Aku seorang pria yang saat ini sudah berusia 50 tahun. Aku menikah saat aku masih berusia 24 tahun. Aku menikah dengan seorang janda, namanya Amira. Waktu itu Amira sudah berusia 30 tahun dan sudah punya sorang putra. Suami pertamanya pergi meninggalkannya saat ia sedang hamil.
Aku hanya seorang buruh pabrik waktu itu, sementara Amira adalah seorang pengusaha yang cukup sukses. Dia punya beberapa buah toko pakaian. Jujur, aku menikahi Amira waktu itu, hanya untuk merubah kehidupan ku.
Kala itu, aku hanya seorang perantau. Aku hidup sendirian di kota besar ini. Sampai akhirnya aku bertemu Amira. Dan karena aku tahu, kalau Amira adalah janda kaya, aku pun berusaha untuk mendekatinya. Hingga akhirnya kami pun menikah.
Putra Amira yang bernama Fhandi itu, saat itu masih berusia empat tahun. Aku pun berusaha menyayanginya dan menganggapnya seperti anak sendiri.
Sejak menikah dengan Amira kehidupanku pun berubah. Aku tak lagi menjadi kuli proyek. Aku di percaya oleh Amira untuk mengelola semua tokonya. Sementara Amira lebih memilih untuk menjadi ibu rumah tangga.
Pernikahan ku dengan Amira pun membuahkan dua orang anak. Satu laki-laki dan satu perempuan. Kehidupan keluarga kami pun berjalan dengan harmonis. Meski pun awalnya niat ku menikahi Amira hanya untuk merubah taraf kehidupan ku. Namun lama-kelamaan aku mulai menyayanginya, apa lagi sejak kehadiran dua orang buah hati kami.
Fhandi, yang merupakan anak tiri ku itu, juga tidak kekurang kasih sayang dari kami. Aku tidak membedakannya dengan keudua naak kandung ku. Aku berusaha bersikap adil kepada mereka bertiga. Hingga akhirnya mereka pun tumbuh menjadi anak-anak yang saling menyayangi dan saling mendukung satu sama lain.
Saat ini, Fhandi sudah berusia sekitar 30 tahun. Ia baru saja menikah sekitar setahun yang lalu. Sejak menikah, Fhandi memang tidak tinggal satu atap lagi dengan kami. Apa lagi ia juga sudah punya pekerjaan di sebuah perusahaan besar. Dia juga sudah punya rumah sendiri, dan tinggal beruda bersama istri nya.
Istrinya bernama Sella, usianya masih 24 tahun. Ia tidak bekerja. Karena Fhandi tidak memperbolehkan istrinya untuk bekerja. Karena itu, Sella lebih sering menghabiskan waktu di rumahnya sendirian. Kadang-kadang Sella juga masih sering datang ke rumah kami, sekedar berkunjung dan ngobrol bersama ibu mertua nya. Apa lagi jarak rumah mereka tidak terlalu jauh dari rumah kami. Masih satu kompleks.
Aku dan Sella juga lumayan dekat. Karena Sella memang cukup ramah orangnya. Dia juga orang yang suka ceplos-ceplos, sedikit heboh kalau lagi bercerita. Tipe wanita yang tidak suka diam. Dengan adik-adik iparnya ia juga sangat dekat.
Sudah lebih dari setahun Fhandi dan Sella menikah. Namun Sella belum juga hamil. Hal itu Sella akui sendiri kepada kami. Karena itu juga ia jadi sering merasa kesepian. Apa lagi Fhandi saat ini, juga sering mendapat tugas ke luar daerah. Sella jadi sering tinggal sendirian di rumah.
Pada suatu hari, seperti biasa Sella berkunjung ke rumah kami sendirian. Suaminya sudah dua hari tidak pulang, karena ada pekerjaan di luar daerah. Sementara saat itu aku hanya sendirian di rumah. Istri ku sedang pergi berbelanja ke pasar.
Aku memang lebih sering menghabiskan waktu di rumah saat ini, karena urusan toko-toko kami, sudah aku serahkan sepenuhnya kepada anak pertama ku. Dia yang mengelola nya sekarang. Sedangkan anak bungsu ku masih sibuk dengan kuliahnya.
"bapak sendirian? Ibu mana?" tanya Sella saat ia langsung masuk ke ruang keluarga.
"ibu pergi belanja ke pasar." jawab ku apa adanya.
"udah lama perginya?" tanya Sella lagi.
"baru beberapa menit yang lalu.." jawabku.
"berarti masih lama ya, pak. Ibu pulangnya?" Sella bertanya lagi.
"ya.. begitulah. Emangnya kamu ada perlu apa sama ibuk?" balasku sedikit bertanya.
"gak ada perlu apa-apa sih, pak. Justru aku perlu nya sama bapak..." ucap Sella, seperti biasa selalu ceplas-ceplos.
"kamu ada perlu apa sama saya?" tanyaku sedikit heran.
"kasih tips nya donk, pak. Biar aku dan mas Fhandi bisa cepat punya momongan." ucap Sella kemudian.
Sekilas aku menatap Sella dengan kening berkerut. Aku tak menyangka sama sekali, kalau Sella akan bertanya hal tersebut pada ku.
"kalian baru menikah sekitar setahun lebih loh. Jadi masih wajar kalau kalian belum punya keturunan. Kamu mungkin hanya harus lebih sabar aja.." ucapku akhirnya.
"tapi aku kesepian, pak. Kalau aku punya anak, aku pasti gak bakal kesepian lagi." balas Sella dengan suara sedikit manja.
"kamu kan masih punya kami, Sella. Rumah ini terbuka untukmu." ucapku ringan.
"iya sih, pak. Tapi sebagai seorang istri, wajar kan kalau aku pengen punya anak.." balas Sella kemudian.
"yah.... kamu harus lebih sabar lagi, Sella. Kalian masih terus berusaha kan?" ucapku.
"itu dia masalahnya, pak. Mas Fhandi kan jarang di rumah. Jadi rasanya usaha kami masih kurang maksimal." balas Sella pelan.
"bapak bisa bantu saya gak?" tanya Sella melanjutkan.
"bantu apa?" tanya ku balik.
"yah... bapak ngerti lah maksud saya.. Bapak kan masih terlihat segar... pasti masih mampu kan?" ucap Sella dengan suara yang sedikit tertahan.
Kali ini aku terdiam. Aku mulai mengerti maksud Sella. Sebagai laki-laki normal, aku memang cukup tertarik dengan tawaran Sella. Apa lagi Sella masih muda dan cantik. Apa lagi istri ku sebenarnya sudah lama tidak bisa memenuhi kebutuhan saya sebagai suami, karena usianya yang sudah cukup tua.
Saya juga bukan lak-laki baik. Dulu, saya menikah dengan istri saya, justru karena ia kaya. Sekarang Sella datang dan menawarkan sesuatu yang sangat menarik.
"gimana, pak? Bapak bersedia kan?" ucap Sella kemudian, melihat saya yang hanya terdiam.
"kamu yakin, Sel?" tanyaku.
"saya sangat yakin, pak." balas Sella mantap.
"oke, saya bersedia. Tapi... ini hanya bersifat sementara, sampai kamu bisa punya anak. Dan ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua..." ucapku akhirnya.
Sella pun tersenyum penuh kemenangan.
*****
Dan begitulah, sejak saat itu, aku dan Sella jadi punya hubungan khusus. Kami punya jadwal tertentu untuk bisa bertemu. Mengingat Fhandi jarang berada di rumah, kami semakin punya banyak waktu untuk bisa bertemu.
Dan hal itu terus terjadi selama berbulan-bulan. Hingga akhirnya Sella pun hamil.
Kehamilan Sella tentu saja menjadi kabar paling membahagia kan di keluarga kami, terutama untuk Fhandi.
Namun hal itu tidak terlalu membuat aku bahagia, karena dengan kehamilan Sella, itu berarti aku akan kehilangan kesempatan untuk bisa bersama nya lagi.
Jujur, ada rasa kecewa di hati ku. Karena aku sudah terlanjur menyayangi Sella. Kebersamaan kami selama beberapa bulan ini, telah membuat aku jatuh cinta pada Sella.
Tapi sekarang, semua itu telah berakhir. Aku tak bisa lagi menghabiskan waktu berdua bersama Sella seperti biasa. Apa lagi Fhandi juga jadi semakin sering berada di rumah, sejak istrinya hamil. Apa lagi Sella juga seperti sengaja menghindari ku.
Pernah suatu hari, aku berusaha menemui Sella di rumahnya, saat suaminya sedang bekerja.
"seperti perjanjian kita dari awal, pak. Hubungan kita hanya bersifat sementara. Dan sekarang sudah saat nya kita mengakhiri itu semua." ucap Sella terdengar tegas.
"tapi aku sudah terlanjur sayang sama kamu, Sel. Dan kamu juga harus ingat, kalau anak dalam kandungan mu itu adalah anak ku." ucapku tajam.
"dan bapak akan menceritakan hal tersebut pada mas Fhandi? Pada istri bapak? Atau pada anak-anak bapak?" balas Sella dengan nada cukup keras.
"bukan begitu maksud saya, Sel. Saya hanya ingin kita terus berhubungan seperti biasa. Saya tidak bisa melepaskan kamu begitu saja.." ucapku membalas.
"tapi saya gak bisa lagi, pak. Saya gak mau selamanya harus membohongi mas Fhandi. Jadi saya mohon, lebih baik kita saling melepaskan. Dan bapak jangan pernah lagi coba mendekati saya." ucap Sella, kali ini suara nya cukup menghiba.
Aku akhirnya hanya bisa terdiam. Keputusan Sella untuk mengakhiri hubungan kami, sepertinya sudah sangat bulat. Aku tak mungkin memaksanya. Lagi pula, mungkin ini jauh lebih baik. Karena jika kami terus berhubungan, tentu saja hal itu akan mengundang kecurigaan Fhandi atau pun istri ku.
Karena itu akhirnya aku memutuskan untuk pergi dan melepaskan Sella. Meski hati ku merasa sakit dan kecewa. Namun biar bagaimana pun, hubungan kami memang harus berakhir. Karena jelas hal itu adalah sebuah kesalahan.
Dan sebelum semuanya semakin terlambat, kami memang harus saling melepaskan.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar