Kisah nyata : Rumah tanggaku hancur karena uang...

Nama saya Theo (bukan nama sebenarnya), saat ini saya sudah berusia kurang lebih 38 tahun. Saya sudah menikah dan mempunyai dua orang anak.
Anak pertama saya, perempuan, sudah berusia 9 tahun. Sedangkan anak kedua saya, laki-laki, masih berumur 5 tahun.

Istri saya, sebut saja namanya Syifa (nama samaran), seorang wanita yang cantik dan masih seksi sampai saat ini. Sebenarnya dia isteri yang baik dan juga penuh perhatian.

Awal pernikahan kami sungguh bahagia, karena memang kami menikah atas dasar saling cinta. Pernikahan kami terasa sangat manis dan indah. Semua berjalan dengan baik.

Meski kehidupan kami tidak terbilang mewah, karena saya hanya seorang pegawai honorer di sebuah sekolah swasta. Kehidupan rumah tangga kami cukup sederhana. Isteriku tak pernah mengeluh soal kebutuhan hidup kami. Alhamdulillah, gaji saya masih bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga kami, meski tentu saja saya masih mencari tambahan dengan berjualan pulsa.

Hidup kami yang pas-pasan tidak menghalangi kami untuk tetap bahagia. Apa lagi semenjak kehadiran kedua buah hati kami. Hidup saya terasa lengkap.

Sepuluh tahun pernikahan kami, semua berjalan baik-baik saja. Tanpa ada masalah yang berarti. Hingga akhirnya suatu hari...

"mas, saya pengen kerja lagi..." ucap isteriku di sela-sela makan malam kami.

"kenapa?" tanyaku dengan kening yang berkerut.

"bosan aja di rumah, mas. Sayang juga kan, ijazah saya rasanya gak kepake..." jawab isteriku dengan suara lembutnya.

Sebenarnya, sebelum menikah denganku, isteriku adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan yang cukup ternama. Namun setelah menikah denganku, ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga.

"apa kamu gak repot?" tanyaku akhirnya setelah kami terdiam sejenak.

"gak kok, mas. Lagian anak-anak juga sudah besar..." ia berujar sambil menatapku.

Aku tediam lagi. Mempertimbangkan keinginan istriku yang tiba-tiba saja ingin bekerja lagi, setelah lebih dari sepuluh tahun ia vakum.

"izinkan saya ya, mas. Saya janji saya akan bisa bagi waktu, terutama buat anak-anak.." isteriku berujar lagi dengan nada sedikit memohon. "sekarang Alda sudah bisa mengurus dirinya sendiri, dan Aldi juga sudah masuk TK. Mas selalu pulangnya sore, kadang saya juga kesepian di rumah.." lanjutnya.

Anak perempuanku, Alda, memang sudah kelas empat SD, ia sekolah di tempat saya bekerja sebagai guru honorer. Alda sekolah sampai sore, dan biasanya kami selalu pulang bersama. Sedangkan anak laki-lakiku, Aldi, sudah masuk TK tahun ini, sekolahnya juga berada satu yayasan dengan tempat aku mengajar. Biasanya Aldi memang aku yang mengantar pulang, karena ia sekolah hanya sampai jam sebelas siang.

"nanti kalau aku jadi kerja, Aldi gak usah mas antar pulang. Gak apa-apa dia disana aja, nungguin mas pulang kerja..." lanjut istriku lagi.


***********

Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku mengizinkan istriku bekerja lagi. Aku hanya tak ingin membuat ia kecewa, karena tidak memenuhi keinginannya. Tentu saja dengan syarat ia tidak mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri dan juga sebagai seorang Ibu.

Istriku diterima bekerja di sebuah perusahaan besar. Istriku memang memiliki skill dan pengalaman kerja yang bagus. Ia juga lulusan dari kampus ternama. Sehingga ia dengan mudah mendapatkan pekerjaan.

Setelah mulai bekerja, istriku jadi jarang di rumah. Anak-anak lebih sering bersamaku.

Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Istriku masih bisa dengan baik mengatur waktu terutama untuk anak-anak. Ia berangkat kerja saat saya dan anak-anak sudah pergi ke sekolah, dan biasanya ia pulang pada sore hari, saat kami baru saja sampai di rumah.

Semua berjalan dengan baik. Dan tentu saja, secara ekonomi penghasilan kami juga meningkat. Terlebih karena memang istriku mendapatkan gaji jauh lebih besar dari yang aku peroleh setiap bulannya. Namun hal itu tidaklah terlalu menjadi masalah awalnya. Istriku masih bisa menghargaiku sebagai seorang suami dan juga seorang ayah.

Sebenarnya istriku, berasal dari keluarga yang sederhana. Orangtuanya bekerja sebagai petani di kampung. Namun istriku seorang yang cerdas dan memiliki tingkat intelektual diatas rata-rata, sehingga ia bisa mendapatkan beasiswa dan lulus kuliah dengan hasil terbaik. Mendapatkan pekerjaan yang bagus, hingga kemudian ia memutuskan untuk berhenti bekerja ketika akhirnya ia memilih untuk menikah denganku.

Namun ternyata setelah sepuluh tahun vakum dari dunia kerja, sekarang ia memutuskan untuk memulai bekerja lagi dan mengasah bakatnya yang selama ini ia pendam.

*************

Setahun bekerja, aku mulai merasakan ada perubahan-perubahan yang terjadi pada istriku. Sikapnya tak lagi semanis dulu. Ia bahkan sekarang sering pulang hingga malam. Ia hampir tidak punya waktu untuk anak-anak kami. Istriku berangkat kerja labih pagi dari biasanya, bahkan sebelum anak-anak terbangun. Dan pulang pun saat anak-anak sudah tidur.

"saya perhatikan akhir-akhir ini, kamu sering pulang malam..." tanyaku suatu malam.

"biasalah mas, sekarang saya sering lembur..." jawabnya beralasan.

Saya pun coba mengerti.

Namun berbulan-bulan berlalu, tingkah laku istriku malah semakin parah. Ia pulang semakin larut, hampir setiap malam. Anak-anak tidak lagi ia perhatikan. Ia tidak pernah lagi makan apa lagi memasak di rumah. Ia hanya pulang untuk tidur, kemudian pergi lagi saat pagi. Perubahan-perubahannya sangat terasa bagiku. Aku tak lagi mengenali istriku. Bahkan ia selalu menolak setiap kali aku mengajaknya berhubungan badan.

"aku capek, mas..." begitu selalu alasannya.

Dan aku hanya bisa terdiam melihat itu semua.

"Ibu kemana sih, Yah?" tanya anak perempuanku suatu hari.

Aku tersenyum manatap anakku. Aku tahu anak-anakku merasa kehilangan sosok seorang Ibu dalam rumah tangga kami. Mereka lebih sering terlihat muram dan tidak bergairah. Namun aku selalu berusaha menghibur mereka, menjadi sosok ayah yang baik untuk mereka.

"Ibumu kan lagi kerja, nak..." jawabku sekenanya.

"masa' ia kerjanya sampai malam terus, Yah..." ucap anakku lagi, yang membuatku semakin terhenyak dan tak tahu harus menjawab apa.

"kamu kenapa sih, harus pulang selarut ini?" tanyaku pada istriku suatu malam, melihat ia baru saja masuk rumah, saat itu sudah jam satu malam.

"di kantor sedang banyak perkerjaan sekarang, mas. Harus lembur. Dan kadang harus bertemu klien dulu...." jawab istriku dengan nada datar.

"tapi memang harus setiap malam, ya? Dan selarut ini?" tanyaku lagi, dengan suara bergetar menahan gejolak.

"udahlah, mas. Kamu gak bakal ngerti. Pekerjaan yang aku jalani sekarang, tidak sama dengan pekerjaan mas..." balasnya sambil melangkah menuju kamar.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang,

"maksud kamu apa?" kali ini suaraku sedikit tinggi.

"yah, kamu ngertilah mas maksudku apa.." suara istriku masih terdengar santai. "dan lagian kamu kenapa sih, mas? yang penting saya itu punya pekerjaan yang jelas dan hasilnya juga jauh lebih besar dari gaji kamu. Harusnya tuh, mas bersyukur punya istri yang punya penghasilan besar seperti saya..." lanjut istriku, yang membuat emosiku semakin memuncak.

Namun aku segera menarik napas panjang. Aku tidak ingin ribut dengan istriku, apa pagi tengah malam seperti ini. Aku tak ingin anak-anak terbangun, lalu mendengar kami bertengkar. Aku mencoba meredam emosiku. Aku melangkah ke dapur dan mengambil segelas air untuk menenangkan pikiranku.

Sebagai seorang suami, aku memang sudah mulai curiga dengan sikap istriku akhir-akhir ini. Semuanya sekarang benar-benar berubah. Rumah tangga kamu sudah jauh dari kata harmonis. Bahkan sudah berada di ujung tanduk. Setiap kali aku coba menegur istriku, setiap kali pula ia mengajakku untuk bertengkar.

Karena kecurigaanku, akhirnya suatu malam aku memutuskan untuk membuntuti istriku. Sengaja anak-anak aku titipkan pada tetangga sekaligus sepupuku malam itu. Aku harus tahu, apa yang sebenarnya istriku lakukan di luar rumah setiap malamnya.

Dengan sangat hati-hati, aku memperhatikan istriku yang baru saja keluar kantor, saat itu kira-kira jam tujuh malam. Ia berjalan santai menuju sebuah mobil mewah di tempat parkir. Di sampingnya berjalan seorang laki-laki dengan setelan yang rapi. Mereka terlihat akrab. Mereka terlihat mengobrol dengan sekali-kali terlihat tertawa riang. Hatiku semakin bergemuruh. Rasanya ingin aku melabrak mereka berdua saat itu. Namun aku masih berusaha untuk menahan diri. Bisa saja laki-laki tesebut adalah bos istriku, dan mereka sedang ngobrol tentang pekerjaan. Untuk itu aku masih diam sambil terus memperhatikan mereka dari kejauahan.

Setelah sampai di mobil, kulihat laki-laki tersebut membukakan pintu mobil untuk istriku. Istriku terlihat tersenyum. Setelah menutup pintu dengan pelan, laki-laki tersebut pun segera masuk ke mobil. Tak lama kemudian mobil itu pun melaju meninggalkan halaman parkir kantor. Aku membuntuti mobil itu dengan menggunakan motor bututku yang sengaja aku bawa dari rumah.

Mobil itu berjalan pelan menuju arah yang berlawanan dari arah menuju rumahku, yang membuatku semakin curiga. Namun aku tetap membuntuti mobil itu dengan hati-hati. Hingga kulihat mobil itu berbelok ke halaman sebuah hotel yang cukup megah. Hotel itu berada di pinggiran kota. Suasananya cukup sunyi. Mobil itu pun parkir. Kulihat istriku dan laki-laki itu keluar bersamaan, lalu melangkah masuk ke dalam hotel.

Aku masih mencoba berpikir positif, mungkin mereka akan menemui klien mereka disini. Pikirku, sambil memarkir motorku agak jauh dari hotel tersebut.

Dengan mengendap-endap, aku memperhatikan istriku dari kejauhan. Mereka menuju resepsionis, berbicara sebentar, lalu kulihat resepsionis tersebut memberikan sebuah kunci sambil tersenyum akrab.

Mereka berdua pun naik kelantai atas dengan menggunakan lift. Dengan tergesa, aku segera menuju tempat resepsionis tadi.

"oh yang barusan check-in tadi, ya?" jawab resepsionis tadi, ketika aku mempertanyakan tentang istriku dan laki-laki tersebut. "itu udah jadi langganan kami, pak. Sudah hampir tiga atau empat bulan ini, mereka sering nginap disini..." lanjut resepsionis itu lagi, yang membuat dadaku semakin bergemuruh. Aku seperti mendengar suara petir menggelegar malam itu, saat sang resepsionis tersebut menjelaskan semakin jauh. Aku tak sanggup mendengarkannya lagi, buru-buru aku menuju lift, untuk naik ke lantai atas, menuju kamar tempat istriku dan sang pria berada.

Sesampai disana, aku melihat pintu kamar tempat istriku menginap sudah tertutup rapat. Dengan emosi yang kian memuncak, kuketuk pintu kamar itu dengan cukup keras.

Tak selang beberapa saat, seorang laki-laki yang hanya bertelanjang dada, muncul dari balik pintu.

"maaf anda siapa? Dan ada keperluan apa?" tanya laki-laki itu, yang membuatku ingin memukuli wajahnya.

Aku tidak pedulikan pertanyaan laki-laki tersebut. Dengan sedikit memaksa, kudorong pintu kamar itu, hingga terbuka lebar. Laki-laki itu terdorong ke belakang, ia  menatapku tajam.

Sekali lagi aku tidak mempedulikannya. Aku menatap sekeliling, kulihat istriku sedang terbaring di ranjang, dengan pakaian yang sudah setengah terbuka.

Melihat aku yang berdiri diambang pintu, istriku tentu saja kaget dan segera bangkit. Wajahnya pucat pasi. Sambil tergesa ia memperbaiki pakaiannya.

"mas Theo?!" ucapan istriku dengan suara bergetar.

Mendengar ucapan istriku, laki-laki yang sejak tadi berdiri disampingku dan menatapku tajam, segera mundur perlahan. Dengan terburu, ia mengambil bajunya yang berserakan dilantai dan memasangnya kembali. Lalu dengan sedikit berlari, ia keluar dari kamar itu. Aku mencoba mengabaikannya. Fokusku hanya kepada istriku. Aku menatap istriku dengan tatapan tak menentu. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu. Antara marah, benci dan rasa tak percaya.

Untuk sesaat aku hanya terdiam. Rasanya aku masih tidak percaya, istriku tega melakukan itu semua. Aku masih merasa bagai bermimpi. Namun dengan segera aku mengumpulkan semua kekuatanku. Aku mencoba mengontrol emosiku kembali. Aku tak ingin membuat keributan disini. Aku tak ingin memperburuk keadaan.

Bagiku semuanya sudah cukup jelas. Apa yang dilakukan istriku, sudah cukup untuk menjelaskan, mengapa ia berubah akhir-akhir ini. Aku tak ingin membahasnya lagi. Apapun alasannya, istriku telah menghianatiku. Dan itu terasa amat sangat menyakitkan. Tubuhku terasa lemas tak berdaya, namun aku berusaha untuk terlihat tegar.

Saat itu juga aku menceraikan istriku. Aku tak pedulikan reaksi istriku yang tiba-tiba menangis menghiba. Bahkan ia sampai bersujud memohon maaf. Isak tangisnya mengundang perhatian beberapa orang, terutama petugas hotel. Tapi aku tetap tak mempedulikannya. Apa yang telah ia lakukan adalah sesuatu yang tak bisa aku maafkan lagi. Isak tangisnya justru membuatku semakin muak melihatnya.

Setelah menjatuhkan talak, aku melangkah keluar dengan sangat tergesa, diiringi jeritan penuh hiba dari istriku. Hatiku terasa perih, namun aku sekuat mungkin menahan air mataku. Aku tak ingin menangisi semua ini, aku harus tetap kuat. Aku harus tegar menghadapi semua ini, setidaknya demi anak-anakku.

Sesampai di rumah, aku segera mengemasi barang-barangku. Aku tak ingin lagi berada di rumah ini. Aku harus pergi. Malam itu, aku memutuskan untuk menginap dirumah sepupuku. Saat aku sampai disana, untunglah anak-anak sudah tertidur. Aku pun menceritakan semua kejadian tersebut kepada sepupuku. Namun aku tak ingin anak-anakku tahu. Mereka tidak boleh tahu, apa yang telah terjadi.

Akhirnya dengan sangat berat, esoknya aku dan anak-anak pun pergi. Setelah dengan sangat susah payah, aku membujuk anak-anak, agar mau ikut denganku. Aku berusaha memberi alasan yang tepat kepada mereka. Aku harus pergi dari sini. Aku harus pergi membawa anak-anak. Pergi meninggalkan kota ini, pergi meninggalkan segala kenangan yang pernah tercipta disini.

Berkali-kali istriku coba menghubungiku, tapi aku tidak mempedulikannya lagi. Aku hanya ingin membawa anak-anak pergi jauh dari kota ini. Aku tak ingin anak-anak tahu, tapi semua kisah ini akan selalu ku kenang. Sebagai pelajaran bagiku ke depannya.

Aku tahu, ini takkan mudah bagiku. Tak akan mudah bagiku, membesarkan anak-anak sendirian. Tak akan mudah bagiku, memulainya lagi dari awal. Tak akan mudah bagiku, hidup jauh dari kota kelahiranku. Namun ini jauh lebih baik, dari pada aku harus bertemu lagi dengan istriku yang sudah menghianatiku.

Bagiku tidak ada lagi maaf untuknya. Hatiku sudah terlalu sakit, hatiku sudah terlanjur terluka sangat parah. Yang ingin aku lakukan saat ini, hanyalah melupakannya. Memulai hidupku yang baru, di tempat yang baru. Dan semoga aku akan bertemu dengan orang-orang baru, yang tidak akan pernah menghianatiku. Ya! Semoga saja!

****

Sekian ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate