Hampir setengah jam Arlan memijat tubuh saya, ia mulai berkeringat. Karena merasa gerah, Arlan pun membuka baju singletnya.
Saya terkesima meliaht Arlan yang bertelanjang dada tersebut. Dadanya terlihat bidang, perutnya six pack, otot-otot lengannya terlihat jelas.
Jiwa gay saya kembali bergejolak, melihat pemandangan indah itu. Jarang-jarang saya bisa bertemu dengan cowok kekar seperti Arlan.
Arlan
masih terus memijat bagian dada dan perut saya. Lalu kemudian ia
berpindah untuk memijat tangan saya. Arlan terlihat serius dan fokus
melakukan pijatannya.
Saat
Arlan memijat bagian lengan saya, ia entah sengaja, atau memang tehnik
memijatnya seperti itu, meletakkan telapak tangan saya, tepat diatas
pahanya.
Paha itu memang masih terbalut celana pendek kaos tipis, tapi tetap saja saya bisa merasakan kehangatannya.
Cukup lama Arlan melakukan gerakan itu, hingga membuat saya merasa tidak tahan sendiri.
Perlahan saya pun mengelusnya.
Paha
itu terasa hangat, bulu-bulunya membuat saya semakin bergetar.
Merasakan
hal itu, Arlan sedikit terperanjat. Ia spontan menghentikan pijatannya.
Lalu menatap saya cukup lama. Saya pun tersenyum mambalas tatapan
Arlan.
"mas Aji, mau apa?" tanya Arlan terdengar lugu.
Untuk
sesaat saya hanya terdiam. Saya bingung mau menjawab apa. Tapi repleks,
saya pun bangkit untuk duduk. Saya duduk pas berada di depan Arlan.
Wajah Arlan berada sangat dekat dengan wajah saya. Jantung saya pun
kembali bergemuruh saat itu.
Saya tatap wajah itu penuh perasaan.
"saya.... saya ingin kamu..." ucap saya akhirnya dengan suara bergetar menahan gejolak.
"mas Aji, ingin saya bagaimana?" Arlan bertanya lagi, sambil sedikit menunduk, menghindari tatapan saya.
Saya
tidak tahu, apa Arlan berpura-pura lugu, atau sebenarnya ia merasa
takut, karena ia tahu, bahwa saya adalah anak dari pemilik kebun sawit
ini.
Tidak
tahu harus menjelaskan apa, saya pun akhirnya memegang dagu Arlan dan
mengangkat wajahnya ke atas, lalu dengan perlahan saya pun mencoba mendekatkan
bibir saya dengan bibir Arlan.
Kali ini, Arlan terperanjat lagi, lalu dengan repleks segera mendorong tubuh saya.
Saya merasa cukup kaget. Tapi Arlan semakin menjauhkan tubuhnya. Bergerak mundur, lalu berdiri dengan perlahan.
"maaf,
mas Aji. Saya tidak bisa....... saya........ saya.. merasa geli...."
begitu ucap Arlan, ketika ia sudah berdiri, dengan suara sedikit
terbata.
Saya merasa tertohok. Bibir saya kelu tiba-tiba.
Semangat saya yang sudah terlanjur memuncak, tidak bisa menerima ucapan Arlan barusan.
Saya
menarik napas panjang, mencoba menahan segala gejolak saya. Tapi saya, justru semakin tertantang untuk melampiaskannya. Saya semakin penasaran dengan Arlan.
Namun saya juga tidak mungkin memaksa Arlan. Saya harus lebih sabar lagi, dan hati-hati.
Meski
akhirnya saya sadar, jika Arlan tidaklah seperti yang saya pikirkan
sejak tadi. Ia laki-laki normal. Semua yang terjadi barusan, hanyalah
mungkin, karena ia merasa tidak enak hati, untuk menolak keinginan dari
anak pemilik kebun ini.
Beberapa
saat, saya masih mematung. Menarik napas panjang sekali lagi, lalu
menghempaskannya perlahan. Saya merasa sudah terlanjur malu di depan
Arlan.
Namun saya tidak
kehabisan akal. Bahkan jika perlu, saya akan menggunakan kekuasaan saya,
sebagai anak pemilik kebun sawit ini, untuk bisa mendapatkan Arlan pagi itu.
Saya
pun akhirnya berdiri. Saya berdiri tepat dihadapan Arlan. Jarak kami
tidak lebih dari setengah meter. Arlan mencoba mundur, tapi tubuhnya
terbentur dinding kamar, yang membuat ia harus terhenti.
Saya terus melangkah mendekat.
Arlan
terlihat panik, tapi saya tidak peduli. Saya hanya ingin menyalurkan keinginan saya yang sudah terlanjur bergejolak.
Arlan terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja. Dan saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Meski saya sadar, Arlan tidak mudah untuk ditaklukkan.
Namun saya bahkan hampir kehilangan akal sehat saya waktu itu.
Saya
sudah berdiri kembali di hadapan Arlan, sangat dekat. Namun Arlan
dengan spontan kembali mendorong tubuh saya, agar menjauh.
"jangan mas Aji...!" mohon Arlan, terdengar sedikit menghiba.
Saya memegangi tangan Arlan yang mencoba mendorong saya.
"kalau
kamu tetap tidak mau, saya akan minta pak Darman untuk memecat kamu
dari sini...!" kalimat ancaman itu akhirnya keluar juga dari mulut saya.
Saya sendiri hampir tidak percaya, mendengarkan ucapan saya sendiri.
Arlan bahkan terlihat sangat kaget mendengar hal itu, raut wajahnya terlihat pucat tiba-tiba.
"tapi
saya gak bisa, mas. Saya.... tidak pernah melakukan hal seperti ini..."
ucap Arlan akhirnya dengan masih terbata. "tadi saya berniat memijat
mas, karena mas Aji kelihatan capek dan sedikit lesuh. Saya tidak ada
maksud apa-apa. Tolong saya, mas Aji. Jangan lakukan hal ini sama saya.
Saya sangat butuh pekerjaan ini...." Arlan terus berbicara panjang
lebar, suaranya semakin terdengar menghiba.
Terus
terang, saya pun merasa iba melihat Arlan seperti itu, namun akal sehat saya tidak berjalan dengan normal waktu itu.
Yang saya inginkan
hanyalah menikmati hangatnya tubuh kekar Arlan, tak peduli apa pun caranya.
"justru
karena kamu belum pernah melakukannya, biarkan saya menjadi yang pertama buatmu, Arlan!" saya berucap lagi, kali ini terdengar semakin
jahat.
"nanti saya kasih
kamu uang yang banyak, asal kamu mau melakukannya sekarang..." saya
melanjutkan lagi, mencoba memberi tawaran kepada Arlan.
Arlan kembali terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras.
Saya
tahu, posisi Arlan serba sulit. Ia pasti sangat takut kehilangan
pekerjaannya. Namun sebagai laki-laki normal, tentu saja ia merasa jijik
dan geli untuk melakukan hal tersebut dengan saya.
Tapi
sekali lagi, saya sudah tidak peduli dengan hal itu. Saya sudah
benar-benar tidak terkendali. Logika saya sudah tidak berjalan pada koridornya.
Saya hanya menginginkan Arlan, yang sudah terpampang jelas di depan mataku.
Setelah cukup lama Arlan terdiam dan berpikir. Ia pun berucap,
"baik.....
baiklah, mas Aji. Saya mau. Asal saya dikasih uang, dan tolong jangan
ceritakan kepada siapa pun tentang hal ini." Suara Arlan terdengar
bergetar.
Saya
pun tersenyum penuh kemenangan, sambil melangkah kian mendekat.
Saya
tahu, Arlan tak akan berani menolak saya. Hati saya bersorak riang. Saya kembali merasa bergejolak. Sebuah keindahan nan sempurna telah terbayang dalam anganku.
Arlan terlalu indah, saya tidak akan melepaskannya.
"tapi
saya belum pernah melakukan hal ini, mas Aji. Apa lagi dengan sesama
lelaki." Arlan berujar, ketika saya hendak menyentuh dadanya. "saya
tidak tahu harus melakukan apa..." lanjutnya, yang membuat saya
tersenyum senang.
"kamu
nikmati aja apa yang saya lakukan sama kamu..." ucap saya membalas,
sambil saya mulai merapatkan tubuh saya ke tubuh atletis milik Arlan.
Saya tahu, Arlan berusaha menahan rasa jijik dan rasa gelinya. Ia terlihat memejamkan mata dan menahan nafas.
Saya
juga tahu, tidak akan mudah bagi saya, untuk membuat Arlan bisa menikmati hal tersebut.
Tubuh Arlan bergetar kembali. Keringat dingin membasahi dada bidangnya.
Ketika bibir saya hendak menyentuh bibir Arlan, saat itulah tiba-tiba saya mendengar suara gaduh di luar.
Ternyata
para pekerja telah kembali dari kebun, suara mereka terdengar ramai
berbincang-bincang. Hala itu tentu saja membuat saya kaget. Saya pun
spontan menghentikan tindakan saya terhadap Arlan. Saya melirik jam di
dinding kamar, sudah hampir jam dua belas siang.
Tentu saja, ini adalah jam istirahat para pekerja.
Tak
lama kemudian, saya mendengar suara pintu rumah terbuka. Saya pun
dengan repleks memungut kembali pakaian saya yang berserakan, demikian
juga Arlan. Kami memakai pakaian dengan tergesa.
Saya menyuruh Arlan untuk membuka pintu kamar, lalu saya berbaring berpura-pura tidur.
Dua orang teman Arlan hendak masuk ke dalam kamar, namun mereka kembali mundur, melihat saya yang sedang tertidur.
Siang itu saya gagal mendapatkan Arlan.
Namun hal itu justru membuat saya semakin penasaran.
Saya
akan berusaha melakukan apa saja, untuk bisa mendapatkan Arlan.
Saya
akan mengatur waktu dan tempat yang tepat, agar saya bisa lebih leluasa melampiaskan segala keinginan saya terhadap Arlan.
*******
Beberapa hari kemudian, setelah kejadian menegangkan di kebun sawit itu, saya kembali mendatangi barak tempat Arlan tinggal.
Kali ini, saya ke kebun sawit, bukan lagi karena disuruh ayah. Tapi karena aku masih penasaran dengan Arlan.
Karena itu, saya ke sana diam-diam. Lalu menemui pak Darman, untuk meminta izin membawa Arlan ke kota.
"saya hanya minta ditemani ke kota sebentar, pak Darman. Nanti sore saya antar lagi Arlan ke sini.."
ucap saya menjelaskan.
Dengan sedikit bingung, pak Darman pun mengizinkannya.
Saya dan Arlan berangkat ke kota, dengan mengendarai mobil yang memang sengaja saya bawa dari rumah tadi.
"tawaran saya masih berlaku buat kamu, Arlan." ucap saya mengawali pembicaraan, ketika kami sudah berada dalam perjalanan.
"kalau kamu mau, saya akan kasih kamu uang. Dan tentu saja, pekerjaanmu tetap aman.." saya melanjutkan.
Arlan masih terus terdiam. Saya tahu, ia merasa terpaksa untuk ikut dengan saya.
Tapi saya yakin, pada akhirnya ia tidak akan menyesali semua ini.
"lalu sekarang kita mau kemana?" tanya Arlan akhirnya, setelah kami sudah berada di keramaian kota.
"ke sebuah hotel.." jawab saya singkat.
Tak lama berselang, mobil kami pun parkir di sebuah gedung hotel yang cukup mewah.
Saya memang sudah memesan sebuah kamar secara online.
Sehingga ketika sampai disana, kami langsung menuju kamar tersebut.
Arlan mengikuti langkah saya masuk ke dalam kamar hotel tersebut. Setelah berada di dalam, saya segera menutup dan mengunci pintu.
Arlan terlihat sedikit kebingungan. Sepertinya ini pertama kalinya bagi Arlan, memasuki sebuah hotel.
Arlan benar-benar terlihat lugu.
"usia kamu berapa sih, Arlan?" tanya saya memecah keheningan.
Arlan duduk di tepian ranjang, saya berdiri tepat di hadapannya.
"19 tahun, mas..." jawabnya dengan suara terdengar bergetar.
Pantas. Pikirku.
Arlan masih terlalu sangat muda, empat tahun lebih muda dariku.
Sepertinya perjalanan hidupnya yang keras, membuat Arlan terlihat lebih dewasa dari usianya.
Setelah sedikit saya paksa, Arlan akhirnya pun bercerita tentang sepintas perjalanan hidupnya, hingga ia harus berada di perkebunan sawit tersebut.
"aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana, kalau tidak boleh dibilang miskin, sih." ucap Arlan memulai ceritanya.
"aku anak ke lima dari tujuh bersaudara. Aku memang berasal dari kampung, semua keluargaku tinggal di kampung. Pada saat usiaku masih empat belas tahun, aku sudah mulai merantau." lanjutnya.
"Karena kehidupan kami yang selalu kekurangan, aku dan saudara-saudaraku yang lain hampir tidak bersekolah sama sekali. Kecuali hanya lulusan SD."
"Dan merantau bukanlah sesuatu yang asing dalam keluarga kami."
Arlan menarik napas sejenak, lalu meneguk minuman dingin, yang sudah saya pesan sejak tadi.
Aku memang sengaja memesan beberapa makanan ringan dan berbagai minuman, untuk kami. Aku ingin Arlan merasa terkesan, dan tentu saja aku ingin, agar malam pertamaku dengan Arlan benar-benar menjadi malam yang luar biasa.
"Kakak pertamaku sudah merantau sejak masih berusia enam belas tahun. Begitu juga kakak ketiga ku, ia sudah sejak lama tidak pulang ke kampung." Arlan melanjutkan ceritanya lagi.
"Alasanku merantua bukan saja karena mengikuti jejak kakak-kakakku. Tapi juga karena tuntutan hidup. Tidak banyak pilihan pekerjaan di kampungku, selain jadi petani dan buruh."
Saya merasa cukup perihatin, mendengar cerita Arlan.
"Saya sempat beberapa tahun terlunta-lunta di kota. Sampai akhirnya saya bertemu pak Darman. Dan beliau pun mengajak saya ikut bekerja dengannya di perkebunan sawit itu..." lanjut Arlan mengakhiri ceritanya.
Dan saya masih terpaku. Sungguh sebuah perjalanan yang cukup menyedihkan. Perlahan rasa iba kembali menyelinap dalam hatiku.
Perasaan tak tega semakin menguasaiku.
"saya sudah terbiasa hidup susah, mas Aji." ucap Arlan kemudian. "tapi saya juga takut kehilangan pekerjaan saya. Jadi saya sudah pasti tidak bisa menolak apapun keinginan mas Aji saat ini.." lanjutnya dengan nada lirih.
Mendengar hal itu, saya semakin tak tega. Saya seperti memanfaatkan kekuasaan saya, untuk mendapatkan keinginan saya.
Namun Arlan juga sudah pasrah, dan tentu saja hal itu merupakan sebuah keuntungan bagi saya.
"uang bukan tujuan utama saya, mas Aji. Tapi yang penting saya tetap bisa bekerja di kebun sawit tersebut.." suara lirih itu terdengar kembali.
"sekarang mas Aji, mau saya bagaimana?" tanya Arlan melanjutkan.
Saya masih terdiam. Berpikir panjang. Saya bisa saja dengan mudah mendapatkan tubuh Arlan. Tapi bukan itu tujuan utama saya.
Saya ingin Arlan juga jatuh cinta sama saya. Meksi itu merupakan sesuatu yang sulit dan butuh proses panjang.
Perlahan saya pun mulai mendekati Arlan. Memeluk tubuh kekarnya yang masih terasa sangat kaku bagiku.
Arlan memejamkan matanya, mencoba menahan rasa geli dan jijiknya padaku.
Namun pelan tapi pasti, saya mulai menguasai keadaan. Kepasrahan Arlan, membuatku lebih leluasa untuk mempermainkannya.
Siang itu, kami pun bersimbah keringat mencapai pendakian yang panjang.
Sungguh sangat luar biasa bagiku. Sebuah pengalaman yang sangat indah.
Arlan terhempas kelelahan, dan sepertinya ia bisa menikmati hal tersebut.
Itu terlihat dari senyumnya yang penuh kepuasan.
Dan bahkan, kami sampai menginap malam itu di hotel.
Aku sengaja menelpon pak Darman, untuk meminta izin Arlan pulang esok harinya.
"urusan saya belum selesai, pak Darman. Jadi kemungkinan kami pulangnya esok siang.." jelasku beralasan kepada pak Darman.
Aku yakin, pak Darman bisa memakluminya.
"kamu hebat, Arlan.." bisikku di telinga Arlan, ketika untuk kedua kalinya kami terhempas dari sebuah pendakian yang indah.
"kamu benar-benar perkasa. Aku semakin menyukaimu.." lanjutku masih berbisik.
Arlan hanya tersenyum tipis. Sepertinya ia benar-benar kelelahan. Saya pun segera memesan makan malam secara online. Untuk bisa memulihkan tenaga kami kembali.
Karena saya yakin, akan ada ronde berikutnya. Waktu masih sangat panjang untuk kami habiskan berdua malam ini.
Benar-benar hari yang panjang dan melelahkan, namun sangat berkesan bagiku.
Arlan sekarang sudah berada dalam genggamanku. Ia sudah mulai bisa menikmati hal tersebut.
Dan saya merasa sangat bangga bisa menaklukan pemuda kekar itu.
*********
Hari-hari selanjutnya, saya semakin sering meminta Arlan untuk menemani saya ke kota. Berbagai alasan saya berikan untuk meminta izin pada pak Darman.
Hubungan saya dan Arlan semakin dalam dan parah.
Dan tentu saja, saya selalu memberi sejumlah uang kepada Arlan, setiap kali kami menyelesaikan pendakian bersama.
Saya merasa puas dengan Arlan, jadi saya tidak merasa berat untuk memberinya upah yang layak.
Setidaknya dengan begitu, Arlan jadi punya pemasukan lain, selain dari upah dia memanen sawit.
Berbulan-bulan hal itu terjadi, aku semakin ketagihan karena Arlan. Dia memang laki-laki yang luar biasa. Aku semakin tak bisa untuk melupakannya.
Hingga suatu saat, Arlan pun berkata padaku. Saat kami bertemu kembali untuk kesekian kalinya di hotel yang berbeda.
"Ibuku sakit keras di kampung, mas Aji. Aku harus pulang besok.." ucapnya.
Kampung Arlan memang sangat jauh. Diperlukan perjalanan kurang lebih dua hari naik bis, untuk bisa sampai kesana.
"iya, gak apa-apa. Kamu pulang aja.." balasku dengan sedikit berat.
Biar bagaimanapun, saya masih belum bisa kehilangan Arlan. Saya sudah terlalu terbiasa melalui hari-hari bersama Arlan.
Tapi saya memang harus merelakan ia pergi. Setidaknya untuk beberapa waktu, menjelang ia kembali lagi kesini.
Esoknya, Arlan pun pulang kembali ke kampung halamannya. Saya, dengan berat hati melepaskan kepergiannya.
"aku pasti kembali, mas Aji..." ucap Arlan saat ia hendak menaiki bis yang ia tumpangi.
"aku pasti akan selalu menunggumu disini, Arlan.." balasku dengan nada sedih.
Sekuat mungkin aku berusaha untuk terlihat tegar. Sekuat mungkin aku berusaha untuk menahan air mataku agar tidak tumpah saat itu juga.
Berat rasanya harus terpisah dari Arlan. Tapi aku harus bisa ikhlas.
******
Seminggu dari hari kepergian Arlan, saya masih bisa terus menghubunginya melalui ponsel.
Arlan mengabarkan kalau ibunya akhirnya meninggal. Saya pun menyampaikan rasa turut berduka saya pada Arlan.
"saya mungkin masih sangat disini, mas Aji.." ucap Arlan kemudian.
"iya, gak apa-apa, Arlan. Aku akan tetap menunggu kamu disini.." balasku lirih.
Hatiku sebenarnya ingin Arlan segera kembali, tapi aku tidak mungkin memaksanya.
Biar bagaimanapun sebenarnya kami tidak punya hubungan apa-apa. Kami tidak punya ikatan apa-apa.
Yang terjadi selama ini hanyalah, Arlan bersedia melayani saya, karena ia mendapatkan upah.
Bukan atas dasar suka sama suka.
Meski tidak bisa saya pungkuri, kalau Arlan sebenarnya mulai menikmati hubungan kami.
Hari-hari terus berlalu, hingga lebih dari sebulan, Arlan belum juga kembali.
Dia bahkan sudah tidak bisa dihubungi lagi, nomornya sudah tidak aktif.
Saya mulai merasa khawatir, jangan-jangan Arlan memang tidak akan pernah kembali lagi kesini.
Dan hal itu tentu saja, membuat saya sangat kecewa dan terluka.
Hari-hari saya semakin terasa sepi dan tak bergairah. Saya sering menghabiskan waktu, mengurung diri di kamar. Hidupku tiba-tiba terasa hampa.
Sedalam itukah saya mencintai Arlan?
Mengapa bayangan selalu melintas dalam pikiranku?
Mengapa saya tidak berusaha untuk melupakannya?
Padahal sudah jelas-jelas Arlan sudah menghilang.
Saya masygul. Saya benar-benar tidak tahu lagi harus melakukan apa saat ini.
Ingin rasanya saya mendatangi kampung Arlan, untuk bertemu dengannya.
Namun selain karena jarak yang jauh, saya juga tidak tahu pasti dimana kampung Arlan sebenarnya.
Saya hanya tahu namanya, tapi tidak tahu tempatnya.
Lagi pula, jika pun saya nekat mendatangi Arlan di kampungnya, belum tentu Arlan akan menyambut saya dengan manis. Karena bisa saja sebenarnya, Arlan memang sengaja menghindar.
Untuk itu saya akhirnya hanya bisa pasrah.
*******
Beberapa bulan berlalu, saya enggan untuk menghitungnya. Saya benar-benar sudah pasrah. Harapan saya untuk bisa bertemu Arlan lagi terasa sudah musnah.
Arlan benar-benar menghilang, dan saya merasa sangat sakit karenanya.
Dalam kepasrahan saya itulah, tiba-tiba saya mendapat kabar kalau Arlan sudah kembali lagi ke perkebunan sawit. Pak Darman yang cerita, ketika ia datang ke rumah untuk bertemu ayah.
"udah dua hari Arlan mulai bekerja lagi di kebun, mas Aji.." jelas pak Darman padaku, yang membuatku tersenyum riang.
Esoknya saya pun berangkat ke kebun, untuk menemui Arlan. Rasa rindu saya sudah sangat menggunung. Rasanya saya sudah tidak sanggup menahannya.
Saya sangat merindukan senyuman manis Arlan.
Sesampai disana Arlan menyambut saya dengan senyum khas-nya itu. Tapi tentu saja, kami hanya bisa saling tatap, tanpa bisa saling peluk. Pastinya hal itu akan terlihat aneh di mata orang-orang.
Namun yang pasti hati saya merasa sangat bahagia melihat Arlan kembali.
Sore itu, saya pun meminta izin pada pak Darman untuk mengajak Arlan ke kota.
Saya pun menyewa sebuah hotel untuk tempat kami bertemu dan saling melepas rindu.
"kemana saja kamu, Arlan? Kenapa ponsel kamu tidak bisa dihubungi?" saya memberondongi Arlan dengan beberapa pertanyaan, saat kami sudah berada di dalam hotel.
"maaf, mas Aji. Saya terpaksa menjual ponsel saya, untuk membantu biaya sekolah adik saya yang paling kecil. Ia baru saja lulus SMP tahun ini, jadi butuh biaya banyak." jelas Arlan.
"aku juga harus kerja dulu di kampung, mas Aji. Untuk cari ongkos kembali kesini.." lanjut Arlan.
Kemudian ia pun duduk di sampingku di atas ranjang.
"aku sangat merindukan mas Aji.." ucap Arlan pelan, yang membuatku merasa tersanjung.
Ternyata bukan hanya saya yang menanggung rindu selama ini. Tapi Arlan juga.
Hatiku semakin bersorak senang menyadari semua itu.
"aku.. aku sayang sama mas Aji..." ucap Arlan lagi dengan sedikit terbata.
"aku juga sayang kamu, Arlan.." balasku tegas.
Perlahan wajah kami pun kian mendekat. Aroma harum napas Arlan tercium di hidungku.
Aku merasa begitu bahagia malam itu. Segala rasa rindu yang selama ini terpendam aku tumpahkan dengan segenap jiwaku.
Arlan juga seperti enggan melepaskanku. Dia ingin kembali merasakan pendakian yang indah itu bersamaku.
"kamu begitu sempurna, mas Aji. Aku tidak bisa melupakan kelembutan mas Aji. Aku ingin selalu merasakannya. Tak peduli aku di bayar atau tidak, yang penting aku bisa terus bersama mas Aji..." kali ini Arlan membisikkannya di telingaku, sambil ia terus membuaiku dalam lautan cinta yang indah.
Cinta kami pun akhirnya menyatu padu, melebur dalam sebuah rasa yang indah.
Pendakian-pendakian berikutnya semakin penuh gejolak.
Hati kami menyatu, jiwa raga kami pun tak ingin terpisah.
Kami enggan untuk saling mengakhiri, kami ingin tetap menyatu dalam lautan cinta itu.
Kini hatiku benar-benar bahagia, akhirnya aku bisa memiliki pemuda kekar sang tukang panen itu.
Aku bukan hanya bisa memiliki raganya tetapi juga hati dan jiwanya.
Kan kuserahkan seluruh hidupku untuk Arlan. Aku akan selalu ada untuknya. Membantunya melewati beratnya sebuah perjalanan hidup.
Kami akan tetap bersama, meski itu semua tidaklah akan selalu mudah.
Tapi aku percaya, kekuatan cinta bisa mengalahkan apapun.
Semoga saja..
****
Sekian ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar