Cinta dari sang Elang ... (cerita romantis)

"lupakan saja!" gumamnya.

Sorot matanya setengah kaget oleh sorot perkataannya sendiri.

"lupakan apaan?" aku mengernyit, lalu tatapanku hinggap ke matanya. Sekilas kulihat ia membuang muka, saat matanya bersirobok dengan tatapanku.

"ya, itu tadi, lupakan saja kata-kataku barusan!" ucapnya lagi.

Kali ini seolah ia berbicara dengan angin, pandangan matanya lurus ke gugusan mega di langit sore.

"maksudmu?" tanyaku lagi.

Ia tak menjawab. Hanya mengangkat kedua bahunya, sementara aku sendiri tak tahu harus berkata apa lagi.

Cinta dari sang Elang cerita gay romantis

 

Yah... karena pada kenyataannya, aku bukan tak mendengar kata-katanya!

Bukan, bukan karena aku tak mendengarnya!

Bahkan dengan jelas aku mendengarnya. Tapi sungguh, pada saat ini ... aku tak menanggapi kata-katanya.

Andai saja ... aku mendengar semua itu dulu ..., mungkin kenyataannya akan lain!

Tapi itulah, pada saat ini aku tak sanggup.

Meski aku sudah menduga semua ini akan terjadi, tapi aku tak pernah merasa siap untuk menghadapinya.

"maafkan aku, Sam. Aku tahu, kamu pasti akan kecewa, atau kamu pasti marah atau mungkin kamu akan membenciku."

Sedikit aku tersentak akan kata-katanya, karena beberapa saat tadi pikiranku sedang mengawang-awang.

"kamu berhak marah kok, Sam!" lanjutnya lagi.

"selama ini aku dengan seenaknya datang dan pergi dari kehidupanmu, tanpa mau mempedulikan perasaanmu sendiri. Apakah kamu suka atau tidak atas ulahku. Aku hanya memikirkan perasaanku sendiri, aku memang egois!" kalimatnya terdengar lemah.

Benarkah aku harus marah? Atau seperti yang dikatakannya, aku harus membencinya. Kalau seperti apa yang dikatakannya, seharusnya dari dulu aku melakukannya! Karena bukan pertama kali ini saja ia meminta maaf padaku!

Sudah sering! Bahkan teramat sering! Hingga aku sendiri tak ingat lagi, kapan terakhir kali aku mendengar 'permintaan maafnya'.

Aku hanya diam. Seperti dulu, tiap kali ia datang meminta maaf, setelah sekian lama ia menghilang tanpa memberi kabar padaku.

Pergantian waktu ternyata tak pernah bisa mengajarkan hal lain padaku, selain diam tiap menghadapi keadaan seperti ini.

"jangan hanya diam, Sam! Kamu punya hak sepenuhnya untuk marah, bahkan kalau sampai mengusirku pun, aku akan terima, Sam! Aku memang salah padamu ... bicaralah, Sam!" katanya lagi.

Ah ... Bagaimana mungkin aku akan marah, kalau kejadian seperti ini, bukan hanya sekali dua kali aku alami.

Ia akan tiba-tiba menghilang untuk beberapa waktu, tak memberikan sedikit pun tentang kabar dan keberadaannya. Lalu dengan tiba-tiba pula ia datang, kemudian meminta maaf padaku.

Lalu seperti biasa, aku akan menganggap tak pernah terjadi apa-apa. Menganggap hal itu adalah hal biasa.

Lalu kami akan bersama-sama lagi. Jalan-jalan, ngobrol, atau sekedar makan-makan di pinggir jalan.

Namanya Gilang Erlangga, tapi aku lebih suka memanggilnya Elang. Karena tatapan matanya, tajam seperti Elang. Selain itu, karena memang kami sudah sangat dekat.

Elang adalah sahabatku, sejak aku masuk SMP. Meski pun waktu itu, rumah kami tidak berada dalam kompleks yang sama. Kami tak pernah menganggap jarak adalah halangan bagi keakraban kami.

Di sekolah atau pun di luar sekolah, kami sering bersama-sama, aku menganggap rumah Elang adalah rumahku sendiri! Begitu pula sebaliknya., Elang tak pernah sungkan-sungkan berada di lingkungan keluargaku.

Hingga kebersamaan itu berlangsung sampai kami meninggalkan seragam putih biru dengan putih abu-abu. Kami tetap sering bersama-sama, meski pun di SMA kami tidak satu sekolah. Kadang-kadang kami membuat janji untuk saling ketemu.

Hingga suatu hari ...

"kami akan pindah rumah, Sam." ucap Elang terdengar datar.

"pindah? Pindah kemana maksudmu?" aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.

"mungkin kami akan pindah ke Semarang, Sam. Karena dengan demikian, akan lebih dekat dengan tempat kerjaan Papa." tuturnya.

Dan begitulah ...

Di penghujung semester satu kelas satu, Elang pindah bersama seluruh keluarganya. Hingga jarak diantara kami kian terbentang begitu saja.

Tapi bagi kami, hal itu tidaklah menjadi masalah, kami tetap bisa bertemu walaupun jarang. Bahkan kalau kami tak sempat untuk saling bertemu, kami akan menyempatkan diri untuk saling mengabari lewat telpon (karena saat itu, belum ada media sosial, seperti sekarang).

Lalu tiba-tiba aku kehilangan jejaknya.

Aku kehilangan kabarnya. Jangankan ia datang ke rumahku, sekedar memberiku kabar lewat telpon saja, ia tak mau. Dan aku mencoba menghubunginya lewat telpon, ia tidak pernah ada di rumah!

"aku sedang jatuh cinta, Sam..." begitu pengakuannya, ketika pada akhirnya ia datang juga ke tempatku, setelah hampir dua bulan aku tak bertemu dengannya.

"oh, ya, aku boleh mengenalnya dong?" ucapku spontan.

"kapan akan dikenalkan denganku disini?" lanjutku. Tatapanku melumat penampilannya.

Ternyata tak banyak yang berubah dalam dirinya. Aku membathin.

Beberapa saat ia terdiam.

"kamu benar ingin mengenalnya?" tanyanya.

"ho-oh." aku mengangguk pelan.

"kamu tidak marah?" tanyanya lagi.

Tiba-tiba aku menangkap kelabat keheranan dalam sinar matanya yang coklat.

"marah? lho ... kenapa aku harus marah?" aku kembali menatapnya. Karena memang aku tak punya hak untuk marah terhadapnya.

"oh... tidak! sebaiknya lupakan saja!" suaranya terdengar parau.

Gerimis seperti menemani kami sore itu, tetes-tetes hujan yang membasahi teras rumah tidak sanggup mencairkan kebekuan dan kekakuan diantara kami.

Kami hanya lebih banyak diam. Sepertinya kami telah kehilangan keakraban milik hari-hari kebelakang kami.

Beberapa waktu kemudian, aku kembali kehilangan jejaknya, sejak sore itu ia datang. Kemudian ia menghilang lagi tanpa kabar.

Aku berpikir, mungkin ia lebih mementingkan pacarnya ketimbang diriku.

Ah! Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa enggan untuk mencari tahu kabarnya.

Dan tiba-tiba aku merasakan jarak kami menjadi bertambah dua, bahkan tiga kali lipat jauhnya.

Aku berusaha tak menghitung waktu perpisahan kami, hingga ketika mama menanya kabarnya, aku tak tahu harus mengatakan apa!

"Sam ... kalau mama tidak salah hitung, sepertinya sudah lama Gilang tidak main lagi kemari? Kenapa, yah?" tanya mama.

"sibuk, kali ma.." aku menjawab asal-asalan.

"masa' sih sibuk terus hingga tidak memiliki waktu untuk berkunjung kemari seperti dulu?" mama menyelidiki mataku. Aku merasa jengah.

"kapan-kapan undang Gilang kemari, ya! mama sudah kangen..." lanjut mama.

Mama kangen? mama kangen dengan Elang? Lalu kalau mama merasa kangen, lalu perasaan apa yang sedang aku rasakan sekarang ini? Apakah aku merasa kangen juga terhadap Elang?

Ah, tiba-tiba ada yang kurasakan kosong dalam rongga dadaku, tiba-tiba aku merasa kehilangan dirinya! Aku berusaha menekan perasaan sepi itu kuat-kuat.

****

Hari-hari terus berjalan, tanpa dicegah atau dipacu. Dan ketika Elang datang lagi padaku, aku tak tahu, apakah aku merasa senang atau sebaliknya?

Dan aku sudah tak ingat lagi, sudah berapa lama sesungguhnya kami tak bertemu.

"aku minta maaf, Sam. Akhir-akhir ini, aku tak memberikan kabar padamu.." ucapnya.

"bagaimana kabar pacarmu?" oh ... tiba-tiba aku merasa terluka oleh pertanyaanku sendiri.

"pacarku?" sorot matanya tajam menghujam.

Aku hanya mengangguk pelan.

"kami sudah bubaran. Ternyata kami tidak cocok." akunya.

Entah, mendengarkan penuturannya, aku tak tahu, apakah senang atau kecewa?

Yang aku tahu, kemudian setelah kedatangannya itu, ia kembali seperti dulu. Sering mengunjungiku, mengajakku jalan-jalan bahkan sekali-sekali ia memberikan kejutan untukku, dengan menjumpaiku di sekolahan.

Kalau kami sering bersama-sama lagi, seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Sementara di hatiku sendiri, getar-getar aneh dengan kehadiran kembali Elang, tak bisa aku sembunyikan. Kadang-kadang tanpa sadar, timbul kepermukaan!

Namun aku selalu berusaha, untuk menekannya kuat-kuat. Aku tak ingin Elang menyadari perasaanku padanya.

Meski terkadang aku memiliki mimpi tentang Elang, namun aku senantiasa menekannya kuat-kuat!

Yah, terkadang aku berharap, bahwa mimpi yang aku miliki, kelak akan menjadi suatu kenyataan.

Namun akhirnya kau harus mengubur mimpi itu sendiri. Ketika pada suatu hari Elang dengan kebiasaannya. Menghilang tanpa kabar!

Dan tiba-tiba sebelah hatiku seperti patah! Sejak saat itulah aku bertekad, untuk memilih dalam menanggapi permintaan maafnya.

Aku sudah terlanjur kecewa!

Bukan kecewa karena ia jatuh cinta! Aku kecewa dengan caranya datang dan menghilang tanpa kabar.

****

Waktu terus berputar, tanpa dapat dicegah atau dipacu. Dan waktu pulalah yang kini mengajarkan padaku, bahwa ketulusan hati milik seorang Raka, ternyata tak bisa diragukan.

Kehadiran seorang Raka, seperti menyadarkanku, bahwa tak semua harus menjadi kenyataan.

Hanya satu dari seribu mimpi, yang kadang bisa menjadi nyata. Dan mimpiku tentang Elang, ternyata tak termasuk dalam jajaran yang satu tadi.

Aku jadi sadar, mengharapkan seorang Elang bagai mengharapkan hujan di tengah gurun

Mengapa aku tak bangun dari mimpi berkepanjangan ini?

Kemudian menerima uluran tulus tangan Raka, yang merupakan teman satu sekolahanku, meski beda kelas.

Raka memang sudah sejak lama menyukaiku. Dan ia cukup berani untuk mengungkapkan itu semua padaku.

Mengapa aku tidak berusaha untuk memupus mimpiku pada Elang, lalu membangun mimpi lain bersama Raka?

Yah, mengapa aku tidak mencobanya saja?

****

"kemarin aku mencarimu! Kata mama kamu pergi sama Raka..." Elang menatapku,

"siapa Raka?" kali ini tatapan matanya tajam menghujam.

Sore yang sebenarnya cerah, seperti tak bersahabat ketika aku menangkap sinar tak suka dari tatapan Elang ketika ia bertanya tentang Raka.

Aku tak menyangka akan ditodong dengan pertanyaan seperti itu oleh Elang.

"oh, dia temanku. Kenapa emangnya?" aku menekan suaraku, mencoba menekan rasa tak suka yang tiba-tiba aku rasakan, ketika Elang bertanya seperti itu.

"teman apaan?" ia masih menatapku tajam.

"maksudmu?" aku menaikan intonasi suaraku. Dan sebisanya aku menentang sinar tak suka dimatanya.

"Sam, dengarlah... aku ... aku ... aku ...hanya takut kamu salah pergaulan. Dan itu pasti akan membuat kamu kecewa..." ujung kalimatnya ku dengar lirih.

Oh, Tuhan.. apa? Dia takut aku kecewa? Lalu bagaiman dengan dirinya? Apakah ia rasa, bahwa sikapnya selama ini, tidak mengecewakanku?

Oh... apakah artinya, bila ia mengkhawatirkanku?

Apakah mimpi yang telah ku kubur, kini akan kembali timbul kepermukaan?

Apakah mimpiku tentang dirinya akan menjelma menjadi suatu cerita yang nyata?

Seksama aku menikam matanya.

Oh, Tuhan ... tak salahkah penglihatanku? Ada guratan cemburu dalam sinar matanya. Ia mencemburui hubunganku dengan Raka?

Apakah.... apakah ia...?

Tidak! Bergegas aku menggeleng, ketika senyum tulus milik Raka seketika melintas.

Aku merasakan bahwa malam itu Elang sangat gelisah, pulang lebih awal, tidak seperti biasanya.

Esok, dan keesokan harinya Elang sering mengunjungiku. Seperti kebiasaannya sebelum menghilang lagi. Dan kali ini Elang tak pernah menuntut padaku untuk balas menghubungi atau pun mengunjunginya.

Dan bagiku menganggap kedatangan Elang adalah sesuatu yang biasa, seperti kebiasaannya selama ini. Sering datang dan tak lama lagi akan menghilang!

Tapi kali ini aku gelisah. Yah, aku gelisah menghadapi sikapnya yang aku rasakan lain. Tidak seperti biasanya. Aku merasakan ini. Dan kadang-kadang dengan terang-terangan ia memperlihatkan sikap tak sukanya terhadap kedekatan dengan Raka.

Menghadapi kenyataan seperti itu, terus terang aku bingung, harus bersikap bagaimana.

Elang cemburu adalah merupakan mimpi masa laluku. Karena kini aku sedang membangun mimpi baru bersama Raka.

Hingga kemudian tiba-tiba Elang menghilang lagi. Dan mengaku sedang jatuh cinta, lalu beberapa waktu kemudian, ia datang lagi, lalu mengatakan, "maaf, Sam. Selama ini aku tak memberi kabar, aku.. sedang jatuh cinta ..."

Begitu kebiasaanya, hingga aku tak tahu lagi harus bagaimana menghadapinya. Aku yakin, ia berharap aku cemburu ketika ia mengatakan, ia sedang jatuh cinta, atau sekedar menanyakan kabar tentang pacarnya atau bertanya tentang hubungannya dengan pacar barunya.

Yah ... aku yakin itu!

Sayang, aku sudah terlanjur patah olehnya. Rasa cemburu untuknya sudah terkubur jauh di dasar hatiku yang paling dalam. Seiring kebiasaannya datang dan menghilang dengan tiba-tiba.

Begitulah Elang dengan kebiasaannya. Dan aku tak pernah tahu, cara menghadapinya.

Juga kali ini... saat ia datang setelah sekian lama menghilang tanpa kabar sedikitpun!

"maafkan aku lagi, Sam..." suaranya memelas, mengawali pembicaraan.

Aku hanya diam. Dia datang sebelum matahari terbenam tadi.

"aku telah capek selama ini membohongi diriku sendiri. Sekarang aku tak bisa berbohong lagi, Sam. Aku mencintaimu!"

Itulah kalimatnya tadi. Kalimat yang ia ucapkan sendiri. Kalimat yang kemudian ia minta padaku untuk melupakannya.

Oh, Tuhan! ia telah mengatakannya! Barusan ia mengatakannya. Meski aku sudah menduganya, bahwa hal ini kelak akan terjadi juga, tetap saja, aku terpana atas kejujuran dan keberaniannya.

Ada getar-getar yang tiba-tiba menyusup ke dalam rongga dadaku, kemudian menyebar dan memenuhi setiap sudut hatiku.

Beberapa saat aku menikmati perasaan indah itu, sebelum pada akhirnya aku menggeleng kuat-kuat.

"maafkan aku, Lang. Aku gak bisa..."

Oh.. suaraku bergetar? Perlahan aku menunduk, tak ingin menyaksikan reaksi air mukanya atas jawabanku barusan.

"karena Raka?" suaranya pelan.

Tanpa menegakkan kepala, aku mengangguk.

Hening beberapa saat. Perlahan ... seperti ada sesuatu yang menuntunku untuk melihat mimik muka Elang dihadapanku.

Oh, Tuhan, separah itukah lukanya?

Ada guratan luka memanjang dimatanya. Buru-buru aku mengalihkan fokus pandangan pada ujung langit yang mulai pekat.

"aku berharap, hubungan kita tetap seperti dulu, Lang.." parau suaraku.

"oh, mimpi... apakah tak boleh aku tetap mengharapkanmu? tak bolehkah aku memilikimu walau hanya dalam anganku?" ku dengar Elang bergumam sendiri.

Kamu terlambat, Lang! Bathinku. Tiba-tiba ada yang terasa kosong dalam dadaku.

Keheningan tiba-tiba terasa mencekam. Kami saling diam.

"aku pamit, Sam. Tolong sampaikan salamku untuk semuanya..." ia memecah keheningan, lalu bangkit.

Aku hanya melongo, tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun, ketika pada akhirnya ia berlalu dari hadapanku.

Yah, aku hanya mampu menatapnya berlalu menuju pintu pagar.

Aku masih belum beranjak, hingga kemudian sosoknya menghilang di tikungan jalan.

Dia akan menghilang lagi. Aku yakin itu! Namun kali ini, aku mempunyai firasat, bahwa kali ini ia akan menghilang sangat lama.

Dan tiba-tiba air mataku menitik.

 Sekian ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate