Cukup
lama cowok itu menatap Dhena. Kemudian ia tertunduk. Tak sanggup lebih lama
lagi, menatap mata gadis yang sejak tadi berada di samping nya. Berdebat cukup
panjang, lalu berakhir dengan permintaan Dhena yang ia rasa tidak akan sanggup
untuk melakukannya.
“Maafkan
aku Dhen, aku ga’ sanggup…..” ucap cowok itu pelan. Sambil mencabuti rumput
hijau yang ada disekitar tempat ia duduk.
“Kamu
ga’ sanggup..? Tapi kenapa Man?...” Tanya Dhena spontan.
Cowok
yang di panggil, Man, oleh Dhena itu mengusap wajah nya satu kali. Lalu berujar
lagi, “Dari awal aku sudah katakan sama kamu, bahwa aku ini bukanlah apa-apa…!”
“Iya…Tapi
Kenapa, Man..?” Tanya Dhena lagi yang semakin tak mengerti apa yang ada dalam
pikiran Man, cowok yang ia cintai itu.
“Dhena..”
ucap Man, seraya menatap kembali mata gadis yang ia sayangi itu, kemudian
memegang kedua lengan gadis itu penuh perasaan, ”Kita harus realistis, orang
tua kamu ga’ akan begitu saja memberikan anak gadis nya, pada seseorang seperti
diriku…” lanjut nya.
“Tapi
kita harus mencoba, Man..!” Dhena berusaha meyakinkan.
“Mencoba?
Meski kita tahu bahwa kita akan gagal?! Tapi kita harus juga mencoba? Ga’ Dhen,
aku ga’ sanggup. Aku benar-benar ga’ sanggup. Mengertikah kamu..?!” Man memalingkan
wajah nya dan melepaskan pegangan nya. Hati nya kacau.
“Mengapa
kamu begitu yakin, kalau kita tidak akan berhasil..? Padahal kita belum mencobanya?!..”
Suara Dhena bergetar, menahan gejolak di dalam hatinya.
“Lalu,
apa kamu berani menjamin. Bahwa kita akan berhasil meyakinkan orang tua kamu, kalau
kamu akan bahagia bersamaku?” Man berhenti sejenak mengatur nafas, hatinya
sedikit perih dengan kata-kata yang ia lontarkan barusan, ”Aku rasa, kamu lebih
tahu siapa orang tua kamu Dhen? Kamu tahu, bagaimana watak ayahmu? Harusnya
kamu yang lebih dulu membuka mata…..” Suara Man makin pelan dan lirih terdengar
di telinga Dhena yang sedari tadi tertunduk mendengarkan penuturan Man, yang
membuatnya semakin pedih.
Dhena
menarik nafas panjang, kemudian menghempaskannya perlahan. Ia ikut mencabuti
rumput-rumput hijau yang tumbuh liar di sekitar lapangan bola kaki tempat
mereka biasa bertemu, sebuah lapangan bola kaki yang sederhana, berada di desa
yang sederhana. Desa dimana tempat Man dilahirkan dan di besarkan, seperti yang
di ceritakan Man kepadanya. Desa yang indah dan nyaman. Tapi sore ini, Dhena
tidak merasakan lagi kenyamanan di Desa ini, hati nya terlalu sakit. Semua karna
Man. Cowok sederhana yang membuat ia jatuh cinta, tapi...
“Mungkin
lebih baik kita akhiri saja semua ini, Dhen..” Terdengar suara parau Man yang
begitu tegas, membuat Dhena menatap tajam kearah Man, ia masih tak percaya
kata-kata itu keluar dari seseorang yang selama ini mengisi hari-hari indahnya.
Dua tahun pacaran bukan waktu yang singkat, untuk saling mengenali. Tapi kali
ini Man keterlaluan.
“Perdebatan
ini sudah sering terjadi, Dhen. Walau aku tahu, aku semakin mencintai mu karenanya.
Tapi, sampai kapan kita akan bertahan seperti ini.?” Lanjut Man.
“Kita
akan menghadapi nya bersama-sama, Man..” Dhena masih mencoba untuk berbicara
lembut, meski hati nya sakit.
“Aku
mencintai kamu, Dhena. Bahkan sangat mencintai kamu. Tapi rasanya terlalu egois
bagi ku, untuk tetap bersama kamu, sementara aku sadar orang tua mu pasti akan
melarang keras hubungan kita…” ucap Man lagi. ”Aku mohon, Dhen. Sebelum semua
nya makin terlambat…” lanjut Man, penuh harap.
“Tapi, Man…Kenapa
kita tidak mencobanya? Kenapa kita tidak mencoba datang pada keluarga aku, lalu
membicarakan ini semua..” Dhena berujar dengan hati-hati, ia tidak mau Man
tersinggung.
“Aku
telah berjuang. Bahkan dari kecil, aku sudah berjuang untuk hidup. Aku tak
takut apa pun, apalagi kalau cuma menemui keluarga kamu. Tapi kamu sendiri
pasti tahu apa yang akan terjadi, jika aku tetap nekat menemui orang tua kamu…”
Man mencabuti kembali rumput-rumput itu, seakan menumpahkan kekesalannya.
“Lalu.
apa kamu tidak mau berjuang untuk cintamu. Cinta yang tumbuh di hati mu, Man..?”
Tanya Dhena, sekedar meyakin kan hati nya sendiri, kalau Man benar-benar mencintainya.
“Sejak
kecil, aku terbiasa hidup susah. Kerja keras, banting tulang. Tapi selalu saja
nasib tak memihak padaku. Cita-citaku, keinginanku tenggelam, karena aku kurang
beruntung sebagai seorang Man di dunia ini. Tapi untuk tetap hidup dan sebagai
laki-laki tentu saja aku harus kuat menghadapi kegagalan demi kegagalan yang
aku alami. Namun sekarang aku hampir tak yakin pada diriku sendiri, kalau aku
masih mampu meraih sedikit saja dari impian ku..” Man menarik nafas panjang dan
menghembuskannya perlahan. Kemudia ia tersenyum kecil, mengingat kata-kata yang
baru saja ia ucapkan. Tiba-tiba ia merasa seperti seorang pujangga. Namun
kemudian senyum itu hilang, ada yang begitu pedih di hatinya.
“Dan
kamu juga lelah berjuang untuk cinta kita, Man..?" suara Dhena sedikit meninggi.
Dia berusaha menahan tangisnya.
“Entah
lah, Dhen. Seandainya saja bukan kamu, aku akan berusaha. Meski kami harus
hidup menderita…”
“Aku
siap…”
“Ga’,
Dhen. Kamu takkan pernah siap. Sejak kecil kamu sudah terbiasa hidup dalam
kesenangan dan kemewahan.” Potong Man cepat.
“Tapi
aku bahagia bisa mendampingi kamu, Man..”
“Yah…Aku
tahu itu. Aku juga bahagia. Tapi sampai kapan? Cinta saja belum cukup untuk
menjamin kita akan bahagia selama nya, karena hidup tidak hanya butuh cinta…”
Dhena
ingat, betapa acuhnya Man padanya, waktu pertama kali bertemu. Ketika dengan
sangat terpaksa Dhena ikut dengan Papanya untuk melihat keadaan salah satu toko
papanya, yang berada di desa tempat Man tinggal. Dan Man adalah salah seorang
kuli di toko papa Dhena. Papa memang sengaja membuka cabang tokonya di desa
itu, karena desa itu sangat maju. Seseorang telah dipercaya papa untuk
mengelolanya, dan papa sekali dalam seminggu datang kesana untuk melihat
pembukuannya.
Dan
untuk pertama kali Dhena kesana, ia bertemu Man yang ketika itu tengah
mengangkuti barang-barang dari mobil ke dalam toko. Man begitu acuh dengan
kehadiran Dhena disitu, dan juga ketika Dhena mencoba menegurnya.
Sikap
cuek dan acuh tak acuh Man itulah yang membuat Dhena penasaran dan membuat Dhena
semakin rajin menemani papanya pergi ke desa itu, walau pun dulunya Dhena
paling tidak mau di ajak papanya.
“Tumben
kamu jadi rajin, menemani papa ke toko sekarang…?” Tanya papa suatu ketika.
“Ya.
Dhena kasian aja, membiarkan papa pergi sendirian…” begitu alasan Dhena untuk
bisa bertemu dengan Man. Dan pertemuan itu semakin sering terjadi. Dhena mulai
tertarik pada Man. Tapi Man tetap dengan sikap cueknya, Man tak pernah memberinya
harapan.
Hingga
suatu hari, Dhena nekat pergi ke desa itu sendirian. Ia menemui Man di tokonya, “Kalau kamu masih
saja acuh padaku, aku akan suruh papa untuk memecat kamu..” begitu ancamannya,
dalam usahanya untuk mendekati Man.
“Aku
hanya seorang kuli. Kamu harus sadari itu..” ucap Man.
“Aku
tidak peduli.!”
“Tapi…”
“Aku
tetap tak peduli. Bagiku kamu adalah seorang cowok yang membuat aku penasaran.”
Begitulah
awalnya. Ia merasa kalau kehadiran Man telah membuka hatinya. Dan ia berusaha
untuk tetap mencintai Man, meski Man sendiri sering mengingatkannya.
Dan
mereka lebih sering bersama. Man berusaha menghapus segala perbedaan yang ada,
walau hati kecil nya tetap tidak bisa menerima hubungan itu. Dhena mampu
meluluhkan hati Man untuk tetap bertahan. Meski perdebatan kecil sering
terjadi. Namun mereka mencoba merajut kasih, mencuri-curi waktu untuk dapat
bertemu.
Lebih
dari dua tahun mereka bersama, Dhena sangat bahagia dengan semua itu.
Namun
sekarang.
“Aku
ga’ sanggup menghadapi orang tua kamu, Dhen. Mereka pasti akan sangat marah
sekali..”
“Kamu
pengecut, Man!” ketus suara Dhena.
“Ya…Aku
memang pengecut.” Man menarik nafas panjang. Ada yang teriris di hati nya. “Mungkin
kamu akan lebih bahagia, kalau hidup bersama teman kuliahmu itu..” lanjut nya.
“Izul
maksudmu?” Dhena bertanya sambil menatap Man, yang tetap saja memalingkan
wajahnya.
“Iya.
Aku yakin dia sangat mencintaimu.”
“Dia
baik. Bahkan sangat baik. Tapi aku tidak pernah merasakan bahagia yang utuh
saat bersamanya. Aku tak pernah ingin mengorbankan apa saja untuknya. Seperti
yang dilakukan seseorang yang sangat mencintai kekasihnya…”
“Setelah
hampir lima tahun lamanya..?”
“Aku
tidak memikirkan berapa lama kami berteman. Seandainya saja aku tidak bertemu
kamu, mungkin aku tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dicintai orang yang
kita cintai..”
“Lama-lama
kamu juga akan mencintainya..”
“Itu
tidak mungkin, Man. Aku tidak mungkin hidup dengan orang yang tidak aku
cintai…”
Man berdiri tiba-tiba. Ia memandangi Dhena
yang tetap saja duduk menatapi rerumputan hijau lapangan bola kaki sederhana
itu.
“Tapi
kamu juga tidak mungkin hidup dengan orang yang tidak bisa memberikan kamu
apa-apa, Dhen. Kecuali cinta dan sebuah gubuk derita…” Man tersenyum kecil
mendengar ucapannya sendiri, yang hampir mirip syair itu. Kemudian senyum itu
lenyap, ada yang tiba-tiba terasa sangat sakit di hatinya.
“Kita
akan berjuang, Man..!”
“Ya…Tentu
saja. Aku pasti akan terus berjuang untuk hidup ku. Tapi aku tidak yakin, kalau
kita akan berhasil. Papa kamu tidak akan pernah membiarkan anak gadis semata
wayangnya hidup menderita. Kamu harus menyadari hal itu, Dhen..” Kata-kata Man
terdengar lemah. “Bahkan untuk minta restu saja, aku sudah tidak sanggup, Dhen.
Apa laki-laki seperti ini yang akan kamu banggakan pada papamu, Dhen..” ucapan
Man makin lirih, namun mampu membuat Dhena meneteskan air mata, yang sejak tadi
ia tahan. ”Apa kata keluarga mu nanti, kalau tahu anak yang mereka sayangi punya
calon suami seorang kuli…”
“Cukup, Man!”
Dhena histeris, ”Aku mohon, jangan pernah kamu berkata seperti itu lagi..”
lanjutnya sedikit tenang. ”Lalu.., apa aku salah, jika aku mencintai seorang
laki-laki yang mungkin jauh lebih lemah dari pada Izul..?”
“Oh,
tidak. Kamu ga’ salah. Aku juga ga’. Kalau pun ada yang harus dipersalahkan,
mungkin cinta kita yang salah berlabuh…” Kata-kata Man membuat Dhena semakin
terluka. Ia akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Ia berdiri memunggungi Man.
Menghapus tetesan air mata yang jatuh membasahi pipinya.
“Kalau
kamu memang tidak mau lagi berjuang untuk cinta kita. Lebih baik aku pergi dan
kita tidak akan bertemu lagi…” Dhena melangkah meninggalkan Man yang berusaha
menahan air matanya sendiri. Man tak tahu lagi harus berbuat apa. Semua memang
harus terjadi.
Hembusan
angin senja itu, terasa sangat dingin menyentuh kulit Man. Lapangan bola kaki
sederhana yang sejak tadi menjadi saksi perdebatan mereka, kian gelap. Sinar
sang surya yang tadi benderang kini mulai tenggelam. Siang telah berlalu,
berganti malam. Sang rembulan pun sudah mulai menampakkan keindahannya. Senja
yang indah sebenarnya. Tapi bagi dua hati yang sedang terluka, semua nya jadi
lebih menyakitkan.
Mentulik, 27 September 2005
Special to my friend….moga bahagia selalu.
Mentulik, 27 September 2005
Special to my friend….moga bahagia selalu.
Bagus
BalasHapusTerima kasih yaa
HapusSedih..
BalasHapus🙏🙏👍
Hapus