Umur saya 26 tahun. Saya sudah 2 tahun lulus kuliah dan bekerja sebagai seorang tenaga honorer di sebuah sekolah swasta. Saya sering mengikuti pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan oleh dinas Pendidikan. Dan kali ini, saya juga mengikuti pelatihan di sebuah hotel di kota P. Saya berangkat pagi tadi dari rumah. Dan sampai di hotel sekitaran jam 1 siang.
Saat itu, sudah banyak peserta yang datang dari berbagai daerah. Saya
langsung menuju kamar yang telah di sediakan oleh panitia. Berdasarkan
keterangan dari resepsionis tadi teman satu kamar saya tidak bisa
datang. Jadi selama pelatihan ini, saya hanya sendirian di kamar ini.
Pelatihan dibuka jam 4 sore nanti, jadi saya masih punya waktu untuk istirahat sejenak.
Pelatihan dilaksanakan selama seminggu. Dari pagi sampai malam setiap
hari. Ada beberapa orang tutor yang hadir pada saat pelatihan itu. Tapi
mereka semua tidak ada yang menginap, kecuali bagi yang dapat jadwal
menjadi tutor pada malam hari. Pelatihan pada malam hari selesai setiap
jam 10 malam.
Pada malam keempat pelatihan. Tutornya seorang laki-laki yang menurut
saya manis banget. Wajahnya biasa saja, namun ada lesung pipi tipis yang
membuatnya enak dilihat, apa lagi ketika ia tersenyum. Namanya pak
Hafis. Badannya juga bagus. Saya suka lihat pria seperti itu. Pria
idaman saya banget.
Pelatihan selesai pas jam 10 malam. Saya melihat pak Hafis keluar ruang
aula dengan santai. Ngobrol dengan beberapa orang peserta lainnya. Tanpa
sengaja mata kami bertatapan, ia tersenyum. Saya sedikit grogi, tapi
berusaha membalas senyumnya. Sebagian peserta sudah banyak yang masuk ke
kamarnya masing-masing. Mungkin karena udah capek mengikuti pelatihan
seharian.
Tiba-tiba pak Hafis memanggil saya dari kejauhan. "Hei! Kamu Abe, kan?" tanyanya kemudian setelah ia berdiri disamping saya.
"iya, pak.." jawab saya sedikit bingung, dari mana pak Hafis tahu nama saya.
"Jadi gini." ucap pak Hafis lagi. "tadi teman-teman bilang, kalau kamu sendirian aja di kamar itu..." lanjutnya.
"Iya, pak..." jawab saya lagi. "teman sekamar saya gak jadi datang. Katanya istrinya melahirkan." lanjut saya menjelaskan.
"Oh. Jadi saya bisa numpang nginap malam ini di kamar kamu, kan? Soalnya mau pulang udah larut gini.." katanya.
"bisa pak.." jawab saya cepat.
"oke. yuk kita langsung ke kamar aja.." ajak nya.
"yuk, pak..." balas saya sambil mulai melangkah menuju kamar saya yang berada dilantai 3 hotel itu.
Pak Hafis mengikuti saya berjalan disamping.
Sesampainya di kamar, pak Hafis langsung merebahkan tubuhnya di ranjang.
Ranjang itu cukup luas untuk dua orang. Saya menaruh berkas dan laptop
saya di meja. Kemudian duduk di sisi ranjang.
"Abe berasal dari mana?" pak Hafis bertanya.
"oh, saya dari desa M, pak. gak terlalu jauh dari kota ini." jawab saya.
"capek kali.." ucap pak Hafis, setelah lama kami terdiam.
"Pak Hafis mau saya pijitin?" tanya saya menawarkan diri.
"emangnya Abe bisa mijit..?" tanya pak Hafis.
"Sedikit bisa lah, pak..." jawab saya, "bakat warisan..he...he..he.." lanjut saya mencoba sedikit akrab.
"maksudnya..?" pak Hafis bertanya lagi, keningnya berkerut.
"Iya. Ayah saya seorang tukang urut di kampung. Beliau cukup terkenal dalam dunia pijit.." jelas saya.
"oh." pak Hafis manggut-manggut, "ya udah, boleh dicoba.." lanjutnya.
Pak Hafis berdiri dan membuka baju dan celananya. Saya melihat tubuh pak
Hafis yang atletis itu dengan jelas. Dadanya berotot dan perutnya
ramping, lengannya juga bagus. Kekar. Benar-benar pria idaman saya. Saya
kemudian membuka baju dan celana saya juga. Saya memakai celana pendek
favorit saya yang sering saya pakai untuk tidur. Sementara pak Hafis
hanya memakai CD.
Pak Hafis tengkurap. Dan saya mulai mengurut bagian punggungnya. Kulit
pak Hafis bersih dan terawat. "Pijitan enak.." ujar pak Hafis.
"oh, ya. Makasih pak.." balas saya sedikit bangga. Karena saya memang
sering ikut dengan ayah saya memijat pelanggan. Saya tahu sedikit banyak
tahu teknik memijit yang baik.
Saya melanjutkan pijitan saya di badan pak Hafis. Dari punggung saya
pindah ke paha dan betisnya. Mengurutnya dengan lembut. Kemudian saya
meminta pak Hafis untuk telentang. Saya mulai mengurut bagian kakinya
lagi. Kaki pak Hafis dipenuhi bulu-bulu halus yang rapi.
"Pak hafis sudah berapa anaknnya?" tanya saya, mencoba memecah keheningan.
"belum punya.."jawab pak Hafis. "Saya udah hampir 4 tahun menikah, tapi belum punya anak.." lanjutnya lagi.
Saya manggut-manggut.
"kamu? udah nikah?" tanyanya kemudian.
"belum pak.." jawab saya jujur.
"Kenapa?" tanyanya lagi, "kamu kan cakep gini.." lanjutnya memuji. dan saya tersanjung.
"mungkin belum ketemu yang cocok pak.." jawab saya. "umur pak Hafis berapa?" lanjut saya bertanya.
"tahun ini udah 33 tahun.." jawabnya. Saya terus mengurut bagian kaki pak Hafis.
Kemudian saya melanjutkan mengurut bagian dada pak Hafis. Mata kami
saling bertatapan dan pak Hafis tersenyum lagi. Senyum yang begitu
manis.
Malam itu saya lihat pak Hafis tertidur pulas. Mungkin beliau capek atau mungkin juga merasa enakan karena habis saya pijit.
Saya hanya bisa menatap wajah manis pak Hafis yang sedang tertidur dan membayangkan senyum manisnya hingga saya pun tertidur dengan pulas....
************
Beberapa hari setelah kegiatan pelatihan itu usai, tiba-tiba pak Hafis menghubungiku lagi.
Ia memintaku untuk datang ke sebuah hotel di kota.
Terus terang aku merasa cukup kaget, kenapa tiba-tiba saja pak Hafis ingin bertemu lagi denganku, dan lebih kagetnya lagi, ia mengajakku bertemu di sebuah hotel.
Namun karena aku yang memang dari awal sangat mengagumi sosok pak Hafis, aku pun berangkat ke kota untuk menemuinya.
Sepanjang perjalanan, aku terus bertanya-tanya. Ada apa gerangan pak Hafis mengajakku ketemuan?
Mungkinkah ia ingin aku memijatnya lagi, seperti pada malam itu?
Mungkin ia ketagihan dengan pijatanku yang memang enak, sih.
Atau mungkin ada hal lain?
Aku tak tahu, dan tak berani juga untuk bertanya ketika di telpon.
Namun yang pasti, hatiku begitu gembira, bisa bertemu lagi dengan pria idamanku itu.
Sesampai di hotel, aku langsung menuju kamar yang sudah disebutkan pak Hafis tadi.
"hei. Apa kabar kamu?" tanya pak Hafis mengawali pembicaraan kami, ketika aku sudah berada di depan kamarnya. Lalu kemudian ia pun mempersilahkan aku masuk.
Dengan perasaan tak karuan, aku masuk ke kamar hotel itu. Dadaku berdebar hebat.
Bukan saja, karena melihat senyum pak Hafis yang memang manis itu, tapi juga melihat tubuhnya yang bertelanjang dada.
"baik, pak Hafis. Bapak sendiri gimana kabarnya?" ucapku, saat aku sudah duduk di sisi ranjang.
"baik, sih. Cuma agak capek.." jawab pak Hafis, sambil terus tersenyum.
"oh.." desahku membulatkan bibir.
"jadi ada apa, nih. Kok, tiba-tiba pak Hafis meminta saya untuk datang kesini?" tanyaku melanjutkan.
"ada dua hal yang menyebabkan saya ingin bertemu kamu malam ini." jawab pak Hafis, masih dengan senyum khas-nya.
"yang pertama, aku pengen dipijat kamu lagi. Pijatan kamu enak." lanjutnya.
Aku masih terdiam, dengan perasaan sedikit bangga. Sambil menunggu pak Hafis melanjutkan kalimatnya, aku melihat jam di hp-ku, sudah jam delapan malam.
"yang kedua, saya ingin ngomong sesuatu sama kamu." pak Hafis melanjutkan lagi.
"ngomong apa, pak?" tanyaku spontan.
"tapi sebelumnya kamu jangan panggil bapak lah, usia kita juga gak terpaut begitu jauh. Panggil abang aja..." pak Hafis berucap, sambil sedikit bergeser mendekat.
Kami duduk di sisi ranjang dengan jarak yang cukup dekat.
"oke, pak. Eh, bang Hafis..." balasku ragu, terus terang aku merasa cukup canggung, karena sudah terbiasa memanggilnya pak. Tapi pak Hafis memang masih muda, sih.
"jadi mau pijit saya dulu, atau mau dengar cerita saya?" tanya pak eh, bang Hafis kemudian.
"bagaimana kalau sekali jalan. Maksud saya, bang Hafis cerita sambil saya pijitin..." ucapku menyarankan.
"ide yang bagus. Tapi kamu gak apa-apa kan mijitin saya?" balas bang Hafis lagi.
"gak apa-apa, bang. Buat bang Hafis apa sih yang gak..." ucapku dengan nada berkelakar.
"ah, kamu bisa aja.." bang Hafis berujar, sambil mulai tengkurap di ranjang.
Aku segera berdiri, dan mulai memijat kaki bang Hafis.
"bang Hafis mau cerita apa?" tanyaku ringan, sambil terus memijat kaki bang Hafis.
"tapi kamu jangan marah, ya.." balas bang Hafis.
"udah, tenang aja, bang. Saya gak bakal bisa marah sama abang.." ucapku mulai merasa akrab.
"sebenarnya sejak malam kita tidur sekamar saat pelatihan minggu lalu, entah mengapa saya jadi sering mikirin kamu. Kamu orang yang menarik dan juga tampan." bang Hafis memulai kalimatnya, yang membuatku merasa tak karuan.
"aku suka sama kamu, Be. Mungkin ini terdengar aneh bagi kamu. Tapi.... saya memang seorang gay. Walau saya udah menikah, tetap saja rasa tertarik saya sama laki-laki selalu datang. Selama ini, saya selalu bisa menahan perasaan saya, kepada laki-laki yang menarik perhatian saya. Tapi semenjak kenal sama kamu, saya... tidak mampu menahannya lagi. Kamu terlalu menarik buat saya..."
Ucapan bang Hafis barusan, benar-benar membuatku merasa tersanjung. Ternyata bang Hafis, juga seorang gay. Dan yang paling membuatku bahagia, ternyata dia juga tertarik padaku.
Aku masih terus memijat kaki bang Hafis, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku bingung, sih, mau ngomong apa saat itu.
"kamu kok diam, Be? Kamu merasa jijik ya mendengarnya?" tiba-tiba bang Hafis berucap lagi, saat suasana tiba-tiba hening.
"ha? gak kok, bang. Justru saya .... saya merasa senang mendengarnya. Sebenarnya saya.... saya juga gay, bang. Dan saya juga sangat menyukai bang Hafis..." walau dengan suara terbata, aku pun merasa lega, setelah mengungkapkan hal itu. Setidaknya itulah yang aku rasakan terhadap bang Hafis.
Mendengar kalimat itu, tiba-tiba bang Hafis memutar tubuhnya hingga telentang, lalu ia duduk bersila di depanku. Mata kami saling tatap, wajah kami hanya berjarak kurang lebih sejengkal.
Pak Hafis tersenyum lagi, senyum yang sangat manis. Aku memang sangat mengagumi senyum manis bang Hafis. Senyum itu terlalu manis.
"bang Hafis manis..." ucapku tanpa sadar, mengungkapkan kekagumanku.
"kamu juga tampan.." balas bang Hafis terdengar lirih.
Perlahan wajah kami pun kian mendekat. Aku memejamkan mata, merasakan sensasi keindahan yang luar biasa itu. Jiwaku terasa melayang. Aku merasa seakan terbang di angkasa yang penuh bintang-bintang yang indah.
Sungguh malam yang teramat indah bagiku. Malam yang tidak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku.
Bang Hafis benar-benar lelaki yang luar biasa. Aku dibuatnya terlena dalam buaian cinta yang indah.
Aku pun berusaha membuat bang Hafis terbuai dengan caraku.
Hingga kami pun sama-sama melayang dalam buaian mimpi yang sempurna.
Cinta kami memang terasa sempurna malam itu.
Hingga kami pun terlelap dalam tidur yang begitu pulas.
************
Sejak malam itu, aku dan bang Hafis jadi sering bertemu. Setidaknya sekali dalam seminggu, kami selalu membuat janji bertemu di hotel.
Hubungan kami terjalin indah. Bang Hafis, mampu menyempurnakan hidupku.
Walau aku tahu, dia sudah beristri. Namun itu tidak menghalangi kesempurnaan cintaku untuknya.
Aku sangat mencintai bang Hafis. Dia begitu berarti bagiku. Aku bahagia bisa melewati hari-hari bersamanya. Selain membuat janji bertemu setiap minggunya, kami juga sering saling telpon-telponan.
"kamu mau abang bikinin anak gak?" kelakar bang Hafis, suatu malam ketika kami bertemu lagi di hotel, seperti biasa.
"emang bisa?" tanyaku, meski aku sudah tahu pasti, bang Hafis hanya becanda.
Bang Hafis tertawa ringan, kemudian berujar,
"seandainya saja bisa, Be..." balas bang Hafis, lebih terdengar seperti sebuah keluhan.
Aku terdiam. Aku tahu, bang Hafis sangat ingin sekali segera mempunyai keturunan. Setelah sekian tahun ia menikah dengan istrinya, namun istrinya belum juga kunjung hamil.
Aku juga kadang sering berandai-andai, ingin bisa memberi keturunan untuk bang Hafis.
Tapi, ya sudahlah.
Ada takdir yang tak bisa ku lawan, yakni takdir ku sebagai laki-laki.
Hingga setahun kemudian, bang Hafis bercerita kalau istrinya sudah hamil sekarang. Sudah empat bulan.
Aku merasakan kebahagiaan bang Hafis saat menceritakan hal tersebut. Dan terus terang, sebagai orang yang sangat mencintai bang Hafis, tentu saja ada rasa cemburu di hatiku.
Namun aku coba mengabaikannya. Jika hal itu bisa membuat bang Hafis bahagia, aku harusnya juga turut bahagia.
Semenjak kehamilan istrinya, aku jadi jarang bertemu bang Hafis lagi. Dia selalu punya alasan untuk tidak bisa bertemu denganku.
"minggu ini aku harus menemani istriku ke rumah sakit. Jadi maaf, ya. Kita gak bisa bertemu dulu.." begitu ucap bang Hafis di telpon, saat suatu ketika aku mengajaknya ketemuan seperti biasa.
Dan hal itu terus terjadi dari minggu ke minggu. Ada saja alasannya untuk menolak ajakanku.
Awalnya aku coba mengerti. Mungkin saat ini, istri bang Hafis memang lagi sangat membutuhkannya. Karena kehamilannya yang kian membesar.
Tapi lama-kelamaan aku merasa bang Hafis semakin berubah. Ia tak lagi semanis dulu, saat ditelpon. Bahkan ia semakin jarang mengangkat telponku.
Hingga kemudian bahkan nomornya sudah tidak aktif lagi. Aku sudah tidak bisa menghubunginya.
Aku kecewa dengan bang Hafis. Jika memang ia tidak lagi ingin bersamaku, mengapa ia tidak berterus terang saja. Mengapa ia harus menghilang begitu saja?
Mengapa ia harus menggantungku seperti ini?
Aku ikhlas, jika bang Hafis memutuskanku karena ingin bersama istrinya. Tapi setidaknya beri aku kepastian, jangan biarkan aku menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang.
Namun kepada siapa aku harus menyampaikan pesan itu?
Aku hanya bisa memendamnya sendiri.
Tanpa ada siapapun yang tahu.
Hubungan indahku dengan bang Hafis berakhir begitu saja. Tanpa ada penjelasan dan tanpa ada keputusan.
Namun bagiku semuanya sudah cukup jelas.
Bang Hafis tidak lagi ingin berhubungan denganku. Dan aku harus belajar untuk bisa melupakannya.
Namun segala kenangan indahku bersama bang Hafis, akan selalu kusimpan di relung hatiku yang terdalam.
Kan ku jadikan bang Hafis sebagai kenangan yang terindah....
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar