Lelaki dari Timur

Namanya Deden. Ia salah seorang rekan kerjaku. Dan ia berasal dari Timur, tepatnya dari Pulau Sulawesi.

Sejak awal mengenal Deden, aku merasa biasa saja. Deden memang baru setahun kerja di perusahaan kami.

Deden tidak tampan, namun ia memiliki postur tubuh yang atletis dan terlihat kekar.

Kulitnya gelap, namun terlihat bersih dan terawat dengan baik.

Deden seorang perantau, ia tinggal sendiri di sebuah kamar kost.

Usia Deden sudah 27 tahun, dua tahun lebih muda dariku.

Deden satu ruangan denganku dan juga beberapa orang rekan kerja lainnya.

Kami satu ruangan memang sering makan siang bareng di kantin depan kantor tempat kami bekerja.

Setahun mengenal Deden, aku merasa mulai sering memikirkannya. Sikapnya yang tenang dan cukup pendiam, membuat Deden terlihat lebih dewasa.

Aku kadang suka memperhatikannya diam-diam.

Meski tidak tampan, namun Deden punya daya tarik tersendiri, yang membuatku sering melamunkannya saat malam hari.

Aku sendiri seorang anak bungsu dari lima bersaudara. Keempat kakak-kakakku sudah menikah dan sudah punya rumah sendiri.

Aku masih tinggal bersama kedua orangtuaku yang dua-duanya sudah pensiun.

Sebagai anak bungsu aku memang tergolong sedikit manja. Tapi aku tidak feminim, aku tipe cowok yang tergolong maskulin.

Hanya saja, sejak SMP aku sudah menyadari kalau aku adalah seorang gay.

Aku pernah jatuh cinta dan pacaran dengan laki-laki beberapa kali.

Namun sudah hampir tiga tahun belakangan ini, aku sudah sangat jarang berhubungan dengan laki-laki.

Kisah cintaku yang selalu kandas, membuatku lebih hati-hati dalam mengenal laki-laki yang ingin dekat denganku.

Tapi sejak kehadiran Deden, aku mulai merasakan kembali yang namanya jatuh cinta.

Ya, Deden dengan segala kesederhanaannya telah mampu menumbuhkan benih-benih cinta di hatiku.

Namun aku selalu berusaha bersikap wajar di depan Deden. Aku bersikap seolah-olah Deden hanyalah seorang rekan kerja, sebagaimana rekan kerjaku yang lainnya.

Hingga suatu saat, kami sekantor melakukan sebuah perjalanan rekreasi bersama.

Hal tersebut memang sudah menjadi kegiatan rutin hampir setiap tahun, sebagai bentuk apresiasi atasan kami, untuk hasil kerja kami setahun.

Perjalanan dimulai dari pagi sekitar jam tujuh dengan menggunakan sebuah bus pariwisata.

Tujuan kami kali ini berjarak kurang lebih tujuh jam perjalanan dari kota tempat kami tinggal.

Dan kali ini juga, kami mendapat jatah liburan selama dua hari. Untuk itu kami juga telah disediakan tempat menginap di sebuah hotel.

Kebetulan sekali aku dan Deden duduk satu bangku di dalam bus, selama perjalanan tersebut.

"melamun aja dari tadi, bang Aqis.." suara Deden yang duduk di sampingku sedikit mengagetkanku.

"ah, gak, kok. Cuma mencoba menikmati perjalanan ini.." balasku beralasan.

"bang Aqis lagi memikirkan pacarnya ya..?" tanya Deden dengan nada sedikit menggoda.

"saya mana punya pacar, Den..." jawabku jujur.

"ah, masa' orang setampan dan segagah bang Aqis belum punya pacar?!" Deden berujar lagi, dengan nada tak percayanya.

Aku merasa sedikit tersanjung dengan kalimat pujian yang dilontarkan Deden barusan.

"kamu bisa aja, Den. Tapi aku memang gak punya pacar..." jawabku akhirnya.

"pasti karena bang Aqis orangnya terlalu pemilih. Padahal banyak loh, cewek-cewek rekan kerja kita yang suka sama bang Aqis.." ujar Deden selanjutnya.

"itu dia masalahnya, Den.." suaraku lemah.

"masalah apa?" tanya Deden dengan kening berkerut.

"jangan bilang bang Aqis tidak suka perempuan?" Deden melanjutkan dengan nada hati-hati.

Aku menatap Deden cukup tajam.

"maaf, bang. Saya hanya mencoba bercanda, kok." Deden berucap lagi, melihat saya yang menatapnya tajam.

"kamu sendiri gimana, Den? Apa kamu sudah punya pacar?" aku berucap, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"saya mana suka perempuan, bang?" jawab Deden datar.

Aku setengah terperanjat mendengar penuturan Deden barusan. Bukan saja karena keberanian Deden untuk jujur padaku, tapi juga karena aku tak menyangka sama sekali kalau Deden ternyata juga seorang gay.

"kamu serius?" tanyaku setengah berbisik.

Para penumpang lain dalam bus memang sepertinya sedang sibuk dengan cerita mereka masing-masing. Tapi aku tetap merasa takut pembicaraan kami di dengar oleh mereka.

"saya justru suka sama abang. Sudah sejak lama malah.." Deden turut berbisik, namun kalimatnya terdengar begitu tegas.

Aku terdiam tiba-tiba. Sekali lagi aku tak menyangka, kalau Deden akan berucap demikian dengan gamblangnya.

Meski ada rasa senang dihatiku mendengar kalimat tersebut, namun aku belum cukup berani untuk jujur pada Deden tentang perasaanku padanya.

Untuk selanjutnya, kami hanya saling membisu. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran Deden saat itu, setelah ia dengan mudahnya mengungkapkan siapa dirinya dan bagaimana perasaannya padaku.

Sementara aku dengan sekuat hati menahan perasaan bahagia, memikirkan kejujuran Deden tersebut.

Aku merasa bahagia, ternyata cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Namun ini semua terlalu mudah bagiku.

Aku hanya takut, sesuatu yang mudah di dapat, akan mudah pula untuk terlepas.

Untuk itu, aku tetap memilih diam, tanpa berani berkata apa-apa lagi kepada Deden.

*****

Sesampai ditujuan, kami pun berjalan-jalan di sepanjang pantai sambil berfoto ria bersama-sama.

Untuk sesaat, cerita antara aku dan Deden tidak lagi mengganggu pikiranku.

Namun saat di hotel, perasaan itu kembali muncul di benakku.

Apa lagi, ternyata aku dan Deden tidur satu kamar.

"bang Aqis marah ya sama saya?" tanya Deden akhirnya, ketika kami sudah berada di dalam kamar hotel.

"gak. Saya gak marah kok, Den." jawabku dengan nada datar.

"tapi sejak tadi bang Aqis seperti mendiamkanku.." balas Deden lagi.

Aku kembali terdiam. Hatiku dilema.

Antara ingin jujur kepada Deden, atau tetap memilih untuk memendam perasaanku.

"bang Aqis pasti jijik ya berteman denganku sekarang?" suara Deden lemah.

"aku... aku... aku ... sebenarnya juga suka sama kamu, Den..." ucapku akhirnya dengan nada terbata.

"iya, aku tahu. Meski aku tidak begitu yakin awalnya." ucapan Deden membuatku menatapnya penuh tanya.

"aku tahu, bang Aqis selama ini diam-diam sering memperhatikanku. Karena itu juga, aku jadi cukup berani untuk jujur pada bang Aqis. Tapi melihat bang Aqis yang hanya terdiam tadi di bus, aku mulai ragu.."

"namun sekarang aku percaya, kalau sebenarnya kita saling tertarik.." Deden melanjutkan kalimatnya, ia seperti berusaha menjawab tatapan penuh tanyaku padanya.

Oh, ternyata aku tidak terlalu pintar menyembunyikan perasaanku selama ini. Atau sebenarnya Deden lebih mudah menebak pikiranku, karena kami sama-sama penyuka sesama jenis.

Namun terlepas dari itu semua, kini semuanya sudah sangat jelas.

Aku memang mencintai Deden, dan ternyata Deden juga mencintaiku.

Sejak malam itu, kami pun resmi menjalin hubungan asmara.

Cintaku dan cinta Deden akhirnya menyatu dalam sebuah ikatan asmara yang penuh dengan keindahan.

*****

Semenjak aku dan Deden pacaran, aku jadi semakin sering menginap di kost Deden. Begitu juga sebaliknya, Deden juga sering aku ajak menginap di rumahku.

Tiada hari yang kami lewati tanpa kebersamaan. Semuanya terasa indah. Bahkan teramat indah.

Cinta yang tumbuh dihati kami, benar-benar mekar dengan sempurna.

Kebahagiaan tidak bisa dibandingkan dengan apa pun.

Aku sangat mencintai Deden, demikian juga sebaliknya.

"apa yang membuat bang Aqis menyukai saya?" tanya Deden suatu malam, ketika untuk kesekian kalinya aku menginap di kost-nya.

"padahal saya orangnya jelek, hitam lagi.." lanjut Deden.

"terus terang dari dulu saya memang suka cowok yang berkulit gelap, terlihat lebih macho aja. Dan lagi pula kamu juga sangat gagah dan kekar, Den. Aku suka cowok yang berotot seperti kamu.." jawabku jujur.

"tapi saya kan tidak tampan, bang." ujar Deden lagi.

"tampang bagi saya bukanlah syarat utama. Yang penting badannya bagus dan bersih, dan yang pasti kamu orang yang baik dan juga berpikiran dewasa, Den." balasku ringan.

"padahal bang Aqis sangat tampan dan juga atletis. Saya merasa sangat beruntung bisa berpacaran dengan bang Aqis.." Deden berucap lagi, sambil ia menggenggam jemariku.

Aku membalas genggaman tangan Deden dengan erat. Tangan itu terasa hangat.

Aku memang mencintai Deden dengan apa adanya dirinya. Tubuhnya yang kekar memang selalu membuatku merindukan dekapannya.

Mencintai Deden adalah sebuah keindahan dan memiliki cintanya merupakan sebuah anugerah bagiku.

Tapi...

Ternyata semua tak berjalan seperti yang kami harapkan.

Kami memang saling mencintai, dan tak ingin terpisahkan.

Namun takdir berkata lain.

Mamaku yang sudah tua dan sering sakit-sakitan, terus memaksaku untuk segera menikah.

"mama ingin melihat kami menikah, Qis. Sebelum mama menemui ajal mama.." begitu rintih mama dalam sakitnya.

Aku tak tega melihat mama yang terus sakit-sakitan. Satu-satunya keinginan mama saat ini, ialah melihat aku menikah.

Tapi aku harus menikah dengan siapa?

Sampai saat ini yang ada dihatiku, hanyalah Deden.

Aku tak ingin menikah dengan siapapun, kecuali dengan Deden.

Tapi bagaimana mungkin hal itu bisa menjadi nyata?

Sementara sakit mama semakin parah, dan permohonannya padaku masih sama.

Sampai akhirnya mama akhirnya pun meninggal, dan aku belum juga bisa memenuhi permintaan terakhirnya.

Aku merasa sangat terpukul dengan kematian mama, namun aku merasa lebih terpukul lagi karena tidak bisa memenuhi permintaan terakhirnya.

"sabar ya, bang.." bisik Deden di telingaku, ia berusaha untuk menghiburku.

Aku memang belum menceritakan tentang permintaan terakhir mama pada Deden. Aku tak ingin Deden ikut merasakan beban yang aku tanggung.

"untuk sementara aku pengen sendirian dulu, Den. Kita gak usah ketemu dulu, ya.." pintaku kepada Deden, ketika akhirnya mama di makamkan.

Deden tidak menjawab. Namun aku yakin, kalau Deden sangat mengerti dengan keadaanku saat ini.

Meski aku juga tahu, bahwa Deden juga ingin menghiburku dan mendampingiku melewati semua ini.

Tapi saat ini, aku benar-benar ingin sendiri.

Rasa bersalahku kepada mama terus menghantuiku, bahkan mama selalu hadir dalam setiap mimpiku.

Hal itu justru semakin membuatku terus dihantui rasa bersalah, yang membuatku jadi berniat untuk segera memenuhi keinginan terakhir mama tersebut.

Karena itu aku meminta salah seorang kakakku untuk mencarikan jodoh buatku.

Kakak-kakakku tentu saja merasa senang mendengar niatku tersebut, apa lagi papa.

Mereka pun berusaha mencarikan jodoh terbaik untukku.

Sementara hubunganku dengan Deden kian terasa jauh.

Deden memang masih sering berusaha untuk menemui dan menghubungiku, namun aku selalu berusaha menghindar darinya.

Aku tidak punya banyak nyali, untuk berbicara jujur pada Deden. Tapi aku juga tidak tega meninggalkannya tanpa penjelasan apa pun.

Hal ini justru menumbuhkan dilema dihatiku.

Di satu sisi, aku ingin segera memenuhi permintaan terakhir mamaku, namun di sisi lain aku juga tidak tega membuat Deden terluka. Terlebih aku sebenarnya juga belum siap berpisah dengan Deden.

Namun aku memang harus memilih, sekalipun pilihanku akan melukai hatiku sendiri.

Dan akhirnya aku pun memutuskan untuk menceritkan semuanya pada Deden.

Deden terlihat sangat kecewa, tapi ia juga sangat mengerti dengan posisiku saat ini.

Aku dan Deden pun memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami dengan cara baik-baik dan tanpa ada rasa dendam.

Aku pun kemudian melangsungkan pernikahan dengan gadis pilihan keluargaku, meski aku tidak mencintai gadis tersebut.

Setidaknya dengan begitu, aku telah berusaha untuk memenuhi permintaan terakhir mamaku.

Meski aku harus kehilangan orang yang paling aku cintai.

Deden, cowok gelap dari timur itu, kini hanya menjadi sepenggal cerita di masa laluku.

Aku berharap semoga Deden segera menemukan kebahagiaannya sendiri.

Ya, semoga saja...

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate