Sebuah cerpen : Ketika hati harus memilih


Kutatap wajah cowok itu lekat-lekat, mencari setitik kejujuran dari setiap kalimat yang barusan diucapkan dengan jelas ditelingaku.
Cowok itu menundukkan pandangannya.
Kutarik napasku perlahan, hanya untuk menenangkan hatiku. Tiba-tiba saja aku merasa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Kumainkan sapu tangan merah jambu yang kupegang sejak tadi. Aku memang selalu membawa sapu tangan itu, kemana pun aku pergi. Bukan apa-apa, sakit flu ku sudah hampir dua bulan ini belum sembuh-sembuh.

Melihat cowok itu tertunduk, aku segera mengalihkan pandanganku ke depan. Menatap hilir mudik para nelayan ikan yang mengayuh sampan mereka dengan sedikit terlihat lelah. Kami duduk dipinggiran sungai, di ujung kampung. Sebuah tempat yang indah dan menenangkan. Dari sini kami bisa melihat para nelayan yang sedang menjaring ikan disungai, dan juga melihat rumah-rumah penduduk, yang tersusun acak sepanjang pinggiran sungai, dari kejauhan. Aku dan beberapa orang teman memang sering nongkrong disini, hanya sekedar menghindari kesibukan kami dirumah.



Cowok itu masih tertunduk.
"sekarang terserah kamu, Mar." suara berat cowok itu terdengar lagi, "yang penting aku sudah ungkapkan semuanya.."
"aku bingung, Am..." hanya itu yang keluar dari mulut keringku. Matahari memang cukup menyengat sore itu.
Am, cowok itu, sedikit mengangkat kepalanya keatas dan menatapku lembut. Tatapan yang begitu mempesona bagiku. Mata sendu cowok itu, mampu memikat cewek mana pun yang ia inginkan. Aku mengagumi mata itu.
"kenapa?" tanyanya.
"kemarin aku bertemu Izul." balasku ringan, kulihat Am mengerutkan kening.
"lalu?" tanyanya lagi, seperti penasaran, "bukannya kalian sudah lama putus?" lanjutnya.
"dia ingin kami balikan lagi.."
"kamu masih mencintainya?"
"entahlah, Am. Aku bingung dengan perasaanku sekarang..." balasku, sambil membersit hidungku yang berair. Kusapu hidungku dengan sapu tangan.

"apa itu artinya aku tidak punya kesempatan sama sekali?" Am berujar lagi, suaranya terdengar serak.
"kalian bersahabat sudah sejak lama, Am. Bahkan jauh sebelum aku dan Izul jadian dulu." balasku.
Aku ingat waktu pertama kali dulu Izul mengungkapkan cintanya padaku, Am bahkan ketika itu ikut membantu meyakinkanku, kalau Izul benar-benar serius.
Aku memang menyukai Izul waktu itu, cowok itu memiliki wajah yang tampan. Banyak cewek lain yang mendambakannya, tapi ia memilihku untuk jadi pacarnya.
Namun ternyata hubungan kami tidak bertahan lebih dari setahun. Izul memutuskanku tanpa alasan. Aku sempat patah hati dan kecewa. Tapi aku mencoba menerima keputusan itu, walau dengan hati sakit.

Beberapa hari yang lalu, Izul meminta aku untuk balikan lagi sama dia. Aku belum memberi jawaban apa-apa. Enam bulan kami putus, rasanya hatiku masih sakit. Luka itu belum benar-benar kering. Aku mulai berpikir, kalau Izul hanya sekedar mempermainkanku.

Dan sekarang, Am, sahabat baik Izul, dengan jelas tadi mengatakan kalau ia juga menyukaiku. Bahkan sudah sejak lama. Namun karena ia tahu aku dan Izul berpacaran, ia hanya memendamnya selama ini.
Terus terang, aku memang mengagumi sosok Am. Cowok itu sangat baik dan perhatian. Kalau soal tampang, keduanya punya kelebihannya masing-masing. Izul dengan lesung pipinya yang manis dan Am dengan tatapan matanya yang sendu.
Namun ini bukan lagi tentang fisik, tapi juga tentang hati.
Izul yang sempat menghiasi hidupku dengan cintanya yang indah hampir setahun, telah membuatku hampir mengenalinya secara utuh. Meski pada akhirnya aku harus menelan kekecewaan, karena keputusannya yang tiba-tiba. Tanpa sebab. Tanpa alasan yang jelas.

Sedangkan Am, dengan segala kesederhanaannya datang dalam kehidupanku, pada saat aku justru butuh tempat untuk berbagi. Dia yang selalu menemaniku selama ini. Selama masa-masa kekecewaanku. Hampir enam bulan aku dan Am berteman dekat, sedikit banyaknya aku tahu bagaimana sifat Am. Dia juga yang telah membuatku bangkit dari kekecewaanku.
"kamu itu cantik, Mar. Banyak cowok yang menginginkan kamu. Kenapa Kamu harus hidup dalam kekecewaan terus menerus, hanya karena cowok seperti Izul.." begitu ucap Am selalu, setiap kali melihat aku bersedih.
Aku tahu, sejak Izul memutuskanku, hubungan persahabatan Izul dan Am kian renggang. Aku juga tahu, kalau Am sebenarnya sangat marah pada Izul, karena telah membuatku kecewa. Biar bagaimanapun ia merasa ikut bertanggungjawab, karena dulu ia yang bersikeras agar aku mau menerima cinta Izul.

"kalau kamu bingung, kamu tak harus jawab sekarang." suara Am membuyarkan lamunanku.
Aku tatap lagi cowok itu, ada segurat kekecewaan kulihat dimatanya yang sendu.
"aku tahu, aku datang pada saat yang kurang tepat." lanjut Am, "tapi aku tak ingin terlambat lagi, seperti dulu..."
"terlambat lagi..?" desahku.
"iya. Seperti dulu, waktu Izul bilang suka sama kamu. Sebenarnya aku juga ingin mengungkapkan perasaanku waktu itu, tapi karena Izul sudah berterus terang kalau ia suka sama kamu. Aku mundur. Dan mencoba ikut bahagia dengan hubungan kalian, walau hati kecilku tetap tidak rela.."
Aku mendengar ketulusan dari suara itu. Hatiku semakin bimbang.

****************

"aku hanya mau tahu, mengapa kamu memutuskanku tiba-tiba waktu itu?" tanyaku pada Izul yang duduk tenang di sampingku. Setelah seminggu, Izul akhirnya mengajakku bertemu lagi, hanya untuk memastikan jawabanku. Kami bertemu di tempat biasa. Di ujung kampung.
Ku dengar Izul menarik napas, cukup panjang. Kemudian ia hempaskan napas itu perlahan.
"haruskah aku jawab?" ia justru balik bertanya.
"iya!" ucapku tegas. "karena sekarang kamu ingin kita balikan lagi, Zul. Dan aku harus tahu alasan kamu. Aku hanya tak ingin jadi permainan kamu, Zul.." lanjutku lebih lembut.

Izul kembali menarik napas berat. "karena aku tidak ingin bahagia diatas penderitaan sahabatku sendiri.." ucapnya kemudian.
Aku menatapnya tajam, "maksud kamu?"
"aku tahu Am juga mencintai kamu, Mar. Sejak dulu malah. Tapi ia sengaja mengalah untukku." jawab Izul, suaranya datar. "awalnya aku mencoba untuk tidak memperdulikan hal itu, karena aku memang benar-benar mencintai kamu, Mar. Tapi kemudian aku sadar, kalau kebahagiaanku denganmu, telah menghancurkan hati sahabatku sendiri. Untuk itu aku memilih untuk mengakhiri hubungan kita." Izul melempar sebongkah batu kecil ke tengah sungai. "aku tahu kamu sakit dengan keputusanku, dan Am juga sangat marah padaku. Tapi menurutku itu mungkin jauh lebih baik. Aku sengaja menghindar dari Am, hanya agar dia punya waktu lebih untuk menghibur kamu.."

Aku tercenung beberapa saat, mencoba memahami semuanya. Tapi aku tetap belum bisa menerima semua itu. "lalu mengapa sekarang, kamu ingin kita kembali lagi?" tanyaku pada akhirnya, dalam ketidakrelaan hatiku.
"karena aku telah sadar, bahwa jauh darimu adalah sebuah penyiksaan bagiku. Penyiksaan yang teramat sakit! Aku tak mampu menghapus bayangan wajahmu dari benakku. Aku tersadar, kalau sebenarnya aku tak mampu melanjutkan hidupku, tanpa ada kamu di sisiku.." ucapan itu benar-benar membuatku tertunduk. Tak kusangka begitu besar cinta Izul untukku. Tak kusangka juga, kalau ia rela mengorbankan cintanya demi menjaga persahabatannya.
Tiba-tiba aku merasa terharu.

"lalu bagaimana dengan Am sekarang?" tanyaku dengan suara parau.
"aku tahu, Am sangat mencintai kamu, Mar. Aku juga tahu, kalau Am sudah mengungkapkan itu semua padamu. Tapi aku benar-benar tidak bisa ikhlas, kalau kamu harus bersama Am."
"aku tak ingin merusak persahabatan kalian, Zul."
"tidak ada yang merusak persahabatan kami, Mar. Tidak juga kamu. Tapi waktu dan keadaan lah yang telah mengubah segalanya. Kalau pun ada yang telah merusaknya, itu adalah perasaan kami sendiri."

Aku tercenung lagi. Senja sudah mulai datang, aku menatap ke arah matahari yang mulai tenggelam. Kepalaku terasa berdenyut. Aku tidak tahu, harus mengatakan apa saat ini.
"siapa pun yang kamu pilih pada akhirnya, Mar. Tidak akan mengubah apapun yang telah terjadi! Tidak juga akan memperbaiki persahabatan kami..." suara Izul menggema di gendang telingaku.
Pelan aku bangkit dan berdiri, aku melangkah meninggalkan Izul sendirian, tanpa sepatah kata pun.

************

"Marisa! Tunggu!" Sebuah suara menghentikan langkahku. Aku memutar tubuh. Dewi, teman dekatku, berlari kecil mendekatiku. Sudah hampir seminggu, aku tidak pernah bertemu Izul atau pun Am lagi. Aku masih terlalu takut untuk memutuskannya. Disatu sisi aku memang mengagumi sosok Am yang sederhana dan santun. Namun di sisi lain hatiku, aku juga belum bisa melupakan Izul seutuhnya. Dan terlebih lagi, aku benar-benar tak ingin merusak hubungan persahabatan mereka.
"ada apa?" tanyaku, ketika Dewi sudah berdiri di depanku dengan napas terengah.
"nih!" secarik kertas diberikannya padaku.
"apa ini?" tanyaku lagi.
"kamu buka aja.." jawab Dewi, sambil mengatur napasnya.
Kubuka lipatan kertas itu, sebait tulisan tertulis disana.

"maafkan aku. Aku harus pergi. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku. Tapi aku harus pergi, karena hatiku belum siap untuk terluka. Hatiku belum siap melihat kamu bahagia dengan orang lain, sekalipun itu sahabatku sendiri. Aku tahu kalian saling mencintai, dan aku tak ingin jadi penghalang untuk cinta kalian berdua."

Kenapa kamu harus pergi, Am. Padahal aku belum memutuskan apa-apa. Bathinku merintih.
"kenapa?" tanya Dewi, melihat mataku yang tiba-tiba berkaca.
Aku hanya menggeleng. Kulipat lagi kertas itu.
"Izul tulis apa sih, Mar? Sampai kamu harus sesedih itu.." ucap Dewi lagi, yang membuatku menatapnya tak mengerti.
"Izul?" tanyaku.
"Iya. Izul, Mar. Izul yang memberikan kertas itu padaku. Dia pesan, agar aku segera memberikannya padamu." jawaban Dewi justru membuatku semakin berkaca. Sekuat mungkin aku menahan hatiku, aku tak ingin tangisku tumpah saat itu.
"sekarang dimana dia?" tanyaku dengan suara serak, menahan gejolak dihatiku.
Dewi hanya mengangkat kedua bahunya, sambil menggeleng. Keningnya berkerut, penuh tanya. Direbutnya kertas itu dari tanganku. Lalu membacanya.
"pantas.." ucap Dewi pelan, setelah selesai membaca kalimat itu.
"pantas kenapa?" tanyaku penasaran.
"tadi waktu Izul memberikan kertas ini, ia sepertinya buru-buru dan berpakaian cukup rapi. Dan ia juga membawa tas besar.." jelas Dewi, yang membuatku semakin nelangsa. Tanpa sadar air mataku pun menetes perlahan...

Sekian...

Sedih banget, “Aku gak sekolah lagi, Ayah. Tapi gak apa-apa, kok…”

Selesai melaksanakan sholat ied, Al, anak laki-laki yang berusia sekitar sembilan tahun itu, melangkahkan kakinya dengan cepat menuju ujung gang yang berada tak jauh dari masjid tempat ia sholat tadi. Kaki kecil itu melangkah tertatih.

Hati Al bergemuruh, menahan rindu. Ditatapinya sandal jepit yang dipakainya, ada lobang kecil dihampir setiap ujung jarinya. Al hanya tersenyum kecil melihat itu, ia merasa lucu.

Kemudian tatapannya dialihkan kearah sarung bermotif kotak-kotak warna jingga bercampur abu-abu yang dipakainya. Senyumnya mengembang lagi, sarung itu ia temukan di dekat jembatan. Ada yang sengaja membuangnya disana. Al memungutnya, karena sarungnya masih bisa dipakai, meski ada sobekan panjang dibagian atasnya. Tapi kan gak kelihatan, pikirnya.

Baju yang dipakainya warna biru muda, sebuah baju kemeja. Itu baju baru yang dibelikan Ayahnya, untuk lebaran tahun lalu. Mengingat hal itu, Al semakin melebarkan langkahnya, tujuannya semakin dekat.

Sesampai di gerbang, Al berhenti sejanak sambil membaca do’a yang pernah ia pelajari untuk memasuki sebuah pemakaman. Yah, yang dituju Al adalah sebuah pemakaman.

Al semakin memacu langkahnya, hingga ia sampai disebuah kuburan yang masih baru. Di samping kuburan baru itu terdapat, sebuah kuburan yang sudah cukup lama. Al segera duduk diantara dua kuburan tersebut. Tak pedulikan kain sarung yang dipakainya, kotor oleh tanah lumpur kuburan tersebut. Al mengusap kedua batu nisan yang terbuat dari papan tersebut. Yang satu masih kelihatan baru, yang satu lagi, sudah tidak utuh lagi karena lapuk dan dimakan rayap.

“Al ada kabar gembira, buat Mak. Buat Ayah juga.” Katanya pelan, “Al tahun ini puasanya lancar, gak ada bolong-bolongnya, Mak. Sama kayak tahun kemaren, Yah.” Al melanjutkan lagi sambil menatap bergantian kedua kuburan tersebut.

“Al senang, bisa menamatkan puasa lagi tahun ini. Meski Al gak dapat hadiah apa-apa. Gak ada baju baru buat lebaran juga gak apa-apa. Yang penting Mak dan Ayah, bisa bangga melihat Al yang puasanya lancar. Iyakan, Yah? Ayah kan dulu pernah ngomong gitu sama Al.”

“gak seperti Dian, tetangga kita dulu, yang katanya akan dikasih hadiah Hp baru kalau puasanya lancar. Juga seperti Alim yang dapat dua baju baru tahun ini. Dita juga, Yah. Dia dapat sepeda baru lagi tahun ini. Senang deh melihat mereka. Atau si Adit, Yah. Katanya tahun ini dia mau liburan ke Batam, karena puasanya lancar. Batam! Yah. Itu salah satu kota impian yang ingin Al kunjungi. Do’a kan Al ya Mak, Yah. Moga suatu saat nanti bisa ke Batam…”

“Al gak sedih kok, Yah. Al gak nangis juga. Al kan kuat. Seperti kata Ayah, Al gak boleh cengeng. Al harus tetap tegar.” Al mencoba membersihkan beberapa helai daun yang berada diatas kedua pusara tersebut.

“tahun ini Al berbukaya sendirian aja, Yah. Sahurnya juga. Gak seperti tahun kemarin. Tahun kemarin kan masih ada Ayah. Sekarang Ayah lebih memilih untuk ikut Bersama Emak. Al gak apa-apa, Yah. Ditinggal sendiri. Kan kasihan Mak, udah lima tahun, kata Ayah, Emak tidur sendirian disini. Sekarang Mak sudah ada temannya disini bersama Ayah…”

“Yah, sekarang Al udah empat bulan gak sekolah. Kata Ibu guru, Al udah empat bulan gak bayar uang sekolah, jadi gak boleh sekolah lagi. Gak apa-apa, Yah. Al gak sekolah lagi. Al kan udah kelas lima, Yah. Udah bisa baca juga. Kata Ayah, yang penting bisa baca, biar gak ditipu orang.”

“Al gak apa-apa gak sekolah lagi, Yah. Kan sepatu yang Ayah beli dua tahun lalu udah bolong-bolong, baju sekolah Al juga udah pada sempit semua. Kan gak mungkin Al sekolah pakai sandal dan pakai baju ini..” Al menunjuk baju yang ia pakai.

“Al gak apa-apa gak sekolah lagi, Yah. Jadi sekarang Al berangkat kerjanya bisa dari habis subuh. Al bisa kerja seharian. Gak harus mikirkan pelajaran lagi. Gak harus mikirin PR lagi. Oh, yah, Mak. Ayah. Sekarang Al kerja jadi tukang semir sepatu. Al kerja di depan Gedung tinggi yang megah itu. Dulu Ayah kan pernah bilang, kalau suatu saat nanti Al bakalan bekerja di Gedung itu. Sekarang Al udah kerja disana, Yah. Tapi Al hanya berada diluar pagarnya saja, Yah. Sambil nunggu orang-orang buat semir sepatu.”

“Al hebat ya, Yah. Bisa mendiri. Bisa kerja sendiri. Kata pak Somat gitu, Yah. Pak Somat itu yang jadi satpam di Gedung itu, Yah. Pak Somat sangat baik sama Al. Beliau sering traktir Al makan siang, sehabis sholat Dzuhur.”

“Al sekarang sholatnya udah gak bolong-bolong lagi. Al juga setiap malam baca Qur’an dan kirim do’a buat Mak dan Ayah. Kata pak Ustadz kalau Al selalu do’a kan Mak dan Ayah, Mak dan Ayah bakal selalu tersenyum. Al hanya ingin Mak dan Ayah selalu tersenyum…”

“Al udah tiga hari ini tinggal dibawah jembatan yang ada dipinggiran kota itu, Yah. Karena Al udah sebulan gak bisa bayar sewa rumah kontrakan kecil kita lagi. Semua barang dirumah kita, sudah Al jual. Buat bayar kontrakan, sekarang gak ada lagi barang yang bisa Al jual.”

“Buk Ros, menyuruh Al pergi, karena ada yang mau nyewa katanya. Al gak apa-apa tinggal dibawah jembatan, Yah. Yang penting Al gak kehujanan. Al ada teman juga disana. Sama-sama tinggal disana. Mereka baik kok, Yah. Sering bantu Al juga.”

“Al pengen deh, Yah. Silahturrahmi sama keluarga kita. Tapi Al kan gak ada yang kenal, Yah. Kata Ayah, semua keluarga Ayah ada dikampung, keluarga Mak juga. Sejak Al lahir, kita kan gak pernah pulang kampung. Jadi Al gak tahu, mau silahturrahmi ke rumah siapa. Paling juga ke rumah pak Somat, tapi Al juga gak tahu rumahnya.”

“kata pak Somat, dulu Ayah sering main ke rumahnya. Waktu masih sama-sama kerja di pabrik. Al pernah diajak ke rumahnya. Tapi Al gak mau, Yah. Kata Ayah dulu, kita gak boleh ngerepotin orang lain. Kita harus mandiri.”

“Al gak sedih kok, Yah. Al gak pernah nangis lagi sekarang. Al kan kuat, seperti Ayah. Al pernah digangguin preman, Yah. Dimintain uang, tapi Al bilang kalau Al anak Ayah. Orang itu gak jadi minta uang, ia bilang Ayah dulu pernah bantu dia. Ayah orang baik, karena itu lah Al jadi gak cengeng sekarang..”

“Al ingin seperti Ayah. Al sayang Ayah. Sayang Mak juga. Tapi Al gak bisa setiap hari jengukin Mak dan Ayah disini. Karena Al harus kerja. Al mau ngumpulin uang yang banyak. Biar nanti bisa bikin batu nisan yang bagus buat Mak dan Ayah, kayak kuburan yang lain.”

“Al gak sedih kok, Mak. Gak nangis juga. Al harus kuat. Al ingat, waktu Mak pergi dulu, Ayah gak nangis. Karena Ayah kuat. Al juga gak nangis, waktu Mak pergi. Waktu Ayah pergi juga, Al gak nangis. Al kan masih bisa ngobrol sama Mak, sama Ayah. Tapi Al gak bisa sering datang kesini untuk ngobrol, karena sekarang Al tinggalnya jauh…”

“terkadang Al merasa capek juga, Yah. Pengen juga Al istirahat, kayak Mak dan Ayah sekarang. Al pengen tidur bareng Mak dan Ayah disini. Al lelah sendirian, Mak. Al cuma mau ngobrol, Mak. Al mau ngobrol sama Ayah, sama Mak setiap hari…”

“udah dulu ya, Mak. Ya, Ayah. Al mau pamit dulu. Al mau mulai kerja lagi hari ini. Mumpung orang-orang lagi ramai sekarang. Mak dan Ayah kan juga mau istirahat. Al pasti datang lagi nanti. Selamat lebaran Mak, Ayah. Mohon maaf lahir bathin…”

Selesai berucap begitu, Al bangkit berdiri. Ditatapnya kedua pusara itu sekali lagi. Lalu melangkah ringan meninggalkan perkuburan tersebut. Hatinya lega, bisa berbagi dengan Mak dan Ayahnya. Walau tetes demi tetes air matanya mulai berjatuhan.

“maafkan Al, Mak. Ayah. Sebenarnya Al masih cengeng, masih sering nangis juga. Tapi Al gak ingin Mak dan Ayah jadi sedih, kalau liat Al nangis. Al harus tetap terlihat kuat di depan Mak dan Ayah….” Rintihnya tak kuasa menahan tangisnya.

Air matanya tumpah sepanjang perjalanan. Tangisnya sudah tak bisa ia tahan. Langkahnya kian gontai. Ia merasa begitu rapuh. Tapi Mak dan Ayah tak perlu tahu, rintihnya dalam hati. Dia harus kuat, demi Mak dan Ayah….

******

Sekian ...

Sebuah cerpen : Ujian Cinta...

"makasih, ya.." ucap lelaki itu, sambil berlalu pergi.
Rani hanya tersenyum, menatap kepergian lelaki itu. Sudah lebih seminggu lelaki itu rutin datang ke toko buku tempat Rani bekerja. Awalnya ia mencari sebuah buku klasik yang sudah lama tidak diterbitkan. Hari berikutnya, lelaki itu datang lagi masih menanyakan buku yang sama.
Rani jadi penasaran, dan mencoba mencari-cari buku tersebut di gudang tempat buku-buku lama disimpan. Toko buku itu tidak terlalu besar, yang Rani bangun atas usahanya sendiri bersama seorang sahabatnya yang sama-sama hobi membaca.

Sudah beberapa hari Rani mencoba mencari buku yang diinginkan lelaki tersebut di gudang. Disana memang terdapat banyak tertimbun buku-buku lama yang sengaja mereka taruh disana, karena sudah tidak diminati lagi.
"cari buku apa sih, Ran?" dengan penasaran, Dita, sahabat Rani, akhirnya bertanya.
"itu buku Rantau satu muara karya Anwar Fuadi. Kamu bantu cari ya.." jawab Rani, sambil mengangkat beberapa buku.
"seberapa pentingkah?" tanya Dita lagi, mencoba melihat satu persatu buku yang tersusun acak di rak.
"ada seseorang yang nyari dari kemarin, udah seminggu dia rutin ke toko hanya menanyakan buku yang sama.." jawab Rani, "saya gak tahu sepenting apa buku itu baginya.." lanjutnya.

"ini dia!" teriak Rani kegirangan. Ia acungkan buku itu keatas, sekilas Dita meliriknya sambil menghembuskan nafas. Sudah hampir tiga jam mereka mencarinya, untunglah tidak ada pelanggan yang datang.
Mereka segera menuju ke depan lagi dengan perasaan lega.






Hari berikutnya lelaki itu datang lagi, Rani pun memperlihatkan buku tersebut. Lelaki itu terlihat girang dan memperlihatkan senyum manisnya.
"hobi baca novel juga, ya?" tanya Rani berbasa-basi.
"Iya. Tapi saya lebih suka baca novel-novel klasik kayak gini.." balas lelaki itu.

"oh, ya. Saya Aril." lelaki itu memperkenalkan diri, mereka duduk di meja baca, yang memang tersedia di toko itu.
"Rani." jawab Rani singkat, sambil melepaskan jabatan tangannya.
"kamu suka baca juga?" tanya lelaki itu lagi.
"ya, lumayan.."
"kamu punya banyak koleksi buku novel klasik seperti ini?"
"gak banyak, sih. Tapi memang ada beberapa novel yang suka saya koleksi.."
"kita tukeran, ya.." Aril menatap serius, "aku ada banyak di rumah.." lanjutnya.
Rani hanya mengangguk setuju.

Semenjak itu, mereka kian dekat. Aril sering datang ke toko, dengan membawa beberapa buku. Mereka sering membahas tentang buku-buku yang mereka baca.
Meski Rani sebenarnya sedikit heran, bagaimana Aril tahu, tentang buku-buku yang ia suka dan dari mana ia mendapatkan koleksi buku tersebut?
Namun Rani membiarkan semua tanya itu. Ia tak ingin mempertanyakannya pada Aril.

"ciee.. yang sudah move on.." goda Dita suatu hari.
"iih.. apaan, sih. gak kok. kami cuma teman. Kebetulan punya hobi yang sama.." balas Rani.
"kalau iya pun juga gak apa-apa, Ran. Mala bagus, kan? dari pada kamu larut dalam penantian yang tak pasti.." Dita berujar lagi.
Tiba-tiba Rani terdiam, mendengar ucapan sahabatnya barusan. Sekilas bayangan seraut wajah tampan melintas dibenaknya.
"kamu kenapa. Ran?" tanya Dita, melihat wajah Rani yang tiba-tiba murung, matanya berkaca.
Rani menggeleng, "kamu tahu kan, Dit. Cintaku pada Azam begitu besar. Tidak mudah bagiku, untuk bisa melupakannya.." suara Rani serak.
"tapi Azam sudah pergi, Ran. Kamu harus terima kenyataan itu. Mau sampai kapan kamu akan menunggunya. Sudah lebih dari enam bulan ia menghilang, Ran. Tanpa kabar!"
"iya. aku tahu, Dit. Tapi aku sudah terlanjur berharap banyak padanya. Aku yakin Azam punya alasan melakukan ini semua. Aku yakin ia pasti kembali." suara Rani semakin serak, air matanya tiba-tiba menetes.

Pikiran Rani melayang ke peristiwa beberapa tahun silam. Saat ia tak sengaja bertemu dengan Azam, yang waktu itu sama-sama antri di sebuah kasir super market. Azam bahkan mambantunya membawakan beberapa barang, yang kemudian membuat mereka saling berkenalan.
Perkenalan itu akhirnya menumbuhkan kidung-kidung cinta di relung hati mereka berdua.
Dua tahun mereka pacaran. Dua tahun mereka bersama. Rani sudah menyerahkan seluruh hatinya untuk Azam. Cinta mereka begitu indah.
"aku akan menemui orang tuamu minggu depan.." begitu ucap Azam padanya suatu hari.
"kamu serius?" tanya Rani dengan perasaan bahagia.
Azam mengangguk, lalu kemudian mengecup lembut kening Rani.

Sehari menjelang janji Azam untuk menemui kedua orang tuanya, tiba-tiba ia menghilang. Dia menghilang bak ditelan bumi. Tidak ada satu orang pun yang tahu keberadaannya. Rani sudah berusaha mencari dan bertanya kepada orang-orang yang ia kenal. Tapi Azam benar-benar menghilang. Satu pun kontak yang ia miliki tidak bisa dihubingi. Rani bingung dan panik.
Rani tahu, keluarga Azam semuanya ada di Bandung, bukan di kota Batam ini. Dan tak ada satu pun keluarga Azam yang Rani kenal.
Yang Rani tahu, Azam bekerja di sebuah perusahaan property di Batam ini. Dan tak ada seorang pun teman kantor Azam yang tahu, kemana Azam.

"dia hanya pamit mau pulang kampung katanya, kemudian tak ada lagi kabar sampai sekarang ini.." salah seorang teman kerja Azam mencoba menjawab kebingungan Rani.
Akhirnya Rani hanya bisa pasrah dan menunggu. Hatinya terasa sakit. Teganya Azam pergi tanpa mengabarinya. Rani hanya bisa menangisi semua itu sendiri.

"maksudnya apa coba?" Ucap Dita, setelah Rani menceritakan semuanya. "kalau memang ia di Bandung sekarang, ya kasih tahu, kek!" lanjutnya.
"entahlah, Dit. Aku juga bingung." jawab Rani lesuh.

*******************

"selain membaca, aku juga suka nulis." Aril berucap sambil menyantap makanannya. Mereka bertemu disebuah kafe. Itu adalah makan malam pertama mereka berdua. Setelah dengan susah payah Aril mengajak Rani untuk makan malam bersama.
"menulis bisa membuatku menjadi tenang dan dengan menulis aku merasa punya tempat untuk mencurahkan tentang apa pun yang terjadi dalam hidup." lanjutnya.
Rani hanya tersenyum mendengar penuturan Aril tersebut.
"kamu suka nulis?" tanya Aril.
Rani menggeleng, "selain nulis diary tentunya.." ucapnya tersenyum.

Terus terang Rani cukup kagum dengan segala perjuangan Aril untuk mendekatinya. Aril juga sosok yang menyenangkan dan pintar. Ada banyak kesamaan diantara mereka. Meski Rani belum bisa membuka hatinya untuk kehadiran lelaki lain. Tapi Aril sepertinya tak mudah menyerah.

"maaf, Ril. Tapi saya gak bisa.." jawab Rani, setelah dengan begitu romantis Aril mengungkapkan perasaannya. Mereka sudah hampir empat bulan berkenalan dan jalan bareng.
"kenapa?" tanya Aril datar.
Sejenak Rani terdiam. Dia ingin berterus terang. Dia tidak ingin Aril berharap banyak dan pada akhirnya menjadi kecewa.
"ada seseorang di masa lalu ku, Ril. Dan sampai saat ini aku masih belum bisa melupakan sosoknya di hatiku. Maaf! Tapi aku harus jujur. Aku tak ingin kamu berharap lebih.."
"tapi bukannya ia sudah menghilang berbulan-bulan yang lalu.." ucap Aril, yang membuat Rani menatapnya penuh tanya. "Dita yang cerita.." lanjut Aril, menjawab keheranan Rani dengan sedikit gelagapan.
"aku hanya butuh waktu, Ril. Tidak mudah bagiku saat ini.."
"yah. Aku ngerti, Ran. Aku juga tidak memintamu untuk menjawabnya sekarang.."


**********************

"bagaimana?" suara berat lelaki itu membuyarkan lamunan Aril.
"apanya?" tanya Aril sedikit kaget.
"Rani, Ril.." lelaki itu menjawab, sambil menahan batuk.
"kamu tahu, apa yang paling menyakitkan dari semua ini?" Aril balik bertanya, ia menatap lelaki yang duduk di hadapannya. Lelaki itu hanya diam. "aku bahkan telah benar-benar jatuh cinta pada gadis itu. Namun sudah hampir satu tahun, Rani masih mengharapkan kamu kembali. Rani tidak bisa melupakanmu, Zam.." lanjut Aril sendu.
Lelaki itu mendehem, menahan batuknya lagi.

"mungkin akan lebih baik, jika kamu berterus terang saja tentang keadaan kamu saat ini sama Rani!" ucap Aril lagi, melihat lelaki itu hanya diam.
"aku sangat mencintai Rani, Ril." lelaki itu, Azam, berkata terbata, "aku tak ingin dia tahu keadaanku sekarang, karena aku tak ingin membebaninya. Rani pasti akan melakukan apa saja, jika ia tahu keadaanku yang sebenarnya. Rani juga akan merasa sangat terpukul..."
"lalu dengan menghilang tanpa kabar seperti ini, kamu pikir Rani tidak merasa terpukul?"
"untuk itu aku meminta kamu mendekati Rani, Ril. Aku hanya ingin Rani bahagia. Aku ingin Raniku tersenyum lagi.."
"tapi kenapa harus aku?"
"karena aku tak ingin Rani dimiliki orang lain, Ril. Aku percaya kamu bisa membuat dia bahagia.."
"tapi tetap saja ini tak mudah.."
"ya. aku tahu. Tapi sakitku semakin parah, Ril. Aku ingin mendengar kabar baik, sebelum aku benar-benar pergi.." pelan suara itu, tapi mampu membuat mata bening Aril berkaca.

Azam adalah sahabat Aril sejak kecil. Bahkan lebih dari itu, keluarga Azam lah yang telah merawat dan membesarkan Aril, sejak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Aril kecil yang sangat terpukul karena kematian kedua orang tuanya, bisa tersenyum kembali. Azam lah yang telah bersusah payah menghiburnya dan mengajaknya tinggal bersama keluarganya.
Kedua orang tua Aril sangat baik padanya, demikian juga Aril. Mereka menjadi sangat dekat, layaknya dua orang yang bersaudara.

Setelah melewati masa kuliah, Azam memutuskan menerima tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan property di Batam, dan meninggalkan Bandung. Aril sendiri memutuskan untuk menekuni hobi menulisnya di Bandung.
Bertahun-tahun berada tinggal di perantauan, tiba-tiba Azam meminta Aril untuk datang ke Batam. Azam pun mengabarkan kalau ia di vonis mengidap penyakit kanker pankreas dan komplikasi yang sulit disembuhkan, bahkan sudah stadiom akhir. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Dokter memvonis kalau Azam hanya bisa bertahan paling lama setahun. Azam sendiri enggan untuk melakukan operasi atau pun pengobatan keluar negeri, meski ia mampu. Azam sudah pasrah dengan penyakit yang di deritanya.

"aku ingin kamu mendekati Rani dan mendapatkan hatinya. Dan aku tidak ingin ia tahu, keadaanku yang sekarang. Aku juga tak ingin ia tahu tentang hubungan persahabatan kita. Itu permintaan terakhirku, Ril." begitu ucap Azam padanya. Tak ada alasan apa pun bagi Aril untuk bisa menolak permintaan tersebut. Permintaan terakhir sahabatnya itu. Permintaan seseorang yang telah menyelamatkan hidupnya.

"besok aku pulang ke Bandung.." suara Azam mengagetkan Aril lagi.
"kenapa?" tanya Aril spontan.
"Ibu yang minta. Lagi pula disana aku mungkin akan mendapatkan perawatan yang lebih baik.." jawab Azam, sambil berdiri tertatih.
Aril berusaha membantunya. Sebenarnya sudah dari awal Ibunya meminta Azam agar pulang saja ke Bandung. Tapi Azam bersikeras untuk tetap di Batam, ia hanya ingin memastikan kalau Aril benar-benar memenuhi permintaannya.
"aku harap, tak lama lagi aku sudah mendengar kabar baik dari kamu, Ril.." ucapnya sambil berjalan menuju kamarnya.


*************

Seminggu kemudian, Aril mendapat kabar dari Ibu Azam, kalau Azam masuk rumah sakit lagi. semenjak di vonis, Azam memang sudah sering keluar masuk rumah sakit. Sebenarnya dokter menganjurkan untuk Azam dirawat inap, tapi Azam selalu menolak.
"aku tak mau menghabiskan masa akhir hidupku, hanya dengan berbaring di rumah sakit.." alasannya.

"keadaan Azam makin parah, Ril. Dia sudah tidak sadarkan diri. Kamu harus segera pulang ke Bandung.." suara parau Ibu terdengar di telinga Aril melalui telepon selulernya.
Segera Aril berkemas dan menuju bandara.

Sesampai di rumah sakit tempat Azam dirawat, Aril disambut dengan tangis histeris sang Ibu. Tangisan Ibu memuncah dalam dekapan Aril.
Aril mencoba menenangkan Ibu. Bagi Aril, Ibu Azam sudah dianggap seperti Ibunya sndiri. Beliau yang selama ini merawat dan membesarkannya.

"Azam kenapa, Bu?" tanya Aril, matanya mulai berkaca.
"Azam sudah tiada, Ril." Bapak yang menjawab, dengan suara terbata. Beliau berdiri tak jauh dari mereka. Aril tak tahu apa yang ia rasakan saat itu. Tubuhnya terguncang. Hatinya meringis. Ia tahu ini bakal terjadi, tapi tetap saja ia belum siap.
Air matanya sudah tidak bisa ia bendung lagi. Pelan Ibu melepaskan dekapannya yang masih dalam isak tangisnya. Aril menghempaskan kepalanya ke dinding ruang tunggu rumah sakit itu.
Tangisnya benar-benar tumpah. Ada begitu banyak kekesalan dalam hatinya.

"kita harus ikhlas, Ril.." pelan suara Bapak, mencoba menenangkannya. Tapi Aril belum bisa terima. Aril belum bisa menerima kepergian Azam. Permintaan terakhir Azam bahkan belum bisa ia penuhi.
Bapak merangkulnya. Aril tahu, sebenarnya yang paling kehilangan saat itu adalah Bapak. Karena Bapak orang pertama yang menolak kepergian Azam ke Batam. Namun karena keinginan Azam yang begitu kuat, akhirnya Bapak luluh.
Dan Sekarang Azam telah pergi untuk selamanya.

Suasana pemakaman itu begitu mengharukan, terutama bagi Aril. Matanya memerah, semalaman ia tidak tidur. Memikirkan hal apa yang terbaik yang harus ia lakukan selanjutnya. Kepergian Azam benar-benar membuatnya terpukul, seperti ia terpukul saat kehilangan kedua orang tuanya dulu. Kepergian Azam benar-benar membuat ia semakin bingung dengan perasaannya. Terutama tentang Rani. Haruskah ia menceritakan semuanya? Atau ia biarkan saja, kisah cinta Azam dan Rani tenggelam oleh waktu? Hatinya merintih.

Para pelayat sudah mulai meninggalkan pemakaman, namun Aril masih berdiri di dekat pusara itu. Begitu berat rasanya kakinya melangkah. Ketika Aril hendak membalikkan badan, tiba-tiba sekelebat ia melihat seorang gadis berkerudung hitam dari kejauhan. Melihat Aril yang menatapnya, gadis itu seperti kaget dan segera memutar tubuhnya, lalu berjalan tergesa meninggalkan perkuburan itu.
Aril hendak mengejar, namun sebuah tangan menuntunnya untuk kembali ke mobil.
Aril sangat yakin ia tidak salah lihat, gadis yang dilihatnya tadi adalah Rani.
Bagaimana Rani bisa berada disini? Bagaiman ia tahu tentang kematian Azam? Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikirannya, yang membuatnya semakin bingung.


***************

"Beni yang cerita.." pelan suara Rani.
"Beni?" Aril mengernyitkan kening.
"teman kerjanya Azam.."
"oh.." Aril membulatkan bibir, "ia cerita apa aja?" tanya Aril penasaran.
Sudah lebih sebulan semenjak Azam meninggal. Sebulan Aril hanya mengurung diri di Bandung. Ia enggan kembali ke Batam. Meski hatinya masih bertanya-tanya, tentang kehadiran Rani pada saat pemakaman Azam. Tapi hatinya masih bimbang.
Ia juga tidak berniat menghubungi Rani, meski hatinya menginginkannya.
Hingga tiba-tiba Rani menghubunginya, meminta untuk bertemu dengannya. Segera ia berangkat ke Batam, untuk menemui Rani. Aku harus menyelesaikan ini semua. Bathinnya bertekad.

"tidak banyak, sih. Beni cerita kalau sebenarnya Azam terkena kanker, ia juga baru tahu. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa. Sampai ia tahu, kalau Azam meninggal dan ia mengabarkanku segera. Pagi itu aku langsung berangkat ke Bandung.." jelas Rani.
Aril menarik napas panjang, ia masih melihat guratan bekas di mata Rani. Ia yakin, Rani sangat terpukul dengan kepergian Azam.
"aku menangis semalaman, Ril. Bahkan berminggu-minggu aku masih menangisi semua itu..." ucap Rani lagi. "aku tak tahu, mana yang paling menyakitkan dari semua ini. Antara aku kehilangan Azam tanpa kabar atau aku harus kehilangan Azam untuk selamanya.." lanjutnya pilu.

Aril menghempaskan napasnya. Bebannya masih terasa berat, "lalu apa yang membuat kamu menghubungiku dan meminta kita untuk bertemu?" tanya Aril akhirnya.
"aku hanya penasaran. Apa sebenarnya hubunganmu dengan Azam? Sampai kamu juga berada di pemakaman Azam?" Rani bertanya, sambil menatap tajam ke arah Aril yang tertunduk lesuh.

Aril tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia memang sempat terpikir untuk berterus terang kepada Rani. Tapi bukan sekarang. Aril harus menunggu waktu yang tepat.
Namun sekarang rasanya tak ada lagi yang harus ia sembunyikan. Ia harus menceritakan semuanya.

"begitulah, Ran. Aku tak mungkin menolak permintaan Azam.." ucap Aril mengakhiri ceritanya.
Rani terdiam cukup lama. Ia tatap lelaki di depannya, mencoba memahami setiap cerita yang diucapkannya. Berbagai perasaan berkecamuk di benaknya. Hatinya merintih, seakan sembilu menggores lukanya yang belum kering. Tapi..
"mengapa kamu baru cerita sekarang?" hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya.
"seperti yang aku ceritakan, Ran. Itu semua atas permintaan Azam.."

Rani menelan ludah pahit.
"kamu tahu, Ril. Semenjak kehadiran kamu, mengisi hari-hariku. Perlahan aku mulai melupakan sosok Azam. Perlahan aku mulai ingin membuka hatiku untuk kehadiran lelaki lain. Terus terang aku mulai tertarik padamu, dan aku mencoba menambal celah-celah dihatiku yang koyak akibat luka akan kehilangan Azam. Meski aku tahu itu tidak mudah.." Rani berujar, sambil sesekali memainkan jari jemarinya sendiri.
"tapi setelah mendengar semua cerita kamu tadi. Sekarang aku ragu, apa aku benar-benar tertarik padamu? Apa kamu benar-benar mampu menggantikan sosok Azam di hatiku?" lanjut Rani lagi, yang membuat Aril mendongak menatapnya.
"aku benar-benar telah jatuh cinta padamu, Ran. Terlepas dari permintaan Azam atau bukan. Aku jatuh cinta padamu, karena kamu wanita yang mandiri dan tangguh.." Aril tak hendak melepaskan tatapannya.

Rani tercenung sesaat. Hatinya benar-benar kacau. Semua yang Aril ceritakan tadi, benar-benar telah merubah pendiriannya.
"maaf, Ril. Aku harus pergi. Mungkin akan lebih baik untuk kita tidak bertemu lagi.." Rani berujar sambil bangkit dari tempat duduknya. Lalu kemudian melangkah, meninggalkan Aril sendirian.

Aril hanya terdiam. Ia tatap kepergian Rani yang semakin menjauh. Tiba-tiba sebuah rasa bersalah, menyeruak dihatinya. "maaf.." ucapnya pelan, tak terdengar siapa-siapa, dan entah kepada siapa?

Sekian...

Sebuah cerpen : Asa diujung senja

Hafis menggigit bibirnya sendiri. Hatinya perih. Luka itu terlalu dalam ia rasakan. Ia menarik napas berat.
"maafkan aku, Yu!" Hafis menatap gadis disampingnya, "aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku terlalu lemah." lanjutnya pelan.
Gadis disampingnya, hanya menatapnya sekilas. Pandangannya dialihkan kearah ombak air laut yang bergelombang. Tatapannya terlihat kosong, matanya berkaca.
"kamu gak perlu minta maaf, Fis. Kamu gak salah apa-apa dalam hal ini." ucapnya. "kita memang tidak bisa berbuat apa-apa sekarang."

Hafis kembali mengalihkan pandangannya ke depan, ikut menatap luasnya lautan. Beberapa orang terlihat sedang asyik bermain air laut. Beberapa orang lagi saling berkejaran di pinggir pantai. Sungguh suasana sore yang indah. Tapi bagi Hafis, suasana seperti itu justru membuat ia merasa semakin sakit.
Sekelebat kisah cintanya dengan Ayu, gadis yang berada di sampingnya sekarang, melintas di benaknya.

Hampir dua tahun mereka manjalin hubungan indah. Dua tahun yang teramat manis bagi Hafis. Berawal dari perkenalan mereka yang tak sengaja. Pada saat pesta pernikahan kak Ratna, kakak Hafis satu-satunya.
"sendirian?" sapa Hafis waktu itu, melihat seorang gadis yang memiliki kecantikan alami bak seorang gadis desa yang lugu, yang duduk sendirian diantara hiruk pikuknya sebuah pesta.
Gadis itu terlihat kaget, namun segera ia tersenyum, "bareng teman-teman, sih. Tapi mereka lagi sibuk berpose disana.." ia menjawab santai, sambil mengarahkan pandangannya kearah teman-temannya yang sedang asyik berpose ria diatas pelaminan.

Hafis ikut mengarahkan pandangannya kesana dan tersenyum, "kamu gak ikutan?" tanyanya.
Gadis itu menggeleng. Kemudian spontan bertanya, setelah melihat cowok yang belum ia kenal itu sudah duduk dikursi di depannya, "kamu?"
"oh. yang jadi pengantin itu kakakku." jawabnya. "kamu kenal kak Ratna?" lanjutnya bertanya.
Gadis itu mengangguk, "kak Ratna dulu pernah KKN di desa kami." balasnya.
"oh. ya. Saya Hafis." ia berujar sambil menyodorkan tangan. Gadis itu menatap cowok bermata sendu itu sekilas, kemudian menyambut tangan itu.
"Ayu.." ucapnya terdengar merdu.

Begitulah awalnya. Pertemuan tak sengaja itu telah menumbuhkan benih-benih cinta diantara mereka berdua. Berawal dari saling tukar nomor handphone, mereka jadi lebih sering saling berhubungan. Hafis bahkan jadi sering berkunjung ke desa tempat Ayu tinggal, yang berjarak kurang lebih 40 km dari kota tempat ia tinggal. Mereka sepakat untuk menjalin hubungan asmara, meski secara diam-diam, karena Ayu belum berani memperkenalkan Hafis pada keluarganya, terutama pada Ayahnya.
Ayu tahu betul bagaimana watak Ayahnya. Meski Ayu sebenarnya sudah cukup dewasa, 22 tahun usianya saat itu.

Mereka sering bertemu, bahkan hampir setiap minggu, ditepian pantai yang berada tidak begitu jauh dari desa tempat Ayu tinggal. Hubungan mereka semakin serius. Hafis sangat bahagia dengan semua itu. Tapi sekarang...

"aku benar-benar tak bisa menolak perjodohan ini, Fis." Ayu membersit hidungnya yang berair, "keputusan Ayah sudah bulat. Tak ada satupun yang bisa menolaknya."
Miris hati Hafis mendengar itu semua. Dua tahun terindah dalam hidupnya, harus berakhir dengan begitu menyakitkan.
Mereka datang ke pantai sore tadi, sesuai perjanjian. Hafis pikir, sore ini, ia akan menikmati sore yang indah, seperti sore minggu-minggu sebelumnya. Tapi ia justru mendengarkan kabar yang paling menyakitkan. Ayu dengan terbata menceritakan, kalau ia akan dinikahkan oleh Ayahnya dengan anak seorang juragan tanah di desanya. Pernikahan itu akan dilangsungkan bulan depan.
"Ayah punya banyak hutang pada juragan itu, jalan satu-satunya untuk melunasi hutang itu, hanyalah dengan menjodohkanku dengan anak juragan itu.." Ayu mengakhiri kalimatnya dengan beberapa butir air matanya yang jatuh menetes.

"aku harap kamu tidak membenciku setelah ini, Fis." suara Ayu terdengar serak.
Hafis kembali menatap gadis itu, ia tahu apa yang dirasakan Ayu saat ini. Sakit yang ia rasa, mungkin tak sebanding dengan apa yang Ayu rasakan. Bagaimana mungkin ia membenci gadis yang sangat ia cintai itu. Hafis hanya membathin. Ia tak berniat menjawab ucapan Ayu barusan.

"bagaimana kalau kita kawin lari?" Hafis berujar, setelah cukup lama mereka terdiam.
Spontan Ayu menatap cowok disampingnya, cowok yang sangat ia cintai itu.  Masih tak percaya dengan apa yang ia dengar.
Ditatap seperti itu Hafis berujar lagi, "maaf, Yu. Aku hanya tak ingin kehilangan kamu.."
"Hutang Ayah sudah terlalu banyak. Jika aku tidak jadi menikah, maka itu sama saja aku membiarkan Ayahku dipenjara.." Ayu menjawab juga akhirnya.
Hafis tergugu lagi. Hatinya semakin sakit. Terpikir olehnya untuk membantu melunasi hutang-hutang Ayah Ayu, tapi pasti hutang itu sangat banyak. Ia jelas tidak punya uang. Kehidupannya sendiri pun tidak jauh lebih baik. Ayahnya hanya seorang satpam disebuah Bank. Untuk kuliahnya saja, Hafis sering terlambat membayar uang semester.

"maafkan aku, Fis." Ayu berujar sambil berdiri. "aku kesini hanya ingin menyampaikan itu." lanjutnya. Sekali lagi ia melihat kearah Hafis, yang masih duduk tertunduk. "mulai besok kita tidak bisa bertemu dan berhubungan lagi..".
Hafis menengadahkan kepalanya, melihat kearah Ayu yang berdiri memunggunginya. Ia tak menyangka kisah cintanya akan berakhir tragis seperti ini. Tapi Hafis coba menabahkan hatinya.
Mungkin benar cinta tidak harus saling memiliki. Bisik hatinya. Mungkin benar mereka saling mencinta, tapi tidak untuk bersama selamanya. Mereka memang saling mencintai. Tapi mereka tetap saja tidak berjodoh. Hafis terus saja membathin. Mengiringi langkah Ayu yang dengan pelan tapi pasti pergi meninggalkannya sendirian, di ujung senja yang begitu tamaram. Asanya telah sirna. Baginya tidak ada lagi keindahan di pantai itu, yang ada hanya seribu kenangan yang terlalu pahit untuk ia kenang.

******

Setahun berlalu, bayangan kenangan indahnya dengan Ayu masih sering melintas dalam pikiran Hafis. Dia belum benar-benar mampu melupakan semuanya. Meski hatinya sudah mengikhlaskan Ayu. Tapi cinta dan rasa luka yang ada dihatinya tidak mudah ia hapus. Baginya Ayu adalah hal termanis yang pernah singgah dalam hidupnya.

Hafis melangkah pelan menuju kantin kampus, perutnya sudah rewel sejak tadi. Ia menatap jam ditangannya. Jam dua belas teng. Beberapa meter menjelang ia sampai, sebuah suara menghentikan langkahnya, "maaf, kak. Mau tanya. Kalau mau ke musholla lewat mana, ya?" lembut suara itu, Hafis memutar tubuhnya. Seorang gadis cantik berhijab, berdiri didekatnya tersenyum.
Hafis mengerutkan kening, "kamu anak baru?" tanya Hafis sedikit heran.
Gadis itu menggeleng. "saya bukan mahasiswi sini, kak." jawabnya.
Hafis membulatkan bibir. Kemudian mengarahkan telunjuknya sambil berucap, "tuh disana. Kamu ikuti saja jalan itu, pasti ketemu. Mushola ada dibalik gedung itu."
Gadis itu mengarahkan pandangannya, kemudian mengangguk. "terima kasih, kak." ucapnya sambil mulai melangkah.
"ei, tunggu!" ucapan Hafis membuat gadis itu membatalkan langkahnya dan kembali menatap Hafis. "kalau kamu bukan mahasiswi sini, lalu sedang apa kamu disini?" tanya Hafis penasaran.
Gadis itu tertunduk, kemudian buru-buru ia memutar tubuhnya. "maaf, kak. Saya buru-buru," ucapnya sambil terus melangkah dengan cepat.
Hafis hanya terlongo. Aneh! Pikir Hafis. Ia memutar tubuh dan melangkah menuju kantin.

Selesai makan, Hafis hendak ke mushola untuk melaksanakan sholat, meski sudah terlambat. Tak apa-apalah terlambat dari pada tidak sama sekali. Pikirnya.
Hafis memang sering terlambat untuk melaksanakan perintah agamanya yang satu itu. Tapi yang pasti ia tak pernah meninggalkannya.
Selesai sholat, Hafis merasa sedikit lega. Ia hendak langsung pulang. Tiba-tiba ia melihat gadis yang tadi bertanya padanya, termenung sendiri di depan teras mushola. Dengan rasa masih penasaran, Hafis mendekati gadis itu.
"kamu masih disini?" pertanyaan Hafis membuat gadis itu terlonjak kaget. Ia menatap Hafis sesaat.
"iya, kak."
"menunggu seseorang?" tanya Hafis lagi.
Gadis itu menggeleng lemah.
"aku sedang mencari seseorang, kak. Katanya ia kuliah disini. Namanya David. Kakak kenal?" ucap gadis itu kemudian.
Hafis coba mengingat-ingat seseorang, kemudian berucap, "ada beberapa orang bernama David disini. Ciri-cirinya gimana?"
"kurang jelas, kak. Aku kenal dia hanya lewat facebook, belum pernah ketemu langsung. Dia ambil barang sama saya, baju. Barang sudah saya kirim, tapi uangnya sudah seminggu gak ditransfer. Aku telpon sudah tidak aktif lagi. Akun saya juga diblok. Yang aku tahu ia kuliah disini, itu saja." jelas gadis itu panjang lebar.
Hafis tersenyum sinis, "kamu penjual online?"
Gadis itu mengangguk.
"ya udah. Ikhlaskan saja. Orang kayak gitu mah banyak di Indonesia. Penipuan itu namanya. Bisa aja akunnya juga palsu."
"iya sih, kak. Maunya diikhlaskan. Tapi apa salahnya saya mencoba berusaha, mana tahu masih rejeki saya. Dan bisa ketemu orangnya disini."
Spontan Hafis tertawa.
Gadis itu melotot menatap Hafis, "kenapa kakak ketawa?" tanyanya sedikit gondok.
"habis kamu lucu, sih. Masa' nyari penipu di mushola?!" ucap Hafis menghentikan tawanya.
Gadis itu hanya merengut, "tadi saya udah keliling kok, memang gak ketemu, ya udah saya istirahat dulu disini, sebelum pulang."
"oh.." balas Hafis masih dengan tersenyum. "rumah kamu dimana?" lanjutnya.
Gadis itu menyebutkan alamatnya.
"itu daerah dekat rumah saya. Berarti kita tetanggaan dong." ucap Hafis. "Pulang bareng, yuk!" ajaknya kemudian.
Gadis itu sekali lagi menatap Hafis. Ia juga sudah berniat untuk pulang. Jadi tak ada salahnya. Pikirnya.

Mereka berjalan beriring. Jarak rumah Hafis dengan kampus memang tidak terlalu jauh. Bisa ditempuh dengan jalan kaki.
"oh. ya. Kita belum kenalan." ucap Hafis sambil terus melangkah. "saya Hafis.." lanjutnya.
"Oktavia! Panggil Via aja.." balas gadis itu.
"kamu kuliah atau.."
"saya kuliah sambil jualan online, kak. Masih semester dua sih.."
"kuliah dimana?"
"UIN, kak."
"wah jauh, ya. Kenapa gak pilih di dekat rumah aja?"
"kebetulan diterimanya disana, kak. Lagian itung-itung ganti suasana.."
"he..he..he.. Iya juga, ya.." balas Hafis tersenyum manis.

Hari-hari selanjutnya mereka jadi sering bersama, jalan bareng, makan bareng atau sekedar belajar bareng. Via belajar banyak dari Hafis.
Hafis sendiri begitu terbuka menerima kehadiran Via. Hatinya yang pernah terluka, perlahan mulai mengering. Hari-harinya sudah mulai ceria lagi dengan kehadiran Via.

"saya mau ngomong, boleh?" tanya Hafis, mereka duduk di sebuah taman.
"apa?" tanya Via santai.
"aku suka sama kamu, Vi." tegas suara Hafis. Via tertegun sejenak, lalu menatap mata Hafis.
"kamu mau gak, jadi pacarku?" lanjut Hafis to the point. Sudah hampir lima bulan mereka saling kenal dan jalan bareng, Hafis tak bisa memungkiri kalau ia telah jatuh cinta lagi.
Via masih terdiam, diteguknya minuman yang dari tadi dipegangnya. Harus ia akui, kalau ia juga menyukai sosok Hafis. Hafis yang memiliki senyum manis itu, telah mampu membuka hatinya. Tapi ia pikir tidak akan secepat ini.
Namun akhirnya ia mengangguk. Seraut senyum kebahagiaan mencuat di bibir Hafis. Via melihat senyum itu semakin manis. Hafis merangkul tubuh ramping itu dalam dekapannya. Via menyandarkan tubuhnya ke dalam dekapan tubuh atletis milik Hafis.

Hari-hari berikutnya mereka lalui dengan panuh kebahagiaan. Hafis telah mampu melupakan semua kisah cintanya di masa lalu. Baginya Ayu sekarang hanyalah sebuah masa lalu. Dan kehadiran Via telah membuka lembaran baru dalam kisah cintanya. Luka dihatinya benar-benar telah memudar, tergantikan oleh cinta Via yang begitu indah.

*******

"kamu kenal, kak Ayu?" suara Via pelan. Sudah dua bulan mereka pacaran. Mereka bertemu sore itu disebuah kafe, tempat mereka biasa bertemu.
Hafis mengernyitkan kening. Dia berharap bukan Ayu dimasa lalunya yang Via maksud.
"ada banyak Ayu. Ayu yang mana?" tanya Hafis berusaha sesantai mungkin.
"kak Ayu itu sepupu saya, Fis. Kami jarang ketemu, sih. Karena ia tinggal di desa." berdetak jantung Hafis mendengar kalimat itu. "beberapa hari yang lalu, kak Ayu datang ke rumah. nginap disini. Katanya ia mau cari kerja di kota. Tadi malam tak sengaja ia liat photo kita berdua di Hp saya. Ia kaget, dan bertanya tentang hubungan kita. Saya cerita semuanya." Via menghentikan kalimatnya, menatap reaksi Hafis yang tiba-tiba gelisah. "kemudian ia juga cerita tentang kisah cinta kalian dimasa lalu.." suara Via semakin pelan.
Sekuat mungkin Hafis menahan gejolak dihatinya. Lebih dari setahun, ia berusaha menghapus segala kenangannya dengan Ayu. Tapi mengapa dunia menjadi sesempit ini bagi Hafis? Kenapa Via harus sepupunya Ayu? Tanya Hafis membathin.

"sebenarnya pernikahan kak Ayu dibatalkan. Karena pada hari pernikahan, seorang perempuan datang mengaku sebagai tunangannya calon suami kak Ayu. Ia mengamuk sebelum acara ijab kabul dimulai. Akhirnya pihak keluarga membatalkan pernikahan itu." jelas Via lagi, yang membuat Hafis semakin tak karuan. Kalau memang iya, mengapa Ayu tidak mengabarinya? Mengapa Ayu tidak menghubunginya? atau datang ke rumahnya? berbagai pertanyaan justru menghantui Hafis sekarang.
"kak Ayu sengaja tak memberi tahu kamu, Fis." lanjut Via lagi, seakan mencoba membaca apa yang ada dalam pikiran Hafis. "dia malu untuk bertemu kamu lagi, Fis. Dia tahu kamu sangat terluka saat itu, dan mungkin saja kamu sangat membencinya. Untuk itu dia tak berniat untuk mencari atau pun menghubungi kamu.."

"namun sekarang ia ke kota, salah satu tujuannya ialah untuk bertemu kamu lagi. Dia hanya menunggu saat yang tepat untuk bisa menceritakan semuanya sama kamu. Tapi karena ia tahu, kita sudah jadian. Ia memilih untuk mundur dan kembali ke kampung..." Via mengakhiri kalimatnya dengan meremas jemarinya sendiri.

Hafis tertegun mendengar semua itu. Dia pikir kisah cintanya dengan Ayu sudah berakhir. Dan dia telah dengan susah payah membangun kisah cintanya yang baru bersama Via. Tapi mengapa semuanya jadi semakin rumit? Mengapa semuanya harus saling berkaitan? Antara masa lalu dan kisah cintanya yang baru?
Hafis benar-benar dibuat bingung. Hafis menatap Via yang duduk tertunduk disampingnya.
"Aku mencintai kamu, Fis. Apa adanya. Tak peduli juga dengan kisah cintamu dimasa lalu. Tapi rasanya saat ini, aku telah melukai hati kak Ayu." Via berucap lagi.
"ini bukan salahmu, Vi.."
"Iya. Kak Ayu juga bilang begitu. Tapi rasanya terlalu egois, jika aku tetap berusaha untuk bersama kamu. Sementara aku harus melukai hati wanita lain.."
"meski itu berarti, kamu akan melukai hatimu sendiri.."
"entahlah, Fis. Seandainya saja bukan kak Ayu. Mungkin aku juga tidak akan begitu peduli."
"tapi bukannya Ayu sendiri sudah ikhlas?"
"Iya. Dia memang berkata begitu. Tapi aku juga wanita, Fis. Aku tahu persis apa yang kak Ayu rasakan. Lebih dari setahun ia mencoba melupakanmu. Tapi nyatanya ia tak berhasil. Namun sekarang, ia hampir tidak punya harapan lagi, untuk menggapai cinta masa lalunya. Semua itu karena aku.." Suara Via terdengar parau.

"kamu tak harus menghukum dirimu sendiri, Vi.." Hafis coba menghibur. "Ayu hanyalah sepenggal kisah di masa lalu ku. Dan kamu adalah harapan masa depanku.." lanjutnya.
Via menghembuskan napas pendek. Ia tahu Hafis mencintainya. Ia juga percaya, kalau Hafis sudah melupakan kak Ayu. Tapi ia hanya tak ingin merasa bahagia diatas penderitaan orang lain. Apa lagi orang itu kakak sepupunya sendiri.

Senja mulai meremang diluar. Mentari mulai meredup. Suasana kafe itu justru kian ramai.  Via meneguk minuman terakhirnya. Lalu ia berdiri, "aku pulang. Mungkin untuk sementara kita tidak usah bertemu dulu.." ucapnya sambil melangkah keluar.
Hafis menatap heran. Ia tak sempat berkata apa-apa. Via sudah berada didepan pintu keluar. Hafis berdiri lalu berusaha menyusul. Tapi Via sudah menyetop sebuah taksi dan bergegas masuk ke dalam. Taksi itupun melaju, Hafis hanya mampu menatap dari pintu kafe itu dengan perasaan tak karuan...

Sekian...

Kisah Sedih : Istriku memilih untuk pergi saat aku sedang terpuruk... (part 1)

Aku menghembuskan napas berat, hatiku terasa teriris. Dengan rasa tak percaya, kutatap raut wajah istriku.
"kenapa?" tanyaku akhirnya, dengan suara pelan.
"aku lelah, mas. Aku sudah memikirkan ini satu bulan lebih. Ibu juga sudah setuju." jawab istriku, raut mukanya menunjukkan keseriusan.
Aku meremas jemariku, mencoba menahan gejolak emosi. "lalu bagaimana dengan Azzam?" suaraku bergetar.
"Azzam akan baik-baik saja. Ibu dan Bapak sangat menyayanginya."

Aku menarik napas lagi, lebih panjang. Kutatap kembali lembaran kertas, yang istriku letakkan diatas meja reot ruang tamu kami.
"dan kalau aku gak mau?" aku membesarkan volume suaraku.
"terserah kamu, mas. Tapi yang pasti keputusanku sudah bulat. Tak peduli kamu mau atau tidak." istriku menjawab dengan sinis. Ia duduk diatas kursi tamu, menatapku yang duduk tersandar ke dinding.
Sekali lagi kutatap wajah cantik istriku. Wajah cantik dengan senyum manisnya, yang dulu membuat aku jatuh cinta padanya. Aku masih ingat waktu pertama kali kami berjumpa, kurang lebih tujuh tahun yang lalu. Waktu itu aku masih berusia 21 tahun, masih sangat muda. Demikian juga istriku waktu itu, baru berusia 19 tahun. Kami bertemu di acara pesta pernikahan seorang teman. Berawal dari saling lirik, saling senyum dan kemudian saling tertarik. Istriku yang waktu itu, bekerja pada sebuah wedding Organizer, yang kebetulan pada saat itu, menghandle pernikahan temanku.

"Dewi.." lembut ia menyebut namanya, saat kami saling berjabat tangan berkenalan.
"Alif!" aku membalas dengan tegas.
Sejak saat itu, kami menjadi dekat dan sering bertemu. Dewi yang seorang perantau, baru satu tahun ia tinggal di kota ini.
Aku sendiri juga baru beberapa bulan tinggal dikota ini, kebetulan aku baru mendapatkan pekerjaan sebagai seorang satpam disalah satu Bank swasta.
Sebagai sama-sama perantau dan jauh dari keluarga, membuat kami bisa saling mengisi. Kami benar-benar saling tertarik dan jatuh cinta.

Karena sudah merasa cocok, belum genap tiga bulan kami berpacaran, kami sepakat untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang pernikahan.
"kamu yakin, Lif? Kamu kan masih 21 tahun." Terdengar suara berat Ibu, ketika aku menyampaikan keinginanku. Dewi dan aku memang sepakat untuk segera menikah, untuk itu kami pun memutuskan untuk pulang ke kampung halaman masing-masing, untuk menyampaikan niat kami.
"Alif yakin, Buk." jawabku tegas, sambil menatap gambar Bapak yang terpajang rapi di dinding, kulihat Bapak tersenyum. Bapak meninggal dua tahun lalu, saat aku baru lulus SMA. Karena itu, aku tidak bisa melanjutkan kuliah. Aku harus mencari pekerjaan, setidaknya untuk membantu Ibu.
Kemudian seorang teman, mengajak aku bekerja sebagai seorang satpam di kota, dengan berat hati Ibu melepaskan kepergianku.

"ya, gak apa-apa toh, Buk. Lagian Alif juga sudah kerja di kota. Biar ada yang ngurus dia juga." kak Ning, kakakku satu-satunya itu, ikut menimpali. Ia sendiri menikah pada umur 19 tahun dan sekarang sudah punya dua anak.
"ya, Ibu sih, terserah kamu, Lif. Kalau kamu memang sudah merasa cocok dan siap. Ibu dan keluarga pasti merestui."
"iya, Buk." jawabku lugas.

Begitulah akhirnya, aku dan Dewi menikah dengan cara sangat sederhana. Kami terpaksa menikah dikota, karena orangtua Dewi sebenarnya tidak menyetujui pernikahan kami. Namun kami sudah sepakat, apa pun yang terjadi kami harus menikah. Pernikahan kami hanya dihadiri oleh beberapa orang teman, dan dari pihak keluargaku sendiri, hanya ada kak Ning dan Ibu yang bisa datang, karena keterbatasan ekonomi dan juga jarak yang sangat jauh.

Setelah menikah, kami menyewa sebuah rumah kontrakan kecil tak jauh dari tempat aku bekerja. Dewi sendiri memutuskan untuk behenti bekerja, ia ingin fokus mengurus keluarga katanya. Selain itu, upah yang ia terima dari tempat ia bekerja juga tidak seberapa. Aku setuju saja, toh gajiku sebagai satpam sudah cukup untuk membiayai kehidupan keluarga baru kami. Kehidupan kami sangat sederhana, namun kami sangat bahagia. Kami saling mencintai dan saling menyayangi. Hari-hari yang kami lalui terasa indah dan membahagiakan.
Setahun kemudian Dewi melahirkan anak pertama kami, Azzam. Kebahagiaan kami semakin terasa lengkap. Kehadiran Azzam membuat rumah tangga kami, semakin berwarna. Meski tak bisa kupungkiri, kadang ada pertengkeran-pertengkaran kecil terjadi diantara kami. Namun selama itu, kami masih bisa saling mengerti.
Satu hal yang aku tahu, namun Dewi tak pernah mengungkapkannya padaku. Bahwa ia rindu kedua orangtuanya, tapi keputusannya untuk nekat menikah denganku, telah membuat ia harus menahan semua kerinduan itu.
Aku selalu berusaha menghibur Dewi, agar ia tidak terlalu larut dalam kesedihannya. Aku yakin, suatu saat nanti, kedua orang tua Dewi akan merestui juga pernikahan kami.

Satu tahun usia Azzam, aku mendapat kabar dari kampung, kalau Ibuku sakit parah dan akhirnya wafat. Aku pulang kampung, namun tak sempat melihat wajah terakhir Ibuku. Aku hanya bisa menangis dipusaranya. Sekali lagi, aku harus kehilangan orang yang aku sayang. Rasanya hatiku begitu perih. Air mata ku tak sadar pun menetes. Apa lagi mengingat, bahwa aku bahkan belum bisa membahagiakan Ibu.
"kamu yang sabar ya, dik.." lembut suara kak Ning ditelingaku. Ia mengusap air matanya sendiri. Biar bagaimanapun, kak Ning lah orang yang paling dekat dengan Ibu selama ini, ia pasti sangat kehilangan.
Aku hanya mengangguk, namun air mataku terus menetes. Aku seakan enggan beranjak dari pusara itu, namun bang Afwan, suami kak Ning, segera menarik tanganku lembut. Aku pun melangkah tertatih menuju rumah.

Aku hanya berada beberapa hari dikampung, karena aku harus segera masuk kerja. Lagi pula istri dan anakku tidak bisa ikut, karena mengingat jarak yang jauh dan keterbatasan keuangan yang kami miliki.
Aku kembali ke kota, dan berusaha tegar menjalani hari-hariku lagi. Keberadaan Dewi dan Azzam cukup membuatku terhibur dan nyaman.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Azzam tumbuh dengan lincah, sekarang usianya sudah hampir empat tahun. Semuanya baik-baik saja, meski kehidupan kami cukup sederhana, dan masih tinggal dirumah kontrakan kecil.

Namun hari-hari indah ternyata tidak berlangsung lama. Tiba-tiba Bank tempat aku bekerja jadi satpam, mengalami masalah dan akhirnya harus tutup. secara otomatis aku harus kehilangan pekerjaanku. Dunia terasa berputar kurasa saat itu, aku kehilangan arah.
Sebagai seseorang yang hanya lulusan SMA dan tidak punya skill apa-apa, tidaklah mudah mendapatkan pekerjaan dikota. Dan begitulah kondisi yang aku alami saat ini. Satu bulan menganggur, semua masih bisa teratasi. Istriku masih punya simpanan, untuk bayar kontrakan dan biaya makan kami bertiga. Namun memasuki bulan kedua, keadaan rumah menjadi berubah. Kami sering bertengkar tanpa sebab. Aku kadang sengaja pergi selama beberapa hari tak pulang, hanya untuk menghindari perdebatan dengan istriku.

"sampai kapan kamu seperti ini, mas? luntang lantung gak jelas.." ucap istriku suatu hari.
Aku hanya diam. "Sudah hampir tiga bulan kamu nganggur dan tak menghasilkan apa-apa," lanjutnya. "aku sudah tidak punya simpanan lagi. Buk Ros, pemilik kontrakan sudah dua kali datang kerumah. Katanya dia hanya akan beri kita waktu sampai minggu depan..."
Aku hanya tergugu, mendengar itu semua. Aku bukannya tak berusaha. Berbagai tempat telah aku jelajahi untuk mencari pekerjaan. Dari mencari pekerjaan jadi kuli, pelayan rumah makan atau tukang parkir pun, aku tetap tidak mendapatkannya.
Aku bahkan sempat terpikir untuk mencuri atau bahkan merampok, tapi untunglah aku tidak punya bakat untuk itu.

Sekarang aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Aku pikir semuanya akan lancar dan baik-baik saja. Aku pikir hidup akan semulus itu.
"aku ingin pulang ke tempat Ibu, mas.." istriku akhirnya berujar lagi, setelah melihat keterdiamanku.
Pelan aku melirik istriku. Keningku berkerut.
"kenapa?" tanyaku.
"aku malu, mas. aku gak sanggup lagi menghadapi ini semua..." suara istriku parau.
"kita akan menghadapinya bersama-sama, Wi.." bujukku.
"kamu enak, mas. Bisa pergi-pergi.."
"tapi aku kan cari kerjaan.."
"tapi gak dapet-dapet sampai sekarang kan, mas. Orang-orang sudah mulai ngomongin kita. Aku malu. Kita tidak punya apa-apa lagi sekarang..."
"jangan pedulikan omongan orang-orang.." ucapku mengalihkan pandangan ke depan.
"tapi aku kepikiran, mas. Pokoknya aku ingin ke rumah Ibu saja.." suara istriku mulai meninggi.
Aku hanya membanting pintu masuk ke kamar, aku dengar istriku menggerutu gak jelas.

Esok paginya, aku lihat istriku sudah membawa koper dan beberapa tas keluar. "kamu mau kemana?" tanyaku, sambil mencekal langkah istriku yang sedang menggandeng tangan Azzam.
"aku sudah bilang, aku mau pulang kampung saja.."
"sekarang?"
istriku mengangguk.
"emang kamu punya uang untuk ongkos?"
"aku sudah jual handphone ku, mas.."
Aku tertunduk lesuh, keputusan istriku sudah bulat. Percuma juga aku mencegahnya. Aku tahu betul tabiat istriku.
"kamu akan cerita tentang kita sama orangtua kamu?" tanyaku berusaha lembut.
"jika terpaksa.."
"aku ikut ya?" balasku sedikit menghiba. Aku merasa begitu rapuh, saat ini aku benar-benar butuh dukungan, terutama dari orang-orang terdekatku. Saat ini aku tidak punya siapa-siapa lagi, kecuali mereka berdua, istri dan anakku.
"mas tahu, kan. Dari awal pernikahan kita, Ibu dan Bapakku sudah tidak setuju. Kalau kamu ikut, itu akan menambah runyam keadaan. Aku juga pulang, belum tentu diterima, kok."
Kembali aku terdiam. Istriku benar. Mungkin lebih baik baginya, untuk kembali ke orangtua nya saat ini. Setidaknya sampai aku mendapatkan pekerjaan, sampai keadaan ini membaik.
Aku menatap kepergian istri dan anakku dengan mata berkaca. Biar bagaimanapun ini salahku. Aku yang harus bertanggungjawab untuk mereka. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku benar-benar tidak berdaya. Tanpa sadar air mata ku pun menetes.

*******

Pagi sekali, pintu kontrakanku digedor-gedor. Dengan rasa malas aku bangun dan menuju pintu depan.
"sudah ada uangnya?" suara kasar buk Ros menyemprotku.
Aku hanya menggeleng.
"ya udah. Kamu silahkan beres-beres barang kamu sekarang.."
"tapi buk, aku..."
"gak ada tapi-tapian. Kamu belum bayar sewa sudah tiga bulan, lho."
"Dua bulan, buk.." suaraku pelan.
"iya, seminggu lagi jadi tiga bulan.." suara buk Ros semakin meninggi.
"saya janji, buk. Seminggu lagi saya bayar semuanya.." ucapku berusaha meyakinkan buk Ros.
"aku tuh, sebenarnya kasihan sama kamu, Lif. Tapi kalau seminggu lagi gak bayar sepersenpun, maka dengan sangat terpaksa aku akan bawa orangku untuk mengusir kamu dari kontrakan ini!" buk Ros nyerocos sambil berlalu pergi.

Aku menarik napas panjang, sudah sebulan istriku pergi, buk Ros sudah tiga kali datang kerumah. Aku bertahan hidup dengan bekerja jadi kuli cucian motor di tempat mang Rohim, cukup untuk makanku sehari-hari, tapi tetap tak cukup buat bayar kontrakan.
Aku berjalan gontai menuju kamar mandi, tiba-tiba aku dengar lagi ketukan dipintu kontrakan. Aku berbalik lagi, kupikir buk Ros balik lagi. Kubuka pintu perlahan, bersiap-siap terkena makian lagi.
"Dewi?" keningku berkerut, tak percaya. Aku melihat Dewi berdiri di depan pintu, keadaannya jauh lebih baik dari sejak kepergiannya sebulan lalu. Aku menatap sekelilingnya, "mana Azzam?" tanyaku lagi, melihat Dewi hanya berdiri sendirian. Tiba-tiba aku merasa kangen dengan anakku, sudah sebulan aku tak mendengar celotehannya.
"Azzam gak ikut. Ia tinggal disana, dirumah mbahnya." Dewi akhirnya menjawab, ia beranikan menatap kearah wajahku yang berantakan. "aku kesini hanya mau bicara."
"maksud kamu?"
Dewi menyerahkan sebuah map, berisi selembar surat, ia duduk dikursi tamu rotan rumah kontrakan kami. Aku membuka map itu dan membaca isi suratnya,
"aku ingin cerai, mas." belum selesai aku membaca isi surat itu, Dewi sudah memperjelas isinya. Untuk sesaat, aku hanya terpaku. Tak percaya. Tak tahu juga harus berkata apa. Seisi dunia seakan runtuh bagiku. Aku terduduk dilantai. Menyandarkan punggungku di dinding. Berharap dinding itu bisa membantuku memikul semua beban ini.

"sekali lagi terserah kamu, mas. Aku juga tidak peduli. Tapi jika kamu tidak tanda tangani surat cerai itu, jangan harap kamu bisa bertemu Azzam lagi.." suara tegas Dewi kembali mencabik hatiku. Aku ingin marah. Tapi dengan kondisi seperti ini, aku sadar betul, kemarahanku justru hanya akan memperburuk keadaan. "aku tinggalkan surat ini, nanti kalau kamu sudah tanda tangan, kamu bisa kirim lewat pos, alamatnya ada disitu.." Tiba-tiba Dewi bangkit, ia melangkah keluar dari rumah dan berjalan menuju taksi yang sudah menunggunya dari tadi.

******

Seminggu aku hanya mengurung diri di kamar. Hatiku benar-benar hancur. Hidupku kacau. Sekarang aku bahkan tidak punya apa-apa. Aku juga tidak punya semangat dan harapan. Semuanya benar-benar berantakan. Tak kusangka pernikahanku akan berakhir dengan setragis ini. Berkali-kali kutatap surat yang ditinggalkan Dewi. Rasa rindu menyeruak di dadaku. Aku rindu anakku, aku rindu istriku, aku rindu suasana bahagia dirumah sederhana ini. Air mataku menetes lagi, entah sudah berapa kali aku menangis dalam seminggu ini. Hatiku perih.
Aku merasa lemah, tak berdaya untuk mempertahankan rumah tangga kami.
Suara ketukan terdengar sangat keras dipintu, aku bergegas berdiri. Aku tahu itu buk Ros, sudah seminggu, dia pasti ingin menagih.
Wajah garang buk Ros menatapku. Aku hanya terdiam.
"sudah seminggu. Jika kamu belum punya uang juga, kamu boleh kemasi barang-barangmu dan silahkan pergi dari sini." Suara buk Ros, lantang. Beberapa tetangga nongol keluar.

Aku masuk ke dalam, tidak ada barang apa-apa dirumah ini sekarang. Semua sudah terjual, TV, kulkas, kipas angin, semuanya. Aku hanya mengemasi pakaianku yang sudah sebulan tidak dicuci. Aku masukan pakaian itu ke dalam tas bututku. Aku memang harus pergi, aku tak berhak lagi tinggal disini. Lagi pula Dewi juga sudah pergi, ia tidak akan pernah kembali lagi.
Aku melangkahkan kakiku pelan, meninggalkan rumah kontrakan penuh kenangan itu. Diiringi tatapan para tetangga yang sebagian sudah tahu cerita pilu keluarga kami.
"ingat, ya. Kamu masih punya hutang 3 bulan, lho.." suara buk Ros terdengar lagi. Aku tak menghiraukannya, aku terus saja melangkah meski aku tidak tahu, harus kemana.

********

Langkah ku gontai, kaki ku terasa mulai keram dan kesemutan. Aku sudah berjalan cukup jauh, tanpa arah. Aku benar-benar terpuruk. Aku hempaskan pantatku diatas sebuah bangku taman, yang ada dipinggiran jalan. Kepala ku nyut-nyutan, cacing dalam perutku sudah dari tadi berperang meminta makan. Aku tidak punya uang sepersen pun.
Terpikir olehku, untuk pulang ke kampung. Tapi di kampung aku juga tak punya siapa-siapa, selain kak Ning. Dan aku tahu betul, bagaimana kehidupan ekonomi kak Ning, suaminya hanya seorang buruh. Aku tak ingin menambah beban mereka. Lagi pula aku pun toh, tak punya uang untuk ongkos pulang.
Aku memejamkan mataku, mencoba menahan segala perih yang ada. Perihnya rasa lapar, perihnya luka yang menggores hatiku. Badanku terasa lemas tak berdaya.

Beberapa menit aku terlelap, saat tiba-tiba aku merasa ada cipratan air diwajahku. Aku membuka mata, ternyata hari sudah mulai hujan, makin lama makin lebat. Aku berlari menuju teras ruko yang berjejeran, senja mulai meremang. Aku berteduh di teras sebuah kafe, yang membuat rasa laparku kian menjadi.
"Hei! Ngapain kamu disitu?!" sebuah suara lantang menahan gerakanku untuk duduk, aku berpaling menatap kearah suara itu. Seorang laki-laki tua berpakaian satpam berdiri tak jauh dari situ.
"aku hanya mau numpang berteduh, pak..." balasku ringan.
"Iya. Tapi jangan disitu!" suara itu masih lantang.
Aku hendak melangkah pergi menempuh hujan yang sangat lebat itu, sampai tiba-tiba seorang laki-laki keluar dari balik pintu masuk kafe.
"ada apa, pak Kardi?" tanya laki-laki  itu, pada satpam tersebut.
"orang ini, pak. Ia berteduh disini.." balas satpam itu dengan sedikit hormat, suaranya pelan.
"biarkan aja, pak. gak apa-apa. Hujan lebat gini, kan?!" laki-laki itu berujar, sambil melangkah mendekati kami.
Mendengar perkataan laki-laki tersebut, aku urungkan langkahku.

"kamu gak apa-apa?" tanya laki-laki itu padaku, ia mendekat.
Aku hanya menggeleng. Kemudian dengan sedikit berani aku melihat kearah laki-laki yang baik itu.
Laki-laki itu mengerutkan kening, seperti sedang mengingat sesuatu. Tangan kanannya terangkat, dan diacungkannya jari telunjuk kearahku, sambil berkata, "Alif? Kamu Alif, kan?"
Kembali aku menatap laki-laki itu, mencoba mengenalinya. Tapi pikiranku memang sedang tidak fokus. Aku tak mengenalinya. Tapi refleks aku pun mengangguk.
"kamu gak ingat saya?" laki-laki itu bertanya lagi, dia melangkah semakin dekat, dia hanya berdiri satu langkah lagi didepanku. Aku tatap wajah itu, lalu menggeleng.
"Saya Bayu!" ucapnya. Puluhan nama Bayu berkeliaran dibenakku, tapi tidak ada satupun yang menggambarkan orang didepanku. "Bayu teman SMA mu, Lif!" laki-laki itu melanjutkan, melihat aku hanya terbengong.

"Bayu! Bayu Prawijaya?!" suaraku lantang. Laki-laki itu mengangguk.
"Alif Budiman! Ha..ha..a" laki-laki itu tertawa, sambil melangkah mendekat, tiba-tiba ia mendekapku. Aku spontan kaget, tapi berusaha membalas dekapannya.
"apa kabar kamu, Lif?" tanyanya setelah melepaskan dekapannya.
Aku berusaha bersikap tenang. "baik.." jawabku singkat. Aku berusaha tersenyum, namun suasana hatiku tidak berhasil membuatku benar-benar tersenyum. "kamu?" tanyaku.
"Alhamdulillah, beginilah keadaanku sekarang. Sangat baik.." Bayu menyentuh bahuku pelan, "aku senang bisa bertemu kamu akhirnya, Lif." ia melanjutkan.
"aku juga.." balasku. Tapi seharusnya tidak dalam keadaan seperti ini. Bathinku.

"kamu mau kemana?" tanya Bayu lagi, menatap tas yang ada dilantai teras.
Aku tergagap, tak bisa menjawab.
"kita ngobrol di dalam aja yuk, Lif!" Bayu menawarkan. Kemudian tanpa menunggu jawabanku, ditariknya tanganku masuk ke dalam kafe. "tasnya dibawa aja.." lanjutnya.

Kami duduk di salah satu meja yang berada di sudut kafe. Bayu menawarkanku beberapa menu hidangan makanan dan minuman, "udah tenang aja, aku yang traktir, kok!" ucapnya melihat aku hanya menatap menu tersebut. Aku kemudian memilih beberapa makanan dan minuman yang menurutku tidak terlalu mahal.
"sudah berapa tahun kita gak ketemu?" Bayu memulai pembicaraan, sambil menunggu pesanan kami datang. "delapan atau sembilan tahun?" lanjutnya. "cukup lama, ya?"
Aku hanya tertunduk. Bukannya aku tak senang bertemu Bayu. Namun kondisi ku saat ini, benar-benar membuatku merasa tak nyaman. Perutku terasa melilit menahan lapar. Aku merasa pesanan kami terlalu lama datang.

"kamu kenapa, Lif?" suara Bayu mengagetkanku lagi.
"oh. gak apa-apa, Bay." timpalku cepat, aku takut Bayu menyadari akan ketidaknyamananku. Sekuat mungkin aku menahan rasa laparku dan mencoba tersenyum.
"kamu udah nikah?" tanya Bayu lagi.
Aku mengangguk.
"punya anak?"
"satu" jawabku singkat.
"baguslah!" ucapan Bayu membuatku mengernyitkan kening. "kupikir kamu gak laku, ha...ha.." Bayu melanjutkan sambil tertawa.
"Brengsek kamu, Bay." balasku mulai merasa nyaman. "kamu?"
"aku baru menikah setahun yang lalu, sekarang istriku lagi hamil besar.."
"oh. Berarti aku lebih duluan, ya..he..he.." ucapku sedikit bercanda.
"Iya. Kamu dari dulu memang selalu duluan, kan..?"

Bayu adalah sahabat karibku, semasa SMA. Ya, kami sangat dekat. Tak ada hari yang kami lewati tanpa bersama, baik disekolah maupun diluar sekolah. Bayu anak seorang pengusaha kaya, tapi dia tidak manja. Bayu tidak suka memamerkan harta orangtuanya. Dia selalu tampil sederhana. Aku suka berteman dengan Bayu, karena orangnya asyik. Suka bercanda. Dan yang paling penting ia suka membantu. Hanya saja, kalau urusan belajar, Bayu paling malas. Dia selalu berada dirangking paling bawah. Dan dia selalu mengandalkan aku untuk mendongkrak nilainya. Aku memang sering memberinya contekan. Maklum kamu duduk sebangku.
Kabar terakhir yang aku tahu, Bayu kuliah di Singapur. Tak kusangka kami akan bertemu disini, dengan keadaanku yang seperti sekarang ini.

"Bapak Ibu gimana kabar, Lif?" pertanyaan Bayu membuyarkan lamunanku.
"Bapak dan Ibu sudah meninggal, Bay." balasku pelan. Kulihat Bayu mengernyitkan kening.
"kapan?" tanyanya.
Sebelum aku sempat menjawab, pelayan sudah datang membawakan pesanan kami.
"bapak meninggal tujuh tahun lalu, Ibu udah empat tahun.."
"oh. Turut berduka cita ya, Lif.." aku menganggukkan kepala, pelayan telah selesai menyajikan hidangan kami. Bayu dulu memang sering main kerumah, sering nginap dan makan juga.
"ayok, Lif. Dimakan" tawar Bayu.
Aku yang sudah menahan lapar dari tadi, segera menyantap hidangan tersebut. Dalam hatiku merasa bersyukur, setidaknya malam ini aku tidak akan kelaparan.

"ini kafe kamu?" tanyaku sekedar berbasa-basi. Aku melihat cara pelayan tadi memperlakukan kami.
Bayu mengangguk. "Iya. Inilah usahaku sekarang, Lif.." ucapnya. "aku udah punya lebih dua puluh cabang sekarang. Ada rencana mau buka satu cabang lagi, tapi masih dalam proses. Bangunan udah ada, cuma lagi cari orang yang bisa mengelolanya.."
Aku hanya menggangguk-angguk kecil, sambil menyantap makanan. Bayu memang selalu beruntung, terlahir dari keluarga kaya, dan sekarang punya usaha sendiri.
"tapi kamu jangan salah. Ini murni usahaku sendiri, tidak ada campur tangan papa. Kalau perusahaan papa, kan udah ada bang Hadi yang mengambil alih." ucap Bayu menjelaskan.
"tapi bukannya kamu kuliah diluar negeri ya?" tanyaku penasaran.
"Iya. Itu kan keinginan papa. Aku kuliah empat tahun di Singapur, kemudian lima tahun lalu aku balik ke Indonesia. Dan mulai buka usaha dari nol. Papa sempat tak setuju sih, awalnya. Tapi melihat keinginanku yang kuat dan usahaku yang cukup gigih, papa akhirnya memberikan aku kesempatan untuk berusaha sendiri. Dan sekarang papa sudah mengakui kehebatanku."

Aku mengunyah makanan terakhirku dan meneguk air putih yang aku pesan tadi. Bayu menatapku cukup lama. Kemudian berujar, "kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi, Lif"
"pertanyaan yang mana?"
"kamu mau kemana?" tiba-tiba terasa ada yang menggores hatiku. Masalah perutku memang sudah teratasi, tapi masih begitu banyak masalah yang harus kuhadapi. Aku bimbang. Haruskah aku cerita sama Bayu. Meskipun kami dulu adalah sahabat, tapi setelah sekian tahun tak bertemu, rasanya sulit untuk terbuka lagi pada Bayu.

Dulu kami memang selalu terbuka dalam segala hal. Hampir tidak ada rahasia diantara kami. Tapi sekarang tentu semuanya sudah berbeda. Aku menarik napas panjang. Sulit untuk menjawab pertanyaan Bayu barusan.
"kamu ada masalah, Lif?" Bayu bertanya lagi, melihat aku hanya diam.
Aku tetap bungkam. Mulutku tiba-tiba kaku. Rasanya aku ingin manangis.

"kamu ingat Iren?' Tiba-tiba Bayu mengalihkan pembicaraan. Sepertinya dia paham, kalau aku tak bisa menjawab pertanyaannya.
"Iren?"
"Iya. Iren. Adik kelas yang sama-sama kita taksir."
"oh. ya. Ingat!" jawabku.
"dia sekarang kerja sama saya, jadi kasir di salah satu cabang kafe saya.."
Aku hanya membulatkan bibir. Aku tahu Bayu mengharapkan reaksi lebih. Tapi pikiranku benar-benar lagi kacau.

"selama sembilan tahun gak ketemu kamu, aku selalu ingat kamu, Lif. Kamu satu-satunya sahabat yang tak pernah aku lupakan." ucap Bayu pelan. "Kamu tahu, apa yang paling tidak bisa aku lupakan tentang kamu?" lanjutnya.
"apa?"
"papa selalu marah kalau aku mendapatkan nilai jelek, dan aku selalu dibanding-bandingkan dengan bang Hadi yang pintar. Karena kamu sering kasih aku contekan, nilaiku jadi bagus dan papa tak pernah marah-marah lagi, apa lagi membanding-bandingkanku dengan bang Hadi."

"kamu hebat, Bay." ucapku tanpa sadar, mengingat apa yang sudah dicapai Bayu saat ini.
"kamu harusnya lebih hebat lagi, Lif" balas Bayu, "kamu itu pintar, sejak kecil selalu juara kelas.."
Aku menggeleng lemah, "tapi aku tak seberuntung kamu, Bay." suaraku pelan. "aku gak bisa kuliah, karena bapak keburu meninggal. Aku hanya lulusan SMA. Apa yang bisa aku lakukan dengan ijazah itu?" keluhku, lebih kepada diriku sendiri.
"jadi kamu kerja apa sekarang?"
"sempat jadi satpam sih, Bay. Tapi karena Bank tempat aku bekerja ada masalah dan akhirnya tutup, aku sekarang jadi pengangguran.." tiba-tiba aku merasa lega, mengungkap itu semua.
Bayu menatapku lagi, dengan tatapan iba. Sebenarnya aku tak ingin dikasihani, tapi saat ini tak ada apa-apa yang bisa kupertahankan, sekalipun cuma sebuah gengsi atau pun harga diri.
"jadi sekarang kamu mau kemana?"  tanya Bayu lagi.
"entahlah Bay. Aku juga gak tahu harus kemana. Istriku memilih untuk pergi dan kembali ke orangtuanya, dia bawa anak kami. Dia memilih untuk pergi disaat aku benar-benar terpuruk dan butuh dukungan."
Bayu menatapku semakin iba. Tapi segera dia memalingkan wajahnya, melihat aku yang meliriknya.

"kamu mau kerja dengan saya?" Bayu bertanya setelah cukup lama kami terdiam.
Spontan aku menatap Bayu. Aku lihat ketulusan dimatanya.
"aku kenal kamu, Lif. Aku tahu bagaimana kamu. Kamu laki-laki hebat. kemiskinan tidak membuatmu menyerah untuk belajar. Kamu pintar. Kamu salah satu inspirasiku untuk belajar." suara Bayu terdengar datar, namun aku tahu ia tulus. "aku rasa kamu hanya belum menemukan passion kamu yang sebenarnya." lanjutnya.
"entahlah, Bay. Aku bingung. Aku tak tahu harus ngapain sekarang." keluhku.
"kalau kamu mau, kamu bisa mulai kerja sama saya. kebetulan saya mau buka cabang baru. Dan butuh banyak karyawan. Kamu bisa belajar disana. Dan kalau kamu nanti mampu, kamu bisa menjadi manager disana.."

Aku terharu mendengar penuturan Bayu. Tak kusangka Bayu masih begitu baik padaku, setelah kami terpisah sekian tahun.
"terima kasih, Bay. Saat ini aku tidak punya pilihan, selain menerima tawaran kamu. Gak harus jadi manager sih, jadi pelayan juga gak apa-apa. Yang penting aku punya penghasilan." ucapku parau. Mataku mulai berkaca. Jika tidak mengingat keadaan kafe yang mulai ramai, ingin rasanya aku menangis saat itu juga.

"Sekarang kamu tinggal dimana?" tanya Bayu pelan.
Aku hanya menggeleng, menahan haru dihatiku.
"kalau begitu untuk sementara kamu bisa tinggal dikamar atas. Diatas ada kamar kosong. Kamu bisa tinggal disana, sampai cabang kafe ku yang baru benar-benar udah buka. Dan untuk sementara, kamu bisa bantu-bantu disini. Nanti aku suruh pak Darman, mengurus segala keperluan kamu.."
Ucapan Bayu, benar-benar membuatku lega. Setidaknya aku sekarang sudah punya tujuan, meski belum begitu jelas.
Aku hanya bertekad untuk bangkit lagi. Dan mengembalikan semua yang telah pergi dariku. Aku yakin Dewi akan mau menerima aku kembali, kalau aku sudah punya penghasilan yang tetap.

Bersambung...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate