Aku menatap Aditya tanpa kedip, seolah tak percaya dengan apa yang barusan diucapkannya.
"kamu serius, Dit?" tanyaku setengah mendesah.
Aditya membalas tatapanku, senyum manisnya mengembang.
"iya, aku serius.." ucapnya pelan.
Meski aku sudah menduga hal ini akan terjadi, namun tetap saja aku merasa belum siap untuk mendengarnya.
Aditya adalah sahabatku sejak SMA, hingga kini kami sudah memasuki tahun kedua kuliah.
Persahabatan kami selama ini memang cukup erat. Ditambah pula kami kuliah di kampus dan fakultas yang sama, membuat kedekatan kami kian terasa.
Aditya merupakan sahabat terbaikku, dia selalu ada kapan pun aku membutuhkannya.
Aditya adalah anak tunggal dari seorang pengusaha kaya. Kehidupannya memang terbilang mewah dan serba berkecukupan.
Sementara aku sendiri hanyalah anak seorang pedagang asongan. Aku anak kedua dari empat bersaudara.
Kakakku perempuan sudah menikah dan sudah tinggal di rumahnya sendiri, meski masih kontrak. Suaminya hanya seorang buruh bangunan.
Kedua adikku juga perempuan dan masih sekolah.
Secara ekonomi kehidupan keluargaku memang sangat jauh berbeda dengan kehidupan Aditya yang serba ada.
Namun hal itu tidaklah membuat perbedaan apapun dalam persahabatan kami.
Aditya dan kedua orang tua nya sangat baik padaku. Aditya sering mengajakku ke rumahnya dan bahkan aku sering menginap disana.
Aku juga sering mendapatkan bantuan finansial dari Aditya, meski aku tidak pernah memintanya.
Kebaikan Aditya selama ini, membuat aku terkadang merasa berhutang budi padanya.
"itulah gunanya sahabat, Jer. Harus bisa saling membantu.." begitu ucap Aditya selalu, setiap kali aku membahas tentang kebaikannya padaku.
Bertahun-tahun persahabatan kami terjalin dengan baik. Namun akhir-akhir ini, perlakuan Aditya padaku terkadang terasa berlebihan bagiku.
Bahkan Aditya terkadang sering mendekapku dengan sengaja, terutama saat aku menginap di kamarnya.
Mulanya aku menganggap semua itu hanyalah hal yang biasa. Namun lama kelamaan aku juga terkadang merasa cukup risih dengan sikapnya tersebut.
Apa lagi Aditya juga sering bersikap mesra padaku. Sering memberiku hadiah-hadiah tanpa alasan yang jelas.
Pada akhirnya aku mulai menyadari, kalau sikap Aditya tersebut bukanlah sesuatu yang wajar.
Aku mulai menyadari, kalau Aditya itu berbeda.
Sampai akhirnya Aditya dengan terang-terangan mengungkapkan perasaannya padaku.
"aku jatuh cinta padamu, Jer..." begitu ucap Aditya tadi. Ucapan yang membuatku menatapnya tanpa kedip dan hampir tak percaya.
"kamu yakin, Dit?" tanyaku sekali lagi, sekedar meyakinkan pendengaranku sendiri.
"apa aku harus mengulang ucapanku lagi?!" balas Aditya kemudian.
Oh, aku menghela napas. Kemudian tertunduk.
Aku tidak tahu harus berkata apa saat ini. Kejujuran Aditya tentang perasaannya padaku, telah menumbuhkan dilema di hatiku.
Tak pernah aku sangka, kalau Aditya ternyata adalah seorang gay. Pantas saja selama ini aku tidak pernah melihatnya pacaran.
"kenapa harus seperti ini, Dit?" tanyaku akhirnya, dengan nada lirih.
"aku juga tidak mengerti dengan semua ini, Jer. Semua ini terjadi begitu saja. Aku tak bisa membendung perasaanku sendiri. Aku tak mampu lagi menutupinya. Aku hanya ingin kamu tahu, dan aku tidak berharap apapun dari kamu, Jer." Aditya membalas dengan nada tak kalah lirihnya.
"aku tahu ini salah, Jer. Aku tahu aku bodoh. Tapi aku tidak mungkin selamanya bisa memendam perasaan ini." Aditya melanjutkan kalimatnya.
"aku tahu ini akan merusak persahabatan kita, Jer. Tapi aku juga tidak ingin menyimpan perasaan cintaku padamu, di balik topeng persahabatan kita. Aku mencintai kamu, Jer. Selama ini aku menganggap kamu lebih dari sekedar sahabat..."
Aku terpaku mendengar semua itu. Hatiku semakin bimbang.
Sejujurnya aku tidak ingin kehilangan Aditya sebagai sahabat, apa lagi mengingat betapa baiknya Aditya selama ini padaku.
Tapi aku juga tidak bisa terus menjalin persahabatan dengan Aditya, sementara aku tahu kalau ia mencintaiku.
Selama ini Aditya juga tahu, kalau aku sudah beberapa kali berpacaran dengan perempuan. Bahkan saat ini pun aku juga sedang melakukan pendekatan dengan seorang cewek teman kampus kami.
Aku tidak menegaskan kalau aku normal. Karena siapa saja sangat berpotensi menjadi seorang gay.
Tapi setidaknya hingga saat ini, aku masih selalu berfantasi tentang perempuan. Tak pernah sekalipun terlintas dalam pikiranku untuk berpacaran dengan seorang laki-laki.
Namun sekali lagi, sebagai sahabat aku sangat membutuhkan Aditya dalam hidupku.
******
Sudah seminggu aku tak lagi pernah bertemu atau pun berkomunikasi dengan cara apa pun dengan Aditya.
Kejujurannya tentang perasaannya padaku seminggu yang lalu, telah merubah segalanya.
Aku tidak membenci Aditya. Tidak sama sekali.
Terlepas dari siapa pun Aditya sebenarnya, ia adalah sahabat yang baik.
Namun aku belum bisa menerima kenyataan kalau ia jatuh cinta padaku. Selain itu, aku juga merasa risih harus dekat-dekat dengannya lagi.
Aditya sendiri juga tidak berusaha menemui atau pun menghubungiku.
Seminggu ini, aku benar-benar merasa kesepian. Tak ada lagi gelak canda dari Aditya, yang selalu mampu menghiburku selama ini.
Tak ada lagi tempat aku berbagi cerita.
Tiba-tiba saja rasa kehilangan menyelimuti hatiku. Tiba-tiba saja rasa rindu menghantui perasaanku.
Dan harus aku akui, kalau seminggu ini aku jadi sering memikirkan Aditya.
Namun apa yang bisa aku perbuat saat ini?
Akh, aku semakin bingung. Benar-benar bingung.
*****
Sebulan akhirnya berlalu. Aku masih dengan sikap yang sama terhadap Aditya.
Tidak berusaha menghubunginya dan selalu berusaha menghindari pertemuan dengannya.
Hubungan persahabatan kami benar-benar telah berubah menjadi hubungan dua orang asing yang tidak saling kenal.
Hingga suatu hari aku menerima sebuah email dari Aditya. Kira-kira isinya seperti ini :
Jerry sahabatku...
Aku tahu, kejujuranku akan perasaanku padamu, telah mampu mengubah kedekatan kita selama ini.
Terus-terang ada begitu banyak rasa bersalah yang terus menghantuiku sebulan belakangan ini.
Tapi aku tidak mungkin bisa menarik perkataanku lagi.
Apa yang sudah aku ungkapkan padamu sebulan yang lalu adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa aku pungkiri.
Meski pada akhirnya, harus aku akui, kalau aku merasa menyesal akan semua itu.
Untuk itu, aku berusaha untuk menjumpaimu.
Tapi sepertinya kamu selalu berusaha untuk menghindariku, seakan-akan aku adalah seorang penyakitan yang akan menularkan virus-virus berbahaya padamu.
Aku sadar, aku memang berbeda. Aku menjijikkan!
Aku memang tidak berpantas berteman dengan siapa pun.
Tapi satu hal yang harus kamu tahu, tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang ingin terlahir sebagai seorang gay, tak terkecuali saya.
Bukan keinginanku, untuk terlahir berbeda.
Bukan keingananku, untuk akhirnya jatuh cinta padamu.
Semua itu terjadi begitu saja, tanpa bisa aku cegah dan tanpa bisa aku hindari.
Aku cukup sadar kok, kamu pasti malu berteman denganku.
Karena itulah aku memutuskan, untuk pindah. Pindah kuliah dan juga pindah rumah.
Aku memutuskan untuk pindah ke kota lain, agar kita tidak lagi saling bertemu.
Agar kamu bisa terus bebas melewati hari-hari, tanpa ada bayang-bayangku di sana.
Aku akan belajar melupakanmu, melupakan segala kenangan indah yang tercipta dari persahabata kita selama ini.
Jika pun aku tidak mampu melupakanmu, izinkan aku menyimpan namamu direlung hatiku yang terdalam.
Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaikku beberapa tahun ini.
Tahun-tahun bersamamu adalah tahun-tahun paling indah dalam perjalanan hidupku.
Terima kasih telah menajdi bagian penting dalam hidupku.
Aku harap, kamu tidak melupakanku, meski hanya sebagai sahabat.
Dari sahabatmu yang mencintaimu,
Aditya...
*****
Hatiku merasa tergores membaca isi email tersebut.
Ada luka memanjang yang menyayat hatiku tiba-tiba.
Perih...
Aku memang belum bisa menerima kenyataan, kalau sahabatku adalah seorang gay dan dia mencintaiku.
Tapi aku lebih tidak bisa menerima kenyataan, kalau aku akan kehilangan dirinya.
Tiba-tiba rasa rindu menyelubungi hatiku.
Aku rindu tawanya, aku rindu cerita dan candanya.
Dan yang lebih parah lagi, aku merindukan dekapannya.
Oh, tidak...
Aku tidak boleh terlarut dalam rasa ini. Biar bagaimana pun, Aditya adalah seorang laki-laki.
Hubungan kami tidak boleh lebih dari sekedar sebuah persahabatan.
****
Aku tak berniat untuk membalas email Aditya.
Bukan karena aku tidak peduli dengan perasaannya, tapi aku benar-benar tidak tahu harus membalas apa saat ini.
Kehadiran Aditya selama ini, telah mampu mengisi hari-hariku dengan indah.
Namun sekarang ia tak lagi bersamaku.
Rasa kehilangan itu pasti ada. Tapi untuk bisa terus menjalin persahabatan dengan Aditya terasa sulit bagiku.
Karena itu, aku pun mencoba menjalani hari-hariku tanpa kehadiran Aditya.
Mungkin memang harus seperti ini. Persahabatan kami tidak mungkin bisa dilanjutkan lagi, apa lagi Aditya sendiri sudah memutuskan untuk pergi dari kehidupanku.
Aku duduk sendirian di bangku taman sore itu, mengingat-ingat kembali kebersamaanku dengan Aditya selama ini.
Tiba-tiba seorang laki-laki paroh baya duduk di dekatku.
"kamu Jerry, kan?" tanya laki-laki itu tiba-tiba.
Aku menatap laki-laki itu beberapa saat, mencoba mengenali wajahnya.
"maaf bapak siapa ya?" tanyaku akhirnya, setelah cukup yakin aku tidak mengenalinya.
"saya Rangga. Panggil aja om Rangga. Saya tahu kamu dari Aditya.." balas laki-laki itu datar.
"apa hubungan om sama Aditya?" tanyaku lagi.
"sebenarnya kami tidak punya hubungan apa-apa. Kami hanya saling kenal lewat media sosial. Aditya sering curhat padaku tentang kamu.." jelas laki-laki kemudian, sambil ia sedikit menyunggingkan senyum.
"Aditya cerita apa aja sama om?" tanyaku penasaran.
"banyak, sih. Terutama tentang perasaannya padamu yang selama ini ia pendam. Aditya juga udah cerita kalau sekarang ia udah pindah, karena merasa malu bertemu lagi denganmu." om Rangga menarik napas ringan.
"Aditya sempat salah sangka karena perlakuanmu padanya selama ini. Ia pikir kamu juga punya perasaan yang sama dengannya. Tapi ternyata ia salah, karena itu juga ia pergi." lanjut om Rangga kemudian.
"lalu untuk apa om menemui saya?" aku bertanya lagi.
"saya penasaran sih sebenarnya. Aditya memang sempat mengirimkan photo kamu sama saya. Karena itu tadi ketika melihat kamu duduk sendirian disini, saya beranikan diri untuk menghampiri kamu. Sekedar meyakinkan, bahwa kamu memang pantas untuk selalu dipuja-puja selama ini oleh Aditya." om Rangga menjawab dengan lugas.
"emangnya Aditya sebegitunya ya, sama saya?" tanyaku kemudian.
"iya. Aditya terlalu mencintai kamu. Sampai-sampai ia selalu menolak setiap kali aku mengajaknya berpacaran." jawab om Rangga.
"om Rangga gay juga?" tanyaku cukup berani.
Om Rangga tak menjawab. Ia hanya mengangguk ringan.
"menjadi gay itu bukan pilihan." ucapnya kemudian, "tapi tidak mudah melepaskan diri dari semua itu. Mungkin bagi orang-orang, kami adalah sebuah penyakit yang harus dihindari dan pasti bisa diobati. Tapi seandainya saja mereka tahu, apa yang kami rasakan sebenarnya...." lanjut om Rangga menggantung kalimatnya.
"tapi ya sudahlah. Itu juga gak penting untuk dibahas. Yang harus kamu tahu saat ini ialah bahwa Aditya adalahh laki-laki baik, yang punya cinta yang begitu tulus untukmu. Sayang kamu telah menyia-nyiakannya.." ucap om Rangga kembali.
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
Aku tahu, Aditya mencintaiku tulus. Tapi aku tetap tidak bisa memaksa hatiku untuk mencintainya juga.
Aku menyayangi Aditya sebagai seorang sahabat. Tidak lebih!
Dan sangat tidak mungkin bagiku untuk mencintainya sebagai seorang kekasih.
"ya udah, saya pergi.." ucap om Rangga tiba-tiba, setelah cukup lama kami saling terdiam.
"saya harap kamu tidak menyesal dengan keputusan kamu.." lanjutnya, sambil mulai berdiri dan kemudian melangkah meninggalkanku sendirian.
******
Aku akhirnya pacaran dengan Melly, cewek cantik teman kampusku yang selama ini sudah aku incar.
Sejak berpacaran dengan Melly, aku mulai melupakan sosok Aditya dalam hidupku.
Aku sudah terbiasa menjalani hari-hari tanpa kehadiran Aditya sebagai sahabatku.
Namun hubunganku dengan Melly hanya bertahan tiga bulan. Karena akhirnya aku tahu, Melly hanya memanfaatkanku, untuk mengisi kekosongan hatinya.
Aku kecewa dan patah hati.
Saat-saat seperti ini, aku kembali teringat akan Aditya. Biasanya ia yang selalu menghibur dan memberikan semangat padaku.
Oh, Aditya.. dimanakah dirimu saat ini. Aku membutuhkanmu, aku merindukanmu..
Bathinku lirih.
Untuk menghibur diriku, aku mencoba berselancar di dunia maya. Tanpa sadar aku membuka akun milik Aditya yang sudah lama aku abaikan.
Aku melihat postingan-postingan Aditya yang terlihat bahagia dengan seorang laki-laki, yang aku ketahui adalahom Rangga.
Meski mereka tidak memperlihatkan kemesraan mereka, tapi aku yakin mereka sudah menjalin hubungan yang lebih serius.
Aditya bisa saja akhirnya menerima cinta om Rangga, untuk menutupi kekecewaannya padaku.
Dan entah mengapa aku merasa cemburu menyadari hal tersebut.
Aku tidak rela, Aditya menjadi dekat dengan om Rangga.
Aku mencoba mengirimkan pesan kepada Aditya, sekedar menanyakan kabarnya.
Tapi Aditya tidak segera membalas, meski ia sudah membacanya.
Sepertinya Aditya memang sudah berhasil melupakanku.
Dan sekali lagi, aku merasa kecewa akan hal itu.
*****
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba Aditya membalas pesanku.
Dia mengabarkan kalau ia baik-baik saja, dan juga bertanya tentang kabarku.
Aku pun menjawab kalau aku juga baik-baik saja.
Hari-hari selanjutnya, aku dan Aditya jadi sering chattingan.
Sampai akhirnya aku memberanikan diri bertanya tengan hubungannya dengan om Rangga.
"kenapa? Kamu cemburu ya?!" tanya Aditya melalui pesannya.
Untuk sesaat aku tidak membalas pesan itu. Aku harus memikirkan kalimat yang tepat untuk membalasnya.
Biar bagaimana pun, aku masih merasa malu untuk mengakui akan kecemburuanku. Tapi aku juga tidak rela, Aditya bersama om Rangga.
"gak, kok. Aku biasa aja. Hanya saja, aku takut kamu hanya dimanfaatkan oleh om Rangga.." balasku akhirnya.
"kamu tenang aja, Jer. Meski aku tahu om Rangga mencintaiku, tapi aku tidak punya rasa apa-apa padanya. Sampai saat ini, aku hanya mencintaimu.." Aditya membalas.
Entah mengapa membaca pesan tersebut, hatiku merasa lega. Bahkan bukan sekedar lega, tapi merasa bahagia.
Setidaknya aku masih punya harapan, untuk bisa bersama Aditya.
"aku juga mencintai kamu, Dit.." balasku, setelah berpikir cukup panjang.
Aditya tidak lagi membalas pesanku. Ia tiba-tiba menghilang.
Berhari-hari akunnya sudah tidak aktif lagi.
Aku mulai merasa khawatir. Aku takut terjadi apa-apa pada Aditya.
Selain itu, aku juga merasa takut, kalau Aditya tidak bisa memberikan aku kesempatan untuk menjalin hubungan yang serius dengannya.
Seminggu kemudian, akhirnya Aditya mengirim pesan padaku, bahwa ia sudah kembali dan sedang menungguku di sebuah hotel tak jauh dari rumah tempat aku tinggal.
Dengan perasaan bahagia, aku segera menuju hotel tersebut.
Sesampai disana, aku langsung menuju kamar hotel yang telah Aditya sebutkan tadi.
Aditya menyambutku senyum mengembangnya.
Aku segera mendekap tubuh Aditya. Dekapan itu terasa hangat dan begitu nyaman.
Segala rasa rinduku seakan sirna.
Akhirnya segala keegoanku selama ini, luluh oleh ketulusan cinta seorang Aditya.
"aku yakin, kamu akan segera menyadari semua ini, Jer.." bisik Aditya di telingaku.
"maafkan aku ya, Dit. Butuh waktu lama bagiku untuk mengakuinya. Maafkan aku juga, telah membiarkanmu menunggu begitu lama.." balasku ikut berbisik.
"itu tidak penting lagi, Jer. Yang penting sekarang, kita bisa bersama-sama. Tidak lagi hanya sekedar sahabat, tapi lebih dari itu.." ucap Aditya selanjutnya.
Aku tidak berucap lagi. Aku mencoba menikmati saat-saat romantis itu.
"aku mencintaimu, Jerry. Aku sangat mencintaimu.." Aditya berucap lagi, kali ini terdengar penuh perasaan.
"aku juga mencintaimu, Dit. Aku harap kamu jangan pergi lagi ya.." balasku, sambil terus mendekapnya erat.
*****
Sekian...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar