Aku menikah dengan seorang janda yang mempunyai seorang anak laki-laki remaja yang sudah berusia lima belas tahun waktu itu.
Janda itu, namanya Ranti, sebenarnya masih berusia 34 tahun, dua tahun lebih muda dariku.
Ranti dulunya menikah dengan suami pertamanya pada saat usianya masih 18 tahun. Dia dipaksa menikah oleh orangtuanya dengan seorang juragan tua yang kaya, demi melunasi hutang orangtuanya.
Tentu saja Ranti hanyalah istri simpanan juragan tua tersebut. Dan sebagai istri simpanan, Ranti tidak mendapatkan warisan apa pun untuk anaknya, ketika akhirnya juragan tua itu meninggal setelah tujuh tahun mereka menikah.
Sejak saat itu Ranti pun hidup menjanda. Dia berusaha membesarkan anaknya sendirian.
Kedua orangtua nya juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.
Sampai akhirnya kami pun dipertemukan. Kami bertemu tak sengaja di loundry tempat Ranti bekerja.
Aku memang sudah menjadi langganan di loundry tersebut sejak lama.
Dari perkenalan dengan Ranti tersebut, kami jadi sering ngobrol dan menjadi kian dekat.
Dan aku pun memutuskan untuk menikahi Ranti, meski keluarga banyak yang menentangnya, karena Ranti yang seorang janda dan juga sudah punya seorang putra.
Pernikahan kami pun berlangsung dengan sangat sederhana.
Dan dari situlah kisahku bersama anak tiriku yang tampan itu dimulai..
Bagaimanakah keseruan kisah ini?
Silahkan simak sampai selesai ya..
Namun sebelumnya bla.. bla...
*****
Namaku Darwis. Saat ini usiaku sudah 39 tahun. Dan sudah tiga tahun aku menikah dengan Ranti, janda cantik yang memiliki seorang putra bernama Raka.
Raka sekarang sudah besar, ia sudah berusia 18 tahun dan sudah mulai kuliah.
Raka tumbuh menjadi anak yang cerdas, sedikit pendiam dan juga sopan.
Raka juga tumbuh sebagai seorang pemuda yang berwajah tampan, sepertinya ia menuruni kecantikan wajah ibunya. Postur tubuh Raka juga sangat kekar dan gagah.
Awalnya aku menganggap Raka hanya sebagai anak tiriku. Aku berusaha menyayanginya seperti anak ku sendiri. Apa lagi pernikahan ku dengan Ranti juga belum dikaruniai anak.
Namun semakin Raka tumbuh dewasa, aku mulai merasa tertarik padanya. Aku menyukainya. Aku mengaguminya, bahkan mungkin aku telah jatuh cinta padanya.
Aku memang punya masa lalu yang sedikit gelap. Aku tumbuh tidak seperti kebanyakan laki-laki pada umumnya. Aku tumbuh dengan perasaan suka kepada sesama jenis. Karena itu juga aku jadi sedikit terlambat untuk menikah.
Secara ekonomi kehidupan ku memang cukup mapan. Aku lahir dari keluarga yang berkecukupan.
Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak pertama ku laki-laki dan sudah lama menikah, bahkan sudah mempunyai tiga orang anak saat ini.
Adik ku perempuan, juga sudah lama menikah dan juga sudah mempunyai dua orang anak.
Sebagai seorang laki-laki yang tumbuh dengan perasaan suka kepada sesama jenis, aku memang tidak pernah pacaran dengan perempuan.
Aku justru sering menjalin hubungan dengan sesama laki-laki. Aku pernah pacaran beberapa kali dengan laki-laki yang aku suka. Meski pun pada akhirnya hubungan percintaan ku selalu kandas. Karena hubungan seperti itu memang tidak akan pernah bertahan lama.
Sampai akhirnya aku bertemu Ranti. Sebenarnya aku tidak punya perasaan spesial untuk Ranti.
Hanya saja, aku merasa perihatin mendengar semua kisah tentang perjalanan hidupnya. Aku menjadi simpati padanya, yang membuat kami akhirnya dekat.
Aku pun memutuskan untuk menikahi Ranti, selain karena kasihan, aku juga butuh status.
Sebagai seorang pengusaha yang sukses, aku memang sudah lama dituntut oleh keluarga ku untuk segera menikah.
Dan pilihan ku jatuh pada Ranti, yang pada awalnya di tentang oleh keluarga ku. Karena menurut mereka, aku masih bisa mendapatkan seorang gadis.
Tapi aku tetap bertekad menikahi Ranti, selain karena aku ingin mengangkat derajat hidupnya, aku juga yakin Ranti adalah wanita yang baik dan penuh pengertian.
****
Hari-hari berlalu, aku mencoba menjalani kehidupan ku sebagai seorang laki-laki. Menjadi seorang suami bagi Ranti dan menjadi seorang ayah tiri bagi Raka.
Aku memang sudah sangat dekat dengan Raka. Sebagai seseorang yang telah lama kehilangan sosok seorang ayah dalam hidupnya, Raka memang dengan begitu mudah menyambut kedatangan ku dalam kehidupannya.
Aku memang menyayangi Raka dan berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Namun perasaan cinta yang tumbuh di hatiku untuknya akhir-akhir ini, justru membuatku semakin tersiksa.
Bayangan Raka selalu menghiasi fantasi ku setiap malam. Hal yang sudah sangat lama tidak aku rasakan, setidaknya sejak aku memutuskan menikah dengan Ranti.
Keinginana untuk bisa memiliki Raka tumbuh begitu besar di hatiku. Aku sudah bertekad untuk bisa mendapatkannya walau dengan cara apa pun.
"mau liburan kemana kali ini, Ka?" tanya ku pada suatu pagi. Kami hanya berdua di rumah, Ranti sedang pergi ke pasar.
Sekarang memang sedang musim liburan. Biasanya setiap kali musim liburan datang, kami bertiga, aku, Raka dan Ranti, biasanya pergi berliburan selama beberapa hari ke daerah-daerah yang belum pernah kami datangi. Hal itu sudah menjadi rutinitas tahunan bagi kami.
"terserah om Darwis aja..." ucap Raka ringan. Raka memang selalu memanggil ku om, dan aku tidak pernah mempermasalahkannya. Yang penting Raka bisa menerima kehadiran ku dalam hidupnya.
"bagaimana kalau kali ini, kita liburannya khusus laki-laki aja?" tanya ku menawarkan.
"maksudnya, om?" Raka balik bertanya.
"iya, kali ini kita liburannya berdua aja..." jelasku ringan.
"lalu bagaimana dengan Ibu?" tanya Raka lagi.
"ibu mu sepertinya kali ini gak bisa ikut.." jawabku lagi.
"kenapa?" Raka bertanya lagi.
"karena.. karena sebentar lagi kamu bakalan punya adik.." jawabku.
"maksud om, Ibu sedang hamil sekarang?" tanya Raka.
Aku hanya mengangguk ringan menjawab pertanyaan Raka barusan.
Ranti memang sedang hamil sekarang. Usia kandungan nya baru sekitar enam minggu. Dan itu bisa menjadi alasan utama bagi ku, untuk tidak mengajak Ranti berliburan.
"jadi kalau ibu gak ikut, ibu tinggal sendirian lah di rumah.." ucap Raka kemudian.
"iya. Tapi kan ada pembantu di rumah ini, untuk menemani ibu kamu. Lagi pula kita perginya hanya beberapa hari kok." jelasku ringan.
"terserah om Darwis aja. Raka ngikut aja lah, om. Yang penting tahun ini Raka bisa liburan..." balasku Raka, yang membuat aku bersorak senang di dalam hati.
Setidaknya jika aku hanya pergi berdua bersama Raka, aku jadi punya banyak kesempatan untuk mendekatinya.
Aku harus bisa memanfaatkan kesempatan tersebut. Aku harus bisa mendapatkan Raka.
****
Part 2
Setelah mempersiapkan segala sesuatunya dan setelah meminta izin kepada Ranti, istriku, aku dan Raka si anak tiriku itu pun pergi berliburan berdua.
Untuk pertama kalinya aku dan Raka pergi liburan berdua setelah hampir empat tahun aku menjadi ayah tirinya.
Sungguh sebuah moment yang sudah sangat lama aku tunggu. Setidaknya sejak aku mulai jatuh cinta kepada Raka, anak tiriku itu, yang sekarang sudah tumbuh dewasa.
Bagaimanakah kelanjutan kisah ku bersama Raka?
Mampukah aku menaklukan hati Raka?
Atau justru aku akan kehilangan keduanya? Istriku dan juga Raka?
Simak lanjutan kisah ku bersama anak tiriku yang tampan, sampai selesai ya..
Namun sebelumnya bla...bla...
****
Aku sengaja mengatur tempat liburan kami ke sebuah pulau eksotic yang berada di tengah lautan dan berada di daerah yang cukup terpencil. Pulau itu juga terkenal dengan suasana romatisnya.
Perjalanan kami tempuh dengan menaiki pesawat, lalu memakai travel dan kemudian menaiki sebuah kapal feri kecil untuk menuju pulau tersebut.
Pulau itu ternyata memang indah. Ada banyak pengunjung dari berbagai daerah yang datang ke pulau itu. Bahkan ada banyak pengunjung dari luar negeri.
Di pulau itu juga terdapat tempat penginapan, untuk para pengunjung yang bermalam disana.
Aku memang sengaja mengambil penginapan satu kamar untuk kami berdua bersama Raka, selama tiga malam.
Selain tempat penginapan, pulau ini juga menyediakan beberapa tempat hiburan dan juga pusat penjualan oleh-oleh.
Satu-satunya kelemahan pulau ini hanyalah jaringan internet nya yang tidak memadai, bahkan untuk jaringan telpon nya aja sangat susah.
Tapi itu tidak jadi masalah bagi penngunjung. Bukankah tujuan berliburan itu adalah untuk melepaskan sejenak dari segala rutinitas, terutama yang berhubungan dengan dunia internet.
Dan aku justru menyukai hal itu. Karena dengan begitu, untuk sementara aku tidak akan terganggu oleh bunyi dering handphone. Dan aku bisa fokus untuk menjalankan misi ku untuk bisa mendapatkan Raka.
Kami sampai ke pulau itu, saat hari menjelang senja. Pemandangan matahari yang hampir tenggelam menyambut kami. Sebuah pemandangan yang indah, yang menjadi daya tarik tersendiri di pulau nan eksotic itu.
Karena hari yang sudah mulai gelap, kami langsung saja menuju kamar penginapan yang sudah aku pesan sejak tadi.
"om hanya pesan satu kamar, jadi gak apa-apa kan kita tidur sekamar?" tanya ku pada Raka, saat kami sudah berada di dalam kamar tersebut.
"ya gak apa-apa sih, om. Itung-itung untuk berhemat juga kan?" balas Raka penuh pengertian.
Meski pun tujuan utama ku menyewa hanya satu kamar, adalah agar aku bisa selalu bersama Raka dan agar aku punya banyak kesempatan untuk bisa menaklukannya.
"om sudah pesan kan malam makan buat kita, dan... dan... sekaligus... beberapa minuman berat.." ucapku sedikit terbata.
"maksudnya minuman beralkohol?" tanya Raka ragu.
"iya. Kita kan kesini mau bersenang-senang Raka. Jadi sekali-kali bolehlah..." jawabku santai.
"tapi aku tidak biasa minum, om." ucap Raka lugu.
"udah tenang aja. Kita gak usah cerita kan hal ini sama ibu kamu. Ini cukup jadi rahasia kita berdua. Lagi pula kan cuma sekali ini.." balasku berusaha membujuk Raka.
Aku berharap, dengan sedikit minuman bisa membuatku lebih berani untuk mengungkapkan perasaan ku kepada Raka. Dan juga tentu saja aku berharap, agar Raka lebih mudah ditaklukan.
*****
Selesai mandi dan makan malam, kami pun berjalan-jala sebentar menyelusuri pantai, sambil menghirup udara segar.
Setelah merasa cukup capek, kami pun kembali ke penginapan.
Aku mulai membuka minuman yang sudah aku pesan tadi.
"tapi aku gak biasa loh, om.." ucap Raka, saat aku menyodorkan minuman itu padanya.
"udah.. coba aja. Enak kok.." balasku meyakinkan.
Dengan sedikit ragu, Raka mulai menenggak minuman tersebut dengan perlahan. Aku pun ikut melakukannya.
Aku menghidupkan layar televisi yang ada dalam kamar tersebut, memutar sebuah film romantis. Hanya untuk memancing suasana.
Aku mulai mengajak Raka mengobrol sambil terus menawarkan minuman padanya.
Raka mulai hanyut dalam suasana romantis itu. Ia terlihat sudah dalam pengaruh minuman tersebut.
Aku mulai melakukan aksi ku. Pelan namun penuh perasaan.
Adegan romantis dalam film yang aku putar, juga membantu untuk aku lebih mudah menguasai keadaan. Aku menjadi lebih leluasa menguasai Raka. Apa lagi pengaruh minuman itu, cukup membuatku semakin berani untuk bertindak.
"kamu sangat tampan, Raka. Kamu begitu gagah. Om menginginkan kamu malam ini." rayu ku dalam usaha ku memulai aksi ku terhadap Raka.
Raka hanya terdiam. Dia sepertinya benar-benar telah terbawa suasana. Dan aku memanfaatkan kesempatan itu dengan baik.
Aku tidak ingin malam ini berlalu begitu saja. Aku harus bisa mendapatkan Raka.
"Om sangat mencintai kamu, Raka. Om ingin memiliki mu. Malam ini dan selama-lamanya.." rayu ku lagi.
"tapi... aku.. aku... " ucapan Raka terbata.
Aku dengan cekatan menahan ucapannya itu dengan gerakan liar ku.
Raka akhirnya tidak bisa berkata apa-apa. Pengaruh minuman itu cukup membuat dia tak berdaya menerima perlakuan ku.
Raka akhirnya hanya bisa pasrah. Membiarkan ku melakukan apa yang selama ini hanya ada dalam khayalanku.
Aku berhasil membawa Raka hanyut dalam gelombang penuh keindahan.
Raka perlahan mulai bisa menikmati hal tersebut.
Cuaca malam itu cukup dingin. Namun kami justru merasa terbakar oleh gelora keinginan kami.
Aku tak ingin melepaskan Raka. Tidak sedetik pun. Dia milik ku seutuhnya malam ini.
Setiap jengkal kulitnya adalah anugerah terindah yang membuatku terbuai.
Keindahan seorang Raka, adalah pahatan maha karya yang sempurna.
Tampan, kekar dan gagah.
Aku menyerahkan diriku sepenuhnya. Tak tersisa. Aku dan Raka, hanya kami berdua malam itu.
Perjalanan yang sangat panjang, yang membuat kami merasa lelah. Namun kelelahan itu sungguh indah. Sangat indah. Begitu indah.
Dan keindahan itu kian terasa, saat akhirnya perjalanan kami sampai pada tujuan yang menjadi impian setiap insan yang di landa asmara. Indah, penuh pesona.
Hingga malam pun berlalu dengan begitu cepat.
*****
Pagi itu aku terbangun. Aku melihat Raka sedang mengemasi barang-barangnya.
"kamu mau kemana?" tanya ku heran.
"aku harus pulang. Aku tak ingin disini. Om sengaja mengajak ku kesini. Agar om bisa menguasai ku. Tak ku sangka om akan melakukan semua itu padaku.." kasar suara Raka menjawab.
"om melakukannya karena aku memang benar-benar mencintai kamu Raka..." ucapku penuh perasaan.
"bullshit! Omong kosong! Om memang sudah biasa melakukan hal ini kan? Dan aku adalah korban om yang kesekiannya.." balas Raka masih kasar.
"om memang punya masa lalu yang suram, Raka. Om memang pernah melakukan hal tersebut, tapi itu dulu, jauh sebelum om menikah dengan ibu kamu. Dan sejak kamu mulai tumbuh dewasa, tiba-tiba saja aku jatuh cinta padamu, Raka. Kamu bukan korban, Raka. Kamu adalah orang yang aku cintai..." jelas ku panjang dengan suaraku yang mulai serak.
"terserah om Darwis mau ngomong apa. Aku tidak akan percaya. Aku tidak sudi lagi melihat om. Aku benci om Darwis. Dan aku harap om segera meninggalkan ibuku. Aku tidak sudi punya ayah tiri seorang gay..." suara Raka semakin kasar.
Raka selesai mengemasi barangnya dengan acak-acakan. Lalu kemudian dia melangkah dengan terburu menuju pintu keluar.
Bunyi dentuman suara pintu yang dihempaskan Raka membuat aku merasa terhenyak
Semarah itukah Raka padaku? Bathinku lirih.
Tapi aku tak berani mengejarnya. Aku hanya bisa membiarkan Raka pergi dengan segala amarah nya.
Aku tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Aku bingung.
Jujur harus aku akui, kalau peristiwa semalam sungguh meninggalkan kesan yang begitu indah di hatiku.
Tapi saat ini hatiku rasanya hancur. Aku pikir tadi malam Raka melakukannya denganku adalah karena dia juga menginginkannya.
Namun ternyata Raka justru meninggalkanku sendiri di sini.
Aku merasa cemas, takut, dan merasa bersalah.
Meski pun aku yakin, Raka tidak akan berani menceritakan hal tersebut kepada ibunya. Tapi aku sudah tidak punya harapan lagi, untuk benar-benar bisa memiliki Raka.
Aku ingin memiliki Raka selamanya. Bukan sekedar kesenangan satu malam. Seperti yang aku rasakan malam tadi bersama Raka.
Tapi apa yang bisa aku lakukan sekarang?
Jika Raka bahkan sudah tidak sudi melihatku.
****
Part 3
Aku kembali ke rumah dengan keadaan yang tanpa semangat. Aku mengabaikan beberapa pertanyaan dari istriku.
Aku menghempaskan tubuhku di ranjang tidur kami, aku merasa sangat lelah dan terluka.
"apa yang terjadi, mas?" tanya istriku mengulang pertanyaannya.
"tidak ada yang terjadi. Kami hanya liburan." balasku dengan nada malas.
"tapi kenapa Raka pulang lebih awal? Dan sejak pulang dari sana, Raka tidak pernah keluar dari kamarnya. Kalau tidak terjadi apa-apa, Raka tak mungkin seperti itu." ucap Istriku lagi.
"mungkin dia hanya lelah. Biarkan saja dia beristirahat." balasku masih dengan nada malas.
Melihat aku yang tidak begitu mengubris pertanyaan-pertanyaannya, istri ku akhirnya meninggalkan ku sendirian di kamar.
Aku menarik napas beberapa kali, berusaha memejamkan mata untuk tertidur. Namun pikiran ku masih terasa sangat kacau.
Peristiwa yang aku alami bersama Raka malam itu, terus melintas di benakku.
Aku benar-benar dibuat gila oleh Raka. Aku benar-benar semakin mencintainya. Aku semakin menginginkannya.
Tapi saat ini Raka bahkan tidak mau keluar dari kamarnya.
Aku mengambil ponsel ku dan mengetik beberapa kalimat, lalu mengirimkan ke nomor Raka.
"sekali lagi om minta maaf Raka. Tapi sungguh om melakukan semua itu, karena om benar-benar mencintai mu.." begitu kira-kira pesan yang aku kirimkan kepada Raka.
Tidak ada balasan. Aku menunggu. Namun tetap tidak ada balasan.
****
Berhari-hari berlalu. Raka sudah keluar kamar, namun dia tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun selama aku berada di rumah.
Aku berusaha menegurnya, namun tak pernah digubris. Aku coba menelponnya namun tak pernah diangkat, aku berkali-kali mengirimkan pesan padanya, namun tak pernah ada balasan.
Mungkin Raka memang benar-benar marah padaku dan sangat membenciku.
Tapi aku adalah penguasa dalam hidupku. Aku penguasa dalam hidup mereka berdua, istri dan anak tiriku. Raka tak bisa terus memperlakukan aku seperti ini.
Untuk itu pada suatu kesempatan, aku pun masuk ke kamar Raka dengan paksa, saat ibunya sedang berbelanja ke pasar.
"kenapa kamu selalu menghindari ku?" tanya ku dengan suara sedikit kasar.
"aku membenci om Darwis.." suara Raka sinis.
"iya. Kenapa? Kenapa kamu membenci ku?" tanyaku sedikit menurunkan suara.
"aku tidak tahu. Bukankah tidak butuh alasan apa pun untuk bisa membenci?" balas Raka.
"iya. Seperti halnya kita tidak butuh alasan untuk mencintai.." balasku.
"aku tidak mencintai om Darwis.." ucap Raka.
"aku tidak mengatakan kalau kamu mencintai ku. Tapi kalau kamu memang benar-benar membenci ku, kenapa kamu masih berada disini? Kenapa juga kamu tidak cerita sama ibu mu?" ucapku bertanya.
"karena aku tidak tahu apa sebenarnya yang aku rasakan saat ini. Aku bingung, om. Seandainya saja om Darwis bukan ayah tiriku, mungkin ceritanya akan berbeda." kali ini suara Raka terdengar lirih.
"aku memang sengaja menghindari om, karena aku tidak ingin terbius lagi dengan pesona om Darwis. Dari awal aku memang menyukai om Darwis. Tapi selama ini aku hanya bisa memendamnya. Karena aku sadar om Darwis adalah ayah tiriku." Raka melanjutkan kalimatnya.
"namun sejak peristiwa malam itu. Sejak aku tahu, kalau om Darwis juga menyukai ku, aku justru menjadi bingung. Antara membiarkan diriku terjerat dalam hubungan terlarang di antara kita, atau membunuh perasaanku sendiri.." lanjut Raka lagi.
"berarti selama ini kamu juga mencintaiku?" tanya ku dengan suara berat.
"mungkin, om. Kasih sayang yang om berikan sejak aku remaja, membuat aku seakan menemukan tempat untuk bersandar. Aku telah kehilangan kasih sayang seorang ayah sejak kecil, dan kehadiran om Darwis mampu menumbuhkan perasaan nyaman dalam hatiku.." jelas Raka, suaranya semakin lirih.
"lalu mengapa setelah kejadian malam itu, pagi nya kamu begitu marah padaku? Kamu berlagak seolah-olah kamu tidak menginginkannya." tanyaku penasaran.
"karena aku merasa, apa yang telah kita lakukan adalah sebuah kesalahan, om. Aku merasa bersalah pada ibu. Aku marah pada diriku sebenarnya, yang tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri." jelas Raka lagi.
"kamu tidak berhak membunuh rasa yang tumbuh diantara kita Raka. Kita punya kesempatan untuk bersama. Jangan kau siksa hatiku dengan diam mu. Aku sakit.." ucapku pilu.
"aku tidak sedang membunuh rasa itu. Aku hanya sedang memikirkan jalan terbaik untuk kita. Seperti yang aku katakan, kalau saja om Darwis bukan ayah tiriku, aku sudah pasti akan rela hati menerima kehadiran om Darwis dalam hatiku." balas Raka terdengar sangat dewasa. Jauh lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya.
Aku saja bahkan tidak sampai berpikiran seperti itu. Aku lebih mengutamakan ego ku untuk bisa memiliki Raka seutuhnya, tanpa pernah memikirkan perasaannya, tanpa pernah memikirkan perasaan istriku.
"lalu apa jalan terbaik yang kamu temukan selama beberapa hari ini?" tanyaku akhirnya, yang sebenarnya juga aku tujukan pada diriku sendiri.
"kalau memang om Darwis mencintaiku. Tolong.. jangan bawa aku larut di dalamnya, selama om Darwis masih bersama ibuku. Aku tak mungkin berbagi om Darwis dengan ibu ku sendiri." balas Raka pelan.
"tanpa ada ibu ku di dalamnya, hubungan kita saja sudah salah, om." lanjutnya lagi.
"lalu kamu ingin aku menceraikan ibumu?" tanyaku dengan nada ragu.
"itu bukan keinginanku. Itu keputusan om." jawab Raka lugas.
"kamu jangan buat aku ikut bingung, Raka." balasku lirih.
"bukankah hubungan seperti ini memang sangat membingungkan, om. Kita tidak bisa terlepas dari hal itu. Karena itu, sebelum kita terjerat semakin jauh, aku ingin om bersikap tegas." ucap Raka membalas.
"kenapa hanya aku yang harus memilih? Kenapa kamu tidak?" tanyaku pasrah.
"karena om yang berada di posisi itu, om. Om yang harus memutuskan, bukan aku." timpak Raka cepat.
"aku tidak akan memilih dan tidak akan memutuskan apa pun." ucapku akhirnya tegas.
"aku memang sangat mencintai kamu, Raka. Tapi aku tidak mungkin bisa menikahi kamu. Hubungan kita hanyalah sebuah rahasia. Jika kamu memang juga mencintaiku. Kita jalin hubungan ini, tanpa mengorbankan siapa pun, terutama ibu mu." lanjutku semakin tegas.
Kali ini Raka terdiam. Dia hanya bungkam. Membisu.
Entah apa yang di pikirkannya. Aku juga enggan untuk menebak.
Namun yang pasti, aku tidak mungkin menceraikan istriku, hanya untuk bisa bersama Raka. Karena sekali pun aku bercerai dari ibunya, kami juga tidak mungkin bisa bersama secara utuh.
Siapa yang akan bisa menerima hubungan seperti itu?
Tidak satu pun dan tak akan pernah ada.
****
Keesokan harinya Raka tidak pulang. Dia tidak meninggalkan pesan apa pun, bahkan kepada ibunya.
Ibunya kebingungan, berkali-kali ia menelpon anaknya, namun nomornya sudah tidak aktif.
"kita lapor polisi ya, mas." ucap istriku dengan suara berat, semalaman ia tidak tidur memikirkan keberadaan anaknya. Menelpon beberapa orang teman Raka, namun tidak seorang pun yang tahu dimana Raka.
Sudah sehari semalam Raka tidak pulang, sejak ia berangkat kuliah pagi itu. Aku juga mulai khawatir. Tapi aku tahu alasan Raka pergi. Karena itu aku pun tidak setuju dengan permintaan istriku untuk melaporkan kehilangan Raka pada pihak berwajib.
"Raka sudah dewasa, Ranti. Dia pasti bisa jaga diri kok.." ucapku beralasan.
"tapi sampai sekarang belum ada kabar loh, mas. Ponselnya juga gak aktif-aktif.." keluh istriku lagi.
"aku akan cari dia. Kamu tunggu aja di rumah. Aku akan minta bantuan pada anak buah ku di kantor untuk mencari Raka.." ucapku menenangkan istriku.
Siang itu, aku dan beberapa orang bawahan ku berkeliling kota mencari keberadaan Raka. Aku tahu Raka bersembunyi, tak akan mudah menemukannya.
Aku tak menyangka Raka akan mengambil keputusan seperti itu. Setelah perdebatan kami yang panjang malam itu.
Saat dalam pencarian tersebut, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponsel ku dari nomor yang tidak aku kenal.
'om tidak usah mencariku. Aku tidak akan pulang, sebelum om membuat keputusan.' begitu bunyi pesan singkat tersebut. Sepertinya Raka sengaja menggunakan nomor baru untuk menghubungiku.
'kamu jangan bodoh Raka. Ibu mu sangat mengkhawatirkan mu.' balasku cepat, takut Raka mematikan ponselnya.
'sejak kapan om mencemaskan keadaan ibu ku? Bukankah om tidak pernah mencintainya?' balas Raka.
'om mohon sama kamu Raka. Apa pun alasan mu untuk pergi saat ini, setidaknya pikirkanlah perasaan ibu mu. Pulanglah. Kita akan bicarakan ini lagi.' aku membalas.
Kali ini tidak ada balasan. Aku menunggu. Tetap tidak ada balasan.
Aku mencoba menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata sudah tidak aktif.
Aku terdiam, tidak tahu harus melakukan apa saat ini...
****
Part 4
Raka akhirnya kembali, setelah tiga hari dia menghilang. Dia kembali dengan tampang tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Tak dihiraukannya ibunya yang menangis menyambut kepulangannya. Dia langsung menuju kamarnya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Aku merasa kesal melihat tingkah Raka. Meski pun aku sangat mencintainya, tidak seharusnya Raka bersikap seperti itu. Dia seharusnya lebih dewasa.
Tapi Raka tidak sepenuhnya salah dalam hal tersebut. Aku yang menyebabkan dia bertindak seperti itu.
Meski aku juga tidak pernah memintanya untuk juga jatuh cinta padaku.
Tapi semua sudah terlanjur terjadi. Kami sudah terlanjur saling jatuh cinta. Dan bahkan sudah terlanjur melakukan hubungan yang seharusnya tidak kami lakukan.
Sebagai ayah tirinya, aku seharusnya lebih bisa menahan diri, menahan perasaanku. Tapi Raka terlalu mempesona di mataku.
Aku tidak bisa begitu saja menolak pesonanya. Aku tidak bisa begitu saja mengabaikannya.
Dan apa lagi setelah aku tahu, kalau dia juga menyukai ku. Aku semakin punya kekuatan untuk bisa mendapatkannya.
Namun pilihan yang diberikan Raka sungguh teramat sulit untuk aku pilih. Aku tak mungkin menceraikan istriku, yang juga merupakan ibu kandung Raka, hanya demi untuk bisa bersama Raka.
Tapi Raka tidak ingin menjalin hubungan apa pun dengan ku, jika aku masih berstatus suami ibunya.
Dan hal itu membuat aku semakin bingung.
Aku memang sangat mencintai Raka. Tapi aku juga sadar, meski pun kami saling cinta, kami tidak mungkin bisa bersama secara utuh. Tidak ada yang bisa menerima hubungan seperti itu.
Tidak satu pun!
****
"aku mencintai om Darwis. Tapi aku tidak ingin menyakiti perasaan siapa pun.." lirih suara Raka berucap.
"kamu tidak menyakiti perassaan siapa pun dengan mencintai ku, Raka." balas ku pelan.
Saat itu kami ngobrol berdua di kamar Raka.
"tapi jika kita tetap nekat melanjutkan hubungan kita, bisa saja hubungan terlarang kita akan diketahui oleh ibu. Dan itu jelas akan sangat melukai perasaannya. Aku tidak ingin hal itu terjadi.." balas Raka masih dengan suara lirih.
"jadi kamu maunya gimana Raka?" tanya ku ingin tahu.
"aku ingin om Darwis tetap menjadi suami ibuku. Aku ingin om Darwis belajar untuk mencintainya. Aku ingin om Darwis belajar untuk melupakanku. Aku juga akan belajar untuk melupakan om Darwis." jelas Raka.
"dan satu hal lagi, ini yang paling penting. Aku ingin om Darwis berhenti berpetualang di dunia gay. Aku ingin om Darwis tidak lagi melirik laki-laki lain di luar sana. Om harus benar-benar bisa mencintai ibuku.." lanjut Raka lagi.
"lalu bagaimana dengan kamu sendiri, Raka? Apa kamu bisa berubah? Kamu mungkin bisa melupakan ku, tapi kamu tidak akan bisa menolak godaan laki-laki di luar sana.." balasku ringan.
"aku akan belajar untuk melupakan om Darwis. Dan itu hanya bisa aku lakukan, kalau aku tidak berada disini.." ucap Raka.
"maksud kamu?" tanyaku dengan sedikit mengerutkan kening.
"aku akan pindah kuliah ke luar kota, om. Aku sudah sampaikan hal itu pada Ibu. Dan Ibu juga sudah setuju. Dengan begitu, kita akan lebih mudah untuk saling melupakan." jelas Raka.
Setengah hatiku tidak setuju dengan keputusan Raka tersebut. Biar bagaimana pun aku sangat mencintainya, dan aku tidak ingin kehilangan dia.
Meski pun aku tidak bisa memilikinya seutuhnya, tapi setidaknya, jika Raka masih tinggal bersama kami, aku masih bisa melihatnya, menatap wajah teduhnya setiap hari.
Namun seperti yang Raka katakan, aku memang harus belajar untuk melupakannya.
Cinta memang tak selamanya harus memiliki. Cinta tak selamanya harus bersama.
Mungkin cintaku kepada Raka memang sangat besar, tapi resiko yang harus kami tanggung, jika kami tetap nekat untuk bersama, rasanya terlalu besar.
Apa lagi mengingat usiaku yang sudah tidak muda lagi.
Sejak memutuskan menikah dengan Ranti, istriku sekaligus ibunya Raka, aku sudah bertekad untuk berubah. Namun kehadiran Raka, mampu mengendurkan tekad ku tersebut.
Tapi sekarang, aku sudah tidak punya harapan apa-apa lagi kepada Raka. Dia telah membuat keputusan hidupnya sendiri. Dan aku harus menerimanya sebagai sebuah keputusan yang terbaik.
****
Raka akhirnya pergi. Benar-benar pergi. Dan aku merasa sangat kehilangan.
Hidupku terasa hampa. Aku jadi kehilangan semangat.
Namun demi janji ku kepada Raka, untuk membahagiakan ibunya, aku harus tetap bertahan.
Aku berusaha belajar untuk mencintai istriku. Aku berusaha untuk menjadi suami yang baik baginya.
Sampai akhirnya istriku pun hamil. Dan hal itu cukup membuatku bahagia.
Aku kembali punya semangat lagi. Aku seakan menemukan tujuan dalam hidupku.
Yah, sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Dan hal itu merupakan suatu kebanggan bagiku.
Raka masih sering pulang ke rumah, terutama saat musim liburan. Tapi hubungan kami hanya sebatas antara seorang anak dengan ayah tirinya.
Aku maupun Raka, sepertinya sudah berhasil menghapus segala perasaan cinta kami. Rasa itu tidak lagi ada. Rasa itu telah punah, bersama jarak dan waktu.
Kini hari-hari ku lebih aku fokuskan kepada pekerjaan ku, dan juga untuk menyambut kelahiran anak pertamaku.
Aku tidak lagi memikirkan sosok laki-laki dalam hidupku. Aku tidak ingin memikirkannya.
Meski jujur saja, perasaan itu kadang datang. Tapi aku selalu berusaha untuk menepisnya.
Aku tidak ingin terjerumus lagi dalam rasa yang tidak akan pernah berujung. Aku tidak ingin terjerumus lagi dengan perasaan yang hanya akan menyiksa ku.
Aku harus bisa berhenti. Aku harus benar-benar berubah.
Setidaknya demi Raka, demi ibunya dan juga demi calon anakku.
****
Sekian ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar