Pamanku yang tampan ...

Namaku Ridho. Dan aku berasal dari sebuah desa yang cukup jauh dari kota.

Aku lahir, tumbuh dan besar di desa, hingga aku lulus SMA.

Sang Penuai mimpi

Saat kuliah, atas permintaan kedua orangtuaku, aku akhirnya harus tinggal di kota.

Di kota aku tinggal bersama pamanku yang masih lajang.

Pamanku namanya Benny Saputra, tapi aku biasa memanggilnya paman Ben.

Paman Ben dan ibuku adalah saudara sepupu.

Paman Ben sudah bekerja di kota menjadi seorang dosen, sejak lima tahun yang lalu.

Paman Ben sudah berusia 33 tahun saat ini.

Namun ia belum juga menikah.

Paman Ben sudah punya rumah sendiri di kota, meski masih dalam masa kredit.

Rumah paman Ben cukup sederhana, hanya ada dua kamar tidur dan satu kamar mandi serta ada dapur kecil dan ruang tamu di bagian depannya.

Aku sendiri adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Kedua adikku perempuan. Keduanya masih sekolah di desa. Yang satu masih SD dan yang satu lagi masih SMP.

Paman Ben sendiri adalah anak bungsu dari lima bersaudara.

Semua kakak-kakak paman Ben sudah menikah dan sudah punya rumah sendiri di desa.

Sementara kedua orangtua paman Ben sudah lama meninggal.

Paman Ben masih sering pulang ke desa, untuk menjenguk kakak-kakaknya.

Paman Ben memang sejak kuliah sudah biasa tinggal sendirian di kota.

Karena itu juga, ayah dan ibuku mempercayakan aku tinggal bersama paman Ben.

"paling tidak bisa untuk mengurangi biaya sewa kost.." begitu ucap ibu beralasan.

Ya, karena aku tinggal bersama paman Ben, ayah dan ibu tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membayar kost.

Paman Ben sendiri sangat senang aku tinggal bersamanya.

"saya jadi punya teman di rumah..." ucap paman Ben, ketika ibu menawarkan aku tinggal bersamanya.

Paman Ben juga tidak meminta bayaran apapun kepada kami, bahkan paman Ben bersedia membantu biaya makan dan juga biaya kuliahku.

"mumpung saya masih lajang, sih. Tapi nanti kalau saya udah nikah, mungkin saya tidak bisa membantu terlalu banyak lagi..." ucap paman Ben terdengar santai.

"terima kasih ya, Ben. Saya titip Ridho, ya.." pesan Ibu, ketika pertama kali melepaskan kepergianku bersama paman Ben.

Paman Ben memang juga sudah punya mobil sendiri.

Kehidupan paman Ben secara ekonomi memang sudah sangat mapan. Saya gak tahu, kenapa paman Ben belum juga menikah, meski usianya sudah cukup matang.

Aku dan paman Ben sebenarnya tidak begitu dekat, namun aku mengenal beliau sudah sejak kecil.

Secara fisik paman Ben sebenarnya sangat menarik.

Wajahnya diatas rata-rata. Hidungnya mancung, bibirnya terlihat seksi dan memerah, karena setahu saya paman Ben tidak merokok.

Matanya terlihat indah, ditambah pula dengan sebuah belahan tipis ditengah-tengah dagunya, yang membuat ia sangat manis, terutama saat ia tersenyum.

Tubuhnya kekar dan berotot. Benar-benar tipe laki-laki sempurna.

Hal ini justru menimbulkan tanda tanya besar dalam benakku. Kenapa paman Ben masih betah melajang?

Bukankah seharusnya, dengan semua kelebihannya tersebut, sangat mudah baginya untuk mencari calon istri.

Dan inilah kisahku bersama paman Ben.

******

Hari pertama..

Setelah menempuh perjalanan lebih kurang lima jam naik mobil bersama paman Ben, akhirnya kami sampai ke rumah paman Ben di kota.

Rumah paman Ben berada tidak jauh dari kampus tempat aku kuliah dan juga tempat paman Ben jadi dosen.

"kalau naik mobil, paling hanya sekitar sepuluh menit kita udah sampai ke kampus.." jelas paman Ben, ketika aku mempertanyakan hal tersebut.

Aku memang belum pernah ke rumah paman Ben sebelumnya. Dan bahkan aku sebenarnya sangat jarang ke kota.

Bukan saja karena jaraknya yang jauh, tapi juga karena aku tidak punya kendaraan dan juga jarang punya uang yang banyak.

Berada di kota rasanya berbeda. Terlalu bising dan cukup panas.

Paman Ben segera mengajakku masuk ke rumahnya.

"ini kamar kamu.." ucap paman Ben, sambil membuka pintu kamar bagian belakang, yang berada di samping kamarnya.

"semua perabotannya sudah lengkap.." lanjutnya. Lalu kemudian mempersilahkan aku masuk.

Aku membawa tas ransel tempat pakaianku masuk. Kamar itu cukup luas, apa lagi jika harus di bandingkan dengan kamarku di kampung.

"kamu istirahat aja dulu, ya. Habis mandi nanti kita makan malam. Saya udah pesan makanan secara online.." paman Ben berucap lagi, sambil melangkah keluar menuju kamarnya.

Hari memang sudah mulai gelap. Kami berangkat sekitar jam dua siang tadi dari desa.

Saat aku berniat hendak mandi, aku kembali bersirobok dengan paman Ben, yang ternyata juga pengen mandi.

"sayangnya kamar mandi hanya ada satu. Jadi kita harus antri ya, kalau mau mandi." ucap paman Ben.

"atau kamu mau mandi bareng?!" paman Ben melanjutkan, dengan diakhiri sebuah tawa ringan.

Aku tersenyum kecil mendengar kelakar ringan paman Ben barusan.

Sebagai seseorang yang belum merasa begitu dekat, aku tidak bisa membalas ucapan bernada canda tersebut.

"kamu duluan aja.." suara paman Ben terdengar lagi, melihat aku hanya tersenyum tipis.

"paman aja yang duluan.." tawarku membalas.

"udah kamu aja duluan.." balas paman Ben bersikeras.

Karena merasa malas berdebat dengan paman Ben, aku pun akhirnya melangkah memasuki kamar mandi kecil tersebut.

Sebenarnya aku tidak begitu biasa mandi di dalam kamar mandi.

Di desa aku lebih suka mandi di kali. Selain karena airnya yang lebih jernih dan dingin, kami juga sebenarnya belum punya kamar mandi.

Namun sepertinya mulai sekarang, aku harus terbiasa mandi di kamar mandi.

******

Hari kedua ...

Ini adalah hari pertama aku ke kampus.

Sebenarnya paman Ben sudah mengurus semua keperluanku untuk kuliah, termasuk mendaftarkanku secara online.

"nanti kalau ada yang coba ganggu kamu di kampus, bilang aja kalau kamu ponaannya bapak Benny Saputra.." ucap paman Ben, ketika aku hendak turun dari mobil.

Aku hanya mengangguk. Aku tak berharap akan ada yang menggangguku.

Tapi jika dengan hanya menyebut nama paman Ben, bisa melepaskanku dari masalah, tak ada salahnya aku mencobanya.

Namun karena ini adalah tahun ajaran baru, tentu saja aku bukan satu-satunya mahasiswa baru di kampus ini.

Aku mulai berkenalan dengan beberapa orang mahasiswa baru tersebut. Ada beberapa orang dari mereka yang juga berasal dari kampung.

Untuk selanjutnya, kami para mahasiswa baru, mulai menghadapi beberapa orang mahasiswa senior di kampus tersebut.

Tentu saja dengan rutinitas tahunan yang biasa dilakukan oleh para senior.

Kami para mahasiswa baru harus menghadapi berbagai pertanyaan dan juga tantangan dari para senior tersebut.

Hingga jam kuliah pun berakhir. Paman Ben ternyata sudah menungguku di parkiran.

Paman Ben segera memacu mobilnya menuju rumah.

"kamu udah makan siang?" tanya paman Ben di perjalanan.

"belum sempat paman. Tadi banyak sekali kegiatannya.." balasku dengan suara lelah.

"kalau gitu kita mampir di warung makan dulu ya.." ucap paman Ben.

Tak lama kemudian, mobil kami pun berbelok menuju salah satu rumah makan yang ada di pinggiran jalan menuju arah rumah paman Ben tersebut.

Sehabis makan siang, kami pun segera pulang ke rumah.

Sesampai di rumah aku langsung menuju kamarku untuk tertidur. Aku merasa lelah dan sangat mengantuk.

Kulihat paman Ben juga melakukan hal yang sama.

*****

Hari kesepuluh ...

Masa orientasi telah usai. Kini kami mulai mengikuti mata kuliah.

Aku dan paman Ben juga semakin dekat dan akrab.

Paman Ben sangat baik padaku. Dia benar-benar menganggap aku seperti adik kandungnya sendiri.

Karena jarak usia kami yang tidak terlalu jauh, dan juga paman Ben masih kelihatan muda, membuat kami jadi lebih nyambung ketika bercerita.

"paman Ben kenapa belum nikah?" tanyaku suatu malam memberanikan diri.

Saat itu kami ngobrol sambil menonton TV di ruang tengah.

Paman menatapku sekilas, kemudian ia berucap,

"karena saya sebenarnya tidak suka sama perempuan.." suara paman Ben datar.

Namun mampu membuatku merasa begitu kaget.

Aku kaget bukan saja karena mendengar kalimatnya, tapi juga karena keberaniannya untuk jujur padaku.

"maksudnya paman Ben seorang gay?" tanyaku sekedar meyakinkan.

Paman Ben hanya mengangguk.

"kenapa? Kamu jijik ya mendengarnya?" tanyanya kemudian.

Aku terdiam sesaat, sambil memikirkan jawaban yang tepat.

"saya... saya... saya juga sebenarnya seorang gay, paman.." ucapku terbata.

Kalau paman Ben berani untuk jujur, kenapa saya harus menyembunyikan siapa saya yang sebenarnya?

Setidaknya dengan begitu, kami bisa lebih saling terbuka.

"kamu serius?" tanya paman Ben, keningnya berkerut.

"iya, paman. Tapi saya belum pernah pacaran sama sekali. Walau saya sudah beberapa kali jatuh cinta sama laki-laki. Namun selama ini, saya hanya memendamnya.." jawabku mulai berani.

"kamu suka gak sama yang tua seperti saya ini?" paman Ben bertanya lagi.

"suka, sih. Tapi paman kan paman saya. Jadi kita gak mungkin kan menjalin hubungan?" jawabku setengah bertanya.

"kenapa tidak? kalau memang kita saling tertarik, bisa saja kan? Lagi pula hubungan kekeluargaan kita sebenarnya tidak terlalu dekat kan?" balas paman Ben.

Benar sih sebenarnya apa yang diucapkan paman Ben. Paman Ben hanya saudara sepupu jauh ibuku.

Tapi....

"apa paman Ben juga sama saya?" tanyaku akhirnya.

"sebenarnya sudah sangat lama saya suka sama kamu, Dho. Makanya ketika ibu kamu ingin kamu tinggal bersama saya, saya merasa sangat senang."

"setidaknya saya merasa punya kesempatan untuk bisa dekat sama kamu.." balas paman Ben terdengar jujur.

"saya juga suka sama paman Ben.." ucapku berusaha tegas.

"kalau gitu, kita pacaran ya?!" tawar paman Ben kemudian.

Oh, aku merasa bahagia mendengar semua itu. Paman Ben yang tampan akhirnya bisa aku miliki.

Aku juga penasaran sih sebenarnya, bagaimana rasanya punya pacar seorang laki-laki.

"kalau paman Ben mau, saya juga mau, paman.." ucapku dengan nada riang.

"oke. Jadi mulai malam ini, kita tidur sekamar aja ya.." tawar paman Ben lagi.

"tapi saya belum pernah melakukan hal tersebut, paman. Saya masih merasa takut.." ujarku kemudian.

"udah.. kamu tenang aja, yang penting kita nikmati saja semuanya.." balas paman Ben ringan.

"paman Ben sudah sering ya tidur sama laki-laki?" tanyaku ingin tahu.

"sering sih gak. Tapi pernah sih beberapa kali. Saya juga pernah pacaran hingga bertahun-tahun. Tapi semua hubungan cintaku selalu kandas.." jawab paman Ben, terdengar parau.

*****

Hari berlalu, bulan berganti. Sudah lebih dari setahun aku dan paman Ben menjalin hubungan asmara.

Kami bahagia melewati hari-hari bersama.

Tiada hari yang kami lewati tanpa kebersamaan.

Semuanya terasa indah. Bahkan terlalu indah bagiku.

Namun sebagaimana kebanyakan kisah cinta para kaum gay, hubungan kami juga tidak bertahan lebih lama dari yang kami harapkan.

Kami berpisah bukan karena kami tidak lagi saling cinta.

Tapi karena paman ben akhirnya memilih untuk menikah dengan seorang perempuan rekan kerjanya.

Aku sendiri sebenarnya tidak masalah jika paman Ben menikah. Aku bersedia tetap menjalin hubungan dengannya, meski secara diam-diam.

"saya takut, saya tidak bisa membagi waktu dengan baik, Dho. Saya juga takut, kalau hubungan kita diketahui oleh istriku. Jadi lebih baik kita akhiri saja semua ini."

"lagi pula kamu masih sangat muda, Dho. Perjalanan kamu masih panjang..."

begitu alasan paman Ben, untuk mengakhiri kisah kami.

Aku kecewa sebenarnya. Tapi paman Ben benar. Apa lagi paman Ben juga sudah cukup tua. Mungkin sudah saatnya ia menjadi laki-laki yang seutuhnya.

Menikah, punya anak dan menjadi kepala rumah tangga.

Aku masih tinggal di rumah paman Ben. Tapi tentu saja, tidak lagi satu kamar dengan paman Ben.

Karena sekarang, paman Ben sudah punya istri yang menemaninya tidur.

Kisahku bersama paman Ben, adalah sebuah kisah cinta yang indah.

Paman Ben adalah pacar pertamaku, meski ia bukan cinta pertamaku.

Sakit sih sebenarnya melihat paman Ben bersama istrinya. Tapi aku harus bisa ikhlas.

Aku kadang lebih sering tidak berada di rumah.

Aku juga pernah mengajukan pindah kepada ibu. Tapi tentu saja ibu tidak setuju.

Dan aku tidak punya alasan yang kuat, untuk pindah dari rumah paman Ben.

Untuk itu, aku berusaha sekuat mungkin menahan perasaanku.

Untuk itu juga, aku mulai mencari cinta lain di luar sana.

Semoga saja, aku segera bisa menemukan pengganti paman Ben.

Ya, semoga saja...

******

Sekian...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate