Nasib cowok kampung (part 1 & 2)

Masa depan itu seperti hantu! Menakutkan!

Kalimat itu terus membayangiku setiap saat.

Aku memang merasa sudah tidak punya masa depan lagi, terutama sejak aku berhubungan dengan om Zainan suami tante Ratna.

Siapa sebenarnya om Zainan?

Bagaimana kami bisa terjerat hubungan terlarang?

Dan bagaimana pula hubungan kami akhirnya?

Simak kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya, bagi yang baru mampir jangan lupa untuk subscribe channel ini dan klik tanda lonceng untuk menyaksikan video-video menarik lainnya.

Buat seluruh subscriber setia CKP channel, terima kasih atas segala saran, masukan dan dukungannya selama ini.

Terima kasih atas kesetiaannya dan selamat menikmati.

*****

Namaku Sabri. Saat kisah ini terjadi aku masih kuliah semester tiga.

Aku berasal dari kampung. Orangtua dan kakak-kakakku tinggal di kampung.

Aku seorang anak bungsu, karena itu juga kedua orangtuaku sangat ingin aku kuliah.

Karena ketiga kakak-kakakku semuanya perempuan dan sudah menikah. Tak satu pun dari mereka yang sempat duduk di bangku kuliah.

"anak perempuan, untuk apa sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya juga jadi ibu rumah tangga.." begitu ucapan ayahku, sebagai alasan kenapa ketiga kakak-kakakku tidak diperbolehkan untuk kuliah.

"dan kamu Sabri, sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarga kita, kamu harus bisa mengangkat derajat keluarga ini. Karena itu ayah ingin kamu kuliah dan sukses nantinya.." ucap ayah melanjutkan.

Tak satu pun dari kami yang bisa membantah setiap ucapan yang terlontar dari mulut ayah.

Ayah memang terkenal sangat tegas kepada kami, anak-anaknya.

Dan terus terang aku memang selalu merasa takut kepada ayah. Terutama aku merasa takut untuk mengecewakannya.

Karena itu, aku selalu berusaha belajar dengan sungguh-sungguh, supaya bisa memenuhi permintaan ayah.

Hingga akhirnya aku bisa lulus SMA dengan hasil yang memuaskan, dan juga mendapatkan bantuan beasiswa untuk kuliah.

Namun untuk kuliah aku memang harus tinggal di kota, karena jarak kampus tempat aku kuliah sangat jauh dari kampung halamanku.

Beruntunglah ayahku punya seorang adik perempuan yang tinggal di kota. Aku memanggilnya tante Ratna.

Tante Ratna punya seorang suami yang bekerja sebagai security di kampus tempat aku kuliah.

Suami tante Ratna namanya om Zainan. Ia sudah bekerja sebagai security sudah lebih sepuluh tahun.

Rumah mereka juga tidak begitu jauh dari kampus, bisa ditempuh dengan hanya berjalan kaki.

Rumah tante Ratna tidak terlalu besar, hanya ada dua kamar tidur, ruang tengah dan sebuah dapur kecil di bagian belakang.

Namun mereka, walau sudah lebih sepuluh tahun menikah, belum juga mempunyai seorang anak.

Tante Ratna sendiri juga bekerja di sebuah mini market tak seberapa jauh dari rumahnya.

"karena belum punya anak, tante sering merasa kesepian di rumah, karena itu juga om kamu mengizinkan tante untuk tetap bekerja.." jelas tante Ratna suatu hari.

Usia tante Ratna sudah 33 tahun lebih, sedangkan om Zainan sudah berumur 38 tahun.

Harapan mereka untuk bisa punya keturunan sebenarnya masih cukup banyak, tapi sepertinya mereka berdua sudah pasrah akan keadaan mereka saat ini.

Apa lagi kesibukan kerja membuat mereka berdua, seakan bisa melupakan hal tersebut.

Tante Ratna dan om Zainan terlihat sangat senang, ketika aku akhirnya tinggal bersama mereka.

Sebuah kamar kosong, yang selama ini tidak ditempati, mereka berikan padaku, untuk tempat aku tinggal.

"kamu anggap aja ini seperti rumah kamu sendiri.." begitu ucap om Zainan, ketika pertama kali aku tinggal disana.

Karena keterbukaan mereka berdua menerima aku disana, aku menjadi cukup betah dan merasa nyaman.

Setidaknya hal ini cukup mengurangi biaya untuk tempat tinggalku, karena tidak perlu lagi menyewa sebuah kost.

Biar bagaimana pun, penghasilan ayahku di kampung memang terbilang cukup pas-pasan.

"kalau untuk makan dan tempat tinggal, kamu gak usah khawtir. Selama kami masih bekerja, kami akan menanggung semuanya. Tapi untuk biaya kuliah, tante dan om gak bisa banyak membantu.." ucap tante Ratna.

"iya, tante. Saya udah dikasih tempat tinggal dan makan aja, udah lebih dari cukup kok, tante.." balasku.

*****

 Hari berlalu, bulan berganti, sudah hampir satu semester aku tinggal bersama tante Ratna dan om Zainan.

Awalnya semua berjalan dengan sangat baik. Tante Ratna dan om Zainan sangat baik padaku.

Aku dan mereka berdua sudah semakin dekat dan akrab, terutama dengan om Zainan.

Bukan saja karena kami sama-sama laki-laki, tapi juga karena hampir setiap hari kami pergi ke kampus bersama-sama, meski dengan tujuan yang berbeda.

Om Zainan ke kampus untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang security, dan aku sendiri ke kampus untuk kuliah.

Aku dan om Zainan jadi sering ngobrol.

Sikap om Zainan sangat lembut padaku, jauh berbeda dengan perlakuan ayahku padaku.

Ayahku sangat tegas dan terkesan sedikit kasar, sementara om Zainan begitu perhatian dan memperlakukanku dengan baik.

Aku mulai menyukai sosok om Zainan, setidaknya sebagai sosok yang mampu melindungiku.

Kasih sayang yang om Zainan berikan, membuatku merasa nyaman dan merasa diperhatikan.

Om Zainan selalu bertanya tentang segala kegiatanku di kampus, dan selalu memberikan aku supprot saat aku merasa kehilangan semangat.

Perhatian dan kasih sayang yang om Zainan berikan, semakin lama ternyata semakin menumbuhkan rasa sayang di hatiku kepada om Zainan.

Perlahan benih cinta pun tumbuh di hatiku untuknya.

Ya, tanpa pernah aku sangka sebelumnya aku ternyata telah jatuh cinta pada om Zainan.

Sebenarnya om Zainan memang menarik secara fisik. Tubuhnya padat berisi dan berotot.

Perutnya sedikit membuncit, namun hal itu justru membuatnya terlihat gagah.

Wajahnya cukup tampan, meski sudah sedikit mengerut karena termakan usia.

Saya suka memperhatikannya diam-diam. Memikirkannya di hampir setiap malamku.

Aku seakan menemukan sosok yang aku kagumi pada diri om Zainan.

Semakin hari perasaan cintaku pada om Zainan semakin tumbuh dan kian membesar.

Aku tak sanggup lagi menahannya.

Hingga pada suatu malam, saat itu hanya aku dan om Zainan yang berada di rumah.

Sementara tante Ratna masih di mini market, ia mendapat giliran shift malam.

"om Zainan sangat baik padaku, om Zainan juga tampan dan gagah. Saya.. saya.. jadi suka.. sama om.." suaraku terbata, saat itu kami sedang duduk di ruang tamu rumah tersebut.

Om Zainan repleks menatapku tajam. Keningnya mengerut, ia seperti mencoba memahami maksud dari pernyataanku barusan.

"sebenarnya om sudah tahu, meski om belum begitu yakin.. tapi dari sikapmu akhir-akhir ini, om mulai percaya kalau kamu memang menginginkan om.." om Zainan berucap juga akhirnya setelah cukup lama ia menatapku.

Meski merasa sedikit kaget akan pengakuan om Zainan barusan, tapi aku berusaha bersikap setenang mungkin.

Aku percaya, bahwa tingkahku selama ini kepada om Zainan sebenarnya cukup menggambarkan perasaanku padanya.

Hanya saja aku tidak menyangka kalau om Zainan akan berucap begitu santai akan hal tersebut.

Aku kira awalnya, om Zainan akan marah karena pengakuanku.

Tapi...

"om juga suka sama kamu, Sab..." tegas suara om Zainan, yang membuatku semakin merasa kaget.

"selama ini om selalu berusaha memberi perhatian lebih sama kamu. Om berharap kamu bisa mengerti akan hal tersebut..." om Zainan melanjutkan kalimatnya.

"dan sekarang setelah pengakuan jujur kamu barusan, om jadi sangat berani untuk mengungkapkan perasaan om padamu.." lanjutnya lagi, sambil terus menatapku.

"lalu... sekarang kita harus bagaimana, om?" tanyaku kemudian.

"kalau memang kita saling suka, bukankah sebaiknya kita mencoba menjalin hubungan yang lebih serius?!" balas om Zainan dengan nada sedikit bertanya.

"tapi bagaimana dengan tante Ratna, om?" tanyaku lagi.

"biar bagaimana pun hubungan kita adalah sebuah rahasia, Sab. Kita harus menjalin hubungan secara diam-diam tanpa diketahui siapa pun, terutama oleh tante kamu.." jawab om Zainan.

Aku mengangguk setuju.

Dan tak lama berselang, om Zainan pun mengajak masuk ke kamarku.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku pun melakukan hal tersebut bersama om Zainan.

Hatiku terasa berbunga. Semuanya terasa indah malam itu.

Om Zainan benar-benar membuatku terlena akan sebuah hubungan cinta yang indah.

Apa lagi aku yang baru pertama kali merasakan hal tersebut.

Aku merasa terkesan. Sungguh sebuah pengalaman yang begitu indah dalam hidupku.

*****

"sebenarnya om menikah dengan tante kamu, bukan karena om jatuh cinta padanya. Tapi karena kodrat om sebagai laki-laki." cerita om Zainan, saat suatu malam kami kembali melakukan hal tersebut.

Aku dan om Zainan memang selalu berusaha mengatur waktu agar kami bisa berduaan, terutama saat tante Ratna pergi bekerja.

"om sudah berusaha sekuat mungkin untuk bisa mencintai tante kamu, tapi om tetap merasa biasa saja. Meski tentu saja om harus tetap menjalankan kewajiban om sebagai seorang suami."

"bertahun-tahun menikah, kami belum juga dikaruniai anak. Dan hal itu membuat om jadi sering merasa frustasi dan kesepian. Hingga kehadiran kamu di rumah ini, mampu mengubah segalanya.."

"om jadi punya teman untuk bercerita. Dan semakin hari om jadi semakin suka sama kamu. Karena itu juga om berusaha bersikap sebaik mungkin sama kamu, dan berharap kamu juga bisa menyukai om.."

"sekarang semua mimpi om tentang kamu telah menjadi nyata. Om merasa bahagia saat ini. Selama ini hidup om terasa hampa."

"sejak menikah dengan tante kamu, om tidak pernah lagi berhubungan dengan laki-laki, meski keinginan itu selalu ada. Tapi om selalu berusaha menepisnya.."

"namun ketika bersama kamu, om tidak bisa lagi menahannya. Apa lagi ketika om tahu, kalau kamu juga menyukai om.." cerita om Zainan panjang lebar.

Aku tidak begitu peduli tentang masa lalu om Zainan. Tapi terus terang ada rasa bersalah, ketika aku ingat akan tante Ratna.

Biar bagaimana pun, aku tanpa sengaja telah merebut om Zainan darinya.

Meski hubungan mereka berdua tetap terlihat baik-baik saja.

****

Waktu tetap terus berlalu, sudah hampir setahun hubungan terlarangku dengan om Zainan terjalin.

Setahun hubungan kami, semua berjalan baik-baik saja. Aku merasa bahagia dengan semua itu.

Karena biar bagaimana pun, om Zainan lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku.

Tapi sepandai apa pun kami menyimpan bangkai, pada akhirnya akan tercium juga.

Suatu malam, saat kami sedang bermesraan, tiba-tiba tante Ratna datang dan memergoki kami yang sedang mendaki bersama.

Tante Ratna tertegun. Ia terlihat sangat syok.

Kami berdua segera saling melepaskan diri, dan dengan tergesa memakai pakaian kami lagi.

Tapi tante Ratna sudah terlanjur jatuh pingsan. Tubuhnya ambruk tiba-tiba, beruntunglah om Zainan dengan cekatan segara menyambut tubuh itu, sehingga tidak sampai menyentuh lantai.

Aku sendiri tidak tahu, bagaimana perasaanku saat itu.

Antara malu, takut, dan merasa sangat bersalah.

Om Zainan membaringkan tante Ratna di ranjang, kemudian berusaha membuat tante Ratna sadar dari pingsannya.

Separuh hatiku tidak ingin tante Ratna segera sadar, aku belum siap menghadapinya.

Tapi tentu saja ada kekhawatiran, bagaimana kalau tante Ratna benar-benar tidak siuman lagi?

Rasa bersalah pasti akan menghantuiku sepanjang hidupku.

"sebaiknya kamu pergi aja dulu dari rumah ini, Sab. Biar om yang akan menjelaskan semuanya pada tantemu kalau ia sadar nanti.." ucap om Zainan, sambil memegang kedua pundakku.

"tapi saya takut, om. Bagaimana kalau tante Ratna cerita pada ayah? Habislah aku, om.." balasku terdengar pilu.

"kamu tenang ya, Sab. Kita akan lewati semua ini bersama-sama. Tapi sekarang kamu harus pergi dulu, om akan berusaha meyakin tante kamu, agar tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun, terutama kepada ayahmu.." ucap om Zainan lagi, kali ini ia melepaskan tangannya.

Mungkin memang sebaiknya aku menghindar dulu dari sini, karena jika tante Ratna siuman, dan ia melihatku disini, ia pasti akan meluahkan semua kekecewaannya pada kami.

Mungkin memang sebaiknya, aku biarkan om Zainan yang akan menjelaskan semuanya.

Karena itu, aku pun perlahan mulai melangkah meninggalkan rumah tersebut, walau perasaanku sendiri masih terasa tak karuan.

*****

Antara perasaan malu, takut dan rasa bersalah aku melangkah dalam kegelapan malam.

Pikiranku melayang jauh, memutar kembali kejadian tragis yang baru saja aku alami.

Entah bagaimana keadaan tante Ratna saat ini. Aku berharap ia akan baik-baik saja.

Meski dengan begitu, resikonya sangat besar bagiku. Tante Ratna bisa saja menceritakan hal tersebut kepada ayah dan ibuku.

Dan jika hal itu terjadi, aku tidak akan pernah sanggup lagi untuk pulang.

Sementara om Zainan sendiri, belum mengabari sampai saat ini.

Aku duduk di sebuah bangku taman, dengan pikiranku yang kacau balau.

Hingga pagi menjelang aku bahkan tidak tidur sedetik pun.

Aku ingin segera menghubungi om Zainan, aku ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tapi aku merasa takut.

Ahk... aku benar-benar merasa bingung.

Mengapa hal ini harus terjadi padaku?

Tiba-tiba rasa penyesalan menyeruak ke dalam rongga dadaku.

Aku menyesal mengapa aku tidak bisa menahan perasaanku.

Mengapa aku dengan begitu saja menerima kehadiran om Zainan di dalam hatiku?

Sementara aku tahu, kalau ia adalah suami dari tanteku sendiri.

Aku merasa jahat. Aku merasa tak berguna. Dan masa depan sudah semakin tidak jelas.

Masa depanku benar-benar seperti hantu. Menakutkan!

Apa jadinya kehidupanku ke depannya?

Bagaimana masa depanku?

Akankah semuanya akan baik-baik saja?

Mungkinkah om Zainan bisa mengatasi ini semua?

Beribu pertanyaan berserakan di benakku.

Aku tak sanggup lagi memikirkannya.

Aku putus asa...!

****

Dering handphone mengagetkanku tiba-tiba. Aku menatap layar handphone itu.

Itu nomor ayahku!

Tiba-tiba perasaan takut kembali menghantuiku.

Mungkin tante Ratna sudah menghubungi ayahku dan menceritakan semuanya. Pikirku.

Aku tidak ingin menjawab telepon tersebut. Aku takut. Aku takut menghadapi kenyataan.

Handphone-ku kembali berdering untuk yang ketiga kalinya. Masih dari ayah.

Aku masih tidak mengangkatnya. Aku bahkan berniat untuk mematikan handphone segera.

Saat sebuah pesan masuk ke wa-ku.

'angkat telepon dari ayahmu, Sabri. Kamu tenang aja, semuanya baik-baik saja, kok..'

pesan itu berasal dari om Zainan.

Meski aku tidak begitu mengerti arti maksud dari kalimat baik-baik saja tersebut, tapi setidaknya aku merasa sedikit lega.

Karena itu juga, aku pun segera mengangkat telepon dari ayahku, ketika untuk keempat kalinya ia menghubungiku.

"kamu dimana?" itu kalimat pertama ayahku tanpa basa-basi, suaranya terdengar sangat marah.

"saya... saya.. saya di rumah teman, Yah.." jawabku terbata.

"kamu kembali ke rumah tante kamu sekarang dan kemasi semua barang-barang kamu dan segera kamu pulang ke kampung.." suara Ayah terdengar sangat tegas.

Kemudian tanpa basa-basi ia pun menutup telepon-nya.

Seperti biasa aku tidak pernah berani membantah permintaan ayah. Aku segera kembali ke rumah tante Ratna.

Sesampainya disana aku tidak menemukan siapa-siapa disana. Tidak ada tante Ratna dan juga tidak ada om Zainan.

Beribu pertanyaan kembali menghantui pikiranku.

Kemana mereka berdua? Dan apa yang terjadi sebenarnya?

Tapi aku segera mengabaikan segala pertanyaan tersebut. Aku bergegas mengemasi beberapa barangku dan segera keluar dari rumah tersebut.

Aku segera menuju terminal dan mencari kendaraan umum yang menuju kampungku.

Meski perasaanku sangat terasa tidak nyaman, tapi aku memang harus pulang.

Tak peduli apa pun yang akan terjadi nanti. Tak peduli sekali pun ayah membunuhku.

Aku memang bersalah dan aku pantas untuk dihukum.

Aku tak ingin lari lagi. Aku harus menghadapi kenyataan ini, meski terasa begitu menyakitkan.

*****

Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang serba salah.

Ayah menatapku dengan tatapan penuh kemarahan.

"ayah kecewa sama kamu, Sabri! Kamu satu-satunay harapan ayah untuk bisa mengubah nasib kita. Tapi apa yang kamu lakukan benar-benar membuat ayah merasa malu." suara ayah terdengar sangat tajam di telingaku.

"padahal selama ini ayah selalu membanggakan kamu di depan orang-orang. Tapi apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu harus melakukan hal yang sangat memalukan tersebut?!" suara ayah semakin ketus.

Aku hanya tertunduk. Aku tak sanggup menatap wajah kemarahan ayah. Sementara ibuku hanya menatapku dengan perasaan iba.

Aku tahu, betapa malunya ayah dan juga keluargaku saat ini, karena telah mengetahui perbuatanku.

"kita memang miskin, nak. Tapi Ibu dan ayah tidak pernah mengajarkan kalian untuk jadi seorang pencuri.." ibu berucap dengan suara terisak.

Sementara ayah masih menatapku dengan tajam.

"mencuri?" suaraku pelan, penuh dengan tanda tanya.

"kamu tidak usah mengelak lagi, Sabri. Tante kamu udah cerita semuanya. Kamu telah mencuri uang tabungan tante kamu.." kali ini ayah yang berbicara lagi.

Oh, antara lega dan kecewa aku mendengar semua itu.

Lega, karena ternyata tante Ratna tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya. Kecewa karena aku harus kehilangan kesempatan untuk kuliah.

"ayah tahu, uang yang ayah kirimkan tidak cukup untuk biaya kamu kuliah. Tapi bukan berarti kamu harus mencuri, Sab. Setidaknya kamu bisa cerita sama ayah atau sama ibu kamu, kalau kamu memang butuh uang.." ayah berucap lagi.

Untuk selanjutnya aku tidak begitu menyimak setiap kalimat dari ayah mau pun dari ibuku.

Mereka sangat marah karena aku yang dikatakan telah mencuri oleh tante Ratna. Tapi itu tidak masalah. Setidaknya itu jauh lebih baik, dari pada mereka mengetahui cerita yang sebenarnya.

Aku biarkan mereka memarahiku habis-habisan. Aku tidak begitu peduli.

Namun yang menjadi tanda tanya bagiku, apa yang sebenarnya terjadi, hingga tante Ratna harus menceritakan kejadian bohong kepada ayah?

Berhasilkah om Zainan membujuk tante Ratna untuk tidak menceritakannya kepada ayah?

Jika benar, lalu mengapa aku harus dipaksa kembali ke kampung?

Lalu bagaimana dengan hubungan tante Ratna dan Om Zainan?

Akankah mereka masih hidup bersama?

Dan bagaimana pula dengan hubunganku dan om Zainan selanjutnya?

Akankah aku masih punya kesempatan untuk bertemu om Zainan kembali?

Setidaknya untuk mendapatkan penjelasan dari semua pertanyaan yang ada di benakku saat ini...

******

Part 2

(Bersama sang duda)

Jumpa lagi dengan saya, masih di channel yang sama dan dengan kisah yang berbeda.

Terima kasih udah mampir, udah subscribe, udah like dan udah komen.

Buat seluruh subscriber setia saya, terima kasih atas segala masukannya, terima atas saran dan dukungannya selama ini.

Bagi yang baru mampir, seperti biasa jangan lupa Subscribe channel ini dan klik tanda lonceng untuk menyaksikan video-video menarik lainnya di channel ini.

Sekali lagi terima kasih dan selamat menikmati.

****

 Masa depan itu seperti hantu. Menakutkan!

Huh.. aku menghembuskan napas berat.

Sekarang aku mau tidak mau harus berhenti kuliah, dan harus bekerja di kampung.

Setelah semua yang terjadi.

Yah, akhirnya aku tahu. Aku tahu semuanya. Setiap pertanyaan yang tersimpan di dalam benakku akhirnya terjawab.

Setelah kejadian tragis yang menimpaku di rumah tante Ratna, dimana ia memergoki-ku sedang bercumbu dengan suaminya om Zainan, hingga beliau pingsan.

Kemudian ayahku menghubungiku untuk memintaku segera pulang. Aku pulang dengan perasaan berat.

Dan bersiap dicaci maki ayahku, yang ternyata hanya mengetahui kalau aku dilaporkan oleh tante Ratna telah mencuri di rumahnya.

Tante Ratna memang tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya, tapi aku tidak lagi bisa kuliah dan harus kembali tinggal di kampung.

Seminggu setelah kejadian tersebut, aku pun memberanikan diri untuk menghubungi om Zainan dan mengajaknya bertemu.

Meski berat, om Zainan pun menyetujuinya.

Saat itulah om Zainan menceritakan semuanya.

Om Zainan ternyata berhasil membujuk tante Ratna untuk tidak menceritakan kejadian tersebut kepada ayahku, dengan syarat om Zainan harus menceraikannya.

Om Zainan dan tante Ratna bercerai dan berpisah, sehingga aku tidak bisa lagi tinggal di rumah mereka untuk melanjutkan kuliah.

Sebagai pelajarannya untukku atas keinginan tante Ratna, ia melaporkan kepada ayahku kalau aku telah mencuri di rumahnya.

"tante kamu tak ingin kamu terus kuliah dan tinggal di kota, karena menurutnya jika kamu masih tinggal di kota, kamu akan terus berhubungan dengan om, dan tante kamu tidak ingin masa depanmu rusak karena om.."

"lagi pula menurutnya, sekalipun kita tidak lagi berhubungan, akan banyak laki-laki homo lain yang akan menjalin hubungan dengan kamu, Sab."

"dan menurut tante kamu juga, jika kamu kembali tinggal di desa, kamu tidak akan lagi terjerumus dalam hubungan sesama jenis, karena kamu akan selalu diawasi oleh ayahmu.."

Begitu penjelasan om Zainan padaku. Yang membuatku tertegun.

Ternyata tante Ratna tidak marah padaku. Ia tetap memikirkan pilihan terbaik untuk hidupku.

Meski pun aku tidak bisa lagi untuk kuliah, tapi setidaknya ia berharap jika aku tinggal bersama keluargaku, aku pasti akan lebih hati-hati dalam melangkah.

Menurutku, ada benarnya juga tindakan dari tante Ratna padaku. Aku menganggapnya sebagai sebuah hukuman.

Jika aku tetap tinggal di kota, aku tidak akan bisa menahan keinginanku untuk bertemu dengan om Zainan. Atau setidak-tidaknya, akan banyak kesempatan bagiku untuk terus tenggelam dalam dunia gay.

Dan lagi pula, tante Ratna sudah memutuskan untuk bercerai dari om Zainan dan menjual rumah mereka. Dengan begitu, jika aku tetap kuliah aku harus mencari tempat kost sendiri.

Sementara aku cukup tahu, kalau ayah tidak akan sanggup membiayai itu semua, tanpa bantuan dari tante Ratna.

Jadilah aku sekarang, berada kembali di kampung halamanku, dengan cap seorang pencuri dari mata ayah dan keluargaku.

Tapi sekali lagi, itu jauh lebih baik dari pada mereka mengetahui, kalau aku adalah seorang gay.

*****

Waktu terus berlalu, dan aku masih dalam ketakutan akan sebuah masa depan yang tak pasti.

Aku mulai belajar untuk melupakan sosok om Zainan.

Biar bagaimana pun aku tidak mungkin bisa lagi mengharapkan om Zainan tetap bersamaku.

Selain karena itu adalah salah satu syarat dari tante Ratna, tapi juga karena jarak diantara kami terlalu jauh.

Meski sebenarnya aku tidak sepenuhnya berubah. Tidak mudah untuk berubah, apa lagi aku sudah merasakan manisnya hal tersebut.

Hanya saja aku harus selalu bisa memendam setiap kali keinginan itu datang. Karena untuk saat ini, ayahku masih terus mengawasi setiap tindakanku.

Berbulan-bulan pun berlalu, aku sudah tidak memikirkan tentang om Zainan.

Hubunganku dengan om Zainan berakhir begitu saja. Semua bagiku hanyalah seuntai cerita yang telah menjadi masa lalu.

Sekarang aku harus menjalani kehidupanku kembali. Ayah juga sudah mulai mempercayaiku lagi, ia terlihat yakin kalau aku sudah tidak akan melakukan kesalahan lagi.

Karena itu ia akhirnya memberi aku izin untuk ikut bersama pak Anwar untuk bekerja di kota menjadi seorang pegawai di sebuah supermarket.

Pak Anwar adalah seorang manager di supermarket tersebut, dan ia sedang mencari karyawan-karyawan baru untuk dipekerjakan di supermarket tersebut.

Kebetulan pak Anwar dan ayah sudah kenal sejak lama, sehingga pak Anwar menawarkanku untuk bekerja bersamanya di kota.

Di kota aku tinggal bersama pak Anwar, yang ternyata adalah seorang duda yang ditinggal mati istrinya.

Pak Anwar hanya tinggal berdua bersama putranya yang masih remaja. Karena itu ia menawarkanku untuk tinggal bersamanya.

Pak Anwar sangat baik padaku, mungkin karena ia adalah teman ayahku.

Pak Anwar sudah berusia sekitar 42 tahun, namun ia masih terlihat tampan dan gagah.

Pak Anwar memang selalu rajin berolahraga. Bahkan di rumahnya terdapat beberapa alat olahraga, yang ia pakai ketika waktu senggangnya.

Diam-diam aku mulai mengagumi sosok pak Anwar.

Wajahnya yang tampan dan postur tubuhnya yang berotot membuatku jadi sering mengkhayalkannya.

Tapi aku selalu berusaha untuk bersikap wajar di hadapan pak Anwar. Aku tidak ingin pak Anwar tahu, kalau adalah seorang gay.

Karena jika ia tahu, aku sudah pasti akan diusirnya dari rumah dan akan dipecat dari pekerjaanku. Dan yang lebih parahnya, ia bisa saja menceritakan hal tersebut kepada ayahku.

Untuk itu aku tidak berani berharap banyak pada pak Anwar. Aku hanya bisa memendam perasaanku padanya.

Menikmati setiap khayalan indahku tentangnya.

Menjadikannya salah satu inspirasiku untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Aku hanya berharap, semoga masa depanku tak lagi seperti hantu.

Aku harus bekerja keras, agar bisa menjadi orang yang suskes seperti harapan ayah.

"apa kamu gak berniat untuk kuliah lagi, Sab?" tanya pak Anwar suatu malam, saat kami sedang duduk-duduk berdua di ruang tamu rumahnya.

"pengen sih, pak. Tapi kalau aku kuliah pasti butuh biaya besar dan aku juga tidak bisa lagi bekerja seperti ini.." jawabku pelan.

"kamu kan bisa kuliah sambil kerja, Sab. Banyak loh, orang yang bisa sukses dengan kuliah sambil kerja.." ucap pak Anwar lagi.

"iya sih, pak. Tapi kan jadwal kerja-ku cukup padat, aku takut tidak bisa mengatur waktu dengan baik.." balasku.

"kalau kamu mau, saya bisa ajukan agar kamu masuk kerjanya hanya sore sampai malam, jadi paginya kamu bisa fokus kuliah.." pak Anwar berujar sambil kali ini ia menatapku.

"emang bisa seperti itu, pak?" tanyaku.

"sebenarnya sih gak bisa, Sab. Tapi saya akan usahakan, jika kamu memang benar-benar berniat untuk kuliah lagi.." balas pak Anwar.

Setelah berpikir cukup panjang, aku akhirnya menyetujui tawaran dari pak Anwar.

"saya bisa bantu kamu, Sab. Tapi saya punya satu permintaan padamu..." ucap pak Anwar kemudian.

"permintaan? permintaan apa, pak?" tanyaku penasaran.

"saya.... saya... ingin kamu mulai malam ini menemani saya tidur...." terbata suara pak Anwar, namun mampu membuatku sedikit membelalakkan mata.

"maksud... maksud pak Anwar apa?" tanyaku.

"aku sudah lama menduda, Sab. Dan selama ini aku selalu merasa kesepian. Ingin rasanya aku menikah lagi. Tapi aku sudah terlanjur berjanji pada almarhumah istriku, bahwa aku tidak akan menikah lagi sampai setidaknya anakku kuliah nanti.." pak Anwar berujar.

"dan jika aku menjalin hubungan dengan perempuan tanpa menikah, aku takut ia akan menuntutku untuk segera menikahinya. Sementara aku belum bisa untuk itu."

"dan ketika aku tahu, kalau kamu diam-diam sering memperhatikanku. Aku jadi tertarik untuk bisa mencobanya bersama kamu. Setidaknya dengan begitu, jelas sangat tidak mungkin kamu bisa hamil dan menuntutku untuk menikahimu.."

"walau pun aku tidak tahu, apa aku bisa menikmati hal tersebut, tapi setidaknya dengan begitu segala kesepianku selama ini akan tercurahkan.."

pak Anwar mengakhiri kalimatnya, yang membuatku kian tertegun.

Sebenarnya aku memang menyukai pak Anwar. Aku sudah tertarik padanya. Dan aku memang ingin bersamanya.

Tapi ...

"bagaimana dengan anak pak Anwar sendiri? Apa ia gak bakal curiga kalau kita tidur sekamar?" tanyaku akhirnya.

"kamu hanya akan masuk kamarku, jika anakku sudah tertidur dan akan keluar sebelum ia bangun.." jelas pak Anwar.

Aku pun kemudian menyetujui tawaran dari pak Anwar tersebut.

Bukan saja karena aku memang menyukainya, tapi juga karena aku berharap, agar aku segera bisa kuliah kembali.

Jadilah semenjak saat itu, aku dan pak Anwar menjalin hubungan asmara secara diam-diam.

Aku juga mulai kuliah kembali dan sambil tetap bekerja di supermarket.

Seperti janji pak Anwar, aku bisa kuliah di pagi harinya dan masuk kerja dari sore hingga malam.

Saat aku pulang kerja, otomatis anak pak Anwar sudah masuk ke kamarnya dan tertidur.

Saat itulah aku akan menyelinap masuk ke dalam kamar pak Anwar.

Hubunganku dengan pak Anwar terasa begitu indah bagiku.

Aku sangat menikmati hal tersebut, demikian juga dengan pak Anwar sendiri.

Hingga berbulan-bulan hal itu terus terjadi.

Sampai akhirnya aku mengetahui sebuah rahasia.

Pak Anwar ternyata sebenarnya memang seorang gay sejak awal.

Aku mengetahuinya dari salah seorang rekan kerjaku.

"kamu terlihat nyaman tinggal serumah dengan pak Anwar.." ucap temanku itu.

"iya. Kenapa emangnya?" balasku bertanya.

"aku tahu siapa pak Anwar. Dulu ia pernah mengajakku tinggal di rumahnya. Tapi setelah sebulan, tiba-tiba ia menawarkanku untuk kuliah dan menjanjikanku untuk bisa mengatur jadwal kerjaku."

"aku merasa senang awalnya. Tapi kemudian ia mengajukan sebuah syarat, jika aku memang ingin kuliah sambil kerja, aku harus bersedia menemaninya tidur setiap malam.."

begitu cerita dari temanku tersebut.

"tapi karena aku yang masih normal, tentu saja merasa jijik mendengar hal tersebut dan memutuskan untuk menolak tawarannya." lanjutnya lagi.

"pak Anwar sempat marah karena aku menolaknya dan juga mengusirku dari rumahnya. Ia juga mengancam akan memecatku jika aku menceritakan tentang dirinya pada siapa pun.." temanku melanjutkan ceritanya.

"lalu mengapa sekarang kamu cerita sama saya?" tanyaku berusaha bersikap seolah-olah aku baru mengetahui hal tersebut.

"karena aku tidak ingin kamu menjadi korban selanjutnya, Sab. Jadi sebelum hal itu terjadi, sebaiknya kamu pindah saja dari sana.." balas lelaki yang berwajah cukup tampan itu.

Untuk selanjutnya aku hanya terdiam.

Terus terang aku memang merasa kaget mendengar cerita temanku tersebut. Setidaknya aku baru tahu, kalau pak Anwar adalah seorang gay.

Tapi hal tersebut tidak akan mengubah apa pun bagiku.

Karena pada dasarnya aku memang menyukai pak Anwar, terlepas dia seorang gay atau bukan.

Terlepas ia berbohong atau tidak padaku, aku juga tidak peduli.

Yang penting saat ini, aku bisa kuliah sambil kerja, dan sekaligus bisa menikmati malam bersama laki-laki yang aku cintai.

Setidaknya aku sedikit punya harapan tentang masa depan yang lebih baik.

Semoga saja masa depanku tidak seperti hantu. Menakutkan..

Ya, semoga saja..

****

Sekian...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate