Pembantu baru ku yang cantik (bagian 2)

 Marni masih tertunduk. Ia seperti enggan memperlihatkan raut wajahnya padaku.

Aku memang sengaja mengajak Marni bertemu di sebuah kafe, hanya berdua. Untuk membicarakan persoalan yang sedang kami hadapi saat ini. Untuk membicarakan tentang apa yang harus kami lakukan ke depannya, terutama untuk mengatasi masalah kehamilan Marni.

"saya ingin, kamu menggugurkannya, Marni.." ucapku sedikit tegas.

Marni mendongakan kepalanya sejenak, untuk menatap ku, kemudian tertunduk lagi.

"saya akan carikan dokter terbaik, untuk melakukannya.." ucapku lagi.

"saya... saya akan tetap melahirkan anak ini, tuan. Saya tidak akan menggugurkannya.." meski sedikit terbata, Marni berucap cukup tegas.

"kamu ingin menghancurkan hidup saya?" tanya ku sedikit kasar.

"ingat, Marni! Kamu saya bayar. Jadi kehamilan kamu tidak sepenuhnya tanggungjawab saya.." lanjutku lagi.

"saya tidak berniat untuk menghancurkan hidup tuan. Saya juga tidak meminta tuan untuk menikahi saya." kali ini Marni berucap, sambil ia menatapku.

"lalu mau kamu apa?" tanyaku sedikit mengerutkan kening.

"saya akan pulang kampung. Saya akan membesarkan anak ini sendirian. Saya hanya minta agar tuan, mau membiayai hidup kami. Saya ingin tuan mengirimkan uang kepada saya di kampung, sampai anak ini tumbuh dewasa.." jelas Marni panjang lebar.

"lalu apa yang akan kamu katakan sama orangtua kamu? Tentang kehamilan mu ini?" tanya ku sedikit melunak.

"saya tidak akan mengatakan apa pun kepada mereka. Kalau pun mereka mempertanyakan hal ini, saya bisa mengarang cerita.." balas Marni cukup yakin.

"lalu bagaimana dengan masa depan kamu sendiri? Bagaimana dengan hidupmu sendiri? Apa kamu tidak ingin menikah?" tanyaku bertubi.

"tuan tidak perlu memikirkan hal itu. Selama kiriman uang dari tuan lancar, maka rahasia ini akan tersimpan selamanya. Dan tentang kehidupan ku ke depannya, mungkin aku akan menikah, tapi tidak dalam waktu dekat ini." jelas Marni lagi.

"oke.. saya setuju.." ucapku akhirnya.

Aku tidak tahu, apa ini adalah keputusan terbaik atau tidak. Apa ini pilihan terbaik atau tidak. Tapi yang pasti untuk saat ini, aku merasa sedikit lega. Meski pun Marni tidak mau menggugurkan kandungannya, tapi setidaknya tuntutannya padaku tidak terlalu memberatkan ku. Setidaknya untuk saat ini, kehidupan rumah tangga ku terselamatkan.

****

Marni akhirnya pulang ke kampung halamannya, dalam keadaan hamil. Aku gak tahu, bagaimana tanggapan orangtua Marni akan kehamilannya. Aku gak tahu, karangan cerita apa yang Marni sampaikan kepada orangtuanya.

Namun aku berusaha menepati janji ku pada Marni, untuk selalu mengirimkan uang padanya. Dan untuk sementara posisi ku masih aman.

Aku mencoba menikmati kebahagiaanku bersama keluarga kecilku. Bersama istri dan dua anak ku. Kehidupan rumah tangga ku kembali berjalan normal. Hari-hari kembali terasa indah bagi ku. Aku bahagia. Dan aku tetap mengirimkan uang kepada Marni, setiap bulannya.

Tapi ternyata hidup gak semudah itu. Tidak ada kesalahan yang tanpa resiko. Tidak ada kejahatan tanpa balasan. Kalau boleh dibilang mungkin ini adalah karma untuk ku.

Berawal dari anak kedua ku yang sering sakit-sakitan. Sering masuk rumah sakit. Sampai akhirnya anak ku pun menghembuskan napas terakhirnya, di usianya yang belum genap satu tahun. Aku benar-benar merasa kehilangan. Hatiku hancur. Begitu juga istri ku.

Kehidupan keluarga kami kembali bermuram durja. Rasa kehilangan telah membuatku merasa rapuh. Aku terlarut dalam kesedihan ku, hingga untuk beberapa bulan aku lupa mengirimkan uang kepada Marni.

Aku baru menyadarinya, saat akhirnya Marni tiba-tiba datang ke rumah dengan membawa anaknya yang baru berusia beberapa bulan.

"sudah hampir tiga bulan, tuan tidak mengirimkan uang padaku, karena itu saya datang kesini.." ucap Marni memulai pembicaraan di ruang tamu rumah ku, di depan istri ku.

Marni datang beberapa menit yang lalu, dan dia di sambut oleh istri ku. Sehingga aku tidak bisa menghindari lagi, pembicaraan tersebut.

Istri ku menatap Marni tak mengerti, kemudian ia mengalihkan tatapannya padaku, seakan meminta penjelasan ku.

"ada apa ini?" ucap istriku sedikit bergetar, "kenapa suami ku harus mengirimkan uang padamu?" lanjutnya bertanya.

Marni tidak segera menjawab, ia melirik ku beberapa saat. Dan aku hanya bisa tertunduk. Pasrah.

"karena tuan sudah berjanji akan membiayai hidup kami, sampai anaknya ini tumbuh besar." ucap Marni tegas, sambil ia menatap bayi yang di gendongnya.

"anaknya?" suara istriku tercekat. "maksud kamu?" tanyanya melanjutkan.

"saya tidak akan berlama-lama di sini, saya juga tidak punya waktu untuk menjelaskannya, jika nyonya ingin tahu, silahkan tanyakan sama suami nyonya. Saya akan pergi, dan anak ini akan saya tinggalkan disini, karena saya sudah tidak sanggup lagi membiayainya, terutama sejak tuan tidak lagi mengirimkan uang pada ku."

Setelah berkata demikian, Marni segera berdiri dan melangkah pelan menuju arah ku. Ia serahkan bayi yang ada di gendongannya itu padaku.

Dengan perasaan tak karuan dan tubuh gemetar, aku menerima bayi tersebut.

"dia anak tuan, dan dia berhak mendapatkan hidup yang layak.." ucap Marni lagi, sambil mulai melangkah mundur, lalu memutar tubuh menuju pintu keluar.

Istri ku menatap semua adegan itu, dengan tatapan penuh tanya dan tidak percaya nya. Mukanya memerah. Entah ia marah, kecewa, ata entah apa yang ia rasakan saat ini.

Kami baru saja kehilangan anak kedua kami. Rasa sedih masih menghantui hari-hari kami. Dan sekarang, tiba-tiba saja kabar ini muncul di hadapan istri ku. Hatinya pasti sangat hancur. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.

Aku juga tidak bisa menyalahkan Marni dalam hal ini. seperti janjinya, jika kiriman uang dari ku tidak lancar, maka ia akan membongkar rahasia ini.

Dan disini, saat ini. Aku terjebak.

******

Selama beberapa hari ini, istri ku mengurung diri di kamar. Beberapa kali aku coba memanggilnya, dia tak pernah bergeming.

Bayi yang ditinggalkan Marni, terpaksa aku titipkan pada Bi Ijah, pembantu ku. Biar bagaimana pun, sebagai ayah dari anak tersebut, aku memang harus bertanggungjawab. Aku harus membesarkannya. Dan Bi Ijah adalah harapan ku, untuk bisa merawat bayi tersebut.

Aku membiarkan istri ku dalam kesendiriannya. Aku juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Istri ku sudah tidak mau berbicara dengan ku lagi. Ia bungkam, seolah menganggap aku tak pernah ada.

"aku minta maaf.." ucapku menghiba, saat akhirnya aku punya kesempatan untuk berbicara dengan istri ku, setelah lebih dari sebulan ia mengabaikan ku.

Selama sebulan ini, aku memang jarang berada di rumah. Aku merasa sakit karena diabaikan oleh istri ku sendiri, sebab itulah aku lebih memilih untuk menghabiskan waktu di kantor ku.

Dan ternyata diam-diam, seperti yang di ceritakan bi Ijah padaku, istriku sudah mulai memperhatikan bayi yang ditinggalkan Marni tersebut. Ia juga sering memberi bayi tersebut makan, dan memandikannya. Hal itu, cukup membuat aku lega.

"aku juga minta maaf.." ucapku membalas, dengan suara lembutnya.

"mungkin sebagai istri, aku belum bisa memenuhi kebutuhan kamu seutuhnya.." lanjutnya.

"dan aku juga sudah memaafkan kamu. Kita akan mulai semuanya lagi dari awal. Aku juga sudah bertekad, untuk membesarkan anak tersebut. Mungkin anak itu, adalaha titipan Tuhan, sebagai pengganti anak kita yang telah tiada.." istri ku berucap lagi, yang membuatku tiba-tiba saja meneteskan air mata.

Entah terbuat dari apa hati istriku. Dan aku merasa beruntung bisa memilikinya.

Kurangkul pundaknya, dan aku tenggelamnya kepalanya dalam dekapan ku.

"aku janji, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan ini lagi. Aku hanya akan mencintai kamu, selamanya..." bisik ku penuh perasaan.

Dan aku hanya berharap, semoga ke depannya, aku lebih bisa menahan diriku, dari segala godaan hidup. Semoga rumah tangga kami, tetap utuh selamanya..

Ya... semoga saja..

****

Sekian..

Pembantu baru ku yang cantik part 1

Istri pak Kades

Nama ku Juna. Aku seorang mahasiswa. Usia ku sudah 22 tahun saat ini.

Kebetulan tahun ini aku dan beberapa orang teman kampus lainnya, sedang melaksanakan kegiatan KKN di sebuah desa.

Desa tersebut berjarak kurang lebih dua jam perjalanan dari kota tempat aku kuliah. Sebut saja nama desa nya, desa Meranti. Sebuah desa yang boleh di bilang sudah cukup maju.

Desa tersebut memang sedang berkembang. Transportasi nya juga sudah lancar. Jalan menuju desa tersebut sudah aspal semuanya. Listrik juga sudah masuk. Dan jaringan internet pun sudah cukup lancar.

Sumber mata pencaharian utama masayarakat desa tersebut adalah nelayan. Karena memang desa Meranti terletak di pinggiran sebuah sungai. Sebagian lagi ada juga yang berkebun atau pun bertani. Kehidupan masyarakat di sana, secara ekonomi memang sudah sangat mapan.

Kami melaksanakan KKN di desa Meranti selama kurang lebih dua bulan.

Kami berjumlah enam belas orang, tujuh cowok dan sembilan cewek. Kami semuanya tinggal di rumah pak Kades. Kebetulan rumah pak Kades cukup luas.

Kami yang cowok tinggal satu kamar, sedangkan yang cewek tinggal di dua kamar lainnya.

Pak Kades desa Meranti memang masih cukup muda. Beliau masih berusia sekitar 35 tahun, sedangkan istrinya juga masih sangat muda, mungkin baru berusia sekitar 28 tahun. Dan ternyata mereka belum memiliki anak, meski mereka sudah menikah lebih dari tujuh tahun.

Singkat cerita, aku dan teman-teman KKN lainnya pun mulai melakukan berbagai kegiatan di desa tersebut. Tentu saja di bantu oleh pak Kades sendiri dan beberapa orang perangkat desa lainnya.

Istri pak Kades yang bernama buk Erna, juga sering terlibat dalam kegiatan yang kami lakukan.

Karena tinggal serumah dengan pak Kades dan istrinya, kami juga jadi cepat akrab dan dekat. Pak Kades dan istrinya juga memperlakukan kami dengan sangat baik. Mereka sudah menganggap kami seperti keluarga sendiri.

Buk Erna, istri pak Kades tersebut, juga sangat ramah dan penuh perhatian. Dia memperlakukan kami seperti keluarganya sendiri.

Dan bahkan, kadang aku merasa, perhatian buk Erna pada ku justru terasa berlebihan. Mulai dari memperingatkan aku sudah makan atau belum, sudah mandi atau belum, sampai kadang-kadang ia sering membuatkan aku makanan kesukaan ku.

Awalnya aku menganggap semua perhatian buk Erna padaku, adalah hal biasa. Namun lama kelamaan, aku merasa buk Erna mulai bertindak agak sedikit aneh. Dia jadi sering memuji ku, sering mengajak aku ngobrol berdua, terutama saat di rumah hanya ada kami berdua.

Perhatian dan sikap buk Erna yang berlebihan tersebut, membuat aku jadi sedikit risih.

Pernah pada suatu hari, aku merasa sedikit kurang enak badan. Karena itu aku tidak ikut dengan teman-teman untuk melakukan kegiatan kami hari itu. Aku hanya berbaring malas di dalam kamar.

Saat itu, tiba-tiba buk Erna masuk ke kamar.

"katanya kamu sakit, Jun. Kamu sudah minum obat?" tanya buk Erna berbasa-basi.

"iya, buk. Saya lagi kurang enak badan aja. Tapi tadi sudah minum obat kok.." balasku ringan.

"kamu udah makan?" tanya buk Erna lagi, sambil ia duduk di samping ku.

"udah, buk." balasku singkat.

"ya udah.. kamu istirahat aja ya.. nanti saya buatkan makanan kesukaan kamu, biar kamu cepat pulih.." ucap buk Erna kemudian.

"iya, buk. Makasih ya. Buk Erna sudah sangat baik pada ku selama ini. Saya jadi gak enak.." balasku.

"kamu gak usah merasa gak enak gitu, Jun. Saya ... saya ikhlas kok. Soalnya kamu tuh orangnya juga baik dan ramah. Kamu juga cakep, Jun. Saya jadi suka sama kamu.." ucap buk Erna sedikit blak-blakan.

"maksud buk Erna apa?" tanya ku terdengar lemah.

"maksud saya... kamu tuh keren, Jun. Saya suka sama kamu. Kamu mau gak kalau kita menjalin hubungan yang lebih?" balas buk Erna lugas.

"tapi.. kan... buk Erna sudah punya suami. Saya takut, buk. Saya gak bisa.." ucapku sedikit terbata.

"kamu gak usah takut, Jun. Ini hanya sementara, kok. Selama kamu berada disini aja. Nanti kalau kamu udah pergi, semuanya juga berakhir, kok." balas buk Erna pelan.

"tapi.. buk.." ucapku terputus.

"udah... kamu mau ya.. atau kamu gak tertarik sama saya?" balas buk Erna terdengar manja.

Untuk sesaat aku terdiam. Secara fisik buk Erna memang cukup menarik. Dia cantik dan masih seksi. Tapi ...

"maaf, buk. Saya gak bisa. Saya takut pak Kades tahu.." ucapku akhirnya.

"bapak gak bakal tahu, Jun. Kamu tenang aja.. Yang penting kamu mau.. ya.." balas buk Erna, berusaha meyakinkan ku.

"kalau kamu nolak, nanti saya bilang bapak, kalau kamu merayu saya.." lanjut buk Erna lagi.

Kali ini aku terdiam lagi. Sepertinya ambisi buk Erna untuk bisa mendapatkan saya, cukup kuat. Aku sungguh tidak menyangka sama sekali, kalau buk Erna akan senekat ini.

Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku pun menerima tawaran buk Erna. Bukan karena aku menginginkannya, tapi karena aku takut buk Erna akan memfitnah ku, dan melaporkan hal-hal yang buruk pada pak Kades.

****

Sejak saat itu, aku dan buk Erna jadi semakin sering menghabiskan waktu berdua. Ada saja kesempatan bagi kami untuk bisa menikm4ti kebersamaan kami.

Hubung4n terlar4ng ku dengan buk Erna, istri pak Kades tersebut, terus terjalin selama aku melaksanakan KKN di desa Meranti.

Entah mengapa aku pun mulai bisa menikm4ti hubung4n tersebut. Aku terkes4n dengan semua yang dil4kukan buk Erna pada ku. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat indah bagi ku.

Hingga akhirnya, masa KKN kami pun selesai. Dan aku harus kembali ke kota.

Sejujurnya, aku merasa berat harus berpisah dengan buk Erna. Namun seperti perjanjian kami dari awal, bahwa jika aku sudah pergi dari desa tersebut, maka hubungan kami pun berakhir.

Dan begitulah, kisah indah ku bersama buk Kades yang cantik tersebut. Meski terkesan singkat, namun hal itu tidak mudah untuk dilupakan.

Aku akan selalu mengingat semua kisah itu, sebagai kenangan yang terindah dalam perjalanan hidup ku.

Walau pun aku tahu, kalau semua itu adalah sebuah kesalahan.

Aku hanya berharap, semoga saja, hal itu tidak akan pernah terjadi lagi dalam perjalanan hidupku.

Ya... semoga saja.

****

Menantu ku cantik, menantu ku sayang

Aku seorang pria yang saat ini sudah berusia 50 tahun. Aku menikah saat aku masih berusia 24 tahun. Aku menikah dengan seorang janda, namanya Amira. Waktu itu Amira sudah berusia 30 tahun dan sudah punya sorang putra. Suami pertamanya pergi meninggalkannya saat ia sedang hamil.

Aku hanya seorang buruh pabrik waktu itu, sementara Amira adalah seorang pengusaha yang cukup sukses. Dia punya beberapa buah toko pakaian. Jujur, aku menikahi Amira waktu itu, hanya untuk merubah kehidupan ku.

Kala itu, aku hanya seorang perantau. Aku hidup sendirian di kota besar ini. Sampai akhirnya aku bertemu Amira. Dan karena aku tahu, kalau Amira adalah janda kaya, aku pun berusaha untuk mendekatinya. Hingga akhirnya kami pun menikah.

Putra Amira yang bernama Fhandi itu, saat itu masih berusia empat tahun. Aku pun berusaha menyayanginya dan menganggapnya seperti anak sendiri.

Sejak menikah dengan Amira kehidupanku pun berubah. Aku tak lagi menjadi kuli proyek. Aku di percaya oleh Amira untuk mengelola semua tokonya. Sementara Amira lebih memilih untuk menjadi ibu rumah tangga.

Pernikahan ku dengan Amira pun membuahkan dua orang anak. Satu laki-laki dan satu perempuan. Kehidupan keluarga kami pun berjalan dengan harmonis. Meski pun awalnya niat ku menikahi Amira hanya untuk merubah taraf kehidupan ku. Namun lama-kelamaan aku mulai menyayanginya, apa lagi sejak kehadiran dua orang buah hati kami.

Fhandi, yang merupakan anak tiri ku itu, juga tidak kekurang kasih sayang dari kami. Aku tidak membedakannya dengan keudua naak kandung ku. Aku berusaha bersikap adil kepada mereka bertiga. Hingga akhirnya mereka pun tumbuh menjadi anak-anak yang saling menyayangi dan saling mendukung satu sama lain.

Saat ini, Fhandi sudah berusia sekitar 30 tahun. Ia baru saja menikah sekitar setahun yang lalu. Sejak menikah, Fhandi memang tidak tinggal satu atap lagi dengan kami. Apa lagi ia juga sudah punya pekerjaan di sebuah perusahaan besar. Dia juga sudah punya rumah sendiri, dan tinggal beruda bersama istri nya.

Istrinya bernama Sella, usianya masih 24 tahun. Ia tidak bekerja. Karena Fhandi tidak memperbolehkan istrinya untuk bekerja. Karena itu, Sella lebih sering menghabiskan waktu di rumahnya sendirian. Kadang-kadang Sella juga masih sering datang ke rumah kami, sekedar berkunjung dan ngobrol bersama ibu mertua nya. Apa lagi jarak rumah mereka tidak terlalu jauh dari rumah kami. Masih satu kompleks.

Aku dan Sella juga lumayan dekat. Karena Sella memang cukup ramah orangnya. Dia juga orang yang suka ceplos-ceplos, sedikit heboh kalau lagi bercerita. Tipe wanita yang tidak suka diam. Dengan adik-adik iparnya ia juga sangat dekat.

Sudah lebih dari setahun Fhandi dan Sella menikah. Namun Sella belum juga hamil. Hal itu Sella akui sendiri kepada kami. Karena itu juga ia jadi sering merasa kesepian. Apa lagi Fhandi saat ini, juga sering mendapat tugas ke luar daerah. Sella jadi sering tinggal sendirian di rumah.

Pada suatu hari, seperti biasa Sella berkunjung ke rumah kami sendirian. Suaminya sudah dua hari tidak pulang, karena ada pekerjaan di luar daerah. Sementara saat itu aku hanya sendirian di rumah. Istri ku sedang pergi berbelanja ke pasar.

Aku memang lebih sering menghabiskan waktu di rumah saat ini, karena urusan toko-toko kami, sudah aku serahkan sepenuhnya kepada anak pertama ku. Dia yang mengelola nya sekarang. Sedangkan anak bungsu ku masih sibuk dengan kuliahnya.

"bapak sendirian? Ibu mana?" tanya Sella saat ia langsung masuk ke ruang keluarga.

"ibu pergi belanja ke pasar." jawab ku apa adanya.

"udah lama perginya?" tanya Sella lagi.

"baru beberapa menit yang lalu.." jawabku.

"berarti masih lama ya, pak. Ibu pulangnya?" Sella bertanya lagi.

"ya.. begitulah. Emangnya kamu ada perlu apa sama ibuk?" balasku sedikit bertanya.

"gak ada perlu apa-apa sih, pak. Justru aku perlu nya sama bapak..." ucap Sella, seperti biasa selalu ceplas-ceplos.

"kamu ada perlu apa sama saya?" tanyaku sedikit heran.

"kasih tips nya donk, pak. Biar aku dan mas Fhandi bisa cepat punya momongan." ucap Sella kemudian.

Sekilas aku menatap Sella dengan kening berkerut. Aku tak menyangka sama sekali, kalau Sella akan bertanya hal tersebut pada ku.

"kalian baru menikah sekitar setahun lebih loh. Jadi masih wajar kalau kalian belum punya keturunan. Kamu mungkin hanya harus lebih sabar aja.." ucapku akhirnya.

"tapi aku kesepian, pak. Kalau aku punya anak, aku pasti gak bakal kesepian lagi." balas Sella dengan suara sedikit manja.

"kamu kan masih punya kami, Sella. Rumah ini terbuka untukmu." ucapku ringan.

"iya sih, pak. Tapi sebagai seorang istri, wajar kan kalau aku pengen punya anak.." balas Sella kemudian.

"yah.... kamu harus lebih sabar lagi, Sella. Kalian masih terus berusaha kan?" ucapku.

"itu dia masalahnya, pak. Mas Fhandi kan jarang di rumah. Jadi rasanya usaha kami masih kurang maksimal." balas Sella pelan.

"bapak bisa bantu saya gak?" tanya Sella melanjutkan.

"bantu apa?" tanya ku balik.

"yah... bapak ngerti lah maksud saya.. Bapak kan masih terlihat segar... pasti masih mampu kan?" ucap Sella dengan suara yang sedikit tertahan.

Kali ini aku terdiam. Aku mulai mengerti maksud Sella. Sebagai laki-laki normal, aku memang cukup tertarik dengan tawaran Sella. Apa lagi Sella masih muda dan cantik. Apa lagi istri ku sebenarnya sudah lama tidak bisa memenuhi kebutuhan saya sebagai suami, karena usianya yang sudah cukup tua.

Saya juga bukan lak-laki baik. Dulu, saya menikah dengan istri saya, justru karena ia kaya. Sekarang Sella datang dan menawarkan sesuatu yang sangat menarik.

"gimana, pak? Bapak bersedia kan?" ucap Sella kemudian, melihat saya yang hanya terdiam.

"kamu yakin, Sel?" tanyaku.

"saya sangat yakin, pak." balas Sella mantap.

"oke, saya bersedia. Tapi... ini hanya bersifat sementara, sampai kamu bisa punya anak. Dan ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua..." ucapku akhirnya.

Sella pun tersenyum penuh kemenangan.

*****

Dan begitulah, sejak saat itu, aku dan Sella jadi punya hubungan khusus. Kami punya jadwal tertentu untuk bisa bertemu. Mengingat Fhandi jarang berada di rumah, kami semakin punya banyak waktu untuk bisa bertemu.

Dan hal itu terus terjadi selama berbulan-bulan. Hingga akhirnya Sella pun hamil.

Kehamilan Sella tentu saja menjadi kabar paling membahagia kan di keluarga kami, terutama untuk Fhandi.

Namun hal itu tidak terlalu membuat aku bahagia, karena dengan kehamilan Sella, itu berarti aku akan kehilangan kesempatan untuk bisa bersama nya lagi.

Jujur, ada rasa kecewa di hati ku. Karena aku sudah terlanjur menyayangi Sella. Kebersamaan kami selama beberapa bulan ini, telah membuat aku jatuh cinta pada Sella.

Tapi sekarang, semua itu telah berakhir. Aku tak bisa lagi menghabiskan waktu berdua bersama Sella seperti biasa. Apa lagi Fhandi juga jadi semakin sering berada di rumah, sejak istrinya hamil. Apa lagi Sella juga seperti sengaja menghindari ku.

Pernah suatu hari, aku berusaha menemui Sella di rumahnya, saat suaminya sedang bekerja.

"seperti perjanjian kita dari awal, pak. Hubungan kita hanya bersifat sementara. Dan sekarang sudah saat nya kita mengakhiri itu semua." ucap Sella terdengar tegas.

"tapi aku sudah terlanjur sayang sama kamu, Sel. Dan kamu juga harus ingat, kalau anak dalam kandungan mu itu adalah anak ku." ucapku tajam.

"dan bapak akan menceritakan hal tersebut pada mas Fhandi? Pada istri bapak? Atau pada anak-anak bapak?" balas Sella dengan nada cukup keras.

"bukan begitu maksud saya, Sel. Saya hanya ingin kita terus berhubungan seperti biasa. Saya tidak bisa melepaskan kamu begitu saja.." ucapku membalas.

"tapi saya gak bisa lagi, pak. Saya gak mau selamanya harus membohongi mas Fhandi. Jadi saya mohon, lebih baik kita saling melepaskan. Dan bapak jangan pernah lagi coba mendekati saya." ucap Sella, kali ini suara nya cukup menghiba.

Aku akhirnya hanya bisa terdiam. Keputusan Sella untuk mengakhiri hubungan kami, sepertinya sudah sangat bulat. Aku tak mungkin memaksanya. Lagi pula, mungkin ini jauh lebih baik. Karena jika kami terus berhubungan, tentu saja hal itu akan mengundang kecurigaan Fhandi atau pun istri ku.

Karena itu akhirnya aku memutuskan untuk pergi dan melepaskan Sella. Meski hati ku merasa sakit dan kecewa. Namun biar bagaimana pun, hubungan kami memang harus berakhir. Karena jelas hal itu adalah sebuah kesalahan.

Dan sebelum semuanya semakin terlambat, kami memang harus saling melepaskan.

****

Misteri gadis yang hilang part 5

Detektif Akmal menahan napas, lalu kemudian melepaskannya dengan lega, saat akhirnya ketiga orang tersebut berlalu. Akmal belum berani untuk bertindak lebih. Dua orang pengawal tersebut juga memiliki pistol, jika Akmal mencegat mereka sekarang, pasti akan terjadi keributan, yang akan mengundang kedatangan para pengawal lainnya. Karena Akmal tetap memilih untuk bersembunyi.

Setelah merasa cukup aman, Akmal kembali menyelinap keluar dari gudang tersebut. Ia harus segera keluar dari gedung tersebut, sebelum kehadirannya diketahui oleh para pengawal yang bisa saja memergokinya. Setidaknya sekarang ia sudah tahu, kalau gadis yang ia cari memang berada di dalam gedung tersebut.

Akmal berhasil menyelinap keluar. Dia pun dengan sedikit berlari menuju tempat mobil terparkir. Di sana Piter dan Alena sedang menunggu dengan cemas.

"bagaimana?" tanya Piter ingin tahu, ia tak pedulikan Akmal yang masih berusaha mengatur napasnya.

Akmal tidak menghiraukan pertanyaan Piter barusan, ia langsung saja masuk ke dalam mobil.

"kita harus pergi dari sini sekarang, sebelum orang-orang itu mulai curiga." ucap Akmal setelah ia berada di dalam mobil.

"lalu bagaimana dengan Lila?" kali ini Alena yang bertanya.

"Lila ada di dalam, tapi kita tidak bisa menyelamatkannya sekarang, kita harus atur rencana dulu." balas Akmal, sambil mulai menjalankan mobilnya.

"apa rencananya?" tanya Piter tak sabar.

"nanti kita kembali lagi kesini, dan aku butuh teman untuk masuk ke dalam. Sekitar jam empat subuh kita masuk, karena pada jam itu biasanya keadaan akan aman." jelas Akmal.

"aku ikut.." ucap Alena, entah menawarkan diri atau bertanya.

"aku dan Piter yang akan masuk ke dalam, kamu tunggu di mobil dan bersiap-siap untuk menjalankan mobil saat kami sudah kembali nanti.." ucap Akmal kemudian.

Alena pun akhirnya hanya bisa diam. Ia sebenarnya tidak tahu, pilihan mana yang terbaik untuknya saat ini. Menunggu di mobil atau ikut masuk ke dalam, baginya sama-sama besar resikonya.

"lalu kita akan kemana menunggu jam empat?" Piter bertanya dari belakang.

"kita ke rumah ku, untuk beristirahat, dan juga mengambil beberapa perlengkapan ku di sana." balas Akmal.

Mobil itu pun melaju menuju rumah Akmal yang berjarak kurang lebih sepuluh kilometer dari situ.

****

Lila masih berusaha meronta, saat kedua pengawal tersebut membawanya ke lantai atas. Di depan sebuah kamar mereka berhenti. Salah seorang pengawal tersebut mengetuk pintu kamar tersebut. Sesaat kemudian, pintu itu pun terbuka. Seorang lelaki tua berperut buncit tersenyum menyambut mereka.

"ini pesanannya, tuan." ucap salah seorang pengawal, sambil mendorong tubuh Lila ke depan pria tua tersebut.

Pria tua tersebut semakin melebarkan senyum, "bawa masuk ke dalam.." ucapnya.

Kedua pengawal tadi, segera mendorong tubuh Lila, agar ikut masuk. Sementara Lila masih terus berusaha meronta, melepaskan diri.

Sesampai di dalam, kedua pengawal pun melepaskan pegangannya pada tubuh Lila. Lalu mereka berdua pun pamit keluar. Lila hanya berdiri menatap lelaki tua yang ada di depannya sekarang.

"anda siapa?" tanya Lila cukup berani, setelah kedua pengawal tadi meninggalkan mereka berdua. Lila sadar, kalau pun saat itu hanya ada lelaki tua tersebut, dia juga tidak bisa kabur. Pintu kamar itu sudah terkunci. Untuk itu Lila pun berusaha menjalin komunikasi dengan lelaku tua tersebut, agar ia punya banyak waktu untuk terus memikirkan cara untuk kabur.

"panggil saya om Hadi." ucap laki-laki tua itu akhirnya, "saya adalah orang yang telah membeli kamu malam ini. Dan saya membeli kamu sangat mahal, karena katanya kamu masih perawan." lanjut laki-laki itu dengan gaya angkuhnya.

Lila menelan ludah pahit mendengarkan hal tersebut. Meski ia sudah mendengarkan semua cerita tentang tempat ini dari Atika, teman satu kamarnya, ia tetap saja merasa mual mendengarkan hal tersebut.

"jadi malam ini kamu milik saya. Kamu harus mengikuti keinginan saya." laki-laki itu berucap lagi, sambil mulai melangkah mendekat.

"saya... saya.. tidak sudi melayani anda.." suara Lila bergetar.

"kamu tidak bisa menghindari ini, kamu sudah saya bayar.." balas laki-laki itu tajam.

Lila terdiam, karena om Hadi sudah memegang kedua pundaknya.

"kamu cantik sekali.." bisik om Hadi berusaha menggoda.

Lila berusaha menepis tangan om Hadi, tapi cengkeraman om Hadi justru semakin kuat. Tapi Lila tidak kehabisan akal, ia menangkat lututnya, lalu menendang bagian sensitif milik om Hadi.

"akhk.." om Hadi terjerit, tanganya pun terlepas. Lila segera memanfaatkan kesempatan tersebut. Ia berlari menuju pintu, tapi sayangnya pintu itu sudah terkunci. Dan kunci ada di atas meja di samping ranjang. Lila hendak mengambil kunci tersebut, tapi om Hadi kembali mencegatnya.

"lepaskan saya.." teriak Lila, sambil terus berusaha melepaskan diri dari dekapan om Hadi.

"kamu tidak akan bisa kemana-mana.." ucap om Hadi kasar. Ia mendorong tubuh Lila ke atas ranjang.

Lila tetap meronta. Ia tak ingin menyerah. Tangannya meraih bantal, lalu melemparkannya ke arah om Hadi. Tentu saja hal itu tidak bisa menghentikan om Hadi. Tapi setidaknya Lila jadi punya kesempatan untuk kembali berdiri. Ia berlari kembali ke arah meja untuk meraih kunci.

Om Hadi sekali lagi berhasil meraih tubuhnya, Lila kembali meronta. Sampai ia melihat di atas meja ada sebuah telepon. Tangannya berusaha meraih telepon tersebut. Dan saat ia berhasil mendapatakan telepon itu, ia pun melayangkan telepon tersebut ke arah om Hadi.

Om Hadi coba menghindar, tapi terlambat, telepon itu telah mengenai kepalanya. Sekali lagi om Hadi mengerang kesakitan. Lila pun segera meraih kunci kamar, dan berlari ke arah pintu. Dengan tangan gemetar ia berusaha membuka pintu tersebut. Sementara om Hadi masih terus berusaha mendekatinya, sambil terus memegangi kepalanya yang sakit.

Dengan susah payah akhirnya Lila berhasil membuka pintu itu. Ia segera berlari ke bawah. Namun dua orang pengawal tadi melihatnya. Mereka berusaha mengejar Lila.

Saat menuruni tangga, Lila terpeleset. Ia pun jatuh bergulingan ke bawah. Kedua pengawal segera menangkapnya. Kepala Lila terbentur ubin tangga, keningnya berdarah. Tapi Lila masih sadarkan diri, ia terus berusaha melawan. Namun kedua pengawal itu berhasil membekuknya.

Om Hadi pun tiba di sana, ia terlihat sangat marah.

"bawa perempuan brengsek ini pergi dari sini. Saya tidak membutuhkannya lagi." ucap Om Hadi dengan nada tinggi. Setelah berkata demikian, om Hadi pun segera berlalu dari sana.

Kedua pengawal tersebut pun menyeret Lila untuk kembali kamarnya. Mereka tak pedulikan kening Lila yang berdarah. Bagi kedua pengawal tersebut, itu merupakan hal biasa. Bukan sekali dua kali, seseorang berusaha lari dari kamar tamu, apa lagi bagi para perempuan yang baru pertama kali menerima tamu.

Tubuh Lila mereka lempar dengan kasar untuk memasuki kamar tempat Lila di sekap. Lila terduduk. Tubuhnya terasa sakit. Tapi ia merasa sedikit lega. Setidaknya untuk sementara ia selamat dari cengkeraman laki-laki tua hidung belang yang mengaku bernama om Hadi tadi.

"kamu gak apa-apa?" Atika, teman sekamar Lila coba membantu Lila untuk berdiri.

"saya gak apa-apa. Ini jauh lebih baik, dari pada saya harus melayani laki-laki bejat itu." balas Lila sambil berjalan menuju dipan kecilnya.

"kamu mungkin bisa bebas malam ini. Tapi kamu belum tentu bisa bebas untuk malam-malam selanjutnya." ujar Atika.

"dulu saya juga seperti itu. Tapi akhirnya saya menyerah. Karena bos tidak akan tinggal diam, jika kita terus melawan." lanjut Atika kemudian.

Lila menarik napas berat. Ia bertekad untuk bisa keluar dari tempat terkutuk tersebut. Tapi ia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya.

"jangan berpikir untuk kabur.." suara Atika terdengar lagi, "sekali pun kamu berhasil kabur, bos tidak akan membiarkan kamu bebas begitu saja. Mereka akan mencari mu sampai ketemu, dan mereka akan membunuhmu di tempat. Sudah banyak para gadis yang mengalami hal tersebut." lanjut Atika.

"apa yang membuat kamu tetap bertahan?" tanya Lila ingin tahu.

"satu-satunya cara untuk tetap bertahan ialah dengan mengikuti keinginan mereka." balas Atika.

"tapi aku tidak ingin menghabiskan hidup ku di sini..." ucap Lila lemah.

"kita gak punya pilihan, Lila. Pilihan kita hanya satu, yakni mengikuti keinginan mereka." balas Atika.

"kita harus bisa kabur dari sini, Atika. Pasti ada caranya." ucap Lila lagi.

"saya sudah lebih empat bulan berada disini, Lila. Bangunan ini di jaga dengan ketat. Tidak ada yang bisa kabur dari sini. Sekali pun ada, seperti yang saya katakan tadi, mereka akhirnya pun di bunuh." balas Atika.

Sekali lagi Lila bergidik. Hatinya tiba-tiba ciut. Tapi ia juga tidak ingin pasrah begitu saja. Karena itu ia terus berpikir, untuk bisa kabur dari tempat itu.

*****

Jam empat menjelang subuh, sesuai rencana, Akmal, Piter dan Alena sudah berada di tempat yang mereka rencanakan. Mobil mereka parkir tak jauh dari gedung tempat Lila berada.

Segera Akmal dan Piter menyusup ke belakang gedung, mengikuti jalan yang pernah Akmal tempuh sebelumnya. Perjalanan mereka jadi lebih mudah, karena Akmal sudah pernah masuk ke dalamnya melalui jalan tersebut. Sementara Alena menunggu mereka di mobil dengan perasaan yang tak karuan.

Sesampai di dalam, Akmal dan Piter, dengan mengendap-endap menyelusuri koridor, yang di kiri kanannya tersusun kamar-kamar. Akmal sudah tahu persis kamar mana yang akan mereka tuju.

"anda yakin ini kamarnya?" tanya Piter sepelan mungkin.

Akmal mengangguk yakin, "kamu ketuk aja pelan-pelan, jangan sampai terdengar ke atas." ucapnya.

Akmal sengaja memegang pistolnya buat berjaga-jaga.

Piter mengetuk pintu itu dengan pelan, namun tidak ada reaksi apa pun dari dalam.

Piter mencobanya beberapa kali.

Sementara di dalam kamar, Lila yang belum bisa tertidur mendengar ketukan di pintu kamarnya. Ia kaget dan mulai merasa takut. Ia pikir itu adalah para pengawal yang akan memaksanya lagi.

Tapi kemudian ia sadar, jika itu adalah para pengawal, untuk apa mereka harus mengetuk pintu. Bukankah pintu kamar itu mereka kunci dari luar?

Menyadari hal tersebut, Lila segera bangkit dan berjalan menuju arah pintu dengan hati-hati.

Piter yang tidak mendengar reaksi apa pun dari dalam, mulai merasa putus asa.

"kita harus cepat, Piter. Waktu kita tidak banyak.." ucap Akmal berbisik.

"Lila....." ucap Piter berusaha memanggil orang yang berada di dalam kamar tersebut.

Saat itu Lila memang sedang berada di dekat pintu, ia pun mendengar suara panggilan tersebut.

"Piter..?" balas Lila setengah ragu. 

"iya, ini aku, Lila. Tolong buka pintunya, kami akan membawa kamu keluar dari sini.." ucap Piter sangat pelan.

Lila mencubit pipinya sendiri. Sakit! Ia merasa kalau ia sedang bermimpi atau sedang berhalusinasi.

"cepat Lila.." suara Piter terdengar lagi.

"pintu ini terkunci dari luar, Piter. Kami gak bisa membukanya dari dalam.." ucap Lila akhirnya, setelah cukup yakin, kalau hal itu nyata.

"kami?" tanya Piter ragu.

"iya, kami berdua di dalam kamar ini." jelas Lila.

"lalu bagaimana membuka pintu ini?" Piter pun bertanya pada Akmal, yang sedari tadi hanya terdiam, sambil terus memperhatikan sekeliling, untuk berjaga-jaga.

"aku juga tidak tahu, Ter.." Lila yang menjawab.

"aku gak lagi ngomong sama kamu, Lila." ucap Piter.

"lalu sama siapa?" tanya Lila penasaran.

Piter tidak menjawab, karena ia melihat Akmal mengeluarkan sebuah kunci dari dalam sakunya. Akmal terpaksa lagi menggunakan kunci serba gunanya untuk membuka pintu tersebut. Tapi ternyata kali ini lebih sulit dari yang ia pikirkan. Pintu itu tidak mudah terbuka.

Akmal akhirnya mengeluarkan sebuah obeng dari sakunya, untuk membantu agar pintu itu bisa cepat terbuka. Cukup lama Akmal berusah untuk membuka pintu tersebut, namun belum juga berhasil.

"kita dobrak aja.." tawar Piter tak sabar.

"jangan!" cegah Akmal, "suaranya akan bikin gaduh.." lanjut Akmal.

"lalu bagaimana?" tanya Piter lagi.

"kamu gak lihat saya sedang berusaha untuk membukanya, jadi kamu lebih baik diam. Omongan mu itu gak membantu sama sekali." balas Akmal terdengar kasar.

Piter pun tak berucap apa-apa lagi, ia terus memperhatikan Akmal yang terus berusaha membuka kunci pintu tersebut.

Sementara di dalam kamar, Lila menunggu dengan gelisah.

"ada apa?" tanya Atika, saat ia akhirnya terbangun melihat Lila yang berdiri di dekat pintu.

Lila tidak menjawab, ia hanya memberi isyarat kepada Atika untuk tidak bersuara. Atika bangkit dari tidurnya, dan berjalan pelan mendekati Lila.

"kamu mau kabur?" tanya Atika.

Belum sempat Lila menjawab pertanyaan Atika barusan, pintu kamar itu pun terbuka. Dua orang laki-laki berdiri di ambang pintu.

"Piter.." teriak Lila tertahan. Ia segera menghambur dalam pelukan Piter. Piter balas mendekap tubuh ramping itu. "aku sangat ketakutan, Ter. Bawa aku pergi dari sini." ucap Lila lagi.

"sudah ... gak ada waktu untuk itu sekarang, kita harus cepat pergi dari sini, sebelum semua orang terbangun." ucap Akmal tegas.

Piter segera melepaskan dekapannya, lalu meraih tangan Lila untuk membawanya keluar dari kamar tersebut.

"tunggu.." cegah Lila.

Lila melihat ke belakang, Atika berdiri terpaku di sana.

"kamu harus ikut bersama kami, Tika." ucap Lila, sambil menarik tangan Atika.

"apa kalian yakin kita akan selamat?" ucap Atika, masih tetap menahan langkahnya.

"udah... kita harus pergi secepatnya dari sini sekarang.." kali ini Akmal yang berucap, sambil ia menarik tangan Atika dengan sedikit kasar. Atika pun akhirnya mengikuti langkah mereka.

"berapa lama lagi waktu kita?" tanya Akmal entah kepada siapa.

"sekarang jam lima lewat empat lima, berarti kita hanya punya waktu kurang lebih lima belas menit lagi." Atika yang menjawab pertanyaan tersebut.

Mereka berempat terus berjalan menuju pintu keluar belakang tempat Akmal dan Piter tadi masuk.

"kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu?" Piter yang bertanya.

"karena setiap jam enam pagi, para pengawal akan memeriksa setiap kamar yang ada di sini. Jadi kalau mereka tahu, kamar kami kosong, mereka pasti akan mengejar kita." jelas Atika.

"kalau begitu kita harus bergegas.." ucap Akmal menimpali.

Mereka pun berlari menuju keluar gedung tersebut. Melewati tembok dan berlari di dalam semak-semak dalam kegelapan. Tanpa sadar, kaki Lila tersandung sebatang kayu yang melintang di jalan mereka. Lila terjerembab jatuh, Ia menjerit tertahan. Ia merasakan lututnya berdarah.

Piter berusaha membantunya berdiri. Tapi Lila merasa tubuhnya lemah.

"aku gak kuat lagi, Piter.." ucap Lila lemah.

Tanpa pikir panjang, Piter pun segera memopong tubuh Lila, dan Piter kembali berlari, sambil ia terus menggendong tubuh Lila.

Sementara itu, Alena yang sedang menunggu mereka di dalam mobil, mulai merasa gelisah. Sudah hampir dua jam Akmal dan Piter berada di dalam sana. Tapi mereka belum juga kembali.

Sesuai perjanjian, jika mereka tak kembali hingga jam enam pagi, Alena harus segera pergi dari sana.

Alena melirik arloji nya, kurang tiga menit dari jam enam. Itu artinya ia harus bersiap-siap untuk segera pergi dari sana. Saat Alena berusaha menghidupkan mobil, tiba-tiba dari kaca spion ia melihat bayangan orang-orang yang sedang berlari menuju mobilnya. Alena mulai merasa cemas. Ia merasa takut.

Namun saat orang-orang tersebut, sampai di dekat mobil, Alena merasa lega. Ternyata mereka adalah Akmal dan kawan-kawan yang sampai tepat pada waktunya. Mereka segera masuk ke mobil, dan Alena pun segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.

"apakah kita sudah aman?" tanya Alena, saat mobil mereka sudah cukup jauh.

"kita tidak akan pernah aman." Atika yang menjawab, "selama tempat itu masih ada, kita tidak akan pernah aman. Mereka pasti akan tetap mencari kami berdua." lanjut Atika dengan nada cemas.

"kamu tenang, Atika. Kita akan selesaikan ini secepatnya." ucap Akmal membalas.

Piter dan Alena saling bertatapan penuh tanya.

"kalian sudah saling kenal?" Piter bertanya juga akhirnya.

"Atika adalah informan saya di dalam." balas Akmal.

"maksudnya?" tanya Piter.

"kamu pikir saya bisa masuk ke sana dengan mudah itu karena apa? Karena saya beruntung?" balas Akmal. "Atika yang mengarahkan saya untuk melewati jalan tersebut. Atika juga yang memberitahu saya, kapan waktu yang tepat untuk saya bisa masuk ke dalam sana." lanjut Akmal.

"bagaimana kalian bisa saling kenal?" kali ini Alena ikut bertanya.

"kalian ingat kasus yang pernah saya ceritakan dulu? Kasus gadis yang di culik, tapi saat saya coba selamatkan dia, dia sudah kabur duluan, dan akhirnya ia pun di bunuh. Kalian ingat kan?" balas Akmal.

Piter dan Alena pun mengangguk serentak.

"untuk menyelidiki kasus tersebut, saya harus masuk ke dalam. Saya pun berpura-pura jadi tamu di sana, dan kebetulan saya melihat Atika, saya pun meminta Atika untuk menemani saya malam itu. Kami pun berkenalan, dan saya pun menceritakan tujuan saya disana kepada Atika semuanya. Atika juga menceritakan semua yang ia ketahui tentang tempat itu kepada saya. Sejak saat itu, Atika seringa memberitahu saya kabar-kabar terbaru mengenai tempat tersebut." jelas Akmal panjang lebar.

"itulah kenapa anda begitu yakin, kalau kamar yang kita ketuk tadi adalah kamar tempat Lila?" Piter masih bertanya.

"itu hanya kebetulan." balas Akmal, "sebenarnya saya tidak tahu, kalau Lila juga ada di dalam. Yang saya tahu itu adalah kamar tempat Atika selama ini, karena itu saya langusng menuju kamar tersebut, dan kebetulan ada Lila juga di sana." lanjutnya.

"jadi sebenarnya tujuan anda kesana bukan untuk menyelamatkan Lila, tapi justru ingin menyelamatkan Atika?" tanya Piter lagi.

"kamu jangan salah paham. Aku tidak tahu di mana Lila di kurung, satu-satunya orang yang aku kenal di sana ya cuma Atika, dan harusnya Atika juga tahu dimana Lila di kurung, karena itu aku ingin menemui Atika terlebih dahulu untuk bertanya dimana keberadaan Lila. Namun karena Lila sudah berada di sana, aku rasa hal itu tidak perlu di bahas lagi." jelas Akmal lagi.

"lalu apa rencana kita sekarang?" Alena memotong perdebatan itu cepat.

"kita ke rumah ku. Di sana kalian akan aman." balas Akmal.

"kita harus lapor polisi.." Lila berucap, saat mereka sudah berada di rumah Akmal.

"iya.. saya setuju..." balas Akmal yakin.

"anda setuju?" Piter bertanya heran, "bukankah dulu anda katakan bahwa tempat itu kebal hukum, percuma lapor polisi karena pasti tidak akan di tanggapi." lanjut Piter.

"iya, itu benar. Tapi sekarang kita punya dua orang saksi, kita punya korban." balas Akmal.

"ingat, tidak semua polisi dan pejabat yang terlibat di sana. Dan saya tahu, siapa polisi yang tepat untuk menangani kasus ini. Nanti siang kita akan menemuinya. Dengan adanya Atika dan Lila sebagai saksi, saya yakin, tempat itu akan segera di tutup. Dan pemiliknya akan segera di tangkap." Akmal berucap lagi.

*****

Siang itu, Akmal dan teman-temannya itu pun melaporkan hal tersebut. Dengan kesaksian langsung dari Atika dan Lila, kasus itu bisa terungkap dengan mudah. Pihak polisi pun segera bertindak. Mereka menggerebek tempat tersebut. Mengamankan para korban yang masih berada disana. Menangkap semua yang terlibat, termasuk pemilik tempat tersebut.

Lila, Atika dan beberapa orang gadis yang pernah jadi korban tempat tersebut, menjadi saksi utama dalam kasus tersebut. Si pengusaha pemilik tempat itu, akhirnya di penjara sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku. Tempat prostitusi tersebut akhirnya tutup untuk selama-lamanya. Bangunannya menjadi sitaan negara.

Lila sangat lega mengetahui semua itu. Kini tidak ada lagi yang perlu ia takutkan. Ia bisa melanjutkan hidupnya kembali.

"terima kasih, ya, Ter..." ucap Lila suatua hari di kampus.

"aku senang kamu selamat.." balas Piter.

"kamu sudah melakukan banyak hal untuk ku..." ucap Lila.

"apa pun akan aku lakukan untuk bisa menyelamatkan kamu, Lila." balas Piter.

"kenapa?" tanya Lila pelan.

"karena aku telah jatuh cinta padamu.." balas Piter.

"kenapa kamu tidak pernah mengatakannya selama ini?" tanya Lila.

"karena aku belum punya keberanian untuk mengatakannya. Dan sekarang, aku tak ingin memendamnya lagi. Aku cinta kamu, Lila. Mau kah kamu menjadi pacarku?" ucap Piter penuh perasaan.

"iya..." balas Lila sangat pelan.

"apa? Aku gak dengar loh.." ucap Piter dengan nada menggoda.

"iya, Piter. Aku mau..." balas Lila akhirnya.

Piter tersenyum senang. Butuh perjuangan yang sangat penjang, untuk bisa memiliki gadis impiannya. Dan hal itu membuat Piter yakin, kalau Lila adalah gadis yang tepat untuknya.

Lila pun menyandarkan kepalanya di bahu kekar Piter. Ia merasa sangat bahagia. Piter adalah sosok laki-laki yang sangat bertanggungjawab. Dan Lila merasa nyaman berada di sampingnya.

****

Sedalam cinta Yuni

"aku ingin kita putus, Yun." suara Tito parau.

Yuni menatap lekat wajah laki-laki yang sejak tadi duduk di sampingnya.

"kamu kenapa sih, To?" tanya Yuni akhirnya.

"aku gak kenapa-kenapa, Yun. Aku hanya ingin kita mengakhiri hubungan kita." balas laki-laki itu berat.

"iya... tapi kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba ingin kita putus? Setelah tiga tahun kita berpacaran, tanpa ada masalah apa pun selama ini. Sekarang kamu ingin kita putus? Pasti ada alasannya kan?" tanya Yuni bertubi-tubi. Hatinya terasa perih.

"karena kita berbeda, Yun. Kamu anak orang terpandang, sedang aku hanya seorang tukang parkir, gak punya masa depan yang jelas." balas Tito pilu. Hatinya juga sakit mengakui hal itu.

"bukankah dari awal kita memang beda? Tapi aku gak pernah mempermasalahkan hal itu. Kita juga sudah sering membahas hal ini, Tito. Kenapa sekarang hal itu justru menjadi alasan buat kamu, untuk kita putus? Kamu aneh, Tito. Alasan mu gak masuk akal." Yuni berucap lagi, hatinya semakin perih.

"selama ini aku berusaha menepis perbedaan yang ada di antara kita, Yun. Namun sekarang aku gak sanggup lagi. Aku gak bisa lagi berpura-pura, bahwa perbedaan itu tidak pernah ada. Aku harus realistis, Yun. Aku juga gak ingin kamu menyesal nantinya." Tito berucap, sambil mengalihkan pandangannya ke ujung langit yang mulai tamaram.

"kenapa kamu baru mengatakan hal ini sekarang? Kenapa kamu tidak mengatakannya tiga tahun yang lalu, sebelum kita jadian? Sebelum aku terlanjur dalam mencintai kamu?" Yuni masih meninggikan nada suaranya, sekedar untuk menahan rasa perih yang terus mengoyak hatinya.

Yuni tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Tito. Ia sadar betul hal itu. Dari awal Tito juga sudah sering mengingatkannya. Tapi Yuni yang selama ini bersikeras untuk tetap mencintai Tito. Yuni yang terus berusaha untuk mengabaikan perbedaan tersebut.

Dulu, lebih dari tiga tahun yang lalu, saat pertama kali Yuni bertemu Tito. Yuni sangat tertarik dengan Tito, yang merupakan seorang tukang parkir di sebuah mini market, tempat biasa Yuni belanja.

Awalnya Yuni hanya sekedar ingin menyapa, karena Tito memang terlihat memiliki wajah yang tampan. Rasanya ia tak pantas menjadi seorang tukang parkir. Begitu pikir Yuni waktu itu.

Namun dari sekedar menyapa, saling berkenalan, saling tukang nomor handphone, akhirnya mereka pun mulai akrab. Hingga Yuni pun jatuh cinta pada Tito.

Tapi Tito tak bisa menerima semua itu. Ia berusaha mengingatkan Yuni akan statusnya yang cuma seorang tulang parkir. Namun Yuni akhirnya berhasil meyakinkan Tito, bahwa hal itu tidaklah menjadi masalah.

Mereka pun akhirnya pacaran. Diam-diam. Tanpa siapa pun yang tahu.

Tito menyadari, jika hubungannya dan Yuni di ketahui oleh keluarga Yuni, maka hubungan mereka pasti akan di tentang. Karena itu, Tito yang bersikeras untuk tetap menyembunyikan hubungan mereka.

Yuni tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Yang penting baginya, mereka masih bisa bertemu, memadu kasih, meski mungkin hanya sekali seminggu. Tapi itu sudah cukup membuat Yuni bahagia.

Selama tiga tahun hubungan mereka terjalin dengan indah. Namun sekarang, Tito tiba-tiba ingin mengakhiri semua itu. Hati Yuni merintih menahan tangis.

"aku sangat mencintai kamu, Tito. Dan aku rela melakukan apa saja untuk bisa membuktikan hal itu." ucap Yuni akhirnya, setelah sejenak pikirannya melayang mengingat masa lalunya bersama Tito.

"kamu gak perlu membuktikan apa pun, Yun. Aku selalu percaya kalau kamu memang mencintaiku. Tapi aku juga percaya, bahwa cinta saja tidak cukup untuk membuat kita tetap bahagia." balas Tito lirih.

"tapi aku tetap tidak ingin kita putus, To. Kita pasti bisa melewati ini semua bersama-sama. Aku mohon, To. Jangan pernah tinggalkan aku.." Yuni akhirnya terisak pilu. Hatinya benar-benar sakit.

Perlahan Tito pun merangkul tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Tito tidak pernah tega melihat Yuni menangis. Hatinya yang semula tegar untuk melepaskan Yuni, tiba-tiba luluh kembali.

"cinta kita tidak akan pernah mendapatkan restu dari keluarga kamu, Yun. Kamu harusnya menyadari hal itu. Jadi sebelum semuanya terlambat, lebih baik kita mengakhirinya sekarang." Tito berucap pelan, masih terus berusaha membuat Yuni mengerti.

"aku tahu bagaimana caranya agar hubungan kita bisa diterima oleh keluarga ku..." Yuni berucap pelan.

"maksud kamu?" tanya Tito heran. Dia tidak pernah yakin ada cara yang bisa membuat orangtua Yuni rela melepaskan anak gadis semata wayang mereka hidup bersama seorang tukang parkir. Tidak akan pernah ada.

"aku ingin .... kamu mengh4mili ku, To." suara Yuni serak, namun mampu membuat Tito melepaskan dekapannya. Sungguh ia tak menyangka kalau Yuni akan berkata demikian. Ia tatap mata gadis itu dalam-dalam.

"hanya itu satu-satunya cara, agar keluarga ku bisa menerima kamu, To." Yuni berucap lagi, sambil membalas tatapan Tito.

"sekali pun aku sangat mencintai kamu, Yun. Aku tak akan pernah melakukan hal itu. Aku tak akan pernah menodai kesucian cinta kita. Dan kamu jangan pernah berpikir untuk melakukan hal tersebut. Aku gak rela kamu berucap seperti itu." balas Tito akhirnya berucap.

"tapi aku sangat mencintai kamu, Tito. Dan aku tidak ingin hubungan kita berakhir, hanya karena kita merasa takut, hubungan kita tidak akan di restui oleh orangtua ku." ucap Yuni kemudian.

"tapi kenyataannya memang seperti itu, Yun. Dan kita memang harus mengakhiri ini semua, sebelum makin terlambat." balas Tito lirih.

*****

Dan begitulah, Tito dengan sangat berat harus melepaskan Yuni dari hidupnya. Dari hatinya. Meski hatinya sangat terluka dengan keputusan tersebut. Namun Tito harus menerima kenyataan tersebut.

Tito mengingat kembali kejadian beberapa minggu yang lalu, jauh sebelum ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Yuni.

"Yuni anak tante satu-satunya, Tito." suara berat mama Yuni berucap, saat ia dengan sengaja menemui Tito di tempat Tito bekerja menjadi seorang tukang parkir.

"tante hanya ingin yang terbaik untuknya. Dan tante ingin Yuni mendapatkan jodoh yang terbaik juga. Tante harap kamu mengerti maksud tante.." lanjut mama Yuni lagi, yang membuat Tito terdiam pasrah.

Tito sadar dan sangat mengerti maksud mama Yuni berucap begitu. Ia memang tidak pantas untuk Yuni. Ia bukanlah yang terbaik. Yuni memang pantas mendapatkan jodoh terbaik, dan orang itu bukan Tito.

Menyadari hal tersebut, Tito pun berusaha untuk bisa memutuskan hubungannya dengan Yuni. Itu semua demi kebaikan Yuni dan juga demi masa depan Yuni sendiri.

Kini Tito hanya ingin melupakan Yuni. Ia tidak ingin terlarut dengan kenangan-kenangan indahnya bersama Yuni. Ia hanya berharap, semoga Yuni menemukan kebahagiaannya.

*****

"hei... kamu Tito, kan?" sebuah suara lembut membuyarkan lamunan Tito, saat ia bersiap-siap hendak pulang. Tito memutar kepala untuk menatap arah suara itu. Seorang gadis manis tersenyum padanya.

"iya, dan kamu siapa?" tanya Tito dengan nada heran, karena ia belum pernah melihat gadis itu sebelumnya.

"saya Nita, teman Yuni." balas gadis itu, dengan masih tetap tersenyum.

"oh.." Tito membulatkan bibir, "ada apa?" tanya Tito bersikap enggan.

"gak ada apa-apa, sih. Cuma mau ngasih tahu aja, kalau Yuni sekarang di rawat di rumah sakit." balas gadis itu, Nita.

"Yuni sakit? Sakit apa?" Tito penasaran. Sudah hampir tiga bulan ia tak pernah lagi bertemu Yuni, semenjak ia memutuskan hubungan mereka.

"Yuni mengalami depresi semenjak putus sama kamu, Tito. Dan terakhir ia mencoba bunuh diri, karena itu sekarang ia di rawat." jelas Nita.

"separah itu?" Tito mengernyitkan kening.

"iya.. separah itu. Yuni bukan hanya depresi karena putus dari kamu, Tito. Tapi juga karena ia akan di jodohkan orangtuanya. Ia tidak bisa menerima semua itu." balas Nita lagi.

"lalu untuk apa kamu menceritakan semua ini padaku? Kami sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi." ucap Tito terdengar acuh, meski hatinya sendiri sangat sakit mendengar kabar tersebut. Ia merasa bersalah, tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

"tante Dela yang meminta aku mencari kamu." jelas Nita.

"tente Dela? Mamanya Yuni?" tanya Tito terheran.

"iya. Ia yang meminta aku menemui kamu, dan ia juga berharap, agar kamu mau menemui Yuni di rumah sakit." jelas Nita lagi.

"tapi bukankah dia yang meminta aku untuk menjauhi Yuni?" tanya Tito lagi.

"iya... dan sekarang ia sudah menyesali semua itu. Sebenarnya beliau ingin sekali menemui kamu secara langsung, tapi ia gak tega meninggalkan Yuni sendirian di rumah sakit. Beliau juga ingin menyampaikan permintaan maafnya sama kamu." ucap Nita membalas.

"dan jika kamu masih mencintai Yuni, aku harap kamu bisa ikut dengan ku sekarang ke rumah sakit. Sebelum semuanya terlambat. Mungkin dengan kehadiran kamu, bisa membantu agar Yuni bisa sembuh lebih cepat." Nita berucap kembali.

Tito termangu beberapa saat. Dia hampir saja berhasil untuk bisa melupakan Yuni. Dan berharap untuk tidak lagi bertemu dengannya. Namun sekarang keadaanya sungguh berbeda. Yuni membutuhkannya.

Karena itu, Tito pun melangkah pelan mengikuti langkah Nita menuju mobilnya yang di parkir tidak terlalu jauh dari sana. Tito hanya berharap ia belum terlambat. Tito hanya berharap, Yuni bisa pulih kembali. Dan ia akan rela melakukan apa pun, untuk bisa membuat Yuni sembuh.

Tito sungguh tidak menyangka, kalau cinta Yuni begitu besar untuknya. Ia tak menyangka cinta Yuni akan sedalam itu. Cinta Yuni terlalu dalam, dan Tito berjanji dalam hatinya tidak akan lagi melepaskan Yuni walau apa pun alasannya.

****

Saat aku harus merelakan kepergian mu

 Aku memejamkan mataku dengan berat, berusaha mengenyahkan kejadian pahit yang baru saja aku alami pagi tadi.

Saat di sekolah, aku tak sengaja mendengarkan gunjingan teman-teman sekelas ku, mereka mengatakan, kalau Dyra, gadis yang sudah menjadi pacarku selama dua tahun ini, telah menduakan ku.

Mulanya aku tak percaya. Aku menganggap cerita teman-teman ku tersebut, hanyalah sebuah gossip belaka. Hanya untuk menghancurkan hubungan indah kami selama ini.

Aku dan Dyra memang sudah pacaran selama dua tahun lebih, setidaknya sejak awal-awal kami masuk ke SMA ini, hingga sekarang kami sudah berada di tahun terakhir.

Aku dan Dyra memang tidak satu kelas, apa lagi Dyra juga mengambil jurusan yang berbeda. Namun hal itu tidak menjadi penghalang untuk kami tetap bersama. Cinta kami tetap terjalin dengan indah, meski kami jadi jarang bertemu.

Aku dan Dyra saling mencintai. Aku selalu berusaha menjaga kesetiaanku. Dan aku juga percaya kalau Dyra juga akan selalu setia.

Namun kejadian pagi tadi, sungguh membuat aku mulai meragukan hal tersebut.

Bagaimana tidak, teman-teman ku berhasil mendapatkan photo Dyra bersama laki-laki lain. Mereka terlihat mesra. Laki-laki itu juga tidak aku kenal.

“apa kamu masih tidak percaya, setelah melihat photo ini?” ucap Riko sedikit memanasi ku.

“bisa saja mereka hanya teman kan?” balasku mengelak.

“teman? Teman tapi mesra?” ucap Riko lagi.

“kalau Cuma teman gak mungkin semesra itulah, Kal.” Deri ikut menimpali.

Aku melirik photo itu sekali lagi. Photo yang sengaja Riko simpan di handphone nya, untuk membuktikan padaku, kalau Dyra selingkuh.

Di dalam photo tersebut, Dyra telihat tersenyum bahagia, sementara laki-laki di sampingnya, merangkulkan tangannya di pundak Dyra, sambil memasang senyum yang sama.

Seketika hati ku bergemuruh, menahan amarah.

Bagaimana mungkin Dyra dengan begitu mudah mengkhianti ku. Padahal aku selalu percaya padanya.

Karena penasaran, aku pun segera menemui Dyra di kelasnya.

“siapa laki-laki ini?” Tanya ku sedikit kasar, sambil ku perlihatkan photo yang ada di handphone Riko tersebut.

Di luar dugaan ku Dyra justru tersenyum.

“dia Alex. Kenapa emangnya?” ucap Dyra tanpa rasa bersalah.

“ada hubungan apa kamu sama dia?” Tanya ku masih dengan nada kasar.

“belum ada hubungan apa-apa sih sebenarnya. Hanya saja akhir-akhir ini dia sering datang ke rumah. Sering ngajak jalan..” balas Dyra.

“dan kamu mau?” Tanya ku heran.

“ya… mau gimana lagi, habisnya Alex orangnya sangat menarik. Aku jadi suka sama dia.” Balas Dyra masih tanpa merasa bersalah.

“lalu aku kamu anggap apa?” suara ku sedikit meninggi, beberapa orang jadi memperhatikan kami.

“Sepertinya hubungan kita memang sudah tidak bisa dipertahankan lagi, Kal. Jadi sebelum semuanya makin terlambat, lebih baik kita putus aja ya…” Dyra masih berucap dengan santai, seakan-akan hal itu merupakan hal biasa baginya.

“maksud kamu apa sih, Dyr? Kita sudah pacaran lebih dari dua tahun loh. Dan kamu memutuskan aku begitu aja. Sungguh tidak bisa di percaya.” Suaraku tiba-tiba serak. Hatiku semakin bergemuruh.

“udahlah, Kal. Bagi ku di Antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi.” Dyra benar-benar terlihat santai mengucapkan hal tersebut.

Ingin rasanya aku menampar mulut Dyra saat itu juga. Ingin rasanya aku memakinya. Namun harga diriku sebagai seorang laki-laki mencegah hal tersebut. Aku gak mau jadi pengemis. Aku gak mau mengemis cinta pada perempuan. Kalau Dyra dengan begitu mudahnya mencampakkan ku, kenapa aku masih harus mempertahankannya.

“tega kamu, Dyr..” hanya kalimat itu yang keluar dari mulut ku, sebelum akhirnya aku pergi dari hadapan Dyra.

*****

Pagi itu aku melangkah lesuh memasuki kelas. Keputusan Dyra untuk mengakhiri hubungan kami, benar-benar membuat aku terluka.

“duh yang lagi patah hati..” sapa Riko menyambut kedatangan ku.

“udahlah, Kal. Jangan lemas gitu donk. Dyra bukan satu-satunya cewek di dunia ini kan?” Deri ikut menimpali.

“masalahnya dia memutuskan aku begitu saja. Seolah-olah hubungan kami selama dua tahun ini gak ada artinya.” Ucapku lemah.

“biasalah …. Wanita emang gitu, kalau udah dapat yang lebih, yang lama mah lewat..” ucap Riko.

“tapi kok semudah itu ya, Dyra memutuskan ku? Rasanya aku masih belum percaya. Aku seperti gak mengenalinya lagi. Dyra yang aku kenal gak akan bersikap seperti. Pasti ada yang salah..” ucapku tiba-tiba.

Aku memang merasa ada yang aneh dengan keputusan Dyra. Belakangan hubungan kami baik-baik saja. Kalau pun ada laki-laki lain, aku yakin Dyra gak akan mudah tergoda. Alex bukan satu-satunya laki-laki yang pernah mencoba mendekati Dyra selama kami berpacaran. Namun selama ini, Dyra selalu cerita padaku. Tapi kenapa Dyra gak pernah cerita tentang Alex? Dan saat aku tahu, dia justru tidak membantahnya.

Kalau pun memang Dyra ingin putus dari ku, kenapa dia tak melakukannya sebelum aku mengetahui tentang Alex? Kenapa dia tiba-tiba memutuskan aku, saat aku memperlihatkan photo kemesraannya bersama Alex?

“kamu hanya belum bisa menerima kenyataan, Kal. Karena itu semuanya jadi gak masuk bagi kamu.” Ucapan Riko membuyarkan pikiran ku tiba-tiba.

*****

Sejak hubungan ku dengan Dyra kandas. Aku pun memutuskan untuk belajar melupakannya. Meski hal itu tidaklah mudah bagiku. Hari-hari ku jadi terasa berat.

Sudah hampir sebulan, aku dan Dyra tidak pernah bertemu. Aku juga tidak berusaha untuk menghubunginya. Kalau Dyra sudah menganggap kami tidak ada hubungan apa-apa lagi, untuk apa lagi aku mengharapkannya.

Sampai suatu hari…

“hai, Kal.. saya Alex…” seorang laki-laki tiba-tiba menghampiri ku, saat aku berjalan sepulang sekolah.

“iya, aku tahu..” balasku tanpa selera.

“saya tahu kamu marah padaku. Tapi asal kamu tahu, semua itu hanya salah paham. Dyra sudah merencanakan semuanya.” Ucap Alex.

“maksud kamu?” tanyaku jadi penasaran.

“aku tidak berusaha untuk mendekati Dyra, Kal. Aku adalah saudara sepupu Dyra. Aku baru datang beberapa bulan yang lalu ke kota ini. Kebetulan aku juga sedang cari kerja di kota ini. Jadi untuk sementara aku tinggal di rumah Dyra.” Jelas Alex.

“lalu untuk apa Dyra mengatakan kalau kamu berusaha mendekatinya, dan karena itu ia memutuskan ku?” Tanya ku lagi.

“sebenarnya sudah lama Dyra ingin putus dari kamu, Kal. Tapi selama ini dia tidak punya alasan yang tepat. Namun saat aku datang kesini, dia memanfaatku untuk bisa membuat kamu marah, dan akhirnya ia bisa punya alasan untuk memutuskan mu. Sebenarnya Dyra juga sengaja mengirim photo itu pada Riko, agar kamu melihatnya.” Ucap Alex lagi.

“aku gak ngerti, Lex. Dan bagiku itu semua sudah tidak penting.” Balasku.

“kalau kamu tahu alasan Dyra sebenarnya ingin putus dari kamu, ini akan jadi penting bagi kamu, Kal.” Ucap Alex kemudian.

“maksud kamu?” tanyaku semakin heran.

“Dyra sakit, Kal. Dyra mengidap leukemia akut sudah setahun belakangan ini. Tapi Dyra tidak ingin kamu tahu. Dia tidak ingin kamu mengasihinya. Dia ingin kamu melupakannya, sebelum dia benar-benar pergi.’ Jelas Alex, yang membuat ku tiba-tiba merasa terpukul.

“Dyra di vonis, tidak akan bertahan hidup lebih dari setahun, Kal. Berbagai pengobatan juga sudah di jalaninya. Namun dokter pun bahkan sudah menyerah. Dyra gak bakal bisa sembuh. Karena itu dia ingin kamu melupakanya. Dia tidak ingin kamu akan merasakan sakit, saat melepaskan ia pergi untuk selama-lamanya.” Alex melanjutkan ucapannya.

“lalu sekarang dimana Dyra?” ucapku akhirnya.

“sudah seminggu Dyra di rawat di rumah sakit, Kal. Penyakitnya semakin parah. Dia sudah sering tidak sadarkan diri. Sebenarnya Dyra tidak ingin kamu tahu. Tapi aku benar-benar tidak tega melihatnya. Karena itu aku berusaha mencari kamu, untuk menceritakan semua ini.” Jelas Alex lagi.

Lemas terasa seluruh tubuhku tiba-tiba. Teganya Dyra menyembunyikan semua itu dari ku. Pantas saja aku tidak percaya, kalau Dyra dengan begitu mudah memutuskan ku.

“apa kamu mau menjenguknya?” Tanya Alex kemudian.

Aku pun mengangguk setuju.

Namun saat kami sampai di rumah sakit. Dyra dinyatakan telah menghembuskan napas terakhirnya. Hati ku benar-benar hancur menyadari itu semua. Kenapa Dyra tidak ingin aku menemaninya, di saat-saat terakhirnya?

Kenapa ia memilih untuk memutuskan ku, saat aku seharusnya berada di sampingnya?

Hatiku benar-benar hancur dan sakit. Dan tanpa sadar air mata ku pun jatuh menetes.

Ternyata kehilangan Dyra untuk selama-lamanya, jauh lebih menyakitkan dari pada mendengar kata putus dari Dyra. Dan aku terduduk lemas tak berdaya.

****

Adik iparku yang cantik

Sejak istri ku ikut menjadi TKW bekerja di luar negeri, aku jadi sering merasa kesepian. Hidupku terasa hampa. Meski istri ku masih sering menghubungi ku melalui ponsel, namun itu semua tidaklah cukup untuk mengusir segala kesepian ku.

Aku dan istri ku sudah menikah hampir enam tahun. Kami juga sudah punya seorang anak laki-laki yang saat ini sudah berusia empat tahun lebih. Dan setahun yang lalu, istri ku memutuskan untuk menjadi TKW ke luar negeri.

Aku tak bisa mencegahnya. Karena biar bagaimana pun, kehidupan kami secara ekonomi memang masih sangat kekurangan. Kami masih tinggal di rumah kontrakan. Sedangkan aku hanya bekerja sebagai seorang kuli bangunan.

Penghasilan ku dari jadi kuli bangunan, tidaklah pernah tetap. Kadang aku juga masih sering menganggur, karena tidak ada job sama sekali.

Semenjak istri ku pergi, hidupku semakin terasa kacau. Beruntunglah anak kami satu-satunya itu, sekarang tinggal bersama ibu mertua ku. Meski jika aku tidak bekerja, kadang anak ku juga tinggal bersama ku. Dan biasanya, kalau malam hari, ibu mertua ku mengantar anak ku ke rumah kami.

Ibu mertua ku juga bukan orang kaya, apa lagi dia juga seorang janda. Suaminya meninggal beberapa tahun yang lalu. Anak pertamanya, laki-laki, sudah menikah, dan juga sudah punya anak. Namun kehidupannya juga hanya pas-pasan. Istri ku adalah anak kedua. Sedangkan anak bungsu nya juga seorang perempuan, yang baru saja lulus kuliah.

Aku sendiri hanyalah seorang perantau. Kedua orangtua ku sudah lama meninggal. Sedangkan saudara-saudara ku tinggal cukup jauh di kampung.

Menjalani kehidupan yang serba kekurangan dan tanpa di dampingi seorang istri, membuat aku jadi sedikit kehilangan semangat. Namun demi anak ku, aku harus tetap bekerja.

Aku memang sudah terbiasa hidup susah sejak kecil. Menjalani kehidupan yang serba kekurangan, bukanlah hal yang menakutkan bagi ku. Hanya saja masalahnya, hampir setiap malam aku selalu merasa kesepian, karena istri ku berada jauh di luar negeri sana.

Hingga pada suatu malam...

Adik iparku yang baru saja lulus kuliah itu, yang bernama Sutimah, dan biasa kami panggil imah. Malam itu datang ke rumah kontrakan ku, untuk mengantar anak ku. Biasanya mertua ku yang melakukan hal tersebut.

Saat itu anak ku sudah tertidur. Aku meminta Imah untuk langsung mengantarnya ke dalam kamar kami.

"mas Is sudah makan?" tanya Imah, entah ia berbasa-basi atau hanya sekedar ingin tahu.

"udah.." jawabku singkat.

Aku dan Imah memang tidak begitu dekat. Apa lagi selama ia kuliah, ia tidak tinggal bersama ibunya, tapi ia kost di sekitaran kampus tempat ia kuliah.

Imah memang gadis modern. Ia suka berpakain sedikit seksi. Apa lagi ia memiliki wajah yang cukup cantik. Wajahnya juga sangat mirip dengan wajah istri ku.

"mbak Ida ada nelpon, mas?" tanya Imah lagi.

"kemarin malam sih ada, tapi kalau malam ini kayaknya ia gak bakal nelpon." jawabku menjelaskan.

"sudah setahun mbak Ida pergi, apa mas Is gak merasa kesepian?" Imah bertanya lagi. Pertanyaannya itu membuat aku jadi menatapnya penuh tanya. Imah cukup berani bertanya hal tersebut padaku.

"kenapa kamu bertanya seperti itu?" aku malah jadi balik bertanya.

"kalau mas Is merasa kesepian, aku siap kok, menggantikan mbak Ida untuk sementara." balas Imah lugas.

"kamu ngomong apa sih, Mah. Aku ini abang iparmu loh." ucapku mulai merasa tak karuan.

"ya gak apa-apa toh, mas. Lagi pula dari dulu aku memang suka sama mas Is. Mas Is terlihat gagah dan tampan. Aku juga sering mengkhayalkan mas Is loh." balas Imah semakin terbuka.

"kamu hanya ingin menggoda ku kan, Imah. Kamu gak sungguh-sungguh kan?" suara ku mulai parau.

"Imah serius, mas. Imah suka sama mas Is. Jadi mumpung mbak Ida lagi di luar negeri, kita bisa memanfaatkan kesempatan ini. Mas Is pasti kesepian, dan aku juga sudah lama menginginkan mas Is." balas Imah terdengar serius.

"tapi... tapi.. aku...." suaraku mulai terbata.

"udahlah, mas Is. Jangan sok jual mahal. Lagi pula, aku gak bakal nuntut macam-macam kok sama mas Is. Kita juga gak perlu terikat hubungan apa-apa. Hanya sebatas suka sama suka aja." Imah memotong ucapan ku.

Aku pun akhirnya hanya bisa diam. Sebagai seorang suami yang sudah lama di tinggal istri, dan sebagai laki-laki normal, tentu saja aku tidak bisa menolak hal tersebut.

Aku pun kemudian hanya bisa menerima perlakuan Imah pada ku malam itu. Ternyata Imah sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut. Terlihat sekali, kalau hal itu bukanlah pertama kali baginya.

Aku mencoba mengikuti keinginan Imah. Sebagai laki-laki aku juga ingin menunjukkan kehebatan ku. Dan malam itu, untuk pertama kali nya aku dan Imah pun melakukan hal terl4rang tersebut.

****

Sejak kejadian malam itu, aku dan Imah jadi semakin sering melakukannya. Kami semakin terlena dengan hubungan terl4rang kami.

Segala kesepian ku selama ini, kini telah hilang dengan kehadiran Imah, menggantikan posisi istri ku untuk sementara.

Hubungan rahasia itu terus berlanjut hingga berbulan-bulan. Sampai akhirnya istri ku pun pulang. Kepulangan istri ku tersebut, membuat hubungan ku dengan Imah jadi terhenti untuk sesaat.

Namun ketika istri ku sudah kembali lagi bekerja menjadi TKW ke luar negeri, aku dan Imah pun kembali menjalin hubungan.

Tapi setelah beberapa bulan berlalu, hubungan kami pun mulai di curigai oleh ibu mertua ku. Karena itu ia pun berinisiatif untuk segera menjodohkan Imah.

Imah berusaha menolak perjodohan tersebut awalnya. Namun karena terus di desak oleh ibunya, Imah pun akhirnya hanya bisa pasrah.

Entah mengapa aku merasa kecewa menyadari kalau Imah akan segera menikah. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Biar bagaimana pun hubungan kami memanglah sebuah kesalahan.

Imah pun menikah, dan istri ku pun sudah memutuskan untuk berhenti bekerja dan kembali menetap hidup bersama ku. Aku yakin, keputusan istri ku untuk berhenti bekerja, pasti juga karena di desak oleh ibu mertua ku.

Kini semua kembali berjalan normal, meski pun kehidupan kami secara ekonomi belum juga membaik. Tapi setidaknya, sekarang aku tidak lagi harus merasa kesepian.

Sementara hubungan ku dan Imah pun berakhir begitu saja. Imah juga terlihat bahagia dengan pernikahannya. Apa lagi suaminya juga seorang yang cukup mapan.

Dan begitulah kisah cinta sesaat ku bersama adik iparku yang cantik itu terjadi.

Aku tidak menyesali hubungan tersebut. Tapi aku berjanji dalam hati ku, untuk tidak akan lagi mengulangi hal tersebut. Apa lagi saat ini, istri ku juga sudah mengandung anak kedua kami.

****

Bersama ibu kost

Nama ku Rusdi. Dan ini adalah kisah ku.

Aku masih berusia 22 tahun, masih kuliah. Aku kost di sebuah rumah kost tak jauh dari kampus tempat aku kuliah.

Aku anak kedua dari kami tiga bersaudara. Kakak ku perempuan sudah menikah, sedangkan adik laki-laki ku masih SMA. Ayah ku adalah seorang petani di kampung, begitu juga ibu ku.

Kehidupan keluarga kami memang sangat sederhana. Aku beruntung bisa kuliah, sementara kakak ku hanya bisa sekolah sampai lulus SMA, lalu kemudian ia pun menikah. Dan sekarang sudah punya dua anak.

Sebagai anak kost, yang berasal dari keluarga kurang mampu, aku memang harus hidup hemat. Kiriman uang dari orangtua ku hanya cukup untuk bayar uang kuliah, bayar uang kost dan untuk makan ku sehari-hari. Kadang itu pun aku harus sangat berhemat.

Pernah pada suatu saat, orangtua ku mengirim uang untuk ku, hanya separoh dari biasanya. Karena pendapatan mereka memang sedang menurun. Aku di minta untuk lebih sabar dan tetap berhemat.

Padahal saat itu, aku sedang butuh uang untuk membeli beberapa keperluan peralatan kuliah ku. Hingga aku harus menunggak untuk pembayaran kost ku bulan itu.

Tante Della, yang merupakan pemilik kost, sudah dua kali memperingatkan ku untuk segera membayar uang kost.

"saya benar-benar minta maaf, tante. Saya belum bisa bayar uang kost untuk bulan ini. Karena uang yang di kirimkan orangtua ku, hanya cukup untuk biaya aku makan." jelas ku kepada tante Della.

"tumben kamu menunggak bulan ini, Rusdi. Biasanya pembayaran kamu selalu lancar." ucap tante Della pelan.

"iya, tante. Pendapatan orangtua ku sedang menurun, dan aku juga sedang banyak kebutuhan." balasku lemah.

"tante bisa memakluminya. Tante bahkan bisa membebaskan kamu untuk tidak membayar uang kost untuk bulan ini." ucap tante Della lagi.

"terima kasih, tante." balasku merasa cukup senang.

"tapi kamu jangan senang dulu. Tante punya permintaan sama kamu. Kalau kamu tidak bisa bayar uang kost bulan ini, kamu harus bisa memenuhi keinginan tante." ucap tante Della kemudian.

"keinginan apa, tante?" tanya ku polos.

"nanti malam kamu datang ke rumah ku ya.." ucap tante Della ringan.

"ngapain tante?" tanya ku lagi.

"nanti kamu juga tahu, tapi kamu jangan cerita sama siapa-siapa soal ini." balas tante Della, sambil ia pun berlalu.

Aku terdiam dan terus berpikir. Entah apa maksud tante Della meminta ku untuk datang ke rumahnya malam-malam.

Tante Della memang seorang janda. Suaminya kabur bersama perempuan lain, beberapa tahun yang lalu. Dari pernikahannya tersebut, tante Della sudah punya seorang anak laki-laki, yang saat ini sedang kuliah di luar negeri. Tante Della mungkin sudah berusia hampir 45 tahun. Setidaknya begitulah yang aku ketahui tentang tante Della.

*****

Malam itu, aku pun memenuhi permintaan tante Della untuk aku datang ke rumahnya diam-diam.

Sesampai di sana, tante Della mempersilahkan aku masuk.

Dengan perasaan kikuk, aku pun masuk ke rumah mewah itu. Setahu ku tante Della memang hanya tinggal sendirian di rumah ini. Selain karena anaknya yang sedang kuliah di luar negeri, tante Della juga tidak punya pembantu.

"saya memang lebih suka mengurus rumah ini sendiri, lagi pula saya juga gak punya kesibukan." begitu alasan tante Della, saat aku bertanya tentang hal tersebut.

Meski pun sudah berusia hampir 45 tahun, secara fisik, tante Della masih cukup menarik. Apa lagi ia sangat rajin merawat tubuhnya.

"sekarang saya sudah di sini, tante. Selanjutnya apa yang tante inginkan dari saya?" tanya ku kemudian.

"kamu ingin dibebaskan dari uang kost untuk bulan ini, kan?" ucap tante Della membalas.

"iya, tante." jawab ku jujur.

"kalau begitu, kamu harus menemani saya malam ini." ucap tante Della kemudian.

"maksudnya, tante?" tanyaku tak mengerti.

"kamu gak usah pura-pura gak paham. Kamu pasti ngerti maksud tante apa." balas tante Della.

Seketika aku pun mulai mengerti maksud dari ucapan tante Della tersebut. Tapi aku hanya tidak menyangka, kalau tante Della, akan meminta aku untuk melakukan hal tersebut dengannya.

"tapi aku... aku takut, tante.." ucapku terbata.

"kamu gak usah takut. Kalau kamu gak mau, berarti malam ini kamu harus membayar uang kost." balas tante Della tajam.

"baiklah, tante. Jika itu bisa melunasi uang kost saya. Tapi jujur saja, saya masih awam dalam hal ini, tante." ucapku akhirnya.

"kalau untuk itu, kamu tenang aja. Tante akan beri kamu pengalaman yang tidak akan pernah kamu lupakan seumur hidup mu." ucap tante Della, sambil mulai mendekati ku.

Aku merasa kaku tiba-tiba. Keringat dingin, mulai membasahi tubuhku. Aku benar-benar belum siap untuk hal ini. Tapi demi melunasi uang kost, aku harus melakukannya.

Beruntunglah tante Della sangat mengerti akan kekakuan ku. Sehingga dia yang berperan aktif dalam hal tersebut. Sementara aku hanya bisa pasrah menerima semua perlakuan tante Della padaku malam itu.

****

Sesuai janjinya, tente Della tidak lagi meminta uang kost padaku untuk bulan ini. Aku merasa lega. Setidaknya aku tidak lagi harus merasa pusing, memikirkan uang untuk membayar kost bulan ini.

Meski jujur saja, aku benar-benar merasa telah kehilangan harga diri ku sebagai seorang laki-laki. Tapi aku tidak punya pilihan lain saat ini. Dan lagi pula, aku juga merasa sangat terkesan dengan tante Della. Biar bagaimana pun, itu adalah pengalaman pertama ku bisa merasakan hal tersebut.

"nanti kalau kamu gak punya uang lagi untuk bayar kost, kamu bisa datang ke sini lagi ya.." tawar tante Della malam itu, sesaat sebelum aku pamit untuk pulang.

Ah, aku benar-benar tidak tahu, harus berkata apa lagi. Sejujurnya, tawaran itu sebenarnya cukup menarik. Toh, aku juga tidak dirugi kan sama sekali.

Jadi mungkin ke depannya, aku memang akan selalu berpura-pura tidak punya uang untuk bayar kost. Dengan begitu, uang kiriman dari orangtua ku, bisa aku manfaatkan untuk membeli keperluan ku yang lain.

Tante Della mungkin akan mencurigai ku, tapi gak apa-apa. Lagi pula tante Della, sepertinya juga menginginkan hal tersebut. Jadi sebenarnya kami akan saling memanfaatkan.

Tante Della memanfaatkan ku, untuk mengisi kesepiannya, dan aku memanfaatkannya untuk dapat kost gratis. Dan menurutku hal itu cukup setimpal.

*****

Hari-hari pun terus berlalu. Keadaan pun sebenarnya sudah kembali normal. Orangtua ku sudah mengirim uang padaku sebanyak biasanya. Uang itu sebenarnya juga cukup, untuk membayar kost.

Tapi seperti yang aku rencana kan, aku pun berpura-pura dan mengaku tidak punya uang kepada tante Della. Dan tante Della sepertinya juga percaya. Karena itu, sekali lagi ia pun meminta aku untuk memenuhi keinginannya.

Berbulan-bulan hal itu terus terjadi. Aku selalu mengaku tidak punya uang kepada tante Della. Dan setiap kali itu pula, aku harus memenuhi keinginannya.

Aku mulai terbiasa dengan semua itu. Aku bahkan mulai merasa kec4nduan dengan tante Della. Bahkan kadang dalam satu bulan, bukan hanya sekali hal itu terjadi.

"anggap saja bonus, tante." ucapku kepada tante Della beralasan, ketika ia bertanya kenapa aku mengunjunginya lebih dari satu kali dalam satu bulan.

"kamu sebenarnya gak punya uang untuk bayar kost, atau sengaja, karena kamu memang menginginkan hal ini?" tanya tante Della penuh selidik.

"sebenarnya bisa jadi karena kedua-duanya, tante." balasku sedikit jujur.

"oh, jadi kamu juga menginginkan hal ini sekarang?" ucap tante Della, dengan sedikit tersenyum.

"ya udah, tante sih gak masalah. Tante malah suka..." lanjut tante Della, setelah melihat aku hanya terdiam.

Dan sejak saat itulah, aku tak pernah lagi membayar uang kost pada tante Della. Setidaknya aku tidak membayar dalam bentuk uang. Tapi dalam bentuk yang lain.

Begitulah kisah hidup yang aku jalani hingga saat aku lulus kuliah. Setelah aku lulus kuliah dan mulai bekerja, aku tak lagi kost di tempat tante Della. Dan aku juga tak pernah lagi bertemu dengannya.

Kisah ini terjadi sekitar tahun 2014 sampai tahun 2017.

****

Melisa suka duren

Namanya Melisa. Dia seorang gadis yang berparas cantik dengan tubuh yang seksi.

Melisa masih kuliah, usianya juga masih 22 tahun. Melisa kost sendiri, tak jauh dari kampus tempat ia kuliah.

Melisa tak punya banyak teman. Karena dia memang tak terlalu suka berkumpul dengan orang-orang. Dia lebih menyendiri, menikmati dunia nya sendiri.

Sebagai seorang gadis cantik, tentu saja banyak cowok yang berusaha mendekati Melisa. Namun tidak satu pun dari semua cowok itu, yang bisa menarik perhatian Melisa.

Melisa seorang yatim. Ayahnya meninggal saat ia masih berusia sepuluh tahun. Ibu nya berusaha membesarkannya dan dua orang adiknya, sendirian. Ibunya bekerja di sawah orang di kampung. Adiknya sekarang sudah ada yang SMA dan juga yang bungsu sudah SMP.

Melisa memang harus berusaha hidup hemat, demi untuk bisa kuliah. Uang yang dikirim ibunya setiap bulan, tidaklah pernah benar-benar cukup.

Tapi Melisa benar-benar kuliha, karena itu ia nyambi kerja menjadi pelayan kafe saat sore hingga malam hari. Penghasilannya juga lumayan, cukuplah untuk ia bertahan hidup di kota besar ini.

Karena itu juga sebenarnya, Melisa selalu menjaga jarak dengan teman-teman kampusnya. Biar bagaimana pun, sebagai gadis modern, Melisa masih merasa gengsi untuk mengakui, kalau ia bekerja sambil kuliah. Dan karena itu juga, Melisa belum mau berteman dekat dengan seorang laki-laki, apa lagi sampai berpacaran.

Meski pun demikian, sebagai gadis normal, Melisa juga punya rasa tertarik pada lawan jenisnya. Salah seorang pria yang selalu menjadi perhatian Melisa selama ini adalah om Arga. Seorang pria yang sudah berusia hampir 40 tahun.

Om Arga memang seorang duda, tapi ia hidup sendirian. Om Arga bercerai dari istrinya beberapa tahun yang lalu. Ia bercerai karena istrinya pergi bersama pria lain. Dari hasil pernikahannya tersebut, om Arga sebenarnya sudah punya seorang anak laki-laki. Dan anaknya itu ikut bersama ibunya, saat om Arga memutuskan untuk menceraikan istrinya.

Sudah hampir lima tahun om Arga tinggal sendirian. Dia tinggal di sebuah rumah bulatan yang berada tidak terlalu jauh dari tempat Melisa kost.

Melisa dan om Arga sebenarnya juga sudah sering bertemu, terutama saat pagi hari, ketika mereka sama-sama berbelanja sayur-sayura pada tukang sayur keliling yang lewat di gang tersebut.

Awalnya mereka hanya sekedar saling senyum dan hanya sekedar tegur sapa. Tapi lama kelamaan mereka pun mulai dekat dan akrab. Apa lagi semenjak om Arga dengan cukup berani meminta nomor handphone Melisa.

Kedekatan mereka cukup membuat Melisa merasa terkesan. Sosok om Arga yang sudah sangat dewasa, membuat Melisa seakan menemukan sesuatu yang selama ini ia cari. Sejak ayahnya meninggal, Melisa memang selalu merindukan sosok seorang pria dewasa dalam hidupnya. Dan kehadiran om Arga cukup mengobati kesepian Melisa selama ini.

Om Arga adalah seorang karyawan di sebuah bank negara. Kehidupannya juga sangat mapan. Om Arga juga seorang pria yang cukup tampan, dengan postur tubuhnya yang masih terlihat gagah dan kekar. Apa lagi om Arga sangat suka berolahraga, terutama joging pada pagi hari.

Semakin lama, Melisa semakin mengagumi sosok om Arga. Demikian juga sebaliknya, om Arga sudah mulai jatuh cinta pada Melisa.

Hingga pada suatu kesempatan, om Arga pun mengungkapkan perasaan suka nya pada Melisa. Dan gayung pun bersambut, Melisa pun menerima cinta om Arga.

Sejak saat itulah mereka pun resmi berpacaran.

Melisa mau pun om Arga merasa sangat bahagia dengan semua itu. Mereka benar-benar menikmati indahnya cinta mereka berdua. Sampai akhirnya mereka pun kebablasan. Hubungan mereka sudah melewati batas. Dan hal itu membuat Melisa pun hamil.

Kehamilan Melisa justru menjadi awal bencana dari hubungan mereka.

Tak di sangka, sikap om Arga tiba-tiba saja berubah. Dia yang awalnya dikenal Melisa sebagai laki-laki baik, sopan, lembut dan penuh kasih sayang. Tiba-tiba saja berubah beringas, pemarah dan sangat kasar.

Melisa tentu saja merasa syok dengan perubahan tersebut. Apa lagi saat ini ia sedang mengandung anak dari om Arga. Tapi Melisa harus siap menghadapi perubahan tersebut, karena ia butuh tanggungjawab dari om Arga. Hanya saja sayangnya om Arga tidak benar-benar ingin bertanggungjawab.

Om Arga sudah mulai menghindari Melisa. Ia jadi jarang berada di rumah. Dia juga tak pernah mengangkat telpon dari Melisa.

Melisa pun menjadi bingung dengan semua itu. Dia telah merasa di campakkan oleh om Arga. Tapi Melisa tak bisa menyalahkan om Arga sepenuhnya. Semua itu terjadi juga atas keinginannya sendiri. Hanya saja Melisa sangat tidak menyangka, kalau om Arga akan lari dari tanggungjawabnya.

Kini Melisa tak bisa berbuat apa-apa lagi. Om Arga selalu menghindarinya. Meski Melisa sudah melakukan berbagai cara untuk bisa bertemu om Arga. Dan bahkan dengan terang-terangan om Arga tidak mau mengakui, kalau anak yang Melisa kandung adalah anaknya.

"itu jelas bukan anak ku. Aku tak mungkin bisa punya anak." ucap om Arga tegas namun dengan suara bergetar.

"kenapa om yakin kalau ini bukan anak om?" tanya Melisa marah.

"karena aku ini mandul, Melisa. Aku gak mungkin bisa punya anak. Anak dari istri pertama ku juga bukan anak ku, itu anak dari selingkuhahnya. Karena itu aku menceraikannya. Jadi kamu gak perlu mengaku-ngaku kalau itu adalah anak ku." balas om Arga tajam.

Hati Melisa sangat terluka mendengar semua itu. Hatinya yang tadi merasa marah pada om Arga, tiba-tiba luluh lantak oleh kenyataan tersebut.

Melisa menangis tersedu-sedu. Ia meratapi kepedihan hidup yang menimpanya saat ini. Dia tak bisa menyalahkan om Arga lagi.

Melisa pun mengingat kembali kejadian beberapa bulan yang lalu. Saat ia mendapat kabar dari kampung halamanya, kalau ibunya sakit parah dan harus segera di operasi. Melisa tak punya uang untuk biaya operasi ibunya. Karena itu ia menerima tawaran dari salah seorang temannya yang sama-sama bekerja di kafe.

Sebenarnya saat itu, Melisa ingin sekali meminta bantuan kepada om Arga. Tapi ia merasa enak hati. Ia takut, om Arga berpikir, kalau ia hanya memanfaatkan om Arga. Kalau ia berpacaran dengan om Arga hanya untuk uang. Karena itu Melisa memilih untuk tidak menceritakan hal tersebut kepada om Arga.

Melisa lebih memilih menerima tawaran teman kerjanya, untuk menemani seorang lelaki tua tidur dengannya. Sebenarnya tawaran seperti itu sudah sejak lama di tawarkan kepada Melisa, namun selama ini Melisa selalu menolak. Tapi karena saat itu ia sangat butuh uang ia pun terpaksa menerimanya.

Melisa tidak berpikir, kalau tawaran untuk tidur dengan seorang laki-laki tua tersebut, bisa membuatnya hamil. Melisa memang sengaja tidak memakai pengaman, karena ia pikir, ia dan om Arga juga sudah sering melakukan hal tersebut. Jadi hal itu tidaklah akan menjadi masalah menurutnya.

Meski pun Melisa di bayar mahal waktu itu, dan semuanya juga berjalan lancar. Om Arga tak pernah mengetahui hal tersebut. Sampai Melisa menyadari kalau ia sedang hamil. Tentu saja yang ada dalam pikiran Melisa saat ia mengetahui kalau ia hamil, adalah bahwa anak yang ia kandung tersebut adalah anaknya om Arga.

Tapi ternyata semua itu di luar dugaan Melisa. Om Arga sudah mengetahui kalau itu bukan anaknya. Karena itu juga sikap om Arga pun jadi berubah. Ia merasa kalau Melisa telah mengkhianatinya. Ia merasa kalau Melisa sedang ada hubungan dengan pria lain. Dan karena itu juga, ia tak mau bertanggungjawab. Sebab om Arga yakin, itu memang bukan anaknya.

*****

Dengan terisak, akhirnya Melisa memberanikan diri untuk jujur pada om Arga tentang apa yang telah menimpanya beberapa bulan yang lalu. Dia menceritakan semuanya, tanpa ada lagi yang ia tutup-tutupi.

Om Arga tentu saja sangat marah dengan semua itu. Padahal ia sudah terlanjur jatuh cinta pada Melisa, tapi Melisa justru tidak mau berbagi penderitaan hidupnya dengan om Arga.

"saya hanya tak ingin om menganggap saya cewek materialistis, jika saya menceritakan tentang ibu saya yang sakit dan butuh uang untuk operasi tersebut pada om Arga." jelas Melisa mengakhiri ceritanya pada om Arga.

"lalu apa kamu pikir dengan menjual diri, akan menjadikan kamu lebih baik dari seorang cewek materialistis?" tajam kalimat om Arga membalas.

"saya benar-benar minta maaf, om.." suara Melisa semakin menghiba, mengiringi rasa penyesalannya.

"permintaan maaf mu itu tidak akan mengubah apa pun yang telah terjadi, Mel. Jadi kamu gak perlu menghiba seperti itu.." balas om Arga masih terdengar tajam.

"iya... aku tahu, om. Tapi aku sangat berharap om Arga mau memaafkan aku.." ucap Melisa lirih.

"aku bisa saja memaafkan kamu, Mel. Tapi ... aku gak mungkin mau bertanggungjawab atas kehamilan kamu tersebut. Itu jelas gak mungkin, Mel. Bertahun-tahun aku hidup dengan istri ku, dan berusaha membesarkan anak orang lain. Hingga akhirnya aku tahu kalau itu bukan anak ku, hati ku sangat sakit, Mel. Dan sekarang kamu meminta aku untuk mengulangi hal itu lagi?"

"aku gak sanggup. Mel. Sekali pun aku sangat mencintai kamu. Jika saat kita belum menikah saja, kamu sudah berani untuk mengkhianati ku, bagaimana pula ke depannya?"

ucapan om Arga yang panjang lebar dan penuh makna itu semakin membuat Melisa merasa hancur. Ia merasa kehilangan pegangan. Saat ini, satu-satunya tempat ia berharap hanyalah kepada om Arga.

"kenapa kamu gak minta pertanggungjawaban dari laki-laki yang membayarmu itu saja?" om Arga berucap tajam.

"aku di bayar untuk melakukan hal tersebut, om. Jadi aku gak punya hak untuk minta pertanggungjawabnnya. Dan lagi pula ia pasti tidak akan mengakui hal tersebut." balas Melisa terdengar pilu.

"ya udah.. itu semua sekarang bukan urusan ku lagi. Dan aku harap, kamu gak usah menganggu kehidupan ku lagi. Bagi ku semuanya diantara kita sudah berakhir." tegas suara om Arga berucap.

"lalu apa hubungan kita selama ini gak ada artinya bagi om Arga?" tanya Melisa ringkih.

"tentu saja semua itu sangat berarti bagiku, Mel. Tapi apa artinya semua itu, jika kamu lebih memilih untuk mengkhianati ku?" balas om Arga.

"aku terpaksa melakukannya, om. Aku tak punya pilihan lain saat itu." isak Melisa lagi.

"selalu ada pilihan dalam hidup ini, Mel. Dan selalu ada resiko pada setiap pilihan. Kini saatnya kamu menanggung resiko dari pilihan mu sendiri..." suara om Arga terdengar berat.

Dan setelah berkata demikian, om Arga pun segera pergi dari sana. Meninggalkan Melisa yang masih terus terisak dalam penyesalannya.

Melisa tidak tahu siapa yang harus ia salahkan dalam hal ini. Hatinya kah yang terlanjur jatuh cinta pada om Arga? Atau om Arga kah yang datang pada saat ia membutuhkannya?

Atau haruskah Melisa menyalahkan orang yang telah membayarnya? Atau justru ia harus pada ibunya yang tiba-tiba sakit pada saat yang tidak tepat?

Atau mungkinkah ia menyalahkan bayi yang ada dalam kandungannya, yang hadir di saat ia belum siap?

Dan melisa memilih pilihan terakhirnya. Karena itu ia pun nekat mencari orang yang bisa mengakhiri semua penderitaannya tersebut.

Melisa tahu, resikonya terlalu besar jika ia memilih untuk menggugurkan kandungannya tersebut. Tapi saat ini, hanya itu satu-satunya pilihan yang ia punya. Dan Melisa telah siap dengan segala resiko yang harus ia terima nantinya.

****

Sekian...

Bersama gadis pantai yang cantik

Aku berjalan pelan menelusuri pantai. Langkah ku sedikit goyah, karena masih merasa capek, setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam naik motor.

Pantai yang aku tuju memang lah sebuah pantai yang cukup indah dan juga merupakan sebuah pantai yang cukup ramai di kunjungi oleh warga lokal, mau pun dari luar negeri.

Di sepanjang pantai terdapat banyak pengunjung. Ada yang mandi-mandi, ada yang hanya sekedar photo-photo atau hanya sekedar nongkrong.

Aku sengaja datang sendirian ke pantai ini, sekedar menikmati masa liburan ku.

Aku sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai karyawan biasa. Usiaku sendiri sudah hampir kepala tiga, tapi aku belum menikah. Aku lebih suka menikmati masa lajang ku.

Bukan aku tak laku, atau pun sulit mencari pasangan. Hanya saja, sudah beberapa kali aku mencoba menjalin hubungan yang serius, tapi selalu gagal.

Jadi hingga saat ini, aku lebih memilih untuk hidup sendiri. Apa lagi aku juga tinggal di kota besar, tak ada tuntutan untuk segera menikah. Kedua orangtua ku juga sudah tiada. Aku hanya punya dua orang kakak yang tinggal di kampung. Keduanya sudah punya suami dan anak.

Aku sering menikmati liburan sendiri seperti ini. Aku memang lebih suka sendirian, rasanya lebih bebas aja.

Terdapat banyak penginapan di sekitar pantai ini, aku sudah membooking satu kamar secara online. Aku memang berniat untuk menginap satu malam di sini.

Saat akhirnya senja pun datang, aku bersegera untuk menuju penginapan. Aku ingin beristirahat malam ini, sebelum esok aku akan menjelajahi pantai ini.

Saat sampai di penginapan, si pemilik penginapan menyambutku dengan senyum ramah. Pemilik penginapa itu, seorang ibu tua. Dia memang cukup ramah kepada para pengunjung, terutama yang menginap di penginapannya.

Penginapan itu hanya punya dua puluh kamar, dan semua kamar sudah terisi penuh. Biasanya kalau musim liburan seperti ini, hampir semua penginapan di sini, selalu penuh. Karena itu, aku memesan kamar ini secara online, agar tidak kehabisan kamar.

Selesai mandi dan makan malam, aku mencoba berjalan di sekitaran pantai. Suasana pantai itu memang sangat nyaman, terutama di malam hari. Deburan ombak yang menerpa karang, terdengar cukup riuh.

Saat aku duduk sendirian di sebuah batu karang, tiba-tiba sesosok wanita datang menghampiri ku.

"sendirian aja, mas?" lembut suara wanita itu menyapa.

"iya." jawabku singkat.

"lagi putus cinta atau lagi ada masalah dengan istri?" tanya wanita itu lagi.

"kok nanya nya gitu?" akku balik bertanya dengan nada heran. Aku perhatikan wajah wanita yang tiba-tiba saja sudah duduk di samping ku itu. Seorang wanita yang cukup cantik. Postur tubuhnya juga terliha seksi.

"iya.. biasanya kalau cowok lagi sendirian, pasti karena dua alasan itu." jelas wanita santai.

"gak juga lah." balas ku cepat, "aku memang lagi pengen sendiria aja." lanjutku.

"pasti ada alasannya, kan?" sela wanita itu.

"apa semua hal yang terjadi di dunia ini, harus ada alasannya?" aku kembali bertanya.

"gak juga sih, tapi untuk beberapa hal, kadang alasan itu memang ada, hanya kebanyakan dari kita tidak mau mengakuinya." balas wanita itu.

"yang pasti, aku tidak sedang putus cinta dan juga aku belum menikah, jadi gak mungkin punya masalah dengan istri kan?" timpal ku kemudian.

Kali ini wanita itu menatap ku.

"sudah ku duga." ucapnya pelan.

"maksudnya?" tanya ku.

"iya, sudah ku duga kalau mas pasti belum menikah. Karena di masa liburan seperti ini, orang-orang pasti pergi liburannya sama keluarga. Jadi kalau ada cowok yang berliburan sendiri, hanya ada dua kemungkinan." ucap wanita itu.

"dua kemungkinan? Apa itu?"  tanyaku menyela.

"pertama karena memang belum punya pacar, yang kedua karena memang gak suka gak perempuan." jelas wanita itu.

"ah, kamu bisa aja. Tapi yang pasti, aku bukan yang kedua." balasku ringan.

"ah, yang benar?" wanita itu sedikit menggoda.

"iya benar lah." balasku merasa sedikit tersinggung.

"bisa di bukti kan gak..?" wanita itu terus menggoda ku.

"gimana cara membuktikannya?" tanyaku terpancing.

Kali ini wanita itu tersenyum. Senyum yang cukup memikat.

"mas nginap sini kan?" tanyanya kemudian.

Aku hanya mengangguk.

"mas nginap sendiri?" wanita itu bertanya lagi.

Aku mengangguk lagi.

"kalau begitu kita bisa membuktikannya di kamar mas.." ucap wanita itu lagi, dengan sedikit menekan suara.

"maksud kamu apa? Dan sebenarnya kamu ini siapa?" tanyaku dengan nada heran.

"panggil aja aku Aurel. Dan jika mas ini normal, mas pasti ngerti maksud ku apa." balas wanita itu.

"oke. Aku ngerti maksud kamu. Tapi apa untungnya bagi kamu?" balasku sedikit sengit.

"untungnya bagi ku ... ya... mungkin mas bisa memberiku sedikit uang.." ucap wanita itu terdengar santai.

"jadi kamu ini wanita bayaran?" tanyaku lugas.

"aku memang suka di bayar, tapi aku juga gak sembarangan mendekati laki-laki." balas wanita yang mengaku bernama Aurel tersebut.

"apa bedanya?" pungkas ku sedikit mengecam.

"terserah mas sih, mau menilai aku bagaimana. Tapi yang pasti jika mas mau punya teman tidur malam ini, aku bersedia. Kalau mas gak mau, ya itu tadi, berarti mas gak suka perempuan." ucap Aurel pelan.

"aku masih suka perempuan ya, tapi gak sembarangan perempuan juga. Kalau aku ingin membayar seorang perempuan, lebih baik aku mencarinya di kota, lebih banyak pilihannya." balas ku sedikit sengit.

"gadis kota dengan gadis desa itu berbeda loh rasanya, mas. Mas coba deh malam ini." Aurel terus berupaya untuk membujuk ku.

Sejujurnya aku belum pernah sekali pun membayar wanita untuk bisa tidur dengan ku. Tapi bukan berarti aku ini masih perjaka. Saat punya pacar dulu, aku pernah melakukan hal tersebut, beberapa kali.

Namun mendengar tawaran Aurel barusan, jujur aku merasa mulai tertarik dan cukup merasa tertantang.

"emangnya berapa tarif kamu?" tanyaku akhirnya.

"gak mahal, kok. Cuma lima ratus ribu." jawab Aurel lugas.

"satu malam?" tanya ku polos.

"ya gak lah. Itu tarif untuk sekali berlayar aja. Kalau satu malam beda lagi." bantah Aurel cepat.

"ya udah, aku mau coba gadis desa kayak kamu." ucapku akhirnya.

Aurel terlihat tersenyum menang. Kami pun kemudian sama-sama berdiri dan melangkah menuju penginapan.

*****

Malam itu, kapal kami pun berlayar. Sebuah pelayaran yang cukup indah. Aurel memang terlihat sudah sangat berpengalaman. Ia mampu membawa ku terbang dalam suasana nan romantis.

Dinginnya suasana pantai itu, tak mampu mendinginkan hasr4t kami untuk saling menumpahkan keinginan kami.

Hingga kapal kami pun berlabuh dengan sempurna. Sebuah perlabuhan yang cukup indah, dan cukup membuat aku menjadi terkesan.

Sekali lagi Aurel tersenyum menang. Ia mentapku dengan senyum menggoda.

"mas cukup hebat.." ucapnya tiba-tiba.

"kamu juga hebat.." balas ku jujur.

Sesaat kemudian, Aurel pun melangkah menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar tersebut. Sementara aku masih terbaring letih. Jujur saja, sudah sangat lama aku tidak merasakan hal tersebut, dan itu yang membuat aku merasa terkesan.

Jauh-jauh aku menikmati liburan sendiri, justru aku mendapatkan sebuah pengalaman yang cukup indah. Meski aku harus mengeluarkan sedikit uang untuk hal tersebut.

Beberapa menit kemudian, Aurel pun keluar dari kamar mandi, dia pun segera memakai pakaiannya kembali. Aku mengambil dompet ku, dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Uang itu aku serahkan pada Aurel, sesuai perjanjian.

"makasih, mas." ucap Aurel pelan, sambil tersenyum dan mengambil uang tersebut.

Tak lama kemudian, Aurel pun pamit.

Aku melepaskan kepergian Aurel dengan perasaan sedikit lega. Aku masih terus berpikir, karena tak menyangka sama sekali, di tempat seperti ini, masih ada wanita seperti Aurel.

Mungkin Aurel bukan satu-satu nya. Mungkin masih banyak gadis pantai lain, yang melakukan hal yang sama seperti yang Aurel lakukan.

Tentu saja itu semua mereka lakukan, hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Aku merasa miris tiba-tiba. Mengapa orang-orang rela melakukan apa saja, hanya untuk mendapatkan sejumlah uang. Padahal ada begitu banyak pilihan dalam hidup ini, tapi mengapa mereka justru memilih hal itu?

Mungkin itu satu-satunya cara termudah yang mereka ketahui, untuk mendapatkan uang. Apa lagi mereka cuma punya modal fisik yang menarik saja.

Namun terlepas dari apa pun itu, aku juga tidak terlalu peduli. Itu merupakan pilihan hidup mereka, dan aku tak berhak untuk menghakimi mereka, walau dengan alasan apa pun.

Itu lah salah satu pengalamanku, saat aku berliburan sendiri. Selalu saja ada hal-hal indah yang aku temui dalam perjalanan ku. Hal-hal indah yang aku simpan sebagai pengalaman hidup. Hal-hal indah yang membuat aku semakin betah melajang.

****

Sekian ..

Cari Blog Ini

Layanan

Translate