Sejuta cinta untuk Jeff.

Ini ketiga kalinya, aku merasakan sakitnya ditinggal mentah-mentah oleh seorang cewek. Dikhianati tanpa aku melakukan kesalahan. Rasanya begitu sakit. Meski sudah beberapa kali merasakannya, tetap saja, dikhianati itu terasa menyakitkan.

Dulu, ketika aku masih di SMA, aku pernah pacaran dengan seorang gadis, adik kelasku. Dia gadis yang cantik dan cukup populer di sekolah. Banyak cowok lain yang mengincarnya. Namun setelah perjuangan yang panjang, akhirnya aku mampu menaklukan hati gadis seksi itu. Namanya Sinta, dia menjadi pacar pertamaku, sekaligus cinta pertamaku.

Enam bulan pacaran dengan Sinta, aku merasa begitu bahagia. Banyak teman-teman yang merasa iri melihat kemesraan kami. Tapi semua kebahagiaan itu sirna dalam sekejap. Saat aku tahu, ternyata diam-diam, Sinta juga menjalin hubungan dengan salah seorang teman sekelasku. Awalnya aku mencoba untuk tidak percaya, saat gosip itu beredar. Sampai akhirnya aku mendengar sendiri kata putus dari Sinta. Ia memutuskanku tanpa alasan. Dan seminggu kemudian, aku melihat Sinta berjalan dengan teman sekelasku itu. Sungguh sebuah penghiantan yang luar biasa.

Hal itu tentu saja, membuatku merasa terpukul dan sakit. Sinta telah mengkhianati cinta suciku. Dia bahkan terlihat santai dan tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Berhari-hari aku mengurung diri di kamar. Aku seperti kehilangan separoh napasku. Semangat hidupku memudar. Untuk pertama kalinya aku merasakan indahnya berpacaran, namun semua harus berakhir dengan sebuah pengkhianatan.

Setahun berlalu, aku pun lulus dari sekolah itu. Rasa sakit dihatiku karena dikhinati sudah memudar. Aku sudah bisa menerima semuanya. Apalagi aku tahu, ternyata Sinta pada akhirnya juga ditinggalkan cowoknya itu. Sebuah pengkhianatan akan selalu berbalas pengkhianatan pula, meski bukan oleh orang sama.

Saat kuliah, aku bertemu dan berkenalan dengan Novi. Dia gadis yang cantik dan juga sangat ramah. Sejak pertama bertemu dengan Novi, aku mulai menyukainya. Kami pun akhirnya dekat, dan aku pun jatuh cinta padanya. Gayung bersambut, ternyata Novi juga punya perasaan yang sama denganku. Kami pun akhirnya pacaran. Dunia kembali penuh warna bagiku. Maklum, sejak pengkhianatan Sinta. Hatiku seakan membeku. Namun sejak Novi hadir, hatiku mulai mencair kembali.

Aku sangat mencintai Novi. Dan aku berharap, Novi juga merasakan hal yang sama. Kami pacaran hingga hampir dua tahun. Dua tahun, hubungan kami berjalan dengan baik. Meski tentu saja, selalu ada pertengkaran-pertengkaran kecil yang terjadi. Namun kami berusaha untuk saling mengerti dan untuk saling memaafkan.

Setelah dua tahun, akhirnya aku tahu, kalau ternyata Novi sudah mengkhianatiku. Aku tak sengaja memergokinya sedang berjalan dengan cowok lain. Aku tak mengenal cowok itu, tapi saat aku melihat mereka, mereka begitu mesra. Hatiku berkecamuk melihatnya. Aku tak bisa menahan kesabaranku, sampai akhirnya aku menghampiri mereka.

Novi terlihat kaget. Mukanya pucat pasi, bak seorang pencuri yang tertangkap basah. Saat itu juga, aku langsung memutuskan Novi. Hatiku terasa tercabik-cabik. Hubungan yang sudah dua tahun terbina, harus berakhir dengan amat sangat menyakitkan bagiku.

Sejak saat itu, aku tak ingin bertemu Novi lagi. Meski berkali-kali Novi berusaha menemuiku. Aku tak ingin mendengarkan apa-apa lagi dari Novi. Apa pun alasannya, Novi telah mengkhianatiku. Dan ini adalah kedua kalinya, aku dikhianati oleh seorang cewek.

Untunglah Novi tidak satu jurusan denganku, hingga kesempatanku untuk menghindarinya sangat besar.

Sekuat apapun aku mencoba menabahkan hatiku, tapi tetap saja sebuah pengkhianatan itu akan terasa begitu menyakitkan. Aku kehilangan semangatku lagi. Tak mudah bagiku sebenarnya, untuk melupakan sosok Novi dalam hidupku. Biar bagaimanapun, aku sudah terlanjur menyayanginya. Aku sudah terlanjur berharap banyak padanya. Dan itu terasa sangat berat bagiku.

Setelah berbulan-bulan, aku akhirnya berhasil melupakan Novi. Bagiku dia hanyalah sepenggal cerita di masa lalu. Aku mulai menikmati kesendirianku lagi.

Dan setahun kemudian, aku berkenalan dengan Rara. Seorang gadis manis, yang memiliki lesung pipi di kedua pipinya. Kami berkenalan melalui media sosial. Saat kami bertemu, aku pun mulai tertarik kepada Rara. Kian hari kami pun kian dekat. Hingga beberapa bulan kemudian, kami pun jadian. Rara menerima cintaku dengan penuh kebahagiaan.

Kami pacaran cukup lama. Hingga aku lulus kuliah dan mendapatkan sebuah pekerjaan. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta. Sementara Rara sendiri juga sudah bekerja di sebuah rumah sakit, karena Rara memang kuliah di jurusan keperawatan.

Setelah memiliki pekerjaan, aku dan Rara jadi jarang bertemu. Kami mulai sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing. Meski kami tetap berusaha menjaga komunikasi diantara kami.

Hubunganku dengan Rara sudah cukup serius sebenarnya, terutama bagiku. Aku bahkan telah memperkenalkan Rara kepada keluargaku. Dan aku sendiri juga sudah bertemu dengan kedua orangtua Rara. Aku sering datang ke rumahnya, terutama bila malam minggu.

Empat tahun kami pacaran. Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Hatiku sendiri sudah merasa mantap, untuk menjadikan Rara pendamping hidupku kelak.

Namun itu semua, ternyata hanya impianku semata. Rara ternyata tidak memiliki impian yang sama denganku. Karena setelah empat tahun itu, akhirnya Rara memilih untuk memutuskanku. Entah apa salahku padanya, hingga dengan begitu mudahnya Rara memutuskanku. Ia memutuskanku tanpa alasan dan tanpa penjelasan, meski aku sudah berusaha meminta penjelasnannya.

"aku capek, Dul. Aku ingin kita menjalani kehidupan kita masing-masing. Aku ingin mengakhiri semua ini..." begitu ucap Rara, setiap kali aku meminta penjelasannya.

Sebulan kemudian, sebuah undangan melayang di meja kerjaku. Seorang teman menyampaikannya padaku. Dalam undangan tersebut, sudah tertulis nama Rara dan calon suaminya. Aku merasa langit runtuh saat itu. Ternyata ini alasan Rara untuk mengakhiri hubungannya denganku. Aku merasa hatiku hancur berantakan. Tak kusangka Rara tega melakukan hal itu padaku. Padahal hubungan sudah berjalan empat tahun. Padahal aku tak pernah menyakitinya. Aku selalu menjaga kesetiaanku. Tapi semua itu tidak ada artinya bagi Rara. Ia justru menikah dengan orang lain.

Untuk ketiga kalinya, aku dikhianati lagi oleh seorang cewek....!!!

****

Kisah cintaku memang selalu berakhir menyakitkan. Sudah tiga kali aku dikhiantai oleh gadis yang aku cintai. Rasanya kepercayaan diriku hilang. Aku bahkan tidak percaya lagi dengan yang namanya perempuan. Bagiku wanita itu terlalu egois. Mereka tak pernah memikirkan perasaan pasangannya.

Pengkhianatan-pengkhianatan yang aku alami, membuatku lebih berhati-hati dalam mengenal wanita. Hingga bahkan aku menutup rapat hatiku, untuk kehadiran seorang wanita pun. Aku tak percaya lagi dengan yang namanya cinta sejati. Bagiku semua wanita itu sama. Sama-sama hanya bisa bikin sakit hati.

Kekecewaanku kian mendalam. Rasa sakit yang harus kutanggung terlalu besar.

Aku mulai berpikir, mungkin ada yang salah dengan diriku. Mungkin aku tidak lagi harus terlalu serius dalam menjalin sebuah hubungan.

Sampai akhirnya aku berkenalan dengan seorang rekan kerja baruku. Namanya Jeff, begitu biasa ia dipanggil. Dia seorang cowok.

Aku memang sudah bekerja sekarang. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang cukup besar. Usiaku sendiri sudah 28 tahun. Sebenarnya aku sudah ingin mencari pasangan hidup saat ini. Tapi karena sudah terlalu sering dikhianati cewek, aku jadi merasa ragu untuk memulai lagi semuanya.

Aku berkenalan dengan Jeff, dan kemudian menjadi akrab dan dekat. Jeff emang orangnya baik. Dia ramah dan pengertian.

Jeff lebih muda tiga tahun dariku. Dia seorang perantau. Ia tinggal di sebuah kost, yang berada tidak begitu jauh dari kantor tempat kami bekerja.

Karena sudah begitu dekat, aku jadi sering main ke kost Jeff. Meski hanya sekedar mampir, untuk melepas lelah sepulang kerja. Sebelum akhirnya aku pulang ke rumah.

Kadang-kadang aku juga sanpai larut malam di kost Jeff. Karena di rumah aku selalu mendengar pertanyaan yang sama hampir setiap hari dari kedua orangtuaku, terutama dari Ibu.

Pertanyaan yang membuatku merasa bosan mendengarnya.

Pertanyaan yang sama, yakni, "kapan kamu nikah, Dul?"

Rasanya aku sudah bosan menjawab pertanyaan itu, kadang aku malah sering mengabaikannya.

Padahal usiaku masih cukup muda. Tapi entah mengapa ayah dan Ibu ingin aku segera menikah.

Mungkin karena aku adalah anak mereka satu-satunya.

"kami juga pengen gendong cucu, loh, Dul." ucap Ibu lagi, untuk yang kesekian kalinya.

"Dul juga pengen nikah, Buk. Tapi Ibu sendiri kan tahu, menemukan wanita baik-baik itu susah.." balasku beralasan.

Aku jadi sering menghabiskan waktu bersama Jeff. Bukan saja saat kami di kantor, tapi juga saat hari libur, aku pun sering berjalan-jalan bersama Jeff.

Entah mengapa aku merasa nyaman saat bersamanya. Jeff memang memperlakukanku dengan baik. Dia selalu punya cara untuk membuatku selalu tersenyum.

"bang Dul orangnya baik, cakep lagi. Mungkin cewek-cewek yang ninggalin bang Dul, memang bukan cewek baik-baik. Yang tidak bisa menilai abang secara utuh..." ucap Jeff suatu ketika, saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah mall.

"udahlah, jangan ngomongin soal cewek, saya lagi mood.." balasku sedikit malas.

"oke. Jadi kita ngomongin soal apa, nih?" tanya Jeff kemudian.

"apa aja, asal jangan tentang cewek. Bagaimana kalau kita ngomongin tentang kamu aja.." jawabku seadanya.

"tentang aku? Gak ada yang menarik tentang aku, bang.." balas Jeff terdengar kalem.

"ada, lah. pasti ada. Misalnya tentang hubungan asmara kamu..?" ucapku lagi.

"tapi abang katanya gak mau ngomongin soal cewek.." balas Jeff lagi.

"iya. Tapi ini tentang kamunya, bukan tentang ceweknya.." aku berujar pelan.

Sebenarnya aku juga tidak tahu, apa persisnya yang ingin aku ketahui tentang Jeff. Tapi...

"kamu pernah pacaran?" tanyaku akhirnya, hanya sekedar ingin tahu.

"pernah dulu waktu SMA, tapi gak bertahan lama. Namun kemudian saya lebih fokus pada study saya, jadi gak pacaran lagi, hingga sekarang.." jawab Jeff santai.

"sebenarnya aku punya rahasia, bang. Dan aku belum pernah menceritakan rahasiaku itu pada siapa pun.." ucap Jeff memecah keheningan, saat kami sudah kembali ke kost-nya.

Aku memang berencana untuk menginap di kost Jeff malam itu. Selain karena malam minggu, aku juga lagi malas di rumah.

"rahasia apa?" tanyaku pelan.

"tapi abang jangan marah ya." balas Jeff, "abang juga jangan ceritakan hal ini kepada siapapun." lanjutnya.

"iya. Abang bisa jaga rahasia, kok." ujarku lagi, sembari aku membaringkan tubuh di samping Jeff, yang sudah terbaring dari tadi di ranjang kecil itu.

Ranjang dalam kost Jeff memang cukup kecil, hingga saat kami berbaring bersama, tubuh kami sudah pasti berdempetan.

Malam itu karena gerah, aku dan Jeff memang sama-sama hanya memakai celana pendek, dan bertelanjang dada.

"gak jadilah, bang.." ucap Jeff tiba-tiba, setelah ia terlihat berpikir sejenak.

"kenapa gak jadi?" tanyaku, keningku berkerut. Sejujurnya aku mulai penasaran, rahasia apa yang dimaksud Jeff.

"takutnya nanti kalau abang tahu, bang Dul justru akan menjauh dariku.." jawab Jeff, kali ini ia menatap lurus ke arah langit-langit kost.

"ya udah, gak apa-apa. Kalau kamu nya belum siap untuk cerita sekarang gak apa-apa.." balasku seadanya. Walau sebenarnya aku juga penasaran, tapi aku gak mungkin maksa Jeff untuk cerita.

Beberapa saat kemudian, kami pun mulai tertidur. Ini pertama kalinya aku sampai menginap di kost Jeff, karena selama ini aku selalu pulang sebelum jam dua belas.

Menjelang subuh aku terbangun, suasana sudah sangat dingin. Namun aku enggan mengambil baju atau pun selimut. Rasa kantukku, membuatku berusaha menahan rasa dingin itu.

Saat beberapa menit kemudian, dalam keadaan setengah tertidur, aku merasakan tangan Jeff melingkar di tubuhku. Posisiku saat itu, memang miring kearah Jeff.

Tubuhku dan Jeff bertautan. Aku merasa hangat, untuk itu aku membiarkannya.

Namun semakin lama, Jeff semakin erat memelukku. Tangannya bahkan aku rasakan mulai mengelus-elus punggungku. Untuk sesaat aku masih membiarkannya.

Sampai akhirnya aku merasakan hembusan napas Jeff begitu dekat dengan hidungku. Dengan cukup berat aku membuka mata, dan kulihat wajah Jeff sudah berjarak hampir satu centi dari mukaku.

Segera aku dorong tubuh Jeff ringan, lalu aku memutar tubuh membelakanginya. Rasa kantuk, tidak membuatku berpikir macam-macam. Mungkin saja, Jeff hanya sedang bermimpi.

Aku kembali memejamkan mata, dan menikmari rasa kantukku yang memang terasa berat subuh itu.

Apa lagi, biasanya setiap hari minggu, aku memang selalu bangun kesiangan.

Tapi tak lama kemudian, Jeff kembali mendekapku dari belakang. Kali ini aku meronta dan bersegera untuk duduk. Aku mulai merasa ada yang salah. Jeff tak mungkin melakukan hal itu tanpa sengaja.

Melihat aku yang tiba-tiba duduk, Jeff membuka matany, lalu menatapku dengan tatapan yang tidak aku pahami.

"kamu ngapain?" tanyaku akhirnya, nada suaraku cukup tinggi.

"aku ... aku .. aku hanya ingin .. memeluk abang..." jawab Jeff terbata, ia tak berani menentang tatapanku lagi.

"kamu suka sama saya?" tanyaku spontan, terus terang aku sendiri tidak tahu, mengapa aku harus mempertanyakan hal tersebut. Tapi aku memang butuh jawaban, mengapa Jeff tiba-tiba memelukku.

"itulah rahasia saya, bang. Saya seorang gay. Dan Saya suka sama abang..." Jeff berujar, ketika akhirnya ia ikut duduk.

Aku menatapnya setengah tak percaya. Namun jika kuingat-ingat lagi, kebersamaan kami selama ini, harus aku akui, kalau Jeff memperlakukanku selama ini memang cukup istimewa.

Perlakuannya padaku, jauh berbeda dari pada ia memperlakukan teman-teman kantor yang lain. Namun selama ini aku hanya menganggapnya hal biasa. Karena diantara teman-teman yang lain, aku boleh dibilang paling dekat dengan Jeff. Jadi rasanya wajar, kalau ia memperlakukanku beda.

Tapi sekarang...

"maafkan aku, bang..." ucap Jeff kemudian, setelah kami terdiam beberapa saat, "aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya tidak bisa lagi memendam semua perasaan ini. Aku terlalu sayang sama abang. Cintaku pada abang terlalu besar, untuk bisa terus aku pendam." Jeff melanjutkan kalimatnya, lalu kemudian ia menarik napas panjang.

"sejak awal, aku tahu ini salah. Karena itu aku tidak pernah berani untuk mengungkapkannya. Namun lama kelamaan kita semakin dekat dan akrab, yang membuatku justru semakin mencintai abang. Perasaanku semakin besar kepada abang." suara Jeff mulai terdengar lirih.

"lebih dari setahun kita dekat, bang. Aku bahagia dengan semua itu. Tapi aku juga ingin, hubungan kita lebih dari sekedar sahabat. Karena aku benar-benar mencintai abang, walau aku tahu, abang bukan cowok seperti aku. Namun aku hanya berharap, abang mau memberikan aku kesempatan. Setidaknya beri aku kesempatan untuk membuktikan, kalau cintaku pada abang, bukanlah cinta biasa. Kalau aku akan selalu setia sama abang dan tidak akan pernah meninggalkan abang, seperti yang dilakukan cewek-cewek abang dulu...." ucap Jeff panjang lebar, yang membuatku terus terdiam.

Jeff memang baik. Dan jujur aku pun merasa nyaman, saat bersamanya. Tapi jika ia begitu menginginkanku, aku tidak akan merasakan kenyamanan itu lagi.

Aku masih terdiam, sambil mulai memakai pakaianku satu persatu. Aku memang tidak tahu harus berkata apa saat itu. Segala perasaan berkecamuk di otakku. Tiba-tiba aku merasa aneh.

"maafkan aku, bang..." lirih suara itu terdengar di telingaku, saat aku akhirnya memutuskan untuk pulang. Aku mengabaikan permintaan maaf Jeff barusan, aku terus saja melangkah keluar dari kamar kost itu.

*****

Dulu, dulu sekali. Saat itu aku masih sangat remaja. Itu adalah hari pertama aku masuk SMP. Seorang senior cowok, melakukan pelecehan padaku secara kasar.

Itu adalah kejadian terpahit sepanjang perjalanan hidupku. Kejadian yang terus menghantuiku selama beberapa tahun.

Aku tak pernah menceritakan hal tersebut kepada siapa pun. Bahkan aku sendiri berusaha untuk melupakannya. Mencoba menganggap hal itu tidak pernah terjadi.

Aku mungkin telah berhasil melupakan hal tersebut. Namun kejadian malam itu bersama Jeff, telah mampu mengungkit kembali kenangan pahit itu. Kenangan yang sudah sekian tahun aku lupakan.

Dan aku membenci Jeff karena itu. Aku membenci Jeff, karena telah membuatku mengingat kembali kejadian menyakitkan itu.

Aku memutuskan untuk tidak lagi berhubungan apapun dengan Jeff, bahkan untuk bertegur sapa saja, aku sudah tak ingin.

Terus terang kami menjadi sangat canggung saat di kantor. Ada banyak hal berbeda yang terjadi.

Berkali-kali Jeff berusaha menghubungiku, namun aku selalu mengabaikannya.

Aku tidak membenci Jeff, karena ia seorang gay. Sama sekali tidak, itu tentang pilihan hidupnya.

Namun yang membuat aku risih, ia justru menaruh rasa suka padaku.

Tapi salahkah Jeff, bila ia jatuh cinta padaku?

Cinta memang sesuatu yang rumit. Terkadang sangat sulit untuk dipahami. Namun terkadang, justru semua hanya butuh kejujuran kepada diri sendiri.

Dan itu yang aku rasakan saat ini. Andai saja aku lebih jujur pada diriku sendiri, aku memang membutuhkan Jeff. Setidaknya sebagai sahabat.

Selama ini Jeff selalu ada untukku. Ia selalu siap menampung semua curhat dan ceritaku. Ia selalu saja punya alasan untuk membuatku selalu tersenyum.

Dan sejujurnya, aku merasa kehilangan. Hidupku terasa sepi dan begitu hampa.

Tidak bisa aku pungkiri, hampir setiap malam aku selalu memikirkan Jeff. Bukan saja tentang rasa cintanya padaku, tapi juga tentang sosok Jeff yang baik dan ramah.

Jeff orangnya cukup tampan, tubuhnya lumayan atletis. Kulitnya putih, bersih terawat. Secara fisik, Jeff memang cukup menarik.

Tapi...

Ahk, aku bingung.

Aku memang menyukai perempuan. Tapi bukan berarti aku benar-benar normal. Aku bisa saja punya kemungkinan menjadi seorang gay, mengingat aku pernah dilecehkan saat remaja oleh cowok.

Namun selama ini, setidaknya sebelum aku bertemu Jeff, aku memang selalu berfantasi tentang seorang perempuan. Dan aku bahkan sudah berkali-kali jatuh cinta dan pacaran dengan perempuan. Meski aku belum pernah melakukan hubungan intim dengan mereka.

Kejadian dengan Jeff malam itu, justru jadi sering menghantuiku. Yang membuat aku semakin sadar, kalau aku sebenarnya juga menyukai Jeff.

Namun saat aku menyadari semua itu. Jeff tiba-tiba menghilang.

Jeff tidak lagi bekerja di kantor seperti biasa. Tidak ada yang tahu, kenapa Jeff tiba-tiba berhenti bekerja. Dan tidak yang tahu juga kemana Jeff pergi. Kontak Jeff pun sudah tidak bisa dihubungi satupun. Termasuk media sosialnya.

Jeff benar-benar menghilang.

Aku yang selama ini cukup dekat dengan Jeff, juga tidak pernah tahu, dimana kampung halaman Jeff. Aku juga tidak tahu, seperti apa kehidupan Jeff, sebelum kami saling kenal.

Jeff yang menghilang tiba-tiba, membuat rasa bersalah menyelinap di hatiku. Biar bagaimanapun, aku tahu, Jeff pergi karena aku yang tak kunjung menegurnya.

Jeff pergi, karena kekecewaannya padaku.

Dan sekarang aku justru semakin merasa kehilangan.

************

Hari-hari terus berlalu, dengan perasaan bersalah yang terus menghantuiku. Aku masih terus mengingat Jeff. Bahkan aku sangat merindukannya.

Kini hari-hariku semakin terasa hampa. Aku kehilangan semangat.

Aku sudah berusaha, mencari tahu dimana Jeff berada saat ini. Tapi tidak ada satu info pun yang bisa menjelaskan dimana Jeff.

Aku hanya ingin Jeff tahu, bahwa aku juga mencintainya.

Namun aku mulai putus asa untuk menemukannya. Aku berusaha untuk tidak lagi memikirkannya.

Sudah setahun Jeff menghilang, aku tidak lagi terlalu memikirkannya. Hingga suatua saat...

"kamu Dul, kan?" sebuah suara mengagetkanku, saat aku sedang termenung sendirian di sebuah kafe.

Seorang laki-laki paroh baya, berdiri di hadapanku.

Aku mengangguk dengan sedikit mengerutkan kening. Mencoba menebak-nebak siapa laki-laki tersebut.

"boleh saya duduk?" tanya laki-laki itu lagi.

Karena penasaran, aku mempersilahkannya duduk.

"aku om Darto, dan aku pamannya Jeff. Bukan paman kandung, sih. Tapi aku dan Jeff cukup dekat..." jelas laki-laki itu, saat ia sudah duduk dihadapanku.

Mendengar nama Jeff, terus terang hatiku bergejolak.

"Jeff banyak cerita tentang kamu. Dia bahkan menyimpan poto-poto kamu di handphone-nya. Kamu gak usah kaget, aku tahu Jeff 'sakit' sudah sejak lama. Tapi aku selalu mendukungnya selama ini. Karena itu adalah pilihan hidup Jeff. Dan aku harus menghargainya..." laki-laki itu, om Darto, melanjutkan kalimatnya.

Begitu banyak yang ingin aku tanyakan pada om Darto, tentu saja semua tentang Jeff. Tapi entah mengapa bibirku rasanya kelu.

"Jeff sebenarnya sakit, Dul. Maksud saya, bukan sakit homo-nya. Tapi benar-benar sakit. Dia menderita kanker otak, sudah bertahun-tahun. Namun Jeff orangnya keras, dia tetap berusaha untuk hidup secara normal. Dia tidak ingin orang-orang merasa kasihan karena penyakitnya itu..." om Darto menghentikan ceritanya, saat seorang pelayan mengantarkan minuman yang tadi ia pesan.

Om Darto meneguk minumannya beberapa kali, lalu kemudian berujar lagi,

"semakin lama, penyakit Jeff semakin parah. Ia tidak bisa lagi menyembunyikannya. Ia harus dirawat di rumah sakit. Dan ia seharusnya di operasi. Namun Jeff selalu menolak untuk di operasi. Hingga kanker itu semakin menggerogoti otaknya. Dan Sebulan yang Jeff pun meninggal...."

Om Darto menarik napas dalam, wajahnya murung.

Aku bukan saja kaget, tapi juga syok, mendengar hal itu.

Bagaimana mungkin seorang Jeff terlihat begitu kuat, ternyata menyimpan penyakit yang begitu parah. Kenapa Jeff tak pernah cerita padaku?

Kenapa Jeff harus menutupi penyakitnya?

"Jeff tahu, umurnya tak lama, karena itu, ia dengan cukup berani mengungkapkan perasaannya padamu. Meski ia tahu, kamu laki-laki normal. Dan jeff menceritakan semua itu padaku, sebelum akhirnya ia meninggal..." om Darto melanjutkan ceritanya.

"ia menitipkan pesan padaku, untuk menyampaikan permintaan maafnya..." setelah berucap demikian, om Darto meneguk minuman terakhirnya. Lalu kemudian pamit.

Aku masih terpaku dalam diam. Hatiku yang tadinya sudah mulai mengikhlaskan kepergian Jeff. Tiba-tiba semakin terluka.

Kali ini bukan lagi karena Jeff yang menghilang tiba-tiba, tapi lebih karena aku akhirnya memang harus kehilangan Jeff untuk selama-lamanya.

Jeff pergi, tanpa ia tahu perasaanku yang sebenarnya padanya. Jeff pergi dengan meninggalkan rasa bersalah yang begitu besar padaku.

Ia pergi, padahal aku punya sejuta cinta untuknya disini....

****

Sekian ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate