Sebuah Cerpen Jadul : Tak Seindah Asa

Cukup lama cowok itu menatap Dhena. Kemudian ia tertunduk. Tak sanggup lebih lama lagi, menatap mata gadis yang sejak tadi berada di samping nya. Berdebat cukup panjang, lalu berakhir dengan permintaan Dhena yang ia rasa tidak akan sanggup untuk melakukannya.


“Maafkan aku Dhen, aku ga’ sanggup…..” ucap cowok itu pelan. Sambil mencabuti rumput hijau yang ada disekitar tempat ia duduk.
“Kamu ga’ sanggup..? Tapi kenapa Man?...” Tanya Dhena spontan.
Cowok yang di panggil, Man, oleh Dhena itu mengusap wajah nya satu kali. Lalu berujar lagi, “Dari awal aku sudah katakan sama kamu, bahwa aku ini bukanlah apa-apa…!”
“Iya…Tapi Kenapa, Man..?” Tanya Dhena lagi yang semakin tak mengerti apa yang ada dalam pikiran Man, cowok yang ia cintai itu.
“Dhena..” ucap Man, seraya menatap kembali mata gadis yang ia sayangi itu, kemudian memegang kedua lengan gadis itu penuh perasaan, ”Kita harus realistis, orang tua kamu ga’ akan begitu saja memberikan anak gadis nya, pada seseorang seperti diriku…” lanjut nya.
“Tapi kita harus mencoba, Man..!” Dhena berusaha meyakinkan.
“Mencoba? Meski kita tahu bahwa kita akan gagal?! Tapi kita harus juga mencoba? Ga’ Dhen, aku ga’ sanggup. Aku benar-benar ga’ sanggup. Mengertikah kamu..?!” Man memalingkan wajah nya dan melepaskan pegangan nya. Hati nya kacau.
“Mengapa kamu begitu yakin, kalau kita tidak akan berhasil..? Padahal kita belum mencobanya?!..” Suara Dhena bergetar, menahan gejolak di dalam hatinya.
“Lalu, apa kamu berani menjamin. Bahwa kita akan berhasil meyakinkan orang tua kamu, kalau kamu akan bahagia bersamaku?” Man berhenti sejenak mengatur nafas, hatinya sedikit perih dengan kata-kata yang ia lontarkan barusan, ”Aku rasa, kamu lebih tahu siapa orang tua kamu Dhen? Kamu tahu, bagaimana watak ayahmu? Harusnya kamu yang lebih dulu membuka mata…..” Suara Man makin pelan dan lirih terdengar di telinga Dhena yang sedari tadi tertunduk mendengarkan penuturan Man, yang membuatnya semakin pedih.

Dhena menarik nafas panjang, kemudian menghempaskannya perlahan. Ia ikut mencabuti rumput-rumput hijau yang tumbuh liar di sekitar lapangan bola kaki tempat mereka biasa bertemu, sebuah lapangan bola kaki yang sederhana, berada di desa yang sederhana. Desa dimana tempat Man dilahirkan dan di besarkan, seperti yang di ceritakan Man kepadanya. Desa yang indah dan nyaman. Tapi sore ini, Dhena tidak merasakan lagi kenyamanan di Desa ini, hati nya terlalu sakit. Semua karna Man. Cowok sederhana yang membuat ia jatuh cinta, tapi...
“Mungkin lebih baik kita akhiri saja semua ini, Dhen..” Terdengar suara parau Man yang begitu tegas, membuat Dhena menatap tajam kearah Man, ia masih tak percaya kata-kata itu keluar dari seseorang yang selama ini mengisi hari-hari indahnya. Dua tahun pacaran bukan waktu yang singkat, untuk saling mengenali. Tapi kali ini Man keterlaluan.
“Perdebatan ini sudah sering terjadi, Dhen. Walau aku tahu, aku semakin mencintai mu karenanya. Tapi, sampai kapan kita akan bertahan seperti ini.?” Lanjut Man.
“Kita akan menghadapi nya bersama-sama, Man..” Dhena masih mencoba untuk berbicara lembut, meski hati nya sakit.
“Aku mencintai kamu, Dhena. Bahkan sangat mencintai kamu. Tapi rasanya terlalu egois bagi ku, untuk tetap bersama kamu, sementara aku sadar orang tua mu pasti akan melarang keras hubungan kita…” ucap Man lagi. ”Aku mohon, Dhen. Sebelum semua nya makin terlambat…” lanjut Man, penuh harap.
“Tapi, Man…Kenapa kita tidak mencobanya? Kenapa kita tidak mencoba datang pada keluarga aku, lalu membicarakan ini semua..” Dhena berujar dengan hati-hati, ia tidak mau Man tersinggung.
“Aku telah berjuang. Bahkan dari kecil, aku sudah berjuang untuk hidup. Aku tak takut apa pun, apalagi kalau cuma menemui keluarga kamu. Tapi kamu sendiri pasti tahu apa yang akan terjadi, jika aku tetap nekat menemui orang tua kamu…” Man mencabuti kembali rumput-rumput itu, seakan menumpahkan kekesalannya.
“Lalu. apa kamu tidak mau berjuang untuk cintamu. Cinta yang tumbuh di hati mu, Man..?” Tanya Dhena, sekedar meyakin kan hati nya sendiri, kalau Man benar-benar mencintainya.
“Sejak kecil, aku terbiasa hidup susah. Kerja keras, banting tulang. Tapi selalu saja nasib tak memihak padaku. Cita-citaku, keinginanku tenggelam, karena aku kurang beruntung sebagai seorang Man di dunia ini. Tapi untuk tetap hidup dan sebagai laki-laki tentu saja aku harus kuat menghadapi kegagalan demi kegagalan yang aku alami. Namun sekarang aku hampir tak yakin pada diriku sendiri, kalau aku masih mampu meraih sedikit saja dari impian ku..” Man menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudia ia tersenyum kecil, mengingat kata-kata yang baru saja ia ucapkan. Tiba-tiba ia merasa seperti seorang pujangga. Namun kemudian senyum itu hilang, ada yang begitu pedih di hatinya.
“Dan kamu juga lelah berjuang untuk cinta kita, Man..?" suara Dhena sedikit meninggi. Dia berusaha menahan tangisnya.
“Entah lah, Dhen. Seandainya saja bukan kamu, aku akan berusaha. Meski kami harus hidup menderita…”
“Aku siap…”
“Ga’, Dhen. Kamu takkan pernah siap. Sejak kecil kamu sudah terbiasa hidup dalam kesenangan dan kemewahan.” Potong Man cepat.
“Tapi aku bahagia bisa mendampingi kamu, Man..”
“Yah…Aku tahu itu. Aku juga bahagia. Tapi sampai kapan? Cinta saja belum cukup untuk menjamin kita akan bahagia selama nya, karena hidup tidak hanya butuh cinta…”
Dhena tercenung, mendengarkan penuturan Man. Hatinya bimbang.


Dhena ingat, betapa acuhnya Man padanya, waktu pertama kali bertemu. Ketika dengan sangat terpaksa Dhena ikut dengan Papanya untuk melihat keadaan salah satu toko papanya, yang berada di desa tempat Man tinggal. Dan Man adalah salah seorang kuli di toko papa Dhena. Papa memang sengaja membuka cabang tokonya di desa itu, karena desa itu sangat maju. Seseorang telah dipercaya papa untuk mengelolanya, dan papa sekali dalam seminggu datang kesana untuk melihat pembukuannya.
Dan untuk pertama kali Dhena kesana, ia bertemu Man yang ketika itu tengah mengangkuti barang-barang dari mobil ke dalam toko. Man begitu acuh dengan kehadiran Dhena disitu, dan juga ketika Dhena mencoba menegurnya.
Sikap cuek dan acuh tak acuh Man itulah yang membuat Dhena penasaran dan membuat Dhena semakin rajin menemani papanya pergi ke desa itu, walau pun dulunya Dhena paling tidak mau di ajak papanya.
“Tumben kamu jadi rajin, menemani papa ke toko sekarang…?” Tanya papa suatu ketika.
“Ya. Dhena kasian aja, membiarkan papa pergi sendirian…” begitu alasan Dhena untuk bisa bertemu dengan Man. Dan pertemuan itu semakin sering terjadi. Dhena mulai tertarik pada Man. Tapi Man tetap dengan sikap cueknya, Man tak pernah memberinya harapan.
Hingga suatu hari, Dhena nekat pergi ke desa itu sendirian.  Ia menemui Man di tokonya, “Kalau kamu masih saja acuh padaku, aku akan suruh papa untuk memecat kamu..” begitu ancamannya, dalam usahanya untuk mendekati Man.
“Aku hanya seorang kuli. Kamu harus sadari itu..” ucap Man.
“Aku tidak peduli.!”
“Tapi…”
“Aku tetap tak peduli. Bagiku kamu adalah seorang cowok yang membuat aku penasaran.”

Begitulah awalnya. Ia merasa kalau kehadiran Man telah membuka hatinya. Dan ia berusaha untuk tetap mencintai Man, meski Man sendiri sering mengingatkannya.
Dan mereka lebih sering bersama. Man berusaha menghapus segala perbedaan yang ada, walau hati kecil nya tetap tidak bisa menerima hubungan itu. Dhena mampu meluluhkan hati Man untuk tetap bertahan. Meski perdebatan kecil sering terjadi. Namun mereka mencoba merajut kasih, mencuri-curi waktu untuk dapat bertemu.
Lebih dari dua tahun mereka bersama, Dhena sangat bahagia dengan semua itu.
Namun sekarang.
“Aku ga’ sanggup menghadapi orang tua kamu, Dhen. Mereka pasti akan sangat marah sekali..”
“Kamu pengecut, Man!” ketus suara Dhena.
“Ya…Aku memang pengecut.” Man menarik nafas panjang. Ada yang teriris di hati nya. “Mungkin kamu akan lebih bahagia, kalau hidup bersama teman kuliahmu itu..” lanjut nya.
“Izul maksudmu?” Dhena bertanya sambil menatap Man, yang tetap saja memalingkan wajahnya.
“Iya. Aku yakin dia sangat mencintaimu.”
“Dia baik. Bahkan sangat baik. Tapi aku tidak pernah merasakan bahagia yang utuh saat bersamanya. Aku tak pernah ingin mengorbankan apa saja untuknya. Seperti yang dilakukan seseorang yang sangat mencintai kekasihnya…”
“Setelah hampir lima tahun lamanya..?”
“Aku tidak memikirkan berapa lama kami berteman. Seandainya saja aku tidak bertemu kamu, mungkin aku tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dicintai orang yang kita cintai..”
“Lama-lama kamu juga akan mencintainya..”
“Itu tidak mungkin, Man. Aku tidak mungkin hidup dengan orang yang tidak aku cintai…”
  Man berdiri tiba-tiba. Ia memandangi Dhena yang tetap saja duduk menatapi rerumputan hijau lapangan bola kaki sederhana itu.
“Tapi kamu juga tidak mungkin hidup dengan orang yang tidak bisa memberikan kamu apa-apa, Dhen. Kecuali cinta dan sebuah gubuk derita…” Man tersenyum kecil mendengar ucapannya sendiri, yang hampir mirip syair itu. Kemudian senyum itu lenyap, ada yang tiba-tiba terasa sangat sakit di hatinya.
“Kita akan berjuang, Man..!”
“Ya…Tentu saja. Aku pasti akan terus berjuang untuk hidup ku. Tapi aku tidak yakin, kalau kita akan berhasil. Papa kamu tidak akan pernah membiarkan anak gadis semata wayangnya hidup menderita. Kamu harus menyadari hal itu, Dhen..” Kata-kata Man terdengar lemah. “Bahkan untuk minta restu saja, aku sudah tidak sanggup, Dhen. Apa laki-laki seperti ini yang akan kamu banggakan pada papamu, Dhen..” ucapan Man makin lirih, namun mampu membuat Dhena meneteskan air mata, yang sejak tadi ia tahan. ”Apa kata keluarga mu nanti, kalau tahu anak yang mereka sayangi punya calon suami seorang kuli…”
“Cukup, Man!” Dhena histeris, ”Aku mohon, jangan pernah kamu berkata seperti itu lagi..” lanjutnya sedikit tenang. ”Lalu.., apa aku salah, jika aku mencintai seorang laki-laki yang mungkin jauh lebih lemah dari pada Izul..?”
“Oh, tidak. Kamu ga’ salah. Aku juga ga’. Kalau pun ada yang harus dipersalahkan, mungkin cinta kita yang salah berlabuh…” Kata-kata Man membuat Dhena semakin terluka. Ia akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Ia berdiri memunggungi Man. Menghapus tetesan air mata yang jatuh membasahi pipinya.
“Kalau kamu memang tidak mau lagi berjuang untuk cinta kita. Lebih baik aku pergi dan kita tidak akan bertemu lagi…” Dhena melangkah meninggalkan Man yang berusaha menahan air matanya sendiri. Man tak tahu lagi harus berbuat apa. Semua memang harus terjadi.

Hembusan angin senja itu, terasa sangat dingin menyentuh kulit Man. Lapangan bola kaki sederhana yang sejak tadi menjadi saksi perdebatan mereka, kian gelap. Sinar sang surya yang tadi benderang kini mulai tenggelam. Siang telah berlalu, berganti malam. Sang rembulan pun sudah mulai menampakkan keindahannya. Senja yang indah sebenarnya. Tapi bagi dua hati yang sedang terluka, semua nya jadi lebih menyakitkan.

Mentulik, 27 September 2005
Special to my friend….moga bahagia selalu.

4 komentar:

Cari Blog Ini

Layanan

Translate