Mandor cantik pencuri hati

 

Namaku Keken.

Sekarang usiaku sudah hampir 28 tahun.

Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan seorang gadis yang usia dua tahun lebih tua dari ku.

Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 22 tahun.

Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang.

Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun.

Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku.

Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP.

Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan.

Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan.

Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belum pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja.

Tempat kerja kami yang selalu berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu kota ke kota lainnya. Hal itulah salah satu penyebab mengapa aku belum pernah pacaran sampai saat itu. Selain karena kehidupan ekonomi ku yang kurang mapan.

Sudah banyak proyek bangunan yang berhasil kami selesaikan. Kadang saat job kosong, aku dan mang Rohim pulang ke kampung. Mang Rohim memang sudah punya istri dan anak di kampung.

Biasanya, kalau tidak bisa pulang, mang Rohim hanya mengirimkan uang ke kampung. Aku juga sering mengirim uang untuk orangtuaku di kampung, terutama untuk membantu biaya sekolah adik-adikku.

****

Waktu terus bergulir, aku masih sangat betah menjadi seorang kuli bangunan. Karena sebenarnya memang tidak banyak pilihan pekerjaan untuk seseorang seperti diriku.

Hingga suatu saat, mang Rohim mendapat sebuah proyek yang cukup besar. Sebuah proyek pembangunan perumahan yang cukup elit.

Proyek perumahan itu berada di sebuah kota yang cukup besar. Aku dan mang Rohim beserta beberapa orang kuli bangunan lainnya, tinggal di sebuah rumah kosong, tak jauh dari tempat pembangunan perumahan elit tersebut.

Disanalah saya bertemu dan berkenalan dengan seorang wanita cantik. Namanya Citra, usianya dua tahun lebih tua dariku, dan aku biasa memanggilnya mbak Citra.

Dia adalah mandor kami, selama pengerjaan proyek perumahan tersebut.

Selain cantik, Citra juga memiliki tubuh yang ramping. Ia juga  ramah, dan sangat baik. Dan tentu saja pintar.

Mulanya semuanya berjalan biasa saja. Kami melakukan tugas kami sebagai kuli bangunan, dan begitu juga Citra, ia juga melakukan tugasnya sebagai seorang mandor.

Sebulan saya bekerja disana. Hingga suatu malam, tiba-tiba Citra, si mandor cantik itu, mengajak aku mengobrol. Kami ngobrol berdua di bangku depan rumah tempat kami, para kuli tinggal.

Waktu itu malam minggu. Seperti biasa, hari minggunya kami libur kerja. Untuk itu teman-teman kuli yang lain, tidak berada di rumah. Mereka ada yang pulang kampung, seperti mang Rohim. Ada juga yang keluyuran keluar, menikmati malam minggu mereka sendiri.

Aku sendiri sebenarnya, memutuskan untuk tidak kemana-mana malam itu, aku hanya ingin beristirahat di rumah.

Namun tiba-tiba Citra datang, sendirian. Rumah Citra memang tidak begitu jauh dari situ. Tapi Citra datang memakai mobilnya.

Awalnya aku cukup kaget, karena tak biasanya Citra datang malam-malam.

"saya lagi suntuk di rumah. Lagi butuh teman buat ngobrol juga..." jelas Citra padaku waktu itu, ketika aku mempertanyakan kedatangannya.

Kami ngobrol cukup lama malam itu, Citra bahkan sampai memesan minuman dan beberapa makanan ringan secara online, untuk kami nikmati sambil kami mengobrol.

Citra bertanya banyak hal padaku, terutama tentang kehidupanku. Demikian juga sebaliknya, Citra juga secara blak-blakan bercerita tentang dirinya padaku malam itu.

Aku sebenarnya cukup sungkan, namun karena Citra yang bersifat ramah, aku pun mencoba untuk bersikap rileks.

Dari Citra aku tahu, kalau ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Mereka empat bersaudara semuanya perempuan. Kedua kakaknya sudah berkeluarga dan sudah mempunyai rumah masing-masing.

Jadi dirumahnya, hanya ada Citra dan kedua orangtuanya. Dan tentu saja ada beberapa orang pembantu di rumahnya.

Citra memang anak orang kaya. Ayahnya seorang pengusaha besar. Dan dari Citra juga aku jadi tahu, jika perumahan elit yang sedang kami bangun tersebut adalah milik ayahnya.

"saya masih tak percaya, kalau kamu masih belum pernah pacaran..." ujar Citra di sela-sela obrolan kami.

Aku hanya tersenyum. Tak berniat juga untuk terlalu meyakinkan Citra.

"padahal secara fisik, kamu orang yang menarik, lho..." lanjut Citra lagi. "kamu tampan dan juga bertubuh kekar, pasti banyak cewek-cewek yang naksir sama kamu.." kali ini Citra melanjutkan, dengan tersenyum manis menatapku.

Entah mengapa, mendengar pujian Citra barusan, aku merasa tersanjung. Aku tersenyum tipis dan segera menunduk, tak sanggup lebih lama menentang tatapan Citra.

Harus aku akui, bahwa seumur hidup, aku belum pernah dipuji seperti itu oleh siapa pun. Apalagi aku memang tidak pernah dekat dengang seorang cewek.

"mbak Citra sendiri gimana?" tanyaku dengan suara bergetar, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"maksud kamu?" tanya Citra dengan kening berkerut.

"maksud saya, mbak Citra sendiri, udah berapa kali pacaran?" tanyaku lebih jelas.

"pernah sih, beberapa kali, dulu. Tapi udah hampir dua tahun ini saya memilih untuk sendiri..." jawab Citra dengan nada datar. Ia seperti tak begitu berminat membicarakan kisah cintanya.

****

Singkat cerita, sejak malam itu, aku dan Citra pun menjadi dekat dan akrab. Citra semakin sering mengajakku ngobrol. Seperti saat-saat jam istirahat kerja, atau pada malam hari, Citra lebih sering datang ke tempat tinggal kami. Ia bahkan tidak segan-segan mengajakku jalan-jalan berdua pakai mobilnya.

Ia sering mentraktir aku makan dan berjalan-jalan keliling kota. Dan bahkan kami pernah nonton di bioskop berdua. Citra juga sering mengajakku main ke rumahnya, tentu saja tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Hingga suatu hari, aku mengalami sebuah kecelakaan kerja.

Sebatang kayu besar menimpa kepalaku. Cukup parah. Aku hampir kehabisan darah, kalau saja Citra tidak segera membawaku ke rumah sakit.

Meski sedikit terlambat, tapi setidaknya nyawaku masih terselamatkan.

Dan dari keterangan dokter, aku tahu, bahwa Citra ikut menyumbangkan darahnya, agar aku bisa diselamatkan.

Citra juga yang menanggung semua biaya di rumah sakit.

Lebih dari seminggu aku dirawat. Citra selalu setia menemaniku. Ia juga mengeluarkan banyak uang, untuk biaya aku berobat.

"makasih ya, mbak Citra." ucapku, ketika Citra mengantarku pulang dari rumah sakit, "mbak Citra sudah sangat banyak berkorban untuk saya..."lanjutku lagi.

Citra hanya tesenyum, ia terlihat tulus.

Aku tidak tahu bagaimana caranya bisa membalas semua kebaikan Citra padaku. Rasanya apapun akan aku lakukan, untuk bisa membalas jasanya.

"kamu yakin, gak mau pulang kampung saja, Ken?" tanya mang Rohim, setelah aku beberapa hari pulang dari rumah sakit.

Luka ku memang sudah mulai sembuh, namun aku belum diperbolehkan bekerja, terutama oleh mang Rohim dan Citra.

"iya, gak apa-apa, Mang. Lagian saya juga gak punya ongkos untuk pulang, uang yang kemarin udah saya kirim ke kampung..." balasku kepada mang Rohim, yang masih saja menatapku.

Aku memang tak berniat untuk pulang, selain karena tidak punya uang, aku juga tak ingin membuat cemas kedua orangtuaku. Aku sudah berpesan kepada mang Rohim agar tidak memberitahukan mereka, tentang kejadian yang menimpaku. Mereka tidak perlu tahu.

Lagi pula, beberapa hari lagi, aku juga bakal sembuh dan bisa bekerja lagi.

********

Pagi itu, aku termenung sendirian di dalam rumah. Mang Rohim dan rekan kuli lainnya, sudah berangkat kerja.

Tiba-tiba di balik pintu yang memang tidak tertutup itu, muncul sesosok tubuh seorang wanita.

Aku cukup kaget, namun segera aku tersenyum, karena aku lihat Citra sudah berdiri disana. Ia tersenyum manis, ditangan kanannya ia menenteng sebuah kantong plastik putih transparan.

"aku bawakan sarapan buat kamu..." ucap Citra, sambil ia melangkah masuk dan duduk di dekatku.

Ia menyerahkan kantong plastik itu, dengan masih tersenyum.

Sebenarnya aku merasa cukup berat menerimanya. Namun sudah beberapa hari ini, sejak aku pulang dari rumah sakit, Citra memang rutin membawakan aku sarapan.

Aku tidak tahu lagi, bagaimana cara menolak semua kebaikan Citra padaku. Rasanya kebaikan Citra sudah tidak bisa dibalas dengan apapun.

Namun aku selalu tak bisa menolaknya, aku takut Citra tersinggung. Citra selalu terlihat tulus padaku, sehingga aku menjadi tak kuasa untuk menolaknya.

Pagi itu, entah mengapa aku merasa Citra berpenampilan lebih rapi dari biasanya. Ia memakai blues hijau lengan panjang. Bajunya dimasukkan ke dalam rok mininya, yang terlilit ikat pinggang hitam. Rok mini yang ia pakai berwarna hitam. Rok itu terlihat cukup pendek. Sehingga tubuh Citra yang memang seksi itu, terlihat semakin menarik.

"mbak Citra sudah terlalu baik sama saya. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas semua itu.. " ucapku akhirnya memberanikan diri. Saya baru saja menghabiskan sarapan yang dibawa Citra tadi. Kami duduk di ruang tamu rumah itu. Ruang tamu itu tanpa kursi, jadi kami hanya duduk di lantai. Citra duduk di samping ku.

"saya mau jujur sama kamu, Ken. Tapi kamu jangan marah, ya..?!" ucap Citra perlahan.

Aku menatap Citra sekilas.

"mbak Citra mau jujur tentang apa?" tanyaku penasaran.

"tapi kamu janji dulu, Ken. Kamu gak bakalan ngejauhin saya, apa lagi sampai marah sama saya...." balas Citra, kali ini ia menatapku kembali, dengan wajah sedikit memohon.

Aku justru semakin penasaran.

"saya mana berani marah sama mbak Citra.." ucapku, "mbak Citra sudah terlalu baik sama saya.." aku melanjutkan.

"tapi apa yang ingin saya sampaikan ini, sesuatu yang sangat sensistif..." Citra berujar lagi, suaranya sedikit mengecil.

"iya. Mbak Citra ngomong aja. Saya janji gak bakal marah sedikitpun...." balasku meyakinkan.

Aku benar-benar penasaran dengan semua yang ingin diomongkan Citra padaku. Pikiranku menerawang, mencoba menebak-nebak.

Lama kami terdiam, hingga akhirnya Citra pun berujar,

"sebenarnya... sebenarnya aku.... aku suka sama kamu, Ken..." suara Citra tergagap. Namun cukup mampu membuatku sangat kaget.

"maksud mbak Citra?" tanyaku akhirnya, keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya.

"yah, aku suka sama kamu, Ken. Aku... aku jatuh cinta sama kamu..." Citra berujar lagi, suaranya masih terbata.

"tapi saya, kan...." aku sengaja menggantung kalimat ku.

"iya, saya tahu. Kamu hanya seorang kuli." Citra memotong ucapanku cepat. "tapi aku sudah terlanjur suka sama kamu, Ken. Aku sayang sama kamu. Aku gak peduli, sekali pun kamu hanya seorang kuli. Kamu mau kan pacaran sama saya?" Citra melanjutkan lagi. Ia terdengar semakin berani.

Aku terdiam. Benar-benar terdiam. Tidak tahu juga harus berkata apa.

Seharusnya aku memang sudah bisa menduga hal itu dari awal. Kebaika Citra selama ini padaku, sudah cukup membuktikan hal tersebut. Tapi, aku benar-benar tidak menyangka, kalau Citra akan seberani itu, untuk mengungkapkan perasaannya pada ku.

Aku juga tidak menyangka, kalau Citra bisa jatuh cinta padaku. Padahal aku hanya seorang kuli bangunan. Sedangkan ia adalah putri seorang pengusaha kaya. Citra juga seorang wanita berpendidikan dan berwawasan tinggi. Rasanya, sangat tidak mungkin ia akan tertarik padaku, yang hanya seorang kuli proyek.

Tapi Citra sudah berterus terang padaku. Ia dengan blak-blakan sudah mengungkapkan perasaannya. Dan aku salut atas kejujurannya itu.

Aku memang belum pernah pacaran. Aku belum pernah mengungkapkan perasaanku pada siapapun. Aku tak tahu rasanya. Meski aku sering mengkhayalkannnya.

Namun tak pernah aku sangka, jika aku harus mendengarkan ungkapan perasaan dari seorang wanita secantik dan sekaya Citra.

"kamu gak harus jawab sekarang, Ken." suara Citra mengagetkanku lagi. "kamu bisa pikirkan hal ini dulu. Dan kamu berhak menolak, kok. Jika kamu memang tidak suka. Tapi kamu jangan marah sama saya, yah. Apalagi sampai membenci saya. Saya ingin kita tetap berteman seperti ini..." Citra melanjutkan kalimatnya, melihat saya hanya terdiam.

Tak lama kemudian, Citra pun berdiri.

"saya permisi, Ken. Kita akan ngobrol lagi nanti, kalau kamu udah punya jawabannya." Citra mengakhiri kalimatnya, lalu melangkah pelan keluar.

Aku masih dalam keterdiamanku. Semuanya terasa aneh bagiku. Pikiranku tiba-tiba kacau tak menentu. Hatiku dibalut dilema. Aku masygul.

****

Seminggu kemudian, aku sudah mulai bekerja lagi seperti sedia kala.

Seminggu ini, pikiranku terasa berat. Pernyataan Citra minggu lalu, masih terus menghantui ku setiap saat.

Citra memang tidak pernah lagi datang kerumah, sejak seminggu itu. Kami bahkan tidak pernah bertemu dari jarak dekat, kami hanya saling pandang dari kejauhan.

Perasaanku semakin tak karuan.

Jika aku menolak pernyataan cinta Citra untuk menjadi pacarnya, jelas ia akan kecewa dan sakit hati. Aku tak ingin hal itu terjadi, biar bagaimanapun Citra sudah teramat sangat baik padaku selama ini. Ia rela mengorbankan apa saja untukku. Ia bahkan telah menyumbangkan darahnya, demi menyelamatkan nyawaku. Dan lagi pula Citra adalah mandor, tempat aku bekerja sebagai kuli bangunan.

Bagaimana mungkin aku bisa mengecewakan, orang sebaik Citra?

Sebegitu tidak tahu terima kasihkah aku?!

Sebegitu jahatkah aku?

Yang tega membuat kecewa, orang yang sudah sangat baik padaku.

Namun jika aku menerima cinta Citra, entah mengapa aku merasa tidak pantas.

Bagaimana nantinya kami bisa menjalin hubungan?

Bagaimana rasanya punya pacar yang lebih tua dari ku? dan juga jauh lebih kaya dari ku?

Aku benar-benar merasa tidak pantas.

Aku pernah membayangkan, suatu saat akan punya pacar. Tapi tentu saja, yang aku bayangkan adalah punya pacar seorang cewek yang kehidupannya sepadan dengan ku.

Tapi sekarang?? Akh... aku benar-benar bingung.

Aku sendiri tidak tahu perasaanku yang sebenarnya terhadap Citra. Jujur, aku memang mengagumi sosok seorang Citra. Terlepas dia seorang wanita yang cantik dan seksi, Citra juga seorang wanita yang sangat baik dan ramah. Selama aku bekerja dengannya, aku belum pernah melihat dia marah.

Namun aku tidak bisa begitu saja jatuh cinta padanya. Biar bagaimana pun, aku cukup sadar diri. Dan lagi pula, aku juga tidak ingin punya pacar yang usianya lebih tua dariku, meski pun hanya dua tahun.

Aku memang merasa nyaman, saat bersama Citra. Karena segala kebaikannnya padaku selama ini.

Tapi bukan berarti, aku telah jatuh hati padanya.

Aku juga memang belum pernah pacaran. Hatiku memang selalu kosong. Tapi bukan berarti juga, aku harus membiarkan Citra masuk ke dalamnya dengan begitu mudah.

Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?

Haruskah aku mencobanya?

Setidaknya untuk membuat Citra merasa senang.

Setidaknya untuk membalas semua kebaikan Citra selama ini. Meski sebenarnya, itu semua tidak akan pernah cukup. Citra terlalu baik padaku.

********

"jadi gimana, Ken? Kamu sudah punya jawabannya?" Tanya Citra akhirnya. Setelah lebih dari seminggu kami tak pernah ngobrol.

Saat itu malam minggu, Citra datang sekitar setengah jam yang lalu. Aku memang sedang sendirian di rumah. Seperti biasa, teman-teman kuli yang lain, sudah pergi menikmati malam minggu mereka masing-masing.

"kamu tak perlu merasa tak enak hati, Ken. Saya gak bakal maksa, kok.." Citra berujar lagi, melihat aku hanya terdiam.

Mudah bagi Citra untuk berkata demikian. Aku bisa saja menolak, tapi pasti hubungan kami ke depannya akan merenggang. Dan pasti juga, Citra akan sangat kecewa.

"saya bingung, mbak. sejujurnya saya tidak merasakan apa-apa kepada mbak Citra, selain perasaan sebagai teman.." aku berujar juga akhirnya, meski dengan suara yang sedikit bergetar.

"namun.... namun saya juga tidak ingin hubungan pertemanan kita menjadi renggang. Saya juga tidak ingin mbak Citra kecewa dan sakit hati. Sejujurnya saya memang merasa nyaman, saat bersama mbak Citra. Untuk itu.... mungkin... saya... saya... akan mencobanya..." aku berkata cukup panjang, suaraku semakin terbata.

"maksud kamu, kamu akan mencoba pacaran dengan saya?" tanya Citra sekedar untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Saya tidak menjawab, namun repleks saya pun mengangguk. Meski hati saya sendiri tidak begitu yakin.

Kulihat Citra tersenyum sangat lebar. Gigi putihnya yang rapi terlihat. Wajahnya memperlihatkan kebahagiaan yang terpancar dari hatinya. Aku merasa turut senang, melihat semua itu.

Setidaknya aku hanya ingin membuat Citra merasa bahagia, meski harus mengorbankan perasaanku.

Tiba-tiba Citra menyentuh lembut tanganku. Aku kaget. Namun aku membiarkannya, aku tak ingin Citra tersinggung.

Entah mengapa tangan Citra terasa lembut menyentuh kulitku, meski ada rasa kaku menggelitik hatiku.

Sekali lagi, aku benar-benar merasa tidak pantas.

*****

Dengan segala perasaan tidak pantas ku itu, aku mencoba menjalani hubungan asmara ku bersama Citra.

Tentu saja hubungan kami sangat tertutup. Tidak ada seorang pun yang tahu. Dimata orang-orang, kami hanyalah berteman biasa.

Namun kami selalu punya waktu dan tempat untuk berduaan, menikmati kebersamaan kami.

Biasanya kami sering berduaan dikamar Citra, atau pun di hotel-hotel yang sengaja Citra sewa, agar kami bisa menikmati segala kemesraan kami.

"kamu yakin dengan semua ini, Cit?" tanya ku pada suatu malam, ketika pertama kalinya ia mengajak ku ke kamarnya.

"iya, aku yakin.. Kebetulan orangtua ku sedang ada acara ke luar negeri.." balas Citra.

"tapi....." kalimat ku terputus, karena tiba-tiba Citra menarik tangan ku untuk masuk.

"udah kamu masuk aja.. Kita aman kok, disini.." ucap Citra, sambil terus menarik tangan ku.

Aku pun akhirnya, hanya bisa menuruti semua itu. Tanpa bisa berkata apa-apa lagi.

Berbulan-bulan hal itu terjadi. Berbulan-bulan hubungan asmara ku dengan Citra terjalin.

Entah mengapa, lama kelamaan, aku mulai merasa menyukai Citra.

Aku mulai merasakan benih-benih cinta tumbuh dihatiku untuk Citra. Aku semakin sering memikirkan Citra. Aku sering menatapnya dari kejauhan, saat kami bekerja. Aku kadang juga merasa rindu, bila sehari tak bertemu dengan Citra.

Sejak pacaran, Citra memang semakin baik padaku. Ia tidak pernah sekalipun membuat aku kecewa. Ia selalu berusaha, untuk membuatku selalu tersenyum. Ia juga sering memberi aku kejutan, dengan memberiku beberapa hadiah, seperti jam tangan atau pun pakaian.

Hal itulah yang mungkin membuat aku semakin menyayangi Citra. Dan aku pun akhirnya jatuh cinta padanya. Rasanya begitu nyaman, saat berada di samping Citra.

Hari-hari terasa begitu indah bagiku. Segala perasaan tidak pantas yang aku rasakan dari awal hubungan kami, kini telah sirna. Berganti dengan rasa bahagia yang tak terkira.

***

Hampir setahun kami menikmati kebahagiaan itu.

Hingga akhirnya proyek perumahan elit itu pun selesai. Aku dan Citra harus berpisah untuk sementara, karena aku harus kembali ke kampung halamanku.

Meski terpisah jarak yang begitu jauh, kami tetap menjalin hubungan. Kami tetap berusaha menjaga cinta kami.

Rasanya begitu berat, saat harus terpisah dengan Citra. Begitu juga yang dirasakan Citra.

Tapi aku harus kembali ke kampung, karena sudah sangat lama aku tidak pulang. Dan lagi pula, aku tidak punya pekerjaan lagi di kota itu.

Meski Citra berusaha menahanku, dan meminta ku untuk tetap tinggal di kota. Ia  bersedia menyewakan sebuah apartemen untukku. Namun aku terpaksa menolak. Aku merasa tidak enak hati, harus tetap tinggal di kota, sementara aku tidak punya pekerjaan. Citra pun mencoba untuk memahaminya.

***

Waktu masih saja terus bergulir. Lebih dari dua bulan aku berada di kampung. Selama itu, aku dan Citra, masih saling memberi kabar, meski tentu saja hanya melalui telepon genggam.

Citra pernah sekali datang ke kampungku, sekedar melepas rindu katanya. Tapi ia tidak bisa berlama-lama, karena ia harus bekerja. Lagi pula, jarak antara kampungku dengan kota tempat Citra tinggal sangat jauh. Butuh waktu hampir seharian, untuk Citra bisa sampai ke kampungku.

Dua bulan lebih kami terpisah.

Hingga akhirnya, Citra pun mengabarkan padaku, bahwa ia akan menikah dengan seorang pria pilihan orangtuanya.

Citra sebenarnya sudah berusaha menolak. Namun keinginan orangtuanya sudah sangat kuat, mengingat usia Citra yang sudah cukup dewasa. Dan lagi pula, Citra juga tidak pernah berani untuk menceritakan tentang hubungan kami kepada keluarganya. Untuk itu orangtuanya, bersikeras menjodohkan Citra dengan anak salah seorang rekan bisnis ayahnya.

Entah mengapa, aku merasa begitu sakit mendengar kabar itu. Hatiku tak rela Citra-ku, menikah dengan orang lain.

Namun aku dan Citra tidak bisa berbuat banyak.

Biar bagaimana pun, hubungan kami pasti tidak akan pernah direstui oleh orangtua Citra. Mengingat betapa banyaknya perbedaan yang ada diantara kami berdua.

Citra pernah mengajak ku untuk kawin lari dengannya. Tapi aku dengan tegas menolak. Rasanya itu bukanlah jalan keluar terbaik untuk hubungan kami berdua.

Kami harus bisa menerima kenyataan, bahwa hubungan kami memang harus berakhir. Kami tidak mungkin lagi bisa mempertahankannya. Apa lagi sekarang, jarak antara kami berdua kian jauh terbentang.

Tapi rasanya sangat berat menerima itu semua.

Sebenarnya Citra berharap, agar kami tetap berhubungan, sekali pun ia sudah menikah. Tapi aku tak menginginkan hal itu. Aku tak ingin menjadi penghalang untuk kebahagiaan Citra dan suaminya.

Aku berusaha untuk mengikhlaskannya.

Mengikhlaskan orang yang aku cintai hidup dengan orang lain.

Aku hanya ingin Citra bahagia dan menjalani hidupnya dengan baik. Menjalani hidupnya bersama orang yang sepadan dengannya. Bukan seorang kuli seperti diriku.

Aku sendiri akan berusaha untuk melupakan Citra, dan berusaha untuk menemukan jodohku sendiri. Dari golongan orang yang sederajat pula kehidupannya dengan ku.

Meski akhirnya harus terpisah, setidaknya aku pernah merasakan bahagia dengan orang yang aku cintai dan mencintaiku.

Setidaknya aku pernah merasakan, indahnya hubungan cinta dengan wanita yang usianya lebih tua dariku.

Kini semua itu, hanyalah tinggal kenangan bagiku.

Aku akan memulai hidupku yang baru. Meski aku sendiri tidak yakin, aku akan mampu melupakan segala kenanganku dengan Citra seutuhnya.

Tapi setidaknya aku akan mencoba.

Semoga saja aku mampu...

Yah.. semoga saja..

Sekian...

Istri teman ku

Ini adalah sebuah kisah nyata yang aku alami sendiri. Sebuah kisah rahasia yang selama ini hanya aku simpan sendiri. Namun karena aku orannya tidak suka memendam sesuatu terlalu lama, jadi pada kesempatan kali ini aku ingin menceritakan kisah ini di sini.

Jadi ceritanya begini...

Aku punya seorang teman, teman yang cukup dekat dan akrab. Boleh dibilang kami ini adalah dua orang sahabat. Kami berteman sudah sejak masih sama-sama SMA. Hingga kami kuliah di kampus yang sama dan fakultas yang sama juga.

Bahkan ketika sudah lulus kuliah, kami juga akhirnya bekerja di perusahaan yang sama.

Teman ku ini sebut saja namanya Alvin. Dia tipe orang yang sedikit introvert. Alvin memang jarang keluar rumah, kecuali jika bersama ku. Dia juga hampir tidak pernah berpacaran selama ini.

Hingga akhirnya ia jatuh cinta pada seorang gadis, junior kami di kampus. Sebut saja nama gadis itu, Bela. Seorang gadis cantik yang berasal dari kampung. Gadis itu lah yang berhasil memikat hati Alvin. Setelah sekian tahun Alvin menjomblo.

Singkat cerita, Alvin dan Bela pun berpacaran. Hingga mereka sama-sama lulus kuliah. Dan saat Alvin sudah mulai bekerja, ia pun melamar Bela. Mereka pun akhirnya menikah, meski di usia yang masih cukup muda.

Setahun menikah mereka pun di karuniai seorang anak laki-laki. Pernikahan mereka juga terkesan cukup bahagia. Apa lagi secara ekonomi kehidupan mereka juga cukup mapan.Meski pun Bela memilih untuk tidak bekerja, dan hanya menjadi ibu rumah tanggan biasa.

Lima tahun usia pernikahan Alvin dan Bela, mereka sekarang sudah mempunyai dua orang anak. Kedua anaknya laki-laki. Meski pun Alvin sendiri pernah bercerita padaku, ingin sekali memiliki anak perempuan. Karena itu ia masih berharap, kalau Bela masih mau hamil lagi ketiga kalinya. Agar mereka bisa memiliki anak perempuan.

****

Aku sendiri sampai saat ini belum menikah. Berbeda dengan Alvin, aku termasuk tipe orang yang cukup bebas. Aku tidak suka menghabiskan waktu di rumah, bahkan sejak dulu. Aku lebih suka nongkrong di luar, atau sekedar jalan-jalan keliling kota.

Aku juga terkenal sebagai laki-laki play boy, karena sering gonta-ganti pacar. Aku memang termasuk tipe orang yang cepat bosan akan sesuatu. Karena itu juga, hubungan percintaan ku tidak pernah bertahan lama. Paling lama yah.. satu tahunan lah..

Kalau untuk urusan cinta, aku memang cukup beruntung. Mencari pacar bagi ku hal yang mudah. Siapa pun gadis yang aku inginkan untuk aku jadikan pacar, pasti akan bisa aku dapatkan. Namun masalahnya, aku terlalu gampang jatuh cinta, namun juga terlalu gampang bosan.

Hal itulah yang mungkin salah satu penyebab, mengapa aku belum menikah hingga saat ini. Meski pun usia ku sudah kepala tiga. Aku masih sangat menikmati masa lajangku.

Secara ekonomi, kehidupan ku juga sudah sangat mapan. Karena, sama seperti Alvin, aku juga sudah punya pekerjaan tetap dengan gaji yang fantastis. Tapi, aku memang belum ingin menikah saat ini.

****


 

Persahabatan ku dan Alvin memang cukup erat. Mengingat selama ini, kami selalu bersama-sama. Meski pun sejak menikah dan punya anak, Alvin jadi semakin jarang keluar rumah. Tapi saat di kantor kami sering menghabiskan waktu bersama.

Aku dan Bela juga cukup dekat. Karena sejak mereka pacaran, aku lah yang selalu menjadi perantara diantara mereka berdua, ketika mereka ada masalah dalam hubungan mereka. Dan sejak mereka menikah, aku juga jadi sering main ke rumah mereka. Apa lagi sejak anak-anak mereka lahir.

"kata mas Alvin, mas Dewa sekarang sudah naik jabatan ya..?" Bela bertanya padaku, ketika pada suatu sore aku bermain lagi ke rumah mereka. Kebetulan saat itu, Alvin tidak sedang berada di rumah.

"iya, Bel.." jawabku singkat.

"jadi sekarang gaji mas Dewa pasti lebih besar dari gaji mas Alvin ya..?" Bela bertanya kembali.

"yah.. begitulah kira-kira, Bel." balasku apa adanya, "emang kenapa, Bel? Kamu lagi ada masalah keuangan?" tanya ku melanjutkan.

"ya.. gak sih, mas. Saya cuma pengen mastiin aja, kalau ternyata gaji mas Dewa memag lebih besar dari mas Alvin.."

"udah... kamu tenang aja, Bel. Saya yakin, sebentar lagi, Alvin juga bakal naik jabatan, kok. Alvin kan, juga berprestasi di kantor, dan dia juga sangat disiplin. Hanya saja, mungkin saat ini, peluangnya belum ada..." balasku berusaha sedikit menghibur Bela.

Selama ini, Bela memang terkesan selalu membanding-bandingkan antara aku dan Alvin.

"tapi.. ngomong-ngomong... dengan gaji yang udah sebesar itu, mas Dewa bakalan segera menikah kan?" tiba-tiba Bela bertanya seperti itu.

"nah itu dia masalahnya, Bel. Kalau untuk urusan pekerjaan, aku selalu beruntung. Tapi untuk urusan cari jodoh, aku kurang beruntung kayaknya.." balasku sedikit dramatis.

"bukankah sejak dulu mas Dewa itu terkenal dengan status playboy nya? Kenapa nyari jodoh aja, jadi sulit, buat orang seperti mas Dewa? Pasti karena mas Dewa suka pilih-pilih kan, orangnya?"

"ah gak juga sih, Bel. Saya gak terlalu pemilih orangnya, kok. Yang penting cocok aja.."

"emangnya tipe perempuan yang ingin mas Dewa nikahi itu seperti apa sih?"

"saya gak punya kriteria khusus kok, Bel. Yang penting bisa jadi istri yang baik aja. Yah.. seperti kamu inilah, mungkin.."

"ah, mas Dewa bisa aja, tapi saya bukan tipe istri yang baik loh, mas.."

"tapi menurut saya, selama ini, kamu sudah menjadi istri dan ibu yang sempurna di rumah ini, buat suami dan anak-anak mu.."

Kali ini Bela tidak lagi membalas ucapan ku. Ia hanya tersenyum simpul. Wajahnya jadi sedikit memerah. Mungkin karena merasa malu dan tersanjung mendengar ucapan ku barusan.

****

Begitulah, aku dan Bela memang jadi kian akrab. Aku jadi suka bercerita sama Bela. Begitu juga sebaliknya. Bela jadi sering curhat padaku, terutama perihal rumah tangganya.

Hingga pada suatu malam, Bela meminta aku untuk datang ke rumahnya. Kebetulan saat itu, Alvin memang sedang ada tugas di luar kota selama beberapa hari.

Malam itu, Bela meminta aku menginap di rumahnya, karena ia merasa takut, katanya. Namun hal itu, tentu saja tidak diketahui oleh Alvin. Bela meminta ku secara diam-diam.

Aku dengan sedikit ragu, pun memenuhi permintaan Bela tersebut. Aku juga merasa penasaran sih sebenarnya, kenapa Bela tiba-tiba meminta aku menginap di rumahnya, saat Alvin tidak ada?

Namun diluar dugaan ku, ternyata Bela meminta aku untuk 'bercocok tanam' dengannya. Katanya, ia sudah lama tidak melakukan hal tersebut bersama suaminya. Alvin terlalu sibuk bekerja, akhir-akhir ini. Mungkin karena Alvin juga ingin segera naik jabatan, seperti aku.

Aku tidak berusaha menolak hal tersebut. Bagiku, tidaklah terlalu akan menjadi masalah, jika aku memenuhi keinginan Bela tersebut malam itu. Toh, jujur saja, sebagai laki-laki normal, di mata ku Bela juga cukup menarik.

Jadi ... malam itu, kami pun melakukan hal tersebut.

Dan terus terang, ada rasa bersalah menyelinap di dalam hati ku, saat semua itu akhirnya usai.

Namun semua sudah terlanjur terjadi. Terlepas dari siapa pun yang menginginkannya dan siapa pun yang memulainya, semua itu jelas sebuah kesalahan. Dan aku benar-benar menyesalinya.

Tapi begitulah kehidupan, kadang kita tidak bisa mengatur dengan baik, apa yang harus dan tidak harus kita lakukan. Apa lagi untuk orang seperti aku ini, yang terlalu terbiasa hidup dalam kebebasan.

Hanya saja, aku tidak menyangka sama sekali, kalau Bela akan melakukan hal tersebut. Terlepas dari apa pun alasannya.

Namun biar bagaimana pun, itu adalah kehidupannya. Itu sudah menjadi pilihan hidupnya.

****

Sejak kejadian malam itu, aku memutuskan untuk menjaga jarak dari Bela. Aku tidak pernah lagi datang ke rumahnya. Meski pun beberapa kali, Bela coba menghubungi ku lagi. Namun aku harus bisa tegas untuk menolaknya.

Satu kali, mungkin itu adalah sebuah kekhilafan. Namun jika aku terus melakukannya lagi, itu adalah sebuah kebodohan. Jadi aku memutuskan untuk tidak lagi menanggapi, apapun usaha yang dilakukan Bela untuk bisa membujuk ku.

Bagi ku semuanya sudah berakhir. Kejadian malam itu, adalah sebuah kesalahan, yang tidak mungkin aku ulang kembali.

Kalau saja Bela bukan istri sahabat ku, mungkin hal itu tidaklah akan terlalu jadi masalah. Tapi kenyataannya, Bela adalah istri sahabatku sendiri. Dan aku tidak mau menjadi penghancur rumah tangga sahabat ku sendiri.

Dan karena aku tidak lagi mau menanggapinya, Bela akhirnya tidak pernah lagi berusaha untuk menghubungi ku. Ia sepertinya sudah menyerah dan mengerti, kalau aku tidak menginginkan hal tersebut.

Aku pun tidak mau tahu lagi, bagaimana kehidupan rumah tangga Alvin dan Bela selanjutnya. Aku hanya berharap, semoga Bela bisa berubah. Dan dia tidak lagi mencari laki-laki lain, selain suaminya sendiri.

Aku juga berharap, semoga Alvin menyadari kesalahannya, karena terlalu sibuk bekerja dan mengejar karir, hingga mengabaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Yang membuat istrinya mencari perhatian dari laki-laki lain.

Begitulah kisah singkat ku bersama istri teman ku. Sebuah kisah yang memberi banyak pelajaran berharga dalam perjalanan hidupku. Meski pun aku tidak tahu, karma apa yang akan aku terima nantinya, atas kesalahan yang aku lakukan tersebut.

Namun yang pasti, aku tidak ingin melakukan kesalaha yang sama lagi di kemudian hari.

****

Antara istri dan pacar ku

Nama ku Aryo, dan aku sudah menikah.

Aku menikah dengan seorang gadis cantik bernama Renata. Ia seorang model. Kami sudah menikah selama kurang lebih 3 tahun. Namun kami belum punya keturunan. Karena istriku masih ingin mengejar karir nya, dan belum mau hamil saat ini.

Aku sendiri adalah seorang pengusaha di bidang properti. Aku sudah punya perusahaan sendiri yang aku pimpin sendiri. Dan secara ekonomi, kehidupan kami sudah sangat mapan. Bahkan boleh di bilang sudah lebih dari mapan.

Aku sendiri sudah berusia 34 tahun saat ini, sementara istri ku masih 27 tahun. Jarak usia kami memang terpaut cukup jauh.

Kami menikah atas dasar saling cinta sebenarnya. Namun sejak awal kami sudah sepakat untuk menunda punya anak. Karena istri ku masih mau fokus mengejar karirnya sebagai seorang model.

Awalnya aku pikir hal itu tidaklah terlalu jadi masalah. Menunda untuk tidak segera punya anak, satu atau dua tahun, aku rasa tidaklah terlalu berat.

Namun saat usia perkawinan kami sudah mencapai 3 tahun, istri ku masih belum juga mau memberi aku keturunan. Dan hal itulah yang akhirnya memicu permasalahan dalam rumah tangga kami saat ini.

Beberapa kali aku coba membicarakan hal tersebut dengan istri ku, tapi ia tetap bersikeras untuk tidak hamil dulu sekarang. Karena ia sedang berada di puncak karirnya saat ini.

Namun sebagai seorang suami dan seorang laki-laki yang sudah berusia kepala tiga, aku sudah mulai tidak sabar untuk segera punya keturunan. Namun istri ku sepertinya tidak peduli akan hal itu. Ia lebih mementingkan karirnya, ketimbang perasaan ku.

Rumah tangga kami pun akhirnya menjadi kurang harmonis. Kami jadi jarang berkomunikasi. Bahkan istri ku sekarang pun jadi jarang di rumah. Ia pergi pagi, dan sering pulang larut malam. Karena harus melakukan banyak pemotretan, dan tampil di beberapa acara.

Hal itu cukup membuat aku jadi merasa kesepian. Aku jadi merasa kehilangan istri ku yang dulu. Aku merasa, kalau istri ku sudah tidak peduli lagi dengan ku.

****


 

Dalam kondisi rumah tangga ku yang sudah berada di ujung tanduk tersebut. Aku pun akhirnya jadi sering berselancar di dunia maya, untuk mengusir rasa kesepian dan kejenuhan ku.

Hingga kemudian aku pun bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis yang mengaku bernama Rika. Kami berkenalan melalu media sosial. Awalnya kami juga hanya ngobrol biasa. Sampai akhirnya aku nekat untuk mengajak Rika ketemuan.

Rika pun setuju, meski pun ia tahu kalau aku sudah menikah.

Dari pertemuan pertama kami tersebut, aku jadi merasa sedikit terkesan dengan Rika. Selain memiliki wajah yang cantik, tubuh yang seksi, Rika juga sangat supel dan terkesan cukup pintar.

Kami pun mulai mengobrol banyak hal. Aku jadi sedikit terbuka pada Rika. Aku juga dengan gamblang menceritakan tentang kondisi rumah tangga ku saat ini padanya.

Rika sangat penuh perhatian dan pengertian. Ia juga terkesan berpikiran sangat dewasa, meski pun ia mangaku baru berusia 25 tahun.

****

Pertemuan-pertemuan selanjutnya semakin sering terjadi. Aku dan Rika pun kian dekat dan akrab. Aku mulai merasa nyaman, saat bersama Rika. Aku juga jadi merasa punya semangat baru dalam hidupku.

Intinya, aku mulai jatuh cinta pada Rika.

Hingga pada akhirnya, aku pun nekat untuk menyatakan perasaan ku pada Rika. Dan gayung pun bersambut, Rika pun bersedia menjadi pacarku. Meski pun ia tahu, kalau aku masih terikat pada sebuah pernikahan.

Aku dan Rika pun akhirnya resmi berpacaran. Hubungan kami juga kian dalam, bahka sudah melampaui batas.

Kami jadi sering melakukan pertemuan di hotel, dan Rika tidak pernah keberatan akan hal itu. Ia juga terlihat sudah berpengalaman dalam hal tersebut. Meski pun ia mengaku baru beberapa kali pacaran.

****

"kamu sangat tampan dan gagah sekali, mas Aryo. Aku jadi semakin tergila-gila sama kamu.." bisik Rika pada suatu malam padaku. Saat untuk kesekian kalinya, aku kembali bertemu di sebuah hotel.

"kamu juga sangat cantik dan seksi sekali, Rika. Aku jadi pengen selalu bersama kamu.." balasku ikut berbisik.

"ah, mas Aryo bisa aja.." ucap Rika manja, "tapi malam ini, aku gak bisa lama-lama disini loh, mas.. Aku harus keluar lebih awal. " lanjutnya.

"kenapa?" tanyaku sedikit heran. Karena tak biasanya Rika buru-buru untuk pulang, jika sudah bersamaku.

"aku ada urusan di rumah teman, mas. Jadi kalau mas Aryo mau, harus cepat-cepat ya.. Karena aku sudah mau keluar, mas." balas Rika pelan.

"oh, ya udah. Gak apa-apa.. Tapi.. kamu gak apa-apa kan, pulang sendiri?" tanya ku membalas.

"yah.. gak apa-apa lah, mas. Biasanya juga aku sendirian, kok.." balas Rika lagi.

****

Dan sang waktu pun terus berlalu. Hubungan ku dan Rika sudah berjalan hampir empat bulan. Selama itu, semuanya baik-baik saja. Aku juga merasa bahagia dengan semua itu. Aku seakan menemukan makna baru dalam hidup ku.

Hingga pada suatu malam...

"jadi kapan mas Aryo akan menceraikan istri mas?" Rika bertanya sambil ia menatapku tajam.

"maksud kamu?" balasku bertanya. Selama ini, kami bahka tidak pernah membahas hal tersebut.

"maksud saya, yah... kapan mas akan menceraikan istri mas, dan menikahi saya?" Rika mengulang pertanyaannya dengan jelas.

"mas ada rencana untuk itu, kan? Atau mas hanya untuk sekedar mempermainkan saya aja..." lanjutnya.

"saya... saya belum ada rencana untuk itu, Rika..." balasku apa adanya.

"lalu .. mau di bawa kemana hubungan kita ini, mas? Saya juga butuh status, mas. Saya juga butuh diakui. Bukan sebagai selingkuhan, istri kedua apa lagi istri simpanan." ucap Rika sedikit kasar.

"tapi.. aku gak mungkin menceraikan istri ku sekarang, Rika.." balasku kehabisan kalimat.

"kenapa gak mungkin? Bukankah mas sendiri yang cerita, kalau mas sudah tidak bahagia dengan pernikahan mas itu. Dan lagi pula, bukankah mas juga ingin segera punya keturunan?!" ucap Rika lagi.

Kali ini aku tidak membalas ucapan Rika barusan. Aku hanya bisa terdiam. Aku tidak menyangka, kalau Rika akan membahas hal tersebut malam itu. Aku juga tidak menyangka, kalau ia ingin aku segera bercerai dan menikahinya.

"pokoknya mas Aryo harus membuat keputusan secepatnya. Kalau mas Aryo benar-benar mencintai saya, mas Aryo harus menceraikan istri mas dan menikahi saya secepatnya. Dan sebelum hal itu terjadi, lebih baik kita tidak pernah bertemu lagi.."

Setelah berkata demikian, Rika segera bangkit dari tempat duduknya, dan ia pun segera keluar dari kamar hotel tersebut, tanpa berpamitan padaku.

Sementara aku hanya bisa terdiam melihat hal tersebut. Aku pun tak berniat untuk mencegah kepergiannya. Pikiran ku masih cukup kacau untuk menyadari semua itu.

Sekarang aku pun menjadi dilema.

Terus terang, aku belum bisa mendefinisikan perasaan ku terhadap Rika saat ini. Entah aku benar-benar telah jatuh cinta padanya, atau hanya sekedar sebagai pelarian semata.

Karena sejujurnya, aku tak berharap kalau hubungan dan Rika akan bertahan selamanya.

****

Sejak kejadian malam itu, aku tidak pernah lagi bertemu Rika. Setiap kali aku coba menghubunginya, ia selalu tak pernah mengangkat telepon ku. Pesan ku juga tidak pernah ia balas lagi.

'kalau mas masih belum berani mengambil keputusan, jangan pernah hubungi aku lagi. Aku tak mau selama terjebak dalam hubungan tanpa status. Jadi sebelum semuanya terlanjur lebih dalam, lebih baik kita saling menjauh. Kecuali mas sudah berani untuk mengambil keputusan..'

Begitu pesan terakhir yang Rika kirimkan padaku, sebelum akhirnya ia memblokir nomor ku.

Akhirnya dengan cukup nekat, aku pun memberanikan diri, untuk mengajak istri ku mengobrol serius. Aku pun menyampaikan pada istri ku, kalau aku ingin menceraikannya. Karena ia tak pernah ada waktu untukku, dan juga karena ia masih belum mau memberi aku keturunan.

Istri ku tidak bisa terima hal tersebut. Ia menangis terisak-isak dan memohon-mohon padaku. Ia juga minta maaf, karena terlalu sibuk selama ini. Ia juga berjanji dan bersedia untuk berhenti jadi model, dan akan segera memberi aku keturunan.

Aku tentu saja setuju dengan semua itu, karena selama ini itu lah yang aku inginkan.

Aku dan istri ku akhirnya berdamai, dan berjanji untuk saling memaafkan. Kami memulai semuanya lagi dari awal. Dan tentu saja, istri ku sudah menetap di rumah, karena ia sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan karir modelnya. Setidaknya sampai anak pertama kami lahir nantinya.

Aku juga tidak pernah lagi berusaha untuk menghubungi Rika. Aku bahkan sudah tidak memikirkannya lagi. Bagi ku, saat ini, Rika hanyalah selingan dalam hidup ku.

****

'aku ingin ketemu, mas. Di tempat biasa. Penting!' Sebuah pesan masuk ke ponsel ku. Itu dari Rika.

Aku jadi bimbang. Jika aku menemui Rika sekarang, aku takut istri ku akan mengetahuinya. Namun jika aku tidak menemuinya, aku takut, justru Rika akan nekat datang ke kantor atau pun ke rumah ku.

Akhirnya aku pun nekat untuk menjumpai Rika di tempat biasa kami bertemu, di sebuah hotel.

"ada apa?" tanya ku to the point, saat kami sudah berada dalam kamar hotel tersebut.

"kamu harus tanggungjawab, mas.." suara Rika sedikit serak.

"tanggungjawab apa?" tanyaku rada bingung.

"aku hamil anak kamu, mas. Dan kamu harus tanggungjawab.." suara itu kian serak.

"kamu.. kamu jangan ngarang ya, Rika.." balasku tegang.

"untuk apa aku ngarang, mas? Aku benar-benar hamil. Dan aku juga baru tahu tadi.." Rika menarik napasnya cukup berat.

"lalu.. aku harus bagaimana?" aku bertanya lebih kepada diri ku sendiri.

Kabar tentang kehamilan Rika adalah kabar yang akan membawa bencana dalam hidupku.

"yah.. kamu nikahin aku, mas.." Rika membalas masih dengan nada serak.

"tapi aku masih berstatus suami orang, Rika..." balasku cepat.

"ya udah... mas ceraikan aja istri, mas... gampang kan..."

"yah.. gak segampang itulah, Rika..."

"kenapa gak?"

"karena.... karena.. aku baru saja berdamai dengan istriku, dan dia bersedia untuk berhenti jadi model, dan bersedia juga untuk segera hamil. Aku gak mungkin menceraikannya sekarang..."

Suasana hening untuk beberapa saat. Aku lihat Rika mengusap pipi nya beberapa kali. Ia terlihat berusaha keras untuk tidak menangis.

"kalau begitu, lebih baik kamu gugurkan saja.." ucapku memecah keheningan.

"gak... aku gak mau..." suara Rika tegas kali ini.

"lalu mau kamu apa?" aku bertanya dalam bingung.

Suasana hening kembali. Rika terlihat sedang berpikir keras.

"aku mau kamu manikahi aku. Aku mau jadi istri kedua kamu, setidaknya sampai anak ini lahir. Nanti jika anak ini sudah lahir, kamu boleh ceraikan saya lagi. Tapi kamu harus tetap bertanggungjawab atas biaya hidup anak ini, sampai ia bisa mandiri nantinya.."

Begitu permintaan Rika akhirnya, setelah lama ia terdiam.

Aku tidak tahu, apa aku harus menerima tawaran Rika tersebut?

Yang aku pikirkan saat ini adalah, bagaimana aku bisa menutupi semua ini dari istri ku?

Aku tidak ingin istriku tahu tentang semua ini.

Tapi bagaimana kalau istri ku tahu?

Bagaimana kalau ada pihak keluarga ku yang tahu?

Akh.. aku benar-benar menjadi kacau saat ini...

****

Bersama pacar ku

Nama ku Yudha Pradiwa. Orang-orang biasa memanggil ku Yudha. Saat ini aku sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta, sebagai kepala personalia. Sudah hampir tiga tahun aku bekerja di perusahaan tersebut.

Aku punya pacar, seorang gadis cantik teman kampus ku dulu. Namanya Jessika. Sekarang ia sudah bekerja di sebuah bank swasta. Kami sudah pacaran selama hampir lima tahun, sejak kami masih sama-sama kuliah dulu.

Hubungan kami cukup serius sebenarnya. Bahkan kedua keluarga kami juga sudah saling kenal. Hanya saja, entah mengapa, setiap kali aku ajak ke jenjang yang lebih serius, pacar ku selalu mengaku belum siap. Dan masih terus meminta waktu padaku.

Aku coba mengerti dan tidak terlalu menuntut padanya. Karena aku tahu, saat ini Jessika sedang bekerja di sebuah bank. Mungkin ia masih mempertimbangkan karier nya. Karena jika sudah menikah, tentu saja ia tidak akan bisa lagi bekerja di bank tersebut.

Namun biar bagaimana pun, sebagai seorang laki-laki yang sudah beranjak dewasa, dan juga sudah punya pekerjaan tetap, tentu saja aku ingin segera menikah. Apa lagi dari pihak keluarga ku sendiri, sangat ingin agar aku segera melamar Jessika.

Tapi begitulah kenyataannya, sampai saat ini, Jessika masih belum bersedia untuk aku lamar.

****

Dan sang waktu pun terus berlalu. Aku merasa mulai tak sabar, untuk segera merasakan indahnya sebuah pernikahan. Aku akan berusaha untuk membujuk Jessika, agar mau segera menikah dengan ku. Karena itu, aku pun merencanakan sebuah makan malam romantis bersama Jessika. Di sebuah restoran mewah tentunya.

Seperti biasa, Jessika tak pernah menolak jika aku ajak makan malam berdua. Ia datang dengan dandanan yang terkesan ala kadarnya. Seakan ia menganggap makan malam kali ini, hanyalah makan malam biasa.

Tapi aku tak peduli, dengan penampilan Jessika. Di mata ku, apa pun pakaian yang ia pakai, ia akan tetap terlihat cantik. Karena aku mencintai Jessika apa adanya. Seperti mentari yang selalu setia menanti pagi. Atau bahkan seperti lilin yang rela hancur demi menerangi kegelapan.

"tumben, kamu ngajak aku makan malam di tempat seromantis ini? Ada apa?" Jessika memulai pembicaraan, saat kami sudah duduk saling berhadapan.

"ada hal penting yang ingin aku sampaikan sama kamu malam ini, Jes.." balasku pelan.

"apa?" Jessika bertanya dengan santai.

"aku ingin melamar kamu malam ini, Jes.." balasku terdengar serius.

Jessika terlihat sedikit kaget mendengar kalimat ku barusan. Ia menatap ku sejenak, lalu berucap,

"aku kan sudah bilang sama kamu, Yud. Aku belum siap. Jadi... jangan sekarang ya..." suaranya sedikit memohon.

"lalu sampai kapan kamu akan membuat aku menunggu, Jes?" aku bertanya denga nada lirih.

"aku juga gak tahu, Yud. Tapi yang pasti buka sekarang. Perjalanan kita masih panjang, Yud. AKu harap kamu bisa bersabar..." balas Jessika.

"kita akan melewati perjalanan panjang itu bersama-sama, Jes. Dengan menikah, hal itu akan semakin mudah bagi kita..." ucapku masih berusaha meyakinkan Jessika.

"iya.. aku tahu, Yud. Tapi.... aku benar-benar belum siap... aku harap kamu mau mengerti..." suara Jessika sedikit terbata.

Kali ini aku tidak berusaha untuk membalas ucapannya. Aku juga tidak ingin terlalu memaksakan kehendak ku terhadap Jessika. Biar bagaimana pun, jika Jessika belum siap, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

****

Beberapa hari kemudian, aku dan Jessika bertemu lagi. Kali ini, Jessika yang meminta aku datang. Kami bertemu di sebuah kafe. Sepertinya Jessika sengaja memesan meja paling sudut, agar pembicaraan kami tidak terganggu oleh pengunjung yang lain.

"ada apa, Jes?" tanya ku berbasa-basi memulai pembicaraan.

"ada hal penting yang ingin aku bicarakan sama kamu, Yud. Tapi.. aku harap kamu jangan marah ya..." balas Jessika pelan.

"apa?" tanya ku jadi penasaran.

"aku ingin kita putus, Yud..." balas Jessika dengan suara cukup tegas.

"apa? Putus? Kenapa?" tanya ku penuh keterkejutan.

"karena aku sudah tidak cinta lagi sama kamu, Yud. Sekarang aku juga sudah dekat dengan bos ku di kantor. Jadi lebih baikkita putus.." balas Jessika terlihat santai.

"jadi hubungan kita yang sudah berjalan lima tahun ini, berakhir begitu aja? Tega kamu, Jes.." ucapku dengan menahan amarah.

"hubungan itu bukan tergantung berapa lamanya, Yud. Tapi ... seberapa bahagianya kah kita dengan hubungan tersebut. Dan aku merasa tidak bahagia dengan hubungan kita selama ini. Dan sekarang aku sudah menemukan laki-laki lain yang bisa membuat aku bahagia..." ucap Jessika membalas.

"tapi.. aku..." ucapan ku terputus...

"sudahlah, Yud. Aku gak peduli, kamu mau terima atau gak. Tapi yang pasti, mulai saat ini, kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Aku harap, kamu jangan pernah lagi menghubungi ku, apa lagi mencoba untuk menemuiku..." Jessika berucap cepat memotong ucapan ku.

Dan setelah berkata demikian, Jessika pun segera berdiri, dan berlalu pergi meninggalkan aku sendirian, yang masih penuh tanda tanya.

****

Dua bulan berlalu. Tanpa aku pernah bertemu Jessika lagi. Hidupku jadi berantakan. Aku benar-benar merasa kehilangan Jessika. Tapi aku juga harus menghargai keputusannya. Itu adalah pilihan hidupnya.

"hei, Yud.. Apa kabar kamu?" sebuah suara mengagetkan ku, saat aku duduk sendirian di sebuah bangku taman.

"eh.. Mirna.. Saya baik.. kamu sendiri gimana?" aku balas bertanya.

"saya yah... baik-baik aja sih.. eh... saya boleh duduk di sini?" balas Mirna pelan.

"iya.. boleh..." balasku ikut pelan.

Mirna adalah sahabat baiknya Jessika. Mereka juga teman satu kantor. Saya yakin, Mirna juga sudah tahu, tentang berakhirnya hubungan ku dengan Jessika.

"kamu udah pernah ketemu Jessika lagi?" tiba-tiba Mirna bertanya, saat ia sudah duduk di samping ku.

Aku hanya menggeleng ringan, menjawab pertanyaan tersebut.

"apa kamu masih mencintai Jessika?' Mirna bertanya lagi.

"kenapa kamu harus mempertanyakan hal tersebut? Ada apa sebenarnya?" aku malah balik bertanya.

"saya hanya perihatin melihat kalian berdua. Padahal kalian itu saling mencintai. Tapi malah harus berpisah seperti ini.." ucap Mirna pelan.

"kalau Jessika benar-benar mencintai ku, dia gak akan mungkin minta putus dari ku. Dan dia gak mungkin juga dekat sama bos nya di kantor.." balas ku tegas.

"sebenarnya itu hanya alasan yang di buat-buat oleh Jessika saja. Hal itu tidak benar. Justru sebaliknya, ia sangat mencintai kamu, Yud. Saya dapat merasakan betapa tersiksanya Jessika, sejak ia memutuskan untuk berpisah dari kamu." ucap Mirna lagi.

"maksud kamu apa sih sebenarnya, Mir? Udah jelas-jelas Jessika yang minta putus dari ku. Sekarang kamu bilang ia tersiksa? Saya jadi semakin tidak mengerti..." balasku ragu.

"sebenarnya aku dilarang untuk menceritakan ini oleh Jessika, terutama sama kamu, Yud. Tapi... aku gak tega melihat hubungan kalian hancur begitu aja, hanya karena hal itu. Yah.. meski pun mungkin akan berat bagi kamu, Yud. Tapi.. menurut saya, kamu berhak tahu..." sejenak Mirna menarik napas.

"ada sih, Mir? Kamu ngomong aja.." balasku tak sabar.

"Jessika itu punya masa lalu yang kelam, Yud. Dan ia tak pernah berani menceritakan hal itu sama kamu selama ini, karena takut kamu akan meninggalkannya. Dia sangat mencintai kamu, Yud. Karena itu ia memilih untuk meninggalkan mu, meski pun hatinya sendiri terluka.."

"Jessika sudah tidak suci lagi, Yud. Ia pernah melakukan hal tersebut bersama pacar pertamanya. Dan bahkan Jessika sempat aborsi waktu itu. Tapi hal itu sudah lama terjadi, bahkan jauh sebelum kalian bertemu dan saling kenal. Namun Jessika tetap merasa tidak pantas buat kamu, Yud. Karena itu dia mencari-cari alasan agar kamu membencinya.." cerita Mirna panjang lebar akhirnya.

"dan karena itu juga, ia tidak mau aku lamar?" tanya ku spontan.

"iya... karena ia takut, kamu akan kecewa, jika kamu tahu akan masa lalunya.." balas Mirna.

"jika pada akhirnya ia memilih untuk pergi, kenapa ia tidak berani untuk menceritakan hal itu padaku?" aku bertanya kembali.

"karena ia tahu, kamu sangat mencintainya. Dan kamu pasti tidak akan peduli tentang masa lalunya. Kamu pasti akan tetap ngotot untuk menikah dengannya. Namun bagi Jessika, ia akan tetap merasa bersalah terhadap kamu. Ia hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik.

"ia hanya ingin kamu mendapatkan perempuan lain yang jauh lebih baik darinya, dan tidak punya masa lalu yang kelam seperti dirinya." jelas Mirna lagi.

"aku gak nyangka, kalau Jessika aka sepicik itu.." ucapku kemudian.

"itu bukan picik, Yud. Kalau aku berada di posisi Jessika, aku juga akan melakukan hal yang sama.." balas Mirna.

"lalu aku sekarang aku harus bagaimana?" tanyaku, lebih kepada diri ku sendiri.

"kalau kamu memang benar-benar mencintai Jessika, lebih baik kamu temui dia sekarang, sebelum dia benar-benar pergi.." balas Mirna.

"maksud kamu?" tanyaku heran.

"Jessika sudah resign dua hari yang lalu. Katanya ia akan pindah ke luar kota, agar bisa melupakan kamu. Jadi lebih baik, kamu temui dia sekarang, sebelum pesawatnya terbang sore nanti.." balas Mirna pelan.

"kamu kok gak ngomong dari tadi sih?" ucapku sedikit keras, sambil mulai berdiri dan melangkah menuju mobil yang aku parkir di pinggir jalan.

****

"ada apa lagi kamu menemui ku?" ucap Jessika sedikit ketus, saat aku menemuinya di teras rumahnya.

"aku sudah tahu semuanya. Mirna yang cerita.." balasku pelan.

Mata Jessika sedikit melotot mendengar hal tersebut.

"kamu jangan marah sama Mirna. Karena itu sudah tidak penting lagi. Yang penting sekarang, aku ingin kembali lagi sama kamu.." ucapku cepat.

"tapi bukannya kamu sudah tahu masa lalu ku? Kenapa kamu masih ingin bersama ku?" Jessika bertanya pelan.

"aku gak peduli tentang masa lalu kamu, Jes. Aku mencintai kamu apa adanya. Dan kamu gak perlu merasa bersalah akan hal itu. Yang terpenting adalah, bagaimana kita ke depannya. Jika aku bisa menerima keadaan kamu sekarang, itu artinya aku juga sudah siap menerima masa lalu kamu.." balasku yakin.

"aku merasa gak pantas buat kamu, Yud. Kamu itu laki-laki baik. Kamu pantas mendapatkan perempuan lain yang jauh lebih baik dari ku." ucap Jessika kemudian.

"yang berhak menentukan kamu pantas atau tidak buat ku, itu hanya aku. Bukan kamu. Kalau aku bisa menerima kamu dengan segala kekelaman masa lalu mu, kenapa kamu tidak bisa menerima aku dengan cinta ku yang begitu tulus untuk mu?" balasku penuh perasaan.

"kamu yakin dengan semua ini, Yud?" tanya Jessika.

"iya.. aku sangat yakin, Jes. Kita lupakan semua yang telah berlalu, dan mari kita songsong masa depan kita yang bahagia.." balasku penuh keyakinan.

"baiklah, Yud. Tapi.. aku tetap butuh waktu, untuk mempertimbangkan ini semua.." ucap Jessika kemudian.

"oke.. aku ngerti.. Tapi... aku harap, kamu tak lagi menolak, jika aku ingin melamar mu.." balasku dengan nada serius.

Kali ini Jessika hanya tersenyum. Dan aku sangat mengerti arti senyuman itu. Senyuman yang menandakan, bahwa tidak akan ada lagi air mata di antara kami berdua.

Semoga saja, tidak akan ada lagi penghalang untuk hubungan kami ke depannya. Semoga saja, Jessika bisa menerima aku sebagai pendamping hidupnya untuk masa depannya.

Yah.. semoga saja..

****

Satu malam bersama penjual jamu gendong

Pernah pada suatu ketika, aku pergi berjalan-jalan ke kota sendirian, dengan mengendarai motor butut ku. Jarak kota dari kampung tempat aku tinggal, hanya sekitar satu jam perjalanan naik motor.

Aku teramat jarang datang ke kota, kecuali jika ada keperluan penting atau pun ada sesuatu yang harus aku beli di kota.

Dan kebetulan waktu itu, ada sesuatu yang harus aku beli ke kota, kebetulan juga waktu itu, aku baru saja gajian. Jadi aku juga sekalian jalan-jalan, untuk melepas penat, setelah bekerja sebulan penuh.

Singkat cerita, setelah perjalanan yang cukup panjang, dan menemukan apa yang aku cari, serta setelah lelah berkeliling-keliling gak jelas, akhirnya aku memutuskan untuk segera pulang ke kampung. Saat itu sudah hampir jam 10 malam.

Namun rencana pulang ku harus berantakan, karena tiba-tiba saja hujan turun sangat deras malam itu. Mau tidak mau, aku harus singgah untuk sekedar berteduh. Aku singgah di sebuah halaman ruko yang tertutup. Beberapa orang pengendara lain juga ikut berteduh di sana.

Ruko itu berderet panjang sebanyak lima pintu. Semua pintu ruko itu sudah tertutup, kecuali ruko paling ujung. Kebetulan aku berteduh di ruko deretan nomor dua dari ujung, tepat di samping ruko yang masih terbuka tersebut.

Hujan turun sanga deras, di iringi suara petir yang bersautan di langit sana. Padahal waktu itu masih musim kemarau. Namun entah mengapa, setelah sekian lama, hujan akhirnya turun juga malam itu.

Aku berdiri dengan menyilangkan kedua tangan ku di dada, sambil aku bersandar di pintu ruko yang tertutup tersebut. Motor ku segaja aku parkir di depan. Sedikit terkena hujan, karena angin yang berhembus cukup kencang.

****

Hampir lima belas menit aku berdiri di situ, saat tiba-tiba pintu ruko yang aku sandari tersebut, terbuka dengan perlahan dari dalam. Seorang wanita menongolkan kepalanya, untuk melihat keadaan di luar.

Karena kaget, aku pun spontan menatap wanita tersebut. Wanita itu juga menatap ku. Kami saling tatap beberapa saat, lalu kemudian sama-sama tersenyum.

"kamu.. Jaya, kan?" ucap wanita itu setengah ragu.

Aku mencoba menatap wanita itu lebih lama. Mencoba mengenali wajahnya. Rasanya aku tidak punya kenalan yang tinggal di daerah ini, tapi mengapa wanita itu tahu nama ku? tanya ku membathin sejenak.

"iya, tante.." balasku akhirnya, "tante kok tahu saya?" tanya ku melanjutkan.

"saya tante Wina. Masih ingat?" wanita itu balas bertanya.

"tante Wina?" aku meragu.

"iya.. ibunya Arkan. Ingat toh?" ucap wanita yang hanya memakai baju tidur tersebut.

"oh, iya.. aku ingat, tante.." balasku akhirnya, setelah aku benar-benar yakin, kalau itu adalah tante Wia yang aku kenal.

"kamu ngapain di sini? Ayo masuk!" ucap tante Wina akhirnya menawarkan.

"iya, tante.." balasku, sambil mulai melangkah mengikuti langkah kaki tante Wina yang kembali masuk ke dalam ruko nya.

Tante Wina mempersilahkan aku duduk di salah satu kursi yang tersusun rapi di dalam ruko tersebut. Kursi-kursi tersebut di susun layaknya sebuah warung makan, yang di sertai beberapa buah meja juga. Ternyata Ruko tersebut adalah sebuah toko yang menjual berbagai macam minuman jamu tradisional dan juga jamu modern.

Ada sebuah etalase panjang di tengah ruangan, yang berisi berbagai perlengkapan, dan juga berbagai rempah-rempah sebagai bahan untuk membuat jamu. Di dinding-dinding ruko, juga tersusun, jamu-jamu yang sudah di kemas dengan rapi.

"silahkan di minum.." ucap tante Wina, saat ia sudah kembali dari dalam. "ini jamu buatan tante sendiri loh.." lanjutnya.

"iya, tante.. makasih.." balasku masih merasa sedikit sungkan.

"kalau boleh tahu ini jamu apa, tante?" tanya ku berbasa-basi, saat aku sudah meneguk jamu tersebut beberapa kali.

"itu jamu sehat. Biar kamu gak masuk angin, dan juga bisa untuk meningkatkan daya tahan tubuh.." jelas tante Wina lembut.

****

Aku mengenal tante Wina, sekitar lima belas tahun yang lalu. Namun sudah hampir sepuluh tahun kami tidak pernah bertemu lagi. Dulu tante Wina sempat tinggal di kampung ku, selama lebih kurang lima tahun lamanya.

Yang aku tahu, tante Wina adalah seorang single parent. Ia mempunyai seorang putra. Namanya Arkan. Arkan dulu, ketika masih di kampung, adalah teman sekelas ku saat SMP. Kami juga berteman cukup dekat waktu itu. Aku juga sering main ke rumah Arkan, begitu juga sebaliknya.

Tante Wina adalah penjual jamu gendong keliling waktu itu. Ia bekerja keras, untuk bisa membiayai hidup mereka berdua. Sampai Arkan lulus SMP, lalu kemudian mereka pun pindah. Dan setelah itu, kami tidak pernah bertemu lagi.

"tante kok masih ingat ya, sama saya? Padahal kita sudah hampir sepuluh tahun loh, gak pernah ketemu." ucapku mencoba memecah keheningan. Hujan di luar masih terdengar cukup deras.

"tante selalu ingat senyum kamu yang khas itu, Jay. Di tambah lagi tahi lalat yang ada di ujung hidung mu itu. Yang membuat kamu jadi semakin manis, dan sulit untuk di lupakan.." balas tante Wina.

"ah.. tante bisa aja.." ucapku sedikit tersipu. "tante juga tidak banyak berubah, masih kelihatan muda dan masih cantik..." lanjutku apa adanya.

Ku lihat tante Wina hanya tersenyum simpul mendengar kalimat ku barusan.

"oh, ya tante, Arkan ada dimana sekarang? Apa kabar dia?" aku bertanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Arkan sekarang udah kerja di luar kota. Jadi, tante hanya tinggal sendiri di kota ini." balas tante Wina. "kamu sendiri gimana, Jay? Kerja dimana sekarang?" lanjutnya bertanya.

"saya masih tinggal di kampung, tante. Sekarang saya udah kerja di kantor desa, jadi salah satu staff disana.." jawab ku sejujurnya.

"oh.. baguslah... orang tua mu apa kabar?" tanya tante Wina lagi.

"mereka baik, tante." balasku pelan.

Untuk sesaat suasana pun kembali hening. Sementara hujan masih juga belum reda.

****

"kamu udah married?" tiba-tiba tante Wina bertanya demikian, setelah lama kami saling terdiam.

"belum, tante.." balasku jujur.

"kenapa?" tanya tante Wina lagi.

"yah... kan saya masih 25 tahun, tante. Masih cukup muda. Saya masih ingin menikmati masa lajang saya, sambil saya mengumpulkan uang buat married.." balasku apa adanya.

"berarti calonnya udah ada ya?" tante Wina bertanya kembali.

"belum juga tante... Saya sudah lama jomblo. Sejak lulus kuliah, dan mulai bekerja di kantor desa, saya tidak pernah lagi pacaran." jelasku.

"oh.. gitu.." balas tante Wina singkat.

"iya, tante.. Tante sendiri gimana?" aku memberanikan diri untuk bertanya.

Tante Wina menatapku beberapa saat. Mungkin ia tak percaya aku akan bertanya demikian.

"tante... ya.. gini-gini aja sih, Jay. Masih seorang single parent. Dan berusaha untuk tetap bertahan menjalani kehidupan ini." ucapnya akhirnya.

"tapi. .sekarang tante Wina kan udah cukup sukses. Udah punya toko jamu sebesar ini.. Dan Arkan juga sudah lulus kuliah, bahkan juga sudah punya pekerjaan tetap. Artinya perjuangan tante selama ini tidak sia-sia.." aku berucap sok bijak.

"yah.. tante sangat bersyukur dengan semua ini, Jay. Tapi tetap saja, sebagai seorang wanita, tante juga sering merasa kesepian. Apa lagi sejak Arkan pindah ke luar kota, tante jadi semakin merasa kesepian.." balas tante Wina terdengar lemah.

"kenapa tante Wina gak menikah lagi?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"tante sih mau aja menikah lagi, tapi... tante masih merasa trauma.." suara tante Wina sedikit serak.

"kalau boleh saya tahu, apa yang terjadi dengan pernikahan tante dulu?" aku bertanya kembali.

"panjang ceritanya, Jay..." balas tante Wina pelan.

****

"dulu ... tante itu nikah muda, karena kebablasan. Waktu itu, usia tante baru 20 tahun. Beruntunglah pacar tante waktu itu, mau bertanggungjawab. Apa lagi ia juga sudah berusia 25 tahun waktu itu, dan juga sudah punya pekerjaan tetap."

"kami pun akhirnya menikah. Kedua belah pihak keluarga kami juga sangat mendukung pernikahan kami. Kami juga sebenarnya saling cinta. Dan kami pun merasa bahagia dengan pernikahan tersebut. Apa lagi sejak anak pertama kami lahir, Arkan."

"namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setelah Arkan berusia lima tahun, tante hamil anak kedua kami. Beberapa bulan kemudian, anak kedua kami pun lahir, seorang perempuan. Cantik."

"tapi sayang.. usianya tidak genap satu tahun. Karena akhirnya ia di serang penyakit diabetes, yang menyebabkan ia meninggal dunia. Suami tante tidak bisa terima hal tersebut. Ia marah sama tante. Ia menganggap tante sebagai penyebab kematian putri kami."

"sejak saat itu, rumah tangga kami mulai berantakan. Hampir setiap hari kami hanya saling bertengkar dan saling menyalahkan. Suami tante juga mulai berubah. Ia jadi jarang berada di rumah."

"hingga akhirnya, dengan terang-terangan, suami tante membawa perempuan lain ke rumah kami. Mereka melakukan hal tersebut di depan mata ku. Aku tidak bisa terima hal tersebut. Aku pun meminta cerai."

"suami tante bersedia menceraikan tante, dengan syarat tante tidak boleh membawa Arkan. Tapi tante tidak mau memenuhi syarat tersebut. Tante tetap membawa Arkan diam-diam. Tanpa sepengetahuan suami tante."

"suami tante tentu saja marah besar. Ia berusaha mencari dimana pun kami bersembunyi. Tante terus saja bersembunyi. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tante tidak pernah menetap. Karena takut, ditemukan oleh mantan suami tante tersebut."

"hingga akhirnya tante sampai ke desa kamu, Jay. Di sana tante merasa sedikit aman. Karena mantan suami tante, tidak mungkin menemukan kami di sana. Itu lah kenapa, kami bisa bertahan selama lima tahun tinggal di sana. Sebelum akhirnya tante memutuskan untuk pindah ke kota ini."

"setelah pindah ke kota ini, tante tetap berjualan jamu gendong keliling, hasilnya jadi lebih lumayan, karena lebih banyak peminat, dari pada saat di desa dulu. Hingga tante berhasil mengumpulkan uang buat modal, dan tante memutuskan untuk membuka usaha toko jamu ini.."

"yah.. meski pun ruko ini bukan milik kami, hanya sewa. Tapi... setidaknya, tante tidak perlu lagi repot-repot berkeliling untuk berjualan jamu. Ini semua juga atas ide nya Arkan. Ia juga yang berhasil mempromosikan toko kami, melalui media sosial."

"dan sekarang... disinilah tante. Sendirian. Sementara Arkan, memutuskan untuk bekerja di luar kota."

begitulah kira-kira cerita tante Wina, perihal perjalanan hidupnya padaku waktu itu.

"lalu sekarang? Mantan suami tante Wina gimana? Apa masih terus mencari tante?" tanya ku sedikit berempati.

"tante gak tahu pasti, Jay. Tapi sepertinya ia sudah menyerah. Kabar terakhir yang tante dapat, ia sudah menikah lagi, dan bahkan sudah punya dua orang anak. Tante yakin, ia pasti sudah melupakan semuanya. Apa lagi sekarang Arkan juga sudah cukup dewasa. Jadi tante gak perlu merasa khawatir lagi akan hal tersebut." jelas tante Wina.

****

"makasih ya, Jay. Sudah mau mendengarkan cerita tante. Sebelumnya tante belum pernah bercerita hal ini, kepada siapa pun. Sekarang tante jadi merasa sedikit lega.." ucap tante Wina kemudian, setelah untuk beberapa saat kami hanya terdiam.

"saya yang harusnya terima kasih sama tante. Karena sudah diperbolehkan untuk berteduh di sini. Dan juga sudah dijadikan orang yang di percaya untuk bercerita hal tersebut." balasku pelan.

"kamu gak perlu merasa sungkan, Jay. Kamu boleh mampir disini lagi, kapan pun kamu mau.." ucap tante Wina kemudian.

"iya, tante.. saya pasti akan sering-sering main ke sini. Dan jangan lupa, sampaikan juga salam saya buat Arkan ya, tante.." balasku kemudian.

Hujan di luar mulai reda. Namun malam sudah semakin larut, sudah hampir jam satu malam. Cuaca pun semakin terasa dingin.

"kalau begitu saya pamit dulu ya, tante.. hujan juga udah mulai reda kayaknya.." ucapku kemudian.

"loh.. ini kan sudah larut, Jay. Kamu yakin mau pulang? Gak nginap di sini aja?" balas tante Wina sedikit menawarkan.

"gak usah tante.. saya gak enak, takut merepotkan.." balasku ragu.

"ruko ini terlalu besar, untuk tante tempati sendiri, Jay. Kadang tante merasa gak kuat, harus tinggal sendirian. Jadi.. gak apa-apa loh, kalau malam ini kamu mau menginap di sini." tawar tante Wina lagi sedikit bersikeras.

"saya sih mau menginap di sini, tante. Tapi... besok saya harus kerja. Jadi mungkin lain waktu ya, tante.. Saya pasti akan kesini lagi, kok." balasku berusaha meyakinkan.

"baiklah, Jay. Tante akan tunggu kedatangan kamu berikutnya.." ucap tante Wina terdengar pasrah.

Dan aku pun segera keluar dari ruko tersebut. Keadaan di luar sudah mulai sepi. Orang-orang yang tadi ikut berteduh, sudah tidak ada lagi di teras ruko. Jalanan juga sudah mulai terlihat sunyi. Hanya ada satu dua kendaraan yang berlalu lalang. Dan cuaca terasa begitu dingin.

Jika tidak mengingat besok harus kerja. Sudah pasti aku akan memutuskan, untuk menginap saja di tempat tante Wina. Tapi.. ya sudahlah... Mungkin next time kali ya...?!

****

Bersambung...

Bersama mbak Lidya (kisah nyata)

Nama ku Aris. Dan aku seorang penjual sayur keliling. Aku jadi penjual sayur keliling sudah 5 tahun lebih. Aku berjualan sayur keliling sudah sejak aku masih lajang, hingga sekarang aku sudah menikah. Istri ku juga saat ini sedang hamil anak pertama kami.

Aku dan istri ku tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana. Sebuah rumah kontrakan kecil, yang mulai kami sewa sejak kami memutuskan untuk menikah. Rumah itu sangat sederhana, namun cukup untuk bisa aku tempati bersama istri ku.

Istri ku sendiri tidak bekerja. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Dulu, sebelum menikah dengan ku, istri ku pernah bekerja di sebuah mini market. Namun karena sudah menikah, ia terpaksa berhenti bekerja.

Kehidupan kami sangat sederhana. Tapi kami saling cinta. Kami bahagia dengan pernikahan kami. Apa lagi semenjak kehamilan pertama istri ku. Kehidupan rumah tangga kami berjalan dengan baik. Meski secara ekonomi kami masih sering merasa kekurangan.

Kami berdua, sama-sama merantau ke kota ini. Kami tidak punya keluarga dekat atau pun kerabat di kota ini. Kami sudah hidup mandiri, bahkan sejak kami belum saling kenal sebelumnya. Semua keluarga kami berada di kampung.

Pernikahan kami sudah berjalan hampir dua tahun lamanya. Dan sekarang istri ku sedang mengandung anak pertama kami. Kandungannya sudah memasuki bulan ke delapan saat ini.

Hal itu cukup menjadi beban bagiku. Karena menurut keterangan dokter, istri ku tidak bisa melahirkan normal. Ia harus menjalani operasi. Dan itu butuh biaya banyak. Sementara kami tidak punya tabungan sama sekali. Karena pendapatan ku sebagai penjual sayur keliling selama ini, hanya cukup untuk biaya hidup dan membayar sewa rumah kami.

Di tambah pula, sejak hamil, istri ku jadi sering sakit-sakitan dan harus sering di bawa ke dokter. Semakin banyak biaya yang harus kami tanggung. Sementara penghasilan ku sebagai penjual sayur keliling, tidak kunjung meningkat. Meski aku sudah berusaha untuk berjualan lebih banyak dan lebih lama dari biasanya.

****

Aku berjualan sayuran, dari pagi hingga siang hari. Aku berkeliling dari satu kompleks perumahan ke kompleks perumahan lainnya, dengan hanya memakai gerobak dorong. Rasa letih tidak membuat aku menyerah, untuk terus berjuang mendapatkan rupiah yang aku kumpulkan dari satu pembeli ke pembeli lainnya.

Setiap hari, aku terus saja berkeliling untuk menjual sayur-sayur yang aku dapatkan dari agen. Setiap hari aku terus berusaha, agar semua dagangan ku habis. Meski tak jarang, masih banyak sisa-sisa dagangan ku, yang harus aku bawa pulang kembali, karena tak habis terjual.

Perjuangan ku tak hanya sampai di situ. Sepulang berjualan sayuran, aku juga nyambi kerja di sebuah tempat cucian motor. Tempat cucian motor tersebut, memang milik salah seorang teman ku. Ia sengaja mengajak aku bekerja di tempat cuciannya, karena ia tahu, aku butuh tambahan uang. Meski aku hanya bekerja di sana, dari siang sampai sore hari.

Namun setelah berbulan-bulan berjuang, dan berusaha sekuat kemampuanku, uang yang aku kumpulkan belum juga cukup, untuk biaya operasi melahirkan istri ku. Sementara, waktunya hanya tinggal beberpa minggu lagi.

Pernah temanku menyarankan agar aku menggunakan BPJS saja. Namun karena kami hanya merantau ke kota ini, kami tidak punya BPJS. Pernah aku coba datang ke Kelurahan untuk mengurus hal tersebut, tapi pengajuan kami di tolak, karena kata mereka tidak memenuhi syarat. Meski aku tidak tahu pasti, syarat apa yang tidak terpenuhi tersebut, tapi aku memang tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Aku juga pernah ingin mengajukan pinjaman ke pihak bank, tapi aku gak punya agunan untuk jadi jaminan, dan sudah pasti pihak bank tidak akan mengabulkan permohonan pinjaman kami. Karena itu, aku hanya bisa pasrah pada akhirnya.

Aku tidak punya teman atau kenalan yang kehidupan ekonominya lebih baik dari kami, yang bisa aku jadikan tempat untuk aku meminjam uang. Kalau pun ada, mereka juga pasti tidak mau, karena mereka tahu, aku tidak akan mampu membayarnya.

Sementara dari pihak keluarga ku sendiri, yang jauh berada di kampung sana, juga tidak ada untuk tempat aku mengadu. Karena kehidupan mereka di kampung, juga sangat kekurangan. Apa lagi, sejak kedua orangtua ku meninggal, beberapa tahun lalu, hampir tidak ada pihak keluarga yang peduli lagi sama kami.

Dari pihak keluarga istri ku sendiri, juga tidak ada yang peduli dengan kehidupan kami. Sejak istri ku memutuskan untuk menikah dengan ku, pihak keluarganya sudah tidak pernah lagi menghubungi kami. Bahkan jika pun kami hubungi, tanggapan mereka sangat dingin. Karena memang, dari awal, mereka sudah tidak setuju akan pernikahan kami.

Istri ku merupakan anak ketiga dari mereka lima bersaudara. Mereka lima bersaudara, empat orang perempuan, dan satu orang laki-laki. Orangtua istri ku sangat ingin kalau anak-anak perempuannya menikah dengan orang yang punya kehidupan ekonomi yang baik, dan punya masa depan yang jelas.

Namun istri ku waktu itu, tetap bersikeras untuk menikah dengan ku, meski tanpa restu kedua orangtuanya. Hal itu membuat ia harus diasingkan oleh keluarganya sendiri, terutama oleh orangtuanya. Ia sudah tidak dianggap sebagai bagian dari keluarganya lagi.

Memikirkan hal tersebut, terus terang aku jadi merasa bersalah terhadap istri ku. Hanya demi bisa menikah dengan ku, istri ku rela, harus terbuang dari keluarga besarnya. Dan hal itu, cukup menjadi beban tanggungjawab yang sangat besar bagi ku. Hal itu juga yang membuat aku jadi tidak pernah berhenti berjuang.

****

Sebagai seorang penjual sayur keliling, aku memang punya banyak pelanggan. Terutama dari ibu-ibu kompleks perumahan yang aku datangi setiap harinya. Apa lagi aku sudah berjualan sayur keliling, sejak lama. Sudah bertahun-tahun.

Dari sekian banyak pelanggan sayuran ku, yang rata-rata nya adalah ibu rumah tangga, ada satu orang pelanggan, yang baru beberapa bulan ini menjadi pelanggan ku. Namanya mbak Lidya.

Menurut ceritanya, ia juga baru pindah ke kompleks perumahan tersebut. Dan ia seorang janda.

Karena sudah bercerai dari suaminya, mbak Lidya memang sengaja pindah ke perumahan tersebut. Ia sebenarnya juga sudah punya dua orang anak, yang ia tinggalkan bersama mantan suaminya.

Karena itu, mbak Lidya hanya tinggal sendiri di rumahnya yang sederhana itu. Ia juga masak sendiri. Ia bekerja di sebuah showroom mobil di kota tersebut. Penghasilannya juga lumayan besar. Setidaknya begitulah cerita yang aku dengar dari mulut mbak Lidya sendiri.

Mbak Lidya memang cukup supel orangnya, ia juga sedikit humoris. Ia suka bercerita banyak hal, ketika ia berbelanja sayuran pada ku. Hal itu cukup membuat kami jadi cepat akrab.

Mbak Lidya juga orang yang baik, ia suka memberi uang kembaliannya padaku, setiap kali ia berbelanja.

Kedekatan ku dangan mbak Lidya, cukup membuat aku merasa sedikit nyaman. Mbak Lidya mampu menghiburku, saat aku sedang merasa letih. Ia juga sering menawarkan ku, untuk mampir ke rumahnya. Namun selama ini, aku selalu menolaknya. Karena selain merasa tidak enak, aku juga harus berkeliling untuk berjualan.

Mbak Lidya memang langganan khusus bagi ku. Hanya ia satu-satunya pelanggan ku, yang aku langsung masuk ke halaman rumahnya, tentu saja atas permintaan mbak Lidya sendiri.

"aku malu, kalau belanja bareng ibu-ibu kompleks lainnya. Soalnya aku ini kan janda, dan aku juga baru pindah kesini, aku takut jadi bahan gosip buat mereka." begitu alasan mbak Lidya waktu itu, saat aku tanya, kenapa ia meminta aku langsung masuk ke halaman rumahnya.

Karena itu, setiap kali melewati rumah mbak Lidya, aku langsung saja masuk ke pekarangan rumahnya. Dan pasti ada aja yang mbak Lidya akan beli dari ku. Ia memang termasuk orang yang hobi masak. Kadang, ia juga pernah menawarkan aku makanan yang ia buat sendiri.

Mbak Lidya memang orang yang baik. Hal itu, membuat aku jadi merasa terkesan dengannya. Aku kadang jadi betah berlama-lama berada di halaman rumahnya, hanya untuk mendengarkan ia bercerita, sekaligus untuk aku bisa beristirahat sejenak di sana.

****

"kamu kok kelihatan murung banget hari ini, Ris? Capek ya?" tanya mbak Lidya suatu pagi, saat aku sudah berada di depan rumahnya, membawa barang dagangan ku. Saat itu tinggal menghitung hari, istri ku akan menjalani operasi melahirkan anak kami.

"masih pagi kok udah capek aja?" lanjut mbak Lidya lagi, tanpa menunggu jawaban ku.

"tubuh ku sih gak terlalu capek, tapi pikiran ku yang capek banget, mbak." jawab ku akhirnya, asal.

Usia mbak Lidya memang lebih tua empat tahun dari ku. Aku sendiri masih berusia 31 tahun, sedangkan mbak Lidya sudah berumur 35 tahun.

"capek pikirannya kenapa, Ris?" tanya mbak Lidya lagi, sambil ia mulai memilah sayuran yang ingin ia beli.

"yah.. biasalah, mbak. Persoalan hidup.." balasku lemah.

"emang apa persoalan hidup yang sedang Aris alami saat ini? Kamu cerita aja, siapa tahu saya bisa bantu.." ucap mbak Lidya lagi.

"persoalan hidup orang miskin kayak saya ini, yah.. gak jauh-jauh lah dari masalah uang, mbak." balasku masih dengan nada lemah.

"emangnya Aris lagi butuh uang buat apa?" mbak Lidya bertanya kembali.

"istri ku tiga hari lagi mau melahirkan, mbak. Dan ia harus di operasi, tapi saya belum punya cukup uang untuk biaya operasi tersebut. Saya jadi bingung mau cari uang kemana lagi. Segala usaha sudah saya lakukan, tapi tetap saja, uangnya belum cukup.." balasku apa adanya.

"Aris butuh uang berapa?" tanya mbak Lidya kemudian, sambil ia memasukan sayuran yang sudah ia pilih ke dalam kantong plastik.

"biaya operasi nya sih hampir 15 jutaan, tapi uang yang sudah saya kumpulkan baru sekitar tujuh juta. Masih ada separohnya lagi yang harus saya cari, sementara waktunya kian mepet.." jelasku, tanpa bermaksud apa-apa.

"ya udah, kamu pake uang ku aja dulu. Kebetulan aku punya beberapa tabungan yang belum aku pakai.. jadi kamu bisa pinjam dulu." ucap mbak Lidya terdengar serius.

"gak usah, mbak. Saya gak yakin akan bisa bayar dalam waktu dekat ini.." balasku spontan.

"gak apa-apa, Ris. Kamu pake aja dulu. Bayarnya bisa kapan aja, kok. Gak usah terlalu di pikirkan juga..." ucap mbak Lidya sedikit bersikeras.

"tapi.. aku jadi gak enak loh, mbak. Padahal kita kan juga baru saling kenal. Tapi mbak Lidya sudah sangat baik padaku. Selama ini aja, mbak Lidya juga sudah selalu baik pada ku, sekarang malah di pinjamkan uang. Aku ..." aku sengaja menggantung kalimatku, karena tidak tahu lagi harus berkata apa.

"kamu tenang aja. Dan gak usah merasa berhutang budi seperti itu. Meski pun kita baru kenal, tapi aku yakin, kamu pasti orang baik. Lagi pula, bukankah sudah seharusnya sebagai sesama manusia, memang harus saling bantu. Selama saya mampu kenapa gak?" mbak Lidya berucap kemudian.

Untuk selanjutnya aku hanya bisa terdiam. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus berkata apa. Sebenarnya aku juga tidak ingin menerima bantuan dari mbak Lidya tersebut, karena aku tidak yakin akan bisa mengembalikannya.

Tapi, aku juga merasa tidak enak hati jika harus menolak hal tersebut. Aku takut mbak Lidya tersinggung. Dan lagi pula, aku memang butuh uang tersebut. Aku juga gak tahu, harus mencari uang kemana lagi. Jadi gak ada salahnya, kalau aku menerima tawaran mbak Lidya tersebut. Toh, ia juga terlihat tulus ingin membantu, tanpa mengharapkan apa-apa dari ku.

"ya udah, kalau mbak Lidya memang mau meminjamkan saya uang, saya akan terima. Tapi.. saya gak bisa janji, akan bisa membayarnya dalam waktu dekat ini.." ucapku akhirnya.

"oke, gak apa-apa. Kamu bisa bayar kapan kamu punya uang aja nanti." balas mbak Lidya, "kamu tunggu di sini dulu, ya. Saya mau ke dalam dulu, ngambil uangnya." mbak Lidya melanjutkan ucapannya, sambil ia melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Beberapa saat kemudian, mbak Lidya pun keluar, dengan membawa uang tersebut. Ia langsung menyerahkan uang itu padaku.

"kamu hitung dulu aja, Ris." katanya ringan.

"gak usah, mbak. Aku percaya aja sama mbak Lidya. Dan.. terima kasih banyak ya.. Mbak Lidya sudah sangat baik padaku... Sekali lagi terima kasih.." ucapku sedikit bergetar, karena merasa terharu.

"iya, sama-sama, Ris. Semoga operasinya berjalan lancar ya..." balas mbak Lidya terdengar tulus.

"iya, mbak. Terima kasih sekali lagi... Kalau begitu saya pamit, ya..." ucapku akhirnya.

"oke, Ris. Oh, ya... Nanti malam kalau ada waktu, kamu jalan-jalan kesini ya, Ris. Kita ngobrol-ngobrol. Ada yang ingin saya sampaikan sama kamu." balas mbak Lidya kemudian.

"oh, oke.. saya usahakan datang nanti malam ya, mbak.." ucapku membalas, dengan perasaan sedikit bingung.

Ada apa kok mbak Lidya tiba-tiba ingin aku datang ke rumahnya malam-malam? Aku merasa jadi tidak enak, karena biar bagaimana pun, mbak Lidya itu seorang janda, dan ia tinggal sendiri. Tapi aku gak mungkin menolak hal tersebut, karena mbak Lidya sudah baik padaku.

Mungkin saja mbak Lidya hanya ingin curhat padaku. Mungkin saja ia hanya butuh teman untuk bercerita. Aku gak boleh berpikiran macam-macam tentang mbak Lidya, karena sampai saat ini, yang aku tahu, mbak Lidya itu orang baik.

Dan dengan perasaan lega, aku pun segera pergi dari rumah mbak Lidya. Aku ingin segera membawa pulang, uang yang aku dapat dari mbak Lidya barusan. Meski perasaan ku saat ini, jadi merasa kurang enak hati, terhadap mbak Lidya.

Biar bagaimana pun, aku merasa sangat berhutang budi padanya. Ia sudah sangat membantu ku. Sementara, ia bukan siapa-siapa bagi ku. Kami hanya kenalan biasa, tapi mbak Lidya sudah begitu baik padaku. Apa pun akan aku lakukan, untuk bisa membalas kebaikannya tersebut.

***

Malam itu, aku pun datang menemui mbak Lidya di rumahnya.. Mbak Lidya menyambutku dengan senyum ramahnya. Lalu kemudian, ia pun mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamu rumahnya.

Meski pun merasa sedikit sungkan, aku pun dengan sedikit berat, masuk ke rumah tersebut. Aku berusaha duduk dengan tenang di ruang tamu yang terlihat sangat rapi dan bersih itu. Rumah mbak Lidya memang terlihat terawat dengan baik.

"diminum teh nya, Ris. Mumpung masih hangat.." ucap mbak Lidya, saat ia sudah kembali dari dapur, dengan membawa dua gelas teh dan sepiring kue basah.

"iya, mbak. Makasih.." balas ku, sambil mulai meminum teh tersebut.

"kue nya juga sekalian di cicipi, ya..." ucap mbak Lidya lagi.

Aku pun mencoba mencicipi kue tersebut dengan pelan. Sementara mbak Lidya terus memperhatikan ku dengan seksama.

"gimana, Ris? Enak kue nya? Itu buatan saya sendiri loh.." tanya mbak Lidya kemudian.

"wah ini sih enak banget, mbak. Kue buatan mbak Lidya ini memang enak.." balasku apa adanya, tanpa bermaksud apa-apa.

"kamu mau coba kue yang lain gak?" tanya mbak Lidya lagi.

"gak usah, mbak. Ini aja udah cukup." balas ku terdengar polos.

"kamu yakin, gak mau coba kue yang lain?" mbak Lidya bertanya lagi, dengan nada sedikit manja.

"maksud mbak Lidya apa?" tanya ku membalas, mulai merasa kurang nyaman.

"masa' kamu gak ngerti sih, Ris? Kita sudah sama-sama dewasa loh, gak usah terlalu kaku gitu. Santai aja. Di rumah ini cuma ada kita berdua loh.." kali ini suara mbak Lidya benar-benar manja.

Pikiran ku benar-benar menjadi tak karuan. Aku mulai paham maksud mbak Lidya mengundang ku ke rumahnya malam-malam. Penilaian ku terhadap mbak Lidya pun berubah total. Ternyata ia tidak sebaik yang aku sangka kan selama ini. Segala kebaikannya padaku, ternyata punya tujuan tertentu.

"maaf, mbak. Bukan itu tujuan saya datang kesini.." ucapku akhirnya dengan sedikit bergetar.

"apa itu berarti kamu menolak saya?" suara mbak Lidya berubah sedikit meninggi.

"maaf, mbak. Saya gak bisa. Saya sudah menikah, mbak." aku berusaha berucap dengan tegas.

"saya tahu kamu udah nikah. Saya juga gak ingin mengikat kamu dengan hubungan apa pun. Saya cuma ingin kamu mengisi kesepian saya selama ini." ucap mbak Lidya kemudian.

"sebagai seorang janda yang sudah lama bercerai, saya benar-benar merasa kesepian, Ris. Dan saat saya melihat kamu pertama kali, saya sudah tertarik sama kamu. Jadi saya mohon, Ris. Kamu mau ya.. Please..." suara mbak Lidya tiba-tiba terdengar menghiba.

"maaf, mbak. Tapi saya gak bisa mengkhianati istri saya, apa pun alasannya. Ia sudah banyak berkorban untuk saya selama ini.." balasku, dengan sedikit menarik napas.

"tapi saya juga sudah banyak membantu kamu selama ini, Ris. Bahkan saya rela meminjamkan kamu uang sebanyak itu, tanpa jaminan apa-apa. Jadi wajar dong, kalau saya juga ingin mendapatkan imbalannya. Minimal untuk malam ini pun jadi lah.." suara mbak Lidya sedikit berat.

"maaf, mbak. Saya tetap gak bisa. Saya akan kembalikan uang mbak Lidya malam ini juga. Dan saya terima kasih atas kebaikan mbak selama ini sama saya. Mungkin saya gak akan bisa membalasnya, tapi jujur saja, saya gak pernah minta itu semua.." balasku tegas.

"lalu kalau kamu kembali kan uangnya, istri kamu mau kamu operasi pakai uang apa?" mbak Lidya berucap dengan sedikit kasar.

"saya rasa, itu bukan urusan, mbak Lidya. Saya pasti akan dapatkan uangnya, tapi tidak dengan cara seperti ini. Saya pamit, mbak. Nanti saya antar uangnya kesini.." balasku masih dengan suara tegas.

Lalu tanpa menunggu jawaban mbak Lidya lagi, saya pun segera keluar dari rumah tersebut. Saya memacu motor butut saya ke rumah. Lalu mengambil uang yang tadi masih saya simpan di lemari. Beruntunglah uang tersebut, belum sempat saya berikan kepada istri saya.

Dengan kecepatan yang sama, saya memacu motor saya kembali menuju rumah mbak Lidya. Lalu tanpa berkata apa-apa, saya berikan uang tersebut kepada mbak Lidya, yang masih duduk di ruang tamu rumahnya. Dan tanpa permisi, saya langsung saja keluar dari rumah itu lagi. Setelah mbak Lidya menerima uangnya dengan wajah penuh kekecewaan.

Saya gak tahu, apakah tindakan saya tersebut, benar atau salah. Tapi yang pasti, saya tidak ingin mendapatkan uang dengan cara seperti itu. Biar bagaimana pun saya masih punya harga diri. Dan saya tidak mungkin mengkhianati istri saya, walau dengan cara dan alasan apa pun.

Kini, jalan satu-satunya bagi ku, untuk mendapatkan uang tambahan, untuk biaya operasi istri ku, hanyalah dengan menjual motor butut ku satu-satunya ini. Walau pun harganya mungkin tidak seberapa, tapi saya yakin, uang itu pasti cukup, dan yang pasti halal.

Dan satu hal lagi, setidaknya saya sudah berusaha semampu saya. Meski pun hasilnya tidak semaksimal yang saya harapkan. Dan setidaknya lagi, saya masih bisa menjaga harga diri saya, dan juga kesetiaan saya terhadap istri saya. Dan saya rasa, itu semua sudah lebih dari cukup.

Saya berjanji tidak akan pernah menemui mbak Lidya lagi. Saya akan pindahkan rute perjalanan saya, untuk berjualan sayuran, agar tidak melewati rumah mbak Lidya.

Semoga saja, saya selalu mampu menolak godaan-godaan yang datang dalam kehidupan saya ke depannya. Semoga saja, saya tetap mampu mempertahankan kesetiaan saya kepada istri saya.

Yah... semoga saja..

****

Bersama tante Mirna

Nama ku Ferdy, saat ini usia ku sudah 21 tahun lebih. Aku tidak kuliah. Karena aku memang berasal dari keluarga tidak mampu. Dan lagi pula aku ini seorang yatim piatu.

Ibu ku meninggal, pada saat aku masih berusia 10 tahun. Sementara ayah ku juga meninggal lima tahun kemudian. Sejak saat itu, aku tinggal bersama kakak perempuan ku, yang terpaksa menikah muda, demi kami bisa bertahan hidup.

Abang ipar ku memang seorang karyawan di sebuah perusahaan kecil di kota tempat kami tinggal. Gajinya cukup besar. Usianya terpaut hampir tujuh tahun lebih tua dari kakak ku. Mereka menikah sekitar lima tahun yang lalu. Sekarang mereka sudah punya dua orang anak yang masih kecil-kecil.

Kami tinggal di sebuah perumahan yang berada di tengah-tengah kota. Rumah itu cukup besar, meski pun masih kredit. Kami tinggal di sana, sejak mereka menikah. Sebenarnya rumah itu, sudah mulai di kredit oleh abang ipar ku sejak ia masih lajang.

Kakak ku sendiri tidak bekerja. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Karena memang ia tidak sempat menamatkan sekolah SMA nya. Sementara aku juga belum punya pekerjaan tetap. Sejak lulus SMA beberapa tahun lalu, aku hanya bekerja serabutan.

Mulai dari jadi buruh bangunana, buruh angkut di pasar, membantu orang berjualan, jari juru parkir, hingga jadi pengamen, semuanya pernah aku lakukan. Hanya untuk mengurangi beban abang iparku, yang merupakan tulang punggung keluarganya.

****

Suatu malam, aku duduk sendirian di sebuah pos ronda. Kebetulan memang giliran aku dan dua orang teman ku yang ronda malam itu. Tapi karena hujan yang turun cukup deras, kedua temanku tersebut belum datang.

Pos ronda tersebut terletak di gerbang masuk ke perumahan tempat kami tinggal. Dari situ, kami bisa melihat lalu lalang kendaraan di jalan raya. Namun malam itu, karena hujan yang sangat deras, hampir tidak ada kendaraan yang berlalu lalang seperti biasa.

Dalam kesendirian, aku menatap rintik-rintik hujan yang jatuh begitu deras membasahi jalan. Pikiran ku melayang entah kemana. Perjalanan hidup ku begitu berat. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa, untuk mengubahnya.

Saat aku terhanyut dalam lamunan ku yang tak berarah, tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti secara mendadak di persimpangan gang menuju perumahan kami. Tak lama kemudian, seorang wanita paroh baya, turun dengan tergesa dari mobil tersebut.

Setelah wanita itu turun, mobil itu pun kembali melaju di jalan raya, dengan kecepatan tinggi. Sementara wanita tadi terus berlari menuju pos ronda tempat aku berada. Wanita itu mulai kelihatan basah kuyup, karena di timpa hujan yang begitu deras.

Sesampai di pos ronda, aku melihat wanita itu sedikit terisak. Sepertinya ia habis menangis. Matanya terlihat sedikit memerah. Wajahnya terlihat kusut dan berantakan.

"tante Mirna?" sapa ku, setengah tak yakin.

Wanita itu pun menolah pada ku. Ia berusaha mengusap air mata di pipinya. Lalu ia pun berusaha untuk tersenyum, menyadari siapa yang memanggilnya.

"eh.. kamu Ferdy... lagi giliran ronda ya?" suara tante Mirna sedikit serak.

"iya, tante.." balasku dengan seulas senyum ramah.

Tante Mirna segera duduk di atas pos ronda, lalu ia pun menyalakan sebatang rokok.

"kamu sendirian?" tanya tante Mirna kemudian, berusaha bersikap santai.

"harusnya sih bertiga, tante. Tapi karena hujan yang dua lagi belum datang, bahka mungkin gak bakalan datang.." balasku berusaha akrab.

Tante Mirna memang tinggal di perumahan tersebut. Rumahnya hanya berjarak lima buah rumah dari rumah tempat aku tinggal. Aku juga sudah cukup lama mengenal tante Mirna. Biasanya setiap kami giliran ronda, tante Mirna memang selalu mampir di pos ronda, dengan membawa beberapa makanan, untuk kami.

Sebagai wanita yang tinggal sendirian di perumahan tersebut, tante Mirna memang tidak punya seseorang yang ia utus untuk tugas ronda. Karena itu, sebagai warga yang baik, tante Mirna selalu berkontribusi dengan membelikan kami, para petugas ronda , makanan hampir setiap malamnya.

Tante Mirna memang tinggal sendiri, ia juga seorang janda tanpa anak. Usianya mungkin sudah kepala empat. Tapi tante Mirna masih kelihatan cantik dan seksi. Ia sudah lama tinggal sendirian. Setidaknya begitulah sedikit hal yang aku ketahui tentang tante Mirna, dari cerita para tetangga.

Pernah tersiar kabar, bahwa tante Mirna adalah istri simpanan seorang pejabat. Namun kabar tersebut, tidak pernah terbukti. Karena tidak pernah sekali pun, tante Mirna pernah membawa laki-laki ke rumahnya.

"tante mau saya antar pulang?" tanya ku berbasa-basi, karena aku lihat tante Mirna begitu murung. Tatapannya kosong.

"masih hujan, Fer. Nanti aja, tunggu hujannya reda.." balas tante Mirna pelan.

"tapi hujannya masih lama kayaknya, Tante. Dan ini juga sudah larut malam. Saya juga sudah mau pulang. Tante pakai aja jaket saya, biar gak terlalu basah." ucapku selanjutnya.

Jarak rumah tante Mirna dari pos ronda memang masih sekitar 500 meter lagi. Sementara rumah ku sendiri masih lima buah rumah lagi setelah rumah tante Mirna. Karena itu, aku berusaha membujuk tante Mirna untuk segera pulang.

"baiklah, Fer. Saya juga sudah mulai menggigil karena kedinginan.." balas tante Mirna akhirnya.

****

Kami berjalan beriringan dengan langkah cepat menuju rumah tante Mirna. Tante Mirna menyelimutkan jaket yang aku berikan padanya ke tubuhnya, sambil terus berlari-lari kecil. Hujan turun semakin deras. Suara gemuruh juga terdengar silih berganti di langit sana.

Tak lama kemudian, kami pun sampai di rumah tante Mirna. Ia segera membuka pintu dan langsung masuk ke rumahnya. Aku jadi ragu, mau langsung pulang atau harus menunggu jaket ku yang di pinjam tante Mirna?

Saat aku hendak melangkah pergi, tiba-tiba tante Mirna muncul kembali di ambang pintu. Kali ini ia membawa sebuah handuk, baju kaos dan celana kering.

"ini.. kamu ganti pakaian mu dulu..." ucap tante Mirna, sambil menyodorkan pakaian tersebut pada ku.

"gak usah, tante. Saya langusng pulang aja. Saya ganti baju di rumah aja.." balas ku cepat.

"ayolah, Fer. Kamu temani tante ngobrol dulu. Nanti kalau hujannya udah reda, kamu baru pulang, ya.." ucap tante Mirna, dengan nada sedikit memohon.

Karena merasa tidak enak menolak hal tersebut, aku pun segera mengambil pakaian dan handuk tersebut. Lalu kemudian aku melangkah menuju kamar mandi yang berada di belakang. Sementara tante Mirna juga masuk ke kamarnya, untuk berganti pakaian.

Setelah berganti pakaian, aku pun kembali ke ruang tamu. Di situ sudah ada tante Mirna duduk dengan santai di kursi tamu. Di atas meja terdapat beberapa cemilan dan juga dua gelas teh hangat. Tante Mirna ternyata sudah mempersiapkan semuanya.

Tanpa menunggu perintah dari tante Mirna, aku pun segera duduk di hadapan tante Mirna, dengan senyum kikuk. Terus terang aku merasa sedikit grogi. Apa lagi tante Mirna hanya memakai baju tidur. Rambutnya yang panjang sebahu, ia biarkan terurai, karena masih basah. Senyumnya terlihat penuh pesona.

"maaf ya, Fer. Harus menahan kamu sebentar dulu di sini, karena tante lagi butuh teman untuk bercerita, setelah kejadian pahit yang baru saja tante alami tadi..." ucap tante Mirna, setelah ia mempersilahkan aku meminum teh nya.

"iya, tante. Gak apa-apa. Tapi kejadian pahit apa yang baru saja tante alami?" tanyaku jadi penasaran.

Lalu tante Mirna pun bercerita, bahwa ia baru saja putus dari pacarnya. Pacarnya yang seornga pengusaha tersebut, ternyata telah membohonginya selama ini. Pacarnya mengaku kalau ia sudah bercerai dari istrinya, tapi ternyata tidak. Ia hanya sekedar memanfaatkan tante Mirna. Menjadikan tante Mirna, hanya sebagai pelampiasannya semata.

"begitulah, Fer. Setelah tante tahu semua itu, tante pun meminta putus darinya. Tapi ia tidak terima, dan malah marah-marah padaku." tante Mirna mengakhiri ceritanya.

"jadi yang antar tante tadi orang itu?" tanya ku kemudian.

"iya, Fer. Karena itu, ia tidak mau mengantar tante sampai ke rumah. Ia marah, karena aku minta putus darinya." balas tante Mirna.

Hujan di luar pun mulai reda. Jam sudah menunjukan pukul satu malam.

"terima kasih ya, Fer. Sudah mau mendengarkan cerita saya.." ucap tante Mirna selanjutnya.

"iya, tante. Sama-sama. Kalau begitu saya pamit dulu ya, tante. Mumpung hujannya udah mulai reda." balasku kemudian.

"kamu gak menginap di sini aja?" tawar tante Mirna.

"gak usah tante. Gak enak dilihat tetangga, saya bangun pagi-pagi disini.." balasku polos.

"ya udah.. kamu hati-hati, ya.." ucap tante Mirna lagi.

Lalu kemudian aku pun pamit. Meninggalkan tante Mirna, yang masih terlihat sedih.

****

Sejak malam itu, aku dan tante Mirna jadi sering ngobrol. Ia jadi sering menelpon ku. Ia jadi sering bercerita banyak hal padaku. Kami pun menjadi dekat.

Setiap pulang kerja, tante Mirna selalu mampir di pos ronda, terutama saat aku giliran ronda. Ia sengaja membelikan makanan spesial untuk ku. Hal itu membuat aku menjadi merasa di perhatikan.

Bahkan bukan cuma itu. Tante Mirna juga sering membelikan aku barang-barang mewah. Seperti jam tangan, sepatu, atau pun baju.

Aku tidak pernah tahu, apa pekerjaan tante Mirna sebenarnya. Aku juga tidak berani mempertanyakan hal tersebut padanya. Dan aku juga tidak peduli, karena itu bukan urusan ku. Hanya saja aku merasa, tante Mirna sudah terlalu baik padaku.

"kenapa tante begitu baik padaku?" tanyaku suatu malam, saat itu kami ngobrol berdua lagi di pos ronda. Kebetulan malam itu, teman-teman ronda ku belum datang.

"karena kamu orang baik, Ferdy. Tante suka pemuda seperti kamu. Tidak pernah memandang rendah orang lain, dan tidak pernah mau ikut campur urusan orang lain.." balas tante Mirna.

"tapi saya jadi gak enak sama tante, saya gak bisa balas apa-apa.." ucapku lagi.

"sebenarnya tanpa kamu sadari, kamu sudah membalas semuanya, Ferdy. Kamu sudah mampu membuat aku melupakan segala kejadian pahit yang aku alami. Kamu selalu ada saat aku butuh. Kamu mampu mengusir rasa kesepian ku, selama ini.." balas tante Mirna terdengar tulus.

"tapi tetap saja, aku merasa berhutan budi sama tante.." ucapku pelan.

"kalau begitu, bagaimana kalau nanti malam, sepulang ronda, kamu mampir ke rumah tante.." balas tante Mirna.

"ada apa, tante? Kenapa aku harus mampir?" ucapku penuh tanya.

"kamu benar-benar lugu, Ferdy. Hal itu yang membuat tante jadi semakin suka sama kamu.." balas tante Mirna.

Kali ini aku hanya terdiam. Tidak tahu harus berkata apa.

"kalau kamu memang merasa berhutang budi, ada satu hal harus kamu lakukan untuk tante." ucap tante Mirna kemudian.

"apa?" tanya ku benar-benar polos.

"makanya nanti kamu harus mampir ke rumah tante, biar kamu tahu, ya.." balas tante Mirna, seperti penuh harap.

"baiklah, tante. Nanti saya akan mampir.." ucapku akhirnya.

****

Malam itu, dengan perasaan yang tak karuan, aku pun mampir ke rumah tante Mirna. Ia menyambutku dengan penuh senyum.

"jadi... apa yang harus saya lakukan, tante? Untuk membalas semua kebaikan tante selama ini?" tanya ku langsung, saat kami sudah duduk di ruang tamu rumah tante Mirna.

"kamu benar-benar tidak mengerti apa yang tante inginkan dari kamu, Fer?" tante Mirna balas bertanya.

"saya benar-benar tidak mengerti, tante.." balasku polos.

"oke.. jadi gini... sebenarnya... tante suka sama kamu, Ferdy. Kamu tampan dan gagah. Kamu juga masih begitu polos. Tante jadi penasaran sama kamu. Apa kamu mau, jadi pacar tante?" ucap tante Mirna dengan sangat blak-blakan.

Aku terdiam sesaat. Aku bukanya tidak tahu, akan hal tersebut. Dari awal aku sudah menduganya. Tapi.. aku sendiri tidak mengerti dengan perasaanku terhadap tante Mirna. Ia begitu baik padaku. Namun, ia juga sudah cukup tua, untuk aku jadikan pacar. Rasanya hal itu gak mungkin.

"kalau kamu memang merasa keberatan untuk jadi pacar tante, gak apa-apa kok, Fer. Tapi.. izinkan malam ini saja. Sekali ini saja, kamu mau ya... t!dur sama tante. Setelah itu terserah kamu. Karena tante memang benar-benar merasa penasaran sama kamu, Fer. Tante mohon, ya.." ucap tante Mirna lagi, dengan nada penuh harap.

"saya tidak tahu bagaimana perasaan saya terhadap tante. Jujur, di mata saya, tante terlihat masih sangat cantik. Tapi.... kalau untuk jadi pacar, rasanya saya belum siap... Namun.. karena tante sudah sangat baik sama saya selama ini, saya mau, kok. Tapi hanya sekali ini saja. Bukan sebagai pacar, hanya sebagai ucapan terima kasih saya.." balasku akhirnya.

Dan begitulah, malam itu, tante Mirna berhasil membuat saya harus melepaskan kep3r-j*kaan saya, sesuatu yang selama ini berusaha untuk saya pertahankan.

Aku memang masih lugu, aku memang masih polos, karena itu aku pun membiarkan saja semua itu terjadi. Setidaknya hal itu, cukup menambah pengalaman bagi ku. Sebuah pengalaman baru dalam hidupku.

****

Sudah lebih dari seminggu, sejak kejadian malam itu, tante Mirna tidak pernah lagi menghubungi ku. Ia juga tidak pernah terlihat di pos ronda seperti biasa. Tiba-tiba saja, ia menghilang, tanpa kabar.

Aku mencoba untuk tidak peduli akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, itu bukan urusan ku. Namun hati kecil, selalu bertanya-tanya, dimana tante Mirna sekarang? Kenapa dia tak pernah menghubungi ku lagi?

Ah, tiba-tiba saja, aku merasa rindu padanya. Pengalaman pertama ku dengannya, benar-benar menumbuhkan kesan yang begitu dalam di hati ku. Aku jadi sulit untuk melupakannya.

Karena itu, aku pun mencoba untuk menghubungi tante Mirna. Tapi ternyata nomornya sudah tidak aktif. Rumahnya juga sudah beberapa hari ini, tidak pernah terbuka. Aku mencoba bertanya kepada beberapa orang, namun tidak seorang pun yang tahu, kemana tante Mirna.

Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan sudah lebih dari tiga bulan berlalu, namun tetap saja tidak ada kabar apa pun dari tante Mirna. Nomornya juga tidak pernah aktif. Aku benar-benar merasa kehilangan tante Mirna. Kenapa dia pergi disaat aku mulai menyukainya?

Sampai pada suatu hari, aku menerima sebuah pesan dari nomor yang tidak aku kenal.

"buat Ferdy. Ini tante Mirna. Maafkan tante ya, Fer. Tante harus pergi. Tante pergi tanpa memberi tahu kamu. Karena tante perginya juga buru-buru waktu itu. Dan maafkan tante juga, karena baru mengabari kamu sekarang."

"saat ini, tante sudah pindah keluar kota, dan rumah yang disana dalam proses penyitaan. Tante terpaksa pindah, karena tidak mau masuk penjara, akibat hutang tante yang tidak bisa tante lunasi. Jadi mulai sekarang, kita tidak akan pernah bertemu lagi. Tante tidak akan mengganggu kamu lagi. Selamat tinggal, Ferdy..."

Begitu kira-kira pesan yang aku terima dari nomor yang tidak kenal tersebut. Aku coba menghubungi nomor tersebut, tapi sudah tidak aktif. Aku coba membalas pesan tersebut, tapi tidak terkirim.

Pada akhirnya, aku hanya bisa pasrah. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tante Mirna sudah memutuskan untuk perg. Ia pergi, saat aku mulai menyayanginya. Namun aku harus bisa melepaskan kepergiannya. Biar bagaimana pun, kami tidak akan pernah bertemu lagi. Apa lagi mengingat, kasus yang sedang di hadapinya saat ini.

Aku pun akhirnya tahu, siapa tante Mirna sebenarnya. Ternyata selama ini, ia adalah seorang penjual barang-barang antik. Tapi usahanya tidak berjalan mulus. Ia sempat menjual barang palsu, dan ketahuan. Sehingga ia harus berurusan dengan pihak berwajib.

Tante Mirna juga memiliki hutang pada pihak bank, yang mengakibatkan rumahnya harus di sita.

Kini, tiada siapa pun yang tahu dimana keberadaan tante Mirna. Berbagai pihak sedang mencarinya. Ia sangat berani, untuk sekedar mengirimkan pesan padaku. Namun hal itu, tidak pernah aku ceritakan pada siapa pun.

Biarlah apa yang terjadi antara aku dan tante Mirna, hanya akan menjadi sebuah rahasia dalam perjalanan hidupku. Akan aku jadikan sebagai pengalaman yang berharga, yang tidak akan pernah aku lupakan.

Semoga saja, tante Mirna bisa menemukan jalan keluar dari persoalan yang sedang ia hadapi. Semoga saja, aku bisa melanjutkan hidupku seperti biasa.

Yah.. semoga saja.

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate