Hari sudah jam sepuluh malam, saat aku memarkir motorku di teras rumah kontrakan kami.
Rasa capek mulai menggerogoti tubuhku, setelah seharian aku berkendara, untuk mengantar para penumpang dan juga terkadang mengantar pesanan makanan orang-orang yang memakai jasaku, sebagai seorang tukang ojek online.
Meski sebenarnya untuk hari ini, orderan ku cukup sepi. Dan penghasilanku hari ini juga jauh dari kata cukup.
Karena itu juga, rasa capek itu kian kuat aku rasakan.
Saat aku hendak mengetuk pintu untuk masuk ke rumah, tiba-tiba ponselku berdering ringan.
Sebuah orderan masuk ke aplikasi ojek online-ku.
Sebenarnya aku merasa malas untuk menerimanya, namun karena mengingat pendapatanku hari ini sangat minim, aku akhirnya dengan perasaan berat menerima orderan tersebut.
Sebuah orderan untuk mengantarkan makanan ke sebuah perumahan elite yang tidak terlalu jauh dari tempat aku tinggal.
Aku segera menghidupkan motorku kembali, dan menuju restoran tempat pesanan makanan itu di buat.
Sebelumnya perkenalankan namaku Radit. Aku seorang laki-laki yang sudah berusia tiga puluh tahun, saat ini.
Aku sudah menikah dan sudah punya seorang anak perempuan.
Istriku seorang guru TK yang berada tidak jauh dari tempat kami mengontrak rumah.
Secara ekonomi kehidupan rumah tangga kami, memang terbilang hanya pas-pasan.
Istriku masih seorang guru honorer, yang digaji hanya ala kadarnya.
Sementara pendapatanku sendiri, tidak menentu. Kadang-kadang cukup, dan kadang lebih sering jauh dari harapan.
Namun begitu kehidupan kami baik-baik saja, meski kami harus lebih sering menahan diri untuk tidak berbelanja sesuatu yang tidak begitu kami butuhkan.
*****
Lima belas menit kemudian, aku sampai ke restoran tersebut. Aku segera menanyakan tentang orderan dari pelangganku tersebut.
Ternyata pesanan itu masih dalam proses dimasak oleh pihak restoran. Aku masih harus menunggu beberapa saat lagi.
Aku duduk di pojok restoran tersebut, untuk sekedar menghilangkan rasa penatku.
Selang beberapa saat, pesanan itu akhirnya selesai. Aku segera membayarnya, dan segera keluar dari kafe tersebut.
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang sepuluh menit, aku akhirnya sampai di depan sebuah rumah mewah.
Rumah mewah itu memang berada di sebuah kawasan perumahan elite.
Aku menekan bel beberapa kali, hingga seorang laki-laki muda membuka pintu untukku.
Laki-laki itu hanya memakai baju kaos lengan pendek dengan celana pendeknya.
"pesanannya mas.." ujarku, sambil menyodorkan pesanan tersebut.
Laki-laki yang aku ketahui bernama Danil itu, segera mengambil bungkusan tersebut, lalu menyerahkan sejumlah uang padaku.
"ambil aja kembaliannya.." ucap laki-laki itu serak.
"makasih, mas.." balasku, dengan menyunggingkan senyum tipis.
Aku segera memutar tubuh untuk segera berlalu dari situ.
"tunggu dulu, mas.." suara laki-laki itu mencegah langkahku.
Aku kembali memutar tubuh untuk menatap laki-laki tersebut.
"ada apa lagi ya, mas?" tanyaku pelan.
Sesaat laki-laki itu terdiam. Ia menatapku cukup lama.
"mas mau uang tambahan gak?" tanya laki-laki itu kemudian.
"uang tambahan maksudnya mas?" aku balik bertanya sambil mengerutkan kening.
Laki-laki itu terdiam kembali. Ia terlihat sedang berpikir keras.
"saya mau kasih kamu uang, kalau kamu mau memenuhi permintaan saya malam ini.." ucap laki-laki itu akhirnya.
"kalau boleh tahu, permintaan mas apa ya?" tanyaku sekedar ingin tahu.
"saya mau mas Radit tidur dengan saya.." suara laki-laki itu sedikit pelan.
"maksudnya, mas?" aku bertanya kembali, keningku sedikit mengerut.
"maksud saya, saya... saya mau mas Radit melakukan hubungan intim dengan saya.." jawab laki-laki berkulit putih itu lagi.
"mas Danil gay?!" tanyaku lagi, kali ini keningku mengerut dua kali lipat dari biasanya.
"iya. Dan kebetulan saat pertama melihat mas Radit tadi, saya jadi tertarik. Saya akan bayar mas Radit berapa aja, asal mas Radit mau melakukannya denganku.." laki-laki itu menjelaskan.
Aku terdiam. Membayangkan aku berhubungan dengan Danil, aku merasa jijik.
Tapi jika ia bersedia membayarku mahal, aku harus berpikir dua kali untuk menolaknya.
Pendapatanku hari ini, sangat sedikit. Dan lagi pula, lusa aku harus membayar kontrakan rumah.
Mungkin ini kesempatanku untuk bisa mendapatkan uang yang banyak.
Tapi membayangkannya saja aku sudah mulai merasa mual.
Oh, tiba--tiba aku merasa dilema.
Harus aku akui, kalau aku bukanlah laki-laki baik-baik.
Dulu aku adalah seorang preman pasar, yang suka memeras para pedagang untuk mendapatkan sejumlah uang.
Aku juga suka mabuk-mabukan dan main perempuan, bahkan aku juga sering berjudi.
Tapi itu dulu, sebelum menikah dengan istriku yang sekarang. Apa lagi semenjak punya anak, aku mulai belajar untuk menjadi laki-laki baik dan bertanggungjawab.
Namun nasib hingga saat ini masih belum memihak padaku.
Kehidupanku dan keluargaku masih selalu kekurangan.
Kadang aku membenci segala kemiskinan ini. Kadang aku merasa, bahwa nasib yang aku jalani saat ini adalah karena balasan dari dosa-dosaku di masa lalu.
Aku memang sering merasa menyesal, karena selalu berbuat dosa selama ini.
Aku sudah bertekad untuk berubah. Aku sudah bertekad untuk memberi makan istri dan anakku dengan cara yang halal.
Namun semakin hari, kehidupan kami bukannya semakin membaik, tapi justru semakin terpuruk.
Dan sekarang tiba-tiba saja ada orang yang menawarkanku sebuah kesempatan untuk mendapatkan uang yang banyak dengan cara yang mudah.
Aku yakin, berapa pun uang yang aku minta pada Danil malam ini, ia pasti akan bersedia untuk memberikannya.
Mengingat ia adalah seorang yang sangat kaya, dan juga sangat terlihat kalau ia sangat tertarik padaku.
Tapi....
"jika mas Danil mau membayarku mahal, saya bersedia, mas. Apa lagi saat ini saya memang lagi butuh banyak uang.." ucapku akhirnya.
Kulihat Danil tersenyum menang. Tatapannya tajam menghujam mataku.
Aku merasa jengah. Perasaan geli mulai menggelitik pikiranku.
Namun demi sejumlah uang aku rela melakukan hal tersebut.
Aku tidak berpikir panjang lagi untuk menerima tawaran dari Danil. Setidaknya dengan begitu, aku tidak perlu pusing-pusing lagi mencari uang untuk membayar kontrakan rumah kami beberapa bulan ke depan.
Danil kemudian mengajakku masuk ke dalam kamarnya.
Kamar itu cukup luas dengan perabotan yang mewah.
Dan tanpa menunggu lama, Danil pun mulai melakukan aksinya.
Aku berusaha sekuat mungkin menahan rasa geli dan rasa jijikku. Yang ada dalam pikiranku saat itu, hanyalah setumpuk uang yang akan aku terima nantinya.
Hingga akhirnya aku menyadari, bahwa hal tersebut tidak seburuk yang aku bayangkan.
Ada sensasi keindahan berbeda yang aku rasakan. Sebuah sensasi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Terlebih karena Danil terlihat sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut.
*****
Aku pulang dengan tubuh yang terasa lelah. Hari sudah hampir jam satu malam.
Aku mengetuk pintu rumah dengan perasaan tak menentu. Istriku segera membuka pintu dari dalam.
"kok baru pulang, mas?" suara istriku parau.
"iya. Lagi banyak orderan.." jawabku sekedarnya.
Setelah menutup dan mengunci pintu, aku langsung menuju kamar untuk segera tidur.
Tubuhku memang terasa sangat capek.
Keesokan harinya aku kembali menjalani rutinitasku seperti biasa. Kejadian tadi malam bersama Danil, terus membayangiku.
Uang yang aku terima memang cukup banyak. Tapi bukan itu yang menjadi pikiranku saat ini.
Aku merasa telah mengkhianati istriku. Aku merasa telah menodai takdirku sebagai seorang laki-laki.
Tapi sekali lagi, aku melakukan itu semua hanya demi uang.
Namun uang itu masih aku simpan, aku tak tega memberikannya pada istriku. Seperti janjiku pada diriku sendiri, bahwa aku ingin memberi nafkah istri dan anakku dengan uang yang halal, bukan dari hasil aku jual diri.
Aku berniat untuk mengembalikan semua uang itu kepada Danil. Tapi sebagian hatiku menolak.
Aku sudah terlanjur menuruti permintaan Danil. Aku sudah terlanjur kehilangan harga diriku.
Jika aku mengembalikan uang tersebut, jelas tidak akan membuat harga diri kembali.
Ah, tiba-tiba rasa penyesalan menyeruak dalam dadaku.
Kenapa juga aku harus mau memenuhi permintaan Danil?
Kenapa aku tidak menolaknya saja?
Aku sudah terlanjur terjerumus ke dalam lembah hitam penuh dosa.
Yang membuatku kian merasa bersalah.
Tapi apa yang harus aku lakukan saat ini?
Sementara aku sangat membutuhkan uang ini, untuk membayar kontrakan rumah dan juga untuk belanja keluargaku.
*****
Aku menekan bel rumah mewah itu satu kali.
Tak lama kemudian, Danil pun muncul di ambang pintu.
"ada apa, mas Radit?" suara Danil terdengar serak.
"saya... saya ingin mengembalikan.. uang yang kamu berikan semalam.." ucapku dengan sedikit terbata.
"kenapa? Bukankah mas Radit sangat membutuhkan uang tersebut?" Danil bertanya lagi.
"saya memang sedang membutuhkan uang, Nil. Tapi tidak dengan cara seperti ini.." balasku pelan.
"terserah mas Radit, sih. Tapi saya gak mungkin menerima sesuatu yang sudah terlanjur saya berikan pada mas Radit.." Danil berucap, sambil mulai menutup pintunya kembali.
Aku hanya terdiam dan membiarkan Danil menutup pintu rumahnya.
Aku memang berniat untuk mengembalikan uang tersebut. Tapi mendengar ucapan Danil barusan, tiba-tiba saja aku berubah pikiran.
Saat aku hendak memutar tubuh untuk segera berlalu dari tempat itu, tiba-tiba pintu rumah Danil terbuka kembali.
"saya ikhlas kok, mas Radit. Dan nanti jika mas Radit butuh uang, mas Radit bisa datang kapan saja kesini.." Danil berucap dengan sedikit menyunggingkan senyum tipis.
Aku tidak membalas ucapan Danil barusan. Aku terus saja melangkah meninggalkan rumah tersebut.
Sekali lagi, aku bukan laki-laki baik-baik. Mungkin belum saatnya aku berubah menjadi laki-laki baik.
Tapi aku berjanji dalam hatiku, ini adalah pertama dan terakhir kalinya aku melakukan hal tersebut.
Ini adalah pertama dan terakhir kalinya, aku menjual diriku hanya demi uang.
Semoga saja ke depannya aku bisa jadi lebih baik.
Semoga saja tidak ada lagi dari pelangganku yang menawarkan uang seperti yang dilakukan Danil padaku.
Ya, semoga saja...
*****
Sekian...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar