Kisah Sedih : Istriku memilih untuk pergi saat aku sedang terpuruk... (part 1)

Aku menghembuskan napas berat, hatiku terasa teriris. Dengan rasa tak percaya, kutatap raut wajah istriku.
"kenapa?" tanyaku akhirnya, dengan suara pelan.
"aku lelah, mas. Aku sudah memikirkan ini satu bulan lebih. Ibu juga sudah setuju." jawab istriku, raut mukanya menunjukkan keseriusan.
Aku meremas jemariku, mencoba menahan gejolak emosi. "lalu bagaimana dengan Azzam?" suaraku bergetar.
"Azzam akan baik-baik saja. Ibu dan Bapak sangat menyayanginya."

Aku menarik napas lagi, lebih panjang. Kutatap kembali lembaran kertas, yang istriku letakkan diatas meja reot ruang tamu kami.
"dan kalau aku gak mau?" aku membesarkan volume suaraku.
"terserah kamu, mas. Tapi yang pasti keputusanku sudah bulat. Tak peduli kamu mau atau tidak." istriku menjawab dengan sinis. Ia duduk diatas kursi tamu, menatapku yang duduk tersandar ke dinding.
Sekali lagi kutatap wajah cantik istriku. Wajah cantik dengan senyum manisnya, yang dulu membuat aku jatuh cinta padanya. Aku masih ingat waktu pertama kali kami berjumpa, kurang lebih tujuh tahun yang lalu. Waktu itu aku masih berusia 21 tahun, masih sangat muda. Demikian juga istriku waktu itu, baru berusia 19 tahun. Kami bertemu di acara pesta pernikahan seorang teman. Berawal dari saling lirik, saling senyum dan kemudian saling tertarik. Istriku yang waktu itu, bekerja pada sebuah wedding Organizer, yang kebetulan pada saat itu, menghandle pernikahan temanku.

"Dewi.." lembut ia menyebut namanya, saat kami saling berjabat tangan berkenalan.
"Alif!" aku membalas dengan tegas.
Sejak saat itu, kami menjadi dekat dan sering bertemu. Dewi yang seorang perantau, baru satu tahun ia tinggal di kota ini.
Aku sendiri juga baru beberapa bulan tinggal dikota ini, kebetulan aku baru mendapatkan pekerjaan sebagai seorang satpam disalah satu Bank swasta.
Sebagai sama-sama perantau dan jauh dari keluarga, membuat kami bisa saling mengisi. Kami benar-benar saling tertarik dan jatuh cinta.

Karena sudah merasa cocok, belum genap tiga bulan kami berpacaran, kami sepakat untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang pernikahan.
"kamu yakin, Lif? Kamu kan masih 21 tahun." Terdengar suara berat Ibu, ketika aku menyampaikan keinginanku. Dewi dan aku memang sepakat untuk segera menikah, untuk itu kami pun memutuskan untuk pulang ke kampung halaman masing-masing, untuk menyampaikan niat kami.
"Alif yakin, Buk." jawabku tegas, sambil menatap gambar Bapak yang terpajang rapi di dinding, kulihat Bapak tersenyum. Bapak meninggal dua tahun lalu, saat aku baru lulus SMA. Karena itu, aku tidak bisa melanjutkan kuliah. Aku harus mencari pekerjaan, setidaknya untuk membantu Ibu.
Kemudian seorang teman, mengajak aku bekerja sebagai seorang satpam di kota, dengan berat hati Ibu melepaskan kepergianku.

"ya, gak apa-apa toh, Buk. Lagian Alif juga sudah kerja di kota. Biar ada yang ngurus dia juga." kak Ning, kakakku satu-satunya itu, ikut menimpali. Ia sendiri menikah pada umur 19 tahun dan sekarang sudah punya dua anak.
"ya, Ibu sih, terserah kamu, Lif. Kalau kamu memang sudah merasa cocok dan siap. Ibu dan keluarga pasti merestui."
"iya, Buk." jawabku lugas.

Begitulah akhirnya, aku dan Dewi menikah dengan cara sangat sederhana. Kami terpaksa menikah dikota, karena orangtua Dewi sebenarnya tidak menyetujui pernikahan kami. Namun kami sudah sepakat, apa pun yang terjadi kami harus menikah. Pernikahan kami hanya dihadiri oleh beberapa orang teman, dan dari pihak keluargaku sendiri, hanya ada kak Ning dan Ibu yang bisa datang, karena keterbatasan ekonomi dan juga jarak yang sangat jauh.

Setelah menikah, kami menyewa sebuah rumah kontrakan kecil tak jauh dari tempat aku bekerja. Dewi sendiri memutuskan untuk behenti bekerja, ia ingin fokus mengurus keluarga katanya. Selain itu, upah yang ia terima dari tempat ia bekerja juga tidak seberapa. Aku setuju saja, toh gajiku sebagai satpam sudah cukup untuk membiayai kehidupan keluarga baru kami. Kehidupan kami sangat sederhana, namun kami sangat bahagia. Kami saling mencintai dan saling menyayangi. Hari-hari yang kami lalui terasa indah dan membahagiakan.
Setahun kemudian Dewi melahirkan anak pertama kami, Azzam. Kebahagiaan kami semakin terasa lengkap. Kehadiran Azzam membuat rumah tangga kami, semakin berwarna. Meski tak bisa kupungkiri, kadang ada pertengkeran-pertengkaran kecil terjadi diantara kami. Namun selama itu, kami masih bisa saling mengerti.
Satu hal yang aku tahu, namun Dewi tak pernah mengungkapkannya padaku. Bahwa ia rindu kedua orangtuanya, tapi keputusannya untuk nekat menikah denganku, telah membuat ia harus menahan semua kerinduan itu.
Aku selalu berusaha menghibur Dewi, agar ia tidak terlalu larut dalam kesedihannya. Aku yakin, suatu saat nanti, kedua orang tua Dewi akan merestui juga pernikahan kami.

Satu tahun usia Azzam, aku mendapat kabar dari kampung, kalau Ibuku sakit parah dan akhirnya wafat. Aku pulang kampung, namun tak sempat melihat wajah terakhir Ibuku. Aku hanya bisa menangis dipusaranya. Sekali lagi, aku harus kehilangan orang yang aku sayang. Rasanya hatiku begitu perih. Air mata ku tak sadar pun menetes. Apa lagi mengingat, bahwa aku bahkan belum bisa membahagiakan Ibu.
"kamu yang sabar ya, dik.." lembut suara kak Ning ditelingaku. Ia mengusap air matanya sendiri. Biar bagaimanapun, kak Ning lah orang yang paling dekat dengan Ibu selama ini, ia pasti sangat kehilangan.
Aku hanya mengangguk, namun air mataku terus menetes. Aku seakan enggan beranjak dari pusara itu, namun bang Afwan, suami kak Ning, segera menarik tanganku lembut. Aku pun melangkah tertatih menuju rumah.

Aku hanya berada beberapa hari dikampung, karena aku harus segera masuk kerja. Lagi pula istri dan anakku tidak bisa ikut, karena mengingat jarak yang jauh dan keterbatasan keuangan yang kami miliki.
Aku kembali ke kota, dan berusaha tegar menjalani hari-hariku lagi. Keberadaan Dewi dan Azzam cukup membuatku terhibur dan nyaman.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Azzam tumbuh dengan lincah, sekarang usianya sudah hampir empat tahun. Semuanya baik-baik saja, meski kehidupan kami cukup sederhana, dan masih tinggal dirumah kontrakan kecil.

Namun hari-hari indah ternyata tidak berlangsung lama. Tiba-tiba Bank tempat aku bekerja jadi satpam, mengalami masalah dan akhirnya harus tutup. secara otomatis aku harus kehilangan pekerjaanku. Dunia terasa berputar kurasa saat itu, aku kehilangan arah.
Sebagai seseorang yang hanya lulusan SMA dan tidak punya skill apa-apa, tidaklah mudah mendapatkan pekerjaan dikota. Dan begitulah kondisi yang aku alami saat ini. Satu bulan menganggur, semua masih bisa teratasi. Istriku masih punya simpanan, untuk bayar kontrakan dan biaya makan kami bertiga. Namun memasuki bulan kedua, keadaan rumah menjadi berubah. Kami sering bertengkar tanpa sebab. Aku kadang sengaja pergi selama beberapa hari tak pulang, hanya untuk menghindari perdebatan dengan istriku.

"sampai kapan kamu seperti ini, mas? luntang lantung gak jelas.." ucap istriku suatu hari.
Aku hanya diam. "Sudah hampir tiga bulan kamu nganggur dan tak menghasilkan apa-apa," lanjutnya. "aku sudah tidak punya simpanan lagi. Buk Ros, pemilik kontrakan sudah dua kali datang kerumah. Katanya dia hanya akan beri kita waktu sampai minggu depan..."
Aku hanya tergugu, mendengar itu semua. Aku bukannya tak berusaha. Berbagai tempat telah aku jelajahi untuk mencari pekerjaan. Dari mencari pekerjaan jadi kuli, pelayan rumah makan atau tukang parkir pun, aku tetap tidak mendapatkannya.
Aku bahkan sempat terpikir untuk mencuri atau bahkan merampok, tapi untunglah aku tidak punya bakat untuk itu.

Sekarang aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Aku pikir semuanya akan lancar dan baik-baik saja. Aku pikir hidup akan semulus itu.
"aku ingin pulang ke tempat Ibu, mas.." istriku akhirnya berujar lagi, setelah melihat keterdiamanku.
Pelan aku melirik istriku. Keningku berkerut.
"kenapa?" tanyaku.
"aku malu, mas. aku gak sanggup lagi menghadapi ini semua..." suara istriku parau.
"kita akan menghadapinya bersama-sama, Wi.." bujukku.
"kamu enak, mas. Bisa pergi-pergi.."
"tapi aku kan cari kerjaan.."
"tapi gak dapet-dapet sampai sekarang kan, mas. Orang-orang sudah mulai ngomongin kita. Aku malu. Kita tidak punya apa-apa lagi sekarang..."
"jangan pedulikan omongan orang-orang.." ucapku mengalihkan pandangan ke depan.
"tapi aku kepikiran, mas. Pokoknya aku ingin ke rumah Ibu saja.." suara istriku mulai meninggi.
Aku hanya membanting pintu masuk ke kamar, aku dengar istriku menggerutu gak jelas.

Esok paginya, aku lihat istriku sudah membawa koper dan beberapa tas keluar. "kamu mau kemana?" tanyaku, sambil mencekal langkah istriku yang sedang menggandeng tangan Azzam.
"aku sudah bilang, aku mau pulang kampung saja.."
"sekarang?"
istriku mengangguk.
"emang kamu punya uang untuk ongkos?"
"aku sudah jual handphone ku, mas.."
Aku tertunduk lesuh, keputusan istriku sudah bulat. Percuma juga aku mencegahnya. Aku tahu betul tabiat istriku.
"kamu akan cerita tentang kita sama orangtua kamu?" tanyaku berusaha lembut.
"jika terpaksa.."
"aku ikut ya?" balasku sedikit menghiba. Aku merasa begitu rapuh, saat ini aku benar-benar butuh dukungan, terutama dari orang-orang terdekatku. Saat ini aku tidak punya siapa-siapa lagi, kecuali mereka berdua, istri dan anakku.
"mas tahu, kan. Dari awal pernikahan kita, Ibu dan Bapakku sudah tidak setuju. Kalau kamu ikut, itu akan menambah runyam keadaan. Aku juga pulang, belum tentu diterima, kok."
Kembali aku terdiam. Istriku benar. Mungkin lebih baik baginya, untuk kembali ke orangtua nya saat ini. Setidaknya sampai aku mendapatkan pekerjaan, sampai keadaan ini membaik.
Aku menatap kepergian istri dan anakku dengan mata berkaca. Biar bagaimanapun ini salahku. Aku yang harus bertanggungjawab untuk mereka. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku benar-benar tidak berdaya. Tanpa sadar air mata ku pun menetes.

*******

Pagi sekali, pintu kontrakanku digedor-gedor. Dengan rasa malas aku bangun dan menuju pintu depan.
"sudah ada uangnya?" suara kasar buk Ros menyemprotku.
Aku hanya menggeleng.
"ya udah. Kamu silahkan beres-beres barang kamu sekarang.."
"tapi buk, aku..."
"gak ada tapi-tapian. Kamu belum bayar sewa sudah tiga bulan, lho."
"Dua bulan, buk.." suaraku pelan.
"iya, seminggu lagi jadi tiga bulan.." suara buk Ros semakin meninggi.
"saya janji, buk. Seminggu lagi saya bayar semuanya.." ucapku berusaha meyakinkan buk Ros.
"aku tuh, sebenarnya kasihan sama kamu, Lif. Tapi kalau seminggu lagi gak bayar sepersenpun, maka dengan sangat terpaksa aku akan bawa orangku untuk mengusir kamu dari kontrakan ini!" buk Ros nyerocos sambil berlalu pergi.

Aku menarik napas panjang, sudah sebulan istriku pergi, buk Ros sudah tiga kali datang kerumah. Aku bertahan hidup dengan bekerja jadi kuli cucian motor di tempat mang Rohim, cukup untuk makanku sehari-hari, tapi tetap tak cukup buat bayar kontrakan.
Aku berjalan gontai menuju kamar mandi, tiba-tiba aku dengar lagi ketukan dipintu kontrakan. Aku berbalik lagi, kupikir buk Ros balik lagi. Kubuka pintu perlahan, bersiap-siap terkena makian lagi.
"Dewi?" keningku berkerut, tak percaya. Aku melihat Dewi berdiri di depan pintu, keadaannya jauh lebih baik dari sejak kepergiannya sebulan lalu. Aku menatap sekelilingnya, "mana Azzam?" tanyaku lagi, melihat Dewi hanya berdiri sendirian. Tiba-tiba aku merasa kangen dengan anakku, sudah sebulan aku tak mendengar celotehannya.
"Azzam gak ikut. Ia tinggal disana, dirumah mbahnya." Dewi akhirnya menjawab, ia beranikan menatap kearah wajahku yang berantakan. "aku kesini hanya mau bicara."
"maksud kamu?"
Dewi menyerahkan sebuah map, berisi selembar surat, ia duduk dikursi tamu rotan rumah kontrakan kami. Aku membuka map itu dan membaca isi suratnya,
"aku ingin cerai, mas." belum selesai aku membaca isi surat itu, Dewi sudah memperjelas isinya. Untuk sesaat, aku hanya terpaku. Tak percaya. Tak tahu juga harus berkata apa. Seisi dunia seakan runtuh bagiku. Aku terduduk dilantai. Menyandarkan punggungku di dinding. Berharap dinding itu bisa membantuku memikul semua beban ini.

"sekali lagi terserah kamu, mas. Aku juga tidak peduli. Tapi jika kamu tidak tanda tangani surat cerai itu, jangan harap kamu bisa bertemu Azzam lagi.." suara tegas Dewi kembali mencabik hatiku. Aku ingin marah. Tapi dengan kondisi seperti ini, aku sadar betul, kemarahanku justru hanya akan memperburuk keadaan. "aku tinggalkan surat ini, nanti kalau kamu sudah tanda tangan, kamu bisa kirim lewat pos, alamatnya ada disitu.." Tiba-tiba Dewi bangkit, ia melangkah keluar dari rumah dan berjalan menuju taksi yang sudah menunggunya dari tadi.

******

Seminggu aku hanya mengurung diri di kamar. Hatiku benar-benar hancur. Hidupku kacau. Sekarang aku bahkan tidak punya apa-apa. Aku juga tidak punya semangat dan harapan. Semuanya benar-benar berantakan. Tak kusangka pernikahanku akan berakhir dengan setragis ini. Berkali-kali kutatap surat yang ditinggalkan Dewi. Rasa rindu menyeruak di dadaku. Aku rindu anakku, aku rindu istriku, aku rindu suasana bahagia dirumah sederhana ini. Air mataku menetes lagi, entah sudah berapa kali aku menangis dalam seminggu ini. Hatiku perih.
Aku merasa lemah, tak berdaya untuk mempertahankan rumah tangga kami.
Suara ketukan terdengar sangat keras dipintu, aku bergegas berdiri. Aku tahu itu buk Ros, sudah seminggu, dia pasti ingin menagih.
Wajah garang buk Ros menatapku. Aku hanya terdiam.
"sudah seminggu. Jika kamu belum punya uang juga, kamu boleh kemasi barang-barangmu dan silahkan pergi dari sini." Suara buk Ros, lantang. Beberapa tetangga nongol keluar.

Aku masuk ke dalam, tidak ada barang apa-apa dirumah ini sekarang. Semua sudah terjual, TV, kulkas, kipas angin, semuanya. Aku hanya mengemasi pakaianku yang sudah sebulan tidak dicuci. Aku masukan pakaian itu ke dalam tas bututku. Aku memang harus pergi, aku tak berhak lagi tinggal disini. Lagi pula Dewi juga sudah pergi, ia tidak akan pernah kembali lagi.
Aku melangkahkan kakiku pelan, meninggalkan rumah kontrakan penuh kenangan itu. Diiringi tatapan para tetangga yang sebagian sudah tahu cerita pilu keluarga kami.
"ingat, ya. Kamu masih punya hutang 3 bulan, lho.." suara buk Ros terdengar lagi. Aku tak menghiraukannya, aku terus saja melangkah meski aku tidak tahu, harus kemana.

********

Langkah ku gontai, kaki ku terasa mulai keram dan kesemutan. Aku sudah berjalan cukup jauh, tanpa arah. Aku benar-benar terpuruk. Aku hempaskan pantatku diatas sebuah bangku taman, yang ada dipinggiran jalan. Kepala ku nyut-nyutan, cacing dalam perutku sudah dari tadi berperang meminta makan. Aku tidak punya uang sepersen pun.
Terpikir olehku, untuk pulang ke kampung. Tapi di kampung aku juga tak punya siapa-siapa, selain kak Ning. Dan aku tahu betul, bagaimana kehidupan ekonomi kak Ning, suaminya hanya seorang buruh. Aku tak ingin menambah beban mereka. Lagi pula aku pun toh, tak punya uang untuk ongkos pulang.
Aku memejamkan mataku, mencoba menahan segala perih yang ada. Perihnya rasa lapar, perihnya luka yang menggores hatiku. Badanku terasa lemas tak berdaya.

Beberapa menit aku terlelap, saat tiba-tiba aku merasa ada cipratan air diwajahku. Aku membuka mata, ternyata hari sudah mulai hujan, makin lama makin lebat. Aku berlari menuju teras ruko yang berjejeran, senja mulai meremang. Aku berteduh di teras sebuah kafe, yang membuat rasa laparku kian menjadi.
"Hei! Ngapain kamu disitu?!" sebuah suara lantang menahan gerakanku untuk duduk, aku berpaling menatap kearah suara itu. Seorang laki-laki tua berpakaian satpam berdiri tak jauh dari situ.
"aku hanya mau numpang berteduh, pak..." balasku ringan.
"Iya. Tapi jangan disitu!" suara itu masih lantang.
Aku hendak melangkah pergi menempuh hujan yang sangat lebat itu, sampai tiba-tiba seorang laki-laki keluar dari balik pintu masuk kafe.
"ada apa, pak Kardi?" tanya laki-laki  itu, pada satpam tersebut.
"orang ini, pak. Ia berteduh disini.." balas satpam itu dengan sedikit hormat, suaranya pelan.
"biarkan aja, pak. gak apa-apa. Hujan lebat gini, kan?!" laki-laki itu berujar, sambil melangkah mendekati kami.
Mendengar perkataan laki-laki tersebut, aku urungkan langkahku.

"kamu gak apa-apa?" tanya laki-laki itu padaku, ia mendekat.
Aku hanya menggeleng. Kemudian dengan sedikit berani aku melihat kearah laki-laki yang baik itu.
Laki-laki itu mengerutkan kening, seperti sedang mengingat sesuatu. Tangan kanannya terangkat, dan diacungkannya jari telunjuk kearahku, sambil berkata, "Alif? Kamu Alif, kan?"
Kembali aku menatap laki-laki itu, mencoba mengenalinya. Tapi pikiranku memang sedang tidak fokus. Aku tak mengenalinya. Tapi refleks aku pun mengangguk.
"kamu gak ingat saya?" laki-laki itu bertanya lagi, dia melangkah semakin dekat, dia hanya berdiri satu langkah lagi didepanku. Aku tatap wajah itu, lalu menggeleng.
"Saya Bayu!" ucapnya. Puluhan nama Bayu berkeliaran dibenakku, tapi tidak ada satupun yang menggambarkan orang didepanku. "Bayu teman SMA mu, Lif!" laki-laki itu melanjutkan, melihat aku hanya terbengong.

"Bayu! Bayu Prawijaya?!" suaraku lantang. Laki-laki itu mengangguk.
"Alif Budiman! Ha..ha..a" laki-laki itu tertawa, sambil melangkah mendekat, tiba-tiba ia mendekapku. Aku spontan kaget, tapi berusaha membalas dekapannya.
"apa kabar kamu, Lif?" tanyanya setelah melepaskan dekapannya.
Aku berusaha bersikap tenang. "baik.." jawabku singkat. Aku berusaha tersenyum, namun suasana hatiku tidak berhasil membuatku benar-benar tersenyum. "kamu?" tanyaku.
"Alhamdulillah, beginilah keadaanku sekarang. Sangat baik.." Bayu menyentuh bahuku pelan, "aku senang bisa bertemu kamu akhirnya, Lif." ia melanjutkan.
"aku juga.." balasku. Tapi seharusnya tidak dalam keadaan seperti ini. Bathinku.

"kamu mau kemana?" tanya Bayu lagi, menatap tas yang ada dilantai teras.
Aku tergagap, tak bisa menjawab.
"kita ngobrol di dalam aja yuk, Lif!" Bayu menawarkan. Kemudian tanpa menunggu jawabanku, ditariknya tanganku masuk ke dalam kafe. "tasnya dibawa aja.." lanjutnya.

Kami duduk di salah satu meja yang berada di sudut kafe. Bayu menawarkanku beberapa menu hidangan makanan dan minuman, "udah tenang aja, aku yang traktir, kok!" ucapnya melihat aku hanya menatap menu tersebut. Aku kemudian memilih beberapa makanan dan minuman yang menurutku tidak terlalu mahal.
"sudah berapa tahun kita gak ketemu?" Bayu memulai pembicaraan, sambil menunggu pesanan kami datang. "delapan atau sembilan tahun?" lanjutnya. "cukup lama, ya?"
Aku hanya tertunduk. Bukannya aku tak senang bertemu Bayu. Namun kondisi ku saat ini, benar-benar membuatku merasa tak nyaman. Perutku terasa melilit menahan lapar. Aku merasa pesanan kami terlalu lama datang.

"kamu kenapa, Lif?" suara Bayu mengagetkanku lagi.
"oh. gak apa-apa, Bay." timpalku cepat, aku takut Bayu menyadari akan ketidaknyamananku. Sekuat mungkin aku menahan rasa laparku dan mencoba tersenyum.
"kamu udah nikah?" tanya Bayu lagi.
Aku mengangguk.
"punya anak?"
"satu" jawabku singkat.
"baguslah!" ucapan Bayu membuatku mengernyitkan kening. "kupikir kamu gak laku, ha...ha.." Bayu melanjutkan sambil tertawa.
"Brengsek kamu, Bay." balasku mulai merasa nyaman. "kamu?"
"aku baru menikah setahun yang lalu, sekarang istriku lagi hamil besar.."
"oh. Berarti aku lebih duluan, ya..he..he.." ucapku sedikit bercanda.
"Iya. Kamu dari dulu memang selalu duluan, kan..?"

Bayu adalah sahabat karibku, semasa SMA. Ya, kami sangat dekat. Tak ada hari yang kami lewati tanpa bersama, baik disekolah maupun diluar sekolah. Bayu anak seorang pengusaha kaya, tapi dia tidak manja. Bayu tidak suka memamerkan harta orangtuanya. Dia selalu tampil sederhana. Aku suka berteman dengan Bayu, karena orangnya asyik. Suka bercanda. Dan yang paling penting ia suka membantu. Hanya saja, kalau urusan belajar, Bayu paling malas. Dia selalu berada dirangking paling bawah. Dan dia selalu mengandalkan aku untuk mendongkrak nilainya. Aku memang sering memberinya contekan. Maklum kamu duduk sebangku.
Kabar terakhir yang aku tahu, Bayu kuliah di Singapur. Tak kusangka kami akan bertemu disini, dengan keadaanku yang seperti sekarang ini.

"Bapak Ibu gimana kabar, Lif?" pertanyaan Bayu membuyarkan lamunanku.
"Bapak dan Ibu sudah meninggal, Bay." balasku pelan. Kulihat Bayu mengernyitkan kening.
"kapan?" tanyanya.
Sebelum aku sempat menjawab, pelayan sudah datang membawakan pesanan kami.
"bapak meninggal tujuh tahun lalu, Ibu udah empat tahun.."
"oh. Turut berduka cita ya, Lif.." aku menganggukkan kepala, pelayan telah selesai menyajikan hidangan kami. Bayu dulu memang sering main kerumah, sering nginap dan makan juga.
"ayok, Lif. Dimakan" tawar Bayu.
Aku yang sudah menahan lapar dari tadi, segera menyantap hidangan tersebut. Dalam hatiku merasa bersyukur, setidaknya malam ini aku tidak akan kelaparan.

"ini kafe kamu?" tanyaku sekedar berbasa-basi. Aku melihat cara pelayan tadi memperlakukan kami.
Bayu mengangguk. "Iya. Inilah usahaku sekarang, Lif.." ucapnya. "aku udah punya lebih dua puluh cabang sekarang. Ada rencana mau buka satu cabang lagi, tapi masih dalam proses. Bangunan udah ada, cuma lagi cari orang yang bisa mengelolanya.."
Aku hanya menggangguk-angguk kecil, sambil menyantap makanan. Bayu memang selalu beruntung, terlahir dari keluarga kaya, dan sekarang punya usaha sendiri.
"tapi kamu jangan salah. Ini murni usahaku sendiri, tidak ada campur tangan papa. Kalau perusahaan papa, kan udah ada bang Hadi yang mengambil alih." ucap Bayu menjelaskan.
"tapi bukannya kamu kuliah diluar negeri ya?" tanyaku penasaran.
"Iya. Itu kan keinginan papa. Aku kuliah empat tahun di Singapur, kemudian lima tahun lalu aku balik ke Indonesia. Dan mulai buka usaha dari nol. Papa sempat tak setuju sih, awalnya. Tapi melihat keinginanku yang kuat dan usahaku yang cukup gigih, papa akhirnya memberikan aku kesempatan untuk berusaha sendiri. Dan sekarang papa sudah mengakui kehebatanku."

Aku mengunyah makanan terakhirku dan meneguk air putih yang aku pesan tadi. Bayu menatapku cukup lama. Kemudian berujar, "kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi, Lif"
"pertanyaan yang mana?"
"kamu mau kemana?" tiba-tiba terasa ada yang menggores hatiku. Masalah perutku memang sudah teratasi, tapi masih begitu banyak masalah yang harus kuhadapi. Aku bimbang. Haruskah aku cerita sama Bayu. Meskipun kami dulu adalah sahabat, tapi setelah sekian tahun tak bertemu, rasanya sulit untuk terbuka lagi pada Bayu.

Dulu kami memang selalu terbuka dalam segala hal. Hampir tidak ada rahasia diantara kami. Tapi sekarang tentu semuanya sudah berbeda. Aku menarik napas panjang. Sulit untuk menjawab pertanyaan Bayu barusan.
"kamu ada masalah, Lif?" Bayu bertanya lagi, melihat aku hanya diam.
Aku tetap bungkam. Mulutku tiba-tiba kaku. Rasanya aku ingin manangis.

"kamu ingat Iren?' Tiba-tiba Bayu mengalihkan pembicaraan. Sepertinya dia paham, kalau aku tak bisa menjawab pertanyaannya.
"Iren?"
"Iya. Iren. Adik kelas yang sama-sama kita taksir."
"oh. ya. Ingat!" jawabku.
"dia sekarang kerja sama saya, jadi kasir di salah satu cabang kafe saya.."
Aku hanya membulatkan bibir. Aku tahu Bayu mengharapkan reaksi lebih. Tapi pikiranku benar-benar lagi kacau.

"selama sembilan tahun gak ketemu kamu, aku selalu ingat kamu, Lif. Kamu satu-satunya sahabat yang tak pernah aku lupakan." ucap Bayu pelan. "Kamu tahu, apa yang paling tidak bisa aku lupakan tentang kamu?" lanjutnya.
"apa?"
"papa selalu marah kalau aku mendapatkan nilai jelek, dan aku selalu dibanding-bandingkan dengan bang Hadi yang pintar. Karena kamu sering kasih aku contekan, nilaiku jadi bagus dan papa tak pernah marah-marah lagi, apa lagi membanding-bandingkanku dengan bang Hadi."

"kamu hebat, Bay." ucapku tanpa sadar, mengingat apa yang sudah dicapai Bayu saat ini.
"kamu harusnya lebih hebat lagi, Lif" balas Bayu, "kamu itu pintar, sejak kecil selalu juara kelas.."
Aku menggeleng lemah, "tapi aku tak seberuntung kamu, Bay." suaraku pelan. "aku gak bisa kuliah, karena bapak keburu meninggal. Aku hanya lulusan SMA. Apa yang bisa aku lakukan dengan ijazah itu?" keluhku, lebih kepada diriku sendiri.
"jadi kamu kerja apa sekarang?"
"sempat jadi satpam sih, Bay. Tapi karena Bank tempat aku bekerja ada masalah dan akhirnya tutup, aku sekarang jadi pengangguran.." tiba-tiba aku merasa lega, mengungkap itu semua.
Bayu menatapku lagi, dengan tatapan iba. Sebenarnya aku tak ingin dikasihani, tapi saat ini tak ada apa-apa yang bisa kupertahankan, sekalipun cuma sebuah gengsi atau pun harga diri.
"jadi sekarang kamu mau kemana?"  tanya Bayu lagi.
"entahlah Bay. Aku juga gak tahu harus kemana. Istriku memilih untuk pergi dan kembali ke orangtuanya, dia bawa anak kami. Dia memilih untuk pergi disaat aku benar-benar terpuruk dan butuh dukungan."
Bayu menatapku semakin iba. Tapi segera dia memalingkan wajahnya, melihat aku yang meliriknya.

"kamu mau kerja dengan saya?" Bayu bertanya setelah cukup lama kami terdiam.
Spontan aku menatap Bayu. Aku lihat ketulusan dimatanya.
"aku kenal kamu, Lif. Aku tahu bagaimana kamu. Kamu laki-laki hebat. kemiskinan tidak membuatmu menyerah untuk belajar. Kamu pintar. Kamu salah satu inspirasiku untuk belajar." suara Bayu terdengar datar, namun aku tahu ia tulus. "aku rasa kamu hanya belum menemukan passion kamu yang sebenarnya." lanjutnya.
"entahlah, Bay. Aku bingung. Aku tak tahu harus ngapain sekarang." keluhku.
"kalau kamu mau, kamu bisa mulai kerja sama saya. kebetulan saya mau buka cabang baru. Dan butuh banyak karyawan. Kamu bisa belajar disana. Dan kalau kamu nanti mampu, kamu bisa menjadi manager disana.."

Aku terharu mendengar penuturan Bayu. Tak kusangka Bayu masih begitu baik padaku, setelah kami terpisah sekian tahun.
"terima kasih, Bay. Saat ini aku tidak punya pilihan, selain menerima tawaran kamu. Gak harus jadi manager sih, jadi pelayan juga gak apa-apa. Yang penting aku punya penghasilan." ucapku parau. Mataku mulai berkaca. Jika tidak mengingat keadaan kafe yang mulai ramai, ingin rasanya aku menangis saat itu juga.

"Sekarang kamu tinggal dimana?" tanya Bayu pelan.
Aku hanya menggeleng, menahan haru dihatiku.
"kalau begitu untuk sementara kamu bisa tinggal dikamar atas. Diatas ada kamar kosong. Kamu bisa tinggal disana, sampai cabang kafe ku yang baru benar-benar udah buka. Dan untuk sementara, kamu bisa bantu-bantu disini. Nanti aku suruh pak Darman, mengurus segala keperluan kamu.."
Ucapan Bayu, benar-benar membuatku lega. Setidaknya aku sekarang sudah punya tujuan, meski belum begitu jelas.
Aku hanya bertekad untuk bangkit lagi. Dan mengembalikan semua yang telah pergi dariku. Aku yakin Dewi akan mau menerima aku kembali, kalau aku sudah punya penghasilan yang tetap.

Bersambung...

1 komentar:

Cari Blog Ini

Layanan

Translate