"Ayah sangat berharap kamu bisa memenuhi permintaan Ayah. Anggaplah ini sebagai permintaan terakhir dari Ayah..." suara itu terdengar lemah di telinga Ine. Ia menatap laki-laki tua itu dengan perasaan iba.
Ayahnya sudah lebih dari dua bulan terbaring sakit. Selama dua bulan ini, Ine dan Ibunya berusaha merawat sang Ayah dengan baik. Sudah banyak pihak keluarga dan juga para tetangga yang menyarankan untuk membawa Ayahnya ke rumah sakit. Namun Ine dan Ibunya tidak punya uang yang cukup untuk membawa sang Ayah ke rumah sakit.
Biaya berobat ke rumah sakit tentunya sangatlah mahal. Sementara mereka hanyalah keluarga miskin yang tidak punya apa-apa. Ayahnya selama ini hanya bekerja sebagai buruh bangunan, sementara sang Ibu bekerja sebagai buruh cuci.
Mereka hidup di sebuah desa yang sangat jauh dari kota. Untuk biaya hidup saja, terkadang mereka harus meminjam uang dari para tetangga. Tentu saja kehidupan seperti itu sangat berat mereka jalani.
Ditambah lagi kedua adik Ine masih kecil-kecil dan masih sekolah. Tentunya biaya hidup mereka sangat besar, dibandingkan dengan penghasilan yang mereka dapat selama ini.
Apa lagi sekarang sang Ayah menderita sakit gagal ginjal, yang seharusnya dirawat di rumah sakit dan harus dioperasi. Namun karena kondisi kehidupan mereka yang sangat kekurangan, mereka hanya berusaha melakukan pengobatan tradisional yang ada di desa tersebut.
"Ayah ingin kamu menerima lamaran dari nak Martin..." sang Ayah melanjutkan lagi, kali ini suaranya sedikit terbata karena menahan rasa sakit.
Seketika Ine merasakan matanya berkaca. Ia benar-benar tak tega melihat kondisi Ayahnya saat ini. Tapi permintaan Ayahnya tersebut terlalu berat untuk Ine terima.
Ine tahu siapa Martin. Laki-laki itu adalah anak dari kepala desa, ia seorang sarjana yang sudah bekerja di sebuah perusahaan sawit yang berada tak jauh dari desa. Disana ia sudah menjadi seorang maneger. Kehidupannya memang sudah mapan, terlepas dari ia seorang anak kepala desa atau tidak.
Secara fisik, Martin sebenarnya seorang pemuda yang cukup menarik. Ia tampan, ramah dan juga terkenal cukup baik.
Namun Ine tidak mencintai pemuda tersebut. Meski Ine sudah mengenal Martin cukup lama, tapi ia tidak punya perasaan apa-apa kepada Martin. Selain teman satu kampung.
Usianya dan Martin memang terpaut cukup jauh. Martin sudah berusia 28 tahun saat ini. Usia yang sudah cukup dewasa, dan tentu saja sudah sangat siap untuk berumah tangga.
Karena itulah beberapa minggu yang lalu, kedua orangtua Martin datang ke rumah Ine untuk menyampaikan niat mereka untuk melamar Ine.
Kedua orangtua Ine tentu saja setuju bahkan sangat senang mendengar hal tersebut. Namun bagi Ine, itu merupakan pukulan yang sangat berat. Bukan saja karena ia memang tidak mencintai Martin, tapi juga karena sebenarnya Ine sudah punya seorang kekasih.
Namanya Danu. Seorang pemuda yang berasal dari desa yang sama. Namun saat ini, Danu sedang berada di kota untuk kuliah.
Danu merupakan teman sepermainan Ine sejak kecil, selain jarak rumah mereka yang cukup dekat, mereka juga seumuran. Mereka berteman sejak masih di sekolah dasar hingga sama-sama menamatkan Sekolah tingkat atas.
Sejak mulai masuk SMA mereka pun sepakat untuk menjalin hubungan asmara. Mereka memang sudah saling tertarik sejak lama. Hubungan mereka terjalin dengan indah.
Namun hubungan indah itu, harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Danu harus melanjutkan kuliah ke kota, sementara Ine yang memang tidak punya biaya, harus tetap tinggal di kampung dan membantu orangtuanya.
Meski terpisah ratusan kilometer, hubungan Ine dan Danu tetap berjalan. Mereka sering saling memberi kabar melalui handphone.
Dan kadang pada saat musim liburan, Danu juga kembali ke desa. Mereka bisa bertemu dan saling melepas rindu.
Danu sebenarnya juga berasal dari keluarga yang kurang mampu. Namun karena Danu anak tunggal, kedua orangtuanya sangat berharap agar Danu bisa kuliah dan menjadi orang yang sukses. Karena itulah kedua orangtua Danu harus banting tulang untuk bisa membiayai kuliah Danu.
"tak akan ada yang mampu memisahkan kita. Meski kita terpisah jarak dan waktu. Aku mencintai kamu dulu, sekarang dan selamanya. Aku ingin kamu menjaga cinta kita, hingga suatu saat nanti aku bisa melamarmu..." begitu ucap Danu kepada Ine pada suatu ketika, sebelum ia berangkat kuliah.
Ine sangat tersentuh dengan semua itu. Ia juga sangat mencintai Danu. Baginya Danu adalah cinta pertama sekaligus laki-laki terakhir yang akan mengisi hatinya.
"aku juga mencintai kamu, Dan. Tak peduli sejauh apa pun jarak yang ada diantara kita. Aku juga ingin kamu menjaga cinta ini, hingga maut memisahkan kita..." balas Ine, ia membalas remasan jemari Danu pada tangannya.
Hampir setahun Danu kuliah di kota, hubungan mereka justru semakin erat. Hampir setiap malam mereka selalu berhubungan melalui handphone. Sesekali Danu pulang, untuk sekedar saling melepas rindu. Mereka sangat bahagia dengan semua itu.
Ine masih terdiam mendengar penuturan sang Ayah, yang masih saja menunggu jawabannya.
"Ayah tahu ini berat buat kamu. Tapi Martin pemuda yang baik, masa depannya jelas. Kehidupannya juga sudah mapan. Kamu juga harus memikirkan adik-adikmu. Mereka butuh kehidupan yang lebih baik." sang Ayah berujar lagi, sambil menyentuh dengan lembut tangan sang anak.
Ine tak mampu lagi menahan air matanya. Perlahan air mata itu pun jatuh membasahi pipinya. Tak tahan dengan perasaannya sendiri, Ine pun berdiri dan berlari menuju kamarnya. Tangisnya pun tumpah. Ia terisak. Air matanya tidak bisa ia bendung lagi, ia tumpahkan segala kepedihannya dengan tangisan pilu.
Hatinya terasa teriris. Betapa begitu sulit baginya semua itu. Biar bagaimana pun, ia sangat mencintai Danu. Namun ia juga tidak mungkin menolak permintaan sang Ayah saat ini.
Dari pintu masuk sang Ibu berjalan mendekati gadis itu. Ia duduk disampingnya dan membelai rambut Ine dangan lembut.
"Ine masih belum pengen nikah, Bu..." suara Ine terbata di tengah isaknya.
"Ibu ngerti, Ne. Tapi apa kamu tega menolak keinginan Ayahmu? Apa kamu tega membuat ia semakin menderita?" ucap sang Ibu, sambil terus membelai rambut hitam panjang itu.
"tapi Ine tidak mencintai mas Martin, Bu..." suara Ine masih terisak.
"tapi kamu sayang, kan sama Ayah kamu? Sama Ibu?" ucapan sang Ibu membuat Ine semakin terisak pilu. Hatinya kian perih. Sungguh sebuah pilihan yang teramat sulit baginya. Antara memenuhi keinginan orangtuanya, yang tentu saja ia harus mengorbankan cinta sucinya. Atau ia harus berjuang demi cintanya, dan tentu saja ia harus melukai hati kedua orangtuanya. Ine meringis sakit, mengingat semua itu.
*********
"kamu tahu apa yang paling berat dari semua ini, Ne..?" suara Danu terdengar parau, saat mereka akhirnya berjumpa pada suatu sore. Setelah dengan terbata, Ine menceritakan semua kejadian yang menimpanya dan tentang perjodohannya dengan Martin kepada Danu, melalu telepon genggamnya.
Danu pun buru-buru pulang mendengar semua itu. Ia meminta Ine untuk menemuinya di tempat biasa mereka bertemu. Di sebuah pondok kecil, di tepi sawah yang membentang luas di ujung desa.
Ine tak kuasa menahan tangis ketika menyampaikan semua itu kepada Danu. Air matanya tak kunjung berhenti, sampai Danu berusaha menenangkannya.
Danu sendiri sebenarnya sangat terpukul mendengarkannya. Namun sebagai laki-laki, tentu saja ia berusaha untuk tetap tegar, meski air mata mengenang di sudut matanya yang sendu.
Ine masih terisak, dan tak berkeinginan untuk menjawab pertanyaan Danu barusan. Sekali lagi Danu menghempaskan napas. Kemudian ia berujar lagi,
"saat ini aku sedang berjuang untuk membangun masa depan kita berdua. Namun justru saat aku sedang berjuang, sebelah sayap seakan patah. Aku seakan tak punya kekuatan lagi untuk tetap berjuang. Aku merasa rapuh, saat satu-satunya alasanku untuk berjuang, justru harus terlepas..." suara Danu semakin lirih.
"maafkan aku, Dan. Aku benar-benar tak berdaya. Aku tak bisa lagi menolak satu-satunya keinginan dari orangtuaku saat ini.." suara Ine parau, ia berusaha menahan semua gejolak di hatinya.
"kamu gak salah, Ne. Kamu hanyalah korban. Korban dari sebuah ketidakadilan hidup. Dan aku tak berdaya untuk menyelamatkanmu dari semua ketidakadilan itu." Danu membersit hidungnya yang tiba-tiba berair. Matanya kian berkaca. Hatinya meringis pilu.
"mungkin memang sudah menjadi suratan untuk cinta kita, harus berakhir dengan cara seperti ini. Kita tak harus menangisinya. Kita tak harus menyesalinya....." lanjut Danu lagi.
"tapi aku sangat mencintai kamu, Dan. Aku tak bisa begitu saja melupakanmu..."
"aku juga sangat mencintaimu. Aku juga tidak bisa begitu saja, melepaskanmu. Tapi apa yang bisa kita lakukan saat ini? Selain menerima semuanya sebagai sebuah takdir yang tak bisa kita elakkan..."
Ine terisak kembali. Ia masih mengingat dengan jelas. Kejadian seminggu yang lalu. Saat sang Ayah hampir sekarat karena penyakitnya. Ine merasa sang Ayah sudah tidak bisa bertahan lagi. Di saat semua orang mulai terisak melihat kondisi Ayahnya. Tiba-tiba saja, kedua orangtua Martin datang dan menawarkan untuk membawa Ayahnya ke rumah sakit. Melihat kondisi sang Ayah yang kian parah, tentu saja dengan sangat terpaksa Ine menyetujui hal tersebut. Hari itu Ayahnya segera dilarikan ke rumah sakit dan juga segera di operasi. Segala biaya dari semua itu, sudah ditanggung penuh oleh orangtua Martin.
Ayahnya memang sudah berhasil pulih kembali, melewati masa kritisnya dan menjalani proses operasi dengan lancar. Namun tentu saja, semua itu ada konsekuensinya, terutama bagi Ine sendiri. Ia mau tidak mau harus menerima lamaran dari Martin dan keluarga.
Ine tidak punya alasan apapun lagi untuk menolaknya. Ia harus memenuhi permintaan orangtuanya.
Kedua keluarga akhirnya sepakat, untuk segera melangsungkan pernikahan antara Ine dan Martin. Setidaknya sampai sang Ayah sudah mulai sembuh kembali.
Pernikahan itu akan dilangsungkan minggu depan. Karena itu, Ine memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada Danu. Ia tidak ingin Danu mengetahuinya dari orang lain. Ine tidak mau Danu menganggapnya sebagai penghianat dan perempuan yang tak setia. Ine harus jujur dan menjelaskan semuanya. Meski tentu saja hal itu terasa sangat berat dan begitu menyakitkan.
*******
Seminggu kemudian Ine dan Martin akhirnya melangsungkan pernikahan. Diiringi isak tangis Ine yang tak kunjung berhenti. Hatinya begitu sakit menerima semua itu. Seolah seribu sembilu menusuk-nusuk hatinya yang memang sudah hancur.
Sementara dari kejauhan, Danu menyaksikan pesta pernikahan itu dengan perasaan pilu. Luka dihatinya teramat parah dan perih. Bertahun-tahun ia menjalani cinta yang begitu indah bersama Ine. Bertahun-tahun ia berharap akan menjadi pendamping Ine selamanya. Namun sekarang, ia harus menyaksikan gadis yang ia cintai bersanding dengan laki-laki lain.
Pesta pernikahan itu memang dilaksanakan dengan sangat sederhana, namun tetap saja hal itu mampu menghancurkan perasaan Danu. Memporak-porandakan semua harapannya.
Berkali-kali ia menyeka air matanya. Ia tak kuasa lagi menahan tangisnya. Di hadapan Ine ia mungkin bisa berpura-pura tegar. Namun ketika ia sendirian seperti saat ini, ia tak bisa lagi membendung kepedihannya. Hatinya terluka parah dan tubuhnya terasa lemas tak berdaya.
Tak sanggup menyaksikan semua itu, Danu akhirnya memutuskan untuk kembali ke kota. Ia pergi untuk membawa hatinya yang terluka. Semua harapannya seolah musnah, bersama cintanya yang tak bisa menyatu.
Tak pernah terpikir olehnya, jika kisah cintanya yang indah harus berakhir dengan begitu menyakitkan. Berat bagi Danu harus melepaskan Ine, gadis yang sangat ia cintai itu.
Kini semuanya hanya tinggal kenangan. Ine bukan lagi miliknya. Ine bukan lagi gadis yang selama ini selalu bisa menghiburnya, dengan segala sikap manjanya.
Danu sudah terlalu biasa melewati hari-hari bersama Ine. Namun sekarang semuanya terasa hampa. Tidak ada lagi tawa canda gadis manis itu. Tidak ada lagi yang akan memberinya semangat ketika ia merasa lelah. Untuk siapa lagi ia berjuang? Jika satu-satunya orang yang membuatnya bahagia, kini tidak lagi bersamanya.
****
Sekian ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar