Suami tetanggaku yang gagah

Namamya mas Toni, dan dia adalah tetanggaku di kampung.

Mas Toni sudah menikah dan sudah punya dua orang anak.

Cerpen sang penuai mimpi

Aku sebenarnya tidak begitu mengenal mas Toni, meski pun kami sudah bertetangga selama bertahun-tahun.

Aku sebenarnya kuliah di kota, dan hanya pulang bila musim liburan tiba.

Karena itu aku jadi tidak begitu mengenal mas Toni.

Pada suatu musim liburan, seperti biasa aku pulang ke kampung.

Suasana kampung ku memang selalu sunyi, siang hari orang-orang sibuk bekerja di kebunnya masing-masing yang berjarak cukup jauh dari perumahan penduduk.

Sementara kalau malam hari, orang-orang lebih memilih untuk berdiam diri di rumah karena merasa capek sehabis kerja seharian.

Pada suatu pagi, saat itu aku hanya sendirian di rumah. Ibu dan ayahku seperti biasa pergi ke kebun untuk bekerja. Sedangkan kedua adik-adikku sedang menikmati liburan mereka di rumah pamanku yang berada di kampung tetangga.

Saat itu tiba-tiba mas Toni datang ke rumahku. Dia hanya memakai celana pendek dan tidak memakai baju.

"saya hanya mau ngantar pompa sepeda, yang kemarin saya pinjam sama ayah kamu.." begitu alasan mas Toni, saat aku membuka pintu untuknya.

"maaf ya, saya pikir tadi hanya ayah kamu yang di rumah. Jadi saya berpakaian sedikit tidak sopan." lanjut mas Toni, melihat aku yang menatapnya.

"gak apa-apa mas Toni. Biasa aja kok." timpalku berusaha sesantai mungkin.

"kamu lagi libur kuliah ya?" tanya mas Toni berbasa-basi.

"iya nih mas. Jadi suntuk juga kalau lagi di kampung. Sepi." balasku ramah.

"emang orangtua kamu kemana?" tanya mas Toni lagi.

"biasalah mas Toni, rutinitas mereka kan memang ke kebun setiap hari, sedang adik-adikku sedang di rumah paman kami." jelasku.

"oh, jadi kamu sendirian aja nih di rumah?" ucap mas Toni lagi.

"iya nih bang. Karena itu aku jadi semakin suntuk." balasku ringan.

"mas Toni sendiri gak ke kebun?" tanyaku melanjutkan.

"saya lagi kurang enak badan. Jadi istri saya aja yang ke kebun. Sementara anak-anak sedang di rumah bibinya. Jadi saya juga sendirian di rumah." jawab mas Toni menjelaskan.

Selanjutnya mas Toni juga bercerita beberapa hal padaku, terutama tentang kejadian-kejadian yang terjadi di kampung kami.

Awalnya kami hanya ngobrol di teras rumahku, namun karena merasa tidak enak di lihat orang yang lewat, aku kemudian mengajak mas Toni ngobrol di ruang tamu kecil rumah kami.

Karena merasa suntuk, ngobrol dengan mas Toni, jadi cukup membuatku sedikit terhibur.

Saat berada di ruang tamu, mas Toni duduk di hadapanku. Aku dapat melihat dengan jelas, dada bidang mas Toni.

Mas Toni memang berkulit sedikit gelap, namun tubuhnya sangat kekar.

Wajah mas Toni juga lumayan tampan, meski sudah kelihatan sedikit tua.

Mas Toni mungkin sudah berusia kurang lebih 35 tahun.

"kamu kok melihat saya seperti itu?" tanya mas Toni, saat akhirnya dia menyadari kalau aku memperhatikannya diam-diam.

"mas Toni terlihat gagah." ucapku jujur dan terdengar polos.

Mas Toni terlihat tersenyum aneh, aku tidak mengerti arti dari senyumannya. Mungkin dia merasa bangga mendengar pujianku barusan.

Sejenak kemudian, tiba-tiba mas Toni berpindah duduk di sampingku.

"kamu suka gak?" tanyanya dengan suara menggoda.

"suka apa?" tanyaku balik, mulai merasa salah tingkah.

"katanya saya terlihat gagah. Suka gak sama saya?" mas Toni mengulang pertanyaannya.

"kalau suka benaran jelas gak lah mas. Mas Toni kan udah punya istri dan anak. Tapi kalau hanya buat senang-senang aja ayok. Aku mau." jawabku jujur.

Mas Toni pun tersenyum kembali mendengar ucapanku.

Sesaat kemudian aku pun mengajak mas Toni untuk msuk ke kmar ku.

Suasana pagi itu memang cukup dingin dan sepi. Hal itu justru membuatku jadi mudah terbawa suasana.

Apa lagi mas Toni memang cukup menarik secara fisik.

Pagi itu kami pun birsmbah kerngat melkukan sebuah pendkian.

Sebuah pendkian yyg indah.

Tak ku sangka ternyata mas Toni memiliki psang yang sngat jumbo.

Belum pernah aku melihat psang sebesar itu.

Dan aku menyukainya.

Segala rasa sepi dan rasa suntuk ku pagi itu, akhirnya terlepas dengan kehadiran mas Toni.

*****

"kamu sudah biasa ya melkukan hal tersebut?" tanya mas Toni, setelah kami selesai melaksanakan ronde pertama pagi itu.

"biasa sih gak. Tapi pernah beberapa kali dulu dengan pacarku. Setelah itu pacarku malah pergi meninggalkanku. Setelah dia dapat segalanya dariku. Karena itu aku jadi kecewa pada laki-laki. Jadi aku selalu melampiaskan kekecewaanku, dengan mengajak laki-laki yang aku suka untuk tdur bersmaku." jelasku jujur.

"jadi kita melakukannya atas dasar suka sama suka kan? Dan tidak ada ikatan apapun diantara kita?" tanya mas Toni lagi.

"Iya mas. Mas Toni tenang aja. Aku cukup tahu diri kok. Mas Toni kan udah punya istri dan anak. Jadi kita melakukannya hanya untuk bersenang-senang saja." jawabku yakin.

"jadi kapan-kapan bisa lagi dong?" mas Toni bertanya lagi.

"sekarang juga bisa lagi kok mas. Kan masih pagi. Masih panjang waktu kita." jawabku manja.

"kamu maniak juga ya." balas mas Toni.

"kalau psang mas Toni segede itu, ya aku bisa jadi maniak mas." ucapku dengan nada menggoda.

Aku memang masih menginginkan hal tersebut dari mas Toni. Selain karena karena bsar, mas Toni juga sangat berpengalaman.

Jarang-jarang aku bertemu laki-laki yang komplit seperti mas Toni.

Gagah, lumayan tampan dan gede.

Karena itu aku mulai memncing mas Toni kembali. Dan mas Toni juga tidak menolaknya.

Kami pun memlai pendkian kembli pagi itu, untuk yang kedua kalinya.

Dan begitulah kisah singkat ku bersama mas Toni sang tetanggaku yang gagah tersebut.

Hal itu masih sering kami lakukan, terutama saat aku pulang ke kampung.

Mas Toni mampu membuatku ketgihan. Dia berbeda dari kebanyakan laki-laki yang aku temui di kota.

****

Selesai..

Sahabatku ternyata seorang gay (part 1)

Namaku Indra. Saat ini aku masih duduk di kelas XI di sebuah SMA.

Aku punya seorang teman laki-laki bernama Eko. Dia satu kelas denganku dan juga satu bangku.

Cerpen gay sang penuai mimpi

Awalnya aku dan Eko tidak saling kenal. Saat tahun pertama SMA, bahkan kami tidak satu kelas.

Namun di tahun kedua, kami satu kelas dan satu bangku.

Karena hampir setiap hari bersama, aku dan Eko pun menjadi akrab.

Eko laki-laki yang baik, dia sering membantuku menyelesaikan berbagai tugas sekolah. Terutama tugas PR bahasa Inggris. Karena aku memang tidak terlalu suka dengan mata pelajaran yang satu itu.

Eko juga sering mentraktir ku makan di kantin, dan bahkan Eko juga sering mengajakku jalan-jalan keliling kota, tanpa tujuan yang jelas. Sekali-kali Eko juga mengajakku nonton di bioskop berdua.

Eko memang sangat baik padaku. Karena itu juga kami jadi cepat akrab.

Eko sering mengajakku main ke rumahnya.

Eko anak semata wayang dari seorang pengusaha kaya. Ibunya juga seorang wanita karir yang sukses.

Kehidupan Eko memang terbilang sangat mewah.

Sementara aku hanya anak seorang buruh bangunan. Aku juga masih punya dua orang adik yang masih kecil-kecil. Sebagai anak sulung dan satu-satunya laki-laki, aku memang harus lebih sering mengalah kepada adik-adikku, terutama soal keuangan.

Kadang aku merasa iri melihat kehidupan Eko yang bergelimang harta. Namun Eko begitu baik padaku. Dia juga bukan orang yang sombong dan tidak suka pamer.

Aku dan Eko memang sudah sangat dekat. Aku juga merasa sangat berhutang budi padanya, karena kebaikannya selama ini padaku.

Aku sering menghabis waktu bersama Eko. Aku bahkan sering mengabaikan pacarku, hanya demi menemani Eko.

Aku memang punya seorang pacar, namanya Nina. Dia satu sekolahan dengan ku tapi tidak satu kelas.

Aku dan Nina pacaran sudah hampir tiga tahun. Kami pacaran sejak kami masih sama-sama SMP.

Bagaimanakah akhirnya kisahku bersama Eko?

Siapakah Eko sebenarnya?

Dan bagaimana pula sebenarnya perasaanku pada Eko?

Simak kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya ... bla...bla..

*****

Hari-hari terus berlalu, hingga sudah lebih dari setahun aku dan Eko bersahabat. Sekarang kami sudah duduk di tahun terakhir SMA.

Hubunganku dengan Nina, pacarku, masih baik-baik saja, meski aku lebih sering menghabiskan waktu bersama Eko.

Nina memang sedikit manja dan juga posesif. Orangnya suka ngambek gak jelas. Aku kadang juga merasa jenuh dengan hubungan kami yang terkesan datar tanpa warna.

Tapi aku sangat mencintai Nina. Aku sering mengalah untuknya. Dan aku bahagia bisa menjadi pacarnya hingg saat ini.

Namun akhirnya aku harus menelan sebuah kepahitan, ketika tiba-tiba Nina meminta putus dariku.

"aku ingin fokus belajar, Ndra. Apa lagi sekarang kita sudah memasuki semester terakhir. Aku harus mendapatkan nilai tinggi, agar aku bisa masuk ke kampus favoritku.." begitu alasan Nina mengakhiri hubungan kami.

Aku meski dengan perasaan sangat berat, harus menerima keputusan Nina tersebut. Aku tidak ingin mengganggu study nya. Aku harus merelakannya demi masa depannya.

Karena sudah tidak lagi berpacaran dengan Nina, aku jadi semakin punya banyak waktu bersama Eko.

Eko mampu menghiburku, akan kekecewaanku pada keputusan Nina.

Dan sebulan kemudian aku akhirnya mengetahui, kalau sebenarnya Nina memutuskan bukan karena ingin fokus belajar, tapi ternyata karena dia sudah berpacaran dengan anak SMA sebelah.

Aku semakin patah hati mengetahui hal tersebut. Tak ku sangka Nina tega mengkhianatiku selama ini.

Padahal kami sudah berpacaran selama bertahun-tahun.

Aku kecewa dan sakit. Aku mengurung diri di rumah. Aku tak ingin sekolah.

Dua hari aku tidak datang ke sekolah, tiba-tiba Eko datang mengunjungiku.

Sekali lagi ia coba menghiburku.

Aku berusaha bangkit dari kepatah hatianku.

aku harus bisa melupakan Nina. Perjalananku masih sangat panjang. Apa lagi kehadiran Eko sebagai sahabatku sangat membantu membuatku jadi lebih kuat.

****

Hari-hari masih terus berlalu. Sekarang tidak ada lagi Nina. benar-benar tidak ada. Aku berusaha untuk tidak mengingatnya.

Saat di sekolah, aku selalu menghindar untuk bertemu dengan Nina. Meski Nina juga tidak berusaha untuk menemuiku lagi.

Aku menghabiskan waktu bersama Eko hampir 24 jam. Hanya saat jam tidur saja aku kembali ke rumahku.

Hingga suatu pagi, kebetulan malam itu aku menginap di rumah Eko, atas permintaan Eko tentunya.

Pagi itu aku terbangun. Aku tak melihat Eko di kamar. Karena merasa sedikit suntuk, aku mencoba membuka lemari buku milik Eko di kamarnya.

Saat aku menemukan sebuah buku harian milik Eko di dalam lemari tersebut.

Aku jadi tertarik untuk membacanya. Tumben ada cowok pakai buku diary, pikirku.

Karena penasaran, aku pun mulai membuka lembaran buku itu satu persatu.

Dan aku tertegun saat membacanya.

Di buku harian itu, tertulis dengan jelas bagaimana perasaan Eko padaku selama ini.

Ternyata dia diam-diam mencintaiku. Dan semua yang dia lakukan selama ini padaku selama ini, adalah karena ia sangat mencintaiku.

Aku merasa bergidik tiba-tiba. Tak ku sangka sama sekali kalau Eko ternyata seorang laki-laki penyuka sesama jenis. Dan yang paling membuat aku merasa jijik, ia ternyata menyukaiku.

Dengan tergesa, aku segera keluar dari kamar itu, membiarkan buku diary itu berada di tempat tidur. Aku memang sengaja melakukannya, agar Eko tahu, kalau aku sudah tahu tentang perasaannya padaku.

Aku bahkan sengaja menulis sebuah memo untuknya.

'maafkan aku, Ndra. Aku tidak bisa menjadi kekasihmu, seperti yang kamu harapkan. Aku hanya bisa jadi sahabatmu, dan sekarang aku tidak bisa bersahabat denganmu, setelah aku tahu semuanya..'

Begitu kira-kira pesan yang aku tinggalkan untuk Eko.

Aku pergi dari rumah Eko tanpa pamit pada siapapun.

****

Sejak saat itu, aku pun mulai menjaga jarak dari Eko. Aku tidak lagi bertegur sapa dengannya, aku bahkan memutuskan untuk pindah tempat duduk.

Aku merasa geli dan jijik harus dekat-dekat dengan Eko lagi.

Meski pun terus terang, aku merasa sangat kehilangan sosok Eko. Aku merasa kesepian.

Selama ini Eko selalu ada untukku. Dia selalu bisa menghiburku. Dia selalu membantuku dalam banyak hal. Hidupku menjadi berwarna, dengan kehadiran Eko.

Sekarang semua itu tiada lagi. Dan aku merasa kehilangan. Tapi aku juga tidak mungkin terus bersahabat dengan orang yang diam-diam menginginkanku.

Aku mencoba menjalani hari-hariku sendiri. Tanpa Nina, dan tanpa Eko.

Meski pun terasa berat, namun aku harus melaluinya. Menjalani kehidupanku sendiri, dengan perasaan penuh kesepian.

Ujian akhir tinggal beberapa minggu lagi, dan itu sangat menyiksaku. Aku ingin buru-buru lulus dari sini. Terlalu menyakitkan rasanya berada di sekolah ini.

Nina, yang sudah berpacaran denganku selama bertahun-tahun telah mengkhianatiku dan dia sudah bahagia dengan pacar barunya sekarang.

Eko, yang sudah aku anggap sebagai sahabat terbaikku, sekarang justru membuat aku tak nyaman berada di dekatnya.

Ah, aku benci mereka berdua saat ini...

*****

Setahun akhirnya berlalu, aku sudah lulus dari SMA. Sekarang aku bekerja di sebuah supermarket, sebagai pelayan tentunya.

Aku tidak kuliah, aku tidak bisa kuliah karena orangtuaku tidak sanggup membiayai kuliahku.

Apa lagi, adik kedua ku sekarang sudah SMA dan adik bungsu ku juga sudah SMP, jadi mereka berdua butuh biaya banyak.

Dan untuk kesekian kalinya, aku harus mengalah kepada adik-adikku.

Setahun ini, aku sudah melupakan tentang Nina. Aku benar-benar sudah move on darinya.

Aku juga sudah melupakan tentang Eko. Aku tidak ingin mengingat mereka berdua lagi.

Aku memulai hidupku yang baru, tanpa kekasih dan tanpa sosok seorang sahabat.

Setahun aku coba menata hatiku, menata hidupku dan menata perasaanku kembali.

Aku telah melupakan masa lalu ku dan memaafkan semua yang telah terjadi.

Aku sekarang adalah Indra yang baru. Meski sampai saat ini, aku belum bisa menemukan pengganti Nina. Aku biarkan hatiku kosong, tanpa di huni siapa pun.

"Indra?!" sebuah suara mengagetkanku tiba-tiba, saat aku sedang menyusun barang-barang di etalase supermarket tempat aku bekerja.

Aku memutar kepala menatap kearah suara tersebut.

Jantungku berdegup tiba-tiba saat melihat Eko sudah berdiri di sampingku.

"Eko.." sapaku ringan, berusaha bersikap sesantai mungkin.

"kamu kerja disini sekarang?" tanya Eko kemudian.

Aku hanya mengangguk ringan menjawab pertanyaan tersebut.

Entah apa yang aku rasakan saat itu. Sebagai seseorang yang pernah bersahabat, tentu saja aku merasa senang bisa bertemu Eko kembali. Namun sesaat aku mengingat kembali tentang siapa Eko sebenarnya, yang membuatku jadi ingin segera berlalu dari situ.

Tapi Eko masih berdiri di situ. Dia sepertinya berniat untuk mengajakku untuk berbincang lebih lanjut.

"kamu ngapain kesini?" tanyaku tanpa sadar.

"ini tempat umum, Ndra. Siapa saja bisa berada di sini kan?" jawab Eko santai.

Aku terdiam kembali, dalam hatiku membenarkan ucapan Eko barusan, dan aku merasa bodoh dengan pertanyaanku sendiri.

"apa kabar kamu, Ndra?" tanya Eko selanjutnya.

"saya baik, Ko. Kamu sendiri apa kabar?" balasku dengan sedikit kaku.

"saya masih seperti yang dulu, Ndra.." jawab Eko dengan sedikit menekan suaranya.

Aku mengerti arah kalimat Eko barusan, karena itu aku ingin segera mengakhiri pembicaraan tersebut.

"maaf, Ko. Aku harus lanjut kerja lagi.." ucapku akhirnya.

"oh, iya.. aku lanjut belanja.." balas Eko tiba-tiba terdengar kaku.

Eko pun segera berlalu dari hadapanku. Aku menarik napas lega.

Setelah setahun tak pernah bertemu Eko dan aku bahkan tidak pernah tahu kabar tentangnya, aku masih merasa tidak nyaman berada di dekatnya.

Aku tak menyangka akan bertemu Eko kembali. Semoga saja itu adalah pertemuan terakhir kami.

Ya, semoga saja..

*****

Bersambung ...

Sahabatku ternyata seorang gay (part 2)

"kamu kenal orang itu?" suara mas Anton, salah seorang senior ku di tempat kerja, menanyaiku ketika Eko sudah berlalu dari hadapanku.

"dia teman SMA ku dulu.." jawabku apa adanya.

Cerpen gay sang penuai mimpi

"kamu benaran gak tahu siapa dia sebenarnya?" tanya mas Anton lagi, yang membuatku jadi penasaran.

"maksud mas Anton apa? Emang laki-laki tadi siapa sebenarnya?" tanyaku penasaran.

Mungkinkah mas Anton juga tahu, kalau Eko adalah seorang penyuka sesama jenis? Bathinku penuh keraguan.

"laki-laki itu adalah anak pemilik supermarket ini, dan dia sekarang adalah manager baru disini... " jelas mas Anton, yang membuatku merasa terhenyak.

"tapi bukannya dia masih kuliah?" tanyaku setengah tak percaya.

"dia kan anak pemilik supermarket ini, Ndra. Jadi bisa saja kan dia kerja sambil kuliah..?" balas mas Anton yakin.

Aku menjadi serba salah.

Kalau Eko adalah manager di supermarket ini, maka sudah di pastikan kami akan semakin sering bertemu.

Oh, aku merasa gamang tiba-tiba. Aku pasti tidak akan bisa menghindari Eko.

Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Selain pasrah..

Dan bagaimanakah kelanjutan kisahku bersama Eko?

Mungkinkah Eko akan berhasil merebut hatiku?

Atau justru dia tidak lagi punya perasaan apa-apa padaku?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Jangan lupa untuk menyaksikan kisah sebelumnya di channel ini, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Dan jangan lupa untuk bla...bla...

*****

Hari-hari kembali berlalu, tanpa bisa dicegah atau pun di pacu.

Dan seperti yang aku duga, aku jadi hampir setiap hari bertemu Eko. Walau aku selalu berusaha untuk menghindar.

"kenapa kamu masih menghindariku, Ndra?" tanya Eko pada suatu kesempatan, saat itu jam istirahatku. Eko mendatangiku.

"aku gak menghindar, Ko. Aku hanya merasa tidak enak kalau harus selalu ngobrol sama kamu. Aku kan kerja, dan kamu juga manager disini.." jelasku beralasan.

"iya, aku tahu. Tapi sangat terlihat sekali kalau kamu menghindariku, Ndra. Aku tahu, kalau kamu jijik melihatku. Tapi apa aku salah, bila jatuh cinta sama kamu? Aku juga tidak ingin seperti ini, Ndra. Namun aku juga tidak ingin membohongi perasaanku sendiri, kalau aku mencintai kamu, bahkan hingga saat ini.." ucap Eko panjang lebar.

"apa sebegitu bencinya kamu sama aku, Ndra?" tanya Eko melanjutkan.

Aku menatapnya sekilas. Raut wajah Eko terlihat muram.

"aku gak membenci kamu, Ko. Tapi jujur saja, aku merasa tidak nyaman saat bersama kamu. Aku harap kamu juga bisa mengerti posisiku.." ucapku akhirnya.

"aku hanya ingin tetap menjadi sahabat kamu, Ndra. Aku tak berharap bisa memiliki kamu sebagai kekasih. Tapi izinkan aku untuk tetap mencintai kamu, dan izinkan aku untuk menjadi sahabat kamu. Aku janji, aku akan selalu menjaga sikapku terhadap kamu.." Eko berucap lagi, yang membuatku merasa tersentuh.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan persahabatan kami. Dan Eko juga selalu memperlakukanku dengan wajar, selama kami bersahabat.

Kalau seandainya saja aku tidak dengan begitu lancang membaca buku hariannya, tentu saja kami masih bersahabat hingga saat ini.

Eko juga sangat baik padaku. Selama menjadi sahabatnya, tak pernah sekali pun Eko membuat aku kecewa. Dia selalu ada untuk menghiburku. Dia selalu membantuku.

Kadang aku merasa menyesal, telah memutuskan persahabatanku dengan Eko. Tapi apa arti persahabatan itu, bila ada cinta yang tumbuh di dalamnya.

Aku tidak mungkin bisa bertahan, sementara aku tahu, kalau Eko sangat menginginkanku.

Kalau saja, kami tidak sejenis, mungkin ceritanya akan berbeda.

****

Hari-hari selanjutnya, aku mulai menanggapi kehadiran Eko. Aku berusaha menganggapnya sebagai seorang teman. Meski itu terasa sulit bagiku.

"maafkan aku, Ndra. Seandainya saja aku bisa membatasi perasaanku padamu, dan hanya menganggap kamu sebagai sahabat, tentu saja semua ini tidak perlu terjadi.." ucap Eko, ketika kami ngobrol di kantin dalam supermarket tersebut. Eko yang mengajakku makan di sana.

"aku yang harusnya minta maaf, Ko. Tak seharusnya aku membaca buku harian kamu. Seandainya saja aku bisa sedikit menahan diri untuk tidak terlalu penasaran membaca diary kamu, tentu saja sampai saat ini kita masih bersahabat..." balasku terdengar lemah.

"kita bisa memulainya lagi dari awal, Ndra. Aku tidak akan menuntut apapun dari kamu. Selama kita tetap bersahabat, aku tidak akan macam-macam. Dan aku juga akan belajar, untuk pelan-pelan membuang perasaanku padamu." ucap Eko kemudian.

"aku akan mencari pasanganku sendiri, yang tentu saja punya selera yang sama denganku. Dan kamu bebas untuk pacaran dengan wanita mana pun yang kamu inginkan. Ndra.." lanjut Eko lagi.

"kamu yakin, Ko? Dengan keputusan kamu?" balasku bertanya.

"iya, aku yakin. Bagiku hubungan persahabatan itu, jauh lebih indah dari hubungan apapun.." timpal Eko mantap.

Aku berusaha menerima semua itu. Menjadi sahabat Eko bukanlah hal yang buruk. Selama ia tetap bisa menjaga perasaannya padaku. 

Dan lagi pula, saat ini Eko adalah manager tempat aku bekerja. Aku jelas tidak bisa menghindarinya.

Akan aku biarkan semuanya mengalir apa adanya. Jika Eko bisa menepati janjinya, untuk tidak mengharapkan apa-apa dariku, aku rasa tidaklah akan terlalu menjadi masalah.

Mungkin memang harus seperti ini. Aku punya seorang sahabat yang ternyata adalah seorang gay. Dan aku harus menerima kehadirannya sebagai sahabatku.

****

Hari-hari kembali berlalu. Aku dan Eko kembali menjalin persahabatan.

Beberapa bulan kemudian, Eko pun memperkenalkan seorang teman cowoknya, bernama Leo, yang dia akui sebagai pacarnya, padaku.

Aku juga saat ini sedang dekat dengan seorang gadis salah satu rekan kerjaku. Namanya Lisa. Dia gadis yang cantik, manis dan juga lembut.

Aku memang telah jatuh pada Lisa, dan sepertinya Lisa juga menyukaiku.

Aku pun memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku pada Lisa. Gayung pun bersambut, Lisa menerima cintaku.

Aku dan Lisa pun menjalin hubungan asmara.

Sementara Eko terlihat semakin lengket dengan pacar pria-nya. Dia mungkin telah mampu menghapus perasaannya padaku.

Tapi kami tetap bersahabat. Kami sering saling curhat-curhatan tentang pasangan kami masing-masing.

Dan begitulah, akhir dari kisahku bersama Eko, sahabatku yang ternyata adalah penyuka sesama jenis.

Tidak ada yang istimewa sebenarnya dari kisah kami. Namun yang aku simpulkan adalah, bahwa persahabatan itu sangat penting, terlepas dari siapa pun yang menjadi sahabat kita.

Terlepas dari dia seorang gay atau bukan. Persahabatan tetaplah sesuatu yang indah, selama tidak ada perasaan cinta di dalamnya.

Dan aku bangga memiliki sahabat seperti Eko. Dia sangat mengerti dengan diriku. Dan dia juga tidak egois dengan tetap memaksakan perasaannya padaku.

Dia rela membunuh cintanya padaku, demi persahabatan kami.

Dan aku tidak ingin kehilangan sahabat seperti Eko.

Semoga persahabatan kami tetap terjalin selamanya....

Ya, semoga saja...

*****

Sekian ..

Security tampan itu pacarku (part 4) Abe version

Abe ... 

Cerpen gay sang penuai mimpi

Aku dan Dio kembali bersama. Kami kembali menikmati indahnya cinta kami.

Hampir setiap malam kami selalu bersama. Merajut benang-benang kasih yang penuh warna.

Namun pada suatu malam, tiba-tiba Candra, sepupu Dio, datang menemuiku di rumahku.

Saat itu aku memang tidak sedang bersama Dio, karena Dio sedang bertugas malam itu.

"ada apa kamu kesini, Can?" tanyaku, saat akhirnya Candra aku persilahkan masuk.

"apa tawaran bang Abe dulu masih berlaku?" balas Candra.

"tawaran yang mana?" tanyaku benar-benar tidak ingat.

"tawaran untuk aku bisa menghibur bang Abe waktu itu." jawab Candra.

"oh.." desahku ringan, dengan sedikit membulatkan bibir. Aku jadi ingat, saat aku pernah menawarkan Candra untuk sekedar menghiburku, karena aku telah patah hati oleh Dio saat itu.

Candra bersedia waktu itu, untuk menikmati malam bersamaku, tapi dia tidak jadi datang dan yang datang justru Dio yang telah lama menghilang waktu itu.

"ya, gak mungkin berlaku lagi lah, Can. Kan sekarang aku sudah bersama Dio.." ucapku akhirnya.

"tapi aku masih penasaran, bang. Bagaimana sih rasanya hal itu, jika melakukannya dengan laki-laki.." balas Candra, dengan mengerlingkan matanya.

Aku terdiam. Aku harap Candra hanya bergurau.

Lalu bagaimanakah akhirnya kejadian ku malam itu bersama Candra?

Dan bagaimana pula reaksi Dio, saat tahu semuanya?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya ... bla..bla..

****

"aku serius, bang.." ucap Candra lagi meyakinkanku.

"tapi aku gak bisa, Can. Aku gak mungkin mengkhianati Dio. Aku hanya mencintainya." balasku tegas.

"aku hanya ingin merasakannya satu kali aja, bang. Karena aku masih penasaran, seperti apa rasanya hal itu.." balas Candra.

"tapi kan tidak harus dengan aku kan, Can. Kamu bisa cari lain. Banyak kok di luar sana.." ucapku menyarankan.

"tapi aku maunya sama bang Abe. Aku juga gak mau sembaranganlah, bang. Lagi pula, kan abang yang menawarkan waktu itu.." balas Candra lagi.

"iya, tapi sekarang aku gak bisa lagi, Can.." ucapku pelan.

"kalau abang gak mau, aku akan sebarkan tentang hubungan abang dengan Dio pada orang-orang.." tiba-tiba Candra berucap dengan nada sedikit tinggi.

"maksud kamu apa sih, Can.." suara ku ikut meninggi.

"iya, kalau abang gak mau melakukannya denganku malam ini, maka aku akan menceritakan kepada orang-orang kalau abang dan Dio berpacaran.." balas Candra sengit.

"kamu jangan gila ya, Can. Kamu mau merusak nama kami berdua?" balasku lagi.

"makanya, bang. Jangan macam-macam sama saya, saya kan cuma minta satu kali ini aja. Saya cuma penasaran doang kok. Lagian saya kan pegang rahasia kalian berdua, jadi boleh dong saya dapat imbalannya.." ucap Candra lagi.

"kamu kenapa sih, Can. Ngotot banget. Kamu kan tahu kalau aku pacaran dengan Dio. Dio itu sepupu kamu, nanti kalau dia tahu bagaimana?" aku berucap dengan nada sedikit tinggi.

"ya jangan sampai Dio tahu la, bang. Lagian kan cuma satu kali. Orang pacaran normal aja pernah selingkuh, masa' hubungan seperti kalian ini gak bisa selingkuh.." balas Candra tajam.

"pokoknya, kalau abang gak mau, saya pasti akan menyebarkan tentang hubungan kalian.." lanjut Candra lagi dengan nada mengancam.

"abang pilih mana? Pilih memenuhi keinginan saya malam ini, atau pilih hubungan kalian diketahui orang banyak.." Candra berucap lagi, melihat aku hanya terdiam.

Aku berpikir keras. Candra sepertinya sangat serius dengan ancamannya.

"oke. Saya mau. Dengan syarat, ini hanya malam ini saja, dan kamu tidak boleh menceritakannya pada Dio.." ucapku akhirnya.

Aku memutuskan demikian, hanya untuk menjaga agar hubunganku dengan Dio, tetap terjaga rahasianya.

Aku yakin, Candra sangat serius dengan ancamannya. Karena itu aku pun menyetujuinya.

Jadilah malam itu aku dan Candra pun melakukan sebuah pergelaran, yang selama ini hanya aku lakukan bersama Dio.

Meski pun baru pertama kali melakukannya, Candra ternyata cukup lihai dalam hal tersebut.

Aku menjadi sedikit terkesan dengannya malam itu.

Namun setelah semuanya terjadi, tiba-tiba aku merasa menyesal. Aku merasa sangat bersalan kepada Dio. Aku telah mengkhianatinya.

Tapi semua itu aku lakukan, hanya untuk menjaga nama baik kami berdua.

****

"tega kamu, bang.." lantang suara Dio padaku.

"maksud kamu?" tanyaku dengan kening berkerut.

Malam itu Dio tiba-tiba saja datang dengan keadaan sangat marah padaku.

"abang gak usah pura-pura bodoh. Aku sudah tahu, kalau abang menjalin hubungan dengan Candra.." suara Dio masih lantang.

"aku gak punya hubungan apa-apa dengan Candra, Dio. Kamu ngomong apa sih? Aku gak mungkin mengkhianati kamu, Dio. Aku hanya mencintai kamu.." balasku berusaha selembut mungkin.

"omong kosong! Nyatanya abang selingkuh kan dengan Candra?!" ucap Dio kasar.

"aku tidak pernah selingkuh dengan siapa pun, Dio. Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" balasku masih berusaha lembut.

"udahlah, bang! aku sudah tahu semuanya. Pokoknya mulai sekarang kita putus! Aku benci bang Abe.." setelah berkata demikian, Dio segera berlalu dari rumahku.

Aku ingin mengejarnya, namun aku takut para tetangga melihat dan mendengar pertengkaran kami. Karena itu aku hanya membiarkan Dio pergi.

Aku merasa terhenyak tiba-tiba. Bagaimana Dio bisa tahu tentang kejadian malam itu?

Apa mungkin Candra yang cerita? Padahal Candra sudah berjanji untuk tidak menceritakan hal tersebut pada Dio.

Aku mencoba menghubungi Dio, tapi tak ada tanggapan sama sekali. Aku pun mengirimkan beberapa pesan, tapi tak jua dibalasnya.

Aku merasa putus asa. Rasa penyesalan kembali menyeruak di dadaku.

Kejadian malam itu, hanya aku dan Candra yang tahu. Dan itu sudah terjadi seminggu yang lalu. Tapi kenapa sekarang Dio tiba-tiba tahu?

Ahk, aku jadi bingung dengan semua ini. Baru saja hubunganku dengan Dio membaik, sekarang sudah ada lagi masalah.

Aku memejamkan mata, mencoba untuk tertidur malam itu. Tapi pikiranku masih kacau. Aku bingung bagaimana menjelaskan semuanya pada Dio.

****

"aku minta maaf, Dio. Aku terpaksa melakukannya.." ucapku pelan, saat akhirnya aku bertemu Dio pagi itu di pos penjagaannya.

"terpaksa apanya?" suara Dio kasar.

"Candra mengancam akan menyebarkan tentang hubungan kita kepada orang-orang, kalau aku menolak permintaannya malam itu.." jelasku masih dengan suara pelan.

"dan abang bersedia begitu aja? Apa aban pikir Candra akan berani melakukan hal tersebut? Apa abang pikir, orang-orang akan begitu saja pada Candra?" suara Dio sedikit melunak.

"aku hanya mencoba menjaga rahasia hubungan kita, Dio." balasku ringan.

"dengan mengorbankan hubungan kita? Dengan mengorbankan perasaanku?" tanya Dio sengit.

"aku minta maaf, Dio. Itu hanya terjadi satu kali saja. Dan itu tidak akan pernah terjadi lagi. Aku janji.." balasku lagi.

"sudah teramat sering bang Abe mengingkari janji bang Abe sendiri. Aku sudah tidak percaya lagi. Lagi pula, untuk saat ini, aku tidak ingin bertemu bang Abe lagi. Hatiku terlanjur sakit, bang. Dan ini bukan pertama kalinya, bang Abe menyakitiku. Aku tidak bisa menerimanya lagi. Jadi lebih baik kita akhiri saja semuannya.." ucap Dio panjang lebar, yang membuatku semakin terenyuh.

Aku terdiam. Aku tahu, Dio sangat marah padaku saat ini. Dan aku tidak bisa berbicara banyak pada orang yang sedang marah.

Apa pun penjelasanku padanya, jelas tidak akan bisa dia terima. Karena itu, aku memilih untuk pergi kembali bekerj, dan membiarkan Dio sendirian di pos nya.

*****

"aku minta maaf, bang Abe.." pelan suara Candra, ketika malam itu ia datang lagi ke rumahku.

"kamu minta maaf untuk apa?" tanyaku acuh.

"karena aku hubungan bang Abe dan Dio jadi retak.." jelas Candra.

"hubuganku dan Dio bukan saja retak, Candra. Tapi telah hancur berkeping-keping. Dio tak mau lagi bertemu denganku. Dan hatiku sakit karena itu.." ucapku membalas.

"apa bang Abe sangat mencintai Dio?" tanya Candra kemudian.

"aku sangat mencintainya, Candra. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Tapi sekarang semuanya berantakan. Yang aku tak habis pikir, kenapa Dio bisa tahu tentang kejadian malam itu?" balasku terdengar lemah.

"aku yang cerita, bang." ucap Candra, yang membuatku menatapnya penuh tanya.

"apa maksud kamu menceritakan itu pada Dio? Bukankah kamu sudah berjanji untuk tidak menceritakannya?" ucapku akhirnya.

"karena itu aku minta maaf, bang. Abang kan tahu, aku orangnya ceplas ceplos dan blak-blakan. Jadi aku tanpa sengaja menceritakan hal tersebut pada Dio. Aku pikir itu tidak akan berakibat fatal. Aku hanya ingin berbagi pengalaman pada Dio." jelas Candra dengan raut merasa bersalahnya.

"hubungan kami bukanlah hubungan main-main, Candra. Hubungan kami sangat serius. Sudah banyak yang kami korbankan untuk bisa bersama. Sudah banyak kepahitan yang kami lalui. Dan kamu menghancurkannya begitu saja.." suaraku pilu, lebih kepada diriku sendiri.

"sekali lagi aku minta maaf, bang Abe. Aku menyesal. Aku pikir adalah hal biasa kejadian seperti itu dalam hubungan sesama jenis. Aku tidak menyangka sama sekali, kalau cinta kalian berdua begitu besar.." ucap Candra lagi.

Setelah berucap demikian, Candra pun pamit untuk pulang.

Aku masih dalam kesendirianku. Aku masih dengan perasaan bersalahku.

Dulu saat aku dipaksa menikah oleh orangtuaku, terus terang aku memang merasa bersalah pada Dio. Namun rasa bersalah ku kali ini jauh lebih besar dari pada itu.

Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri, kalau aku tidak bisa membuat Dio tersenyum kembali padaku.

Tapi apa yang bisa aku lakukan saat ini?

Semuanya sudah terjadi. Dan aku hanya bisa menyesalinya.

****

Malam berikutnya, tiba-tiba Dio datang ke rumahku.

"Dio? Ada apa?" tanyaku dalam kekagetanku.

"aku minta maaf, bang." ucap Dio lemah, "aku minta maaf, karena telah mengabaikan bang Abe beberapa hari ini.." lanjutnya.

"aku yang harus minta maaf sama kamu, Dio. Aku telah menodai hubungan cinta kita. Aku adalah seorang pengkhianat. Kamu boleh hukum aku apa saja, Dio. Tapi jangan pernah kamu tinggalkan aku seperti ini.." ucapku dengan suara serak.

"aku memang sakit hati, mendengar semua cerita itu dari Candra, bang. Dan aku kecewa. Tapi aku kemudian mengerti dan sadar, kalau apa yang abang lakukan, semua hanya karena terpaksa..." balas Dio pelan.

"aku mungkin terlalu mencintai, bang Abe. Karena itu aku jadi sangat posesif. Namun kemudian aku sadar, bahwa tidak ada cinta yang sempurna di dunia ini. Apa lagi hubungan cinta seperti kita ini." Dio melanjutkan.

"kenapa kamu tiba-tiba jadi berubah pikiran seperti ini, Dio?" tanyaku pelan.

"pertama, mungkin karena aku memang sangat menyayangi bang Abe. Dan kedua karena tadi pagi Candra datang menemuiku. Candra menjelaskan semuanya. Tentang kejadian malam itu dan juga tentang bagaimana perasaan bang Abe padaku sebenarnya." jelas Dio membalas.

Aku menatap wajah tampan itu dengan penuh perasaan.

Terima kasih, Candra. Bisikku dalam hati.

"aneh ya Candra itu.." ucapku tanpa sadar.

"aneh kenapa?" tanya Dio dengan kening berkerut.

"iya, aneh. Awalnya dia sangat mendukung hubungan kita, lalu kemudian, dia tiba-tiba menjadi penyebab retaknya hubungan kita, dan sekarang dia malah berusaha untuk menyelamatkan hubungan kita kembali.." jelasku kemudian.

"udahlah, bang. Kita gak usah bahas tentang Candra lagi. Kecuali kalau bang Abe memang benar-benar menyukainya.." ucap Dio kemudian.

"kamu apaan sih, Dio. Aku hanya mencintai kamu, Dio. Aku hanya mencintai kamu, dulu, sekarang, esok dan selama-lamanya." balasku lembut.

"aku juga hanya mencintai bang Abe.." ucap Dio penuh perasaan.

Sesaat kemudian, kami pun saling berdekapan, untuk melepaskan segala kerinduan kami selama beberapa hari ini.

Dan kemudian, kami pun melakukan ritual kami seperti biasa.

Sebuah ritual yang telah kami lakukan selama bertahun-tahun hubungan kami.

Dunia kembali penuh warna bagiku.

Cinta akan kembali menyatukan aku dan Dio, walau apa pun yang akan terjadi.

Semoga saja, selanjutnya kami akan lebih kuat lagi menghadapi berbagai rintangan yang coba memisahkan cinta kami.

Ya, semoga saja...

****

Sekian ..

Security tampan itu pacarku (part 3) Abe Version

Abe ...

Dio akhirnya pergi. Dia pergi karena aku lebih memilih untuk mempertahankan rumah tanggaku.

Aku memilih untuk tidak menceraikan istriku, setelah anak kami lahir.

Cerpen gay sang penuai mimpi

Dan Dio kecewa akan keputusanku tersebut, karena itu dia pun pergi. Dan aku tidak tahu dimana dia sekarang.

Yang aku tahu, aku selalu merindukannya, memikirkannya hampir setiap saat.

Aku memang memilih untuk tetap hidup bersama istri dan anakku. Tapi hatiku masih selalu mencintai Dio.

Kemana sebenarnya Dio?

Dan mungkinkah kami akan bertemu kembali?

Simak kisah ini sampai selesai ya...

Dan seperti biasa ... bla..bla...

****

Aku sebenarnya patah hati akan kepergian Dio, yang tanpa kabar. Tapi aku juga tidak tega meninggalkan istri dan anakku.

Karena itu, aku berusaha keras untuk mengikhlaskan kepergian Dio. Aku hanya berharap, semoga Dio selalu baik-baik saja.

Terus terang aku memang merasa kehilangan. Ada bagian ddari diriku yang tiba-tiba hilang. Aku merasa rapuh. Tapi aku tidak punya banyak pilihan.

Mungkin memang lebih baik seperti ini.

Cintaku dan cinta Dio memang sama-sama besar. Tapi takdir tidak mengizinkan kami untuk hidup bersama selamanya.

Hari-hari aku lalui dengan berat. Rasanya begitu hampa.

Namun kehadiran anak pertamaku cukup membuatku terhibur.

Istriku juga seorang yang penurut dan tidak banyak tingkah, hal itu cukup membuatku merasa lebih baik.

Namun beberapa bulan kemudian, tiba-tiba istriku meminta pulang ke kampung halaman kami.

"aku mungkin lebih baik tinggal di kampung saja, bang. Aku ingin tinggal di dekat orangtuaku. Abang boleh tetap tinggal disini kok. Dan seperti dulu, abang bisa pulang sekali seminggu.." ucap istri ku meminta pengertianku.

Aku setengah setuju pun memenuhi permintaan istriku. 

Dan seminggu kemudian, aku mengantar istri dan anakku kembali ke kampung. Kemudian aku balik lagi ke tempat kerjaku.

Seperti dulu, aku kembali sendiri disini. Aku semakin merasa sepi.

Andai saja saat ini ada Dio disini. Bathin ku meringis.

Tapi Dio memang telah pergi, dan aku benar-benar tidak dia sekarang berada dimana.

Aku mencoba menjalani hari-hariku lagi. Tanpa ada Dio, tanpa ada istri dan anakku.

Aku memang selalu pulang setiap sabtu sore, dan kembali lagi ke tempat kerja ku pada minggu sorenya.

Bertemu dengan anaku sekali seminggu, membuat aku jadi sedikit punya semangat. Setidaknya sekarang aku jadi punya tujuan.

Tapi sekali lagi, hal itu ternyata tidak berlangsung lama.

Setelah hampir setengah tahun, istriku tinggal di kampung. Dia tiba-tiba meminta cerai padaku.

Aku tidak menerimanya awalnya, namun keinginan istriku sangat kuat.

"aku tidak ingin mengikat bang Abe. Aku ingin memberi kebebasan pada abang.." begitu alasan istriku meminta dari ku.

Aku dengan cukup berat terpaksa menerimanya.

"abang boleh kok, seminggu sekali menemui anak kita.." lanjut istriku lagi.

Aku tahu, selama pernikahan kami, istriku tidak pernah benar-benar merasa bahagia. Dia pasti dapat merasakan, kalau aku tidak pernah mencintainya.

Karena itu juga, aku pun menyetujui permintaan istriku tersebut.

Dan jadilah sekarang aku seorang duda.

Aku semakin merasa kesepian. Aku kembali sendiri. Benar-benar sendiri.

Hidup ku jadi semakin tanpa arah. Aku merasa linglung.

Namun hidup tetap berjalan. Aku harus bisa melewati ini semua. Aku harus bisa melanjutkan hidupku.

Meski tanpa Dio, dan tanpa istriku.

****

Dengan status ku sebagai seorang duda. Aku memang kembali mendapatkan kebebasanku.

Namun saat ini aku merasa hampa. Tiada siapa-siapa yang menemani hidupku.

"melamun lagi, bang Abe?" suara Candra mengagetkanku.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Candra barusan.

Candra adalah seorang security baru, dia yang ternyata mengganti Dio.

Aku memang sudah sering ngobrol dengan Candra. Aku sering mampir di pos penjagaannya. Pos yang dulunya selalu ada Dio disana.

Setiap kali aku berada di pos itu, aku selalu ingat semua kejadian ku bersama Dio.

"udahlah, bang Abe. Kan aku sudah pernah ngomong, lebih baik bang Abe move on aja, cari istri baru.." Candra berucap lagi, melihat keterdiamanku.

Candra memang tahu sedikit banyak tentang kisah rumah tanggaku. Karena aku sering bercerita padanya. Hanya cerita tentang Dio saja yang tidak pernah aku ceritakan kepada Candra.

Candra tidak begitu tampan, tapi dia memiliki senyum yang manis. Kulitnya sedikit gelap, namun tubuhnya sangat kekar.

Aku bukannya tidak bisa move on dari istriku, aku bisa saja mencari istri baru. Tapi masalahnya, aku sebenarnya belum bisa move on dari Dio.

"atau kalau bang Abe mau, saya bisa kenalkan bang Abe dengan teman cewek saya.." suara Candra terdengar lagi, ia sepertinya sangat berusaha untuk menghiburku.

Candra memang orangnya sedikit ceplas ceplos dan blak-blakan. Dia juga terkadang terkesan humoris. Aku merasa sedikit terhibur, saat bersama Candra.

"gak usah, Candra. Aku memang lagi pengen sendirian aja saat ini. Aku butuh waktu untuk bisa pulih kembali.." ucapku akhirnya membalas ucapan Candra.

"itu artinya bang Abe belum bisa move on kan dari istri bang Abe.." balas Candra dengan nada sedikit berkelakar.

"aku bukannya gak bisa move on dari istriku, Can. Tapi sebenarnya aku belum bisa move on dari seseorang.." ucapku pelan.

"maksudnya, bang?" tanya Candra terdengar penasaran.

"udahlah, Can. Bukan apa-apa. Itu hanya cerita di masa lalu saya.." jawabku menghindar.

"oh, jadi selain istri bang Abe, bang Abe juga punya pacar lain?" tanya Candra lagi menerka.

"begitulah, Can. Tapi sekarang semuanya telah pergi..." ucapku menjawab, mencoba sedikit jujur.

"jadi bang Abe punya selingkuhan?" tanya Candra lagi.

"bukan selingkuhan sih, Can. Aku justru pacaran dengannya jauh sebelum aku menikah dengan istriku. Sampai aku menikah pun kami masih tetap menjalin hubungan. Tapi pada akhirnya dia memilih untuk pergi.." jawabku dengan nada sedikit sedih.

"kalau kalian sudah pacaran lama, kenapa kalian tidak menikah saja waktu? Kenapa bang Abe justru menikah dengan perempuan lain?" Candra bertanya lagi.

Aku ingin menjawabnya. Aku ingin menceritakan semuanya pada Candra. Tapi hal itu tentu saja, akan membuat Candra merasa aneh.

"rumit ceritanya, Can. Dan aku tidak ingin mengingatnya lagi.." ucapku akhirnya.

Candra terdiam. Ia terlihat memikirkan sesuatu.

"hanya ada satu kemungkinan kenapa kalian tidak menikah, bang. Ini sih tebakanku aja ya. Namun menurutku kalau kalian memang saling cinta, hanya ada satu alasan kenapa kalian tidak menikah. Yaitu, karena kalian berjenis kelamin sama kan?" Candra berucap lagi.

Kali ini ucapannya, benar-benar membuat aku tertegun. Kenapa juga Candra sampai berpikir seperti itu.

"udah, bang. Gak usah malu.." ucap Candra lagi, melihat keterdiamanku kembali. "abang cerita aja sama saya. Kalau memang pacar abang itu adalah cowok, aku siap kok bang gantiin posisi dia.." lanjut Candra lagi, dengan ucapannya yang selalu ceplas ceplos.

"emangnya kamu mau?" tanyaku tanpa sadar.

"ya, mau lah, bang. Siapa sih yang gak mau sama bang Abe. Udahlah orang cakep, gagah lagi..." balas Candra blak-blakan, yang membuatku jadi sedikit tersipu dengan sanjungannya.

"kamu yakin mau?" tanyaku lagi, sekedar meyakinkan diriku sendiri. Karena menurutku Candra memang orangnya suka asal ngomong. Sulit membedakan kapan ia serius dan kapan bercanda.

"ya gak lah, bang. Emangnya aku ada tampang hombreng? Tapi benaran ya, bang. Kalau pacar bang Abe itu cowok?" ucap Candra kemudian, yang membuatku menghempas napas berat.

"kamu tu ya, Can. Padahal saya sudah berharap loh.." balasku akhirnya.

"udah santai aja, bang. Aku bisa jaga rahasia, kok. Tapi kalau abang mau, jika hanya untuk bersenang-senang aja, aku mau kok. Untuk sekedar menghibur bang Abe aja sih. Lagi pula selama ini bang Abe juga sangat baik padaku. Jadi itung-itung balas budi gitu. Yang penting kita sama-sama hepi.." ucap Candra sambil mengerlingkan mata menggodaku.

Dan aku benar-benar tergoda. Lebih dari setahun aku ditinggal oleh Dio. Dan sudah berbulan-bulan juga aku bercerai dari istriku. Jujur aku memang merasa kesepian. Aku memang butuh sedikit hiburan.

Aku sudah sangat lama tidak merasakan hal tersebut. Kalau Candra memang benar-benar mau, tak ada salahnya aku mencobanya. Kapan lagi coba, melakukan hal tersebut bersama seorang cowok normal.

"ya udah kalau kamu memang serius ingin menghiburku, aku tunggu kamu nanti malam di rumahku.." ucapku akhirnya, lalu kemudian aku segera pergi dari hadapan Candra.

*****

Malam itu, aku menunggu Candra dengan penuh harapan.

Malam-malam yang aku lalui selama ini, selalu aku habiskan dengan rasa kesepianku.

Jika Candra memang benar-benar datang, aku akan memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.

Tapi saat jam sudah hampir jam sembilan malam, Candra tak juga kunjung datang. Yang membuatku jadi patah semangat. Sepertinya Candra tidak serius dengan ucapannya.

Aku segera masuk ke kamarku untuk tertidur.

Dan beberapa menit kemudian, aku mendengar suara ketukan pintu di depan, yang membuatku sedikit terlonjak.

Hatiku sedikit bersorak senang. Candra akhirnya datang juga. Bathinku.

Aku segera membukakan pintu..

Namun betapa kagetnya aku, saat sesosok tubuh laki-laki berdiri di ambang pintu rumahku.

Itu bukan Candra.

"Ardio?!" ucapku setengah tak percaya.

Laki-laki itu, Ardio, memperlihatkan senyum manisnya.

"kapan kamu pulang?" tanyaku lagi.

"jadi aku gak dipersilahkan masuk nih?" ucap Dio, seperti mengabaikan pertanyaanku barusan.

Aku yang masih tergagap segera mempersilahkan Dio masuk.

"apa kabar, bang Abe?" tanya Dio, saat kami sudah berada di dalam rumah.

"saya baik. Kamu sendiri gimana kabarnya? Dan kapan kamu pulang kesini?" balasku berusaha bersikap sewajar mungkin.

"saya juga baik, bang. Saya sudah dua hari pulang kesini." jawab Dio.

"kemana aja kamu selama ini Dio?" tanyaku kemudian, setelah untuk beberapa saat kami hanya saling terdiam.

Aku memang masih selalu memikirkan Dio. Aku bahkan sangat merindukannya. Tapi aku berusaha untuk menahan diriku. Apa lagi malam ini, aku sedang menunggu kehadiran Candra.

"aku dipindah tugaskan, bang. Dan karena waktu abang tidak jadi menceraikan istri abang, aku sengaja tidak memberi kabar apa pun pada bang Abe.." jelas Dio menjawab pertanyaanku.

"dan setelah setahun lebih, aku kembali di pindahkan kesini. Makanya malam ini, aku sempatkan untuk datang menemui bang Abe." lanjut Dio.

"aku sudah tahu, kalau bang Abe sudah bercerai dari istri bang Abe. Candra yang cerita.." Dio melanjutkan lagi.

"kamu kenal Candra?" tanyaku penasaran.

"Candra itu sepupuku, bang." jawab Dio, "Candra juga udah cerita semuanya padaku. Dia juga udah cerita, bagaimana keadaan abang saat ini. Termasuk juga tentang rencana abang malam ini bersamanya.." lanjutnya.

Aku jadi sedikit tersipu mendengar hal tersebut. Seterbuka itukah Candra kepada Dio? Bathin ku bertanya.

"abang gak usah khawatir. Dari awal Candra udah tahu tentang hubungan kita. Hanya saja, aku memintanya untuk merahasiakan semuanya pada abang." ucap Dio menjelaskan.

"sebenarnya Candra juga yang menyuruhku untuk mengajukan pindah lagi kesini. Dia tidak tega melihat kondisi abang saat ini. Dia juga yang menyuruhku datang malam ini.." lanjut Dio lagi.

"Candra memang laki-laki normal, tapi dia sangat mengerti tentang hubungan kita. Selama ini, aku selalu cerita dan minta pendapat pada Candra. Candra juga selalu memberikan kabar tentang abang padaku selama aku tidak berada disini.." jelas Dio lagi.

"hanya saja aku merasa sedikit kecewa, kenapa abang dengan begitu mudahnya tergoda oleh Candra?" lanjutnya lagi.

"tapi kan gak terjadi apa-apa diantara kami, Dio.." balasku cepat untuk membela diri. Aku juga tidak ingin dianggap terlalu gampangan.

"iya, itu karena aku yang datang sekarang. Coba kalau seandainya Candra yang datang, pasti akan terjadi sesuatu kan, bang?" ucap Dio lagi.

"tapi Candra kan belum tentu mau juga kan, Dio.." balasku lagi. "lagi pula, wajar aja sih, kalau aku coba cari pengganti kamu. Kamu kan gak pernah memberi aku kabar apa pun selama ini. Aku kan gak mungkin menunggu orang yang aku tidak tahu, entah dimana keberadaannya. Aku gak mungkin juga selamanya, hidup dalam bayang-bayang masa laluku.." lanjutku menjelaskan.

"oh, jadi sekarang aku hanya masa lalu bagi bang Abe. Pasti sekarang yang ada di hati bang Abe adalah Candra.." balas Dio dengan nada cemburu.

"ya gak lah, Dio. Kamu adalah masa lalu, masa sekarang dan masa depanku.." jawabku tegas.

"lagi pula mana mau Candra sama aku.." lanjutku.

"kalau dia mau, pasti abang mau juga kan?" Dio berucap masih dengan nada cemburunya.

"aku hanya mencintai kamu, Dio. Selalu dan selamanya. Kalau aku sempat tergoda oleh Candra, itu karena kamu yang telah menghilang tanpa kabar.." balasku dengan nada serius.

"iya, aku tahu, bang. Aku hanya ingin meyakinkan kalau hati abang masih untukku.." ucap Dio pelan.

"bukan hanya hatiku, Dio. Jiwa ragaku juga hanya untukmu." balasku penuh perasaan.

Dio tiba-tiba mendekat.

"aku sangat merindukan bang Abe.." bisiknya lembut, yang membuat ku merasa sedikit merinding.

Sudah sangat lama aku tidak mendengar kalimat itu dari Dio.

"aku juga sangat merindukan kamu, Dio..." balasku ringan.

Sejenak kemudian, kami pun saling berdekapan, untuk melepaskan segala kerinduan kami selama ini.

Hatiku terasa berbunga kembali. Kehadiran Dio, benar-benar membuatku punya semangat lagi.

Hatiku yang selama ini terasa hampa, kini kembali merasakan hangatnya sentuhan cinta.

Hidupku jadi berwarna kembali.

****

Begitulah akhirnya. Aku dan Dio kembali menjalin hubungan asmara.

Hubungan kami yang sempat terputus karena keadaan, kini kembali terulang lagi.

Aku merasa sangat bahagia, demikian juga Dio. Aku dapat merasakan kebahagiaannya.

Kini tidak ada lagi yang akan menghalangi cinta kami.

Kami akan tetap bersama selamanya.

Dio adalah cinta terindah dalam perjalanan hidupku, dan dia adalah pelabuhan terakhirku.

Aku akan selalu mencintainya walau apa pun yang akan terjadi nantinya.

Aku ingin hidup bahagia selamanya bersama Dio, sang security tampan dan gagah itu.

Semoga saja, tidak ada lagi sesuatu apa pun yang akan menghancurkan hubungan indah kami berdua.

Ya, semoga saja..

Dan begitulah kisahku bersama sang security tampan itu. Sebuah kisah yang penuh liku-liku, air mata dan juga perjuangan.

Seperti kata Dio, jika kami memang ingin bersatu selamanya, maka kami memang harus saling berkorban.

TERIMA KASIH..

****

SEKIAN..

Security tampan itu, pacarku (part 2) Dio Version

Dio ...

Namanya Abe. Aku biasa memanggilnya bang Abe. Dan dia adalah pacarku.

Aku pacaran dengan bang Abe sudah hampir setahun.

Setiap malam aku dan bang Abe selalu tidur bersama di rumahnya.

Aku seorang security dan bang Abe sendiri adalah seorang mandor panen. Kami sama-sama bekerja di sebuah perusahaan sawit yang cukup besar.

Sebagai seorang karyawan tetap di perusahaan tersebut, bang Abe memang mendapat jatah sebuah rumah di perusahaan tersebut. Dan di rumah itulah kami selalu bertemu hampir setiap malam untuk memadu kasih.

Bagaimana kisah cinta kami terjalin awalnya, bisa kalian simak pada kisah sebelumnya di channel ini.

Atau bisa langsung klik pada deskripsi video ini.

Dan kali ini saya akan bercerita tentang kelanjutan kisah cinta kami yang sudah terjalin dengan manis selama hampir setahun ini.

Seperti apakah kelanjutan kisah cinta kami?

Simak sampai selesai ya..

Namun sebelumnya ... bla...bla...

****

Aku benci bang Abe. Aku sangat membencinya saat ini.

Setelah hampir setahun pacaran, tiba-tiba saja ia memutuskan untuk menikah dengan gadis pilihan orangtuanya di kampung.

Padahal ia sudah berjanji, tidak akan pernah meninggalkan ku walau apapun yang akan terjadi. Tapi nyata nya....

"maafkan aku, Dio..." pelan suara bang Abe sore itu, saat akhirnya ia datang kembali menemui ku, setelah selama dua minggu dia berada di kampungnya untuk melangsungkan pernikahannya.

Hatiku masih terasa sakit. Sangat sakit.

Dua minggu yang lalu, bang Abe tiba-tiba saja pamit padaku untuk pulang ke kampung halamannya karena harus menikah.

Saat itu, bang Abe pergi seperti tanpa ada merasa bersalah sedikit pun. Dia pergi benar-benar tiba-tiba.

Dan sekarang ia datang lagi, dengan kalimat permintaan maafnya.

Semudah itukah? Bathin ku lirih.

"aku benar-benar minta maaf, Dio." bang Abe mengulangi kalimatnya. Aku masih diam.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Ingin rasanya aku mencurahkan semua kekecewaanku padanya. Namun bibirku terasa kaku, karena harus menahan perih di hatiku.

"sebenarnya aku ingin menjelaskan semua ini dari awal, Dio. Tapi aku tidak punya keberanian untuk mengatakannya. Aku takut kamu akan membenciku.." ucap bang Abe lagi.

"lalu bang Abe pikir, sekarang aku tidak membenci bang Abe?" suaraku bergetar.

"iya, aku tahu. Aku sangat mengerti apa yang kamu rasakan saat ini, Dio. Tapi seandainya saja kamu tahu, bahwa aku juga tersiksa dengan semua ini.." bang Abe membalas, suaranya mulai parau.

"kalau bang Abe merasa tersiksa, lalu kenapa bang Abe tidak menolak saja perjodohan tersebut?" tanyaku sedikit sengit.

"seandainya saja aku bisa menolaknya, aku sudah pasti akan menolaknya, Dio. Tapi seandainya saja kamu tahu, seperti apa watak kedua orangtuaku. Mereka sangat keras, Dio. Dan aku tidak ingin menjadi anak yang durhaka.." jelas bang Abe, suaranya masih parau.

"tapi bukankah bang Abe sudah berjanji padaku, tidak akan pernah meninggalkanku..." suaraku masih sengit.

"aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Dio. Aku sangat mencintai kamu. Karena itu aku kembali kesini, hanya untuk kamu.." balas bang Abe pelan.

"tapi faktanya sekarang bang Abe sudah menikah, dan itu sangat membuat aku terluka.." suaraku ikut memelan, hatiku terasa perih.

"aku memang harus menikah, bukan saja karena harus mengikuti keinginan orangtuaku. Tapi juga karena begitulah kodrat ku sebagai seorang laki-laki.." ucap bang Abe.

"namun sekali pun aku sudah menikah, aku masih tetap mencintai kamu, Dio. Aku masih milik kamu seutuhnya. Kita masih bisa tetap bersama, seperti biasa. Aku akan selalu ada untuk kamu, Dio."

"aku hanya akan pulang ke kampung menemui istri ku, sekali dalam seminggu, yaitu setiap sabtu sore dan minggu sorenya aku akan kembali lagi kesini. Aku milik kamu selama aku disini. Kita tetap bisa bersama-sama. Tidak ada yang berubah, Dio." lanjut bang Abe.

"tapi tetap saja aku merasa sakit, bang. Membayangkan abang tidur bersama orang lain, adalah hal paling menyakitkan bagiku. Dan aku tidak rela. Bang Abe hanya milikku." ucapku tegas.

"maafkan aku, Dio. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan keadaanku saat ini. Aku hanya berharap kamu bisa mengerti." balas bang Abe.

"tapi aku tidak bisa, bang. Harus berbagi bang Abe dengan orang lain.." suaraku tegas lagi.

"aku mohon kamu mengerti, Dio. Tak ada bedanya, kan? Selama kita masih bisa bersama." bang Abe berucap, sambil mulai mendekat.

"mudah bagi bang Abe berucap seperti itu. Karena disini aku yang jadi korban, bang. Bukan bang Abe. Aku yang harus menahan rasa cemburuku, setiap kali abang bersama istri abang. Aku sakit, bang. Aku tak sanggup menjalani hubungan seperti itu.." suaraku sedikit terbata.

"aku sangat mengerti bagaimana perasaan kamu Dio. Tapi aku juga memohon sama kamu, untuk bisa mengerti posisiku saat ini. Aku juga sakit. Aku juga terluka.." suara bang Abe terdengar parau lagi.

"enam malam kita bersama, Dio. Dan hanya satu malam aku habiskan waktuku bersama istriku. Apa itu masih belum cukup?" bang Abe melanjutkan.

"entahlah, bang. Aku hanya tak ingin berbagi bang Abe dengan siapa pun, sekali pun itu istri bang Abe.." ucapku pelan.

"aku tidak berbagi diriku dengan orang lain, Dio. Hatiku hanya untukmu.." ucap bang Abe lagi, kali ini ia menatapku tajam.

"tapi tubuh bang Abe juga di sentuh orang lain. Dan itu yang membuat aku sakit.." balasku sambil sedikit menunduk, menghindari tatapan tajam mata bang Abe.

"sebagai seorang suami, aku memang harus menjalankan kewajibanku kepada istriku. Tapi hatiku tetap utuh untukmu, Dio. Dan tidak ada yang akan bisa mengubah itu semua.." bang Abe membalas, ia mengalihkan pandangannya.

"apa arti semua itu, bang. Jika aku tidak bisa memiliki abang seutuhnya.." ucapku lagi.

"aku milik kamu seutuhnya, Dio. Tapi kita juga harus realistis. Kita memang tidak bisa menyatu lebih dari yang telah kita jalani selama ini. Seandainya saja, aku bisa menikahi kamu, aku pasti sudah menikahi kamu, Dio. Tak peduli apapun resikonya."

"tapi pada kenyataannya, hal itu jelas tidak mungkin. Sekali pun kita saling mencintai. Sebesar apapun cinta yang kita punya saat ini, tidak akan membuat semua orang bisa menerima hubungan kita.."

Ucapan bang Abe barusan itu, benar-benar menusuk jantungku. Aku merasa sakit.

Tidak bisa aku pungkiri memang, semua yang diucapkan bang Abe adalah sebuah kebenaran.

Tapi bukankah cinta itu egois?

Tidak ada seorang pun yang rela berbagi orang yang ia cintai dengan orang lain. Terlepas dari apa pun statusnya. Terlepas dari cinta sesama jenis atau bukan.

Namun pada akhirnya aku memang harus menyerah. Aku terlalu mencintai bang Abe. Aku mencoba mengikhlaskan hatiku, menerima semua kenyataan yang ada. Menerima kenyataan bahwa, bang Abe sekarang bukan lagi bang Abe yang dulu.

Dulu aku bisa memilikinya seutuhnya, tanpa batas. Bang Abe hanya milikkku sendiri.

Tapi kenyataannya sekarang, dia sudah menjadi suami orang. Aku jarus rela berbagi dirinya dengan istrinya.

Meski sakit, aku harus menerimanya. Aku harus menjalaninya.

Setidaknya aku masih bisa terus bersamanya, menikmati keindahan cinta kami, meski pun tentu saja tidak lagi sesempurna dulu.

****

Aku mencoba terus menjalani hubunganku bersama bang Abe. Menikmati setiap detik kebersamaan kami.

Seperti janjinya, bang Abe memang setiap sabtu sore pulang ke kampung dan bertemu istrinya, lalu kemudian, sore minggunya ia sudah kembali ke tempat kerja.

Selama di rumah tempat kerjanya itulah, kami selalu bertemu setiap malam.

Kami selalu menghabiskan waktu bersama. Merajut benang-benang cinta.

Selama enam malam dalam seminggu aku bisa bersama bang Abe. Dan hal itu sebenarnya sudah lebih dari cukup. Namun tetap saja, aku merasa sakit setiap kali bang Abe pulang ke rumah istrinya di kampung.

Aku berhak cemburu kan?

Tapi bang Abe selalu berhasil membuatku terlena dengan segala rayuan cintanya padaku, yang membuatku tetap merasa bahagia.

Namun kebahagiaan itu ternyata tidak berlangsung lama.

Beberapa bulan kemudian, bang Abe bercerita padaku, kalau saat ini istriny sedang hamil.

Aku merasa sakit kembali. Aku tak bisa menerima semua itu.

Rasa cemburuku kian menjadi-jadi.

"orangtua dan keluargaku, menuntut kami untuk segera punya keturunan, Dio. Dan aku tidak bisa menghindar lagi. Aku harus memenuhi keinginan orangtuaku.." ucap bang Abe berusaha memberi pengertian padaku.

"dan selama istriku hamil, ia akan tinggal bersamaku disini.." lanjutnya pelan.

Aku menatap tajam kearah bang Abe. Jika istrinya tinggal bersamanya disini. Itu berarti kami tidak punya waktu lagi untuk bersama.

"maafkan aku, Dio. Semua itu adalah permintaan orangtuaku.." bang Abe berucap lagi, menjawab tatapan tajamku.

"lalu bagaimana dengan hubungan kita, bang?" tanyaku akhirnya.

"kita akan tetap bersama, Dio. Tidak akan ada yang berubah.." balas bang Abe tegas.

"kalau istri bang Abe tinggal disini, bagaimana kita bisa bersama, bang?" tanyaku lagi.

"kita bisa bertemu dimana saja, Dio. Gak harus di rumahku kan?" jawab bang Abe.

"tapi pasti akan sangat sulit bagi kita untuk bertemu, bang. Dan kalau pun bisa bertemu pasti waktu kita terbatas. Aku tidak bisa lagi tidur bersama bang Abe.." ucapku kemudian.

"iya, aku tahu itu. Tapi setidaknya kita masih bisa terus bersama kan?" balas bang Abe.

"aku pasti tidak kuat melihat bang Abe bersama istri bang Abe.." ucapku lagi.

"kamu harus sabar, Dio. Kita akan melewati ini bersama.." balas bang Abe lagi.

"mungkin bagi bang Abe ini mudah. Tapi tidak bagiku, bang. Disini aku yang jadi korban..." suaraku sedikit meninggi.

"aku juga korban disini, Dio. Andai kamu mengerti, betapa tersiksanya aku menjalani ini semua. Tapi aku bisa apa?" suara bang Abe mulai serak.

"abang bisa ceraikan istri abang.." suaraku bergetar, ucapan itu keluar juga dari mulutku. Ucapan yang sudah sangat lama ingin aku ungkapkan.

"gak semudah itu, Dio. Apa lagi saat ini istriku sedang hamil. Dan lagi pula, andai engkau tahu, bagaimana keluarga dan orangtuaku. Mereka pasti akan mengutukku, jika aku menceraikan istriku tanpa alasan yang jelas.." bang Abe membalas juga akhirnya, setelah untuk beberapa saat ia terdiam.

"kalau begitu kenapa abang gak jujur saja sama istri abang, kalau abang tidak mencintainya. Abang juga bisa ceritakan tentang hubungan kita. Setidaknya dengan begitu, istri abang pasti akan meminta cerai.." ucapku lagi.

"dan setelah itu apa? Kita akan menikah?" ucap bang Abe sedikit kasar, keningnya mengerut. "kamu jangan bodoh, Dio. Kita harus realistis. Lagi pula jika aku menceritakan semuanya pada istriku, ia pasti akan menceritakan juga pada orangtuaku. Dan orangtuaku pasti akan mengutukku dan tidak akan menganggapku sebagai anak mereka lagi.." lanjutnya.

Aku terhempas pilu. Sakit sekali rasanya. Tapi seperti kata bang Abe, aku memang harus realistis.

Cintaku dan cinta bang Abe memang sangat besar. Namun sebesar apapun cinta kami, tetap hal itu tidak akan membuat kami bisa bersama seutuhnya.

Dan dengan berat hati akhirnya, aku memang harus merelakan bang Abe untuk tinggal serumah bersama istrinya di sini.

****

Seminggu kemudian, bang Abe pun membawa istrinya ke perumahan tempat ia bekerja. Ke rumah yang selama ini menjadi saksi hubungan indah kami.

Aku sempat melihat istri bang Abe. Ia wanita yang cantik dan juga soleha. Ia terlihat anggun dengan hijabnya yang panjang. Senyumnya ramah.

Aku justru jadi merasa bersalah saat melihat istri bang Abe.

Bagaimana mungkin aku tega menghancurkan kebahagiaan wanita baik itu?

Ia tidak tahu apa-apa. Ia mungkin hanya mencoba menjadi istri yang baik untuk bang Abe. Ia mungkin hanya mencoba menjadi anak yang berbakti, dan memenuhi keinginan orangtuanya untuk dijodohkan dengan bang Abe.

Aku mungkin memang menjadi korban dalam kisah ini, bang Abe juga jadi korban. Namun korban yang sebenarnya adalah istri bang Abe.

Ia jadi korban dari keegoisan cintaku dan bang Abe.

Tiba-tiba hatiku teresa terenyuh. Antara kecewa, marah, cemburu, dan merasa bersalah.

*****

Keesokan harinya, bang Abe menghampiriku di pos penjagaan. Tapi ia tidak mengucapkan apa-apa.

Aku juga hanya terdiam. Aku tidak tahu harus mengatakan apa saat ini.

Hubungan kami terasa asing bagiku. Mungkin bagi bang Abe juga.

Tiba-tiba kami merasa ada jarak yang begitu jauh diantara kami. Kemesraan kami selama ini, tiba-tiba hilang.

Kami hanya saling tatap tanpa makna. Tanpa mengerti apa yang sedang kami pikirkan masing-masing.

Aku bahkan merasa, kalau aku sudah tidak bisa berpikir lagi tentang hubungan kami.

Semuanya terasa gelap. Kelam. Sepi. Dan buntu.

Kami menemukan jalan buntu dari hubungan kami. Kami pasrah.

Tapi hatiku masih sangat mencintai bang Abe. Dia satu-satunya orang yang paling aku sayang saat ini.

Aku rela dia menikah, aku juga rela saat tahu istrinya hamil. Namun sekarang, aku jadi semakin terluka, melihat bang Abe akhirnya tinggal serumah dengan istrinya. Dan lebih menyakitkannya lagi, mereka tinggal di rumah yang dulunya adalah rumah tempat kami saling memadu kasih.

Beberapa saat kemudian, bang Abe pun berlalu, masih tanpa sepatah kata pun. Aku juga enggan berbicara.

Aku lelah dengan hubungan kami. Tapi siapa yang akan aku salahkan dalam hal ini?

Salahkah aku bila terlalu mencintai bang Abe?

Ataukah salah bang Abe yang juga dengan tulus mencintaiku?

Atau mungkin ini adalah salah istrinya bang Abe yang dengan pasrah mau saja menikah dengan bang Abe?

Aku tidak tahu, sekali lagi aku tidak tahu siapa yang salah sebenarnya.

Aku jadi benci dengan bang Abe. Aku jadi benci dengan diriku sendiri. Aku benci akan perasaan cintaku.

Aku jadi benci dengan istri bang Abe, yang tiba-tiba saja hadir diantara kami.

Aku jadi benci orangtua bang Abe, yang dengan otoriternya memaksa bang Abe menikah.

Aku benci semuannya. Aku benci hidup ini.

Tiba-tiba hidup ini terasa tak adil bagiku.

*****

"aku ingin kita pisah, bang.." ucapku dengan suara serak.

Aku sengaja mengajak bang Abe bertemu di dalam kebun sawit yang cukup sepi.

"maksud kamu apa?" tanya bang Abe dengan kening berkerut.

"aku sudah tidak sanggup lagi bang menjalani semua ini. Aku capek, bang. Aku capek harus setiap hari menahan rasa cemburuku. Aku capek harus setiap hari menahan keinginanku untuk bisa bersama abang. Aku benar-benar capek, bang. Jadi aku pikir, mungkin lebih baik kalau kita akhiri saja semuanya." ucapku masih dengan suara serak.

Semalaman aku menangis memikirkan tentang hubungan kami. Aku tahu, kalau bang Abe sangat mencintaiku. Tapi apa arti semua itu, jika kami tetap tidak bisa menyatu.

"aku mohon, Dio. Kamu jangan pernah meninggalkanku. Aku sangat mencintai kamu..." suara bang Abe tiba-tiba terbata.

"tapi aku sudah tidak kuat lagi, bang. Aku ingin bang Abe memilih. Jika abang mencintaiku, abang harus ceraikan istri abang. Namun jikaabang tidak bisa menceraikan istri abang, walau dengan alasan apapun, lebih baik kita pisah, bang.." ucapku berusaha tegas.

"kamu jangan bikin aku semakin bingung, Dio. Aku tidak bisa memilih untuk saat ini. Aku ingin kamu sedikit bersabar. Kita pasti bisa melewati ini semua bersama..." suara bang Abe parau.

"tidak ada yang harus kita lewati, bang. Kita hanya harus memilih. Dan aku sudah punya pilihan. Jika memang begitu berat bagi bang Abe untuk menceraikan istri abang, aku yang memilih untuk pergi, bang. Aku akan pergi dari sini. Aku akan pergi jauh dari kehidupan abang.." aku berucap kembali.

"kamu akan pergi kemana, Dio?" tanya bang Abe spontan.

"abang tidak harus tahu, dan itu juga tidak penting. Yang penting sekarang, abang harus bisa membuat pilihan..." jawabku tegas.

"aku sangat mencintai kamu, Dio.." ucap bang Abe tulus.

"aku juga sangat mencintai bang Abe.." balasku lebih tulus.

"tapi seperti yang abang katakan, kita juga harus realistis. Jika aku tidak bisa memiliki abang seutuhnya, maka aku memilih untuk tidak memiliki abang sama sekali.." aku melanjutkan.

"tapi aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Dio.." suara bang Abe menghiba.

"kalau begitu ceraikan istri abang.." balas ku tegas.

"aku butuh waktu, Dio. Aku butuh waktu untuk berpikir. Banyak yang harus aku pikirkan dalam hal ini. Banyak yang harus aku korbankan. Tidak mudah bagiku untuk membuat pilihan saat ini.." suara bang Abe masih terdengar menghiba.

"aku juga telah dan akan mengorbankan banyak untuk bisa bersama bang Abe. Karena itu aku ingin kita adil. Jika kita memang ingin saling memiliki secara utuh, maka kita memang harus saling berkorban.." balasku lugas.

Aku tidak ingin lemah lagi karena cinta. Aku harus tegas dengan hubungan kami. Selama ini aku membiarkan bang Abe melakukan apapun yang ingin ia lakukan dan aku hanya bisa pasrah menerimanya. Namun sekarang aku harus benar-benar tegas dan tega.

"kamu sih gampang, Dio. Karena kamu belum menikah.." bang Abe membalas.

"jika abang bercerai dari istri abang dan hidup bersamaku, maka aku berjanji bang, aku tidak akan pernah menikah, selama abang masih bersamaku. Dan itu adalah salah satu pengorbananku untuk bisa mewujudkan cinta kita.." balasku penuh keyakinan.

Kali ini bang Abe terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras.

"mungkin kamu benar, Dio. Untuk bisa saling menyatu, kita memang harus saling berkorban. Tapi aku butuh waktu, Dio. Aku tidak mungkin menceraikan istriku saat ini, karena dia sedang hamil. Aku akan menceraikannya nanti kalau ia sudah melahirkan anak kami."

"namun untuk sementara, aku ingin kamu tetap bertahan. Aku ingin kita tetap bersama. Aku janji akan membuat pilihan, setelah anakku lahir nantinya.." ucap bang Abe akhirnya.

Hatiku pun akhirnya luluh. Menunggu beberapa bulan lagi, tidaklah terlalu jadi masalah bagiku.

Setidaknya hubungan kami jadi punya tujuan yang jelas.

"oke. Aku akan beri abang waktu. Namun selama itu, aku ingin kita tetap menjaga jarak. Kita akan bertemu hanya pada waktu-waktu tertentu.." ucapku akhirnya terdengar pasrah.

****

Dan begitulah akhirnya. Aku dan bang Abe tetap menjalin hubungan diam-diam. Meski tentu saja, intensitas dan kwalitas pertemuan kami semakin sempit dan terbatas.

Hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi nantinya.

Pertama, bang Abe akan menepati janjinya dan menceraikan istrinya serta hidup bersamaku selamanya.

Atau bang Abe akhirnya berubah pikiran, setelah anaknya lahir, dan ia memilih untuk tetap mempertahankan rumah tangganya. Dan kami akan berpisah untuk selamanya.

Aku hanya berharap, semoga bang Abe bisa membuat pilihan yang tepat.

Aku hanya berharap, pilihan apa pun yang akan bang Abe pilih untuk hubungan kami, semoga aku bisa menerimanya dengan lapang dada.

Ya, semoga saja..

****

Sekian..

Security tampan itu, pacarku... (part 1) Abe version

Abe ...

Namanya Ardio. Biasa dipanggil Dio.

Dia seorang security di sebuah kebun sawit milik sebuah perusahaan besar.

Sementara saya adalah seorang mandor panen di kebun sawit tersebut.

Aku mengenal Dio, karena sering mampir di pos nya saat ia sedang bertugas.

Dio seorang pemuda yang ramah. Usianya masih dua puluh tiga tahun, empat tahun lebih muda dari ku.

Wajahnya tampan dengan rambutnya yang ikal, serta postur tubuhnya yang lumayan kekar.

Sejak mengenal Dio, aku jadi punya semangat baru untuk bekerja.

Aku bekerja sudah lebih dari empat tahun di perusahaan sawit tersebut. Sementara Dio, baru bekerja selama satu tahun belakangan ini.

Sejak pertama melihat dan kenal dengan Dio, aku merasa sudah tertarik dengannya.

Aku jatuh cinta pada Dio. Ingin sekali rasanya bisa memilikinya.

Namun aku cukup sadar, kalau hal itu terasa mustahil bagiku.

Biar bagaimana pun aku dan Dio berjenis kelamin yang sama. Sulit rasany mewujudkan impian ku untuk bisa mendapatkan Dio.

Tapi aku tetap setia dengan perasaanku padanya. Aku tetap tulus mencintainya.

Bagi ku, bisa melihat ia tersenyum saja itu sudah cukup membuat aku bahagia.

Bagaimanakah kisah ku dengan Dio terjalin?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya......bla..bla..

****

Hari-hari terus berlalu. Aku tetap bekerja seperti biasa. Dan sekali-kali aku sempatkan untuk mampir di pos Dio, jika ia masuk kerja.

Sebagai security Dio memang tidak setiap hari masuk kerja. Dalam seminggu biasanya Dio masuk kerja siang selama dua hari, kemudian masuk kerja malam selama dua malam pula. Selebihnya Dio off kerja.

Sementara aku sebagai mandor panen, memang setiap hari masuk kerja, kecuali hari minggu.

Aku masuk kerja dari pagi sampai sore hari, dan terkadang juga sampai malam.

Aku tinggal di perumahan yang memang disediakan oleh perusahaan untuk tempat tinggal para karyawan.

Aku tinggal sendiri, karena aku adalah seorang perantau. Orangtua dan semua keluargaku tinggal di kampung yang cukup jauh dari perusahaan tempat aku bekerja.

Sedangkan Dio sendiri tinggal bersama keluarganya di sebuah desa yang hanya berjarak lima kilometer dari perusahaan sawit tersebut.

Karena sering ngobrol, aku dan Dio pun kian dekat dan akrab.

Dari Dio, aku tahu, kalau ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara.

Kakak pertamanya seorang laki-laki dan sudah menikah, sedangkan adiknya seorang perempuan yang masih SMA saat ini.

Ayahnya adalah seorang nelayan, sedangkan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga biasa.

Kehidupan Dio secara ekonomi memang tidak terlalu baik. Namun Dio punya semangat yang kuat dalam bekerja.

"orang seperti saya, memang harus kerja keras, bang Abe.." ucap Dio suatu senja.

Saat itu aku hendak pulang ke rumah, dan aku sempatkan untuk mampir di pos penjagaan yang memang berada di jalan menuju perumahan tempat aku tinggal. Kebetulan saat itu Dio baru saja datang, karena ia memang bertugas malam itu.

"bukan hanya kamu Dio, setiap orang memang harus bekerja keras kan?" balasku ringan.

"gak semua orang, bang Abe. Ada orang yang terlahir dari keluarga yang serba ada. Mereka hanya sekolah, lalu kemudian setelah lulus kuliah, mereka pun bekerja pada perusahaan orangtuanya. Mereka tidak harus memikirkan tentang biaya sekolah apa lagi biaya hidup..." ucap Dio kemudian, yang membuatku sedikit mengangguk setuju.

Dio memang hanya lulusan SMA, tapi cara dia berpikir tentang hidup ini, terdengar sangat luas dan dewasa.

Hal itu justru menambah rasa kagumku padanya. Selain fisiknya yang memang menarik, sikapnya juga sangat mengagumkan.

****

Suatu malam aku dengan cukup nekat mengajak Dio mampir ke rumahku.

Saat itu, Dio baru saja selesai tugas dan digantikan oleh security lainnya.

Biasanya kalau masuk kerja siang, Dio mulai bekerja dari jam delapan pagi sampai jam delapan malam.

Sedangkan jika masuk malam, Dio mulai bekerja dari jam delapan malam sampai jam delapan pagi.

Waktu itu, Dio masuk kerja siang dan hendak pulang ketika sudah jam delapan malam.

Namun aku mencoba berbasa-basi padanya, dan mengajaknya singgah di rumahku.

Dio tidak keberatan. Apa lagi selama kami saling kenal, Dio belum pernah sekali pun mampir ke rumahku.

"enak ya jadi bang Abe. Kerja nya santai, gajinya besar dan di kasih rumah juga sama perusahaan.." ucap Dio, saat kami sudah berada di dalam rumahku.

"gak juga, Dio. Rumah ini kan cuma pinjaman. Nanti kalau aku sudah gak kerja di sini lagi, pasti bakal diambil alih lagi oleh perusahaan.." balasku berusaha santai.

"emangnya ada rencana bang Abe untuk berhenti kerja dari sini?" tanya Dio kemudian.

"ya gak juga sih. Tapi kan mungkin saja suatu saat nanti perusahaan sudah tidak membutuhkan aku lagi..." balasku seadanya.

"sayanglah kalau gitu..." ucap Dio tiba-tiba.

"kok sayang?" tanyaku dengan kening sedikit berkerut.

"kalau bang Abe berhenti, aku jadi gak bisa ketemu bang Abe lagi dong..." balas Dio lugas.

"emang kenapa kalau gak bisa ketemu saya lagi?" tanyaku dengan sedikit memancing.

"yah... gak kenapa-kenapa, sih. Mungkin bakalan kangen aja.." balas Dio dengan sedikit menunduk.

"ah.. kamu bisa aja, Dio. Ngapain kamu kangen sama saya? Kita kan cuma berteman.." balasku dengan sedikit menekan suara.

"emang gak boleh ya, kalau aku kangen sama bang Abe...?" tanya Dio kemudian.

"ya bolehlah. Masa' gak? Tapi itu kan belum terjadi, Dio. Sekarang aku kan masih disini.." balasku.

"iya, bang. Tapi aku benaran loh. Gak bertemu bang Abe satu hari aja, aku sudah kangen.." suara Dio bergetar. Dan getaran suara itu sampai menyentuh jantungku.

Dio kangen samaku? Apa itu berarti kalau Dio juga suka padaku? tanyaku membathin.

"aku suka sama bang Abe. Bang Abe baik, manis lagi. Aku suka kalau melihat bang Abe tersenyum.." ucap Dio, setelah beberapa saat kami terdiam.

"aku juga suka sama kamu, Dio. Kamu sangat tampan dan juga sangat gagah. Aku bahkan sudah sangat lama menyukai kamu.." balasku dengan suara bergetar.

"tapi kenapa selama ini bang Abe hanya diam-diam saja. Bahkan terkesan cukup cuek padaku.." timpal Dio kemudian.

"ya, aku kan gak berani berterus terang sama kamu, Dio. Aku takut kamu nantinya malah menjauh dariku.." balasku mulai terasa santai.

"aku juga suka sama bang Abe. Aku cinta sama bang Abe..." ucap Dio penuh perasaan.

"aku juga mencintai kamu, Dio." balasku lembut.

Tanganku perlahan mulai menyentuh lembut tangan kekar Dio.

"sudah sangat lama aku ingin sekali memelukmu, Dio." ucapku pelan, "jadi sekarang boleh kan aku peluk kamu?" lanjutku sopan.

"boleh aja sih, bang. Aku juga pengen di peluk bang Abe. Tapi aku belum mandi loh, bang.." balas Dio, sambil tersenyum manis.

"kamu gak mandi sepuluh hari juga gak apa-apa, Dio. Di mataku kamu selalu terlihat sempurna.." aku berucap, sambil mulai mendekatkan tubuhku.

"ah, bang Abe bisa aja. Aku jadi malu loh, bang. Tapi aku juga pengen sih.." balas Dio lagi, sambil ikut mendekatkan tubuhnya.

Malam itu, untuk pertama kalinya, aku dan Dio pun melakukan sebuah pergelaran yang indah.

Sungguh malam yang indah bagiku dan Dio. Akhirnya security tampan dan gagah itu, bisa aku miliki seutuhnya. Seperti yang aku inginkan selama ini.

"aku sayang sama bang Abe.." bisik Dio di tengah pergelaran kami.

"aku juga sayang sama kamu, Dio." balasku dengan penuh perasaan.

Cintaku dan cinta Dio, akhirnya menyatu. Dan sejak malam itu aku dan Dio pun resmi berpacaran.

****

Hari-hari selanjutnya terasa sangat indah bagiku. Sekarang hampir setiap malam, Dio selalu datang ke rumahku.

Dan jika Dio bertugas malam hari, aku selalu menyempatkan diri untuk menemaninya di pos penjagaan.

Rasanya dunia begitu indah bagiku.

Cinta yang selama ini aku pendam, akhirnya tercurah sudah.

Kini tidak ada lagi batas antara aku dan Dio.

"aku bahagia, bang. Akhirnya aku bisa merasakan dicintai oleh orang yang aku cintai.." begitu ucap Dio suatu malam padaku.

"aku juga bahagia bisa memiliki kamu, Dio. Aku ingin selamanya kita tetap bersama, hingga maut memisahkan kita.." balasku pelan.

"aku harap bang Abe tidak akan pernah meninggalkan ku, walau dengan alasan apa pun. Aku terlalu mencintai bang Abe.." ucap Dio lagi.

"aku janji, Dio. Selama kamu masih setia denganku, aku akan selalu ada di sampingmu. Aku akan selalu mencintaimu.." balasku lagi.

Aku memang sangat mencintai Dio, dan aku berharap tiada apa pun yang akan memisahkan kami.

Meski pun hubungan kami hanyalah sebuah rahasia, dan tiada siapa pun yang tahu.

Namun kami bahagia dengan semua itu.

Sebenarnya jauh dari dasar hatiku, ingin sekali rasanya aku menceritakan kepada orang-orang tentang hubunganku dengan Dio. Aku ingin orang-orang tahu, kalau security tampan itu adalah pacarku.

Tapi pada kenyataannya, aku dan Dio memang hanya bisa merahasiakan hal tersebut. Entah sampai kapan?

Cinta mungkin memang bukan sesuatu yang harus di umbar-umbar, tapi jujur saja, ada rasa bangga dalam hatiku, bisa memiliki Dio sebagai pacarku.

Dan aku ingin orang-orang tahu hal itu.

Karena itulah aku menceritakan semuanya di sini. Aku ingin mengungkapkan bahwa betapa bahagia dan bangganya aku bisa berpacaran dengan Dio. Seorang security tampan dan gagah.

Terima kasih telah sudi mendengar kisah cinta ku ini. Semoga bisa menjadi hiburan bagi kalian semua.

Dan semoga ada pelajaran yang bisa diambil dari kisah sederhana ini.

Salam sayang untuk kalian semua..

****

Sekian..

Hatiku di curi sang BOS

Namaku Randy. Saat ini usiaku sudah dua puluh dua tahun.

Aku bekerja di sebuah laundry yang cukup besar di kota ku. Ada tujuh orang karyawan yang bekerja di sana. Dan aku bertugas sebagai tukang sorter pakaian dari setiap pelanggan. lebih tepatnya, aku yang memisahkan pakaian-pakaian pelanggan berdasarkan jenis bahan, bentuk cucian, tingkat kekotoran dan warna cucian.

Beberapa orang lainnya ada yang bertugas mencuci dan memeras, mengeringkan, melicinkan serta beberapa tugas lainnya. Selebihnya kami sebenarnya bekerja sama dalam menyelesaikan setiap tugas kami.

Kami bekerja dari pagi sampai sore setiap harinya. Tentu saja dengan gaji yang kami terima setiap bulannya.

Pemilik laundry tempat aku bekerja adalah seorang laki-laki paroh baya, yang sudah menikah dan sudah mempunyai dua orang anak.

Namanya pak Ramli. Begitu biasanya kami memanggil beliau.

Pak Ramli seorang yang baik, ramah serta sangat royal kepada kami sebagai karyawannya.

Laudry tempat aku bekerja tersebut sebenarnya masih satu atap dengan rumah tempat pak Ramli dan keluarganya tinggal. Hanya saja ada sekat yang memisahkan rumah pak Ramli dengan ruangan tempat laundry tersebut.

Rumah itu sangat besar dengan halaman yang cukup luas.

Aku bekerja di sana baru sekitar tiga bulan, menggantikan seorang karyawan yang baru saja mengundurkan diri karena akan menikah.

Aku hanya lulusan SMA. Jadi hanya pekerjaan seperti inilah yang bisa aku dapatkan. Sebelumnya aku sempat bekerja serabutan di kota. Menjadi buruh angkut dan pernah juga menjadi kuli bangunan.

Aku seorang yatim. Ayahku sudah lama meninggal, karena sakit. Ibu ku juga saat ini sering sakit-sakitan.

Aku anak ketiga dari empat bersaudara. Kedua kakakku perempuan dan sudah menikah. Sedangkan adik perempuan bungsu ku, masih kuliah saat ini.

Aku, adik bungsu ku dan ibu ku tinggal serumah, sedangkan kedua kakak perempuan ku sudah tinggal di rumahnya masing-masing, meski tentu saja masih kontrak.

Aku memang harus bekerja keras, untuk biaya hidup kami dan juga untuk biaya kuliah adikku.

Sebagai anak laki-laki satu-satunya, mau tidak mau saat ini aku harus menjadi tulang punggung keluarga ku. Beruntunglah kakak ku yang nomor dua punya suami yang sudah memiliki pekerjaan yang cukup mapan, sehingga bisa sedikit membantu keuangan keluarga kami.

Dan begitulah kehidupan yang aku jalani setiap harinya.

****

Meski pun baru bekerja tiga bulan, kehadiranku di sana sangat di terima dengan baik oleh rekan-rekan kerja lainnya. Pak Ramli juga menyambutku dengan baik.

Aku merasa betah bekerja di sana. Aku seperti menemukan keluarga baru di sana.

Apa lagi sejak mengenal pak Ramli, si pemilik usaha laundry tersebut. Meski pun sudah berusia kepala empat, ketampanan wajah pak Ramli masih terlihat utuh. Tubunya juga berotot dan terlihat gagah.

Sejak pertama melihat pak Ramli aku mulai menaruh hati padanya. Meski tentu saja, semua itu hanya aku pendam sendiri. Biar bagaimana pun pak Ramli sudah menikah dan sudah mempunyai anak. Yang artinya, sangat tidak mungkin bagiku untuk bisa memilikinya.

Tapi cinta adalah cinta. Ia tak mengenal ruang dan waktu. Cinta bisa tumbuh kapan saja dan kepada siapa saja. Dan itu yang aku rasakan.

Aku jadi punya semangat lebih untuk berangkat kerja setiap paginya. Aku bahagia bisa menatap wajah tampan pak Ramli. Mendengar lantunan suaranya yang terdengar maskulin.

Aku suka memperhatikan pak Ramli diam-diam. Menatapnya dari kejauhan. Dan kemudian mengkhayalkannya di setiap menjelang tidurku.

Dunia ku menjadi penuh warna dengan semua itu. Aku jadi punya tujuan tersendiri dalam hidupku.

Aku mencintai pak Ramli dan akan selalu mencintainya. Meski pun aku sadar, bahwa semua itu adalah sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan yang indah.

"woi.. melamun aja dari tadi.." suara Tegar, salah satu rekan kerjaku membuyarkan lamunanku tentang pak Ramli pagi itu.

Aku tidak menajwab teguran itu. Namun buru-buru aku kembali mulai bekerja.

Saat itu tiba-tiba pak Ramli datang. Dia hanya memakai celana jeans pendek dengan baju kaos oblong putihnya.

Kaki pak Ramli memang ditumbuhi bulu-bulu halus yang lebat. Dadanya terlihat bidang. Rahangnya kokoh. Hidungnya mancung, dengan lekukan tipis di pipi kirinya.

Benar-benar sosok laki-laki sempurna. Betapa beruntungnya istri pak Ramli bisa memilikinya tanpa batas.

Sementara aku hanya bisa mengkhayalkannya.

"kamu bisa temani saya sebentar ke pasar, Randy?" ucap pak Ramli padaku.

"ibu lagi gak enak badan, jadi hari ini ia memintaku untuk belanja.." lanjut pak Ramli.

"iya, bisa, pak.." jawabku sedikit bergetar.

Membayangkan aku satu mobil dengan pak Ramli dan bisa dekat-dekat dengannya, membuat debaran di jantungku jadi dua kali lebih cepat dari biasanya.

Dengan perasaan yang berdebar-debar itu, aku mengikuti langkah pak Ramli menuju mobil di garasi.

Perjalanan ke pasar dari rumah pak Ramli sebenarnya tidak begitu jauh, mungkin hanya butuh waktu sepuluh menit.

Aku duduk di samping pak Ramli dengan perasaan yang masih berdebar-debar. Aku hanya menunduk, tak berani menatap ke arah pak Ramli yang sedang menyetir.

"kamu kok kelihatan grogi, Randy. Kamu gak suka menemani saya ke pasar?" tegur pak Ramli, melihat aku yang salah tingkah.

"gak kok, pak. Saya malah senang diajak pak Ramli.." balasku, suaraku masih bergetar.

"senang kok mukanya di tekuk gitu?" ucap pak Ramli lagi.

"gak ditekuk kok, pak. Saya emang gini orangnya.." balasku asal-asalan.

"kalau senang senyum dong. Padahal kamu kalau senyum manis loh.." ucap pak Ramli kemudian, yang membuatku semakin merasa tak karuan.

Pak Ramli menatapku beberapa saat, melihat reaksi ku yang jadi serba salah.

"ah, pak Ramli bisa aja.." ucapku akhirnya, sekedar menenangkan pikiranku.

"benaran loh.. kamu manis. Saya suka lihat kamu tersenyum.." ucap pak Ramli semakin blak-blakan.

"pak Ramli juga gagah, tampan lagi.." balasku tanpa sadar.

Ucapan pak Ramli yang blak-blakan barusan, membuat aku jadi sedikit berani untuk sekedar menatapnya.

"tapi udah tua.." balas pak Ramli spontan.

"gak kelihatan tua kok, pak. Masih segar dan terlihat awet muda.." ucapku lagi semakin berani.

Pak Ramli kembali menatapku. Ia memperlihatkan senyum manisnya.

"kamu suka gak?" tanyanya kemudian, sambil kembali menatap jalanan.

"siapa yang gak suka dengan orang setampan dan segagah pak Ramli?" balasku mulai terasa santai.

Keramahan dan keterbukaan pak Ramli, membuatku jadi merasa lebih leluasa untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan padanya.

"tapi saya udah nikah loh, udah punya anak juga.." pak Ramli berucap lagi.

"kalau saya sih, jangankan di jadikan yang kedua sama pak Ramli, dijadikan yang kesepuluh saya pun pasti mau, pak.." aku membalas semakin blak-blakan.

Ada kelegaan tersendiri yang aku rasakan, saat perasaanku terhadap pak Ramli mulai terungkap.

"kamu yakin mau sama saya? yang sudah tua, sudah punya istri dan anak juga?" tanya pak Ramli lagi.

"saya sih yakin, pak. Tapi bagaimana dengan pak Ramli sendiri. Pak Ramli suka gak sama saya?" balasku ringan.

"melihat kamu tersenyum saja saya suka. Apa lagi ... kalau sampai bisa memiliki kamu.." ucap pak Ramli. Saat itu mobil kami sudah parkir di tempat parkir pasar tersebut.

Pembicaraan kami pun terputus, karena harus segera turun dan berbelanja.

Namun hatiku merasa berbunga-bunga saat itu. Indah sekali rasanya. Bisa berjalan berduaan dengan pria pujaanku. Tambahan lagi, aku akhirnya tahu, kalau pak Ramli juga menyukaiku.

Kebahagiaanku menjadi berlipat-lipat saat itu.

****

"jadi gimana? Kamu mau kan jadi yang kedua?" tanya pak Ramli, saat itu kami sudah berada di jalan menuju pulang.

"iya, saya mau, pak..." balasku cepat dan penuh keyakinan.

"jadi mulai sekarang, kita pacaran ya.." ucap pak Ramli lagi, sambil tangannya menyentuh tanganku.

Tangan pak Ramli terasa begitu hangat menyentuh tanganku. Aku kembali bergetar.

Aku berusaha membalas genggaman tangan pak Ramli. Dunia kembali terasa begitu indah bagiku.

Tiba-tiba pak Ramli mengangkat tanganku lalu kemudian mengecupnya lembut.

Oh, aku semakin bergetar. Sungguh terasa sangat indah.

"I love you.." pelan suara pak Ramli, sambil ia mulai melepaskan tanganku kembali.

Aku tiba-tiba merasa tersipu. Dadaku bergemuruh mendengar kalimat indah tersebut.

"i love you too, pak Ramli.." balasku penuh perasaan.

"nanti malam kita ketemuan ya.." tawar pak Ramli kemudian.

"ketemuan dimana?" tanyaku.

"nanti aku kirimkan lokasinya ya.." jelas pak Ramli.

Aku hanya mengangguk ringan membalas ucapan tersebut. Aku tersenyum penuh kebahagiaan.

Aku membayangkan saat kami akan bertemu nanti. Betapa indahnya hal tersebut.

Tak lama kemudian, kami pun sampai kembali ke rumah. Kami pun berusaha bersikap biasa saja, saat sudah berada di rumah kembali.

Namun sepanjang hari, aku sering senyum-senyum sendiri membayangkan kejadian pagi tadi bersama pak Ramli dan juga membayangkan kejadian nanti malam saat kami bertemu nantinya.

Indah sekali rasanya hidup ini. Begitu sempurna. Sesempurna ketampannan wajah pak Ramli di mataku. Sesempurna rasa cintaku untuk pak Ramli.

****

Pagi itu aku terbangun. Benar-benar terbangun.

Aku terbangun dari mimpiku tentang pak Ramli. Aku terbangun dari mimpiku tentang perjalananku ke pasar bersama pak Ramli. Aku terbangun dari mimpiku tentang pak Ramli yang juga menyukaiku.

Ternyata semua itu hanyalah mimpi belaka. Sebuah mimpi yang begitu sempurna.

Aku berusaha untuk memejamkan mataku kembali, berharap mimpi itu bisa terus berlanjut hingga pertemuanku di malam harinya bersama pak Ramli.

Namun suara alarm di ponselku mengganggu imajinasiku pagi itu. Aku pun memutuskan untuk bangkit dan bersegera mandi karena harus berangkat kerja.

Sesampai di tempat kerja aku kembali pada sebuah kenyataan. Kenyataan bahwa pak Ramli tidak akan pernah bisa aku miliki.

Tapi aku selalu bisa berkhayal tentangnya. Aku selalu bisa bermimpi tentangnya.

Mungkin aku memang tidak bisa memiliki pak Ramli dalam dunia nyata ku. Namun di dunia khayalku, pak Ramli adalah belahan jiwaku. Kami selalu bersama setiap malamnya.

Aku selalu berhasil membawa pak Ramli berada dalam dunia khayalku. Aku mendekapnya. Aku merasakan kehangatan dekapannya setiap malam dalam imajinasi liarku.

Pak Ramli selalu punya tempat terindah dalam dunia khayalku. Dia adalah kekasih khayalku yang sempurna. Meski di dunia nyataku dia hanyalah seorang Bos bagiku.

Aku akan selalu mencintai pak Ramli. Meski pun ia tidak harus tahu tentang hal itu.

Begitulah cinta. Tidak semua cinta itu harus terungkap. Begitu banyak kisah cinta yang terpemdam.

Dan kisah ku bersama pak Ramli, bos ku itu, adalah salah satunya.

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate