Namaku Andra. Bukan nama sebenarnya.
Dan ini adalah kisah nyata ku.
Aku lahir, tumbuh dan besar dari keluarga yang cukup berada. Sejak kecil segala kebutuhanku selalu terpenuhi oleh orangtua ku.
Orangtua ku memang cukup memanjakan ku, karena aku adalah anak mereka satu-satunya.
Sampai akhirnya aku tumbuh besar dan bekerja di perusahaan papa ku.
Setelah mulai bekerja, aku pun mulai dituntut oleh orangtua ku, terutama mama ku, untuk aku segera menikah.
Hingga pada akhirnya aku pun menikah dengan seorang gadis pilihan mama ku.
Aku menerima perjodohan itu dengan pasrah. Karena aku tidak berhasil menemukan wanita yang aku inginkan. Untuk urusan percintaan, aku memang tidak seberuntung kehidupanku.
Aku pernah pacaran beberapa kali dengan beberapa orang perempuan, namun pada akhirnya setiap hubungan asmara ku selalu berakhir dengan perpisahan.
Dan menerima perjodohan dengan gadis pilihan mama ku, merupakan jalan terakhir bagiku untuk mendapatkan jodoh.
Setelah menikah, aku pun pisah rumah dari orangtua ku. Aku belajar mandiri, bersama keluarga baruku.
Aku hanya hidup berdua dengan istriku, karena istriku memang hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Dan dia tidak ingin ada pembantu di rumah kami.
Istriku, sebut saja namanya Imay, tidak terlalu cantik, namun cukup menarik secara fisik. Selain itu, Imay juga seorang wanita soleha. Dia rajin beribadah, karena dia memang lulusan dari sebuah pesantren. Hal itulah yang membuat mama ku memilihnya untuk menjadi istri ku.
Imay tidak pernah kuliah, karena orangtuanya tidak mampu membiayai nya untuk kuliah.
Orangtua Imay memang hanya pedagang biasa. Imay juga masih punya tiga orang adik yang masih sekolah. Sebagai anak sulung, Imay memang harus mengalah kepada adik-adiknya.
Setidaknya begitulah segelumit kisah tentang Imay yang aku ketahui dari ceritanya.
Meski pun kami tidak pernah pacaran. Tapi kami cukup bahagia.
Kami sama-sama belajar untuk bisa saling mencintai. Saling mengenal pribadi masing-masing, dan saling membuka hati untuk kehidupan kami yang baru.
****
Setahun pernikahan kami, kami sudah mulai saling menyayangi, saling mencintai dan saling mengerti.
Kami juga merasa bahagia, meski pernikahan kami belum dikaruniai anak.
Sebenarnya tidak terlalu jadi masalah bagi ku dan Imay, dengan pernikahan kami yang tanpa anak. Toh kami juga baru menikah selama satu tahun.
Tapi, mama ku tidak bisa menerimanya begitu saja. Mama sangat ingin untuk kami segera punya momongan.
Kami berdua sebenarnya juga ingin segera punya anak. Namun Imay belum juga kunjung hamil. Mungkin kami harus lebih sabar lagi.
****
Dua tahun berlalu. Imay belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Dan hal itu membuat mama semakin sering mendesak kami.
Mama menyarankan berbagai alternatif untuk percepatan kehamilan Imay. Kami hanya meng iya kan saja setiap saran dari mama. Kami belum mau melakukan pengobatan apa pun untuk kehamilan Imay. Kami masih yakin, kalau kami masih bisa melakukannya sendiri, tanpa bantuan obat-obatan apa pun.
Namun setelah tiga tahun pernikahan kami, aku mulai merasa ada yang salah dengan ku, atau justru dengan Imay sendiri.
Untuk itu, aku dan Imay pun mendatangi dokter spesialis.
Dari beberapa kali hasil pemeriksaan dokter tersebut, ternyata kondisi kandungan Imay baik-baik saja.
Kesalahannya justru ada padaku.
Aku yang tidak bisa memberi Imay keturunan. Aku mandul.
Setidaknya begitulah keterangan dari dokter tersebut.
Awalnya aku tidak percaya. Karena itu aku pun mencoba mendatangi dokter lain diam-diam.
Dan ternyata hasilnya juga sama. Aku mandul.
Dan itu membuatku sangat terpukul. Harga diriku sebagai laki-laki seakan terkoyak. Aku benci mengakui itu.
Imay sebenarnya tidak mempersalahkan hal tersebut. Dia bisa menerima semuanya. Setidaknya begitulah yang ia ucapkan padaku, mungkin untuk sekedar menghiburku atau sekedar menguatkan ku.
Imay mungkin bisa menerima semuanya. Tapi bagaimana dengan mama? Mungkinkah mama bisa memakluminya?
Dan bagaimana pula dengan diriku sendiri?
Aku bahkan sangat membenci diriku saat ini.
****
Aku menjadi frustasi, kacau dan berantakan. Aku kehilangan gairah. Aku tidak punya semangat lagi untuk terus melanjutkan hidup. Aku merasa tidak berguna sebagai laki-laki.
Imay memang selalu berusaha menghiburku, memberikan aku semangat.
Dia juga menyarankan beberapa alternatif untuk kami tetap bisa mempunyai keturunan.
Mulai dari adopsi anak, bayi tabung dan berbagai alternatif lainnya.
Namun aku tidak bisa menerima semua itu.
Yang paling aku pikirkan sebenarnya adalah Imay, istriku. Aku merasa kasihan melihatnya.
Sebagai perempuan aku yakin, dia juga ingin merasakan menjadi seorang ibu, mendapatkan seorang anak dari rahimnya sendiri. Dia punya hak untuk itu, dan aku tidak bisa memberikannya.
Aku telah menjadi seorang suami yang telah merenggut hak istriku untuk bisa hamil dan mempunyai keturunan dari rahimnya sendiri.
Hal itu justru membuatku semakin merasa bersalah.
Namun aku tidak mungkin meninggalkan Imay apa lagi menceraikannya. Selain karena aku memang sangat mencintainya, aku juga tidak ingin mama tahu tentang apa yang telah terjadi dalam rumah tangga kami.
Dan sebagai seorang laki-laki yang sangat mencintai istrinya, sudah seharusnya aku memberikan yang terbaik untuk istriku. Terutama untuk memberikan haknya sebagai seorang wanita.
Aku juga ingin istriku bisa merasakan bagaimana rasanya hamil dan melahirkan seorang anak dari rahimnya sendiri.
Karena itu aku pun mengambil jalan pintas. Jalan pintas yang tentu saja sangat di tentang oleh istriku.
Istriku menolak, dia tidak bisa menerima permintaan ku. Tapi aku memaksanya, aku mengancamnya dengan berbagai cara.
Aku ingin dia melakukan hubungan badan dengan laki-laki lain. Laki-laki yang aku bayar, untuk bisa membuat istriku hamil.
Tentu saja aku telah memilih laki-laki yang terbaik. Aku juga ingin punya keturunan yang baik-baik.
Setelah perdebatan yang panjang, dan bahkan hampir bercerai, istriku pun akhirnya setuju.
Dan aku dengan sangat terpaksa, harus merelakan istriku tidur bersama laki-laki lain, selama beberapa malam.
Aku tahu tindakan ku salah. Aku tahu aku bodoh. Tapi aku hanya ingin memberikan hak istriku sebagai wanita normal.
Dia sehat, aku yang sakit. Dan dia tidak harus ikut menanggung sakit ku. Dia berhak untuk merasakan semua itu. Merasakan hamil, melahirkan dan menyusui anaknya sendiri.
****
Dan berbulan-bulan kemudian, istriku pun hamil. Dan orang yang paling bahagia dengan semua itu adalah mama.
Setelah hampir empat tahun pernikahan kami, akhirnya mama bisa mendengar kabar bahagia itu.
Aku turut bahagia. Entahlah. Apa aku bahagia atau tidak, itu tidak penting. Apa istriku bahagia atau tidak juga tidak penting lagi.
Hubungan ku dengan istri ku memang menjadi sedikit renggang sejak peristiwa itu.
Tapi aku berusaha sekuat mungkin untuk menerima semua kenyataan yang ada.
Dan semua itu hanyalah menjadi rahasia, antara aku, istriku dan laki-laki yang menghamilinya.
Dan aku berharap, semua itu akan tetap menjadi rahasia sampai kapan pun. Selamanya.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar