Sang nelayan...

Namaku Angga. Saat ini usia ku sudah dua puluh enam tahun lebih.

Aku bekerja di sebuah perusahaan, sebagai salah seorang karyawan swasta, sudah hampir dua tahun.

Aku belum menikah, dan belum punya rencana juga untuk segera menikah. Meski secara ekonomi kehidupanku sudah lumayan mapan.

Sang nelayan

 

Aku anak kedua dari tiga bersaudara.

Kakak pertama laki-laki, sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Sedangkan adik bungsuku juga seorang laki-laki dan masih kuliah.

Mamaku sudah lama meninggal, saat aku masih berusia belasan tahun. Sedangkan papa baru dua tahun yang lalu menyusul mama.

Aku tinggal berdua dengan adik bungsuku di rumah. Meski sebenarnya kami lebih jarang berada di rumah.

Sebagai laki-laki yang masih lajang, kami memang lebih sering menghabiskan waktu di luar.

Rumah peninggalan orangtua kami memang cukup luas, untuk kami tempati berdua. Sementara kakak sulungku, sudah tinggal di rumah mereka sendiri.

Kehidupanku sebenarnya biasa-biasa aja. Tidak ada hal istimewa yang bisa aku ceritakan.

Hidupku terlalu mudah. Kadang aku merasa hambar dengan hidupku.

Terlalu datar. Tidak pernah ada tantangan yang berarti.

Semua yang terjadi dalam perjalana hidupku, benar-benar biasa.

Aku lahir, tumbuh, sekolah, kuliah dan kemudian mendapatkan pekerjaan dengan mudah.

Dan berbicara tentang pacaran, aku belum pernah pacaran sama sekali.

Tapi aku pernah beberapa kali jatuh cinta, hanya saja aku selama ini selalu jatuh cinta kepada orang yang salah. Karena itu aku tidak pernah berani mengungkapkannya apa lagi mewujudkannya.

Segala rasa cintaku hanya bisa aku pendam, tanpa mampu aku ungkapkan.

Aku hanya bisa berimajinasi tentang sebuah hubungan dengan orang yang aku cintai.

Sebagian besar hidupku, lebih sering aku habiskan di dunia khayalku.

Tapi itulah aku, dan aku tidak merasa menyesal terlahir seperti ini. Setidaknya ada begitu banyak hal yang masih bisa aku syukuri dalam hidupku.

Aku tidak punya banyak teman, kecuali teman-teman kerja yang hanya bertemu ketika jam kerja.

Selebihnya aku lebih sering menghabiskan waktu sendiri, menikmati indahnya dunia khayalku.

*****

Untuk mengisi kekosongan hari-hariku, terutama saat hari libur, aku punya sebuah hobi yang aku lakoni sejak kecil.

Yakni memancing. Bukan memancing keributan, ya...

Memancing seperti sebuah hobi keturunan bagiku. Karena sejak kecil aku paling sering diajak papa untuk ikut dengannya pergi memancing.

Hal itu terus berlanjut hingga aku dewasa dan papa akhirnya pun meninggal.

Sejak papa meninggal, aku tetap menjalankan hobiku tersebut. Hanya saja, aku selalu pergi sendirian.

Jarak desa tempat aku memancing, dengan kota tempat aku tinggal hanya lebih kurang 60 km. Atau sekitar satu jam perjalanan naik mobil.

Setiap minggu aku selalu rutin pergi memancing. Hingga aku punya langganan sendiri untuk menyewa pompong di desa tersebut.

Oh, ya. Bagi yang belum tahu, pompong itu adalah sejenis kendaraan air yang digunakan oleh masyarakat desa untuk trasportasi mereka di sungai.

Pompong adalah sejenis kapal kecil, yang menggunakan mesin diesel. Pompong terbuat dari kayu yang diolah sendiri oleh masyarakat desa.

Pompong memiliki rumah di bagian atasnya, untuk tempat berteduh.

Biasanya pompong bermuatan untuk empat atau lima orang.

Tapi karena aku yang lebih suka pergi memancing sendiri, aku hanya berdua dengan supir pompong tersebut untuk pergi memancing di sepanjang sungai.

Biasanya pompong tersebut di sewa oleh para pemancing dari kota, beserta sopirnya.

Karena sudah teramat sering datang ke desa tersebut untuk memancing, aku punya sebuah pompong langganan setiap minggunya.

Pemilik sekaligus sopir pompong tersebut sudah sangat kenal denganku, bahkan juga dengan almarhum papa.

Pemilik pompong tersebut memang sudah cukup tua, tapi beliau masih kelihatan sehat dan bugar.

Sebagian besar penduduk di desa tersebut memang bekerja sebagai nelayan di sungai.

*****

Pada suatu minggu, seperti biasa aku berniat untuk pergi memancing sendiri.

Namun kali ini aku tidak pergi dengan bapak pemilik pompong yang biasa aku sewa.

Karena pada saat itu, beliau sedang berada di rumah sakit, untuk menemani istrinya berobat.

Untuk menggantinya membawa pompong tersebut, beliau sengaja meminta seorang pemuda yang masih merupakan keluarganya, untuk menemaniku memancing.

Pemuda tersebut berperawakan sedang, denga kulit sawo matangnya.

"Dani, bang." begitu pemuda tersebut menyebut namanya, ketika kami berkenalan.

"Angga.." jawabku ringan.

Dani memiliki belahan tipis di dagunya, yang membuat ia jadi manis dilihat.

Tubuhnya cukup kurus tapi sangat berotot, terlihat kekar.

Dani kalau kuperkirakan, baru berusia 20 tahun.

"kamu masih kuliah?" tanyaku berbasi-basi, ketika akhirnya pompong tersebut berlabuh di pinggiran sungai tempat biasa aku memancing.

"saya gak kuliah, bang." jawab Dani datar.

"oh.." ucapku manggut-manggut, sambil mulai mengeluarkan peralatan mancingku.

"jadi kegiatan kamu sehari-hari apa?" tanyaku lagi.

"ya, seperti kebanyakan penduduk disini, bang. Cari ikan di sungai, atau sekali-kali bawa orang mancing seperti ini.." jelas Dani.

Aku mulai memasang pancingku. Suasana sungai pagi itu cukup sunyi.

Biasanya memang seperti itu. Karena kami pergi memancing agak sedikit jauh dari pemukiman penduduk.

Dengan menggunakan pompong, kami para pemancing memang bisa pergi sejauh yang kami inginkan sepanjang sungai tersebut.

Dalam satu hari, kami biasanya berpindah-pindah untuk mencari lubuk ikan yang banyak.

Disepanjang aliran sungai tersebut, masih dikelilingi hutang belantara di pinggiran sungainya.

Penduduk di desa tersebut sangat jarang berlalu lalang di sungai, apa bila sudah terlalu jauh dari perkampungan.

Biasanya para penduduk yang bekerja mencari ikan, lebih sering berada di anak-anak sungai.

Dani terlihat santai berbaring di bagian dalam pompong, sambil menungguku memancing.

Di dalam pompong juga tersedia peralatan memasak, seperti kompor, kuali dan peralatan lainnya.

Namun biasanya, aku lebih memilih membawa nasi yang aku beli di rumah makan terdekat.

"bang Angga mau saya bikinin kopi?" tanya Dani tiba-tiba, ia sudah duduk di belakangku.

"boleh, kalau kamu gak keberatan, sih.." jawabku ringan.

Dani bersegera untuk membuat kopi untuk kami berdua. Biasanya si pemilik pompong juga melakukan hal tersebut, setiap kali aku pergi memancing dengannya.

Itu memang sudah menjadi salah satu tugas dari mereka, untuk melayani kami para pemancing, selagi masih dalam batas kewajaran.

"kamu gak suka mancing?" tanyaku berbasa-basi lagi, setelah Dani menyediakan secangkir kopi di sampingku.

"gak terlalu suka, bang. Kalau kami kan sudah hampir setiap hari, berususan dengan ikan. Meski kami menangkapnya dengan cara yang berbeda.." jawab Dani lugas.

"kamu udah nikah?" aku bertanya lagi, sekedar menghilangkan kejenuhanku, karena ikan agak jarang makan pagi itu.

"belumlah, bang. Kan masih 20 tahun. Bang Angga sendiri udah nikah?" balas Dani bertanya balik.

"belum." jawabku singkat.

"kenapa? bang Angga kayaknya udah cukup mapan untuk berumah tangga." balas Dani lagi.

"bukan kenapa-kenapa, sih. Memang lagi belum kepengen aja..." aku menjawab pelan.

"emang bang Angga udah berapa usianya?" tanya Dani.

"saya udah 26 tahun.." jawabku.

Suasana kembali hening, aku sedikit menyibukkan diriku dengan mengangkat pancing dan mengganti umpannya.

"mau pindah, bang?" Dani bertanya, melihat aku belum mendapatkan satu ekor ikan pun.

"gak usah. Di sini aja. Memancing itu memang butuh kesabaran lebih.." jawabku ringan.

"sama seperti halnya hidup ini ya, bang. Butuh kesabaran.." ucap Dani, yang membuatku meliriknya.

"emang hidup kamu seperti apa?" tanyaku.

"yah, beginilah, bang. Saya harus bekerja keras, agar tetap bisa bertahan hidup." suara Dani pelan.

"orang tua kamu gimana?" aku bertanya lagi, aku mulai penasaran dengan Dani.

"Ayahku sudah meninggal, sejak aku masih kecil. Aku dan kedua adikku, dibesarkan oleh ibuku sendirian. Karena itu juga, aku hanya bisa sekolah hingga lulus SMP."

"setelah lulus SMP, aku sudah mulai bekerja sebagai nelayan.." suara Dani masih pelan.

Tiba-tiba aku merasa tersentuh dengan cerita kehidupan Dani. Hidupnya jauh lebih berantakan dari yang aku jalani.

"sekarang saya harus bisa mengumpulkan uang yang banyak, untuk biaya berobat Ibuku." Dani melanjutkan.

"emangnya Ibu kamu sakit apa?" tanyaku benar-benar ingin tahu.

"gagal ginjal, bang. Ia harus menjalani cuci darah, setidaknya sekali dalam seminggu. Sementara penghasilanku sebagai nelayan hanya pas-pasan."

"selain itu, kedua adikku masih butuh biaya banyak untuk sekolah.." jawab Dani, dengan nada terdengar lemah.

Aku tersentuh kembali mendengarnya. Di usianya yang masih cukup muda, Dani sudah harus menanggung beban seberat itu.

*****

Terus terang, aku terkesan dengan Dani. Bukan saja karena cerita hidupnya yang pilu, tapi juga karena sejujurnya Dani cukup menarik secara fisik. Dan hatinya juga lembut.

Aku mulai berpikir untuk bisa membantu Dani. Setidaknya dengan begitu, aku jadi punya tujuan.

Hanya saja, aku agak ragu menawarkan bantuan kepada Dani. Aku takut ia tersinggung.

"saya akan melakukan apa pun, bang. Asal Ibu bisa sembuh." cerita Dani lagi.

"kata dokter, Ibu bisa sembuh, jika ia segera dioperasi. Namun biaya untuk operasi sangat besar. Aku tak sanggup membayarnya." lanjut Dani.

Aku terdiam, sambil terus memikirkan cara paling tepat untuk menawarkan bantuan kepada Dani.

"saya punya penawaran buat kamu, Dan." ucapku akhirnya.

"penawaran apa, bang?" tanya Dani, keningnya berkerut penuh tanya.

"tapi kamu jangan tersinggung, ya.." balasku.

Dani hanya mengangguk. Sepertinya ia memang benar-benar ingin tahu.

"aku... aku.. aku ingin membantu kamu, Dan. Aku ingin menawarkan pinjaman tanpa bunga sama kamu, untuk biaya operasi ibu kamu. Kebetulan saya masih punya banyak tabungan." ucapku sedikit ragu.

"gak usah, bang. Saya cerita ini, bukan untuk dikasihani. Tapi saya cerita hanya sekedar, untuk meluahkan perasaan saya.." ucap Dani pelan.

Seperti yang aku duga, tidak mudah menawarkan bantuan kepada orang seperti Dani.

"ini bukan karena aku kasihan sama kamu, Dan. Saya hanya coba membantu kamu, karena menurut saya, saya mampu. Kamu gak perlu merasa sungkan. Saya tulus, kok. Kamu bisa membayarnya dengan di cicil, Dan..." ucapku lagi, dengan sedikit penuh harap.

Kali ini Dani terdiam. Aku yakin, Dani sangat membutuhkan bantuan. Namun karena kami yang baru saja saling kenal, tentu saja Dani masih merasa ragu.

"saya setiap minggu pasti datang kesini, Dan. Jadi kamu usah khawatir. Lagi pula, kamu bisa menyicilnya seberapa pun kamu mampu, setiap minggunya atau bahkan sebulan sekali juga gak apa-apa.." jelasku lagi, mencoba meyakinkan Dani.

Dani masih terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras.

"kenapa bang Angga tiba-tiba ingin membantu saya? Padahal kita baru saja saling kenal. Dan kenapa bang Angga bisa percaya sama saya, dengan meminjamkan uang sebanyak itu?" Dani bertanya juga akhirnya.

"saya juga seorang yatim, Dan. Seorang yatim piatu malah. Meski saya baru kehilangan orangtuaku ketika saya sudah besar, tapi saya tahu persis bagaimana rasanya hidup tanpa orangtua.." balasku dengan nada lirih.

"dan lagi pula tabungan saya juga belum ingin saya gunakan untuk apa-apa. Jadi lebih baik saya gunakan untuk membantu orang yang membutuhkan." lanjutku.

****

"makasih ya, bang Angga.." pelan suara Dani.

"bang Angga sudah sangat membantu saya. Sekarang Ibu sudah selesai di operasi, dan sudah bisa kembali ke rumah. Beliau juga tidak perlu lagi melakukan cuci darah. Setidaknya itu sudah cukup mengurangi biaya hidup kami.." Dani melanjutkan.

Kali ini kami bercerita, di dalam pompong seperti biasa.

Sejak Dani akhirnya memutuskan menerima tawaran pinjaman uang dariku, sebulan yang lalu, aku memang semakin sering pergi memancing bersama Dani.

Bahkan ketika bukan hari libur pun, saya masih menyempatkan diri untuk pergi memancing.

Ya, harus saya akui, Dani telah mampu menyita perhatianku.

Aku mulai menyukai sosoknya. Aku diam-diam mulai mengagumi Dani. Bunga-bunga cinta mulai tumbuh perlahan di hatiku.

Tapi hingga saat ini, aku hanya mampu memendamnya. Membayangkan wajah manis Dani hampir setiap malam. Memimpikannya di setiap tidurku.

"udah.. santai aja, Dan. Selama hal itu bisa membuatmu merasa senang, saya turut senang, kok." ucapku membalas ucapan Dani barusan.

Aku memang terkadang harus berusaha sekuat mungkin, untuk bisa menutupi perasaanku yang sebenarnya kepada Dani.

"kenapa bang Angga begitu baik padaku, bang?" Dani bertanya lagi.

Aku terdiam. Terus terang aku tidak tahu harus menjawab apa saat itu. Aku tidak mungkin jujur pada Dani tentang perasaanku. Setidaknya tidak untuk saat ini.

Namun aku juga tidak punya alasan yang kuat, untuk bisa meyakinkan Dani.

"aku... aku... sebenarnya aku suka sama kamu, Dan." ucapku akhirnya.

Dani menatapku setengah tak percaya. Dahinya mengerut.

"apa yang membuat bang Angga begitu menyukai saya. Padahal saya hanya seorang nelayan miskin.." suara Dani terdengar lirih.

"saya juga gak tahu kenapa, Dan. Tapi yang pasti sejak pertama kali melihat kamu, aku mulai tertarik sama kamu." jawabku pelan.

"dimataku kamu begitu manis. Kamu juga terlihat kekar. Dan terlepas dari itu semua, kamu juga punya hati yang lembut.." lanjutku masih terdengar pelan.

"tapi, bang. Aku bukan siapa-siapa, bang. Aku yakin begitu banyak orang yang tertarik pada abang, terutama orang-orang kota. Kenapa abang justru memilih aku?" suara Dani terdengar lemah.

"cinta adalah sesuatu yang rumit, Dan. Kita tidak pernah tahu kapan dan kepada siapa kita akan jatuh cinta. Dan ketika cinta itu tumbuh, kita tidak bisa begitu saja menghindar.." ucapku.

"pertanyaannya adalah, apa kamu juga menyukaiku?" lanjutku bertanya.

Kali ini Dani terdiam. Ia terlihat berpikir keras. Dahinya mengerut dua kali lipat dari biasanya.

"aku gak tahu pasti apa yang aku rasakan terhadap bang Angga. Namun bang Angga begitu baik padaku. Bang Angga juga tampan. Dan terlepas dari itu semua, aku juga merasa nyaman bisa dekat dengan abang.." Dani berucap juga akhirnya.

"aku belum bisa menyimpulkan bahwa apa yang aku rasakan terhadap bang Angga adalah sebuah perasaan cinta. Namun yang pasti, aku tetap bersedia kok, untuk menjalin hubungan cinta dengan bang Angga.." Dani melanjutkan.

Dan aku merasa bahagia mendengarnya. Setidaknya aku punya sedikit harapan, untuk bisa menjalin hubungan dengan Dani, sang nelayan manis tersebut.

*****

Dua bulan berlalu, aku dan Dani sudah sepakat untuk menjalin hubungan asmara.

Setiap malam minggu, aku selalu datang ke desa Dani, dan mengajaknya pergi memancing dengan pompongnya.

Di dalam pompong itulah kami melakukan hubungan intim.

Aku bahagia dengan semua itu, dan sepertinya Dani juga sangat menikmati hubungan kami.

Aku benar-benar tidak menyangka, kalau aku akhirnya bisa merasakan bagaimana rasanya punya pacar.

Aku akhirnya bisa merasakan dicintai oleh orang yang aku cintai. Merasakan indahnya sebuah jalinan asmara.

Hingga hubungan kami terus terjalin sampai saat ini.

Semoga saja hubunganku dengan Dani, bisa terus bertahan selamanya..

Ya, semoga saja...

******

Sekian...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate