Namaku Andre. Dan aku adalah anak seorang pengusaha yang punya beberapa cabang toko barang harian.
Aku anak tunggal. Dan saat ini aku sedang kuliah semester akhir.
Papa ku memang punya beberapa cabang toko barang harian di beberapa daerah. Papa memang sudah menjadi pedagang sejak muda. Dan usahanya terus berkembang, hingga ia bisa membuka beberapa cabang.
Papa memang selalu rutin mengunjungi cabang-cabang tokonya, setidaknya dua kali dalam seminggu, untuk memeriksa catatan keuangannya. Meski pun pada setiap cabang tokonya, papa sudah punya orang kepercayaan untuk mengelola toko tersebut.
Sebenarnya papa juga sering mengajakku ikut dengannya, terutama saat aku tidak sedang kuliah. Tapi selama ini aku selalu menolak, karena aku memang tidak tertarik dengan dunia dagang.
Papa sudah memastikan bahwa aku adalah pewaris tunggal semua usahanya. Karena itu dia ingin aku belajar tentang usaha dagangnya tersebut. Namun aku belum memikirkan hal tersebut, aku belum merasa tertarik.
Hingga pada suatu kesempatan, papa akhrinya berhasil mengajak aku ikut dengannya, untuk melihat salah satu cabang tokonya di sebuah desa.
Desa itu memang cukup maju dan ramai, karena itu papa juga membuka cabang tokonya disana.
Aku dengan ogah-ogahan mengikuti keinginan papa kali ini. Setidaknya untuk membuat ia merasa senang.
"gitu, dong. Sekali-kali kamu ikut papa, biar kamu bisa sekalian belajar juga.." ucap papa di perjalanan kami.
Aku hanya diam. Aku enggan untuk berkomentar. Aku tidak suka berdebat dengan papa, terutama soal usahanya.
Aku memang belum pernah mengatakan secara langsung tentang ketidaktertarikan ku akan usaha papa. Namun aku yakin, dari sikap ku selama ini, papa sudah bisa menebak. Karena itu, dia selalu berusaha untuk mengajakku ikut dengannya.
Dan kali ini dia berhasil.
Kami sampai ke cabang toko papa sekitar jam sepuluh pagi. Aku dengan bermalasan ikut turun dari mobil.
Saat itulah aku melihat seorang pemuda yang sedang mengangkut barang dari sebuah mobil ke dalam toko. Pemuda itu tidak memakai baju, mungkin karena gerah.
Dia hanya memakai celana pendek yang sepertinya sengaja ia potong.
Pemuda itu berkulit sedikit gelap, namun terlihat kekar. Otot-otot lengannya menyembul saat ia memikul barang tersebut ke dalam toko.
Aku menatap pemuda itu lama dari belakang. Saat akhirnya dia keluar kembali dari toko dan menuju mobil lagi untuk mengangkut barang berikutnya.
Mata kami bertemu pandang, aku berusaha memasang senyum termanisku. Bukan untuk menggoda, hanya agar terlihat ramah. Pemuda itu bukannya membalas tersenyum, tapi malah memalingkan muka, seolah-olah tak melihat ku.
Aku berniat untuk mendekati pemuda tersebut, tapi suara papa memanggilku untuk masuk ke dalam toko.
Dengan langkah pelan aku memasuki toko tersebut, sambil terus memandangi pemuda berkulit gelap tadi.
Papa memperkenalkan ku pada Mang Rohim, orang kepercayaan papa untuk mengelola toko tersebut.
Mang Rohim sudah cukup tua, lebih tua dari papa. Tapi dia punya semangat kerja yang kuat dan juga sangat jujur. Karena itu papa masih mempercayainya.
"sebenarnya papa ingin mencari orang yang bisa menggantikan mang Rohim, tapi sampai saat ini papa belum menemukan orang yang cocok.." jelas papa padaku, ketika di perjalanan pulang.
Kami memang hanya sebentar di sana, karena harus menuju toko berikutnya.
Namun rasanya pikiran ku masih tertinggal di sana. Aku masih penasaran dengan pemuda gagah berkulit gelap yang aku lihat tadi.
Siapa laki-laki itu? bathin ku bertanya sendiri.
Dan bagaimanakah akhirnya aku bisa mengenal pemuda tersebut?
Mungkinkah aku bisa bertemu dia lagi?
Simak kisah ini sampai selesai ya...
Namun sebelumnya bla..bla...
*****
Dua hari kemudian, aku nekat mendatangi desa tempat salah satu toko papa tersebut, sendirian.
Aku masih penasaran dengan pemuda gagah berbadan gelap tersebut. Dua malam ini, pikiran ku selalu di hantui oleh wajah pemuda tersebut.
Aku selalu memikirkannya, yang membuatku jadi susah tidur.
Akh, apa yang aku rasakan sebenarnya?
Mungkin kah aku telah jatuh hati pada pandangan pertama?
Semudah itukah aku untuk jatuh cinta?
Berbagai pertanyaan terus menghantui pikiranku, yang membuatku akhirnya nekat untuk datang menemui pemuda tersebut.
Sesampai di sana, mang Rohim menyambutku. Aku beralasan kepada mang Rohim, kalau aku hanya mampir di toko sebentar.
Aku melihat pemuda itu sekali lagi, ia masih tak memperhatikanku.
"itu siapa, mang?" tanyaku akhirnya kepada mang Rohim, sambil menunjuk ke arah pemuda tersebut.
"oh, dia Akmal. Dia buruh angkut di toko ini, sekalian bantu-bantu saya untuk menyusun barang dagangan di dalam toko.." jelas mang Rohim.
Selain mang Rohim dan Akmal yang disebutkan mang Rohim tadi, juga ada dua karyawan lainnya yang bekerja di toko tersebut. Mereka sudah punya tugas masing-masing.
"apa dia pekerja baru?" tanya ku lagi.
"bukan. Akmal sudah lama bekerja dengan saya." jawab mang Rohim.
"dia asli orang sini?" aku bertanya kembali.
"iya. Dia pemuda sini. Rumahnya juga gak jauh dari sini.." jelas mang Rohim lagi.
Untuk selanjutnya aku hanya manggut-manggut, sambil mulai memikirkan bagaimana caranya mendekati pemuda tersebut.
"saya boleh pinjam dia sebentar mang Rohim?" ucapku tiba-tiba, setelah mendapatkan sebuah ide.
"pinjam? pinjam untuk apa?" tanya mang Rohim dengan wajah herannya, mendengarkan kalimat ku barusan.
"maksud ku, aku ingin minta tolong ditemani ke kota sebentar, nanti aku antar lagi Akmal kesini.." jelasku berusaha bersikap sewajar mungkin.
"ooo.." mang Rohim membulatkan bibir, "gak apa-apa. Hari ini juga gak ada barang datang, jadi Akmal tidak terlalu sibuk. Nak Andre bawa aja.." lanjut mang Rohim.
"tapi apa dia mau, mang?" tanyaku ragu.
Mang Rohim menyadari keraguanku. Dia pun berteriak memanggil pemuda tersebut yang berada di luar toko.
Pemuda itu bergegas mendatangi kami, ia melirik ku sekilas lalu berpaling muka lagi.
"ada apa, mang?" tanya pemuda itu. Untuk pertama kali nya aku mendengar suaranya. Maskulin. Macho. Indah.
"ini nak Andre, putranya pak Broto, pemilik toko ini." jelas mang Rohim. "dia minta tolong sama kamu, untuk menemaninya ke kota sebentar, nanti dia antar kamu lagi kesini.." lanjut mang Rohim.
Pemuda itu menatapku lagi, kali ini lebih lama.
"ngapain ke kota lagi? Bukannya kamu tadi juga dari kota?" pemuda itu bertanya padaku, suaranya sedikit sinis.
"aku.. aku hanya ingin menjemput sesuatu, tadi ketinggalan.." jelasku sedikit tergagap.
Pemuda itu tidak berkata lagi, tapi ia terus memutar tubuh dan melangkah keluar.
"sebenarnya dia pemuda yang baik. Tapi wataknya emang sedikit keras." mang Rohim berucap, setelah Akmal berada di luar toko.
"jadi pergi gak?" suara teriakan Akmal terdengar dari luar.
Aku segera melangkah ke luar. Akmal sudah menunggu di dekat mobil.
Aku membuka pintu dan masuk ke dalam mobil, dengan perasaan yang tak karuan.
Aku tidak tahu, apa ide ku ini layak aku teruskan atau aku harus berhenti sampai disini.
"ayok jalan.." suara Akmal mengagetkanku, ketika akhirnya dia duduk di sampingku.
Perasaanku semakin tak karuan. Dada ku berdebar hebat.
Akh, aku memang telah jatuh hati pada Akmal. Aku bisa merasakan hal itu.
Aku melirik sekilas ke arah Akmal, lalu mulai menghidupkan mesin mobil dan menjalankannya dengan perlahan.
Akmal memang tidak terlalu tampan. Tapi dia punya raut wajah yang tegas. Hidungnya bengir, tatapan matanya sendu, dagunya lancip dengan rahangnya yang kokoh.
Terlepas dari itu semua, postur tubuhnya yang gagah dan kekar itu lah yang membuat ku jatuh hati padanya.
"kenapa kamu gak pergi sendiri aja sih?" tanya Akmal memecah kesunyian, saat mobil sudah meninggalkan desa tersebut.
"kenapa kamu begitu angkuh?" aku bertanya, tanpa mempedulikan pertanyaannya barusan.
"saya angkuh?" balas Akmal dengan kening mengerut. "bukannya kamu yang angkuh? Anak orang kaya yang manja. Kebanyakan orang-orang kaya itu yang angkuh." lanjutnya dengan nada sinis.
"apa saya terlihat angkuh? Sejak pertama kali melihat kamu, aku berusaha tersenyum. Kamu malah memalingkan muka dariku." ucapku membalas.
"saya tidak suka direndahkan.." ucap Akmal datar.
"saya tidak merendahkan kamu. Saya hanya mencoba untuk ramah.." balasku sedikit sengit.
"biasanya orang-orang kaya yang datang ke tempat kami, selalu memandang orang seperti ku ini rendah..." balas Akmal tajam.
"tidak semua orang kaya seperti itu." balasku. "mungkin kamu nya aja yang berlebihan, atau kamu punya trauma berurusan dengan orang kaya?" lanjutku sedikit bertanya.
Kali ini Akmal terdiam. Dia terdengar menarik napas beberapa kali. Kemudian menghempaskannya dengan berat.
****
"kita mau kemana sebenarnya? kenapa dari tadi kita hanya keliling-keliling gak jelas?" suara Akmal berat.
Aku tidak bisa menjawab. Aku juga tidak tahu mau membawa Akmal kemana.
Tadi aku hanya berpikir untuk membawa nya berjalan-jalan sambil sedikit mengobrol. Aku memang berniat untuk mengenal Akmal lebih dekat.
Namun sikap angkuh Akmal cukup membuatku ragu. Aku tidak tahu harus memulai semuanya dari mana.
"kalau kamu tidak punya tujuan yang jelas, lebih baik kita kembali aja ke desa.." suara berat Akmal terdengar lagi.
"sebenarnya.. sebenarnya.. saya hanya pengen ngobrol sama kamu. Saya ingin mengenal kamu lebih dekat lagi." ucapku akhirnya memberanikan diri.
"sejak pertama melihat kamu waktu itu, aku jadi penasaran sama kamu.." lanjutku lagi.
"maksud kamu apa? Aku gak ngerti.." balas Akmal.
"yah, aku pengen kenal kamu lebih dekat. Mungkin kita bisa jadi teman?" ucapku kemudian.
"apa untungnya bagi kamu?" tanya Akmal, suaranya masih terdengar sinis.
"bisa gak, kamu memandang orang tidak dari sisi negatifnya?" tanyaku kasar, "saya gak cari keuntungan apa pun dengan berteman sama kamu.." lanjutku.
"wajar kan kalau aku berpikir negatif? Bukannya aneh, tiba-tiba saja kamu ingin berteman dengan orang seperti ku? Apa kamu sudah kekurangan stok teman di kota atau di kampus mu?" timpal Akmal cepat.
"mungkin aneh bagi kamu, tapi aku hanya mengikuti naluri ku sebagai... sebagai. .sebagai seorang laki-laki.." balasku kehabisan kata-kata. Aku hampir saja keceplosan.
"justru semakin aneh, kalau kamu mendekati ku sebagai laki-laki. Pertemanan seperti apa yang kamu harapkan dari orang seperti saya?" ucap Akmal.
"pertemana yang tidak memandang materi, pertemanan yang tidak memandang kasta, pertemanan yang tulus.." jawabku asal-asalan. Tapi justru dari situ aku jadi punya ide kalimat selanjutnya.
"aku memang punya banyak teman di kota atau pun di kampus, tapi rata-rata mereka mau berteman dengan ku, hanya karena aku anak orang kaya, seperti yang kau katakan tadi." lanjutku penuh keyakinan.
"lalu apa yang membuat kamu yakin, kalau aku tidak sama dengan mereka?" tanya Akmal.
"aku tidak yakin, tapi aku ingin mencobanya.." jawabku lugas.
Perlahan kalimat demi kalimat membuat kami menjadi dekat. Tanpa sadar, kami telah berbicara panjang lebar.
Aku kemudian, mengajak Akmal untuk singgah di sebuah kafe, untuk sekedar minum dan makan makanan ringan, sambil kami mengobrol.
Percakapan kami pun semakin panjang, walau Akmal masih terlihat menutup diri.
Dia belum mau bercerita lebih banyak tentang dirinya. Tapi setidaknya untuk saat ini, kami sudah mulai dekat.
Walau pun sepertinya, aku masih harus berjuang lebih keras lagi, untuk bisa menaklukkan hati seorang Akmal.
Bagaimanakah kelanjutan dari kisah ini?
Akankah Akmal mampu aku taklukkan?
Atau justru akhirnya kami semakin jauh?
Simak kisah selanjutnya di channel ini ya, atau bisa langsung di deskripsi video ini.
Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di video-video berikutnya, salam sayang untuk kalian semua..
****
Part 2
Hari-hari selanjutnya aku semakin sering menemui Akmal. Aku selalu mencari kesempatan untuk bisa datang ke desa nya.
Aku bahkan meminta papa untuk mempercaya kan cabang tokonya di desa itu kepada ku.
Papa dengan cukup berat pun akhirnya setuju, sehingga aku jadi punya banyak alasan dan kesempatan untuk datang menemui Akmal.
Walau pun setelah berbulan-bulan kami saling kenal, Akmal masih cukup tertutup padaku, terutama menyangkut cerita pribadi hidupnya.
Lalu mungkin kah aku bisa merebut hati Akmal, yang ternyata punya cerita tersendiri di masa lalunya?
Atau Akmal tetap akan bertahan dengan segala sikap cueknya padaku?
Simak kisah ini sampai selesai ya..
Namun sebelumnya bla..bla..
*****
"aku masih penasaran, kenapa kamu sangat sinis jika bertemu orang kaya?" tanya ku suatu hari pada Akmal, saat untuk kesekian kalinya aku datang menemuinya.
"aku punya masa lalu yang rumit dengan orang kaya, bang Andre.." ucap Akmal membalas. Akmal memang akhirnya memanggil ku bang, karena ternyata usianya masih muda tiga tahun dari ku.
"masa lalu yang rumit seperti apa?" tanya ku ingin tahu.
"panjang ceritanya, bang. Takutnya abang bosan mendengarkannya.." balas Akmal.
"kamu cerita aja, Mal. Aku siap kok mendengarkan cerita apa pun dari kamu.." ucapku yakin.
Aku memang merasa bahagia bisa dekat dengan Akmal. Aku selalu suka bercerita dengannya. Aku suka mendengarkan ia bercerita.
Dan dengan perasaan berat Akmal pun mulai menceritakan cerita perjalanan hidupnya dari masa lalu yang ia alami.
Dan beginilah kira-kira cerita Akmal padaku.
"namaku Akmal. Aku lahir dari keluarga yang sangat sederhana, bahkan boleh dibilang cukup miskin. Ayahku seorang buruh bangunan, dan ibu hanya seorang buruh cuci keliling. Kehidupan sangat pas-pasan. Karena itu aku hanya bisa sekolah hingga lulus SMP."
"aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakak ku perempuan, hanya tiga tahun lebih tua dari ku. Kakak ku juga hanya lulusan SMP."
"ayahku meninggal pada sebuah kecelakaan kerja. Saat itu aku masih berusia 14 tahun. Dan tiga tahun kemudian, ibu ku pun meninggal, karena sakit jantung. Sejak saat itu, aku hanya tinggal berdua bersama kakakku."
"di usia kakak ku yang mulai beranjak dewasa, ia sempat berpacaran dengan seorang pemuda, anak seorang juragan kaya di desa kami. Hubungan mereka tidak di restui oleh orangtua pacar kakak ku. Bahkan mereka dengan sangat berani mendatangi rumah kami. Mereka menghina dan mencaci maki kami habis-habisan."
"mereka juga mengatakan kalau kakak ku hanya ingin mendapatkan harta mereka. Mereka tidak sudi punya menantu seorang gadis miskin seperti kakak ku."
"kami hanya bisa diam, mendengarkan semua penghinaan itu. Kami tidak bisa melawan. Meski hati kami sangat sakit dengan semua penghinaan itu."
"hubungan kakak ku dengan pacarnya pun berakhir. Dan sejak saat itulah aku paling benci orang kaya. Mereka tidak pernah bisa menghargai perasaan orang lain.."
Akmal menghempaskan napasnya berkali-kali, ketika akhirnya dia mengakhiri ceritanya.
Aku merasa trenyuh mendengar semua itu. Pantas saja, Akmal begitu acuh padaku saat pertama kali aku bertemu dengannya.
"tapi tidak semua orang kaya seperti itu, Akmal. Masih banyak kok orang kaya yang berhati baik.." ucapku akhirnya, setelah cukup lama terhanyut mendengar kisah pilu kehidupan Akmal.
"dulunya aku selalu berpikir, bahwa setiap orang kaya pasti berperilaku sama." ucap Akmal lemah, "namun semenjak aku mengenal bang Andre, penilaian ku berubah. Bang Andre baik, bahkan sangat baik padaku." lanjutnya lirih.
"aku akan selalu baik sama kamu Akmal. Karena kamu juga pemuda yang baik. Terus terang aku kagum sama kamu. Kamu kuat. Kamu tidak menyerah oleh kehidupan ini." ucapku tulus.
"kegagalan demi kegagalan yang membuat aku kuat, bang. Hidup memang keras, tapi aku harus lebih keras lagi." balas Akmal lugas.
"lalu bagaimana dengan kakak mu sekarang?" tanyaku kemudian.
"kakak ku sekarang bekerja jadi buruh cuci keliling. Dia sepertinya trauma untuk mengenal laki-laki. Kisah cintanya yang berakhir tragis, membuat ia selalu menutup diri akan kehadiran laki-laki dalam hidupnya." jelas Akmal.
"kamu seharusnya memberikan dukungan lebih pada kakak kamu." timpalku ringan.
"aku selalu memberikan dukungan untuk kakak ku. Aku selalu mendukung apa pun keputusan yang dia ambil dalam hidupnya.." balas Akmal.
****
Aku dan Akmal semakin dekat dan akrab. Hampir setiap hari kami selalu bersama. Berbagi cerita, bercanda dan tertawa bersama.
Aku merasa bahagia dengan semua itu. Kedekatanku dengan Akmal adalah jalan bagiku untuk bisa merebut hatinya.
"jadi selama ini kamu belum pernah pacaran?" tanyaku pada Akmal di suatu senja.
"semenjak aku mendengar penghinaan terhadap keluarga kami oleh orangtua pacar kakak ku, aku jadi ikut trauma untuk dekat-dekat dengan perempuan. Aku tidak ingin kejadian yang menimpa kakak ku, juga akan menimpa ku." jawab Akmal lirih.
"tapi sebagai laki-laki kamu secara fisik sangat menarik loh, Mal. Kamu juga cowok yang baik, rajin dan pekerja keras. Pasti banyak cewek-cewek yang suka sama kamu." ujarku pelan, sengaja memujinya.
"aku tidak pernah memikirkan hal itu, bang. Aku lebih fokus untuk bekerja. Aku harus bekerja keras, untuk mengangkat derajat hidup keluarga kami." balas Akmal.
"tapi kalau hanya bekerja sebagai buruh angkut, bagaimana hidup mu akan membaik?" ucapku hati-hati, takut Akmal akan tersinggung.
"yah, aku tahu. Tapi aku tidak ingin selamanya seperti ini. Aku ingin berubah. Hanya saja sampai saat ini, hanya pekerjaan inilah yang bisa aku lakukan." balas Akmal sedih.
"mang Rohim, orang kepercayaan papa di toko, sudah lama ingin berhenti dari pekerjaannya. Namun papa belum menemukan orang yang tepat untuk menggantikannya. Jadi aku menawarkan pada papa, untuk kamu bisa menggantikan posisi mang Rohim. Agar kamu bisa punya penghasilan yang lebih." ucapku kemudian.
"kenapa bang Andre begitu baik padaku?" tanya Akmal, setelah untuk beberapa saat ia terdiam, mendengarkan kalimatku barusan.
"kamu orang yang baik, Akmal. Kamu rajin dan jujur. Aku rasa kamu adalah orang yang tepat untuk bisa menggantikan mang Rohim." balasku pelan.
"itu bukan alasan, mengapa bang Andre begitu baik padaku. Aku tahu, niat bang Andre baik. Tapi aku tidak ingin terjebak dengan entah permainan apa yang sedang bang Andre mainkan saat ini." suara Akmal serak.
"maksud kamu apa?" tanyaku penasaran.
"aku memang orang kampung dan miskin, bang. Tapi aku bukan orang bodoh. Aku yakin, ada alasan lain, yang membuat bang Andre begitu baik padaku. Meski aku tidak tahu pasti apa itu." jawab Akmal masih dengan suara serak.
"aku hanya ingin membantu kamu, Akmal. Tidak ada niat apa-apa dibalik itu semua. Meski jujur saja, aku memang menyukai kamu. Aku mengagumi kamu. Dan bahkan mungkin aku telah jatuh cinta padamu. Bahkan sejak pertama kali aku melihat kamu." ucapku berusaha untuk jujur.
"tapi aku cukup sadar, kalau kamu jelas tidak mungkin akan punya perasaan yang sama denganku. Karena itu, aku hanya memendamnya selama ini. Tapi itu bukan alasanku untuk membantu kamu. Aku membantu kamu murni hanya karena aku ingin hidupmu berubah." lanjutku lagi menjelaskan.
"apa yang membuat bang Andre menyukai saya? Saya hanya seorang pemuda kampung yang miskin. Saya tidak punya apa-apa untuk di cintai." suara Akmal pilu.
"kamu punya banyak hal untuk di cintai, Mal. Kamu tampan dan gagah. Kamu juga baik, rajin dan jujur." balasku penuh perasaan, mengungkapkan kekagumanku padanya.
"tapi aku hanya lelaki miskin, bang Andre." ucap Akmal lemah.
"kamu jangan merendahkan dirimu sendiri seperti itu, Mal. Aku tidak pernah menilai seseorang dari materi. Aku suka laki-laki yang bekerja keras, bukan laki-laki manja yang hanya mengharapkan harta orangtuanya." suaraku pelan.
"apa yang bisa aku berikan untuk cinta yang begitu besar dari bang Andre. Aku tidak punya apa-apa, bang." suara Akmal lemah.
"kamu punya hati yang besar untuk dicintai, Mal. Dan aku ingin masuk ke dalamnya. Menatap disana untuk selamanya." balasku puitis.
"sekali pun aku bisa mencintai bang Andre seperti bang Andre mencintaiku. Kita juga tidak mungkin bisa bersama, bang. Karena kita berjenis kelamin sama. Tidak ada yang bisa menerima hubungan seperti itu. Tidak satu pun. Dan terutama dari orangtua bang Andre sendiri." Akmal berucap lagi, kali ini sangat pelan, aku hampir tak mendengarnya.
"bukankah cinta itu hak setiap orang, Mal. Siapa pun berhak untuk jatuh cinta. Tak peduli kepada siapa pun rasa cinta itu jatuh, sekali pun ia jatuh pada sesama jenisnya." ucapku ringan.
"iya, aku tahu. Aku memang belum pernah pacaran, tapi bukan berarti aku belum pernah jatuh cinta. Aku pernah jatuh cinta pada seorang gadis di desa ku ini, tapi aku hanya bisa memendamnya. Seperti yang aku katakan, aku merasa trauma untuk dekat-dekat dengan seseorang." balas Akmal.
"lalu apa kamu juga takut? Untuk belajar mencintaiku?" tanyaku kemudian.
"entahlah, bang. Seandainya saja bang Andre bukan laki-laki, mungkin aku akan memberanikan diri untuk mencobanya." balas Akmal.
"tapi kita tetap bisa berteman kan, Mal? Meski kamu sudah tahu siapa aku sebenarnya?" tanyaku lagi.
"kita akan tetap berteman, bang. Tapi aku tidak bisa berjanji, kalau hubungan kita akan bisa berkembang lebih lanjut lagi. Selain karena taraf kehidupan kita yang berbeda, kita juga sejenis, bang. Terlalu banyak resiko yang harus kita hadapi ke depannya, jika kita tetap nekat bersama." jawab Akmal lugas.
"aku siap menanggung resiko apa pun, Mal. Aku siap kehilangan segalanya, jika itu adalah harga yang harus aku bayar untuk bisa bersama kamu." ucapku tulus.
"bang Andre gak usah berlebihan. Aku tak pantas untuk mendapatkan itu semua, bang. Aku bukanlah orang yang tepat, untuk bisa menerima semua pengorbanan bang Andre. Bukan saja karena kita sejenis, tapi juga karena kita berbeda kasta." balas Akmal lemah.
"kamu jangan pernah membandingkan cinta dengan materi, Mal. Itu adalah dua hal yang berbeda. Jika aku mencintai seseorang, aku tak akan peduli dengan status sosialnya." ucapku yakin.
"aku tidak akan memaksa kamu, Mal. Untuk bisa mencintaiku. Tapi aku ingin kita tetap berteman. Hanya itu." lanjutku lagi.
Kali ini Akmal hanya terdiam. Dia menatap keremangan senja. Dan aku semakin mengagumi sosok indah itu. Begitu sempurna. Sesempurna cintaku padanya.
*****
Part 3
Setahun akhirnya berlalu, aku sudah lulus kuliah. Dan aku akhirnya menerima tawaran papa untuk mewarisi usahanya. Bukan karena aku benar-benar tertarik akan hal itu, tapi karena aku ingin selalu bersama Akmal. Meski pun sampai saat ini, Akmal masih belum membuka hatinya untukku.
Dan mungkinkah Akmal akan bisa membuka hatinya untukku?
Mungkinkah aku akan mampu merebut hatinya?
Simak kisah ini sampai selesai ya..
Namun sebelumnya bla..bla..
*****
Aku memang berhasil membujuk Akmal untuk menerima tawaran ku. Sekarang Akmal sudah jadi orang kepercayaanku di toko.
Hidupnya juga sudah mulai membaik.
Kakak perempuannya juga akan segera menikah dengan seorang laki-laki yang juga berasal dari desa itu.
"makasih, bang Andre. Abang sudah sangat banyak membantu ku selama ini." ucap Akmal suatu ketika.
"kamu jangan terlalu memikirkan hal tersebut, Akmal. Sudah seharusnya aku melakukan hal tersebut untuk kamu. Kamu pantas mendapatkannya." balasku.
"lalu bagaimana dengan bang Andre sendiri? Apa yang bisa aku lakukan untuk bang Andre?" tanya Akmal terdengar serius.
"kamu tidak perlu melakukan apa pun, Mal. Aku sudah cukup bahagia dengan hanya menjadi sahabatmu. Aku bahagia, bisa melewati hari-hari bersamamu." balasku pelan.
"apa bang Andre masih mau memberikan aku kesempatan, untuk bisa menjalin hubungan yag lebih dari sekedar sahabat dengan ku?" tanya Akmal tiba-tiba, setelah untuk sesaat ia terdiam.
"pertanyaannya bukan itu, Mal. Tapi apa kamu sudah siap untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekedar sahabat dengan ku?" tanyaku membalas.
"apa aku punya pilihan lain, bang? Kebaikan bang Andre selama ini, sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa betapa bang Andre sangat sayang padaku. Dan aku tidak bisa lagi mengabaikan hal itu. Bukan saja karena aku ingin mencobanya, tapi juga karena hatiku sepertinya sudan mulai terbuka untuk bang Andre.." jawab Akmal panjang lebar, yang membuatku sedikit menyunggingkan senyum.
Tiba-tiba saja rasa bahagia mengalir indah di hatiku mendengar kalimat Akmal barusan.
Sekian lama aku menunggu semua itu. Sekian lama aku menanti pintu hati Akmal bisa terbuka untukku. Dan sekarang sepertinya semua itu akan menjadi nyata.
"kamu yakin, Mal?" tanyaku lebih kepada meyakinkan diri ku sendiri.
"aku yakin, bang. Aku akan mencobanya. Meski sejujurnya aku masih merasa ragu dengan perasaanku sendiri. Karena itu aku ingin mencobanya. Aku ingin tahu, apakah yang aku rasakan saat ini adalah cinta atau hanya karena aku merasa kasihan.." balas Akmal.
"kamu tidak perlu merasa kasihan padaku, Mal. Aku baik-baik saja. Meski jujur saja, aku memang sangat berharap bisa memiliki mu lebih dari sekedar sahabat." timpalku pelan.
"mungkin lebih tepatnya, bukan perasaan kasihan, bang. Tapi mungkin karena aku merasa sudah berhutang budi banyak pada bang Andre." balas Akmal cepat.
"apa pun alasan kamu untuk mencobanya, Mal. Aku ingin kamu melakukannya dari hati, bukan karena terpaksa.." ucapku kemudian.
"iya, bang Andre. Aku ingin mencobanya dan itu adalah dari hatiku yang terdalam." balas Akmal terdengar yakin.
"jadi mulai saat ini, kita bukan lagi hanya sekedar sahabat. Kita pacaran? Dan apa itu masih terdengar aneh bagimu?" tanyaku ragu.
"sejujurnya memang terdengar aneh sih, bang. Tapi sepertinya aku memang harus membiasakan diri akan hal itu. Aku akan belajar, bang. Tapi aku ingin semuanya pelan-pelan saja." balas Akmal lagi.
"iya, Mal. Aku juga gak mau buru-buru. Kita lewati saja semuanya apa adanya. Dan biarkan perasaan kita berkembang dengan kebersamaan kita." ucapku lagi.
****
Dan begitulah akhirnya, aku dan Akmal pun menjalin hubungan asmara. Namun hubungan kami tetaplah hanya sebuah rahasia. Tidak ada yang tahu, kecuali kami berdua.
Aku sengaja membeli rumah di desa tempat tinggal Akmal, untuk kami bisa menikmati waktu berdua dengan bebas.
Hampir setiap malam kami bersama. Memadu kasih, berbagi cerita dan saling bermesraan. Layaknya sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta. Indah.
Aku merasa bahagia dengan semua itu. Aku semakin mencintai Akmal. Aku semakin takut kehilangan dirinya.
Akmal yang tampan, gagah dan kekar. Sungguh aku merasa bangga bisa memilikinya. Aku curahkan seluruh cintaku untuknya. Aku berikan semua yang aku miliki untuknya. Aku serahkan jiwa raga ku padanya. Aku pasrahkan hidupku padanya.
Cintaku untuk pemuda desa yang tampan begitu sempurna. Dan Akmal pun telah menyerahkan seluruh hatinya padaku.
"semakin hari, aku semakin mencintai bang Andre. Aku semakin sayang sama bang Andre. Aku harap kita tetap bisa bersama selamanya. Aku harap bang Andre tidak akan pernah meninggalkanku." ucap Akmal suatu malam padaku, ketika untuk kesekian kalinya kami bersama.
"aku tidak akan pernah meninggalkan kamu Akmal. Tidak akan pernah! Sekali pun dunia ini tidak lagi membutuhkan cinta, aku akan mencintai kamu Akmal, selalu dan selama-lamanya." jawab ku puitis, tulus dari hatiku yang terdalam.
"lalu bagaimana dengan masa depan bang Andre sendiri?" tanya Akmal kemudian.
"maksud kamu?" tanyaku tak mengerti.
"sebagai anak tunggal dan merupakan pewaris satu-satunya usaha papa bang Andre, tentunya orangtua bang Andre sangat ingin bang Andre untuk segera menikah dan punya keturunan, itu merupakan keinginan yang wajar dari setiap orangtua, apa lagi bang Andre adalah anak satu-satunya mereka." jelas Akmal dengan nada sedikit lemah.
"kita tidak usah membicarakan hal itu saat ini, Mal. Lebih baik kita nikmati saja kebersamaan kita. jangan rusak keindahan cinta kita, dengan memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi.." balasku ringan.
"tapi hal itu pasti akan terjadi suatu saat nanti, bang. Dan kita tidak bisa memungkiri hal itu." ucap Akmal lagi.
"kalau memang hal itu harus terjadi, kita akan pikirkan hal itu nanti, Mal. Namun saat ini aku mohon padamu, untuk kita tetap menikmati kebersamaan kita. Jangan usik kebahagiaanku saat ini, Mal." ucapku pelan, sambil dengan lembut mengusap pipi Akmal.
Akmal memegang tanganku, menariknya lembut dan kemudian mengecupnya dengan hangat.
Aku tersenyum penuh kebahagiaan. Rasanya hal sesederhana itu saja sudah mampu membuatku melayang.
Perlahan kami pun saling mendekat. Mencoba menikmati malam kami, untuk kesekian kalinya.
Dan hal itu selalu terasa indah bagiku. Akmal memang laki-laki yang luar biasa. Dia selalu mampu membawaku terbang dalam angan mimpi yang sempurna.
Aku selalu di buatnya terbuai dan terlena, hingga aku lupa akan semua persoalan dunia. Yang ada hanya aku dan Akmal.
Tak sedetik pun waktu yang terlewatkan, tak tersisa. Semuanya ditelan keindahan. Raga ku menyerah. Pasrah. Ku biarkan Akmal mendapatkan semuanya.
Ku biarkan dia dan aku menyatu. Berlari beriringan, tak ingin saling mendahului. Tak ingin saling melepaskan.
Hingga semua impian kami malam itu tercapai. Bersamaan. Berdua. Dan itu terasa sangat indah. Begitu indah. Seindah cinta yang terus berkembang di hati kami.
*****
Begitulah hari-hari yang kami lalui bersama. Kami bahagia dengan cinta kami. Kami tidak ingin terpisah lagi.
Hingga hampir setahun hubungan kami terjalin. Tidak pernah ada masalah apa pun di antara kami.
Semuanya berjalan dengan indah. Bahkan terlalu indah untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Namun hubungan indah kami sepertinya mulai mendapatkan sandungan.
Ya, berawal dari keinginan mama dan papa ku yang menginginkan aku untuk segera menikah.
"kami ingin menikmati masa tua kami sambil menimang cucu, Ndre." begitu ucap mama beralasan untuk aku segera menikah.
"tapi aku masih 27 tahun, Ma. Aku masih belum memikirkan hal itu untuk saat ini." timpalku.
"usia 27 tahun itu sudah matang loh, Ndre. Kamu juga sudah punya pekerjaan yang mapan. Kamu mau tunggu apa lagi. Kalau kamu kesulitan mencari pendamping hidup, mama ada calon buat kamu." ucap mama lagi.
"saya gak suka di jodohkan, Ma. Saya masih bisa mencari pasangan saya sendiri." balas ku sedikit sengit.
"tapi nyatanya sampai saat ini, kamu belum pernah memperkenalkan satu perempuan pun pada mama." balas mama cepat.
"kan udah saya bilang, Ma. Untuk saat ini saya belum memikirkan hal itu. Saya masih butuh waktu, Ma. jadi mama dan papa sabar ya.." ucapku akhirnya.
"mama akan beri kamu waktu, Ndre. Tapi jika dalam satu tahun ini, kamu belum juga menemukan pasangan kamu, mama akan ambil tindakan sendiri." ucap mama tegas.
Setelah berkata demikian, mama pun pergi meninggalkan ku sendirian.
Tiba-tiba saja aku menjadi dilema. Sungguh sebuah pukulan yang berat bagiku.
Aku tak ingin menikah dengan siapa pun, kecuali dengan Akmal, orang yang sangat aku cintai saat ini.
Namun siapa yang bisa menerima hubungan kami? Tidak seorang pun yang akan menyetujuinya, apa lagi mama dan papa. Mereka pasti akan menghujatku, jika mereka tahu, kalau aku menjalin hubungan asmara bersama Akmal.
Tapi aku tidak bisa mencintai siapa pun lagi, kecuali Akmal. Hatiku sudah dipenuhi oleh namanya. Dan aku tidak ingin menggantikannya dengan siapa pun.
*****
Part 4
Aku sungguh berada di dalam dilema yang nyata. Aku berada dalam pilihan yang sulit.
Antara tetap bertahan dengan hubungan terlarang ku bersama Akmal, dengan resikonya aku akan menjadi anak yang durhaka.
Atau mengikuti keinginan orangtuaku untuk segera menikah, dengan resikonya aku akan kehilangan Akmal, orang yang paling aku cintai.
Bagaimanakah akhir dari kisah ku ini?
Mampukah kami mempertahankan hubungan kami?
Atau kah kami akan terpisahkan oleh keadaan?
Simak kelanjutan kisah ini sampai selesai ya...
Namun sebelumnya bla.. bla...
****
"bukankah dulu, aku pernah mengatakan hal ini pada bang Andre. Tapi bang Andre tak pernah menganggapnya serius. Dan sekarang semuanya terjadi kan?" ucap Akmal, ketika akhirnya aku menceritakan semuanya padanya.
"aku terlalu mencintai kamu, Mal. Karena itu, aku tidak ingin memikirkan hal tersebut. Aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita. Tapi sekarang, aku justru jadi bingung." balasku lemah.
"bang Andre gak perlu bingung. Bang Andre turuti saja kemauan orangtua bang Andre. Aku gak apa-apa, kok. Aku siap berbagi bang Andre dengan istri bang Andre nantinya." ucap Akmal.
"masalahnya bukan itu, Mal. Aku yang tidak siap hidup bersama orang lain. Aku hanya ingin hidup bersama kamu selamanya." balasku pilu.
"tapi kita sama-sama tahu, bang. Hal itu jelas tidak mungkin. Kita memang saling mencintai, tapi kita tidak mungkin menyatu secara utuh. Jadi lebih baik, abang menikah saja. Karena pada akhirnya aku juga bakalan nikah, bang. Karena itu adalah kodrat kita sebagai laki-laki." ucap Akmal.
"tidak ada keharusan bagi kita untuk hidup sesuai dengan kodrat itu, Mal. Kita sebenarnya bebas memilih jalan hidup kita sendiri." ucapku tanpa sadar.
"lalu bang Andre mau nya gimana?" tanya Akmal.
"aku ingin kita pergi dari sini, Mal. Aku ingin kita pergi ke luar negeri, dimana kita bisa bebas menjadi diri kita sendiri. Dan kita bebas untuk menjalin hubungan kita.." ucapku akhirnya, setelah untuk beberapa saat kami terdiam.
"itu bukan pilihan yang tepat, bang. Bagaimana dengan orangtua bang Andre? Mereka pasti akan sangat kehilangan bang Andre. Dan aku tidak ingin menjadi orang yang berusaha memisahkan seorang anak dari orangtua nya." ucap Akmal lemah.
Kali ini aku terdiam. Benar-benar terdiam.
Apa yang dikatakan Akmal memang benar adanya. Tapi aku tidak ingin menikah dengan siapa pun. Aku hanya ingin hidup berdua bersama Akmal.
"cinta tidak seharusnya membuat kita buta, bang. Cinta tidak boleh egois. Kita harus lebih berlapang dada untuk menerima semua ini." Akmal berucap lagi.
"aku juga sangat mencintai bang Andre. Tapi aku tidak ingin menjadi orang yang egois dengan memiliki bang Andre seutuhnya. Seandainya saja, kita tidak sejenis, bang. Aku akan melakukan apa saja, agar kita tetap bisa bersama." lanjut Akmal.
"kalau kamu memang benar-benar mencintaiku, Mal. Harusnya kamu marah karena aku akan menikah, bukan malah mendukung." ucapku tiba-tiba, entah apa maksud dari ucapan itu.
"apa bang Andre mau, aku datang ke rumah orangtua bang Andre dan melamar bang Andre? seperti yang dilakukan seorang laki-laki kepada orang yang dicintainya." timpal Akmal sedikit sengit.
"jika itu bisa membuktikan, bahwa betapa aku mencintai bang Andre, aku akan melakukannya." lanjutnya tegas.
"bukan itu maksud ku, Mal. Aku juga gak mau orangtua ku tahu tentang hubungan kita, itu merupakan hal sangat memalukan. Tapi apa kamu gak ingin menerima tawaran ku, untuk kita pindah ke luar negeri?" balasku ringan.
"aku ingin, bang. Tapi apa abang tidak memikirkan perasaan orangtua abang? Hal itu terlalu besar resikonya, bang. Dan aku takut, pilihan itu pada akhirnya akan menghancurkan hidup kita." timpal Akmal lagi.
"hidup kita sudah terlanjur hancur, Mal." suara ku serak. Aku merasakan mata ku memerah. Perih sekali rasanya hatiku.
"belum, bang. Hidup kita belum hancur. Kita masih punya pilihan lain." ucap Akmal.
"pilihan apa yang kita punya saat ini, Mal?" tanyaku dengan nada lirih. Aku merasakan setetes air hangat mengalir di pipi ku tiba-tiba.
"bang Andre menikah, dan kita tetap bersama. Itu pilihannya, bang. Pilihan yang tidak menyakiti siapaa pun." ucap Andre, suaranya ikut serak.
"tapi itu menyakiti kita berdua, Mal.." aku berujar sambil mengusap pipi ku sendiri, berusaha menghapus tetesan air mata ku yang terus mengalir.
"itulah cinta, bang. Tingkat tertinggi dari mencintai adalah merelakan. Kita memang terluka, tapi kita tidak saling menyakiti. Dan itu jauh lebih baik, dari pada harus mengorbankan hubungan bang Andre dengan orangtua bang Andre." balas Akmal, terdengar sangat bijak.
Dan aku tersentuh. Jika Akmal yang bahkan jauh lebih muda dari ku bisa berpikiran seperti itu, kenapa aku masih begitu bersikeras untuk mempertahankan ego ku.
****
Mama memperkenalku dengan Jeni, gadis yang akan dijodohkan denganku.
Aku memang akhirnya harus menerima permintaan mama, meski hatiku sakit karenanya.
Aku tidak ingin berdebat lagi dengan mama, soal jodoh. Aku pasrah.
Mungkin memang sudah jalannya seperti ini. Aku sudah tidak bisa menghindarinya lagi.
Dan aku juga sudah punya perjanjian dengan Akmal. Walau sebenarnya kami berdua tidak bisa menerima semua itu.
Seperti yang Akmal katakan, kami memang terluka tapi setidaknya kami tidak saling menyakiti.
Dan sebenarnya begitulah kisah cinta dalam dunia pelangi. Tidak ada yang akan bertahan lama. Bukan karena mereka tidak saling mencintai, tapi hubungan seperti itu memang tidak bisa diterima oleh siapa pun.
Namun aku sungguh beruntung mendapatkan Akmal. Dia sangat penuh pengertian. Dan aku tidak akan pernah meninggalkannya.
"jadi seminggu lagi bang Andre akan menikah?" tanya Akmal suatu malam, saat kami kembali bertemu untuk kesekian kalinya.
Aku hanya mengangguk ringan menjawab pertanyaan itu. Hati ku sakit mendengarnya.
Sejak aku bertunangan dengan Jeni. Hubungan kami memang agak sedikit meredup. Kami jadi jarang tertawa. Kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan saling berdiam diri.
Kami takut, setiap kata yang keluar, hanya akan memancing rasa sakit di hati kami. Hanya akan mengingatkan kami, akan sebuah perpisahan.
"kita akan tetap bersama, Mal. Aku akan selalu ada untukmu. Kamu tetap yang pertama bagiku." ucapku akhirnya dengan nada lirih.
"iya, aku tahu, bang. Aku hanya ingin memastikan seberapa besar sebenarnya luka yang aku rasakan saat ini." ucap Akmal lagi, suaranya parau.
"kamu jangan berkata seperti itu, Mal. Aku sakit mendengarnya." balasku ikut parau.
"kita sudah janji, tidak akan membahas hal ini lagi, Mal." lanjutku lagi.
"iya, bang. Aku minta maaf. Mungkin memang untuk sementara kita tidak usah bertemu dulu. Setidaknya sampai kita benar-benar bisa menerima semua kenyataan ini." balas Akmal, masih dengan suara parau.
"tapi aku masih ingin terus bersama kamu, Mal." ucapku pilu.
"aku mohon, bang. Kalau bang Andre memang benar-benar mencintaiku, biarkan untuk sementara aku sendiri dulu.." ucap Akmal sedikit memohon.
Aku jadi tidak tega mendengarnya. Karena itu aku pun menyetujui permintaan Akmal tersebut.
Apa lagi, aku juga butuh waktu untuk mempersiapkan pernikahanku.
Kami pun memutuskan untuk tidak bertemu sementara waktu.
*****
Sejak pertemuan terakhir itu aku tidak pernah lagi bertemu Akmal. Dia juga tidak datang pada pesta pernikahanku.
Aku coba memakluminya. Mungkin dia tidak sanggup untuk menghadiri pesta pernikahanku.
Namun seminggu setelah pernikahanku, aku mencoba mendatangi desa Akmal.
Aku mendatangi toko, Akmal tidak ada di sana.
Menurut keterangan salah seorang pekerja toko, Akmal sudah berhenti dan mengundurkan diri.
Aku coba datangi rumahnya, menurut keterangan kakaknya, Akmal sudah pergi dari rumah lebih dari seminggu yang lalu.
Ketika ku tanya kemana Akmal pergi, kakaknya juga tidak tahu.
"Akmal pergi tiba-tiba, tanpa penjelasan. Dia hanya mengatakan akan mengadu nasib ke kota lain.." begitu penjelasan kakak Akmal padaku. Aku tidak berani bertanya lebih lanjut.
Berkali-kali aku coba menghubungi ponsel Akmal, tapi tidak pernah aktif.
Sepertinya Akmal memang sengaja pergi. Dia sengaja menghindariku. Dia sengaja meninggalkanku.
Aku merasa terluka menyadari semua itu.
Mengapa Akmal harus memilih jalan itu?
Mengapa dia harus pergi?
Dia pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun, yang membuatku semakin bingung.
Dan sejak saat itu, hubunganku dengan Akmal pun berakhir begitu saja. Tanpa ada kata putus, tanpa ada kata perpisahan.
Aku tidak pernah bertemu Akmal lagi, sejak saat itu.
Dan begitulah akhir kisahku bersama seorang pemuda kampung yang tampan dan gagah itu.
Cinta semusim. Seperti banyak yang terjadi dalam dunia percintaan sesama jenis.
Indah. Berkesan. Namun selalu berakhir dengan menyakitkan.
Terima kasih sudah menyimak kisah ini sampai selesai.
Semoga terhibur, sampai jumpa lagi pada kisah-kisah selanjutnya.
Salam sayang untuk kalian semua.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar