangun.
Aku terbangun dari mimpiku tentang pak Ramli. Aku terbangun dari mimpiku tentang perjalananku ke pasar bersama pak Ramli. Aku terbangun dari mimpiku tentang pak Ramli yang juga menyukaiku.
Ternyata semua itu hanyalah mimpi belaka. Sebuah mimpi yang begitu sempurna.
Aku berusaha untuk memejamkan mataku kembali, berharap mimpi itu bisa terus berlanjut hingga pertemuanku di malam harinya bersama pak Ramli.
Namun suara alarm di ponselku mengganggu imajinasiku pagi itu. Aku pun memutuskan untuk bangkit dan bersegera mandi karena harus berangkat kerja.
Sesampai di tempat kerja aku kembali pada sebuah kenyataan. Kenyataan bahwa pak Ramli tidak akan pernah bisa aku miliki.
Tapi aku selalu bisa berkhayal tentangnya. Aku selalu bisa bermimpi tentangnya.
Mungkin aku memang tidak bisa memiliki pak Ramli dalam dunia nyata ku. Namun di dunia khayalku, pak Ramli adalah belahan jiwaku. Kami selalu bersama setiap malamnya.
Aku selalu berhasil membawa pak Ramli berada dalam dunia khayalku. Aku mendekapnya. Aku merasakan kehangatan dekapannya setiap malam dalam imajinasi liarku.
Pak Ramli selalu punya tempat terindah dalam dunia khayalku. Dia adalah kekasih khayalku yang sempurna. Meski di dunia nyataku dia hanyalah seorang Bos bagiku.
Aku akan selalu mencintai pak Ramli. Meski pun ia tidak harus tahu tentang hal itu.
Begitulah cinta. Tidak semua cinta itu harus terungkap. Begitu banyak kisah cinta yang terpemdam.
Dan kisah ku bersama pak Ramli, bos ku itu, adalah salah satunya.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar