Panggil aku Andi, dan ini adalah kisahku.
Aku seorang anak tunggal dari pasangan seorang pengusaha kaya dan seorang wanita karir.
Kehidupanku memang terbilang cukup mewah dan serba berkecukupan.
Tinggal di rumah gedongan dan punya mobil mewah pribadi, hadiah ulang tahun ke 20 dari papaku.
Mama dan papa memang cukup memanjakanku, meski sebenarnya aku tidak terlalu menyukai hal tersebut.
Sebagai seseorang yang mulai beranjak dewasa, aku butuh yang namanya kebebasan.
Dan dibalik kehidupanku yang serba wah tersebut, aku punya suatu rahasia.
Rahasia yang selama ini hanya aku pendam sendiri.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan Arkan.
Arkan adalah seorang laki-laki sempurna di mataku. Wajahnya tampan dengan postur tubuh yang atletis.
Sejak pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Arkan, aku sudah jatuh hati padanya.
Gayung pun bersambut, Arkan juga ternyata seorang yang sakit sepertiku. Dan dia juga tertarik padaku.
Kami pun akhirnya menjalin hubungan asmara secara diam-diam.
Arkan adalah salah seorang karyawan di perusahaan papaku.
Usianya sudah mendekati kepala tiga.
Sejak berpacaran dengan Arkan, aku jadi punya tujuan hidup.
Aku sangat menyayangi Arkan, hingga aku rela melakukan apa saja untuknya.
Aku ingin selalu membuat Arkan merasa bahagia dan nyaman saat bersamaku.
Aku bahkan sering memberi Arkan hadiah-hadiah mewah, tentu saja dari uang jajan yang di jatahkan papa untukku.
Bahkan barang-barang mewah yang aku hadiahkan untuk Arkan, harganya bisa mencapai jutaan rupiah, bahkan melebihi dari gaji Arkan sebulan.
Segala pengorbananku itu, aku lakukan hanya untuk membuktikan bahwa betapa aku sangat mencintai Arkan.
"motorku sekarang sudah sering mogok-mogok, Ndi. Kayaknya aku butuh motor baru deh.." ucap Arkan suatu malam, saat kami bertemu di sebuah kamar hotel.
"sabar ya, bang. Nanti aku coba minta uang sama papa. Kalau dapat, aku belikan bang Arkan motor baru ya.." balasku manja.
"gak usah, Ndi. Aku cuma sekedar pengen cerita, kok. Gak ada maksud apa-apa.." Arkan berujar lagi.
"gak apa-apa, bang. Yang penting bang Arkan bahagia. Aku pasti akan rela melakukan apa pun demi abang.." balasku lagi.
"kalau memang kamu bersikeras, ya apa boleh buat, Ndi. Tapi aku gak minta loh.." ucap Arkan, sambil ia meraih jemariku lembut.
Aku tahu, Arkan tidak meminta secara langsung hal tersbebut. Tapi aku juga tahu, kalau Arkan sangat ingin aku membelikannya motor baru.
Dan aku tidak merasa keberatan, selama hal itu bisa membuat Arkan bahagia.
*****
Waktu terus berputar, dan sudah lebih dari setahun aku dan Arkan berpacaran.
Sudah sangat banyak juga pengorbanan yang aku lakukan untuk Arkan.
Namun akhirnya semua itu hanyalah sebuah pengorbanan yang sia-sia.
Aku akhirnya mengetahui, kalau ternyata diam-diam Arkan juga menjalin hubungan dengan seorang wanita.
Mereka pacaran bahkan sudah hampir setahun.
Selama ini, Arkan ternyata hanya memanfaatkanku, untuk menguras uangku.
Aku sangat kecewa mengetahui hal tersebut.
Tidak pernah aku sangka sebelumnya, kalau Arkan tega menipuku.
Ia hanya berpura-pura mencintaiku, untuk mendapatkan hadiah-hadiah mewah dariku.
Aku terhempas kecewa. Untuk pertama kalinya aku merasakan indahnya berpacaran, justru semua harus berakhir dengan luka yang sangat dalam.
Beberapa hari aku hanya mengurung diri di kamar. Aku kehilangan gairah.
Tak mudah bagiku untuk melupakan Arkan. Cintaku padanya sudah terlalu amat dalam.
"Andi pengen pergi liburan, Ma.." ujarku kepada mama, saat kami makan malam.
"liburan? bukannya sekarang belum musim liburan, Ndi?" tanya mama.
"Andi lagi suntuk dikota, Ma. Andi pengen sekedar menenangkan pikiran, kok. Boleh ya ma..?" pintaku sedikit memohon.
Aku memang berencana untuk pergi beberapa hari dari kota ini. Aku tidak ingin terus berada di sini. terlalu banyak kenangan yang terjadi disini.
Aku berharap, dengan pergi liburan beberapa hari, aku bisa belajar untuk melupakan Arkan.
"kalau kamu memang ingin menenangkan pikiran, mama cuma kasih izin sama kamu, untuk liburan di villa kita yang berada di puncak.." mama berucap juga akhirnya.
Sebenarnya aku ingin pergi liburan ke tempat yang belum pernah aku kunjungi sama sekali.
Tapi aku tahu mama, jika ia sudah berkata demikian, maka tidak akan ada yang bisa mengubah keputusannya.
Jadi lebih baik aku setuju saja dengan permintaan mama tersebut. Setidaknya itu jauh lebih baik, dari pada aku terus berasa di sini.
"mama akan telpon mas Gandhi, untuk mengabari kalau kamu akan kesana.." ucap mama lagi, setelah aku menyetujui permintaannya.
"mas Gandhi siapa, ma?" tanyaku penasaran.
"mas Gandhi yang menjaga villa kita disana, ia penjaga baru.." jawab mama, sambil mulai memainkan handphone-nya.
Aku gak tahu, kalau penjaga villa kami sudah diganti.
Dulu penjaga villa kami bernama pak Udin, seorang laki-laki tua.
Tapi memang sudah lebih dari tiga tahun, aku tidak pernah ikut mama dan papa pergi liburan ke villa kami tersebut.
*****
Aku menyetir mobilku sendiri, menuju puncak tempat villa kami berada.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tujuh jam, aku akhirnya sampai ketujuan.
Lebih dari tiga tahun, aku tidak pernah lagi datang kesini.
Suasananya masih sama seperti dulu. Sepi, sejuk dan terasa nyaman.
Saat aku keluar dari mobil, seorang laki-laki paroh baya menghampiriku.
"mas Andi, ya?" tanya laki-laki tersebut.
"iya, mas. Dan mas, pasti mas Gandhi ya?" balasku ringan.
Laki-laki tersebut bertubuh sedikit jangkung. Kulitnya sawo matang.
Matanya coklat, dengan hidung yang sedikit mancung. Rahangnya terlihat kokoh.
Mas Gandhi terlihat kekar dan gagah. Ia jauh lebih muda dari yang aku bayangkan.
Meski tidak terlalu tampan, namun wajah mas Gandhi tidak membosankan untuk dilihat.
Mas Gandhi kemudian membantuku membawa barang bawaanku masuk ke dalam villa.
"mas Gandhi tinggal di sini?" tanyaku. ketika sudah berada di dalam.
"gak, mas. Tapi rumahku gak jauh kok dari sini. Nanti kalau mas Andi ada perlu apa-apa panggil aja saya.." balas mas Gandhi terdengar sangat sopan.
"mas Gandhi udah nikah?" tanyaku lagi, sekedar ingin tahu.
"udah, mas. Saya malah udah punya dua anak.." jawab mas Gandhi.
"kalau boleh tahu, mas Gandhi usia berapa sekarang?" aku bertanya kembali.
"udah 33 tahun, mas." jawab mas Gandhi.
Aku kemudian hanya manggut-manggut. Padahal menurutku mas Gandhi masih kelihatan seperti baru berusia 25 tahun.
"kalau gak ada lagi yang ditanyakan, saya permisi, mas.." ucap mas Gandhi kemudian.
Aku merenung sejenak. Awalnya aku memang pengen sendirian, dan tak ingin diganggu oleh apa pun dan oleh siapa pun.
Namun dari awal melihat mas Gandhi tadi, aku tiba-tiba berubah pikiran.
Mas Gandhi cukup menarik secara fisik. Meski aku tahu ia sudah menikah dan sudah punya anak.
Tapi gak salahnya, kalau aku meminta mas Gandhi untuk menemaniku, meski hanya sekedar untuk teman ngobrol.
"mas Gandhi sibuk gak?" tanyaku akhirnya.
"emang kenapa, mas?" mas Gandhi balik bertanya.
"saya lagi butuh teman buat ngobrol, kalau mas Gandhi mau kita ngobrol-ngobrol disini dulu ya.." ucapku meminta.
"kalau mas Andi yang minta seperti itu, saya mana berani menolak, mas. Mama mas udah pesan tadi, agar saya bisa memenuhi apa pun permintaan mas Andi selama disini.." balas mas Gandhi.
"ya udah, kita ngobrol di belakang aja ya, lebih adem kayaknya.." ujarku, sambil mulai melangkan menuju bagian belakang villa tersebut.
Di bagian belakang villa, memang terdapat semacam teras tempat duduk-duduk dengan pemandangan alam yang indah.
*****
"seperti yang mas Gandhi katakan tadi, kalau mama meminta mas untuk memenuhi apa pun permintaan saya selama disini, itu artinya saya boleh meminta beberapa hal pada mas Gandhi?" aku berujar setelah kami duduk di teras belakang villa.
"iya, mas. Selagi saya mampu, pasti saya penuhi, kok.." balas mas Gandhi.
"ada beberapa permintaan saya sama mas Gandhi.." ucapku pelan.
"permintaan apa, mas?" tanya mas Gandhi cepat.
"pertama, saya pengen mas Gandhi jangan memanggil saya pakai mas, cukup Andi saja.." ujarku sedatar mungkin.
"baik, mas. eh... Ndi.." jawab mas Gandhi terdengar kaku.
"anggap saja saya ini temannya mas Gandhi, atau anggap adik juga boleh.." ucapku mulai santai.
Bertemu dengan mas Gandhi, membuatku jadi sedikit bisa melupakan tentang Arkan.
Rasa sakit itu terasa mulai berkurang, apa lagi mas Gandhi sangat asyik untuk diajak ngobrol.
"kedua, saya ingin mas Gandhi menemani saya tidur malam ini. Karena saya merasa takut harus tidur sendirian di villa ini.." aku berucap lagi, sambil melirik mas Gandhi yang duduk tak jauh di sampingku.
"baik, Ndi. Berarti malam ini saya harus tidur di sini?" balas mas Gandhi sedikit bertanya, seperti meyakinkan dirinya sendiri.
"bukan hanya tidur disini saja, tapi juga mas Gandhi harus tidur seranjang dengan saya.." ucapku lagi.
"tapi, Ndi. Saya.. saya.. " suara mas Gandhi terbata.
"udah.. mas Gandhi ikuti saja perintah saya. Saya gak bakal gigit, kok. Paling gigit-gigit dikit aja.." ujarku dengan nada sedikit bercanda.
"ah, kamu bisa aja, Ndi. Tapi emang gak apa-apa, saya tidur seranjang sama kamu? Saya tidur di bawah aja gak apa-apa. Atau di ruang tengah juga gak apa-apa.." balas mas Gandhi terdengar mulai akrab.
"pokoknya, saya pengen mas Gandhi tidur seranjang dengan saya malam ini..." ucapku berusaha tegas.
Kali ini mas Gandhi hanya terdiam, kemudian mengangguk pelan.
*****
Malam pun datang, mas Gandhi muncul kembali ke villa, setelah ia pamit pulang sebentar untuk memberi tahu keluarganya, sekaligus membawakan makan malam untuk kami.
Setelah mandi dan makan malam, saya langsung mengajak mas Gandhi untuk masuk ke kamar.
"saya lumayan capek, mas. Jadi mau langsung istirahat aja.." ucapku ringan.
Mas Gandhi yang masih kelihatan sungkan, mengikutiku masuk ke dalam kamar tersebut.
Sesampai di dalam, aku langsung merebahkan tubuhku di atas ranjang yang empuk tersebut.
"kamu mau saya pijit gak?" tanya mas Gandhi tiba-tiba, saat ia mulai duduk di sisi ranjang.
"mas Gandhi bisa mijit?" tanyaku.
"dikit-dikit bisa lah, mas.." jawab mas Gandhi mantap.
"ya udah, saya senang malah kalau ada yang mau mijat.." aku berujar, sambil mulai bangkit untuk melepaskan sebagian pakaianku.
Dengan hanya memakai celana pendek, aku mulai tengkurap di ranjang. Sesuai dengan instruksi mas Gandhi.
Mas Gandhi pun mulai memijat bagian kakiku. Pijatannya terasa enak dengan tekanan yang pas.
Aku merasa nyaman dan rileks. Pikiranku jadi terasa lebih ringan.
Mas Gandhi benar-benar pandai memijat. Setiap pijatannya di tubuhku membuatku semakin terasa nyaman.
Sentuhan-sentuhannya benar-benar terasa, bukan seperti tukang pijat abal-abal yang banyak aku temukan di kota.
"makasih ya, mas Gandhi.." ucapku pelan, ketika mas Gandhi mengakhiri pijatannya.
"iya, Ndi. Sama-sama. Sekarang udah rileks kan?" balas mas Gandhi sedikit bertanya.
"udah, mas. Udah enakan rasanya badanku.." balasku.
Mas Gandhi kemudian berbaring di sampingku. Tubuh kami hampir berdempetan.
"saya mau cerita sesuatu sama mas Gandhi. Tapi mas Gandhi jangan kaget, ya. Dan jangan ceritakan hal ini pada siapa pun.." ucapku kemudian.
Aku memang berniat untuk bercerita tentang Arkan kepada mas Gandhi. Aku mungkin memang butuh tempat untuk berbagi cerita.
Aku berharap, dengan meluahkan semua perasaanku tentang Arkan bisa sedikit mengurangi rasa sakit dihatiku.
Setidaknya dengan begitu, bebanku akan menjadi sedikit berkurang.
"cerita aja, Ndi. Saya siap kok mendengarkannya.." balas mas Gandhi.
Aku menatap mas Gandhi beberapa saat, sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau mas Gandhi adalah orang yang tepat untukku berbagi cerita. Apa lagi ini sebuah cerita rahasia.
Setelah merasa cukup yakin, aku pun memulai ceritaku.
Aku melihat reaksi keterkejutan pada wajah mas Gandhi, saat aku mengatakan kalau aku adalah seorang gay.
Tapi aku coba mengabaikan hal tersebut, dan memilih untuk tetap melanjutkan ceritaku.
*****
Pada malam kedua aku di villa tersebut, aku masih meminta mas Gandhi untuk menemaniku tidur.
Meski aku tahu, mas Gandhi mulai risih untuk dekat-dekat denganku, setelah mengetahui siapa aku sebenarnya.
Namun aku tahu, mas Gandhi tidak akan bisa menolak permintaanku.
"saya suka sama mas Gandhi.." ucapku nekat.
Aku memang menyukai sosok mas Gandhi. Bukan saja karena ia sangat menarik secara fisik.
Tapi terlebih, saat ini hatiku benar-benar sedang rapuh. Kekecewaanku terhadap Arkan, membuatku lebih rentan untuk tertarik pada laki-laki lain.
Apa lagi mas Gandhi memang sosok yang menarik.
Kehampaan dan kekosongan hatiku telah membuat kehadiran mas Gandhi menjadi istimewa bagiku.
"tapi saya bukan gay, Ndi. Saya juga sudah menikah dan punya anak.." balas mas Gandhi akhirnya.
"iya, aku tahu, mas. Tapi ketertarikanku pada mas Gandhi sudah tidak bisa aku sembunyikan lagi. Aku menginginkan mas Gandhi malam ini.." ucapku membalas.
"bagaimana kalau saya gak mau, Ndi?" tanya mas Gandhi kemudian.
"itu hak mas gandhi. Saya hanya mencoba untuk jujur, mas. Meski saya tahu, saya akan menelan kepahitan untuk yang kedua kalinya.." balasku terdengar lemah.
"mungkin sudah nasib saya seperti ini, mas. Punya pacar, tapi hanya dimanfaatkan. Menyukai seseorang, tapi malah ditolak.." lanjutku masih dengan nada lemah.
Mas Gandhi menatapku beberapa saat, kemudian berujar ..
"saya... saya... saya... hanya tidak tahu.. harus ngapain, mas.." suara mas Gandhi terbata.
"mas gak harus ngapa-ngapain, kok. Dan mas juga gak harus memaksakan diri.." balasku ringan.
"saya.. saya juga penasaran sih sebenarnya, Ndi. Bagaimana rasanya melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki.." suara mas Gandhi sedikit parau.
"mas yakin mau mencobanya?" tanyaku, sambil menatap wajah mas Gandhi.
"kalau itu bisa membuat kamu merasa senang dan bahagia, Ndi. Saya mau mencobanya.." balas mas Gandhi.
Aku tak melepaskan tatapan dari wajah yang tiba-tiba saja terlihat sangat tampan dimataku malam itu.
Aku tahu, mas Gandhi bersedia melakukan hal tersebut denganku, bukan hanya karena rasa penasarannya, tapi juga karena rasa kasihannya melihatku.
"ya udah, mas. Kalau gitu kita coba ya.." ucapku akhirnya.
Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut, terlepas dari apa pun alasan mas Gandhi untuk melakukannya.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki normal dan sudah menikah.
Ada banyak perbedaan yang aku rasakan malam itu. Ada banyak perubahan yang aku rasakan malam itu.
Segala bayangan tentang Arkan tiba-tiba memudar. Hatiku tiba-tiba merasa lega.
Rasa sakit karena ditipu oleh Arkan, telah terganti dengan rasa indah yang diberikan mas Gandhi.
Tidak sia-sia aku datang ke villa ini. Bukan saja aku akhirnya berhasil melupakan Arkan, tapi aku juga mendapatkan sebuah sensasi keindahan yang luar biasa.
Meski aku cukup menyadari, bahwa keindahan yang aku rasakan dari mas Gandhi bisa saja hanya bersifat sementara.
Tapi paling tidak sekarang aku punya tujuan baru dalam hidupku.
Ya, mas Gandhi telah mampu merasuki jiwa dan pikiranku. Aku semakin terlena dengan buaian cintaku kepada mas Gandhi, si penjaga villa tersebut.
*****
Malam-malam selanjutnya aku dan mas Gandhi semakin sering melakukannya.
Mas Gandhi tidak lagi merasa canggung saat bersamaku. Ia sepertinya juga turut larut dalam keindahan cinta yang aku curahkan untuknya.
Sampai seminggu kemudian, mama pun memintaku untuk segera pulang.
Dengan perasaan berat harus berpisah dengan mas Gandhi aku pun kembali ke kota.
Aku kembali ke kota, dengan perasaan yang berbeda.
Aku punya semangat baru. Aku punya tujuan baru. Dan aku punya cinta baru di hatiku.
Segala hal tentang Arkan kini telah berlalu. Ia hanyalah sepenggal cerita pilu di masa laluku.
Kini aku akan memulai hidupku yang baru.
Aku sekarang juga punya rutinitas baru, yakni mengunjungi mas Gandhi di setiap sabtu sore.
Aku menginap dan tidur bersama mas Gandhi setiap malam minggu, dan sore minggu aku baru kembali ke kota.
Aku tak tahu, entah sampai kapan hubungan terlarangku dengan mas Gandhi akan terus berjalan.
Namun selama mas Gandhi bersedia untuk menerima kehadiranku, maka aku akan selalu setia mengunjunginya.
"aku mulai menyukai kamu, Ndi. Aku berharap hubungan kita tetap bertahan selamanya.." begitu ucapan mas Gandhi suatu malam padaku.
Ucapan yang membuatku kian berbunga. Yang membuatku kian mencintai sosok mas Gandhi.
Aku hanya berharap, semoga mas Gandhi tidak cuma untuk memanfaatkanku. Seperti Arkan dulu.
Semoga ia benar-benar mencintaiku, meski aku harus berbagi dengan istrinya.
Semoga hubungan kami tetap bertahan selamanya...
Ya, semoga saja...
******
Sekian ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar