Yudha duduk diatas sebuah batu besar ditepi sungai Kampar. Ia biarkan kakinya terjuntai ke bawah, basah oleh ombak kecil air sungai. Hatinya tengah gundah. Sudah beberapa minggu terakhir ini, Yudha selalu duduk sendirian di sana setiap minggunya. Dia kesana sekedar melepaskan segala kegelisahan hatinya. Sudah hampir dua bulan ini, Yudha memendam kekecewaannya. Sendiri.
Itu semua karena Mirna! Cewek cantik yang sudah menjadi kekasihnya sejak hampir setahun lalu.
Pikiran Yudha kembali memutar memori awal pertemuannya dengan Mirna. Pertemuan yang terkesan klasik. Yudha yang waktu itu masih duduk di kelas tiga SMA, bekerja sambilan sebagai seorang pelayan di sebuah kafe, tanpa sengaja menabrak seorang gadis yang mengakibatkan baju gadis itu basah oleh tumpahan air es.
"oh. maaf mbak..." ucap Yudha spontan waktu itu, "saya benar-benar tidak sengaja. Maaf ya mbak.." suara Yudha menghiba.
Gadis itu menatap wajah tampan penuh rasa bersalah itu cukup lama, lalu kemudian tersenyum.
"ya gak apa-apa mas..." jawab gadis itu polos. "lain kali hati-hati, ya..." lanjutnya, sambil berlalu menuju kamar kecil yang ada di sudut.
Yudha melanjutkan langkah nya dengan perasaan bersalah.
'dasar ceroboh' Yudha memaki dirinya sendiri.
Dua hari kemudian Yudha bertemu gadis itu lagi. Saat itu Yudha baru saja pulang sekolah, dan dengan sedikit terburu langsung menuju kafe tempat ia bekerja paroh waktu.
Sudah hampir satu tahun ia bekerja di sana, sejak Ayahnya meninggal karena serangan jantung. Ibunya yang cuma buruh cuci keliling, sudah tidak mampu lagi membiayai sekolahnya. Tambahan pula dua adiknya yang masih kecil-kecil, masih butuh biaya banyak. Makanya Yudha nyambi kerja jadi pelayan kafe. Untunglah pak Restu, pemilik kafe itu, mau menerima nya bekerja paroh waktu.
Siang itu Yudha hendak masuk ke dalam kafe, ketika di pintu masuk ia tanpa sengaja bertemu lagi dengan gadis kemarin yang tak sengaja bertabrakan dengannya.
Gadis itu tersenyum padanya, Yudha jadi salah tingkah, dan dengan sedikit kaku ia membalas senyuman itu.
"hei.." sapa gadis itu tiba-tiba, "yang kemarin, kan?" lanjut gadis itu lagi.
Spontan Yudha mengangguk.
Gadis itu menyodorkan tangannya, "kemarin kita belum sempat kenalan.." ucapnya. "hmm.. Saya Mirna." lanjutnya.
Dengan masih kikuk, Yudha menjabat tangan lembut itu, "Saya Yudha.." ucapnya sedikit bergetar. "maaf ya, soal kemarin," lanjut Yudha sambil melepaskan tangan.
"ya, gak apa-apa.." lembut suara gadis itu. Sambil berlalu.
"siapa sih, cewek itu?" tanya Yudha pada Asril, teman kerjanya.
"bukannya tadi kamu udah kenalan?" balas Asril.
"iya! yang ku maksud bukan itu..."
"lantas?"
"ngapain dia disini, sampai masuk ke dapur segala?"
"oh, jadi kamu belum tahu, Yud?" ujar Asril sedikit berkerut.
"tahu apa?"
"dia itu anak pak Restu, anak pemilik kafe ini.." jelas Asril, yang membuat Yudha sedikit heran.
"tapi selama ini kok gak pernah kelihatan ya.."
"itu karena ia selama ini tinggal di Jogja, tempat neneknya, sekolah di sana." Asril menjelaskan, "Nah, sekarang ini katanya sih, ia udah pindah kesini. Mau pindah sekolah juga disini.."
"oh.." Yudha membulatkan bibir.
"tapi ngomong-ngomong, tadi dia nanya-nanya soal kamu loh.." Asril berbicara lagi, sambil tersenyum menatap Yudha, "jangan-jangan ia naksir sama kamu.." lanjutnya.
Yudha hanya tersenyum menanggapi ucapan Asril tersebut.
Esoknya, di sekolah Yudha mendapat sedikit kejutan. Ternyata Mirna, anak gadis pak Restu itu, pindah ke sekolahnya, satu kelas dengan nya malah. Bahkan pak Akri, wali kelas Yudha, meminta Mirna untuk duduk di samping Yudha yang kebetulan bangkunya masih kosong.
Sejak saat itu mereka mulai dekat. Mulai saling kenal. Dan mulai saling tertarik. Mirna bahkan terang-terangan menunjukkan perasaan suka nya pada Yudha.
Yudha yang pada awalnya berusaha menjaga jarak, karena ia tahu siapa Mirna, pada akhirnya luluh juga. Ia tak bisa menolak hadirnya rasa cinta dalam hatinya pada Mirna.
Mirna yang cantik. Mirna yang baik dan lembut. Yudha membiarkan saja pintu hatinya terbuka, menyambut cinta Mirna yang begitu indah hadir menghiasi hari-harinya.
Meski ia sadar, akan ada banyak rintangan yang akan mereka hadapi ke depannya. Terutama mengingat watak pak Restu selama ini, yang terbilang cukup keras.
Entah apa yang akan terjadi, seandainya beliau tahu, kalau anak bungsu kesayangannya menjalin hubungan spesial dengan salah seorang pelayan kafe nya.
Tapi Yudha mencoba mengabaikan hal itu, ia melewati hari-hari indah bersama Mirna. Begitu pun Mirna, ia sangat bahagia bisa selalu bersama Yudha.
Kebersamaan mereka terasa begitu sempurna. Selain di sekolah, mereka juga punya tempat spesial untuk bertemu. Di pinggiran sungai, yang penuh bebatuan. Di sana cukup sepi dan jauh dari keramaian kota. Sungai itu berada tak jauh dari rumah tempat Yudha tinggal.
Mereka biasa menghabiskan waktu disana, setiap sore minggu.
Di pinggiran sungai itu terdapat beberapa bebatuan besar, mereka duduk-duduk disana sambil menikmati sore dan saling bersenda gurau.
"jadi rencananya kamu mau kuliah di mana, Yud..?" tanya Mirna suatu hari, beberapa minggu menjelang mereka akan menghadapi ujian akhir sekolah.
Sesaat Yudha tercenung, kemudian tertunduk. Ia menatap pepohonan yang jauh di seberang sungai. Pepohonan itu masih terlihat rimbun, burung-burung berterbangan diatasnya. Yudha menarik nafas sejenak. "Entah lah, Mir.." jawabnya akhirnya, "saat ini aku hanya fokus untuk mencari uang untuk membantu Ibu ku dan juga untuk biaya sekolah adik-adik ku..." lanjutnya dengan nada datar. Ia lemparkan sebongkah batu kecil ke tengah sungai. "kalau kuliah, mungkin nanti kalau aku sudah punya cukup uang.." suara nya semakin mengecil.
Mirna menatap Yudha, cowok yang ia cinta itu, cukup lama. Kemudian berujar, "sayang loh, Yud. Sebenarnya.." ia menyentuh bahu cowok itu, "kamu kan pintar dan selalu juara kelas.." lanjutnya.
Yudha menoleh ke arahnya sekilas dan tersenyum kecut. Kemudian melemparkan sebongkah batu lagi. "kamu gak coba ajukan beasiswa aja, Yud?" Mirna berucap lagi, kali ini dengan sedikit menyandarkan kepalanya pada bahu kokoh milik Yudha.
"aku udah coba mengajukan beasiswa ke beberapa tempat, tapi tak ada satupun yang diterima.." balas Yudha.
"bagaimana kalau aku minta tolong papa aja, buat dia bantu biaya kuliah kamu.."
"gak usah, Mir.." timpal Yudha cepat, "kamu sudah cukup banyak membantu aku dan keluarga ku selama ini.." lanjutnya. Yudha masih ingat, bagaimana Mirna mati-matian berjuang mempertahankan Yudha untuk tetap bekerja di kafe papanya, ketika Yudha hampir saja di pecat karena tanpa sengaja memecahkan beberapa buah piring.
Yudha juga ingat, Mirna yang membantunya membayar ongkos rumah sakit, ketika Ibunya dengan sangat terpaksa harus dirawat, karena sakit sesak nafasnya.
Mirna sudah terlalu banyak berkorban untuknya, ia tak ingin berhutang lebih banyak lagi.
"kamu sendiri gimana, Mir..?" Yudha mencoba mengalihkan pembicaraan, hatinya terlalu perih bila mengingat kisah perjalanan hidupnya. "kamu jadi kuliah di Australi..?" lanjutnya lagi.
"entahlah, Yud. Itu kan keinginan papa, bukan keinginanku." balas Mirna, "lagi pula, jika aku jadi kuliah di sana, itu akan membuat rentang jarak diantara kita kian jauh, Yud.." lanjut Mirna terdengar lemah.
Yudha tercenung lagi, kemudian ia tengadah. Menatap langit yang mulai mendung. Beberapa butir air hujan mulai turun, makin lama makin banyak. Bergegas keduanya berdiri dan berlari mencari tempat terdekat untuk berteduh.
**************************
Hari-hari selanjutnya, mereka sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian akhir sekolah. Meraka fokus untuk mengikuti ujian akhir sekolah, dan mempersiapkan beberapa kegiatan yang dilakukan sekolah. Mereka jadi jarang bertemu.
Dan ketika ujian akhir sekolah selesai, tiba-tiba Mirna menghilang, tanpa kabar. Bahkan saat acara perpisahan sekolah pun Mirna tak ada. Yudha kebingungan dan sudah bertanya kepada semua teman Mirna, satu pun tidak ada yang tahu keberadaan Mirna.
"kamu kan cowoknya, pasti kamu lebih tahu..." jawab Asril, ketika Yudha bertanya tentang Mirna.
Yudha benar-benar kehilangan jejak Mirna. Setiap di hubungi ke handphone nya selalu saja tidak aktif. Yudha jadi bertanya-tanya sendiri. Kemana Mirna dan ada apa dengannya? Kenapa ia pergi tanpa kabar? Begitu banyak pertanyaan di benak Yudha.
******************
Sudah hampir dua bulan Mirna menghilang. Yudha sudah pasrah. Ia berpikir, mungkin saat ini Mirna sudah berada di Australi untuk kuliah, memenuhi keinginan papanya. Dan Mirna mungkin tak ingin mengabarinya, karena takut Yudha akan menahan kepergiannya. Begitu simpul Yudha.
Yudha masih termangu sendiri di tepian sungai itu, duduk di salah satu batu besar tempat biasa ia dan Mirna bertemu. Tiba-tiba sebuah tangan lembut menyentuh bahunya. Yudha kaget dan menoleh ke belakang. "Mirna?" soraknya setengah tak percaya.
Mirna yang sore itu memakai gaun merah muda, langsung duduk di samping Yudha, tanpa pedulikan reaksi kekagetan Yudha barusan.
"akhirnya aku kalah, Yud.." ucap Mirna tiba-tiba, tanpa melihat ke arah Yudha.
"maksud kamu?" tanya Yudha sedikit bingung dan menatap tajam ke arah Mirna, yang tetap saja mengarahkan pandangannya jauh ke seberang sana.
"Akhirnya aku harus memenuhi keinginan papa, untuk kuliah di Australi." Mirna berucap sangat pelan dengan suara parau. "Aku coba menolak. Aku kabur dari rumah tanpa memberi tahu siapa-siapa, juga kamu. Aku pergi ke rumah nenek di Jogja. Tapi papa tahu, aku di sana. Ia menyusul dan kami bertengkar hebat," sesaat Mirna terhenti, dan menolah sejenak ke arah Yudha, lalu melanjutkan, "papa mengancam akan menjodohkan aku dengan anak salah seorang teman bisnisnya, jika aku menolak untuk kuliah di Australi..."
Yudha masih terdiam mendengarkan cerita Mirna. Ia tak tahu harus mengatakan apa saat ini. Hampir dua bulan ia tak bertemu Mirna, namun ketika akhirnya mereka bertemu, Yudha justru mendengar cerita yang tak mengenakan dari Mirna.
Cukup lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Yudha mengambil sebongkah batu dan melemparkannya ke tengah sungai, batu itu terlempar cukup jauh dari biasanya. Kemudian ia menarik nafas, bahkan lebih panjang dari biasanya, tanpa sadar bibirnya pun berucap, "aku rasa... sebaiknya kita sudahi saja hubungan kita ini, Mir.." Pelan suara itu, tapi mampu menusuk relung hati terdalam Mirna.
Mirna kembali menatap wajah tampan cowok itu, menatapnya tak percaya. Kata-kata itu keluar dari mulut sang cowok. Namun Yudha terlihat serius, pandangannya terarah kedepan.
"kenapa?" Ketus suara Mirna.
"karena seperti yang kamu bilang, rentang jarak antara kita akan semakin jauh.."
"kita tetap bisa saling berhubungan, Yud. Jarak tidak akan mengubah perasaan ku pada mu.."
"iya, aku juga. Tapi sampai kapan..?"
"sampai waktu mempertemukan kita kembali.."
huh. Yudha menghempaskan nafasnya kasar. "apa kamu yakin, bisa bertahan selama bertahun-tahun terpisah begitu jauh..?" ucapnya.
"setidaknya kita harus mencoba, Yud.."
"untuk apa?"
"untuk cinta kita. Untuk masa depan kita. Kita harus bertahan, Yud.." suara Mirna mulai bergetar.
"lama-lama cinta itu akan pudar, Mir. Apa lagi kalau kita jarang bertemu. Hanya lewat telpon atau email atau apalah, pasti sangat sulit." Yudha berujar sambil melempar lagi sebuah batu ke tengah sungai. Ada yang teriris di hatinya.
"aku akan pulang saat musim liburan.." kata Mirna terdengar lemah dan semakin serak. "aku sayang kamu, Yud. Dulu, sekarang, esok dan selamanya," ucapnya melanjutkan, tanpa sadar satu tetes air mata jatuh menyentuh pipi lembutnya.
Yudha menatap lekat wajah gadis itu. Ingin rasanya ia mengusap tetesan air mata itu. Tapi ia urung, di alihkan tatapannya ke bawah. Berpura-pura tak melihat.
"aku juga sayang kamu, Mir!" kali ini suara Yudha terdengar sedikit tegas, "tapi waktu dan keadaan bisa merubah pendirian seseorang, dan itu tidak bisa di pungkiri.." lanjutnya.
Mirna terdiam beberapa saat, ia asyik memainkan air sungai yang menyentuh telapak kakinya. Dinginnya air itu, tak mampu mendinginkan hatinya yang sedang galau. Sejujurnya ia merasa sangat berat harus berpisah dengan Yudha. Tapi keinginan papanya jelas tak mampu lagi ia tolak...
"mungkin lebih baik kalau kita mencoba untuk saling melupakan.." ucap Yudha, setelah cukup lama mereka terdiam lagi.
"cukup, Yud!" kali ini Mirna berbicara cukup lantang. Ia mengusap tetesan air matanya sendiri, ia kemudian berdiri, "jika kamu memang mencintaiku, harusnya kamu bisa tetap bertahan. Seperti apa pun kondisi hubungan kita nantinya.." lanjutnya lagi, sambil mulai memutar tubuh dan melangkahkan kakinya perlahan. "akan ku buktikan kalau aku mampu tetap setia, meski waktu dan jarak akan memisahkan kita.." Mirna melontarkan kata-katanya dengan keras, sambil terus melangkah meninggalkan Yudha.
Untuk sesaat Yudha masih terpaku. Ia percaya kalau Mirna akan bisa menjaga kesetiaannya. Tapi bukan itu masalah sebenarnya bagi Yudha. Ada banyak perbedaan di antara mereka, bahkan sejak dari awal mereka bersama. Dan sekarang perbedaan itu semakin terasa, terutama bagi Yudha.
Yudha berdiri sambil mengambil lagi sebongkah batu, kali ini lebih besar. Ia lemparkan batu itu dengan sekuat tenaga, seakan ia ingin menumpahkan semua kekecewaanya.
Senja pun mulai meremang. Burung-burung yang berterbangan hilir mudik, mulai terbang menuju satu titik. Malam sudah mulai menjelang. Yudha menikmati hembusan angin senja itu. Senja yang begitu damai sebetulnya. Tapi bagi Yudha semua nya terasa hampa.
Semuanya terasa kelabu. Tanpa warna!
Itu semua karena Mirna! Cewek cantik yang sudah menjadi kekasihnya sejak hampir setahun lalu.
Pikiran Yudha kembali memutar memori awal pertemuannya dengan Mirna. Pertemuan yang terkesan klasik. Yudha yang waktu itu masih duduk di kelas tiga SMA, bekerja sambilan sebagai seorang pelayan di sebuah kafe, tanpa sengaja menabrak seorang gadis yang mengakibatkan baju gadis itu basah oleh tumpahan air es.
"oh. maaf mbak..." ucap Yudha spontan waktu itu, "saya benar-benar tidak sengaja. Maaf ya mbak.." suara Yudha menghiba.
Gadis itu menatap wajah tampan penuh rasa bersalah itu cukup lama, lalu kemudian tersenyum.
"ya gak apa-apa mas..." jawab gadis itu polos. "lain kali hati-hati, ya..." lanjutnya, sambil berlalu menuju kamar kecil yang ada di sudut.
Yudha melanjutkan langkah nya dengan perasaan bersalah.
'dasar ceroboh' Yudha memaki dirinya sendiri.
Dua hari kemudian Yudha bertemu gadis itu lagi. Saat itu Yudha baru saja pulang sekolah, dan dengan sedikit terburu langsung menuju kafe tempat ia bekerja paroh waktu.
Sudah hampir satu tahun ia bekerja di sana, sejak Ayahnya meninggal karena serangan jantung. Ibunya yang cuma buruh cuci keliling, sudah tidak mampu lagi membiayai sekolahnya. Tambahan pula dua adiknya yang masih kecil-kecil, masih butuh biaya banyak. Makanya Yudha nyambi kerja jadi pelayan kafe. Untunglah pak Restu, pemilik kafe itu, mau menerima nya bekerja paroh waktu.
Siang itu Yudha hendak masuk ke dalam kafe, ketika di pintu masuk ia tanpa sengaja bertemu lagi dengan gadis kemarin yang tak sengaja bertabrakan dengannya.
Gadis itu tersenyum padanya, Yudha jadi salah tingkah, dan dengan sedikit kaku ia membalas senyuman itu.
"hei.." sapa gadis itu tiba-tiba, "yang kemarin, kan?" lanjut gadis itu lagi.
Spontan Yudha mengangguk.
Gadis itu menyodorkan tangannya, "kemarin kita belum sempat kenalan.." ucapnya. "hmm.. Saya Mirna." lanjutnya.
Dengan masih kikuk, Yudha menjabat tangan lembut itu, "Saya Yudha.." ucapnya sedikit bergetar. "maaf ya, soal kemarin," lanjut Yudha sambil melepaskan tangan.
"ya, gak apa-apa.." lembut suara gadis itu. Sambil berlalu.
"siapa sih, cewek itu?" tanya Yudha pada Asril, teman kerjanya.
"bukannya tadi kamu udah kenalan?" balas Asril.
"iya! yang ku maksud bukan itu..."
"lantas?"
"ngapain dia disini, sampai masuk ke dapur segala?"
"oh, jadi kamu belum tahu, Yud?" ujar Asril sedikit berkerut.
"tahu apa?"
"dia itu anak pak Restu, anak pemilik kafe ini.." jelas Asril, yang membuat Yudha sedikit heran.
"tapi selama ini kok gak pernah kelihatan ya.."
"itu karena ia selama ini tinggal di Jogja, tempat neneknya, sekolah di sana." Asril menjelaskan, "Nah, sekarang ini katanya sih, ia udah pindah kesini. Mau pindah sekolah juga disini.."
"oh.." Yudha membulatkan bibir.
"tapi ngomong-ngomong, tadi dia nanya-nanya soal kamu loh.." Asril berbicara lagi, sambil tersenyum menatap Yudha, "jangan-jangan ia naksir sama kamu.." lanjutnya.
Yudha hanya tersenyum menanggapi ucapan Asril tersebut.
Esoknya, di sekolah Yudha mendapat sedikit kejutan. Ternyata Mirna, anak gadis pak Restu itu, pindah ke sekolahnya, satu kelas dengan nya malah. Bahkan pak Akri, wali kelas Yudha, meminta Mirna untuk duduk di samping Yudha yang kebetulan bangkunya masih kosong.
Sejak saat itu mereka mulai dekat. Mulai saling kenal. Dan mulai saling tertarik. Mirna bahkan terang-terangan menunjukkan perasaan suka nya pada Yudha.
Yudha yang pada awalnya berusaha menjaga jarak, karena ia tahu siapa Mirna, pada akhirnya luluh juga. Ia tak bisa menolak hadirnya rasa cinta dalam hatinya pada Mirna.
Mirna yang cantik. Mirna yang baik dan lembut. Yudha membiarkan saja pintu hatinya terbuka, menyambut cinta Mirna yang begitu indah hadir menghiasi hari-harinya.
Meski ia sadar, akan ada banyak rintangan yang akan mereka hadapi ke depannya. Terutama mengingat watak pak Restu selama ini, yang terbilang cukup keras.
Entah apa yang akan terjadi, seandainya beliau tahu, kalau anak bungsu kesayangannya menjalin hubungan spesial dengan salah seorang pelayan kafe nya.
Tapi Yudha mencoba mengabaikan hal itu, ia melewati hari-hari indah bersama Mirna. Begitu pun Mirna, ia sangat bahagia bisa selalu bersama Yudha.
Kebersamaan mereka terasa begitu sempurna. Selain di sekolah, mereka juga punya tempat spesial untuk bertemu. Di pinggiran sungai, yang penuh bebatuan. Di sana cukup sepi dan jauh dari keramaian kota. Sungai itu berada tak jauh dari rumah tempat Yudha tinggal.
Mereka biasa menghabiskan waktu disana, setiap sore minggu.
Di pinggiran sungai itu terdapat beberapa bebatuan besar, mereka duduk-duduk disana sambil menikmati sore dan saling bersenda gurau.
"jadi rencananya kamu mau kuliah di mana, Yud..?" tanya Mirna suatu hari, beberapa minggu menjelang mereka akan menghadapi ujian akhir sekolah.
Sesaat Yudha tercenung, kemudian tertunduk. Ia menatap pepohonan yang jauh di seberang sungai. Pepohonan itu masih terlihat rimbun, burung-burung berterbangan diatasnya. Yudha menarik nafas sejenak. "Entah lah, Mir.." jawabnya akhirnya, "saat ini aku hanya fokus untuk mencari uang untuk membantu Ibu ku dan juga untuk biaya sekolah adik-adik ku..." lanjutnya dengan nada datar. Ia lemparkan sebongkah batu kecil ke tengah sungai. "kalau kuliah, mungkin nanti kalau aku sudah punya cukup uang.." suara nya semakin mengecil.
Mirna menatap Yudha, cowok yang ia cinta itu, cukup lama. Kemudian berujar, "sayang loh, Yud. Sebenarnya.." ia menyentuh bahu cowok itu, "kamu kan pintar dan selalu juara kelas.." lanjutnya.
Yudha menoleh ke arahnya sekilas dan tersenyum kecut. Kemudian melemparkan sebongkah batu lagi. "kamu gak coba ajukan beasiswa aja, Yud?" Mirna berucap lagi, kali ini dengan sedikit menyandarkan kepalanya pada bahu kokoh milik Yudha.
"aku udah coba mengajukan beasiswa ke beberapa tempat, tapi tak ada satupun yang diterima.." balas Yudha.
"bagaimana kalau aku minta tolong papa aja, buat dia bantu biaya kuliah kamu.."
"gak usah, Mir.." timpal Yudha cepat, "kamu sudah cukup banyak membantu aku dan keluarga ku selama ini.." lanjutnya. Yudha masih ingat, bagaimana Mirna mati-matian berjuang mempertahankan Yudha untuk tetap bekerja di kafe papanya, ketika Yudha hampir saja di pecat karena tanpa sengaja memecahkan beberapa buah piring.
Yudha juga ingat, Mirna yang membantunya membayar ongkos rumah sakit, ketika Ibunya dengan sangat terpaksa harus dirawat, karena sakit sesak nafasnya.
Mirna sudah terlalu banyak berkorban untuknya, ia tak ingin berhutang lebih banyak lagi.
"kamu sendiri gimana, Mir..?" Yudha mencoba mengalihkan pembicaraan, hatinya terlalu perih bila mengingat kisah perjalanan hidupnya. "kamu jadi kuliah di Australi..?" lanjutnya lagi.
"entahlah, Yud. Itu kan keinginan papa, bukan keinginanku." balas Mirna, "lagi pula, jika aku jadi kuliah di sana, itu akan membuat rentang jarak diantara kita kian jauh, Yud.." lanjut Mirna terdengar lemah.
Yudha tercenung lagi, kemudian ia tengadah. Menatap langit yang mulai mendung. Beberapa butir air hujan mulai turun, makin lama makin banyak. Bergegas keduanya berdiri dan berlari mencari tempat terdekat untuk berteduh.
**************************
Hari-hari selanjutnya, mereka sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian akhir sekolah. Meraka fokus untuk mengikuti ujian akhir sekolah, dan mempersiapkan beberapa kegiatan yang dilakukan sekolah. Mereka jadi jarang bertemu.
Dan ketika ujian akhir sekolah selesai, tiba-tiba Mirna menghilang, tanpa kabar. Bahkan saat acara perpisahan sekolah pun Mirna tak ada. Yudha kebingungan dan sudah bertanya kepada semua teman Mirna, satu pun tidak ada yang tahu keberadaan Mirna.
"kamu kan cowoknya, pasti kamu lebih tahu..." jawab Asril, ketika Yudha bertanya tentang Mirna.
Yudha benar-benar kehilangan jejak Mirna. Setiap di hubungi ke handphone nya selalu saja tidak aktif. Yudha jadi bertanya-tanya sendiri. Kemana Mirna dan ada apa dengannya? Kenapa ia pergi tanpa kabar? Begitu banyak pertanyaan di benak Yudha.
******************
Sudah hampir dua bulan Mirna menghilang. Yudha sudah pasrah. Ia berpikir, mungkin saat ini Mirna sudah berada di Australi untuk kuliah, memenuhi keinginan papanya. Dan Mirna mungkin tak ingin mengabarinya, karena takut Yudha akan menahan kepergiannya. Begitu simpul Yudha.
Yudha masih termangu sendiri di tepian sungai itu, duduk di salah satu batu besar tempat biasa ia dan Mirna bertemu. Tiba-tiba sebuah tangan lembut menyentuh bahunya. Yudha kaget dan menoleh ke belakang. "Mirna?" soraknya setengah tak percaya.
Mirna yang sore itu memakai gaun merah muda, langsung duduk di samping Yudha, tanpa pedulikan reaksi kekagetan Yudha barusan.
"akhirnya aku kalah, Yud.." ucap Mirna tiba-tiba, tanpa melihat ke arah Yudha.
"maksud kamu?" tanya Yudha sedikit bingung dan menatap tajam ke arah Mirna, yang tetap saja mengarahkan pandangannya jauh ke seberang sana.
"Akhirnya aku harus memenuhi keinginan papa, untuk kuliah di Australi." Mirna berucap sangat pelan dengan suara parau. "Aku coba menolak. Aku kabur dari rumah tanpa memberi tahu siapa-siapa, juga kamu. Aku pergi ke rumah nenek di Jogja. Tapi papa tahu, aku di sana. Ia menyusul dan kami bertengkar hebat," sesaat Mirna terhenti, dan menolah sejenak ke arah Yudha, lalu melanjutkan, "papa mengancam akan menjodohkan aku dengan anak salah seorang teman bisnisnya, jika aku menolak untuk kuliah di Australi..."
Yudha masih terdiam mendengarkan cerita Mirna. Ia tak tahu harus mengatakan apa saat ini. Hampir dua bulan ia tak bertemu Mirna, namun ketika akhirnya mereka bertemu, Yudha justru mendengar cerita yang tak mengenakan dari Mirna.
Cukup lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Yudha mengambil sebongkah batu dan melemparkannya ke tengah sungai, batu itu terlempar cukup jauh dari biasanya. Kemudian ia menarik nafas, bahkan lebih panjang dari biasanya, tanpa sadar bibirnya pun berucap, "aku rasa... sebaiknya kita sudahi saja hubungan kita ini, Mir.." Pelan suara itu, tapi mampu menusuk relung hati terdalam Mirna.
Mirna kembali menatap wajah tampan cowok itu, menatapnya tak percaya. Kata-kata itu keluar dari mulut sang cowok. Namun Yudha terlihat serius, pandangannya terarah kedepan.
"kenapa?" Ketus suara Mirna.
"karena seperti yang kamu bilang, rentang jarak antara kita akan semakin jauh.."
"kita tetap bisa saling berhubungan, Yud. Jarak tidak akan mengubah perasaan ku pada mu.."
"iya, aku juga. Tapi sampai kapan..?"
"sampai waktu mempertemukan kita kembali.."
huh. Yudha menghempaskan nafasnya kasar. "apa kamu yakin, bisa bertahan selama bertahun-tahun terpisah begitu jauh..?" ucapnya.
"setidaknya kita harus mencoba, Yud.."
"untuk apa?"
"untuk cinta kita. Untuk masa depan kita. Kita harus bertahan, Yud.." suara Mirna mulai bergetar.
"lama-lama cinta itu akan pudar, Mir. Apa lagi kalau kita jarang bertemu. Hanya lewat telpon atau email atau apalah, pasti sangat sulit." Yudha berujar sambil melempar lagi sebuah batu ke tengah sungai. Ada yang teriris di hatinya.
"aku akan pulang saat musim liburan.." kata Mirna terdengar lemah dan semakin serak. "aku sayang kamu, Yud. Dulu, sekarang, esok dan selamanya," ucapnya melanjutkan, tanpa sadar satu tetes air mata jatuh menyentuh pipi lembutnya.
Yudha menatap lekat wajah gadis itu. Ingin rasanya ia mengusap tetesan air mata itu. Tapi ia urung, di alihkan tatapannya ke bawah. Berpura-pura tak melihat.
"aku juga sayang kamu, Mir!" kali ini suara Yudha terdengar sedikit tegas, "tapi waktu dan keadaan bisa merubah pendirian seseorang, dan itu tidak bisa di pungkiri.." lanjutnya.
Mirna terdiam beberapa saat, ia asyik memainkan air sungai yang menyentuh telapak kakinya. Dinginnya air itu, tak mampu mendinginkan hatinya yang sedang galau. Sejujurnya ia merasa sangat berat harus berpisah dengan Yudha. Tapi keinginan papanya jelas tak mampu lagi ia tolak...
"mungkin lebih baik kalau kita mencoba untuk saling melupakan.." ucap Yudha, setelah cukup lama mereka terdiam lagi.
"cukup, Yud!" kali ini Mirna berbicara cukup lantang. Ia mengusap tetesan air matanya sendiri, ia kemudian berdiri, "jika kamu memang mencintaiku, harusnya kamu bisa tetap bertahan. Seperti apa pun kondisi hubungan kita nantinya.." lanjutnya lagi, sambil mulai memutar tubuh dan melangkahkan kakinya perlahan. "akan ku buktikan kalau aku mampu tetap setia, meski waktu dan jarak akan memisahkan kita.." Mirna melontarkan kata-katanya dengan keras, sambil terus melangkah meninggalkan Yudha.
Untuk sesaat Yudha masih terpaku. Ia percaya kalau Mirna akan bisa menjaga kesetiaannya. Tapi bukan itu masalah sebenarnya bagi Yudha. Ada banyak perbedaan di antara mereka, bahkan sejak dari awal mereka bersama. Dan sekarang perbedaan itu semakin terasa, terutama bagi Yudha.
Yudha berdiri sambil mengambil lagi sebongkah batu, kali ini lebih besar. Ia lemparkan batu itu dengan sekuat tenaga, seakan ia ingin menumpahkan semua kekecewaanya.
Senja pun mulai meremang. Burung-burung yang berterbangan hilir mudik, mulai terbang menuju satu titik. Malam sudah mulai menjelang. Yudha menikmati hembusan angin senja itu. Senja yang begitu damai sebetulnya. Tapi bagi Yudha semua nya terasa hampa.
Semuanya terasa kelabu. Tanpa warna!
******
Sekian ...
Suka
BalasHapus