Cerpen, Cerita pendek sedih, Cerpen jadul Kumpulan cerpen cerita pendek tentang cinta, persahabatan dan kehidupan yang penuh haru dan menguras air mata. kumpulan Cerpen tersedih. cerita-cerita singkat tentang kehidupan, cinta dan persahabatan...
Maafkan aku Ibu, aku terpaksa melakukannya!... (part 2)
Maafkan aku Ibu, Aku terpaksa melakukannya! (part 1)
Pikiranku melayang, menerawang tak tentu arah. Terngiang-ngiang kembali ucapan dokter di rumah sakit sore tadi.
"Ibumu harus segera di operasi..." kata dokter laki-laki itu, "kalau tidak, kami tidak bisa menjamin beliau akan bertahan lebih dari 3 hari." lanjutnya. Aku menangis lagi, mendengar penjelasan itu.
Entah sudah berapa banyak air mata yang aku habiskan, sejak Ibu masuk rumah sakit dan di vonis memiliki kanker serviks. Aku tak tahu, harus mengadu kepada siapa.
Ayahku sudah lama meninggal. Ibu membesarkanku sendiri, sejak kecil. Bekerja sebagai buruh cuci, Ibu hanya mampu membiayai aku sekolah hingga SMA.
Tamat dari SMA, aku mencoba mencari kerja untuk membantu Ibu. Dengan modal ijazah SMA, aku hanya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang penjaga toko di sebuah mall, yang gaji nya tak seberapa.
Dari keterangan dokter, sebenarnya Ibu sudah lama menderita penyakit itu, namun Ibu sepertinya memang sengaja menyembunyikannnya dariku. Aku tahu, Ibu tak ingin merepotkan dan membebaniku. Tapi sekarang penyakit Ibu semakin parah dan harus segera di operasi.
"Jika sampai besok pagi, Ibumu tak segera di operasi, kami khawatir beliau tidak bisa bertahan lagi.." dokter itu berujar lagi, ia menatapku tajam.
Aku hanya terdiam, menahan tangisku. Rasanya beban ini terlalu berat untuk kupikul sendiri.
"diperkirakan biaya operasinya sekitar tujuh puluh juta, dan besok uang itu sudah harus ada, paling tidak separohnya. Agar operasi segera bisa kami laksanakan.." ucap dokter itu lagi.
Aku hanya terhenyak, tujuh puluh juta bukanlah uang yang sedikit. Jangankan memilikinya, melihat uang sebanyak itu saja aku belum pernah seumur hidup.
Apa yang mesti aku lakukan sekarang? Kami tidak punya apa-apa. Bahkan rumah saja kami masih ngontrak. Tapi aku harus menolong Ibuku. Tak peduli bagaimana pun caranya, Ibu harus segera di operasi.
Aku tak mau kehilangan Ibu. Aku harus mendapatkan uang itu. Bathinku meringis.
"apa gak bisa pakai BPJS saja, El..." bisik Reyhan, yang duduk di sampingku. Reyhan adalah sahabatku sejak kecil. Selama ini ia cukup banyak membantu aku dan Ibu. Tapi Reyhan bukanlah dari keluarga berada. Ayahnya hanya seorang buruh bangunan. Reyhan sendiri juga tidak bisa kuliah, karena tidak ada biaya. Ia terpaksa ikut Ayahnya jadi kuli bangunan.
"kamu tahu, kami gak punya itu, Rey..."
"tapi kan bisa kita urus..."
"Ibuku harus dioperasi besok pagi, Rey. Bukan tahun depan! Kamu tahu sendiri, bagaimana susahnya mengurus hal-hal seperti itu. Apa lagi untuk orang-orang seperti kita.." suaraku sedikit meninggi.
Reyhan kembali bungkam.
Aku tahu Reyhan berniat baik. Tapi pikiran benar-benar kacau.
**********
Aku duduk sendiri, di sebuah bangku halte. Pikiran ku masih sangat kacau, membuatku jadi enggan untuk pulang. Tiba-tiba seseorang memegang pundak ku dari samping. Spontan aku menoleh dan mengerutkan kening. Orang itu, seorang wanita paroh baya, aku mencoba mengenalinya. Tapi pikiran ku terlalu berat. Aku tak mampu mengingatnya.
"kamu Elsa, kan..?" ucap wanita itu. Aku hanya diam, sambil terus menatapnya.
"anaknya Bu Rita?" lanjutnya bertanya lagi.
Kali ini repleks aku mengangguk.
"Saya tante Lina. Masih ingat?" ia melanjutkan.
Pikiranku meleyang sejenak, mengingat-ingat tante yang sekarang ada di sampingku. Ia duduk dengan santai di sampingku. Dengan pakaian yang sedikit seksi dan setengah terbuka.
"waktu kamu kecil. Tante sering main kerumah kamu. Tante teman Ibu kamu dulu.." katanya lagi. Wajah itu memang tidak begitu asing bagiku. Dan tiba-tiba aku mengingatnya. Ya, tante Lina yang dulu sering membawakan aku permen, jika ia main kerumah. Tante Lina memang dulu sangat dekat dengan Ibu. Tapi sudah bertahun-tahun, tante Lina tak pernah lagi datang ke rumah.
"Iya, tante. Elsa ingat.." jawabku akhirnya. Kulihat tante Lina tersenyum.
"gimana kabar Ibu..?" tanya tante Lina selanjutnya. Yang membuatku kembali murung, pikiran ku kembali mengingat Ibu yang sedang terbaring di rumah sakit. Tak berdaya.
"kamu kenapa?" lanjut tante Lina bertanya, melihat aku yang tertunduk lesuh.
Aku gak tahu, apa aku harus cerita sama tante Lina atau tetap diam saja. Nmaun mengingat tante Lina dulu pernah begitu dekat dengan Ibu, aku berpikir apa salahnya menceritakan semua ini sama tante Lina. Aku memang tak punya siapa-siapa lagi, kecuali Ibu. Dan juga Reyhan, sahabatku.
Tante Lina menatapku lama. Setelah aku selesai menceritakan hal yang menimpa Ibu saat ini.
"dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu, hanya dalam satu malam..?" ucapku kepada tante Lina, mengakhiri cerita ku. Suaraku parau.
Tante Lina meneguk minumannya lagi. Kami duduk di dalam sebuah kafe, tante Lina sengaja mengajakku kesini. Biar lebih nyaman, katanya.
"namun jika kamu mau, tante tahu, bagaimana kamu bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam satu malam.." lanjutnya. Aku menatap tante Lina lama. Seakan tak percaya dengan yang barusan diucapkannya. "Bagaimana caranya tante?" tanyaku akhirnya, antara penasaran dan tak percaya.
Aku terperangah. Mulutku menganga setangah tak percaya, kalau tante Lina akan menawarkan hal itu padaku.
"kamu harus pikirkan Ibumu, Elsa." ucapan tegas tante Lina membuatku tersadar. Ya, Ibu sangat membutuhkan ku saat ini. Ibu membutuhkan uang yang sangat besar untuk biaya operasi. Tapi apa harus dengan menjual diriku? aku membathin.
"ingat, Elsa. waktumu hanya satu malam untuk menyelamatkan Ibumu. Jadi saran tante, kamu gak usah terlalu banyak pikir, jika kamu memang sayang Ibumu." lanjutnya lagi. "aku...aku.. takut, tante.." ucapku tergagap. Mataku mulai berair lagi.
"kamu gak usah takut, rahasia kamu aman. Dan tante akan mencarikan pelanggan tante yang bisa memperlakukanmu dengan lembut." jawabnya.
Sejujurnya, aku sering mendengar cerita tentang orang-orang yang menjual diri demi mendapatkan uang. Tapi selama ini, aku menganggap orang-orang itu bodoh dan tak punya harga diri.
Tapi sekarang?
Aku bingung. Benar-benar bingung. Jika aku menolak tawaran tante Lina, aku tak punya cara lagi untuk mendapatkan uang tujuh puluh juta dalam waktu tidak sampai 12 jam lagi. Namun jika aku menerimanya, itu berarti aku harus menyerahkan kesucianku pada orang yang tak ku kenal. Dan itu juga berarti aku sudah kehilangan harga diriku. Bagaimana jika Ibu tahu? tanyaku membathin.
"kamu tenang saja. Ibu mu gak bakalan tahu." ucap tante Lina, seperti bisa menebak apa yang aku pikirkan. "Dan lagi pula setelah kamu selesai nanti, kamu bisa terima uangnya. Kamu bisa pergi dan tak perlu melakukannya lagi. Kamu bebas. Kamu tidak terikat apa pun...." lanjut tante Lina menjelaskan.
Aku terdiam. Kepalaku terasa sangat sakit. Mengapa hal ini harus menimpaku?
Part 3 : Istriku memilih untuk pergi saat aku sedang terpuruk (Cinta tanpa warna)
Kisah Nyata : Aku terpaksa menjadi isteri simpanan ...
Tante Lina hanya mampu menyekolahkan saya sampai tamat SMA. Kemudian saya mulai mencari pekerjaan, untuk biaya hidup saya dan juga untuk membantu keluarga tante Lina.Saya pernah kerja di rumah makan, toko buku dan terakhir menjadi kasir di mini market.Selama ini tante Lina dan om Danu cukup baik kepada saya, sehingga saya tetap tinggal bersama mereka.
Hingga pada suatu malam, saat itu, tante Lina dan ketiga anaknya, pergi ke rumah saudaranya yang lain, karena ada acara pesta keluarga. Saya tidak bisa ikut karena harus kerja, begitu juga om Danu, yang bekerja sebagai seorang satpam di sebuah mall.
Malam itu, seperti biasa, sepulang kerja sekitar jam 9 malam, saya baru saja selesai mandi dan makan malam. Saya masuk ke kamar, hendak tidur.
Tiba-tiba om Danu, yang baru saja pulang kerja, mengikuti saya masuk ke kamar. Saya sedikit kaget, karena biasanya om Danu tidak pernah masuk ke kamar kami. Saya satu kamar dengan anak perempuan satu-satunya tante Lina dan om Danu.
Om Danu langsung mengunci kamar, ketika kami sudah berada di dalam kamar.
"om mau apa?!" tanyaku sedikit santai, biar bagaimana pun, om Danu sudah saya anggap seperti ayah sendiri.
Om Danu hanya diam, sambil terus mendekat. Saya mencoba sedikit mundur, tapi kaki saya sudah mentok ke sisi ranjang. Om Danu langsung mendorong tubuh saya, sehingga saya telentang di ranjang. Om Danu pun kemudian langsung menindih tubuh saya.
Saya berusaha melawan, tapi om Danu terlalu kuat. Saya coba menjerit, tapi tangan om Danu sudah membekap mulut saya dengan kuat.
Dan saya hanya bisa pasrah, ketika akhirnya om Danu berhasil memperkosa saya malam itu. Om Danu berhasil merenggut kesucian saya dengan cara yang sangat kasar.
Saya hanya bisa menangis! Saya menangis sejadi-jadinya.Saya tidak menyangka sama sekali, om Danu tega memperkosa saya. Padahal selama ini, dia begitu baik pada saya.
Tapi semua sudah terjadi. Yang saya rasakan hanyalah rasa sakit yang teramat sangat dan rasa takut yang tiba-tiba datang, ketika om Danu mengancam saya dengan keras. Om Danu mengancam akan membunuh saya, jika saya menceritakan perbuatannya tersebut kepada siapapun, terutama kepada tante Lina. Saya hanya bisa menangis malam itu, menangisi nasib saya. Menangisi semua yang terjadi.
Siangnya, ketika tante Lina sudah pulang, saya berusaha bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. Saya tetap berangkat kerja seperti biasa, meski harus menahan rasa sakit.Sejak saat itu, om Danu, sering memaksa saya lagi untuk melayani nafsu bejatnya.
Tante Lina berjualan sarapan di kantin sekolah tak jauh dari rumah kami, sedangkan anak-anaknya ada yang kuliah dan sekolah. Sehingga kalau pagi hari, keadaan rumah sangat sepi.
Saya sendiri bekerja secara shift kerja, kadang shift pagi, shift siang dan kadang shift malam. Begitu juga om Danu, sebagai satpam, dia bekerja secara shift.
Dan apabila jadwal shift kerja kami siang, biasanya kami berangkat jam sebelas. Dan om Danu memanfaatkan kesempatan itu, untuk melampiaskan nafsu birahi nya kepada saya. Saat orang-orang tidak ada di rumah, saat saya akan berangkat kerja.
Saya sudah tidak berani melawan lagi. Saya begitu takut padanya. Saya hanya bisa pasrah.Om Danu selalu mengancam saya, setiap kali ia selesai melampiaskan nafsunya kepada saya.Selama dua bulan lebih hal terjadi, dan saya hanya bisa diam dan pasrah.
Namun akhirnya, saya memutuskan untuk pindah dari rumah itu. Saya membuat alasan kepada tante Lina, kalau tempat kerja saya terlalu jauh dan saya akan ngekost di dekat tempat kerja saya.
Awalnya tante Lina keberatan, tapi setelah saya coba jelaskan dan sedikit membujuknya, akhirnya ia membiarkan saya pergi.Saya sedikit lega, meski cukup berat berpisah dengan tante Lina. Namun itu jauh lebih baik, dari pada saya harus melayani om Danu lagi.
Kamar kost itu cukup kecil, tapi setidaknya disitu saya merasa sedikit aman dan yang pasti saya tidak akan bertemu om Danu lagi.Di tempat kost, saya bertemu dan berkenalan dengan Desi, seorang perempuan yang baik dan juga soleha. Dia seorang guru. Dia kost karena berasal dari luar daerah. Tapi Desi sudah sangat lama tinggal di kost itu.
Desi sering ikut pengajian ibu-ibu, yang diadakan hampir setiap malam, di Mesjid yang tak jauh dari rumah kost kami. Dia sering mengajak saya ikut, ketika saya tidak ada shift malam. Tapi awalnya saya selalu menolak, dengan alasan kecapean.
Namun akhirnya suatu malam, Desi berhasil membujuk saya untuk ikut. Lagi pula saya pikir, apa salahnya?!
Sesampainya di mesjid, saya melihat begitu banyak ibu-ibu dan juga para remaja putri berkumpul disana. Desi memperkenalkan saya kepada beberapa orang temannya. Meski merasa sedikit canggung, saya mencoba berbaur dengan mereka.
Tak lama kemudian, datanglah seorang Ustadz paroh baya, dan duduk di depan. Kemudian beliau memulai pengajiannya.
"Beliau itu ustadz Jeri..." bisik Desi ditelingaku, "beliau biasnya mengisi pengajian di mesjid ini, dua kali seminggu." lanjutnya.
Aku hanya manggut-manggut, sambil memperhatikan ustadz Jeri. Wajahnya lumayan tampan, meski sudah cukup berumur.
"jangan pikir macam-macam, beliau sudah menikah dan sudah punya dua anak.." suara Desi sedikit mengagetkan ku, seakan mencoba membaca pikiranku.
"ah, kamu apaan, sih..." balasku sekenanya. Meski sejujurnya saya memang suka melihat ustadz Jeri. Senyumnya sangat manis. Dia juga orang yang penuh kharisma. Suaranya sangat merdu dan menenangkan, apa lagi saat ia membacakan surat Al-Qur'an.
Saya kadang tanpa sadar, sering menatapnya lama.
Diakhir pengajian, ustadz Jeri memberikan kesempatan kepada para jemaah untuk bertanya atau menceritakan masalah mereka. Ustadz Jeri menjawab pertanyaan dan memberikan solusinya dengan sangat cerdas.
Ustadz Jeri memang cerdas dan bijaksana.
Sejak malam itu, saya jadi lebih sering ikut pengajian. Bukan hanya karena ingin melihat ustadz Jeri, tapi juga saya merasa sangat nyaman berada disana.
Sampai hampir satu bulan saya mengikuti pengajian itu dan bekerja sebagaimana biasanya, saya merasa ada yang salah dengan saya.
Memang sempat terpikir waktu itu, kalau saya bisa saja hamil oleh om Danu. Tapi saya takut bertanya kepada orang-orang. Karena itulah saya hanya diam dan selalu berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja.
Tapi hasil pemeriksaan dokter tadi, membuat saya benar-benar syok dan takut. Saya tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Sejak pindah dari rumah tante Lina, saya tidak pernah datang kesana lagi. Saya tidak mau bertemu om Danu lagi. Meski tante Lina sering nelpon dan menyuruh saya datang. Tapi saya selalu membuat alasan kalau saya sibuk kerja. Saya benar-benar bingung, saya tidak tahu ngapain sekarang.
Saya menangis sejadi-jadinya di dalam kamar kost sendirian. Meratapi hidup saya, yang tiba-tiba terasa begitu pahit dan berat.
Suara ketukan di pintu kamar mengagetkan saya.
Saya mencoba menahan tangis dan menghapus air mata, suara ketukan itu semakin keras.
Saya bangkit dan membukakan pintu, Desi sudah berdiri di depan pintu dan menatap saya lama.
"ada apa?" tanya nya.
"gak... gak ada apa-apa..." jawabku sedikit terbata.
"aku dengar kamu nangis," balas Desi, "cerita padaku, ada apa?" lanjutnya, sambil masuk ke dalam.
Aku hanya berdiri terpaku dan membiarkan Desi masuk, lalu mengunci pintu.
Aku memang butuh cerita. Tapi hatiku ragu. Apa Desi bisa pegang rahasia? Bathinku.
Namun aku tak punya pilihan. Lagi pula, Desi selama ini sangat baik padaku.
Dengan sedikit terbata-bata, aku ceritakan semua kejadian yang menimpaku pada Desi.
Desi kelihatan sangat kaget, tapi segera ia mengendalikan diri. Dia memelukku yang sudah terisak-isak.
"aku gak tahu lagi mesti ngapain, Des..." ucapku, masih dalam tangis.
Desi membiarkan ku menangis, untuk melepaskan segala kesedihanku. Aku terus saja terisak, sambil memeluk erat tubuh Desi.
"bagaimana kalau kita menemui ustadz Jeri ..." ujar Desi akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam. Aku sedikit kaget dan berusaha menghentikan tangisku. Ku tatap wajah Desi cukup lama, penuh tanya dan keraguan.
"udah! kamu tenang aja," lanjut Desi menjawab tatapanku. "nanti aku yang ceritakan semuanya. Kamu tahu, kan. Ustadz Jeri, selalu punya solusi dari setiap masalah..." lanjutnya lagi.
Aku sedikit ragu. Tapi apa yang dikatakan Desi, ada benarnya. Aku gak mungkin menyimpan hal ini, lambat laun orang-orang bakal tahu, kalau aku hamil.
Aku setuju untuk menemui ustadz Jeri. Kami pun berangkat, setelah Desi menelpon Ustadz Jeri dan membuat janji temu.
Kami bertemu ustadz Jeri di rumahnya yang ada di kota kami. Menurut Desi, itu rumah kedua Ustadz Jeri. Beliau sebenarnya tinggal di kota lain, bersama anak istrinya.
Rumah yang dikota kami itu, hanyalah rumah persinggahan beliau, ketika dia ada acara di kota kami. Sesampainya di rumah itu, kami dipersilahkan masuk oleh ustadz Jeri sendiri. Ternyata beliau hanya sendirian disitu. Katanya, rumah itu sengaja beliau beli, karena suasananya yang nyaman dan jauh dari keramaian. Rumah itu sengaja tak di jaga siapa pun, jadi setiap kali ustadz Jeri ke rumah itu, beliau selalu sendirian. Beliau suka kesana untuk menenangkan diri.
Setelah di persilahkan duduk dan disuguhkan minuman. Desi mulai menceritakan maksud kedatangan kami. Desi menceritakan semua kejadian yang menimpa saya dan meminta jalan keluarnya kepada ustadz Jeri.
"saat ini, perut saya sudah mulai membesar," kataku, "saya gak mungkin berada di kos ataupun bekerja, apa lagi harus kembali ke rumah tante Lina," lanjutku. "saya pun tak ingin minta pertanggungjawaban om Danu, karena jelas akan sangat melukai hati tante Lina dan anak-anaknya." lanjutku lagi.
"kalau kamu mau," ucap ustadz Jeri akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam, "untuk sementara kamu tinggal saja dulu di rumah ini,"katanya melanjutkan, "sampai kita temukan solusinya, atau bahkan sampai anak kamu lahir..." lanjutnya lagi.
Aku terdiam cukup lama. Kutatap Desi, dia hanya memperlihatkan wajah terserah. Kutatap ustadz Jeri sesaat, lalu tanpa sadar aku mengangguk. Karena menurutku, tidak ada jalan lain, untuk menyembunyikan kehamilanku.
Esoknya aku langsung pindah, tanpa sepengetahuan siapa pun, kecuali Desi. Tapi hari itu, Desi tidak bisa mengantarku, karena harus kerja. Aku berangkat sendiri menuju rumah ustadz Jeri.
Ustadz Jeri menyambutku dengan ramah dan menyuruhku, masuk ke salah satu kamar rumah itu.
"ini kamar mu," jelasnya. "kamu bebas tinggal dirumah ini. Nanti aku bantu biaya hidup kamu, sampai anak kamu lahir..." katanya lagi.
"terima kasih banyak ustadz..." kataku tulus.
"nanti sore aku pulang, besok aku kesini lagi mengurus beberapa hal..." ucapnya.
Sore itu, ustadz Jeri pulang dengan mengendarai mobilnya sendirian.
Aku mencoba beristirahat, sampai akhirnya ketiduran. Saat aku terbangun, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, hujan sangat deras di luar. Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan pintu yang sangat keras.
Aku menuju pintu dan mengintip dari jendela. Ternyata di luar ada ustadz Jeri. Segera aku bukakan pintu.
"maaf ustadz, saya ketiduran!" ucapku, "ustadz udah dari tadi mengetuk pintu?" tanyaku melanjutkan.
Ustadz Jeri hanya mengangguk. Lalu beliau duduk di kursi tamu. Saya duduk dihadapannya, dengan hanya memakai baju tidur.
Karena merasa tidak enak hati, saya berdiri dan hendak pergi tidur.
"tunggu!" cegah ustadz Jeri. "setelah saya pikir-pikir, bagaimana kalau kamu saya nikahi saja!" lanjutnya yang membuat saya sedikit kaget. "kamu mau, kan? jadi istri kedua saya?" tanya nya lagi.
Aku hanya terdiam.
"kamu sedang hamil, dan saya tak ingin terjadi fitnah. Jadi lebih baik kita menikah saja. Dan itu akan jauh lebih aman..." ucapnya lagi.
Aku masih terdiam. Sejujurnya aku memang suka dengan ustadz Jeri. Tapi bukan berarti harus jadi istri kedua.
"tapi saya tidak ingin, pernikahan kita diketahui istri saya. Jadi kita akan nikah sirih..." ustadz Jeri berkata lagi, melihat saya hanya diam.
Aku semakin terpukul. Tapi saat ini, apa aku punya pilihan. Setidaknya dengan menikah dengan ustadz Jeri, anakku nanti punya ayah.
Lanjutan kisah "Istriku memilih untuk pergi saat aku sedang terpuruk" (part 2)
Cinta Suci untuk Tom....
-
Aku menghembuskan napas berat, hatiku terasa teriris. Dengan rasa tak percaya, kutatap raut wajah istriku. "kenapa?" tanyaku akhir...
-
Cukup lama cowok itu menatap Dhena. Kemudian ia tertunduk. Tak sanggup lebih lama lagi, menatap mata gadis yang sejak tadi berada di sampin...
-
Nama saya Baskoro, orang-orang biasa memanggil saya Bas. Saya adalah seorang penganut Katholik. Saya seorang Katholik karena kedua orang tua...
-
Masa depan itu seperti hantu. Menakutkan! Yaps, kalimat itu masih terus membayangiku. Meski pun saat ini aku sudah bisa kuliah lagi dan mas...
-
Aku menelan ludah pahit. Kerongkonganku serasa kering. Ucapan terakhir Bunda masih terngiang jelas di telingaku. Aku memejamkan mata sambil ...
sang penuai mimpi
-
▼
2020
(85)
-
▼
Juni
(11)
- Maafkan aku Ibu, aku terpaksa melakukannya!... (pa...
- Maafkan aku Ibu, Aku terpaksa melakukannya! (part 1)
- Part 3 : Istriku memilih untuk pergi saat aku seda...
- Kisah Nyata : Aku terpaksa menjadi isteri simpanan...
- Lanjutan kisah "Istriku memilih untuk pergi saat a...
- Cinta Suci untuk Tom....
- Sebuah cerpen : Kisah cinta seorang Operator sekol...
- Sebuah Cerpen : Rahasia Hati Indra...
- Sebuah cerpen : Tentang sebuah hati
- Sebuah cerpen : Dilema hari esok...
- Cerita kehidupan : Seorang laki-laki muda dan gadi...
-
▼
Juni
(11)