Maafkan aku Ibu, aku terpaksa melakukannya!... (part 2)

Tubuhku terasa lemas tak berdaya. Mataku bengkak. Air mataku terus mengalir. Aku tak berdaya. Rasanya semua terjadi begitu cepat.
Yah, malam itu akhirnya aku menerima tawaran dari tante Lina. Biar bagaimana pun, kesehatan Ibuku jauh lebih penting dari apapun saat ini. Ini bukanlah pilihan yang mudah bagiku. Tapi semua memang harus aku lakukan.
Meski aku harus menelan semua kepahitan itu. Meski aku harus kehilangan harga diriku dan juga masa depanku.
Ibu mungkin akan mengutukku, seandainya ia tahu. Tapi Ibu tak boleh tahu, tak ada seorang pun yang boleh tahu.

Pagi itu aku bergegas menuju rumah sakit tempat Ibu dirawat. Aku segera melakukan pembayaran, agar Ibu bisa segera di operasi. Tante Lina memberikan uang lebih dari cukup kepadaku. Setelah aku selesai melaksanakan tugasku. Dengan sangat berat aku menerimanya. Ini semua demi Ibu! bathinku merintih.
Aku berusaha tetap tegar. Aku berusaha tetap terlihat baik-baik saja. Aku berusaha untuk terlihat kuat. Meski sebenarnya aku rapuh, tapi aku benar-benar tidak punya pilihan. Tidak banyak pilihan untuk orang-orang sepertiku.

"dari mana kamu dapatkan uang itu?" suara Reyhan mengagetkanku.
Ibu masih berada di ruang operasi. Aku berjalan mondar mandir di ruang tunggu rumah sakit itu. Aku menghentikan langkahku, kutatap Reyhan sejenak. Aku tidak tahu harus jawab apa. Selama ini aku dan Reyhan memang sangat dekat. Selama ini aku selalu terbuka padanya. Hampir tak ada rahasia diantara kami. Tapi kali ini, Reyhan tidak boleh tahu. Aku tak mungkin menceritakan ini semua pada Reyhan.
"uang apa?" tanyaku pura-pura tidak paham.
"kamu tahu persis apa yang aku tanyakan, El.." suara Reyhan.
Aku terdiam sesaat. Melangkah mendekati Reyhan. Aku duduk di sampingnya. Ku hembuskan napasku perlahan.
"kamu gak harus tahu, Rey.." desahku.
Reyhan menatapku, "kenapa?" tanyanya.
Aku hanya menggeleng.

"jangan bilang, kamu minjam uang sama rentenir, El.." ujar Reyhan lagi, ia masih menatapku.
Sekali lagi aku menggelengkan kepala. Aku tertunduk.
"jawab aku, El.." suara Reyhan mengeras.
Aku mendongak. Kutatap tajam mata Reyhan.
"harus ya itu di bahas sekarang?" tanyaku lantang, "Ibuku masih berjuang di ruang operasi, Rey. Kamu justru mempertanyakan hal itu sekarang.." suaraku semakin meninggi.
Reyhan terdiam. Ia sudah hafal watakku. Ia tahu betul, jika aku sedang marah. Ia menundukkan kepala.
Tiba-tiba perasaan bersalah menyeruak di hatiku. Tak tega melihatnya seperti itu. Selama ini Reyhan sangat baik padaku. Dia selalu ada untukku. Tapi kali ini ia memang tidak harus tahu!
"maaf, Rey.." ucapku pelan, "tapi aku belum bisa cerita sekarang..."
"yah.." desah Reyhan ringan.

*************

Ibu sudah mulai membaik. Operasinya berjalan lancar. Hari ini Ibu sudah diperbolehkan pulang.
"yuk!" ucap Ibu. Senyumnya mengembang. Ia menggandeng tanganku untuk masuk ke rumah, "Ibu rindu suasana rumah ini.." ujarnya lagi, setelah kami berada di dalam.
Aku hanya tersenyum menanggapinya, "sekarang Ibu istirahat ya.." ucapku ringan.
Ibu melangkah menuju kamar, dan segera ia berbaring di ranjang. Aku bergegas ke dapur, menyiapkan makan siang untuk kami.

"kamu gak kerja?" suara Ibu sedikit mengagetkanku yang sedang sibuk mengiris bawang.
"kenapa Ibu ke dapur? Ibu harusnya istirahat.." balasku, tak pedulikan pertanyaannya.
"Ibu gak apa-apa, El. Kamu kenapa gak kerja..?" tanyanya lagi.
"El libur hari ini, Bu.." jawabku ringan.
Ibu tersenyum  tipis. Ia duduk di sampingku. "Ibu boleh tanya?" ucapnya pelan.
Aku menangguk. Ku dengar Ibu menghela napas.
"kamu pinjam uang sama siapa, El?" tanya Ibu lagi, yang membuatku tertunduk. Aku tahu, Ibu pasti akan mempertanyakan hal itu. Tapi tetap saja aku belum siap untuk membohongi Ibu. Aku tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya pada Ibu.
"Ibu masih ingat tante Lina..?" tanyaku tertahan.
Kulihat Ibu mengerutkan kening. Kemudian ia mengangguk.
"tante Lina yang meminjamkan El uang, Bu. El cerita tentang Ibu, makanya ia bersedia mencarikan pinjaman..."
"kamu dipinjamkan uang sebanyak itu oleh tante Lina?" Ibu menatapku tajam. Sorot matanya tak percaya.
Aku berusaha mengangguk. Aku tak punya alasan yang lebih baik dari itu. Aku yakin, Ibu tahu, kalau aku berbohong.

"kamu gak usah bohong sama Ibu, El.." ucap Ibu lagi, matanya masih menatapku.
"El gak bohong, Bu." belaku.
"tante Lina gak mungkin punya uang sebanyak itu, El. Ibu tahu persis hal itu.."
"bukan tante Lina, Bu. Tapi temannya. El gak tahu siapa. Tapi tante Lina bilang, itu uang ia pinjam dari temannya..." suaraku sedikit bergetar.
"siapa yang mau meminjamkan uang sebanyak itu di jaman sekarang, El. Kecuali ada apa-apa dibalik itu semua...." balas Ibu sedikit sengit.
Aku terdiam. Kepalaku tiba-tiba sakit. Mataku mulai berkaca.

"terserah Ibu mau percaya atau tidak! Tapi yang pasti apapun itu, uang itu sudah menyelamatkan nyawa Ibu..." ucapku akhirnya.
Aku berdiri tiba-tiba, lalu berjalan tergesa ke dalam kamar. Aku hempaskan tubuhku ke ranjang. Pikiranku benar-benar kacau. Semua penyesalan menjalar di benakku.
Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Cepat atau lambat Ibu pasti akan tahu. Aku tak punya alasan yang tepat, yang benar-benar bisa Ibu percaya. Ibu akan selalu tahu, kalau aku berbohong.

*************

"ada apa tante?" tanyaku. Kutatap wajah tante Lina penuh tanya. Ia memang sengaja mengajak aku bertemu di sebuah kafe. Tante Lina menghubungiku pagi tadi, aku berjanji akan menemuinya setelah pulang kerja.
Tante Lina menghirup minumannya. Ia balas menatapku.
"kamu cerita apa sama Ibumu?" ia bertanya, sambil memainkan sedotannya.
"seperti yang telah kita sepakati kemarin, tan.." jawabku.
"Ibumu percaya?"
Aku menggeleng berat.
"sudah kuduga.." ucap tante Lina lagi, kali ini dengan nada yang sedikit sinis.
"maksud tante?" tanyaku heran.
"harusnya kamu punya alasan yang lebih baik dari itu, El. Tante dan Ibumu sudah berteman sejak lama. Ia tahu persis bagaimana kehidupan tante. Sudah pasti ia gak akan percaya.." tante Lina menghirup minumannya lagi, ia kelihatan gelisah.

"kemarin Ibumu menemui tante.." ucap tante Lina hampir berbisik.
Aku memicingkan mata, "tante cerita?" tanyaku curiga.
Tante Lina menggeleng. Aku menarik napas lega.
"tante bilang kalau itu uang teman tante. Tapi Ibumu ingin tahu, siapa teman tante tersebut. Tante bilang kalau ia gak kenal."
"dan.."
"dan sepertinya Ibumu memang tidak percaya. Tapi tante berusaha meyakinkannya."
"lalu Ibu percaya?" aku penasaran.
"tante tidak tahu. Yang pasti setelah itu Ibumu langsung pergi, tanpa berkata apa-apa lagi..."
Aku terhenyak.
Bagaimana kalau akhirnya Ibu benar-benar tahu? Apa yang akan Ibu lakukan padaku?
Tiba-tiba aku merasa semakin kotor.

*****
Bersambung lagi...

Maafkan aku Ibu, Aku terpaksa melakukannya! (part 1)

Aku berjalan gontai, menelusuri trotoar. Hiruk pikuk suara kendaraan berlalu lalang mengiringi langkahku. Sudah hampir jam 8 malam, suara kendaraan semakin ramai, apalagi ini malam minggu.
Pikiranku melayang, menerawang tak tentu arah. Terngiang-ngiang kembali ucapan dokter di rumah sakit sore tadi.

"Ibumu harus segera di operasi..." kata dokter laki-laki itu, "kalau tidak, kami tidak bisa menjamin beliau akan bertahan lebih dari 3 hari." lanjutnya. Aku menangis lagi, mendengar penjelasan itu.
Entah sudah berapa banyak air mata yang aku habiskan, sejak Ibu masuk rumah sakit dan di vonis memiliki kanker serviks. Aku tak tahu, harus mengadu kepada siapa.

Ayahku sudah lama meninggal. Ibu membesarkanku sendiri, sejak kecil. Bekerja sebagai buruh cuci, Ibu hanya mampu membiayai aku sekolah hingga SMA.
Tamat dari SMA, aku mencoba mencari kerja untuk membantu Ibu. Dengan modal ijazah SMA, aku hanya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang penjaga toko di sebuah mall, yang gaji nya tak seberapa.
Dari keterangan dokter, sebenarnya Ibu sudah lama menderita penyakit itu, namun Ibu sepertinya memang sengaja menyembunyikannnya dariku. Aku tahu, Ibu tak ingin merepotkan dan membebaniku. Tapi sekarang penyakit Ibu semakin parah dan harus segera di operasi.

"Jika sampai besok pagi, Ibumu tak segera di operasi, kami khawatir beliau tidak bisa bertahan lagi.." dokter itu berujar lagi, ia menatapku tajam.

Aku hanya terdiam, menahan tangisku. Rasanya beban ini terlalu berat untuk kupikul sendiri.

"diperkirakan biaya operasinya sekitar tujuh puluh juta, dan besok uang itu sudah harus ada, paling tidak separohnya. Agar operasi segera bisa kami laksanakan.." ucap dokter itu lagi.
Aku hanya terhenyak, tujuh puluh juta bukanlah uang yang sedikit. Jangankan memilikinya, melihat uang sebanyak itu saja aku belum pernah seumur hidup.

Apa yang mesti aku lakukan sekarang? Kami tidak punya apa-apa. Bahkan rumah saja kami masih ngontrak. Tapi aku harus menolong Ibuku. Tak peduli bagaimana pun caranya, Ibu harus segera di operasi.
Aku tak mau kehilangan Ibu. Aku harus mendapatkan uang itu. Bathinku meringis.

"apa gak bisa pakai BPJS saja, El..." bisik Reyhan, yang duduk di sampingku. Reyhan adalah sahabatku sejak kecil. Selama ini ia cukup banyak membantu aku dan Ibu. Tapi Reyhan bukanlah dari keluarga berada. Ayahnya hanya seorang buruh bangunan. Reyhan sendiri juga tidak bisa kuliah, karena tidak ada biaya. Ia terpaksa ikut Ayahnya jadi kuli bangunan.
"kamu tahu, kami gak punya itu, Rey..."
"tapi kan bisa kita urus..."
"Ibuku harus dioperasi besok pagi, Rey. Bukan tahun depan! Kamu tahu sendiri, bagaimana susahnya mengurus hal-hal seperti itu. Apa lagi untuk orang-orang seperti kita.." suaraku sedikit meninggi.
Reyhan kembali bungkam.
Aku tahu Reyhan berniat baik. Tapi pikiran benar-benar kacau.

**********
Aku duduk sendiri, di sebuah bangku halte. Pikiran ku masih sangat kacau, membuatku jadi enggan untuk pulang. Tiba-tiba seseorang memegang pundak ku dari samping. Spontan aku menoleh dan mengerutkan kening. Orang itu, seorang wanita paroh baya, aku mencoba mengenalinya. Tapi pikiran ku terlalu berat. Aku tak mampu mengingatnya.
"kamu Elsa, kan..?" ucap wanita itu. Aku hanya diam, sambil terus menatapnya.
"anaknya Bu Rita?" lanjutnya bertanya lagi.
Kali ini repleks aku mengangguk.
"Saya tante Lina. Masih ingat?" ia melanjutkan.
Pikiranku meleyang sejenak, mengingat-ingat tante yang sekarang ada di sampingku. Ia duduk dengan santai di sampingku. Dengan pakaian yang sedikit seksi dan setengah terbuka.

"waktu kamu kecil. Tante sering main kerumah kamu. Tante teman Ibu kamu dulu.." katanya lagi. Wajah itu memang tidak begitu asing bagiku. Dan tiba-tiba aku mengingatnya. Ya, tante Lina yang dulu sering membawakan aku permen, jika ia main kerumah. Tante Lina memang dulu sangat dekat dengan Ibu. Tapi sudah bertahun-tahun, tante Lina tak pernah lagi datang ke rumah.
"Iya, tante. Elsa ingat.." jawabku akhirnya. Kulihat tante Lina tersenyum.

"gimana kabar Ibu..?" tanya tante Lina selanjutnya. Yang membuatku kembali murung, pikiran ku kembali mengingat Ibu yang sedang terbaring di rumah sakit. Tak berdaya.
"kamu kenapa?" lanjut tante Lina bertanya, melihat aku yang tertunduk lesuh.



Aku gak tahu, apa aku harus cerita sama tante Lina atau tetap diam saja. Nmaun mengingat tante Lina dulu pernah begitu dekat dengan Ibu, aku berpikir apa salahnya menceritakan semua ini sama tante Lina. Aku memang tak punya siapa-siapa lagi, kecuali Ibu. Dan juga Reyhan, sahabatku.


Tante Lina menatapku lama. Setelah aku selesai menceritakan hal yang menimpa Ibu saat ini.
"dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu, hanya dalam satu malam..?" ucapku kepada tante Lina, mengakhiri cerita ku. Suaraku parau.
Tante Lina meneguk minumannya lagi. Kami duduk di dalam sebuah kafe, tante Lina sengaja mengajakku kesini. Biar lebih nyaman, katanya.

Tante Lina menghela nafas. "sebenarnya tante ingin sekali membantu, tapi tante juga tak punya uang sebanyak itu.." ucapnya setelah cukup lama kami terdiam.
"namun jika kamu mau, tante tahu, bagaimana kamu bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam satu malam.." lanjutnya. Aku menatap tante Lina lama. Seakan tak percaya dengan yang barusan diucapkannya. "Bagaimana caranya tante?" tanyaku akhirnya, antara penasaran dan tak percaya.

"jujur, tante adalah seorang germo." ucapnya, yang membuatku terdiam, dari cara nya berpakaian sekarang, aku bisa percaya. "dan jika kamu mau, tante bisa mencarikan pelanggan tante yang punya banyak uang dan mau membeli kesucian kamu.." lanjutnya santai, seakan hal itu sudah biasa ia lakukan.

Aku terperangah. Mulutku menganga setangah tak percaya, kalau tante Lina akan menawarkan hal itu padaku.
"kamu harus pikirkan Ibumu, Elsa." ucapan tegas tante Lina membuatku tersadar. Ya, Ibu sangat membutuhkan ku saat ini. Ibu membutuhkan uang yang sangat besar untuk biaya operasi. Tapi apa harus dengan menjual diriku? aku membathin.
"ingat, Elsa. waktumu hanya satu malam untuk menyelamatkan Ibumu. Jadi saran tante, kamu gak usah terlalu banyak pikir, jika kamu memang sayang Ibumu." lanjutnya lagi. "aku...aku.. takut, tante.." ucapku tergagap. Mataku mulai berair lagi.
"kamu gak usah takut, rahasia kamu aman. Dan tante akan mencarikan pelanggan tante yang bisa memperlakukanmu dengan lembut." jawabnya.
Sejujurnya, aku sering mendengar cerita tentang orang-orang yang menjual diri demi mendapatkan uang. Tapi selama ini, aku menganggap orang-orang itu bodoh dan tak punya harga diri.
Tapi sekarang?
Aku bingung. Benar-benar bingung. Jika aku menolak tawaran tante Lina, aku tak punya cara lagi untuk mendapatkan uang tujuh puluh juta dalam waktu tidak sampai 12 jam lagi. Namun jika aku menerimanya, itu berarti aku harus menyerahkan kesucianku pada orang yang tak ku kenal. Dan itu juga berarti aku sudah kehilangan harga diriku. Bagaimana jika Ibu tahu? tanyaku membathin.

"kamu tenang saja. Ibu mu gak bakalan tahu." ucap tante Lina, seperti bisa menebak apa yang aku pikirkan. "Dan lagi pula setelah kamu selesai nanti, kamu bisa terima uangnya. Kamu bisa pergi dan tak perlu melakukannya lagi. Kamu bebas. Kamu tidak terikat apa pun...." lanjut tante Lina menjelaskan.
Aku terdiam. Kepalaku terasa sangat sakit. Mengapa hal ini harus menimpaku?

*********

Bersambung...

Part 3 : Istriku memilih untuk pergi saat aku sedang terpuruk (Cinta tanpa warna)

Aku menatap wanita tua yang ada di hadapanku. Ia tersenyum tipis.
"ada apa, Ma?" tanyaku lembut.
Wanita itu, mamanya Airin, menarik napas ringan. Ia memang sengaja datang ke kafe tempat aku bekerja. Sudah lebih dari seminggu Airin pergi dari rumah. Selama seminggu aku dan Airin tidak berkomunikasi apa lagi bertemu.
"ada hal penting tentang Airin yang harus kamu ketahui, Lif." ucap Mama pelan. "mama tahu, tak seharusnya mama ikut campur urusan rumah tangga kalian. Tapi mengingat kondisi Airin saat ini, rasanya mama memang harus turun tangan.." lanjutnya, sekali lagi ia menarik napas.
Aku sedikit mengerutkan kening, "Airin kenapa, Ma? Apa Airin sakit?" tanyaku.
"lebih dari itu, Lif." desah mama.
"maksud mama?" tanyaku lagi, benar-benar tidak paham.

"sebenarnya Airin tak ingin kamu tahu, Lif. Dan ia juga meminta mama untuk tidak menceritakan semua ini sama kamu." mama tertunduk lesu.
"menceritakan tentang apa?" ucapku, semakin tidak paham.
"Airin penasaran, kenapa setelah lebih dari dua tahun kalian menikah, kalian belum juga dikaruniai anak. Untuk itu ia memeriksakan diri ke dokter keluarga kami." Mama menghempaskan napasnya berat, "dan ternyata.....  Airin memang tidak bisa hamil, Lif. Dia di vonis mandul oleh dokter." lanjut mama dengan suara bergetar.
Aku bagai mendengar suara petir di siang itu. Dengan rasa tak percaya, aku menatap mama cukup lama. Matanya berkaca. Aku tahu, mama tak mungkin berbohong. Dan itu membuat tubuhku terasa lemas. Sakit kepalaku kambuh lagi.

"tapi apa hubungan itu semua dengan sikap Airin akhir-akhir ini padaku?" tanyaku akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam.
Mama meneguk minumannya, kemudian berucap "Airin sangat mencintai kamu, Lif. Ia hanya ingin yang terbaik buat kamu..."
"dengan menyakitiku?" keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya, aku benar-benar tidak mengerti.
"yah, Airin memang sengaja membuatmu sakit hati dan marah. Ia berharap, dengan begitu, kamu akan membencinya. Lalu kemudian kamu akan menceraikannya. Ia hanya ingin kamu bahagia, Lif. Dan dengan terus bersamanya, kamu tidak akan pernah bahagia. Karena Airin sadar, ia tidak bisa memberikanmu keturunan." mama menghempaskan napasnya lagi, matanya masih berkaca.
Aku terenyuh mendengar itu semua. Bagaimana mungkin Airin bisa berpikir sepicik itu?

"sekarang kamu sudah tahu semuanya, Lif. Mama berharap kamu bisa melakukan yang terbaik.." mama berucap lagi.
"aku sangat mencintai Airin, ma. Dan aku tak mungkin meninggalkannya." jawabku tegas.
Mama berdiri tiba-tiba. Ia melangkah pelan mendekatiku.
"mama percaya sama kamu, Lif." ucap mama, sambil menyentuh bahuku pelan. "semoga kalian bisa menemukan jalan yang terbaik..." lanjutnya pelan. kemudian ia melangkah pergi. Meninggalkanku yang masih terpaku. Hatiku terasa miris. Bayangan wajah cantik Airin melintas seketika.
Sekarang aku paham, mengapa Airin tiba-tiba berubah. Meski tetap saja, hati kecilku belum bisa menerima perlakuan Airin padaku.

*********

Sudah lebih dari dua bulan aku tidak menjenguk anakku, Azzam. Makanya akhir pekan ini aku sempatkan untuk berkunjung. Tapi kali ini aku pergi bersama Bayu. Kebetulan sekali Bayu memang ingin pergi melihat salah satu cabang kafenya, yang berada tidak jauh dari kampung tempat mantan istriku, Dewi dan anakku tinggal.
Aku sengaja memaksa Bayu untuk memakai mobilnya, meski harus menempuh perjalanan kurang lebih dua hari. Aku hanya ingin sedikit menenangkan pikiranku. Pembicaraanku dengan mama Airin kemarin, benar-benar membuatku tidak bisa tidur. Aku masih bingung harus melakukan apa saat ini. Airin juga tidak bisa dihubungi.

"ada apa, Lif?" tanya Bayu diperjalanan, sambil menyetir.
Aku menoleh sekilas, "gak ada apa-apa. Aku hanya ingin mengunjungi anakku.." jawabku datar.
"kita sudah kenal sejak lama, Lif. Aku sudah hafal sifat kamu. Kalau tidak ada apa-apa, ngapain kamu maksa aku harus naik mobil. Kenapa kita gak naik pesawat saja, biar cepat sampai..."
"aku pengen jalan-jalan. Aku kangen jalan-jalan bareng kamu.." ucapku lagi dengan nada masih datar.
"bullshit! Hentikan omong kosong kamu, Lif! Jika kamu gak mau cerita, kita balik!" ancam Bayu, dengan sedikit mengurangi laju mobil.
Aku terdiam sesaat. Niatku memang dari awal ingin cerita sama Bayu, tentang Airin. Tapi mengingat betapa begitu banyaknya kebaikan Bayu selama ini padaku, tiba-tiba aku merasa enggan. Bayu selalu ada setiap kali aku dalam masalah. Dia memang benar-benar sahabat yang baik. Tapi kalau bukan kepada Bayu, kepada siapa lagi aku harus bercerita. Biasanya Bayu memang selalu punya solusi dari setiap persoalanku.

Aku menarik napas panjang, dan menghempaskannya perlahan. Hatiku benar-benar bingung.
Dengan sedikit berat, aku ceritakan semuanya pada Bayu. Semuanya tentang Airin. Tentang apa yang terjadi dengan kami saat ini. Biar bagaimana pun, Bayu lah yang memperkenalkan aku dengan Airin.
Bayu menelan ludah mendengar semua ceritaku.
"kamu mencintai Airin?" tanya Bayu.
Aku mengangguk yakin.
"kalau begitu, kamu harus memperbaiki semuanya, Lif."
"tapi Airin tak bisa aku hubungi, Bay.." suaraku lemah.
"kamu sudah coba datang ke rumah mamanya?" tanya Bayu lagi, yang membuatku terdiam.
Bayu menoleh sejenak. Aku hanya menggeleng ringan.
"saran saya, Lif. Kamu harus menemui Airin. Kalian harus bicara. Jangan sampai masalah ini semakin berlarut-larut..." ucap Bayu pelan.
Aku manarik napas lagi, kali ini lebih pelan. Ada sedikit kelegaan yang kurasakan setelah menceritakan semuanya pada Bayu. Meski aku belum benar-benar tahu, tindakan apa yang harus aku ambil.
Tapi rasanya Bayu memang benar, kami memang harus bicara.

*************

Kami duduk di ruang tamu rumah mama, setelah dengan sangat susah payah mama membujuk Airin untuk keluar dari kamarnya. Airin terlihat pucat dan sedikit berantakan. Aku tahu apa yang Airin rasakan saat ini.
"kenapa kamu kesini?" Airin berbicara, setelah mama meninggalkan kami berdua.
Aku menatap Airin lama, tak tahu harus memulainya dari mana.
Airin meneguk minumannya, ia masih menunggu jawabanku. Aku menelan ludah pahit.
"aku sudah tahu..." ucapku pelan, Airin mendongak. "mama sudah cerita semuanya.." lanjutku.
"lantas?"
"aku mencintai kamu, Airin. Aku ingin kamu kembali lagi ke rumah kita..."
"aku gak bisa, Lif..."
"kenapa?"
"kamu sudah tahu jawabannya, Lif." Airin menunduk, ia sengaja menghindari tatapanku.

"kamu salah, Airin. Apa pun kondisimu saat ini, itu tidak akan merubah perasaanku padamu..." aku berujar, tanpa mengalihkan pandanganku.
"aku hanya ingin yang terbaik buat kamu, Lif."
"yang terbaik buat aku ialah tetap bersama kamu.." ucapku tegas.
"tapi aku tidak bisa memberikan kamu keturunan, Lif. Kamu sudah tahu itu.."
"kita pasti bisa bahagia....."
"tanpa anak? tanpa keturunan? omong kosong, Lif." potong Airin cepat. "apa arti sebuah rumah tangga, tanpa ada anak di dalamnya, Lif. Pasti semuanya akan terasa hampa..."
"siapa bilang? banyak kok, pasangan yang tetap bahagia sampai tua, meski mereka tidak punya keturunan.." balasku.
"kamu terlalu banyak nonton sinetron, Lif..'
"kamu yang terlalu pesimis, Rin!" suaraku sedikit meninggi.

"aku tidak pesimis! Aku hanya mencoba realistis, Lif. Aku mencoba menerima kenyataan, kalau aku tidak bisa hamil. Dan itu jelas akan membuat rumah tangga kita tidak akan sempurna.."
"tidak ada manusia yang sempurna, Rin. Tidak ada juga rumah tangga yang sempurna. Tapi yang terpenting, kita bisa saling melengkapi. Kita bisa saling menerima kekurangan masing-masing.."
Kali ini Airin terdiam. Ia  meneguk minumannya kembali. Menatapku sekilas, lalu memalingkan muka.
"aku hanya ingin, kamu mendapatkan wanita yang pantas buat kamu, Lif. Dan wanita itu bukanlah aku..."
"kamu sudah jauh lebih pantas buatku, Airin! Kamu sempurna di mataku. Aku mencintai kamu dengan apa adanya dirimu. Apa itu masih belum cukup?!"
Kulihat Airin menarik napas panjang, matanya mulai berkaca, "atau sebenarnya kamu tidak mencintaiku lagi?" lanjutku pelan.
"aku mencintai kamu, Lif. Dan kamu juga tahu itu.."
"kalau begitu mari kita pulang, Rin. Kita mulai lagi semuanya dari awal.."

"aku takut, Lif.." Airin berujar dengan suara bergetar, setelah cukup lama ia terdiam.
"kita hadapi semuanya bersama-sama, Rin. Masih banyak cara agar kita bisa punya anak. Kita hanya harus percaya. Kita harus berusaha, Rin."
"itu mustahil, Lif..." suara Airin semakin parau.
"apanya yang mustahil?! Di jaman yang serba canggih sekarang ini, tidak ada yang tidak mungkin, Rin. Kita akan mencobanya..."
"apa yang harus kita coba, Lif?"
"banyak, Rin." balasku cepat. "bayi tabung, misalnya..."
"bagaimana kalau tetap tidak berhasil...?"
"yah, kita coba terus, Rin. Atau kita bisa angkat anak. Apa bedanya? Yang penting kita tetap bersama..."
"kamu yakin, Lif?" kali ini Airin berkata sambil menatapku lembut.
"aku yakin, Airin." aku menangguk mantap, ada secercah harapan, kalau Airin akan bersedia untuk kembali. "kamu jangan menyerah, Airin! kamu jangan berputus asa seperti ini.." lanjutku.

**********

Hari ini, aku pulang lebih awal. Aku sudah berjanji pada anakku untuk mengajaknya jalan-jalan. Hari ini ia genap berusia empat tahun. Namanya Aznah. Dia memang tidak terlahir dari rahim istriku, Airin.
Aznah kami ambil dari sebuah panti asuhan, waktu itu usianya masih tiga bulan. Meski demikian, Aznah mampu membuat rumah tangga kami semakin bahagia. Kehadirannya mampu memberi warna-warna indah dalam hidup kami. Airin bahkan sangat menyayanginya.

Diperjalanan pulang, tiba-tiba handphone-ku berdering. Nama istriku terpajang di sana. Aku buru-buru mengangkatnya.
"ada apa, ma?" tanyaku.
"Aznah, pa..." suara istriku terbata.
"Aznah? Aznah kenapa, ma?"
"gak tahu, pa. Ia tiba-tiba kejang-kejang tadi, mukanya pucat. Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit sekarang. Papa langsung menyusul kesini ya.."
Aku memacu mobilku menuju rumah sakit yang disebutkan istriku. Perasaanku menjadi tak karuan. Aku mencemaskan putriku. Selama ini ia jarang sekali sakit. Kecuali hanya demam biasa.
Pikiranku terasa tidak enak.

Aku memarkir mobilku dengan terburu. Aku masuk ke rumah sakit dengan tergesa. Tak lama kemudian, aku melihat istriku sedang berbicara dengan seorang dokter. Wajah istriku begitu pucat, air matanya mengalir deras. Ia langsung memelukku. Tangisnya semakin menjadi.
"maaf!" ucap dokter itu, "kami sudah berusaha semaksimal mungkin.." lanjutnya, yang membuatku terhenyak. Meski aku tidak tahu pasti, tapi aku sangat mengerti apa maksud dari perkataan dokter tersebut.
Istriku semakin erat memelukku. Tubuhku lunglai tak berdaya. Istriku akhirnya tak sadarkan diri. Air mataku akhirnya pun tumpah.
Semua terjadi begitu cepat. Aku tak berdaya menerima semuanya. Terlalu sakit bagiku. Aku bahkan rasanya sudah tidak sanggup berdiri. Kaki ku terasa lemas. Sampai kemudian aku benar-benar tak sadarkan diri.............................................

Bersambung ....

Kisah Nyata : Aku terpaksa menjadi isteri simpanan ...

Beberapa tahun lalu, saya pernah bekerja sebagai seorang kasir di sebuah mini market. Waktu itu usia saya masih 19 tahun. Kedua orang tua saya, sudah lama meninggal, sejak saya masih SMP. Kemudian saya tinggal bersama tante Lina, satu-satunya adik perempuan almarhumah Ibu yang masih hidup.Tante Lina dan Om Danu, suaminya, membesarkan saya meski ekonomi mereka hanya pas-pasan. Tambahan pula, mereka punya tiga orang anak yang harus mereka biayai.

Tante Lina hanya mampu menyekolahkan saya sampai tamat SMA. Kemudian saya mulai mencari pekerjaan, untuk biaya hidup saya dan juga untuk membantu keluarga tante Lina.Saya pernah kerja di rumah makan, toko buku dan terakhir menjadi kasir di mini market.Selama ini tante Lina dan om Danu cukup baik kepada saya, sehingga saya tetap tinggal bersama mereka.

Hingga pada suatu malam, saat itu, tante Lina dan ketiga anaknya, pergi ke rumah saudaranya yang lain, karena ada acara pesta keluarga. Saya tidak bisa ikut karena harus kerja, begitu juga om Danu, yang bekerja sebagai seorang satpam di sebuah mall.

Malam itu, seperti biasa, sepulang kerja sekitar jam 9 malam, saya baru saja selesai mandi dan makan malam. Saya masuk ke kamar, hendak tidur.
Tiba-tiba om Danu, yang baru saja pulang kerja, mengikuti saya masuk ke kamar. Saya sedikit kaget, karena biasanya om Danu tidak pernah masuk ke kamar kami. Saya satu kamar dengan anak perempuan satu-satunya tante Lina dan om Danu.

Om Danu langsung mengunci kamar, ketika kami sudah berada di dalam kamar.
"om mau apa?!" tanyaku sedikit santai, biar bagaimana pun, om Danu sudah saya anggap seperti ayah sendiri.
Om Danu hanya diam, sambil terus mendekat. Saya mencoba sedikit mundur, tapi kaki saya sudah mentok ke sisi ranjang. Om Danu langsung mendorong tubuh saya, sehingga saya telentang di ranjang. Om Danu pun kemudian langsung menindih tubuh saya.

Saya berusaha melawan, tapi om Danu terlalu kuat. Saya coba menjerit, tapi tangan om Danu sudah membekap mulut saya dengan kuat.
Dan saya hanya bisa pasrah, ketika akhirnya om Danu berhasil memperkosa saya malam itu. Om Danu berhasil merenggut kesucian saya dengan cara yang sangat kasar.
Saya hanya bisa menangis! Saya menangis sejadi-jadinya.Saya tidak menyangka sama sekali, om Danu tega memperkosa saya. Padahal selama ini, dia begitu baik pada saya.

Tapi semua sudah terjadi. Yang saya rasakan hanyalah rasa sakit yang teramat sangat dan rasa takut yang tiba-tiba datang, ketika om Danu mengancam saya dengan keras. Om Danu mengancam akan membunuh saya, jika saya menceritakan perbuatannya tersebut kepada siapapun, terutama kepada tante Lina. Saya hanya bisa menangis malam itu, menangisi nasib saya. Menangisi semua yang terjadi.


Siangnya, ketika tante Lina sudah pulang, saya berusaha bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. Saya tetap berangkat kerja seperti biasa, meski harus menahan rasa sakit.Sejak saat itu, om Danu, sering memaksa saya lagi untuk melayani nafsu bejatnya.

Tante Lina berjualan sarapan di kantin sekolah tak jauh dari rumah kami, sedangkan anak-anaknya ada yang kuliah dan sekolah. Sehingga kalau pagi hari, keadaan rumah sangat sepi.

Saya sendiri bekerja secara shift kerja, kadang shift pagi, shift siang dan kadang shift malam. Begitu juga om Danu, sebagai satpam, dia bekerja secara shift.

Dan apabila jadwal shift kerja kami siang, biasanya kami berangkat jam sebelas. Dan om Danu memanfaatkan kesempatan itu, untuk melampiaskan nafsu birahi nya kepada saya. Saat orang-orang tidak ada di rumah, saat saya akan berangkat kerja.

Saya sudah tidak berani melawan lagi. Saya begitu takut padanya. Saya hanya bisa pasrah.Om Danu selalu mengancam saya, setiap kali ia selesai melampiaskan nafsunya kepada saya.Selama dua bulan lebih hal terjadi, dan saya hanya bisa diam dan pasrah.

Namun akhirnya, saya memutuskan untuk pindah dari rumah itu. Saya membuat alasan kepada tante Lina, kalau tempat kerja saya terlalu jauh dan saya akan ngekost di dekat tempat kerja saya.
Awalnya tante Lina keberatan, tapi setelah saya coba jelaskan dan sedikit membujuknya, akhirnya ia membiarkan saya pergi.Saya sedikit lega, meski cukup berat berpisah dengan tante Lina. Namun itu jauh lebih baik, dari pada saya harus melayani om Danu lagi.

Kamar kost itu cukup kecil, tapi setidaknya disitu saya merasa sedikit aman dan yang pasti saya tidak akan bertemu om Danu lagi.Di tempat kost, saya bertemu dan berkenalan dengan Desi, seorang perempuan yang baik dan juga soleha. Dia seorang guru. Dia kost karena berasal dari luar daerah. Tapi Desi sudah sangat lama tinggal di kost itu.
Desi sering ikut pengajian ibu-ibu, yang diadakan hampir setiap malam, di Mesjid yang tak jauh dari rumah kost kami. Dia sering mengajak saya ikut, ketika saya tidak ada shift malam. Tapi awalnya saya selalu menolak, dengan alasan kecapean.
Namun akhirnya suatu malam, Desi berhasil membujuk saya untuk ikut. Lagi pula saya pikir, apa salahnya?!
Apa lagi mengingat, apa yang telah om Danu lakukan kepada saya selama ini. Saya tidak bisa melupakannya. Saya sering menangis sendirian, bila mengingat itu semua. Hati saya begitu sakit.
Saya akan selalu mengingat kejadian tersebut.

Sesampainya di mesjid, saya melihat begitu banyak ibu-ibu dan juga para remaja putri berkumpul disana. Desi memperkenalkan saya kepada beberapa orang temannya. Meski merasa sedikit canggung, saya mencoba berbaur dengan mereka.
Tak lama kemudian, datanglah seorang Ustadz paroh baya, dan duduk di depan. Kemudian beliau memulai pengajiannya.
"Beliau itu ustadz Jeri..." bisik Desi ditelingaku, "beliau biasnya mengisi pengajian di mesjid ini, dua kali seminggu." lanjutnya.
Aku hanya manggut-manggut, sambil memperhatikan ustadz Jeri. Wajahnya lumayan tampan, meski sudah cukup berumur.
"jangan pikir macam-macam, beliau sudah menikah dan sudah punya dua anak.." suara Desi sedikit mengagetkan ku, seakan mencoba membaca pikiranku.
"ah, kamu apaan, sih..." balasku sekenanya. Meski sejujurnya saya memang suka melihat ustadz Jeri. Senyumnya sangat manis. Dia juga orang yang penuh kharisma. Suaranya sangat merdu dan menenangkan, apa lagi saat ia membacakan surat Al-Qur'an.
Saya kadang tanpa sadar, sering menatapnya lama.

Diakhir pengajian, ustadz Jeri memberikan kesempatan kepada para jemaah untuk bertanya atau menceritakan masalah mereka. Ustadz Jeri menjawab pertanyaan dan memberikan solusinya dengan sangat cerdas.
Ustadz Jeri memang cerdas dan bijaksana.
Sejak malam itu, saya jadi lebih sering ikut pengajian. Bukan hanya karena ingin melihat ustadz Jeri, tapi juga saya merasa sangat nyaman berada disana.
Sampai hampir satu bulan saya mengikuti pengajian itu dan bekerja sebagaimana biasanya, saya merasa ada yang salah dengan saya.

Saya memeriksakan diri ke dokter, dan dokter mengatakan bahwa saya sedang hamil. Saya hamil sudah hampir 4 bulan. Selama ini saya tidak merasakan apa-apa, saya merasa biasa saja.
Sejak pindah dari rumah tante Lina, 2 bulan yang lalu. Satu-satunya keanehan yang saya alami ialah saya memang sudah lama tidak mens (datang bulan).

Memang sempat terpikir waktu itu, kalau saya bisa saja hamil oleh om Danu. Tapi saya takut bertanya kepada orang-orang. Karena itulah saya hanya diam dan selalu berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja.
Tapi hasil pemeriksaan dokter tadi, membuat saya benar-benar syok dan takut. Saya tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Sejak pindah dari rumah tante Lina, saya tidak pernah datang kesana lagi. Saya tidak mau bertemu om Danu lagi. Meski tante Lina sering nelpon dan menyuruh saya datang. Tapi saya selalu membuat alasan kalau saya sibuk kerja. Saya benar-benar bingung, saya tidak tahu ngapain sekarang.

Saya menangis sejadi-jadinya di dalam kamar kost sendirian. Meratapi hidup saya, yang tiba-tiba terasa begitu pahit dan berat.
Suara ketukan di pintu kamar mengagetkan saya.
Saya mencoba menahan tangis dan menghapus air mata, suara ketukan itu semakin keras.
Saya bangkit dan membukakan pintu, Desi sudah berdiri di depan pintu dan menatap saya lama.

"ada apa?" tanya nya.
"gak... gak ada apa-apa..." jawabku sedikit terbata.
"aku dengar kamu nangis," balas Desi, "cerita padaku, ada apa?" lanjutnya, sambil masuk ke dalam.
Aku hanya berdiri terpaku dan membiarkan Desi masuk, lalu mengunci pintu.
Aku memang butuh cerita. Tapi hatiku ragu. Apa Desi bisa pegang rahasia? Bathinku.
Namun aku tak punya pilihan. Lagi pula, Desi selama ini sangat baik padaku.
Dengan sedikit terbata-bata, aku ceritakan semua kejadian yang menimpaku pada Desi.
Desi kelihatan sangat kaget, tapi segera ia mengendalikan diri. Dia memelukku yang sudah terisak-isak.
"aku gak tahu lagi mesti ngapain, Des..." ucapku, masih dalam tangis.
Desi membiarkan ku menangis, untuk melepaskan segala kesedihanku. Aku terus saja terisak, sambil memeluk erat tubuh Desi.

"bagaimana kalau kita menemui ustadz Jeri ..." ujar Desi akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam. Aku sedikit kaget dan berusaha menghentikan tangisku. Ku tatap wajah Desi cukup lama, penuh tanya dan keraguan.
"udah! kamu tenang aja," lanjut Desi menjawab tatapanku. "nanti aku yang ceritakan semuanya. Kamu tahu, kan. Ustadz Jeri, selalu punya solusi dari setiap masalah..." lanjutnya lagi.

Aku sedikit ragu. Tapi apa yang dikatakan Desi, ada benarnya. Aku gak mungkin menyimpan hal ini, lambat laun orang-orang bakal tahu, kalau aku hamil.
Aku setuju untuk menemui ustadz Jeri. Kami pun berangkat, setelah Desi menelpon Ustadz Jeri dan membuat janji temu.

Kami bertemu ustadz Jeri di rumahnya yang ada di kota kami. Menurut Desi, itu rumah kedua Ustadz Jeri. Beliau sebenarnya tinggal di kota lain, bersama anak istrinya.

Rumah yang dikota kami itu, hanyalah rumah persinggahan beliau, ketika dia ada acara di kota kami. Sesampainya di rumah itu, kami dipersilahkan masuk oleh ustadz Jeri sendiri. Ternyata beliau hanya sendirian disitu. Katanya, rumah itu sengaja beliau beli, karena suasananya yang nyaman dan jauh dari keramaian. Rumah itu sengaja tak di jaga siapa pun, jadi setiap kali ustadz Jeri ke rumah itu, beliau selalu sendirian. Beliau suka kesana untuk menenangkan diri.
Setelah di persilahkan duduk dan disuguhkan minuman. Desi mulai menceritakan maksud kedatangan kami. Desi menceritakan semua kejadian yang menimpa saya dan meminta jalan keluarnya kepada ustadz Jeri.
"saat ini, perut saya sudah mulai membesar," kataku, "saya gak mungkin berada di kos ataupun bekerja, apa lagi harus kembali ke rumah tante Lina," lanjutku. "saya pun tak ingin minta pertanggungjawaban om Danu, karena jelas akan sangat melukai hati tante Lina dan anak-anaknya." lanjutku lagi.
"kalau kamu mau," ucap ustadz Jeri akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam, "untuk sementara kamu tinggal saja dulu di rumah ini,"katanya melanjutkan, "sampai kita temukan solusinya, atau bahkan sampai anak kamu lahir..." lanjutnya lagi.
Aku terdiam cukup lama. Kutatap Desi, dia hanya memperlihatkan wajah terserah. Kutatap ustadz Jeri sesaat, lalu tanpa sadar aku mengangguk. Karena menurutku, tidak ada jalan lain, untuk menyembunyikan kehamilanku.

Esoknya aku langsung pindah, tanpa sepengetahuan siapa pun, kecuali Desi. Tapi hari itu, Desi tidak bisa mengantarku, karena harus kerja. Aku berangkat sendiri menuju rumah ustadz Jeri.
Ustadz Jeri menyambutku dengan ramah dan menyuruhku, masuk ke salah satu kamar rumah itu.
"ini kamar mu," jelasnya. "kamu bebas tinggal dirumah ini. Nanti aku bantu biaya hidup kamu, sampai anak kamu lahir..." katanya lagi.
"terima kasih banyak ustadz..." kataku tulus.
"nanti sore aku pulang, besok aku kesini lagi mengurus beberapa hal..." ucapnya.
Sore itu, ustadz Jeri pulang dengan mengendarai mobilnya sendirian.
Aku mencoba beristirahat, sampai akhirnya ketiduran. Saat aku terbangun, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, hujan sangat deras di luar. Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan pintu yang sangat keras.
Aku menuju pintu dan mengintip dari jendela. Ternyata di luar ada ustadz Jeri. Segera aku bukakan pintu.
"maaf ustadz, saya ketiduran!" ucapku, "ustadz udah dari tadi mengetuk pintu?" tanyaku melanjutkan.
Ustadz Jeri hanya mengangguk. Lalu beliau duduk di kursi tamu. Saya duduk dihadapannya, dengan hanya memakai baju tidur.

"ustadz tidak jadi pulang?" tanyaku memecah keheningan, hujan semakin deras diluar.
"terjadi longsor, jalan putus, saya tidak bisa pulang..." jelasnya.
Karena merasa tidak enak hati, saya berdiri dan hendak pergi tidur.
"tunggu!" cegah ustadz Jeri. "setelah saya pikir-pikir, bagaimana kalau kamu saya nikahi saja!" lanjutnya yang membuat saya sedikit kaget. "kamu mau, kan? jadi istri kedua saya?" tanya nya lagi.
Aku hanya terdiam.
"kamu sedang hamil, dan saya tak ingin terjadi fitnah. Jadi lebih baik kita menikah saja. Dan itu akan jauh lebih aman..." ucapnya lagi.

Aku masih terdiam. Sejujurnya aku memang suka dengan ustadz Jeri. Tapi bukan berarti harus jadi istri kedua.
"tapi saya tidak ingin, pernikahan kita diketahui istri saya. Jadi kita akan nikah sirih..." ustadz Jeri berkata lagi, melihat saya hanya diam.
Aku semakin terpukul. Tapi saat ini, apa aku punya pilihan. Setidaknya dengan menikah dengan ustadz Jeri, anakku nanti punya ayah.
Aku mengangguk, dan berkata, "jika itu memang jalan terbaik bagi ustadz, saya ikut saja..."
Kulihat ustadz Jeri tersenyum. Aku pun melangkah menuju kamar untuk tidur. Pikiran ku kacau. Mataku enggan terpejam, semua kejadian yang menimpaku terlintas di benakku. Hatiku semakin sakit. Tapi aku benar-benar tak berdaya. Aku hanya pasrah dan membiarkan takdir menjalankan tugasnya. Aku yakin, semua yang terjadi adalah yang terbaik!

Akhirnya aku menikah dengan ustadz Jeri. Hanya dihadiri penghulu dan dua orang saksi. Benar-benar bukan pernikahan yang aku impikan. Tapi ini jauh lebih baik, dari pada hamil tanpa suami. Aku dan ustadz Jeri hanya nikah sirih, nikah bawah tangan atau apalah istilahnya. Intinya aku hanya istri simpanan ustadz Jeri. Sebuah status yang tak pernah terpikir kan oleh ku selama ini.

*****
Bersambung...

Lanjutan kisah "Istriku memilih untuk pergi saat aku sedang terpuruk" (part 2)

"kamu terlambat, mas.." suara istriku cukup keras, mengimbangi suara gerimis di luar. Kami duduk di teras.
"maksud kamu?" tanyaku heran.
"aku bukan Dewi yang dulu lagi, mas. Aku bukan istrimu lagi. Aku sudah menikah dengan orang lain." balas Dewi dengan sedikit tertunduk.
"kita belum resmi bercerai, Wi..." aku membesarkan volume suaraku.
"secara hukum mungkin belum. Tapi secara agama kita sudah bukan suami istri lagi. Sudah lebih dari enam bulan kita tidak bersama. Sudah lebih dari enam bulan kamu tidak menafkahi aku dan Azzam, mas."
"tapi bukannya kamu yang memilih untuk pergi?"
"iya. Karena aku tidak ingin membebani kamu disana, mas. Aku hanya berharap, jika aku pergi, kamu bisa lebih fokus mencari pekerjaan."
"tapi mengapa kamu tidak menungguku, Wi?" balasku sambil menatap wajah Dewi cukup lama.
"karena ayah dan Ibuku, mas. Mereka bersikeras untuk menikahkan aku dengan mas Dadang. Karena kamu tak kunjung datang, aku terpaksa menerimanya." suara Dewi terdengar parau.
"apa kamu mencintainya?" tanyaku akhirnya, setelah cukup lama kami saling terdiam.
"cinta tidak menjadi prioritas utama bagiku saat ini, mas. Aku pernah menikah dengan orang yang aku cintai, tapi untuk apa cinta itu, jika hidup kita menderita." Dewi menarik napas, "yang penting mas Dadang bertanggungjawab..." lanjutnya.
"aku juga bertanggungjawab..."
"tapi nyatanya kita menderita, mas."
"hanya beberapa bulan, Wi. Hanya beberapa bulan aku menganggur. Dan kamu tidak sabar menjalani itu semua.."
"bagimu mungkin hanya beberapa bulan, mas. Tapi bertahun-tahun aku harus menahan kerinduanku pada Ibu dan ayahku, pada keluargaku..."
"tapi bukannya kamu yang ingin kita segera menikah, meski tanpa restu dari orangtuamu?!" suaraku meninggi lagi.
"ya. Itu karena aku mencintai kamu. Aku pikir cinta saja sudah cukup membuatku bahagia. Tapi lama kelamaan aku mulai sadar, bahwa cinta bukanlah segalanya. Cintaku padamu telah membuat aku terpisah dari keluargaku, bahkan sampai bertahun-tahun aku masih berharap cinta itu bisa membuat aku kuat. Tapi ternyata aku salah..."

"apa dia menyayangi Azzam?" tanyaku lagi.
"kalau kamu bertanya apa mas Dadang menyayangi Azzam seperti kamu menyayangi Azzam, tentu saja tidak. Tapi yang pasti mas Dadang bertanggungjawab dan dia tidak pernah menyakiti Azzam."
"aku ingin membawa Azzam bersamaku.." ucapku lagi, kali ini aku menatap rintik-rintik hujan yang sudah mulai reda.
"kalau kamu ingin bertemu Azzam kapanpun, aku tidak akan melarang, mas. Tapi jangan harap kamu bisa membawanya pergi.." suara Dewi terdengar tegas.
"dia anakku.."
"dia juga anakku." potong Dewi cepat. "aku yang melahirkannya, aku juga yang merawatnya." kali ini suara Dewi terdengar ketus.
"aku akan tuntut di pengadilan.."
"silahkan, mas. Aku juga tidak takut. Aku bukan sosok Ibu yang tidak bertanggungjawab. Aku merawat Azzam dengan baik. Pengadilan tidak akan membiarkanmu mengambil Azzam dariku, mas. Apa lagi jika mereka tahu, bagaimana kehidupan kita sebelumnya..."
"aku sudah kerja sekarang. Hidupku juga sudah jauh lebih baik. Aku bahkan sudah punya rumah sendiri. Penghasilanku jauh lebih dari cukup untuk membiayai Azzam." ucapku berusaha lembut. Biar bagaimanapun, aku ingin anakku tinggal bersamaku. Meski Dewi telah memilih untuk menikah lagi, setelah lebih dari enam bulan kami tidak bertemu.
Yah, enam bulan sudah peristiwa tragis hidupku telah berlalu. Sekarang aku sudah bekerja dengan Bayu, sahabatku. Aku bahkan dipercaya Bayu untuk menjadi manager di salah satu kafenya, seperti janjinya.
Hidupku sudah jauh lebih baik, berkat Bayu. Aku sudah punya rumah sendiri. Punya kendaraan yang layak. Dan yang pasti aku sudah punya penghasilan yang jauh lebih dari cukup.
Enam bulan, akhirnya aku memutuskan untuk menemui istri dan anakku. Aku ingin mengajak mereka kembali bersamaku. Tapi ternyata, istriku sudah menikah lagi.
Aku sempat terpukul mendengarnya. Tapi sebagai laki-laki aku tak ingin terlihat lemah. Aku harus terlihat tegar. Dan berusaha ikhlas melepas Dewi dari hidupku.
Namun aku tidak bisa ikhlas melepaskan Azzam begitu saja.

"kalau memang hidupmu sudah membaik, kenapa kamu baru datang sekarang?" tanya dewi mengagetkanku.
"aku baru saja mulai kerja, Wi. Aku tak mungkin meninggalkan pekerjaanku. Dan baru sekarang aku punya kesempatan untuk bisa datang kesini.." jawabku dengan suara berat.
"tapi tetap saja kamu sudah terlambat, mas. Lebih baik mas pulang. Mungkin kisah kita memang harus berakhir sampai disini.."
Aku terenyuh mendengar semua itu. Tak kusangka Dewi begitu cepat berubah. Kami yang dulu saling mencintai, kini hanya tinggal puing-puing kenangan.
Kutatap mata Dewi tajam. Namun Dewi memalingkan wajahnya cepat. Tak ada lagi cinta. Tak ada lagi kebahagiaan yang dulu sempat mewarnai hari-hari indah kami.
Kini semua telah musnah. Tak ada lagi yang harus diperjuangkan. Yah, Dewi benar. Kisah kami memang telah berakhir. Namun Azzam adalah anakku. Aku tetap akan berjuang untuknya.

*******

Ternyata perjuanganku hanya sia-sia. Telah berbagai cara aku lakukan untuk mendapatkan hak asuh anakku. Namun pengadilan memutuskan bahwa istriku lebih berhak mendapatkan hak asuh-nya.
Aku bukan saja kehilangan istriku, tapi aku juga harus kehilangan anakku. Meski pun sewaktu-waktu aku masih bisa mengunjungi Azzam. Tapi tetap saja aku merasa telah kehilangan segalanya.
Usahaku untuk memperbaiki hidup, ternyata tetap tidak mampu membuatku bisa mempertahankan rumah tanggaku, yang sudah terlanjur hancur.

Aku kembali ke kota dengan perasaan hampa. Aku merasa gagal. Kehidupanku memang telah membaik. Tapi apa arti itu semua bagiku saat ini. Jika semua terasa menyakitkan.
Mimpiku untuk membangun kembali rumah tanggaku yang retak, ternyata hanya sia-sia.

Aku menjani hari-hariku dengan berat. Perlahan aku mulai menghapus nama Dewi dari hatiku. Aku tak ingin mengingatnya lagi. Kalau Dewi bisa berubah, kenapa aku tidak. Toh, sekarang hidupku sudah cukup mapan. Aku masih cukup muda. Aku bisa mencari pengganti Dewi dengan mudah. Meski tentu saja, mencari pasangan yang selalu setia menemaniku dalam kondisi apa pun itu tidak mudah. Tapi setidaknya, aku harus bisa membuka hatiku untuk kehadiran wanita lain. Menemukan kembali kebahagiaanku.

"hei. Melamun lagi?" suara Bayu mengagetkanku.
Aku menoleh sejenak ke arah Bayu. Kami duduk di sudut ruangan kafe sore itu. Bayu sengaja mengajakku bertemu disitu.
"masih memikirkan Dewi?" lanjut Bayu lagi.
Aku menggeleng. "bukan Dewi, Bay. Tapi Azzam.." balasku tegas.
Bayu hanya menatapku. Aku tahu, Bayu tidak percaya kalau aku sudah melupakan Dewi. Namun kemudian Bayu tersenyum. Akhir-akhir ini Bayu memang terlihat bahagia. Apa lagi sejak anak pertamanya lahir tiga bulan yang lalu.
"gimana kabar Surya?" tanyaku akhirnya. Surya adalah nama anak Bayu. Dia beri nama Surya, agar bisa selalu bersinar, katanya.
"owh, lagi sedang rewel-rewelnya sekarang, Lif. Rewelnya itu yang bikin aku selalu kangen.."

"ada apa kamu ajak aku kesini, Bay?" tanyaku lagi.
"oh, ya. jadi lupa. Aku mau kenalkan kamu dengan seseorang." balas Bayu ringan.
"siapa?"
"adalah... seseorang. Sebentar lagi ia sampai sini." ucap Bayu dengan sedikit menyunggingkan senyum.
Aku hanya terdiam. Pikirku Bayu pasti akan memperkenalkanku dengan salah seorang rekan bisnisnya. Mungkin untuk mengembangkan usahanya.
Tak lama kemudian, seorang gadis berjalan mendekati meja kami. Gadis itu berjalan dengan anggun, senyumnya mengembang. Wajahnya mulus terawat, bak seorang model sebuah majalah.
"hai! Akhirnya sampai juga.." sapa Bayu kepada gadis itu, sambil mereka berjabat tangan. "oh, ya. Kenalkan! Ini Alif." lanjut Bayu lagi.
Gadis itu menatapku beberapa saat, kemudian tersenyum.
"hei.." sapanya ringan. "saya Airin.." lanjutnya dengan suaranya yang merdu, membuat jantungku berdegup cukup kencang.
Dengan sedikit gugup aku menjabat tangan lembut gadis itu. "Alif.." balasku.

Ternyata Bayu memang sengaja ingin memperkenalkan aku dan Airin. Bayu bahkan dengan sengaja, beberapa saat kemudian, pergi meninggalkan kami berdua disana.
Dari cerita Airin, aku akhirnya tahu, kalau ia seorang dosen. Usianya hanya lebih muda dua tahun dariku. Dia juga masih lajang.
"Bayu sudah cerita banyak tentang kamu.." ucap Airin lembut. "Bayu adalah kakak seniorku, waktu kuliah di Singapur..." lanjutnya.
"oh.." aku membulatkan bibir.

******

Berbulan-bulan aku dan Airin akhirnya sering jalan bareng, makan bareng dan bahkan nonton bareng. Rasanya hatiku mulai menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang sudah lama hilang.
Airin tahu semua kisahku. Selain dari yang ia dengar dari Bayu. Aku juga menceritakan semuanya.
Airin tidak mempermasalahkan tentang statusku.
Kedekatan kami akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta. Airin dengan sangat bahagia, menyambut semua perasaan cintaku padanya.
Kami menjalin hubungan yang serius. Hatiku telah pulih kembali. Kehadiran Airin benar-benar membuatku bangkit.

Setelah hampir setahun pacaran, kami pun akhirnya memutuskan untuk menikah.
Airin gadis yang mandiri. Punya pekerjaan yang mapan. Namun itu tidak menjadi penghalang bagi kami untuk hidup bersama. Meski pun secara pendidikan Airin lebih tinggi dari aku, ia tetap menghormatiku sebagai seorang suami.
Rumah tangga kami berjalan lancar dan bahagia.

Namun ternyata itu semua tidak berlangsung lama. Dua tahun membina rumah tangga yang bahagia, kami belum juga dikarunia anak. Hal itu ternyata membuat hubungan kami kian hari kian renggang. Airin lebih sibuk dengan pekerjaannya. Ia jadi jarang berada di rumah.
Awalnya aku coba memahaminya. Mungkin dia kesepian, pikirku.
Tapi lama kelamaan, sikap Airin justru berubah. Ia tak lagi semanis dulu. Airin lebih sering diam, jika berada di rumah.
"kamu kenapa?" tanyaku suatu hari, mencoba bersikap lembut.
Airin menghela napas, "aku capek, Lif.." jawabnya terdengar lesuh.
"tapi akhir-akhir ini, kamu jadi jarang di rumah, Rin. Dan jika pun di rumah kamu seperti enggan menyapaku.."
"itu hanya perasaan kamu aja, Lif."
"tapi kamu berbeda sekarang, Rin. Udah gak kayak dulu lagi.." aku masih berusaha melembutkan suaraku.
"berbeda apanya!" tiba-tiba suara Airin sedikit meninggu, "kamunya aja yang terlalu perasa.."

Hari-hari berikutnya justru hubungan kami semakin parah. Ada-ada saja hal-hala sepele yang membuat kami sering bertengkar.
"aku capek, Lif. Aku baru pulang kerja. Kamu sih enak, kerja gak seberapa. Gaji juga gak seberapa." suara Airin lantang.
"maksud kamu?" suaraku lebih lantang lagi, kali ini aku benar-benar tersinggung.
"kamu pasti ngerti maksud aku apa.."
"oh. jadi sekarang kamu mempermasalahkan penghasilanku yang tak seberapa dibandingkan dengan penghasilan kamu?" suaraku cukup bergetar menahan amarahku.
Airin hanya menghempaskan kakinya, lalu berjalan tergesa menuju kamar dan menghempaskan pintu dengan keras.
Hatiku semakin terasa pilu.

Keesokan harinya Airin pergi dengan membawa koper. Aku tidak memperdulikannya.
"aku mau ke rumah mama, beberapa hari.." ucapnya sambil menutup pintu. Aku hanya terdiam.
Aku benar-benar tidak tahu, apa yang terjadi. Mengapa Airin tiba-tiba berubah? Mengapa sekarang sikapnya tidak semanis dulu? Bahkan sekarang ia pergi meninggalkan aku sendirian di rumah ini.
Aku benar-benar dibuat bingung. Tak mengerti!

Bersambung lagi....

Cinta Suci untuk Tom....

Mata Tom berkaca. Sekuat mungkin ia berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia harus terlihat tegar. Ia harus terlihat kuat, terutama di depan keluarga Jeni, tunangannya.
Bayangan kisah cintanya dengan Jeni berkelebat di benaknya. Pikirannya melayang, memutar memori kisah kasihnya yang begitu indah dengan Jeni.
Tiga tahun mereka bersama. Tiga tahun Tom merasa hidupnya begitu sempurna dengan kehadiran Jeni.
Tom menarik napas dalam, bayangan wajah cantik Jeni kembali melintas.
Jeni yang selama ini telah mewarnai hidupnya. Memberikan ia semangat, saat Tom dalam keterpurukan. Jeni selalu ada untuknya. Jeni selalu setia mendampinginya.

"gimana? cantik, gak?" tanya Jeni suatu hari, dengan suara riang. Dia tersenyum bahagia memamerkan gaun pengantin yang ia pesan berbulan-bulan lalu.
Tom hanya tersenyum memperhatikannya. Bagi Tom, Jeni selalu terlihat cantik. Tak peduli baju apa pun yang ia pakai. Tom mengangguk, sambil mengacungkan kedua jempol tangannya.
Jeni masih tersenyum, sambil sedikit berputar-putar memperhatikan tubuh rampingnya yang memakai gaun pengantinnya. Dia sangat bahagia akhirnya bisa menjadi calon isteri Tom.
Segala persiapan pesta telah mereka persiapan. Tanggal pernikahan sudah ditetapkan. Undangan juga sudah disebar.
Tiga tahun mereka pacaran, sudah cukup bagi Tom untuk mengenal sosok Jeni, begitu juga sebaliknya.
Tiga tahun mereka pacaran, mereka akhirnya memutuskan untuk bertunangan. Dan sudah hampir tiga bulan mereka bertunangan saat itu.

"oke! Sekarang kita kemana?" tanya Tom, setelah mereka selesai mencoba baju pengantin tersebut.
Sesaat Jeni terdiam. Mereka melangkah menuju tempat parkir.
"kamu pulang duluan aja, Tom. Aku mau ke rumah Mita, ada beberapa undangan yang harus aku antar kesana." ucap Jeni, setelah mereka berdiri di dekat mobil Tom.
"aku antar ya.." tawar Tom.
"gak usah, sayang. Kamu kan baru pulang kerja, pasti capek. Kamu pulang aja dulu. Istirahat.." balas Jeni dengan senyum manisnya.
Tom menatap Jeni beberapa saat. "kamu?" Tanyanya.
"aku bisa naik taksi, Tom."
"oke. Kamu hati-hati, ya.." Tom berkata sambil melangkah menuju pintu mobilnya.
Jeni melambaikan tangan, sebelum mobil Tom menghilang dari pandangannya. Ia pun segera menghubungi sebuah taksi.

Tom menghempaskan tubuhnya di ranjang. Tubuhnya terasa capek. Akhir-akhir ini ia dan Jeni memang cukup sibuk mempersiapkan pesta pernikahan mereka. Meski yang paling sibuk tentunya Jeni.
Belum sampai setengah jam ia terbaring, tiba-tiba handphone-nya berdering. Segera Tom mengambil handphone-nya. Itu dari papanya Jeni.
"taksi yang Jeni tumpangi mengalami kecelakaan, Tom. Nyawa Jeni tidak bisa terselamatkan. Sekarang kami sedang mengurus jenazahnya di rumah sakit. Sebentar lagi kami menuju rumah. Kamu langsung ke rumah aja ya, Tom." suara papa Jeni terdengar parau di seberang.
Tom menutup handphone-nya. Hatinya terasa perih. Tubuhnya terguncang. Ia masih tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia berharap itu semua hanyalah sebuah mimpi.

Tom memacu mobilnya menuju rumah Jeni. Hatinya berkecamuk. Pikirannya kacau.
Setengah tak percaya ia turun dari mobilnya, orang-orang sudah ramai di rumah Jeni. Isak tangis keluarga mengelilingi jasad Jeni yang terbaring kaku di ruang tamu rumah itu.
Tubuh Tom terasa lunglai. Matanya tiba-tiba berkaca. Tapi ia berusaha tegar. Ia sekuat mungkin menahan air matanya.

******

Dua tahun berlalu. Tom masih setia dengan kesendiriannya. Baginya, setelah kepergian Jeni, hatinya sudah tertutup rapat. Tidak ada lagi peluang siapa pun masuk ke dalamnya. Cintanya kepada Jeni terlalu besar. Tak mudah bagi Tom menghapus semua kenangan indahnya dengan Jeni. Meski Jeni telah tiada. Meski Jeni telah pergi dengan membawa seluruh cintanya. Tapi bagi Tom, Jeni selalu hidup di hatinya.




Sampai suatu saat, ia bertemu Suci. Gadis soleha yang berhijab. Suci yang lembut dan penuh perhatian, mampu membuat Tom tersenyum kembali.
Pelan-pelan Suci berhasil masuk ke relung hati Tom yang beku. Perlahan hati Tom pun mulai terbuka. Mulai menerima kehadiran Suci di dalamnya. Suci berhasil membangkitkan semangat dalam jiwa Tom yang rapuh. Hidup Tom yang berantakan, mulai tertata kembali dengan kehadiran Suci.

"kalau kamu gak mau. Kamu gak usah cerita, Tom." suara Suci lembut.
"tapi kamu harus tahu, Ci. Kamu harus tahu cerita masa laluku." balas Tom. Mereka duduk di sebuah bangku taman kota.
"sudahlah Tom! Yang lalu biarkanlah berlalu. Setiap orang punya masa lalu. Itu sudah tidak penting lagi. Yang penting sekarang, bagaimana kita menatap masa depan."
"aku hanya tidak ingin, hubungan kita kedepannya, dihantui oleh masa laluku yang pahit.."
"aku juga punya masa lalu, Tom. Dan masa laluku juga tidak terlalu manis. Jadi sebaiknya, kita lupakan semua yang telah berlalu. Kita mulai hidup dengan lembaran yang baru..." Suci menarik napas sejenak, ia menatap Tom yang tertunduk. "tapi jika dengan menceritakan itu semua bisa membuatmu tenang dan lega, aku siap mendengarkannya, Tom." lanjutnya.
"yah. Aku hanya ingin kamu tahu, Ci..." ucap Tom dengan suara pelan.
Ia menceritakan semuanya. Ia merasa lega bisa menceritakan kisahnya dengan Jeni. Tom menceritakan itu semua, hanya sekedar untuk meyakini hatinya sendiri, kalau Suci memang benar-benar mencintainya.

***********

"siapa dia?" tanya Tom dengan nada datar. Ia dan Suci sudah menjalin hubungan lebih dari enam bulan.
"maksud kamu?" Suci bertanya dengan kening berkerut.
"cowok yang bersamamu kemarin sore di kafe.." balas Tom.
"oh. kamu melihatnya?" Suci melirik mata Tom, ada gurat cemburu di sana.
"aku melihatnya tak sengaja. Aku ada janji bertemu teman di kafe itu. Tapi karena aku melihat kamu disana, aku membatalkan janjiku. Dan memilih kafe lain." jelas Tom. "siapa dia?" tanyanya lagi.
"dia Delon. Mantan tunanganku." tegas suara Suci.
Tom mengerutkan kening, "mantan tunangan?"
"iya. Beberapa tahun lalu, jauh sebelum kita saling kenal. Aku sempat bertunangan dengan Delon. Tapi pertunangan kami dibatalkan."
"kenapa?"
"karena Delon lebih memilih melanjutkan study S2-nya ke luar negeri. Dia memutuskan pertunangan kami, karena gak mau membuat aku merasa terikat. Begitu juga sebaliknya." Suci menghela napas, "dari situ aku sadar, kalau Delon tak benar-benar mencintaiku. Kuliah ke luar negeri hanyalah sebuah alasan untuk memutuskan pertunangan kami, meski kami bahkan sempat pacaran selama dua tahun. Tapi keputusan Delon untuk mengakhiri pertunangan kami, telah membuat aku sangat terluka.."
Suci melanjutkan dengan suara sedikit bergetar.

"lalu sekarang?"
"sekarang Delon datang kembali, dan berharap aku masih bisa menerimanya."
"kamu mau?" Tom bertanya lagi, kali ini ia tatap wajah manis Suci cukup lama.
"saat Delon pergi. Aku sempat putus asa dan sangat kecewa. Aku tak percaya lagi dengan yang namanya cinta. Hatiku, kututup rapat. Aku lalui hari-hariku dengan penuh kekecewaan. Namun setahun berlalu, aku bertemu kamu. Pelan aku mulai merasa, kalau kehadiranmu telah mampu menyingkap kelamnya hatiku. Goresan luka di hatiku, karena kepergian Delon, perlahan mulai mengering. Entah mengapa saat bersamamu, aku merasa lebih baik dan begitu nyaman. Aku belajar melupakan Delon. Aku belajar melupakan masa laluku. Sampai akhirnya kamu mengungkapkan perasaanmu padaku, aku semakin sadar, bahwa Delon hanyalah sebuah masa lalu, dan kamu adalah masa depanku." kali ini Suci menarik napas cukup lama.
"namun saat Delon datang kembali. Tiba-tiba aku merasa ragu dengan hatiku. Benarkah aku telah mampu menghapus nama Delon di hatiku? Benarkah aku telah jatuh cinta padamu?" lanjutnya dengan sedikit terbata.
"pada akhirnya aku memang harus memilih, Tom. Dan aku harus pergi dari hidupmu. Itu keputusanku...." kali ini Suci berkata tanpa menatap sedikit pun pada Tom. Matanya tiba-tiba berkaca. Hatinya begitu miris.

Tom menghempaskan napas berat. Ia menatap gadis itu sekali lagi.
"itu berarti, bahwa semua ucapanmu tentang 'melupakan masa lalu dan mulai membangun hidup yang baru' adalah sebuah omong kosong.." suara Tom meninggi.
Suci menelan ludah. Ia tahu, Tom akan marah. Ia tahu, ia salah. Tapi ia memang harus pergi. Ia tak mungkin lagi melanjutkan hubungannya dengan Tom. Ada banyak hal yang ia sembunyikan dari Tom. Dan Tom tak harus tahu. Suci tak ingin Tom tahu, setidaknya sampai ia benar-benar siap menerima semuanya.
Begitu banyak yang ingin ia jelaskan pada Tom. Tapi..
"maafkan aku, Tom..." hanya itu yang keluar dari bibirnya yang kering.

************

Tok! tok! tok! suara ketukan di pintu kamarnya mengagetkan Tom.
"Tom! ada tamu!" suara mamanya nyaring.
"siapa, Ma?"
"gak tahu. Penting katanya.."
Tom bangkit dari ranjangnya. Ia segera keluar menuju ruang tamu. Seorang laki-laki sudah duduk disana.
"hai, Tom.." sapa laki-laki itu ringan.
"kamu?" kening Tom berkerut.
"saya Delon. Suci pasti udah cerita.." balas laki-laki itu lagi.
Tom mengernyitkan kening lagi, ia duduk dihadapan laki-laki itu.

"ada apa kamu kemari?" suara Tom datar.
"saya ingin bicara soal Suci. Sebagai sesama laki-laki."
"maksud kamu?"
"ada banyak hal yang kamu tidak tahu tentang Suci, Tom."
"iya. Tentu saja! kamu pasti lebih mengenalinya. Karena kamu mantan tunangannya.." suara Tom terdengar sedikit kasar.
"itu yang ingin saya jelaskan disini, Tom. Sebenarnya Suci berbohong. Tidak semua, sih. Tapi ada beberapaa hal yang Suci tidak ceritakan padamu."
"salah satunya?"
"saya bukan tunangan Suci, Tom. Saya sepupunya. Suci tidak pernah punya tunangan. Suci bahkan tidak pernah punya pacar, selain kamu tentunya."
Kali ini Tom terdiam. Ia mengepalkan tangan. Hatinya bingung.

"saya gak ngerti maksud kamu.." desah Tom.
"Suci sakit, Tom. Suci menderita leukemia sejak kecil. Dokter sudah memvonis, kalau umur Suci tidak akan lama. Adalah sebuah keajaiban, kalau Suci masih bertahan sampai ia dewasa. Tapi ternyata, saat ini, penyakit yang di derita Suci sudah semakin parah dan sepertinya sudah tidak bisa tertolong. Meski pun selama ini, Suci rutin menjalani pengobatan. Tapi tetap saja, kanker itu masih bersarang di tubuhnya." Delon  menarik napasnya.
"Saat ini, Suci sedang menjalani pengobatan di Singapur. Kedua orang tuanya masih berharap Suci masih bisa sembuh. Tapi Suci sendiri tahu, kalau umurnya tidak akan lama lagi."
Tom menatap Delon cukup lama, mencoba memahami cerita Delon barusan. Tom menatap laki-laki itu setengah tak percaya. Tapi untuk apa Delon berbohong. Bathinnya.

"lalu untuk apa Suci berbohong?" tanya Tom akhirnya, setelah beberapa saat mereka terdiam.
"Suci tidak pernah pacaran sebelumnya, Tom. Ia tahu, umurnya tak lama. Makanya ia memilih untuk tidak menjalin hubungan serius dengan laki-laki manapun. Tapi sejak ia mengenal kamu, ia merasa berbeda. Di mata Suci, kamu berbeda, Tom. Kamu mampu membuat Suci akhirnya benar-benar jatuh cinta. Awalnya Suci ingin cerita tentang semua ini, tapi ia gak sanggup. Ia takut kamu akan pergi meninggalkannya. Sementara ia sudah terlanjur mencintai kamu. Namun setelah kamu cerita tentang masa lalu kamu dengan Jeni. Ia justru semakin takut. Ia takut, kalau pada akhirnya kamu juga akan kehilangan dia. Sama halnya seperti Jeni, tapi mungkin dengan cara yang berbeda." Delon menelan ludah.
"untuk itu ia mengarang cerita tentang pertunangannya dengan saya. Pada saat kamu melihat kami di kafe, itulah saat Suci meminta izin saya, untuk berbohong padamu. Ia tahu, kamu akan datang ke kafe itu.." Delon melanjutkan.

Tom menarik napas, hatinya terenyuh. Kenapa Suci melakukan itu padanya? pikir Tom membathin.
"karena ia tidak ingin hubungan kalian semakin dalam, Tom." ucap Delon lagi, seperti bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Tom. "ia tidak ingin, kamu berharap banyak. Karena ia tahu, pada akhirnya ia memang harus pergi. Dan itu pasti akan sangat berat bagimu, Tom."
"lalu untuk apa kamu ceritakan ini semua pada saya sekarang?"
"sebenarnya saya sudah berjanji pada Suci, untuk tidak menceritakan ini sama kamu, Tom." Delon menghembuskan napas. Ia teguk minuman yang sudah dihidangkan mama Tom dari tadi.
"tapi, saya tak ingin kamu berburuk sangka pada Suci. Terutama di sisa-sisa akhir hidupnya.." Delon melanjutkan.
Tom memijit keningnya sendiri. Semua yang diceritakan Delon membuat kepalanya berdenyut. Sungguh ia masih tak percaya, kalau ternyata cerita Suci tentang hubungannya dengan Delon, hanyalah sebuah alasan untuk mengakhiri hubungan mereka.

"besok saya akan ke Singapur, menjenguk Suci. Saya tidak tahu, apakah saya masih bisa bertemu dengannya. Tapi saya sarankan, agar kamu ikut, Tom. Setidaknya beri Suci sedikit kebahagiaan, sebelum ia benar-benar pergi..." suara Delon semakin pelan.
Tom menelan ludah pahit. Ia tak sanggup.
Ia tak sanggup kehilangan orang yang ia cintai kedua kalinya dengan cara yang sama.
Dia sudah ikhlas, ketika Suci memutuskannya dan memilih untuk pergi.
Tapi setelah mendengar semua cerita Delon barusan. Hatinya justru semakin sakit. Tubuhnya gemetar menahan gejolak di dadanya. Kepalanya semakin terasa sakit.
Mengapa orang-orang yang ia cintai, harus pergi dengan cara yang sangat menyakitkan?
Mengapa ia tidak bisa menikmati kebahagiaan lebih lama dengan orang yang ia cintai? bathin Tom merintih...

Sekian...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate