Sebuah cerpen jadul : Sebuah Pilihan

Gadis itu termangu sendiri, menatap kelamnya malam. Dia bingung dan sedih, namun hati nya meragu.
Ada segenap perasaan sakit di hatinya. Kejadian sore tadi masih berkelana dalam benaknya.
Keira, gadis itu, bangkit dari duduknya, berjalan menuju kamarnya yang sekarang terasa membosankan baginya.
Dia ingin tidur. Dia ingin memejamkan mata, agar bayangan itu bisa pergi dari benaknya. Namun setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan itu selalu muncul. Lagi dan lagi.

Keira menangis kembali mengingatnya. Kejadian sore tadi, sore yang ingin Keira hapus dalam perjalanan hidupnya. Kejadiannya begitu jelas dan sangat menyakitkan bagi Keira.
Maruz, laki-laki yang ia cintai sudah hampir tiga tahun ini, dengan mudahnya memutuskan hubungan mereka. Tanpa alasan, tanpa penjelasan.

"aku ingin kita putus...!" tegas suara Maruz, ia berdiri menatap tajam ke arah Keira.
Sesaat Keira terperangah, ia tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Namun kata-kata itu cukup jelas. Tapi kemudian ia anggap itu hanya lelucon. Maruz emang suka bercanda, pikirnya.
"aku serius," suara Maruz lebih tegas, "aku sudah tak sanggup lagi menjalani semua ini..."
"maksud kamu?"
"yah, hubungan kita ini! Aku capek..."
"Iya. Tapi kenapa?" berkerut kening Keira, memikirkan kisah mereka. Seingatnya hubungan mereka baik-baik saja. Semua masih seperti biasa. Tapi mengapa tiba-tiba Maruz ingin hubungan mereka berakhir? Rintih bathin Keira.

"aku yakin pada akhirnya kamu akan mengerti..." suara Maruz mulai sedikit melemah.
"tidak. Mar. Aku tidak akan pernah dan tidak akan mau mengerti..." Keira menjawab hampir menjerit, tangan kanannya memegang keningnya sendiri. "kalau kamu memang lelah dengan hubungan ini, sebaiknya untuk sementara kita tidak usah bertemu dulu," Keira melanjutkan dan mencoba menatap ke dalam mata Marus, mencari kejujuran di sana. "aku sarankan kamu pulang dulu, tenangkan pikiranmu. Nanti kita bicara lagi..."

"tidak, Kei. Keputusan ku sudah bulat. Aku sudah terlalu sering memikirkan ini.." Maruz berucap sambil mengalihkan pandangannya menghindari tatapan Keira. "dan lagi pula aku akan pergi jauh, keluar kota. Aku tak akan ada lagi di sini. Aku tak akan pernah kembali.." lanjutnya.
"kemana?!" spontan Keira bertanya.
"Kamu tidak harus tahu..."

"tapi, Mar. Meski pun kita jauh, kita masih tetap bisa berhubungan, kan? gak harus di akhiri seperti ini..." parau suara Keira, terasa ada yang terhiris di hatinya.
"Kei..." lembut suara Maruz, ia pegangi kedua pundak Keira. "bukan karena aku harus pergi, yang membuat kita harus putus. Tapi karena kita harus putus, makanya aku harus pergi..." lanjutnya, sambil melepaskan kedua tangannya.

Kening Keira berkerut kembali, "harus..? tidak ada yang mengharuskan kita putus, Mar! Ini hanya keinginan kamu saja, bukan..?" Keira bergetar, ia berusaha menahan air matanya sendiri. "atau mungkin karena ada yang lain?" tanya nya berusaha lebih tegar.
"tidak. Kei!" Maruz menjawab spontan. Sungguh ia tak tega melihat Keira seperti itu, hatinya hancur, "sumpah demi Tuhan, aku masih sangat mencintaimu sampai saat ini.." Maruz mengepalkan tangannya. "tapi aku tidak bisa dan tidak sanggup lagi meneruskan semua hubungan ini" suaranya semakin pelan.
Ingin rasanya Maruz, mengungkapkan semua yang terjadi, ingin ia mengungkapkan alasan mengapa ia harus mengakhiri hubungan indah mereka. Ingin rasanya ia berkata banyak, tapi yang keluar hanyalah, "aku harap kamu mengerti. Bagi ku semua nya sudah berakhir..."

Miris hati Keira mendengar semua itu. Hati nya benar-benar hancur. Ia benar-benar tak mengerti, mengapa Maruz memilih mengakhiri hubungan mereka. Setelah hampir tiga tahun mereka merajut kasih, tanpa ada masalah yang berarti. Semua nya baik-baik saja.

Keira masih ingat, ketika pertama kali ia bertemu dengan pemuda itu, Maruz. Di suatu sore, ketika mereka sama-sama terjebak hujan dan beteduh di sebuah halte. Saat itu, Keira baru saja selesai kuliah dan hendak pulang. Sopir yang biasa menjemputnya, tiba-tiba pulang kampung, karena ada kelurganya yang meninggal. Keira terpaksa harus naik busway hari itu.
Di sana ia bertemu Maruz, yang saat itu juga sedang berada di halte. Mereka hanya berdua disana.
Suara petir menggelegar di langit. Keira ketakutan. Ia memang selalu takut, setiap kali mendengar suara petir menyambar. Apa lagi sore itu, suara petir juga di iringi hembusan angin yang cukup kencang, membuat Keira semakin ketakutan.

"maaf.." ucapnya pada Maruz, waktu itu. Ketika tanpa sengaja ia memegang tangan Maruz, karena kaget. "saya takut petir..." lanjutnya meringis.
Pemuda itu tersenyum maklum. "tidak apa-apa.." ucapnya.
Keira tahu, pemuda itu orang baik. Dan karena hujan yang tak kunjung reda, sedangkan busway yang ia tunggu belum juga datang. Ia tak punya pilihan lain, selain tetap berada di dekat pemuda tersebut.

"apa masih lama?" Keira mulai agak tenang.
"apanya?" tanya pemuda itu balik..
"bus nya.."
"oh.. mungkin terjebak macet.."
Pemuda itu ternyata seorang petugas penjual karcis dan penjaga halte tersebut. Mereka pun berkenalan. Keira merasa nyaman. Pemuda itu cukup menarik perhatiannya. Seorang pemuda sederhana, yang mempunyai bentuk wajah yang lumayan tampan.
Sejak saat itu, Keira lebih rajin naik busway, ia tak mau lagi di antar sopirnya ke kampus.
Maruz benar-benar menarik perhatiannya. Pemuda itu mampu membuka hatinya dan perlahan membuat Keira jatuh cinta.

"aku hanya seorang penjual karcis..." untuk kesekian kali nya Maruz berusaha mengingatkan Keira akan status nya. Setelah mereka akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan asmara, "apa kamu tak akan menyesal..?" lanjutnya.
"ya. aku tahu. " jawab Keira santai. "tapi itu tidak akan mengubah perasaan ku padamu.."
"tapi kita juga harus realistis. Kamu siapa dan aku ini siapa.."
"aku tak peduli! yang aku tahu, kita saling mencintai. Terlepas dari semua perbedaan yang ada..."
"kamu bisa gak peduli. Tapi bagaimana dengan teman-teman kampus kamu? Bagaimana dengan keluarga dan orang tua kamu...?" Maruz masih berusaha, untuk membuat Keira sadar akan status dirinya.

"hatiku memilih kamu, Mar. Meski begitu banyak teman kuliahku yang menginginkan ku. Aku tak peduli. Aku memilih kamu, dan itu pilihanku. Tidak ada yang akan mampu mengubahnya. Dan tolong jangan ragukan hal itu.." Keira berusaha meyakinkan Maruz akan perasaannya.
"lalu bagaimana dengan keluargamu..? Orang tua kamu?"
"kita akan coba pelan-pelan, Mar. Yang penting kita berjuang bersama-sama. Aku yakin mama papa akan bisa memahaminya..."

Begitulah awalnya, hubungan mereka semakin indah dan serius. Maruz selalu berhasil membuat Keira merasa bahagia dan nyaman dengan segala kesederhanaannya. Sungguh Keira merasa beruntung, bisa bersama-sama Maruz. Cinta mereka terasa menakjubkan. Hingga mereka mampu bertahan hampir tiga tahun, meski hubungan mereka belum di ketahui oleh kedua orang tua Keira. Mereka tetap bersama dan merasa sangat bahagia.

Dan itu semua membuat hati Keira semakin sakit dan perih. Bagaimana mungkin hubungan mereka yang begitu manis, dengan begitu mudah Maruz akhiri sebelah pihak dan tanpa penjelasan apa pun.
Apa salahku? bathin Keira meringis. Mengapa Maruz menyakitinya? Ia tak bisa terima.

Pagi itu, Keira mencari Maruz ke tempat kerjanya, ia harus mendapatkan penjelasan. Tapi teman kerja Maruz bilang, kalau Maruz sudah berhenti dan mengundurkan diri. Keira coba datangi kost-nya, Namun teman kost-nya bilang kalau Maruz sudah pergi sehari yang lalu.
Keira semakin sakit. Maruz benar-benar pergi, tidak saja dari hatinya, tapi juga dari kehidupannya.
Keira nelangsa.

*******************************



Dua tahun berlalu, Keira tak lagi mengingat tentang Maruz. atau setidaknya ia berusaha untuk tidak mengingatnya. Terutama kejadian sore itu. Meski, tak bisa Keira pungkiri, kerap kali bayangan Maruz hadir dalam angannya. Namun kesibukannya sebagai aktivis, membuatnya hampir tak punya waktu untuk memikirkan Maruz.

Apa lagi saat ini, ada Zul, pemuda yang sudah sejak ia masuk kuliah, sudah menyukainya. Zul sangat baik, perhatian dan sangat menyayanginya. Meski Keira sendiri ragu dengan hatinya. Karena baginya Zul hanya sebatas sahabat, perasaan nya tak kian berkembang. Namun kebaikan Zul, membuat ia sulit untuk menolak, ketika akhirnya Zul memintanya untuk menjadi kekasihnya.

Hari-harinya dengan Zul memang tak seindah ketika ia bersama Maruz. Keira tak bisa merasakan bahagia yang utuh, seperti yang ia rasakan saat bersama Maruz.
Namun Keira harus akui, kalau Zul jauh lebih tegas dan jauh lebih pasti dari pada Maruz yang telah meninggalkannya tanpa sebab.

Hingga suatu pagi, ketika saat itu Keira merasa bosan dengan mata kuliah kewirausahaan yang di ikutinya.  Keira memutuskan untuk duduk di kantin kampus sendirian.
Tak lama berselang, Keira di kejutkan oleh kehadiran seorang cowok yang ia benci namun juga ia rindui.
"Maruz?" katanya setengah tak percaya, kalau cowok yang berdiri di depannya adalah cowok yang telah meninggalkannya. "ngapain kamu kesini?" lanjutnya.
Cowok itu kemudian duduk di hadapannya, tanpa pedulikan pertanyaan Keira.
Maruz tersenyum kecut, suasana kantin di pagi itu memang masih sangat sepi.

"aku ingin minta maaf.." Maruz mulai membuka suara.
"setelah semua yang terjadi, lalu kamu menghilang tanpa kabar. Kemudian tiba-tiba kamu datang untuk maaf..?"
"yah, aku tahu aku salah dan ini sebenarnya sangat berat bagiku." jawab Maruz cepat, "namun aku harus menjelaskan semuanya. Aku tak ingin semua rasa bersalah ini, terus menerus menghantui ku setiap malam..." lanjutnya.

Kening Keira berkerut. Setiap malam?pikirnya. Berarti selama dua tahun ini Maruz masih memikirkannya? Lalu mengapa ia harus pergi?
Melihat Keira yang terdiam, Maruz akhirnya berbicara lagi, "waktu itu, aku mendapat kabar dari kampung, kalau ibu ku sakit parah dan harus segera di operasi. Dan aku harus pulang.." Maruz menarik nafas agak lama, menunggu reaksi Keira. Namun Keira masih terdiam.

"aku tidak punya uang untuk biaya operasi ibu. Aku sudah coba cari pinjaman kemana-mana, namun tak ada satu pun yang berhasil. Sampai akhirnya seseorang datang menemuiku. Ia menawarkan aku sejumlah uang melebihi dari yang aku butuhkan. Namun uang itu bukan pinjaman. Ia memberikan uang itu secara cuma-cuma, namun ada syarat yang harus aku lakukan.."
"apa syaratnya?" tiba-tiba Keira bereaksi.
"syaratnya aku harus pergi dari kehidupan kamu selamanya.."
Keira cukup kaget, ia menatap Maruz penuh tanya. "lalu kamu menerimanya?"

"aku sangat menyayangi Ibu ku. Apa pun akan aku lakukan, untuk menyelamatkan nyawanya. Dan saat itu aku tidak punya banyak pilihan. Ibu ku harus segera di operasi." Maruz menghela nafas lagi.
"siapa dia? maksud ku siapa orang yang telah memberi mu uang? dan kenapa?" Keira semakin penasaran. Ia meneguk minumannya.
"menurutku dia lelaki yang baik. Jika aku jadi dia, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Dia rela melakukan apa saja, asal kamu bahagia. Dan menurutnya, kebahagiaanmu bukanlah bersamaku. Kamu pantas mendapatkan lelaki yang layak dan sepadan denganmu. Di matanya aku bukanlah lelaki yang layak untuk bersamamu.." Maruz mengusap keringat di dahinya.

Keira hanya termangu. Ia mulai mengerti arah pembicaraan Maruz.
"aku harus memilih, Kei. Meski hatiku sakit karenanya.." Maruz berujar lagi.
"dan kamu pikir aku tidak merasa sakit?" lantang suara Keira. Seketika ia menatap sekeliling, kantin masih sepi.
"aku tidak punya apa-apa, Kei. Aku hanya punya harga diri. Dan aku harus menyelamatkan harga diriku." Maruz berujar, sambil sekali lagi menyeka keringat di wajahnya. "aku tahu kamu sakit dan kecewa padaku, karena itu aku datang lagi kesini. Aku hanya ingin minta maaf..."

"kenapa kamu tidak menceritakan semua ini padaku saat itu?'
"karena itu termasuk syarat. Kamu memang tidak boleh tahu..."
"dan sekarang?"
"dan sekarang aku sadar, aku tidak harus memenuhi syarat yang itu..."
"kenapa tidak?"
"maaf, Kei. Aku harus pergi. Kewajibanku hanya meminta maaf. Selanjutnya terserah kamu.." Maruz berdiri dan mulai melangkah.

"tunggu!" Keira berusaha mencoba menahan langkah Maruz, ia ikut berdiri."setidaknya katakan padaku, siapa laki-laki yang kamu maksud?"
Maruz terhenti dan kembali menatap Keira, "itu tidak penting lagi..."
"kenapa?"
"karena..." sesaat Maruz terdiam dan tertunduk, ia memejamkan mata. Lalu dengan terbata berkata kembali, "karena sebenarnya aku tidak menerima sepeser pun uang dari laki-laki tersebut. Aku setuju untuk memenuhi permintaannya agar meninggalkanmu, karena aku tahu, ia benar. Bahwa aku memang tidak layak dan tidak pantas buat kamu..."

Keira terpaku kembali. "lalu bagaimana dengan Ibu mu?"
"beliau wafat, sebelum aku sampai ke kampung. Dan aku bersyukur tidak menerima uang itu, paling tidak aku telah menyelamatkan harga diriku, meski aku gagal menyelamatkan nyawa ibu ku."
"siapa dia?" tanya Keira sedikit emosi.
"dia siapa?"
"laki-laki itu?"
"jika ku katakan, itu tidak akan merubah apa pun, Kei." tegas suara Maruz.
"kamu egosi! terlalu banyak yang kamu rahasiakan dari aku.." suara Keira mulai bergetar.
"oke!" Maruz berkata sedikit keras, ia menatap sekeliling. Kantin masih sepi. "orang itu papa kamu, Kei. Dan aku tidak punya alasan untuk menolak kebenaran yang telah beliau ucapkan."
Setelah berkata seperti itu, Maruz berbalik dan berjalan tergesa. Ia lega. Namun juga sakit.

Sementara Keira terpaku. Tak percaya mengapa papa nya setega itu. Ia tak menyangka.
Namun Maruz tak mungkin berbohong. Ia tahu orang seperti apa Maruz. Ia juga tahu, kalau papanya juga, tidak akan suka ia berhubungan dengan Maruz. Tapi ia tak mengira, papa nya sampai melakukan hal tersebut.

Keira ingin berteriak memanggil Maruz. Namun sayang, kantin sudah mulai ramai dan Maruz sudah semakin jauh.
Namun Keira punya pilihan. Kamu benar Maruz. bathinnya. Hidup ini pilihan, dan Maruz telah membuat pilihan nya sendiri.
Mungkin saatnya Keira harus membuat pilihan. Merengkuh kembali cintanya dengan Maruz, yang telah di ombang-ambingkan oleh papanya. Atau menerima kehadiran Zul, yang datang dalam kehidupannya tanpa beban.

Keira bimbang. Namun ia melangkahkan kakinya keluar kantin. Sedikit berlari menuju gerbang kampus. Langkahnya semakin mantap, bersamaan dengan pilihan yang telah diambilnya. Sebagai sebuah pilihan. Sebuah pilihan terakhir.

Sekian...

Sebuah Cerpen Baru : Pengorbanan Cinta

Rara menatap lekat wajah cowok disampingnya, ia hampir tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
"maaf, Ra.." cowok itu berujar lagi, suaranya lebih pelan.
"Kamu gak lagi becanda kan, Wan?" tanya Rara akhirnya.
Cowok itu, Iwan, menghembuskan nafas perlahan. Kemudian dengan cukup berani menatap mata jernih milik Rara. "aku serius, Ra..." ucapnya. "aku gak sanggup lagi melanjutkan hubungan kita..."
"kita baru aja mulai, Wan..?" Rara memalingkan muka. Ia benar-benar tak mengerti dengan apa yang ada dalam pikiran Iwan.
"kamu gak bakal ngerti, Ra..."
"makanya aku butuh penjelasan,Wan. Kenapa?"
"nanti juga kamu bakal tahu..." suara Iwan terdengar serak.
"kamu jangan membuat aku jadi terlihat bodoh, Wan.." ucap Rara bergetar. Hatinya sakit. Bagaimana tidak, Iwan memutuskan hubungannya, yang baru saja mereka mulai, tanpa alasan yang jelas.
"andai saja aku bisa menjelaskan semuanya, Ra..." Iwan memejamkan matanya, ada yang terasa perih dihatinya.



"kamu tahu, Wan. Keputusanmu ini, telah mengubah semua penilaianku selama ini padamu. Aku pikir kamu beda...!" tegas suara Rara. Setelah mereka terdiam beberapa saat.
"ya, aku tahu. Kamu boleh mencaci dan membenciku, Ra. Tapi jangan minta aku untuk menjelaskannya sekarang. Terlalu rumit bagiku..." Iwan berujar, sambil mengusap keningnya sendiri. Sejujurnya ia juga sangat berat memutuskan hubungannya dengan Rara. Tapi...

Reno adalah sahabat Iwan sejak kecil. Bahkan bukan cuma itu, keluarga Reno lah yang merawat dan membesarkannya, ketika Ayah Iwan meninggal pada saat ia masih berusia enam tahun. Ibunya yang tak kuat hidup sendirian, memilih untuk menikah lagi dan meninggalkan Iwan sendirian di jalanan.
Sampai akhirnya ia ditemukan Reno.
Reno yang waktu itu sedang berjalan-jalan dengan papanya, melihat Iwan yang menangis sendirian di pinggir jalan. Reno datang menghampirinya dan merasa iba, lalu meminta papanya agar mengajak Iwan pulang bersama mereka.

Semenjak saat itu, Iwan tinggal bersama keluarga Reno dan menjadi sahabatnya. Iwan diperlakukan sangat baik dan bahkan sudah dianggap seperti anak sendiri. Apa yang menjadi milik Reno, sudah otomatis menjadi milik Iwan juga. Papa mama Reno, sangat baik padanya. Mereka tak pernah membedakan antar Reno atau Iwan.

Bahkan mereka di sekolahkan di tempat yang sama. Iwan dan Reno selalu bersaing untuk mendapatkan nilai terbaik. Meski tentu saja Iwan tetap menjadi juara kelas. Tapi Reno tak pernah iri padanya. Reno selalu mengakui kecerdasan Iwan.
Reno selalu terbuka padanya, Reno juga sering minta pendapat padanya.
Hingga mereka tumbuh dewasa dan kuliah di Universitas yang sama, meski pada Jurusan yang berbeda. Iwan mengambil kedokteran, sedangkan Reno lebih memilih Fakultas Tehnik.

******
Enam bulan berada di dunia kampus, Iwan mulai mengenal dan dekat dengan Rara.
Rara yang cantik. Rara yang baik dan ramah. Rara juga terkenal sangat supel, sehingga jarang orang yang tak mengenalnya di kampus.
Namun dari puluhan mahasiswa yang coba mendekatinya, Rara memilih untuk menerima cinta Iwan.
Cinta mereka pun terjalin sangat indah, meski hubungan mereka tak banyak diketahui oleh teman-temannya. Mereka lebih memilih untuk berpacaran secara diam-diam.

Setelah hampir tiga bulan pacaran, tiba-tiba...

Pada suatu malam, Iwan yang sedang asyik mengerjakan tugas, dikagetkan oleh kehadiran Reno yang masuk ke kamar nya tanpa permisi. Memang sudah kebiasaan. Pikir Iwan.
"Kamu kenal Rara gak, Wan..?" tanya Reno, sambil duduk di pinggiran ranjang.
"Rara?" Iwan mengernyitkan kening.
"Iya. Rara. Anak kedokteran juga. Masa' kamu gak kenal." balas Reno.
"oh.." Iwan menjawab sambil sedikit mengangguk. "kenapa?" tanya nya kemudian.
"kayaknya aku jatuh cinta deh sama dia.."
"emang kamu kenal?" tanya Iwan, sambil terus berpura-pura mengerjakan tugasnya. Perasaannya mulai merasa tak enak.
"kenal lah. Siapa sih yang gak kenal Rara. Seisi kampus juga kenal sama dia..." balas Reno sambil menghempaskan tubuhnya di ranjang.
"dia itu cantik. Baik. Ramah dan supel lagi. Pokoknya tipe saya banget.." lanjut Reno sambil meletakkan tangan kirinya di atas keningnya.

Iwan menjadi serba salah. hubungan nya dengan Rara baru berjalan dua bulan. Ia belum sempat cerita apa-apa sama Reno. Karena memang selama ini, Iwan jarang terbuka pada Reno. Terutama masalah hubungan asmaranya. Berbeda dengan Reno yang selalu terbuka padanya tentang apa saja.
Lagi pula hubungannya dengan Rara memang belum tersebar seantero kampus. Mereka masih malu-malu untuk mengakuinya di depan umum. Meski sebenarnya mereka saling mencintai.
Dan Iwan memang tidak suka hubungan asmara nya di umbar-umbar seperti kebanyakan yang orang-orang lakukan.

"kayaknya kali ini aku benar-benar jatuh cinta, Wan. Hampir setiap malam aku selalu memikirkan Rara." Reno terus saja berucap, meski ia tak mendengar reaksi Iwan. "Rara itu berbeda. Sangat jauh berbeda dibandingkan semua cewek-cewek yang pernah aku dekati.."lanjutnya.

"emang kamu sudah ngomong sama dia..?" tanya Iwan sedikit penasaran.
"belum sih. Tapi aku udah dapat nomor whatsapp-nya. Udah mulai chat juga. Pokoknya aku harus bisa mendapatkan Rara. Apa pun caranya. Akan ku kejar cintaku, Wan. Meski aku tahu, begitu banyak yang menginginkannya.." Reno berbicara sambil berdiri dan berlalu keluar dari kamar Iwan.

Iwan terlongo sendiri mendengarnya, ia berharap ia sedang bermimpi. Ia tampar pipinya ringan. Sakit. Tiba-tiba saja suasana hatinya menjadi kacau. Ia baru saja menemukan cinta dalam hidupnya, tapi sepertinya itu tak kan berlangsung lama. Ia baru saja meneguk manisnya cinta, namun semua seperti nya akan sirna.
Iwan masih tak percaya. Tapi hati kecil nya harus mengakui, bahwa itu memang nyata.
Dari sekian banyak cewek di kampus, mengapa mesti Rara sih, Ren. Rintih hati Iwan.

Iwan masih terus berpikir. Sepanjang malam ia tak tertidur. Mencari cara agar bisa menjelaskannya pada Reno. Ia mencintai Rara, dan ia tak ingin Rara-nya diambil orang. Tapi kalau orang itu adalah Reno, ia bisa apa.
Sudah terlalu banyak yang dikorban Reno dan keluarganya untuk Iwan. Mungkin ini saatnya ia harus mengorbankan cintanya untuk Reno.
Tapi hati kecilnya tetap tak rela. Ia harus berbicara dengan Reno. Pikir Iwan akhirnya.

*******************

Pagi itu hari minggu. Setelah dua hari ini Iwan mencoba menyusun kalimat yang tepat, untuk menyampaikan perihal hubungannya dengan Rara kepada Reno.
"eh, tahu gak. Tadi malam aku chatting sama Rara. Dia bilang kalau ia sebenarnya udah kenal sama aku.." ucapan Reno, mengurungkan niat Iwan yang ia pikir sudah bulat. Ia melihat senyum kebahagiaan di wajah Reno. Belum pernah ia melihat Reno sebahagia itu, bahkan dari sekian banyak cewek yang pernah ia ceritakan pada Iwan.
Itu baru chatting doang. Bagaimana kalau ia bisa dekat dan jadian dengan Rara, gak kebayang betapa bahagianya Reno.

Iwan melihat keseriusan Reno kali ini. Benar-benar serius.
"aku bakal lakuin apa aja, Wan. Agar aku bisa mendapatkan cinta Rara." Reno berujar lagi. Masih dengan senyum kebahagiaannya. "eh, nanti kamu bantu aku, ya. Kan kamu satu jurusan sama dia.." lanjut Reno, yang membuat Iwan terkesiap. Iwan berpura-pura melihat handphone-nya.
Tiba-tiba ia merasa gerah. Perutnya terasa mual.
Kenapa harus Rara sih, Ren. Kenapa gak Wati, Dewi , Sintia atau siapa kek. Pokoknya jangan Rara! titik! Iwan mengumpat dalam hatinya.

"karena Rara itu beda, Wan.." Iwan kaget mendengar ucapan Reno. Ia pikir Reno bisa mendengar ungkapan hatinya barusan. "dia tidak seperti cewek pada umumnya, lebih sopan dan gak gampangan.." lanjut Reno, tanpa pedulikan reaksi Iwan.
Emang! jawab Iwan dalam hatinya lagi.

Iwan tertunduk lesu. Gairah hidupnya tiba-tiba hilang. Hatinya patah. hatinya hancur, bahkan lebih dari berkeping-keping. Kisah cinta nya baru saja dimulai, sepertinya akan segera kandas.
Ya, Iwan harus segera mengakhiri hubungannya dengan Rara, sebelum seluruh kampus tahu. Sebelum Reno tahu.
Iwan tak bisa membayangkan betapa kecewa dan terlukanya Reno, jika ia tahu kalau cewek yang di incarnya sudah menjadi pacar orang yang selama ini ia tampung di rumahnya. Orang yang selama ini sudah menjadi sahabatnya, bahkan sudah menjadi saudaranya.
Kalau Reno rela melakukan apa saja untuk membuat Iwan bahagia, tak ada alasan bagi Iwan untuk tidak melakukan hal yang sama. Meski ia harus kehilangan cintanya.

****************
Dan itu lah yang terjadi! Meski Rara sangat marah dan kecewa akan keputusannya. Tapi itu jauh lebih baik, dari pada ia harus melihat orang yang selama ini sangat baik padanya, terluka.
Iwan berjalan gontai menuju kelasnya, tiba-tiba ia merasakan pundaknya di sentuh seseorang. Ia menoleh ke belakang, Reno tersenyum padanya, "bagaimana?" Reno berbicara tanpa pedulikan reaksi keterkejutan Iwan.
"bagaimana apanya..?" balas Iwan mengerutkan kening.
"Rara.." jawab Reno masih dengan tersenyum.
"udah putus...." Iwan kaget dengan jawabannya sendiri, buru-buru ia melanjutkan langkahnya.
"apa nya yang udah putus sih, Wan..?" Reno mengikuti langkah Iwan dengan sedikit keheranan.
"Maksud aku, emang kamu udah putuskan kalau kamu memang serius sama Rara.." jawab Iwan beralasan.
"oh.." Reno membulatkan bibir. "kan udah berkali-kali aku katakan, kalau benar-benar serius sama Rara.." lanjut Reno, "kamu bantu aku ya.."
"iya. nanti aku bantu.." balas Iwan, sedikit lega, untung ia bisa mencari alasan atas keceplosan nya tadi. "aku mau ke kelas dulu ya...." Iwan mempercepat langkahnya.
"oke pak dokter! jangan lupa, salam ya buat Rara.." balas Reno sambil berlalu pergi.

Iwan memasuki kelasnya, ia melihat Rara yang memalingkan muka darinya. Iwan coba mengabaikan hal itu. Ia tahu, ini bakal terjadi. Rara yang biasanya selalu menyambutnya dengan ramah, akan selalu sinis padanya. Rara bahkan menganggap ia gak pernah ada.
Iwan mencoba tegar dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Dia tidak tahu, entah mana yang lebih menyakitkan saat ini. Melihat sikap Rara yang sini padanya atau melihat senyum Reno setiap kali menyebut nama Rara di depannya.
Ia biarkan waktu yang akan menjawab semuanya.

*************

Sebulan berlalu semenjak Iwan memutuskan hubungannya dengan Rara. Kini semua terasa berbeda bagi Iwan. Rara tak pernah lagi mau menegurnya. Reno yang selalu memperlihatkan kebahagiaannya, karena merasa sudah mulai dekat dengan Rara.
Hampir setiap malam Reno masuk ke kamarnya, dan selalu bercerita tentang Rara, yang membuat Iwan harus menelan ludah pahit.
Iwan sadar ini akan terjadi, tapi entah mengapa hati kecil nya tak bisa menerima semuanya. Rasanya terlalu sakit. Harusnya ia lega, karena apa yang menjadi tujuannya tercapai. Tapi Iwan tak bisa memungkiri kalau ia masih sangat mencintai Rara.

Hingga pada suatu malam, seperti biasa, Reno masuk ke kamar tanpa permisi. Reno langsung terbaring di ranjang dengan lesuh. Iwan yang sedang membaca buku cukup heran, karena tak biasanya Reno terlihat murung seperti itu. Tapi Iwan berpura-pura tak melihat dan terus memperhatikan buku yang ada di tangannya, meski ia tak berminat untuk membacanya. Ia duduk di kursi belajarnya.

"aku kira selama ini kamu memang pintar, Wan.." suara Reno pelan, "tapi ternyata kamu manusia paling bodoh yang pernah aku kenal..." lanjutnya masih terus berbaring.
Iwan tengadah menatap Reno yang terbaring, "maksud kamu?" tanya nya dengan nada sedikit tinggi.
"hanya lelaki bodoh yang mau melepaskan gadis cantik seperti Rara." jawab Reno sambil ia bangkit dan duduk di sisi ranjang, menatap Iwan yang kembali menatap buku di tangannya.
"aku gak ngerti.." timpal Iwan santai.
"kamu gak usah pura-pura gak ngerti, Rara udah cerita semuanya..."
Iwan cukup kaget mendengar ucapan Reno, tapi ia tetap berpura-pura sibuk dengan bukunya.
"dari sekian banyak laki-laki yang menginginkan Rara, ia memilih kamu untuk menjadi pacarnya. Dan kalian udah pacaran berbulan-bulan, kan?" Reno berujar lagi, kali ini lebih tegas. "dan kamu memilih untuk meninggalkan dia, hanya karena kamu tahu, kalau aku juga mencintai Rara. Begitu kan, Wan?"
Iwan meletakkan bukunya di meja, menarik nafas sejenak. Ia tak berani menatap mata Reno, yang sedari tadi menanti jawabannya. "iya.." jawabnya singkat.

"kenapa?" tanya Reno lagi tanpa melepaskan pandangannya.
"karena untuk pertama kalinya, aku bisa melihat raut kebahagiaan di wajah orang yang selama ini sudah teramat baik padaku..." Iwan akhirnya berbicara cukup keras, ia beranikan menatap ke arah Reno.
"oh.." dengus Reno, "jadi kamu pikir, dengan kamu memutuskan hubungan mu dengan Rara, akan mengubah keadaan? akan membuat aku bahagia? akan membuat Rara jatuh cinta padaku?" lanjutnya, "kebodohanmu sudah keterlaluan, Wan. Kamu sudah menyakiti hati seorang wanita yang begitu lembut..."
"tapi aku juga gak ingin membuat kamu merasa sakit, Ren.."
"kenapa? karena kamu tinggal di rumahku? karena selama ini keluarga ku yang merawat dan membesarkanmu?"
Iwan mengangguk.
"huh.." Reno mendengus lagi, ia berdiri dan menatap Iwan lebih lekat, "sampai kapan sih, Wan. kamu akan menganggap kami ini orang asing. Padahal papa mama sudah memperlakukan kamu bak anak sendiri. Aku bahkan iri melihat perlakuan itu. Tapi kamu masih menganggap kami ini bukan keluarga kamu?" ucap Reno.

"bukan itu maksudku, Ren.." Iwan berujar sambil ikut berdiri, "kamu sudah terlalu baik sama ku, Ren. Aku bahkan tidak pernah melakukan apa-apa untukmu. Aku pikir, dengan melepaskan Rara, kamu bisa merasakan bahagia seperti yang aku harapkan.."
"tapi nyata nya..?"
"ya, aku tahu. Aku salah..." pelan suara Iwan.

"aku memang mencintai Rara, Wan. Bahkan sangat mencintainya. Tapi untuk apa? jika Rara tidak punya perasaan apa-apa padaku." ujar Reno lagi, ia kembali duduk dengan lesu, "aku memang kecewa dan merasa sakit hati, karena Rara dengan terang-terangan menolak ku. Tapi saat aku tahu, alasan Rara menolak ku, hatiku terasa semakin sakit, dua kali jauh lebih sakit." Reno menghempaskan tubuhnya lagi ke ranjang.
Iwan hanya terdiam. Ia kembali duduk di kursi belajarnya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.

"kalau saja cowok Rara itu orang lain, aku tak akan berhenti sampai disini, Wan. Aku akan terus mengejarnya." Reno akhirnya berujar, setelah lama mereka terdiam. "sekarang aku minta, kamu hubungi Rara dan minta maaf padanya. Sebelum Rara jatuh ke pelukan orang lain.." lanjutnya sedikit tenang.
Iwan hanya terlongo. Seperti tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
"tapi kamu..?" suaranya parau.
"kamu tahu. ada ratusan wanita di kampus. aku bisa berpacaran dengan salah satu diantaranya." kali ini Reno bangkit lagi, ia berdiri dan memegang pundak Iwan. "Tapi aku tahu, kamu belum pernah jatuh cinta. Jadi jangan pernah kamu menyia-nyiakan gadis itu lagi.." lanjutnya.
Iwan tengadah menatap Reno yang berdiri di depannya, "kamu serius?"
Reno hanya tersenyum. "cepat, ya. Sebelum aku berubah pikiran.." lontar Reno sambil menepuk-nepuk pundak Iwan. Ia pun kemudian keluar dari kamar itu. "ingat! jangan sampai aku berubah pikiran.." lanjutnya setelah ia kelaur dari kamar itu.
Iwan tersenyum, "baik pak Insinyur.." teriaknya. Ia pun tersenyum lega.

Sekian..

Sebuah Cerpen Jadul ; BUKAN CINTA YANG SALAH

"Erik..!" begitu tegas ia menyebut nama nya padaku. Saat kami saling berjabat tangan, berkenalan.
"Wina..." balas ku sedikit pelan, sambil melepaskan tangan ku. Seorang teman mempertemukan dan memperkenalkan kami. Namanya Hesti, cewek manis itu yang berhasil membujuk ku, agar mau berkenalan dengan Erik.

Sebenar nya aku sudah tahu Erik, dari Hesti tentunya. Aku pun sudah pernah beberapa kali melihatnya, cuma memang kami belum saling berkenalan.
Mata sendu cowok itu, sudah beberapa kali berserobok pandang dengan ku. Dan aku selalu tertunduk, tak berani menatap tajamnya pandangan itu. Begitu juga saat ini, aku selalu menunduk menghindari tatapannya.

Jujur saja, sejak pertama kali melihat Erik, aku tahu aku mulai mengaguminya. Cowok tampan ini sudah menggugah hatiku. Tapi rasanya begitu sulit untuk membangun kepercayaan dalam hati ku.
"Nama yang bagus..." ucapan Erik selanjutnya, "cocok sama orangnya yang cantik..." kata-kata Erik berikutnya, yang membuat ku semakin tertunduk dan tersipu, sekaligus merasa tersanjung.

"ya, iyalah. Teman aku gitu loh..." Hesti yang sejak tadi memperhatikan kami angkat bicara.
Perlahan aku pun mengangkat wajah ku dan mencoba menatap cowok yang berdiri di hadapan ku, kulihat Erik tersenyum. Dan harus ku akui senyum itu terlalu indah untuk tidak di nikmati.

"aku boleh kan, menengenal kamu lebih jauh lagi, Wina..?" Tanya Erik kemudian.
Aku hanya terdiam. Aku gak tahu harus menjawab apa. Cowok seperti Erik, yang terkenal tampan dan kaya, mau berteman dengan gadis malang seperti aku? hatiku bimbang.
Erik hanya belum tahu saja, bagaimana kehidupan ku.

"aku ... pulang dulu.." kataku dalam kebimbangan, setelah suasana hening tercipta beberapa saat, "aku masih ada pekerjaan di rumah.." lanjut ku.
"boleh aku antar?" tanya Erik menawarkan jasa.
"tidak usah. Terima kasih.." balasku cepat. "aku pulang sendiri aja, mungkin lebih baik kamu mengantar Hesti saja." kataku lagi. Dan aku pun berlalu pergi dengan cepat, tanpa pedulikan Erik dan Hesti yang kelihatan bengong.
Aku tetap melangkah meninggalkan lapangan bola volly yang sudah kosong, karena orang-orang sudah pada pulang semua.

Seusai main volly sore tadi, Hesti memang sengaja menahanku, untuk tidak pulang duluan. Ternyata ia ingin memperkenalkan ku dengan Erik.
Erik dan Hesti memang sudah kenal sejak lama, mereka tetanggaan. Rumah mereka cukup jauh dari lapangan bola voli tempat biasa kami main. Sementara rumah ku sendiri, tidak begitu jauh dari situ, dengan arah yang berbeda.

Nama desa kami, desa Bangun Baru. Sesuai dengan namanya desa ini memang baru saja di bangun. Penduduknya adalah pindahan dari berbagai daerah. Desa Bangun Baru memang sengaja dibangun, sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi kepadatan penduduk. Aku dan sekeluarga abang ku, ikut dalam perpindahan tersebut.

Abangku yang sulung, namanya Abas, sudah punya dua orang anak, cowok dan cewek. Dia dan istrinya hanya bercocok tanam di belakang rumahnya. Hasil kebun itulah yang membiayai hidup kami sekarang. Sebelum pindah ke desa ini, bang Abas hanya bekerja sebagai kuli di pasar.

Aku memang satu-satu nya anak perempuan, diatara kami empat bersaudara. Apa lagi aku anak bungsu. Abang-abang ku memang menyayangi ku.
Sejak kecil aku memang sudah tinggal bersama bang Abas. Karena kedua orang tua ku sudah tiada, semenjak aku lulus sekolah dasar. Sedangkan kedua abangku yang lain, tinggal di desa lain, mereka sudah berkeluarga dan bekerja di sana.

"kamu tamatan apa sih, Win...?" tanya Hesti suatu hari, padaku.
"sejak orang tua ku meninggal, aku hanya bergantung hidup sama bang Abas, ia hanya mampu membiayai sekolah ku sampai aku tamat SMP, setelah itu ia tak sanggup lagi.." jelasku.
"abang kamu yang lain...?"
"mereka sudah punya keluarga sendiri, penghasilan mereka pun pas-pasan. Lagi pula aku gak mau terlalu merepotkan mereka..." ucapku terus terang pada Hesti.

Sudah hampir enam tahun, aku tidak sekolah lagi. Aku hanya membantu isteri bang Abas memasak atau pun mencuci dan beres-beres rumah. Sampai kami ikut perpindahan penduduk ke desa ini, sekitar lima bulan yang lalu.
Di sini aku mulai berkenalan dengan teman-teman baru. Salah satunya adalah Hesti, yang paling dekat dengan ku. Mungkin karena kami punya hobi yang sama. Main voli...

*****************

Hari berikutnya, aku bertemu Erik lagi, setelah kami selesai main voli. Ketika aku hendak pulang, tiba-tiba ia mencegat ku.
"hei, Win. Mau pulang, ya..?!" tanya nya. Aku hanya mengangguk. Erik tersenyum, seperti biasa selalu terlihat manis. Dan aku tahu, aku takkan menyia-nyiakan senyuman itu.
"oh, iya" kataku kemudian. "kamu lihat Hesti gak hari ini?" tanyaku.
Sesaat kulihat Erik mengerutkan kening. Berpikir. Lalu menjawab, "tadi aku lihat Hesti ikut bersama orang tuanya, mungkin ke kebun."

"oh, pantas. Ia gak ikut main voli sore ini..." ujar ku pelan sambil sedikit manggut-manggut.
"mau ku antar pulang...?" tanya Erik, ketika aku hendak melangkahkan kaki pulang.
"gak usah, makasih.."
"Kenapa sih, Win. Kamu gak mau aku antar pulang. Kan biar kita bisa lebih saling kenal lagi.."
"gak apa-apa, kok. Aku lebih suka jalan kaki saja. Lebih santai..." jawabku beralasan.

Erik terdiam, mematung. Aku terus saja melangkah menuju rumah abang ku. Tapi hati ku sendiri sempat merasa bersalah terhadap Erik.


Esoknya Erik datang lagi. Tapi kali ini, ia tidak pakai motor gede nya lagi. Dia malah berjalan kaki, bareng Hesti. Usai main voli Hesti menahan ku dan kulihat Erik menghampiri kami.
Memang sejak aku pindah ke sini, setiap sorenya, aku dan beberapa teman-teman juga beberapa orang ibu rumah tangga yang hobi bermain voli, selalu bermain voli di sini. Dan tentu saja, banyak anak-anak cowok yang melihat kami main. Lapangan ini selalu ramai setiap sorenya.

"Hei, Wina. Hesti...!" sapa Erik, "masih belum pulang, nih.?" tanya nya melanjutkan..
"belum!" aku dan Hesti hampir berbarengan menjawab.
"bagaimana Wina? Boleh aku mengantarmu pulang sekarang?" Tanya Erik selanjutnya. Aku terdiam.

"ayolah, Win. sekali-kali gak apa-apa, kan..?" hasut Hesti pada ku. "hari ini, Erik sengaja gak pake sepeda motor nya, biar bisa mengantarkan mu pulang. Katanya kamu lebih suka jalan kaki. Makanya Erik mau mengantarmu pulang hanya berjalan kaki..." lanjut Hesti menjelaskan, bak seorang bintang iklan yang kebanyakan makan. Sehingga ngomongnya blepotan. hmm..

Dan karena di desak oleh Hesti dan juga Erik, aku akhirnya berjalan beriringan berdua dengan Erik. Setelah Hesti pulang duluan.

Aku pun menjadi tak karuan, dada ku berdebar lebih kencang dari biasanya. Perasaan ku tak menentu. Campur aduk.
Bayangkan, seorang kumbang desa yang tampan, anak seorang juragan kaya dan juga seorang sarjana pemuda, rela berjalan kaki hanya untuk mengantarkan aku pulang.
Sejujurnya ada rasa bangga di hatiku. Tapi juga takut. Takut berharap lebih. Karena aku dan Erik bak langit dan bumi, jelas sangat jauh berbeda.

"Kamu gak takut ada yang marah kita berjalan berdua seperti ini, Win..?" tanya Erik, sambil terus berjalan.
"Marah? siapa yang marah..?" tanya ku heran.
"ya... pacar kamu misalnya...?"
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Erik, "aku gak punya pacar..." timpal ku selanjutnya.

Sesaat Erik terdiam dan menatap ku lama. "masa' sih, cewek secantik kamu gak punya pacar.." ucapnya akhirnya.
"emang gak ada.." balas ku pelan, "lagian cowok mana sih, yang mau pacaran sama cewek seperti ku ini.." lanjutku lebih pelan lagi. Berharap Erik tak mendengarnya.

"lho, emangnya kenapa..?" Erik berkata, sambil mengalihkan pandangannya ke depan.
"aku hanya cewek miskin dan lagi pula yatim piatu.." ujarku sedikit sendu. Sambil sedikit menarik nafas pelan.
"tapi cinta tidak memandang hal seperti, Win.."
"yah... tapi tetap saja, aku harus realistis.."
"udahlah, Win!" suara Erik terdengar sedikit keras dari biasanya, "kamu gak harus ngomong seperti itu.." lanjutnya lebih lembut, "semua manusia itu di ciptakan sama. Tidak ada yang berbeda. Manusia di ciptakan sesuai dengan takdirnya. Miskin dan kaya bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan." Erik melanjutkan lagi, kata-katanya terdengar bijak. "Lagi pula, kamu itu cantik. Baik dan ramah. Pasti banyak cowok yang tertarik pada mu, Win.."

Untuk sesaat aku hanya terdiam, mencoba memahami semua ucapan Erik barusan. Di satu sisi, harus aku akui, apa yang di ucapkan Erik itu sepenuhnya benar. Tapi di sisi lain, aku tak bisa memungkiri, kalau aku memang hanya seorang gadis miskin dan yatim piatu. Di mata  Erik mungkin tidak ada perbedaannya. Tapi di mata orang-orang, realistis itu selalu ada.
Selalu ada perbedaan yang mendasar antara si miskin dan si kaya. Begitulah kenyataannya. Kenyataan yang tak bisa di pungkiri. Kenyataan yang kadang membuat ku sering menangis.

Aku memberanikan diri menatap ke arah Erik, yang berjalan cukup santai mengiringi langkah ku.
"tapi kenyataannya sampai saat ini aku memang belum punya pacar.." ucapku, seakan ingin menyakin Erik dengan status ku itu.
"ya, aku percaya kok. Hesti juga bilang begitu.." balas Erik, sambil tersenyum simpul.

Beberapa puluh meter lagi kami akan sampai ke depan rumah abangku, aku menahan langkah, Erik pun ikut berhenti.
Aku memberanikan diri untuk bertanya, "bagaimana dengan kamu. Apa gak ada yang cemburu kalau kamu dekat denganku..?"
Erik tersenyum lagi, kali ini lebih manis. "aku juga masih jomblo, kok. Jadi gak bakal ada yang akan cemburu.." ucapnya sambil menatap ke mata ku. Yang membuat aku tertunduk.
"tapi dulu ada, kan..?"
"ya. dulu aku memang pernah pacaran. Waktu aku masih kuliah. Tapi sekarang gadis itu sudah menikah dengan cowok lain." jawab Erik. "itu sudah cukup lama, tiga tahun lalu.." lanjutnya.
Aku melanjutkan langkah, Erik mengikuti. Dan akhirnya kami pun sampai di rumah abangku. Setelah aku mengucapkan terima kasih, Erik pun pamit. Senja pun datang, menjadi saksi kejadian sore itu.

************
Malam ini, bayangan Erik melintas lagi. Senyum manisnya menghiasi fantasi ku. Cowok tampan itu benar-benar telah membuat aku terlena. Bahkan mungkin sejak pertama kali aku melihatnya. Dan aku juga tahu, Erik diam-diam sering memperhatikanku, apa lagi saat aku lagi main voli.
Aku termangu ditepain tempat tidur ku, hatiku gelisah.

"dia itu cowok yang baik.." kata-kata Hesti terngiang kembali mempromosikan Erik padaku, beberapa hari yang lalu. "kayaknya, ia suka deh sama kamu.." lanjut Hesti.
"dari mana kamu tahu, kalau dia suka sama aku? kita kan baru saja saling kenal.."
"dia sering nanya-nanya tentang kamu.." jawab Hesti meyakinkan.
"dan kamu cerita apa aja, sama dia..?"
"ya, apa aja. Semua hal tentang kamu lah pokoknya.." jawab Hesti lagi sambil sedikit tersenyum.
"sialan kamu.." ucapku agak keras, dan menghadiahi cubitan kecil di lengan Hesti.
Hesti menjerit kecil dan menghindar beberapa langkah dariku. Lalu dengan suara sedikit di keraskan Hesti berujar, "tapi benar, kok! kalian itu pasangan yang serasi!"

Uuuhh, aku mendesah lagi. Aku rebahkan tubuhku di atas kasur. Mencoba untuk menghapus bayangan itu. Tapi rasanya, aku sudah lelah, bayangan Erik sudah teramat lekat di anganku.

Aku memang menyukai Erik! ku akui hal itu. Tapi apakah aku ini pantas untuk mencintai dan di cintai oleh seseorang yang sempurna seperti Erik?
Erik terlalu sempurna untuk ku.
Tapi aku tidak bisa menghindar dari semua rasa kagum ku padanya.
Aku hanya berharap, semoga saja aku tidak bertepuk sebelah tangan, yang akan membuat aku kecewa pada akhirnya.

***************
Sudah dua bulan berlalu, sejak perkenalan ku dengan Erik. Dua bulan yang indah dalam perjalanan hidup ku.
Hari-hari ku lalui begitu penuh dengan semangat. Hampir setiap hari Erik selalu rutin mengantarkan aku pulang, sehabis main voli. Jalan kaki tentunya.
Kami menikmati kebersamaan kami, meski Erik sendiri belum benar-benar menyatakan perasaannya padaku, tapi aku tahu, Erik juga suka padaku.
Semua itu terlihat dari cara dia memperlakukan ku. Aku bahagia bisa menjadi dekat dengan Erik.
Aku bahagia bisa menghabiskan waktu bersamanya.

Namun itu semua ternyata tak berlangsung lama.

Suatu pagi, seperti biasa bang Abas dan isterinya pergi ke kebun, kedua ponakan ku sudah berangkat sekolah. Aku sedang membersihkan rumah.
"Assalamualaikum..." tiba-tiba ku dengar suara seseorang mengucapkan salam dari luar. Dari dapur aku bergegas ke pintu depan. Ketika pintu ku buka, seraut wajah tampan tersenyum pada ku.
Aku menjawab salam Erik dan segera ku palingkan wajah ku, menatap jalanan depan rumah, tanpa membalas senyuman Erik.

Tiba-tiba dadaku berdegup sangat kencang. Perasaan ku menjadi tak karuan. Sudah seminggu aku tak bertemu Erik. Sudah seminggu aku tak pernah lagi datang ke lapangan voli. Sudah seminggu aku hanya berdiam diri di rumah.
"boleh aku masuk..?" suara Erik mengagetkan ku.
Sesaat aku hanya terdiam. Berpikir.
Tapi aku tak mungkin menyuruh Erik pergi saat ini juga, untuk itu aku mempersilahkannya masuk. Meski dengan perasaan tidak enak.

"ada apa?" tanyaku akhirnya, setelah mempersilahkan Erik duduk di kursi reot ruang tamu kecil kami. Dan setelah aku ke dapur sebentar menenangkan diri, serta membawa kan segelas air minum putih untuk Erik. Aku duduk di hadapannya.

Erik meneguk air putih itu, lalu meletakkan gelas diatas meja. Kemudian ia menatap ku cukup lama.
"kata Hesti kamu sakit..." ucapnya. "sudah seminggu kamu gak lagi datang ke lapangan voli.." lanjutnya.
Hesti memang sempat datang beberapa hari yang lalu ke rumah, mengajak ku main voli seperti biasa. Tapi aku beralasan kalau aku sedang sakit.

"iya.." jawab ku singkat, "tapi sekarang udah baikan, kok.." lanjut ku, tak ingin membuat Erik merasa kuatir. Apa lagi sampai ia menawarkan ku untuk berobat.
"oh.." Erik membulatkan bibirnya, sambil manggut-manggut.
"aku mau ngomong, boleh..?" tanya Erik melanjutkan.

"iya, ada apa..?" tanyaku dengan nada datar.
"aku... aku sebenarnya suka sama kamu, Win. Bahkan sejak pertama aku melihat kamu di lapangan voli.." Erik berkata sambil menggenggam kedua tangannya. Aku mendongak menatapnya. "selama kita bersama, aku begitu merasa bahagia. Bunga-bunga cinta telah tumbuh di hatiku. Aku tak bisa memungkiri kalau aku sayang sama kamu, Win.." Erik melanjutkan, sambil terus menatapku.
Aku menundukkan kepala, tak berani lagi menatap mata tajam itu.
"aku cinta sama kamu, Win! Mau kah kamu untuk menjalin hubungan yang lebih serius denganku..?"
pertanyaan Erik membuatku menjadi sedikit gelisah. Aku tahu ini akan terjadi, tapi tetap saja aku merasa belum siap mendengarnya. Apa lagi saat ini.

Lama aku terdiam. Mencoba mencari kalimat yang tepat, agar tidak membuat Erik terluka. Tapi..
"maaf, Rik... aku gak bisa.." suara ku terdengar lemah. Aku mencoba menatap kembali wajah itu. Aku melihat raut kecewa disana.
"kenapa?" tanya Erik akhirnya, karena aku tidak melanjutkan kalimat ku.
"karena kita berbeda, Rik.." jawab ku.
"berbeda maksudnya?" Erik mengerutkan kening.
"ya, kita berbeda.. bahkan dalam segala hal.."
"maksud kamu, karena kamu miskin dan yatim piatu..?"
"ya, itu salah satunya. Harusnya kamu lebih memahami nya.." potongku.
"aku mencintai kamu apa ada nya, Win. Terlepas dari semua perbedaan yang ada.."
"tapi kita harus realistis, Rik. Aku harus realistis. Aku harus sadar, kamu itu siapa dan aku ini siapa.."
"persetan dengan semua perbedaan itu, Win. Aku tak peduli!" suara Erik sedikit meninggi. "yang terpenting aku mencintai kamu, dan itu sudah jauh lebih dari cukup.."
"kamu mungkin bisa tak peduli. Tapi bagaimana dengan keluarga mu?"
"maksud kamu?" sekali lagi, Erik mengerutkan kening. Suaranya sudah mulai datar.
"ah, sudah lah, Rik.." ujarku kemudian, mencoba mengalihkan pembicaraan, "aku jelaskan pun percuma, kamu gak bakal ngerti. Intinya aku gak bisa, Rik..." lanjutku dengan nada bergetar.

Aku melihat lagi raut kecewa itu. Aku sungguh tak tega melihatnya. Tapi aku benar-benar tidak bisa menerima cinta Erik, apa lagi untuk menjalin hubungan yang serius dengannya, meski aku begitu menginginkannya. Aku tak bisa, bukan karena aku tak mencintainya. Tapi...

Seminggu yang lalu, kedua orang tua Erik datang ke rumah. Mereka dengan memohon, meminta aku agar menjauhi Erik.
"Erik anak kami semata wayang. Kami ingin mendapatkan jodoh terbaik untuknya.." ucap Ayah Erik mengakhiri kalimatnya, setelah ratusan kalimat pahit lainnya mereka lontarkan. Mereka menyampaikan itu secara terbuka di depan abang dan kakak iparku.
Entah siapa yang mengabarkan tentang kedekatan kami, aku juga tak peduli. Tapi yang pasti aku masih punya harga diri. Untuk itu, aku setuju untuk memenuhi permintaan mereka.

"kamu harusnya bisa mengukur bayangmu sendiri, Win. Kamu harusnya menyadari kita ini siapa, mereka itu siapa. Kamu tak harus bergaul dengan orang-orang yang tak sederajat dengan kita. Abang tak ingin harga diri keluarga kita di injak-injak, hanya karena kamu bergaul dengan orang yang salah.." begitu ucapan bang Abas pada ku, setelah kedua orang tua Erik pulang.
Ucapan yang membuat aku menangis semalaman, ucapan yang membuat aku tidak pernah datang lagi ke lapangan voli selama seminggu ini. Ucapan yang membuat ku berbohong kepada Hesti, dengan mengatakan kalau aku sakit.

Ucapan yang membuat ku dengan sangat terpaksa harus menolak kehadiran Erik dalam hidupku, yang membuatku harus melukai orang yang aku sayang.

"mungkin kamu belum siap dengan semua ini, Win.." ucapan Erik menyadarkan lamunan ku. Aku tersentak. Cukup lama kami saling terdiam. "aku akan beri kamu waktu..."
"percuma, Rik!" kataku spontan, "sekarang atau sampai kapan pun, jawabanku tetap sama..."

Erik menarik nafas panjang. Kedua tangannya mengepal. Wajah nya menegang. Aku melihat gurat luka di matanya, "selama ini aku terlanjur berharap banyak pada mu, Win. Tapi ternyata.." Erik menghentikan kalimatnya, suara nya terdengar sedikit parau.
Aku tahu betapa kecewanya Erik padaku. Aku tahu Erik begitu terluka.
"maafkan aku, Rik.." bisik ku hampir tak terdengar siapa-siapa.

Erik sekali lagi menghembuskan nafas panjang. Tangannya masih mengepal. Ia kemudian bangkit dan berdiri, lalu pergi tanpa satu kata pun yang keluar dari mulutnya.

Aku termangu menatap kepergiannya, langkahnya gontai. Ingin rasa nya aku berlari mengejar dan memeluknya dari belakang, serta membisikan kalau aku juga mencintainya.
Tapi aku hanya terpaku. Tanpa sadar air mata ku jatuh menetes. Aku menangis lagi untuk yang kesekian kalinya.
Aku tahu Erik begitu terluka. Tapi seandainya ia tahu, kalau aku jauh lebih terluka, bila mengingat semua kalimat pahit yang di lontarkan orang tuanya kepada keluarga kami.

Bukan salahku, yang terlanjur jatuh cinta pada Erik, dan bukan salah Erik yang terlahir dari orang tua yang otoriter. Bukan salah siapa-siapa.
Mungkin memang sudah takdir perjalanan cinta kami yang harus kandas, bahkan jauh sebelum kami memulainya.
Ah, cinta. Dia yang begitu termasyhur begini menyakitkan kah?

Sekian,
Mentulik, 26 September 2005

Sebuah Cerpen Jadul : Senja yang kelabu

Yudha duduk diatas sebuah batu besar ditepi sungai Kampar. Ia biarkan kakinya terjuntai ke bawah, basah oleh ombak kecil air sungai. Hatinya tengah gundah. Sudah beberapa minggu terakhir ini, Yudha selalu duduk sendirian di sana setiap minggunya. Dia kesana sekedar melepaskan segala kegelisahan hatinya. Sudah hampir dua bulan ini, Yudha memendam kekecewaannya. Sendiri.

Itu semua karena Mirna! Cewek cantik yang sudah menjadi kekasihnya sejak hampir setahun lalu.
Pikiran Yudha kembali memutar memori awal pertemuannya dengan Mirna. Pertemuan yang terkesan klasik. Yudha yang waktu itu masih duduk di kelas tiga SMA, bekerja sambilan sebagai seorang pelayan di sebuah kafe, tanpa sengaja menabrak seorang gadis yang mengakibatkan baju gadis itu basah oleh tumpahan air es.

"oh. maaf mbak..." ucap Yudha spontan waktu itu, "saya benar-benar tidak sengaja. Maaf ya mbak.." suara Yudha menghiba.
Gadis itu menatap wajah tampan penuh rasa bersalah itu cukup lama, lalu kemudian tersenyum.
"ya gak apa-apa mas..." jawab gadis itu polos. "lain kali hati-hati, ya..." lanjutnya, sambil berlalu menuju kamar kecil yang ada di sudut.
Yudha melanjutkan langkah nya dengan perasaan bersalah.
'dasar ceroboh' Yudha memaki dirinya sendiri.



Dua hari kemudian Yudha bertemu gadis itu lagi. Saat itu Yudha baru saja pulang sekolah, dan dengan sedikit terburu langsung menuju kafe tempat ia bekerja paroh waktu.
Sudah hampir satu tahun ia bekerja di sana, sejak Ayahnya meninggal karena serangan jantung. Ibunya yang cuma buruh cuci keliling, sudah tidak mampu lagi membiayai sekolahnya. Tambahan pula dua adiknya yang masih kecil-kecil, masih butuh biaya banyak. Makanya Yudha nyambi kerja jadi pelayan kafe. Untunglah pak Restu, pemilik kafe itu, mau menerima nya bekerja paroh waktu.

Siang itu Yudha hendak masuk ke dalam kafe, ketika di pintu masuk ia tanpa sengaja bertemu lagi dengan gadis kemarin yang tak sengaja bertabrakan dengannya.
Gadis itu tersenyum padanya, Yudha jadi salah tingkah, dan dengan sedikit kaku ia membalas senyuman itu.
"hei.." sapa gadis itu tiba-tiba, "yang kemarin, kan?" lanjut gadis itu lagi.
Spontan Yudha mengangguk.
Gadis itu menyodorkan tangannya, "kemarin kita belum sempat kenalan.." ucapnya. "hmm.. Saya Mirna." lanjutnya.
Dengan masih kikuk, Yudha menjabat tangan lembut itu, "Saya Yudha.." ucapnya sedikit bergetar. "maaf ya, soal kemarin," lanjut Yudha sambil melepaskan tangan.
"ya, gak apa-apa.." lembut suara gadis itu. Sambil berlalu.

"siapa sih, cewek itu?" tanya Yudha pada Asril, teman kerjanya.
"bukannya tadi kamu udah kenalan?" balas Asril.
"iya! yang ku maksud bukan itu..."
"lantas?"
"ngapain dia disini, sampai masuk ke dapur segala?"
"oh, jadi kamu belum tahu, Yud?" ujar Asril sedikit berkerut.
"tahu apa?"
"dia itu anak pak Restu, anak pemilik kafe ini.." jelas Asril, yang membuat Yudha sedikit heran.
"tapi selama ini kok gak pernah kelihatan ya.."
"itu karena ia selama ini tinggal di Jogja, tempat neneknya, sekolah di sana." Asril menjelaskan, "Nah, sekarang ini katanya sih, ia udah pindah kesini. Mau pindah sekolah juga disini.."
"oh.." Yudha membulatkan bibir.

"tapi ngomong-ngomong, tadi dia nanya-nanya soal kamu loh.." Asril berbicara lagi, sambil tersenyum menatap Yudha, "jangan-jangan ia naksir sama kamu.." lanjutnya.
Yudha hanya tersenyum menanggapi ucapan Asril tersebut.

Esoknya, di sekolah Yudha mendapat sedikit kejutan. Ternyata Mirna, anak gadis pak Restu itu, pindah ke sekolahnya, satu kelas dengan nya malah. Bahkan pak Akri, wali kelas Yudha, meminta Mirna untuk duduk di samping Yudha yang kebetulan bangkunya masih kosong.

Sejak saat itu mereka mulai dekat. Mulai saling kenal. Dan mulai saling tertarik. Mirna bahkan terang-terangan menunjukkan perasaan suka nya pada Yudha.
Yudha yang pada awalnya berusaha menjaga jarak, karena ia tahu siapa Mirna, pada akhirnya luluh juga. Ia tak bisa menolak hadirnya rasa cinta dalam hatinya pada Mirna.
Mirna yang cantik. Mirna yang baik dan lembut. Yudha membiarkan saja pintu hatinya terbuka, menyambut cinta Mirna yang begitu indah hadir menghiasi hari-harinya.
Meski ia sadar, akan ada banyak rintangan yang akan mereka hadapi ke depannya. Terutama mengingat watak pak Restu selama ini, yang terbilang cukup keras.
Entah apa yang akan terjadi, seandainya beliau tahu, kalau anak bungsu kesayangannya menjalin hubungan spesial dengan salah seorang pelayan kafe nya.

Tapi Yudha mencoba mengabaikan hal itu, ia melewati hari-hari indah bersama Mirna. Begitu pun Mirna, ia sangat bahagia bisa selalu bersama Yudha.
Kebersamaan mereka terasa begitu sempurna. Selain di sekolah, mereka juga punya tempat spesial untuk bertemu. Di pinggiran sungai, yang penuh bebatuan. Di sana cukup sepi dan jauh dari keramaian kota. Sungai itu berada tak jauh dari rumah tempat Yudha tinggal.
Mereka biasa menghabiskan waktu disana, setiap sore minggu.
Di pinggiran sungai itu terdapat beberapa bebatuan besar, mereka duduk-duduk disana sambil menikmati sore dan saling bersenda gurau.


"jadi rencananya kamu mau kuliah di mana, Yud..?" tanya Mirna suatu hari, beberapa minggu menjelang mereka akan menghadapi ujian akhir sekolah.
Sesaat Yudha tercenung, kemudian tertunduk. Ia menatap pepohonan yang jauh di seberang sungai. Pepohonan itu masih terlihat rimbun, burung-burung berterbangan diatasnya. Yudha menarik nafas sejenak. "Entah lah, Mir.." jawabnya akhirnya, "saat ini aku hanya fokus untuk mencari uang untuk membantu Ibu ku dan juga untuk biaya sekolah adik-adik ku..." lanjutnya dengan nada datar. Ia lemparkan sebongkah batu kecil ke tengah sungai. "kalau kuliah, mungkin nanti kalau aku sudah punya cukup uang.." suara nya semakin mengecil.

Mirna menatap Yudha, cowok yang ia cinta itu, cukup lama. Kemudian berujar, "sayang loh, Yud. Sebenarnya.." ia menyentuh bahu cowok itu, "kamu kan pintar dan selalu juara kelas.." lanjutnya.
Yudha menoleh ke arahnya sekilas dan tersenyum kecut. Kemudian melemparkan sebongkah batu lagi. "kamu gak coba ajukan beasiswa aja, Yud?" Mirna berucap lagi, kali ini dengan sedikit menyandarkan kepalanya pada bahu kokoh milik Yudha.

"aku udah coba mengajukan beasiswa ke beberapa tempat, tapi tak ada satupun yang diterima.." balas Yudha.
"bagaimana kalau aku minta tolong papa aja, buat dia bantu biaya kuliah kamu.."
"gak usah, Mir.." timpal Yudha cepat, "kamu sudah cukup banyak membantu aku dan keluarga ku selama ini.." lanjutnya. Yudha masih ingat, bagaimana Mirna mati-matian berjuang mempertahankan Yudha untuk tetap bekerja di kafe papanya, ketika Yudha hampir saja di pecat karena tanpa sengaja memecahkan beberapa buah piring.
Yudha juga ingat, Mirna yang membantunya membayar ongkos rumah sakit, ketika Ibunya dengan sangat terpaksa harus dirawat, karena sakit sesak nafasnya.
Mirna sudah terlalu banyak berkorban untuknya, ia tak ingin berhutang lebih banyak lagi.

"kamu sendiri gimana, Mir..?" Yudha mencoba mengalihkan pembicaraan, hatinya terlalu perih bila mengingat kisah perjalanan hidupnya. "kamu jadi kuliah di Australi..?" lanjutnya lagi.
"entahlah, Yud. Itu kan keinginan papa, bukan keinginanku." balas Mirna, "lagi pula, jika aku jadi kuliah di sana, itu akan membuat rentang jarak diantara kita kian jauh, Yud.." lanjut Mirna terdengar lemah.

Yudha tercenung lagi, kemudian ia tengadah. Menatap langit yang mulai mendung. Beberapa butir air hujan mulai turun, makin lama makin banyak. Bergegas keduanya berdiri dan berlari mencari tempat terdekat untuk berteduh.

**************************



Hari-hari selanjutnya, mereka sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian akhir sekolah. Meraka fokus untuk mengikuti ujian akhir sekolah, dan mempersiapkan beberapa kegiatan yang dilakukan sekolah. Mereka jadi jarang bertemu.
Dan ketika ujian akhir sekolah selesai, tiba-tiba Mirna menghilang, tanpa kabar. Bahkan saat acara perpisahan sekolah pun Mirna tak ada. Yudha kebingungan dan sudah bertanya kepada semua teman Mirna, satu pun tidak ada yang tahu keberadaan Mirna.

"kamu kan cowoknya, pasti kamu lebih tahu..." jawab Asril, ketika Yudha bertanya tentang Mirna.
Yudha benar-benar kehilangan jejak Mirna. Setiap di hubungi ke handphone nya selalu saja tidak aktif. Yudha jadi bertanya-tanya sendiri. Kemana Mirna dan ada apa dengannya? Kenapa ia pergi tanpa kabar? Begitu banyak pertanyaan di benak Yudha.


******************



Sudah hampir dua bulan Mirna menghilang. Yudha sudah pasrah. Ia berpikir, mungkin saat ini Mirna sudah berada di Australi untuk kuliah, memenuhi keinginan papanya. Dan Mirna mungkin tak ingin mengabarinya, karena takut Yudha akan menahan kepergiannya. Begitu simpul Yudha.

Yudha masih termangu sendiri di tepian sungai itu, duduk di salah satu batu besar tempat biasa ia dan Mirna bertemu. Tiba-tiba sebuah tangan lembut menyentuh bahunya. Yudha kaget dan menoleh ke belakang. "Mirna?" soraknya setengah tak percaya.
Mirna yang sore itu memakai gaun merah muda, langsung duduk di samping Yudha, tanpa pedulikan reaksi kekagetan Yudha barusan.

"akhirnya aku kalah, Yud.." ucap Mirna tiba-tiba, tanpa melihat ke arah Yudha.
"maksud kamu?" tanya Yudha sedikit bingung dan menatap tajam ke arah Mirna, yang tetap saja mengarahkan pandangannya jauh ke seberang sana.
"Akhirnya aku harus memenuhi keinginan papa, untuk kuliah di Australi." Mirna berucap sangat pelan dengan suara parau. "Aku coba menolak. Aku kabur dari rumah tanpa memberi tahu siapa-siapa, juga kamu. Aku pergi ke rumah nenek di Jogja. Tapi papa tahu, aku di sana. Ia menyusul dan kami bertengkar hebat," sesaat Mirna terhenti, dan menolah sejenak ke arah Yudha, lalu melanjutkan, "papa mengancam akan menjodohkan aku dengan anak salah seorang teman bisnisnya, jika aku menolak untuk kuliah di Australi..."

Yudha masih terdiam mendengarkan cerita Mirna. Ia tak tahu harus mengatakan apa saat ini. Hampir dua bulan ia tak bertemu Mirna, namun ketika akhirnya mereka bertemu, Yudha justru mendengar cerita yang tak mengenakan dari Mirna.

Cukup lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Yudha mengambil sebongkah batu dan melemparkannya ke tengah sungai, batu itu terlempar cukup jauh dari biasanya. Kemudian ia menarik nafas, bahkan lebih panjang dari biasanya, tanpa sadar bibirnya pun berucap, "aku rasa... sebaiknya kita sudahi saja hubungan kita ini, Mir.." Pelan suara itu, tapi mampu menusuk relung hati terdalam Mirna.
Mirna kembali menatap wajah tampan cowok itu, menatapnya tak percaya. Kata-kata itu keluar dari mulut sang cowok. Namun Yudha terlihat serius, pandangannya terarah kedepan.

"kenapa?" Ketus suara Mirna.
"karena seperti yang kamu bilang, rentang jarak antara kita akan semakin jauh.."
"kita tetap bisa saling berhubungan, Yud. Jarak tidak akan mengubah perasaan ku pada mu.."
"iya, aku juga. Tapi sampai kapan..?"
"sampai waktu mempertemukan kita kembali.."
huh. Yudha menghempaskan nafasnya kasar. "apa kamu yakin, bisa bertahan selama bertahun-tahun terpisah begitu jauh..?" ucapnya.
 "setidaknya kita harus mencoba, Yud.."
"untuk apa?"
"untuk cinta kita. Untuk masa depan kita. Kita harus bertahan, Yud.." suara Mirna mulai bergetar.

"lama-lama cinta itu akan pudar, Mir. Apa lagi kalau kita jarang bertemu. Hanya lewat telpon atau email atau apalah, pasti sangat sulit." Yudha berujar sambil melempar lagi sebuah batu ke tengah sungai. Ada yang teriris di hatinya.
"aku akan pulang saat musim liburan.." kata Mirna terdengar lemah dan semakin serak. "aku sayang kamu, Yud. Dulu, sekarang, esok dan selamanya," ucapnya melanjutkan, tanpa sadar satu tetes air mata jatuh menyentuh pipi lembutnya.

Yudha menatap lekat wajah gadis itu. Ingin rasanya ia mengusap tetesan air mata itu. Tapi ia urung, di alihkan tatapannya ke bawah. Berpura-pura tak melihat.
"aku juga sayang kamu, Mir!" kali ini suara Yudha terdengar sedikit tegas, "tapi waktu dan keadaan bisa merubah pendirian seseorang, dan itu tidak bisa di pungkiri.." lanjutnya.

Mirna terdiam beberapa saat, ia asyik memainkan air sungai yang menyentuh telapak kakinya. Dinginnya air itu, tak mampu mendinginkan hatinya yang sedang galau. Sejujurnya ia merasa sangat berat harus berpisah dengan Yudha. Tapi keinginan papanya jelas tak mampu lagi ia tolak...

"mungkin lebih baik kalau kita mencoba untuk saling melupakan.." ucap Yudha, setelah cukup lama mereka terdiam lagi.
"cukup, Yud!" kali ini Mirna berbicara cukup lantang. Ia mengusap tetesan air matanya sendiri, ia kemudian berdiri, "jika kamu memang mencintaiku, harusnya kamu bisa tetap bertahan. Seperti apa pun kondisi hubungan kita nantinya.." lanjutnya lagi, sambil mulai memutar tubuh dan melangkahkan kakinya perlahan. "akan ku buktikan kalau aku mampu tetap setia, meski waktu dan jarak akan memisahkan kita.." Mirna melontarkan kata-katanya dengan keras, sambil terus melangkah meninggalkan Yudha.

Untuk sesaat Yudha masih terpaku. Ia percaya kalau Mirna akan bisa menjaga kesetiaannya. Tapi bukan itu masalah sebenarnya bagi Yudha. Ada banyak perbedaan di antara mereka, bahkan sejak dari awal mereka bersama. Dan sekarang perbedaan itu semakin terasa, terutama bagi Yudha.
Yudha berdiri sambil mengambil lagi sebongkah batu, kali ini lebih besar. Ia lemparkan batu itu dengan sekuat tenaga, seakan ia ingin menumpahkan semua kekecewaanya.

Senja pun mulai meremang. Burung-burung yang berterbangan hilir mudik, mulai terbang menuju satu titik. Malam sudah mulai menjelang. Yudha menikmati hembusan angin senja itu. Senja yang begitu damai sebetulnya. Tapi bagi Yudha semua nya terasa hampa.
Semuanya terasa kelabu. Tanpa warna!

******
Sekian ...

Sebuah Cerpen jadul "TENTANG MU"

"aku lagi jatuh cinta, Mar..." begitu ucapmu, waktu itu, padaku. Aku hanya terdiam, tak bisa menanggapi ucapan mu barusan. Kamu sudah terlalu sering mengatakan hal itu padaku. Bukan suatu hal yang aneh lagi bagiku, kalau kamu jatuh cinta.
"sekali ini aku benar-benar serius, Mar.." ucapmu lagi, dan aku sedikit terperangah, karena kata-kata ini baru kali ini aku dengar dari kamu.

"oh, ya? dengan siapa?" tanyaku, mencoba untuk antusias.
"sudahlah. Nanti kamu juga tahu..." ucapmu pelan. Yang membuatku menatapmu tak mengerti. Kamu tertunduk dalam tatapanku.
"Oh, ya. Bagaimana dengan kamu?" kamu bertanya kemudian padaku. Setelah kulihat, kamu berusaha menutupi mendung yang tiba-tiba nampak terlintas di wajah tampan mu.

"aku? Kenapa aku?"
"bagaimana kabar hubunganmu dengan teman cowok mu itu?"
"Oh, Hendri.."
Kamu mengangguk.
"Hubungan kami baik-baik saja. Kenapa emangnya?" kataku balik nanya.
"Oh, gak apa-apa.." jawab mu pelan.




Tak lama kemudian kamu pun pamit. Aku masih melihat mendung itu di wajah mu.

Hari berikutnya kamu datang lagi ke rumah. Seperti biasa, aku menyambut mu dengan senyum. Lalu mempersilahkan kamu masuk, tapi kamu lebih memilih untuk duduk di teras depan.
"disini lebih nyaman.." ucapmu beralasan.
"kamu gak kuliah hari ini, Her..?" tanyaku, ketika aku sudah duduk di kursi samping kamu. Setelah tadi aku juga membawakan minuman buatmu.
"Ah, gak. Hari ini aku gak ada jadwal kuliah..."
"oh.."
"kalau kamu..?" tanya mu kemudian.
"aku ada jadwal nanti siang.."

Kamu mengangguk. Dan kucoba lagi menatap wajah tampan  mu itu. Aku masih melihat mendung itu. Kamu tersenyum dalam tatapanku.
"bagaimana kabar cewek itu?" tanyaku memecah keheningan.
"cewek? cewek yang mana?" kamu malah balik nanya dan menatapku heran.
"cewek yang kamu omongkan kemarin, Her. Masa' kamu lupa, sih..." kataku kemudian menjawab keheranan mu. "baru kemarin kamu cerita sama aku, kalau kamu lagi jatuh cinta," sambungku memperjelas. Yang membuat kamu memalingkan wajah, menghindari tatapanku.
"ah, gak jadi...!" kata mu sedikit pelan. "cewek itu sudah punya cowok..." sambungmu lebih pelan lagi. Kamu tertunduk. Aku semakin jelas melihat mendung itu. Ah, benarkah kamu kecewa karena cewek itu sudah punya cowok? Ataukah ada hal lain?
Siang. Kamu pamit. Dan aku masih belum bisa mengerti kemurungan di wajah mu itu.
Ada apa dengan mu?

*****************************

Hampir setahun yang lalu, aku bertemu kamu pertama kali nya di perpustakaan kampus. Waktu itu, aku lagi gak ada mata kuliah. Tapi karena aku suntuk di rumah, aku akhirnya datang juga ke kampus. Tepatnya ke perpustakaan kampus.

Tanpa sengaja, aku bertabrakan dengan kamu. Ketika aku hendak menuju meja baca, setelah aku mendapatkan buku yang aku cari.
"eh, maaf.." kataku saat itu. Untung saja buku yang aku pegang gak jatuh.
"oh, gak apa-apa. Aku yang salah..." ucapmu sambil tersenyum. Dan jujur waktu itu, aku terkesima melihat ketampanan wajahmu, kemanisan senyum dan tubuh mu yang terlihat begitu atletis. Tapi, aku berusaha secepat mungkin bersifat wajar. Ada bayangan lain yang melintas di benak ku. Bayangan yang mungkin melebihi kamu.

Kamu mengulurkan tangan mu, meminta maaf, sekaligus mengajak berkenalan. "namaku Herman, anak sosial." ucapmu. "kalau kamu?" tanya mu melanjutkan.
"oh, iya. Namaku Marisa, panggil saja Imar..." jawabku, sambil menjabat tanganmu. "aku di fakultas hukum..." lanjutku, sambil melepaskan tangan.

Cukup lama kita berbincang di perpustakaan itu. Yang membuatmu jadi sering main ke rumah dan juga menelpon. Setelah kamu, seakan memelas, meminta alamat dan nomor telponku.
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan dan seterusnya. Kita mulai akrab. Namun selama itu, pembicaraan kita masih biasa-biasa saja. Kamu tak pernah mempertanyakan tentang status ku, atau hal lain yang berhubungan dengan masalah itu. Kamu lebih sering bercerita tentang pengalaman mu.

Sampai cerita tentang kamu yang lagi jatuh cinta itu menjadi pembicaraanmu. Awalnya aku merasa cukup antusias, medengar cerita cewek incaran mu itu. Tapi beberapa hari kemudian, kamu akan berkata, "ternyata cewek itu, gak punya perasaan apa-apa padaku, Mar..."
Setelah itu, kamu sering tak muncul lagi ke rumah, tidak menelpon dan di kampus pun sulit di temui.
Beberapa minggu kemudian kamu akan datang lagi. Cerita lagi, kalau kamu sedang jatuh cinta. Lalu kalau aku bertanya lagi tentang cewek itu, beberapa hari kemudian, kamu akan bilang kalau kamu bertepuk sebelah tangan.

Akan selalu saja begitu. Sudah teramat sering. Hingga aku tak ingat lagi, kapan terakhir kali nya kamu jatuh cinta.

Hingga suatu hari, kamu datang lagi ke rumah. Dan aku melihat keterkejutanmu, saat kamu melihat aku sedang duduk berdua di ruang tamu dengan seorang  cowok.
"Eh, Herman.." ucapku dalam keterkejutanku akan kehadiranmu yang tiba-tiba. "kenalkan ini Hendri..." lanjutku, setelah mempersilahkan kamu masuk.
"oh, ya. " jawabmu, "saya Herman!" lanjutmu menjabat tangan Hendri.
"saya Hendri, pacar Marisa.." ucapan Hendri yang tegas membuat mu kaget. Aku melihat keheranan di wajah mu, ketika kamu melepaskan tangan mu dari tangan Hendri.
Mungkin karena selama ini, aku memang belum bercerita sama kamu tentang Hendri

"pacar..?!" tanyamu akhirnya. Setelah lama kamu mengernyitkan kening.
"iya!" Hendri menjawab.
"tapi, kamu..."
"oh, maaf, Her." potongku cepat, ketika kulihat ada gelagat tak suka dari mata mu, dan aku tahu, kata-kata mu itu kamu tujukan pada ku. "selama ini aku memang belum sempat cerita sama kamu, kalau aku punya cowok yang kuliah di luar kota.." lanjutku menjelaskan.

Sebenarnya aku yang meminta Hendri untuk pulang dan datang ke rumah ku. Karena aku gak tahu harus bagaimana menjelaskannya ke kamu, bahwa aku udah punya cowok. Kamu belum pernah bertanya tentang itu. Sementara hubungan kita semakin dekat, aku hanya tak ingin kamu berharap banyak.

"kami sudah hampir dua tahun pacaran..." Hendri berbicara lagi, "selama ini kami selalu berhubungan melalui telpon atau pun surel. Dan kalau liburan saya pulang kesini..." lanjut Hendri serius. Dan kamu tertunduk. "oh, ya. Imar sudah sering cerita sama aku tentang kamu." kamu mendongak lagi, mendengar penjelasan Hendri selanjutnya. Kamu menatapku. Kemudian menunduk lagi.

Tak lama kemudian kamu pamit, dan untuk pertama kali nya, hari itu, aku melihat mendung di wajahmu. Entah kenapa?!

***************
Beberapa minggu lamanya kamu menghilang, setelah kejadian hari itu. Kamu tak lagi datang ke rumah. Kamu tak lagi menelpon, dan kalau aku hubungi kamu selalu sibuk. Di kampus pun kamu sulit ditemui.

Aku pun tak memikirkan  kamu lagi. Aku jalani hari ku seperti biasa. Seperti hari-hari yang ku lalui, sebelum aku mengenal kamu. Walau kadang tak bisa aku pungkiri, ada saat dimana aku teringat akan dirimu. Ingat akan pertemanan kita. Aku pun masih menjalani hubungan ku dengan Hendri seperti biasa, saling telpon-telponan. Dan kadang Hendri juga bertanya tentang kamu. Aku mencoba menjelaskan apa adanya. Dan Hendri sangat mengerti.

Dan tiba-tiba kamu muncul agi, setelah hampir tiga bulan kamu menghilang tanpa kabar.
"maafkan aku, Mar.." ucapmu mengawali pembicaraan, yang terasa jadi kaku. "Aku tak memberi mu kabar..." lanjutmu.
Aku terdiam. Aku merasa kamu tak melakukan kesalahan. Tapi aku ngerti, kalau kamu merasa bersalah setelah kamu lama menghilang, tanpa kabar.

Setelah itu seperti biasa, kamu sering main ke rumah lagi. Sering nelpon lagi. Dan kalau di kampus kamu sering menampakkan diri lagi. Semua nya kembali seperti biasa lagi. Dan kebiasaan mu pun datang lagi.
"aku sedang jatuh cinta, Mar..." ucapmu suatu hari, entah untuk yang ke berapa kalinya. Aku sudah terlalu sering mendengarnya. Aku menanggapinya biasa saja.

Lalu seperti biasa, beberapa hari kemudian, kamu akan datang dengan murung dan berkata, "aku salah, Mar. ternyata cewek itu sudah ada yang punya..." alasan yang sama, yang sudah sering aku dengar.
Hari beriktunya, kamu tak lagi datang ke rumah, tidak menelpon. Di kampus pun tak kutemui.
Mungkin karena sudah terbiasa seperti itu, aku tak lagi menanggapi kehadiran maupun kepergian mu yang selalu tiba-tiba. Entah sudah berapa lama kamu menghilang. Aku tak ingat lagi. Namun aku yakin, kamu akan datang lagi. Tiba-tiba!

******************


Sudah dua hari ini, kamu datang lagi ke rumah. Dan ini adalah hari ketiga kamu datang. Setelah cukup lama kamu menghilang tanpa kabar. Kamu datang sore tadi, setelah pulang kuliah.
"aku sudah lelah, Mar..." ucapmu pelan. Mengawali pembicaraan. Seperti biasa, kamu lebih memilih duduk di teras depan. "aku tak sanggup lagi, membohongi diri ku sendiri..." sesaat kamu menarik nafas panjang, lalu melanjutkan, "aku... aku jatuh cinta pada mu, Mar..." tatapan mu tepat menghujam mataku, seperti kata-kata mu yang juga menghujam ke hati ku.

Walau sudah ku duga, tetap saja aku merasa terkejut. Dan aku hanya terdiam tertunduk, tak berani lagi menatap mata tajam mu itu.
"dari awal kita berkenalan, aku tahu, ada perasaan suka hadir di hati ku," kamu melanjutkan, "dan berharap bisa memilikki mu suatu saat kelak, tapi kemudian harapanku akhirnya patah. Setelah aku tahu, kamu sudah punya cowok..."

"maafkan aku, Her..."suaraku terdengar berat.
"oh, tidak! kamu gak salah, Mar.."balas mu cepat. "kamu gak perlu minta maaf. Aku yang salah! aku yang tak bisa membendung hadirnya perasaan itu..." lanjutmu.
"selama ini aku selalu membohongi mu, dengan mengatakan aku jatuh cinta pada gadis lain. Berharap kamu cemburu..." Sekali lagi kamu menarik nafas panjang, "tapi ternyata aku malah semakin tersiksa..." sambung mu lagi, yang membuat aku jadi serba salah.

Aku beranikan diri menatap ke arah mu. Aku melihat kamu menatap lurus ke depan. Mendung itu semakin jelas ku lihat di wajah mu. Seperti senja yang sudah mulai datang. Sekarang aku tahu, apa arti mendung itu.

"sekarang aku tak akan lagi mengganggu mu, Mar..." ucapmu kemudian, sambil tetap menatap ke depan, setelah cukup lama kamu terdiam. "karena aku sadar, kalau kamu terlalu jauh untuk dapat aku gapai..." kata-kata mu membuat aku semakin terenyuh.
Kemudian kamu tertunduk. Keheningan tercipta lagi. Aku tetap tak mampu berkata-kata. Senja pun akhirnya datang dengan utuh. Keremangannya menghiasi alam. Dan kamu akhirnya pamit pulang. Aku masih melihat mendung itu di wajah mu, meski kamu berusaha untuk tersenyum.

Sebelum pamit, kamu menyerahkan selembar kertas pada ku. Selembar kertas berisikan sebuah tulisan yang sempat membuat ku hampir menangis,

Dear Marisa..
Tak pernah terpikir olehku, jika aku harus mencintaimu begitu dalam. Semua itu baru aku sadari, setelah lama kita bersama. Kebersamaan kita, telah mampu membuatku bisa mendefenisikan sikapmu. Kamu orang yang baik, hanya saja terkadang sikapmu yang cuek, membuatku harus menelan ludah pahit dengan getir , setiap aku mengingat asa yang ada dihatiku. Asa untuk memilikki mu...! entah sudah berapa banyak perhatian yang aku berikan padamu dan entah sudah beribu makna yang aku ungkapkan padamu, tapi kamu tak pernah mau bergeming. Kau tetap bertahan dalam sikap diam mu.

Dari sikapmu, terkadang aku harus yakin, jika sebenarnya jauh dilubuk hatimu, kaupun merasakan hal yang sama. Tapi mengapa, kau tetap menutup rapat dirimu, sehingga tak menyisakan sedikit celah dihatimu untuk memberikan ku kesempatan. Aku tak malu mengakui ini semua, karena ini adalah kodrat. Perasaan telah berperan dalam kisah ku ini, yang telah mampu merubah sikapku...

Perlahan aku harus menyadari jika asa ku memang harus berakhir disini. Ketika kusadar kamu semakin jauh dariku.
Pelan ku menghindar, menjauh, bahkan membuang jauh-jauh bayangmu yang kerap muncul disetiap langkah kehidupanku. Namun semuanya hanya meninggalkan perih yang sangat dalam, karena aku tak bisa melupakanmu.

Jujur kuakui, kehadiranmu telah membelenggu jiwaku. Kehadiranmu ibarat pelita bagiku yang kadang membuatku redup seandainya sehari tak temukan dirimu. Namun aku akan kembali bersinar jika kamu membalut hari-hariku dengan tawamu.

Jujurlah padaku, jangan pernah membohongi dirimu sendiri!
Karena kejujuranmu adalah sebuah kepastian bagiku.
Sekarang aku seakan berdiri dalam ketidakpastian dan kebingungan yang terus menerus menghimpit perasaanku.
Kini, aku tak tahu harus melangkah kearah mana. Akupun tak mengerti, hanya kegalauan dan kegundahan yang harus memaksaku tenggelam didalamnya. Sekarang aku hanya bisa menutup rapat hatiku. Menambal celah-celah kecil yang koyak akibat luka yang kau torehkan dihatiku. Mungkin tanpa pernah kau sadari...!!

From,
your friend...

Segelintir perasaan bersalah hadir di hati ku. Melepas kepergian mu. Karena aku yakin, kali ini kamu akan menghilang sangat lama.

Seandainya saja aku tahu, dari awal, kamu punya harapan pada ku. Mungkin dari awal perkenalan kita, aku sudah jujur pada mu. Kalau aku sudah punya pacar. Maafkan aku, Her. Semoga kamu menemukan kebahagiaan mu. Do'a ku.

Senja pun hilang, berganti malam. Seperti kebiasaanmu yang selalu datang dan menghilang. Namun aku tak tahu, kali ini, apa mungkin kita bisa bertemu kembali?!
Suara dering telpon mengagetkan ku. Aku bergegas ke meja telpon. Pasti dari Hendri! Bathinku sedikit lega. 

sekian.. 

Cari Blog Ini

Layanan

Translate