Namaku Dodi dan aku seorang duda.
Istriku meninggal sekitar setahun yang lalu, dengan meninggalkan dua orang anak yang masih kecil-kecil.
Anak pertamaku perempuan masih berusia 10 tahun dan yang kedua laki-laki masih berusia 6 tahun.
Aku sendiri sudah berusia 40 tahun, dan bekerja di sebuah perusahaan kontraktor.
Setahun istriku meninggal, aku memutuskan untuk pindah rumah agak sedikit jauh dari kota tempat aku berasal.
Salah satu alasanku untuk pindah ialah agar aku dan anak-anakku tidak lagi dibayang-bayangi oleh almarhumah istriku.
Aku berharap, denganp indah kami bisa memulai kehidupan kami yang baru.
Kami pindah ke sebuah komplek perumahan yang berada di pinggiran kota.
Jarak dari kantor tempat aku bekerja memang cukup jauh, setidaknya butuh perjalanan setengah jam naik mobil.
Kedua anak-anakku sudah sekolah, tempat sekolah mereka berada tepat di jalan menuju kantor tempat aku bekerja.
Setiap hari, aku mengantar anak-anakku ke sekolah, lalu kemudian aku langsung menuju kantorku.
Beruntunglah sekolah tersebut juga menyediakan tempat penitipan anak, hingga sore.
Jadi kedua anak-anakku sekalian aku titipkan di sana, menjelang aku pulang kerja.
Kecuali pada hari sabtu dan minggu, karena aku libur kerja dan juga anak-anak libur sekolah.
Hari sabtu dan minggu kami menghabiskan waktu di rumah.
Aku punya seorang tetangga, seorang laki-laki yang masih lajang.
Namanya Ari, masih muda dan sepengakuannya ia juga bekerja di sebuah perusahaan.
Aku dan Ari sering mengobrol, terutama saat belanja sayur-sayuran di warung dalam komplek perumahan tersebut.
Karena sama-sama lajang, meski dengan status yang berbeda, aku dan Ari jadi lebih cepat untuk akrab.
Apa lagi Ari sendiri sering main ke rumah kami, terutama saat malam hari menjelang tidur.
Ari sendiri adalah seorang perantau. Orangtua dan semua keluarganya tinggal di kampung.
Menurut cerita Ari, ia memang sudah terbiasa hidup merantau sejak kuliah.
Sebenarnya rumah yang Ari tempati tersebut adalah rumah sewaan.
"mas Dodi gak berniat untuk menikah lagi, nih?" tanya Ari pada suatu malam, saat kami ngobrol berdua seperti biasa.
Sesaat aku hanya terdiam, namun segera aku menjawab,
"untuk
saat ini sih belum. Saya harus memikirkan anak-anak. Mereka baru saja
kehilangan Ibunya. Takkan mudah bagi mereka untuk menerima kehadiran
orang baru dalam hidup mereka." ucapku terdengar bijak.
"tapi apa mas Dodi gak kesepian tidur sendirian? Apa mas Dodi gak kerepotan mengurus pekerjaan rumah sendirian? Mas Dodi, kan harus kerja juga...." Ari bertanya lagi, cukup blak-blakan, sih, menurut saya. Namun karena kami memang sudah dekat, aku tidak harus mempermasalahkan hal tersebut.
"Kesepian sih pasti, ya. Kadang suka kangen juga, pengen ngerasain lagi, tidur bareng seseorang. Tapi demi anak-anak, saya harus kuat menahannya..." jawabku, lalu kemudian ia menarik napas panjang.
"kalau soal kerepotan mengurus pekerjaan rumah, gak juga ya. Karena ketika almarhum istri saya masih hidup, saya juga sering membantu ia menyelesaikan pekerjaan rumah. Apa lagi sekarang, semuanya serba pakai mesin. Dan lagi pula kalau lagi malas masak, saya tinggal pesan online. Begitu juga kalau mau cuci pakaian, kan sudah ada loundry..." aku melanjutkan kalimatku, yang membuat Ari manggut-manggut setuju.
******
Hari berlalu, bulan pun berganti. Hingga tibalah saatnya musim liburan sekolah. Tentu saja hal ini membuat aku jadi sedikit kesulitan, karena anak-anak tidak bisa dititipkan di sekolah seperti biasa. Sekolah libur, tempat penitipan itu pun libur.
Aku tidak punya keluarga lain di kota ini. Hampir semua keluargaku dan keluarga almarhumah istriku tinggal di kota lain, yang cukup jauh.
"bagaimana kalau anak-anak dititip sama saya aja, mas?" tawar Ari, ketika aku menceritakan kesulitan yang aku alami tersebut.
"tapi kamu kan kerja, Ri..." balasku.
"sebenarnya saya udah berhenti kerja, mas. Saya di PHK, pengurangan karyawan katanya..." jawab Ari terdengar jujur.
Saya sedikit kaget mendengar hal tersebut, karena Ari tidak pernah cerita tentang hal tersebut.
"saya memang sudah dipecat, beberapa hari yang lalu, mas. Saat ini, saya sudah
mencoba mengajukan lamaran ke beberapa tempat, tapi belum ada panggilan.
Untunglah uang tabungan dan uang pesangon saya masih ada. Setidaknya
cukuplah untuk saya bertahan hidup beberapa bulan ke depan. Sebelum saya
mendapatkan pekerjaan yang baru." lanjut Ari menjelaskan.
"kok kamu gak cerita?" tanyaku dengan nada keheranannya.
"ini saya cerita, mas..." jawab Ari, dengan nada sedikit bercanda. "sekarang saya lagi nunggu panggilan kerja. Jadi sekarang saya nganggur..." lanjutnya lagi, seakan mencoba menebak pertanyaanku selanjutnya.
"oh..." ucapku membulatkan bibir. "tapi kamu gak apa-apa kan? Saya titipkan anak-anak?" lanjutku.
"udah, gak apa-apa, mas. Santai aja kali..." balas Ari terdengar sangat akrab.
Jadilah Ari selama hampir dua minggu, jadi pengasuh anak-anakku. Ari sepertinya sangat menyukai
anak-anak. Ia dan anak-anak menjadi sangat dekat, dan aku merasa sangat terbantu dengan kehadiran Ari di rumah kami.
"makasih ya, Ri. Kamu sudah sangat membantu saya..." ucapku suatu malam, setelah masa liburan anak-anak usai.
Malam itu aku hanya memakai celana pendek dan baju singletnya. Kali ini kami mengobrol di ruang tamu rumahku. Anak-anak sudah tertidur. Kalau tak salah saat itu sudah hampir jam sepuluh malam.
"udah... santai, mas. Saya malah senang dititipi anak-anak. Jadi ada teman saya. Dari pada bengong sendirian di rumah..." balas Ari ringan.
Saya sempat memergoki Ari yang menatap saya dengan pandangan yang tidak aku mengerti.
"jadi kamu udah ada panggilan kerja?" tanyaku, setelah kami terdiam sesaat.
"belum sih, mas. Tapi saya yakin, sebentar lagi pasti ada, kok.." jawabnya, lebih terdengar seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Kemudian aku merogoh saku celana pendekku dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu.
"ini, sebagai tanda ucapan terima kasih saya..." ucapku, sambil menyerahkan uang tersebut, "gak seberapa sih, dibanding kerepotan kamu, mengurusi anak-anak.." lanjutku.
Ari terlihat menatap lembaran uang yang berwarna merah transparan itu. Ada beberapa lembar.
Aku memang berniat untuk memberi Ari sedikit upah, sebagai ucapan terima kasih karena telah mengurusi anak-anak, apa lagi yang aku tahu, saat ini Ari sudah tidak bekerja, ia pasti sangat butuh uang.
"aduh... gak usah, mas..." ucap Ari akhirnya, sambil sedikit mendorong tanganku.
"udah... gak apa-apa. Terima aja..ya..!" ujarku dengan nada sedikit memohon.
Namun Ari dengan lebih memohon, terus menolaknya.
"saya gak tahu lagi, bagaimana caranya lagi berterima kasih sama kamu, Ri..." ucapku akhirnya menyerah.
"gak harus pake uang, mas..." balas Ari, dengan sedikit menekan suaranya.
"kalau gak pake uang? Lalu harus pake apa saya membayar kamu?"tanyaku merasa sedikit bingung.
Ari tidak menjawab, ia memperlihatkan senyum dan tatapan yang masih tidak aku mengerti.
"kamu yakin?" tanyaku kemudian, melihat Ari hanya terdiam.
"yakin maksudnya?" Ari malah balik bertanya, yang membuatku semakin bingung, dan sedikit mengerutkan kening.
"kamu yakin, gak mau terima uang ini..?" tanyaku lagi lebih jelas.
"iya, saya yakin, mas. gak apa-apa..." suara Ari sedikit parau.
"lalu saya harus bayar kamu pakai apa?" aku mengulangi pertanyaan itu kembali.
Tiba-tiba Ari terlihat sedikit salah tingkah. Entah mengapa aku melihat Ari agak sedikit berbeda.
Padahal kami sudah biasa ngobrol-ngobrol seperti ini setiap malam.
Tapi malam ini Ari terlihat agak sedikit gelisah dan terkesan cukup aneh.
Dia sering menatapku diam-diam, terutama di bagian dadaku yang hanya memakai baju singlet tersebut.
Dan saat aku memergokinya, Ari akan kelihatan salah tingkah.
Aku jadi tidak mengerti, ada apa dengan Ari sebenarnya?
*****
Lama suasana hening. Kulihat Ari menghirup kopi yang memang sengaja saya hidangkan sejak tadi. Kopi itu sudah mulai dingin, sebenarnya. Ari menghirupnya beberapa
kali. Sikapnya terlihat sangat grogi.
"saya boleh menginap malam ini disini, mas?" tanya Ari akhirnya setelah ia menghabiskan kopi tersebut.
"menginap? kenapa emangnya? kok, kamu tiba-tiba ingin menginap disini?" tanyaku dengan kening berkerut.
"lampu di rumah mati, mas. Pulsa PLN-ku habis, lupa tadi belinya..." jawab Ari, dengan nada tidak begitu yakin.
"oh, ya. gak apa-apa, sih. Tapi kamu mau tidur dimana? Rumah ini cuma punya dua kamar, satu kamar anak-anak satu kamar saya..." aku berujar sambil menatap Ari.
"saya tidur di kamar mas Dodi aja. Gak apa-apa kan, mas?" ucap Ari, suaranya sedikit bergetar.
"emang kamu mau tidur sekamar dengan saya?" tanyaku lagi, tanpa mengalihkan tatapanku.
Ari terlihat semakin salah tingkah mendengar pertanyaanku barusan. Entah apa yang salah dengan pertanyaan tersebut."iya. Mau, mas. Kalau mas Dodi gak keberatan, sih..." ucap Ari akhirnya.
"ya udah, mari kita masuk. Udah ngantuk juga ini..." balasku ringan, tak sengaja aku melihat Ari tersenyum senang. Entah apa maknanya?
Aku mulai menutup dan mengunci pintu kamar. Kulihat Ari langsung merebahkan tubuhnya ke atas ranjang.
"kamu tidur seperti itu aja? Maksud saya, kamu bisa tertidur dengan pakaian lengkap seperti itu?" aku bertanya sambil aku mulai membuka singlet dan celana pendekku.
Aku hanya memakai celana dalam yang berwarna hitam. Aku memang terbias tidur seperti itu.
"saya...saya... saya gak apa-apa, buka pakaian ini?" tiba-tiba Ari berucap dengan suara sedikit tergagap.
"yah, terserah kamu, sih. Senyamannya kamu aja..." balasku, sambil mulai merebahkan tubuhku.
Ari segera bangkit dan membuka baju kaos dan celana jeans-nya. Ia hanya memakai celana pendek kaos warna pink, sebuah pilihan warna yang cukup aneh menurutku.
Lalu ia berbaring kembali di samping ku, yang hanya berjarak tidak lebih dari sejengkal.
"badan kamu bagus juga ya, Ri..." ucapanku tanpa sadar mengungkapkan kekagumanku dengan postur tubuh Ari yang memang terlihat atletis dan berotot. Selain itu kulitnya putih, bersih dan terawat.
Wajah Ari juga tampan sebenarnya, hanya saja selama ini aku memang tidak memperhatikan hal tersebut.
Matanya bening, hidungnya mancung dengan belahan tipis di dagunya, yang membuat ia jadi semakin manis saat tersenyum.
"gak ah, mas. Biasa aja. Justru badan mas Dodi yang bagus banget. Padat, berotot dan kekar." balas Ari, terdengar sedikit polos.
Aku tersenyum mendengar pujian tersebut. Ari tiba-tiba memutar kepalanya menatapku.
"kamu udah punya pacar, Ri?" tanyaku sekedar berbasa-basi.
"belum, mas." jawab Ari terdengar jujur.
"kenapa belum? Padahal kamu cakep, lho!" kali ini aku berujar, sambil memutar kepala menatapnya. Mata kami bersirobok pandang. Entah mengapa kali ini, jantungku tiba-tiba berdegup tak karuan.
"entahlah, mas. Aku masih ingin fokus untuk memikirkan masa depanku.." jawab Ari seadanya.
Mata kami masih saling tatap, Ari seakan enggan mengalihkan pandangannya, demikian juga aku.
Aku yang sudah sangat lama tidak tidur berdua dengan siapa pun, semenjak istriku meninggal, tiba-tiba merasa kehadiran Ari malam itu membuatku jadi sedikit tak karuan.
Ari terbaring di sampingku dengan tatapannya yang penuh senyum, yang membuatku merasakan sesuatu yang sudah sangat lama tidak aku rasakan.
Tiba-tiba saja keinginan itu muncul. Rasa kesepianku selama ini, seakan butuh tempat untuk diLtumpahkan, dan malam itu Ari seakan memberiku kesempatan untuk menumpahkannya.
Segala pikiran liar mulai menghantuiku. Sebagai seseorang yang sudah lama menduda, aku memang selalu berusaha memendam segala keinginan tersebut.
Namun kehadiran Ari selama ini, mampu membuatku seakan menemukan sesuatu yang baru dalam hidupku. Ari sangat baik padaku dan juga kepada kedua anakku.
Aku tahu, selama ini Ari sering memperhatikanku diam-diam. Menatapku dari kejauhan.
Aku juga tahu, kalau Ari sebenarnya berbuat baik padaku hanya untuk menarik perhatianku padanya.
Mana ada seorang laki-laki setampan Ari yang belum punya pasangan?
Mana ada seorang laki-laki yang rela menghabiskan waktunya hanya untuk menjaga anak-anakku?
Apa lagi selama ini, Ari sangat perhatian padaku dan juga anak-anakku.
Aku juga tidak cukup bodoh untuk bisa menebak apa yang Ari inginkan dariku.
Dan sebagai seorang duda kesepian, tak ada salahnya aku memberi Ari kesempatan.
"kamu suka gak sama saya, Ri?" ucapku akhirnya, meski dengan suara yang sedikit bergetar.
Tatapan mataku semakin
tajam menghujam mata Ari, yang terlihat sedikit gugup mendengar pertanyaanku barusan. Aku yakin, Ari tidak akan menyangka kalau aku akan bertanya demikian.
"maksud... maksud mas Dodi apa?" tanya Ari tergagap, antara terdengar polos atau takut salah paham.
"saya
kesepian, Ri. Sejak istri saya meninggal, kamu satu-satunya orang yang
paling dekat dengan saya. Selain anak-anak tentunya. Setiap hari ngobrol
sama kamu, entah mengapa saya semakin merasa nyaman. Kamu orang yang
baik..." aku berucap lagi, kali ini aku mulai menyentuh pipi mulus milik Ari.
Kulihat Ari tersenyum menang. Aku tahu, Ari pasti sangat bahagia mendengar ucapanku barusan.
Aku tahu, Ari selama ini diam-diam menyukaiku.
Meski awalnya aku merasa sedikit risih akan kehadiran Ari, tapi lama-kelamaan aku mulai merasa nyaman, terlebih karena aku memang membutuhkan Ari.
Dan lagi pula anak-anak juga menyukainya. Jadi tak ada salahnya, aku memberi Ari kesempatan. Toh aku juga diuntungkan disini. Aku bisa menumpahkan segala kesepianku selama ini kepada Ari.
"aku... aku memang menyukai mas Dodi sejak lama..." ucap Ari akhirnya, sambil ia meraih tanganku kemudian menggenggamnya erat.
Malanm itu, aku mencoba mengikuti segala keinganan Ari. Memberinya sebuah keindahan, setidaknya sebagai bentuk ucapan terima kasih atas kebaikannya selama ini.
Kalau aku tidak bisa membayarnya dengan uang, mungkin dengan inilah aku bisa membayarnya.
Dan Ari terlihat sangat bahagia malam itu.
******
Sejak kejadian malam itu, aku dan Ari jadi semakin dekat dan sangat akrab. Ari yang sudah resmi jadi pengangguran, karena tak kunjung jua mendapatkan panggilan kerja, jadi sering menghabiskan waktu bersama keluarga kecilku.
Ari juga jadi sering menginap di rumahku. Ari hanya mandi dan berganti pakaian di rumah, lalu kemudian akan kembali ke rumahku. Ari juga memasak untuk aku dan anak-anak, membersihkan rumah dan sesekali mencuci pakaian.
"sudah lebih dari dua bulan aku menggangur, mas. Aku merasa sangat beruntung bisa mengenal keluarga mas Dodi, setidaknya aku jadi punya kesibukan setiap harinya. Namun sekarang uang tabunganku sudah menipis. Aku tidak tahu lagi, bagaimana caranya bisa mendapatkan pekerjaan, atau setidaknya bisa menghasilkan uang."
"sudah dua bulan aku tidak membayar sewa
rumah. Kalau sampai bulan depan aku belum juga dapat membayar, mau tidak
mau, aku harus pindah dari rumah tersebut, mas.." cerita Ari suatu malam padaku.
"udah.. kamu tinggal di rumahku aja dulu..." ucapku, ketika Ari menceritakan semuanya padaku. Ari memang semakin terbuka kepadaku, bukan cuma pakaiannya saja yang dibuka di depanku, tapi juga seluruh cerita kehidupannya.
"tapi aku gak mau jadi beban buat mas Dodi dan anak-anak.." balas Ari dengan nada sedih.
"kamu bukan beban, Ri. Justru saya merasa sangat terbantu, dengan adanya kamu di rumah ini. Nanti kamu bisa sekalian antar jemput anak-anak ke sekolah, kan motormu masih ada. Jadi saya gak perlu lagi membayar lebih untuk menitipkan anak-anak di sekolah." aku berucap lagi, kali ini dengan nada yang sangat serius.
"kalau mas Dodi gak keberatan, aku mau, mas.." balas Ari setuju.
"tapi aku gak bisa bayar kamu pakai uang, loh.." ucapku lagi.
"gak apa-apa, mas. Gak di bayar pakai uang, tapi bayar pakai itu aja, ya.." ucap Ari dengan nada menggoda, sambil menunjuk sesuatu di bawah perutku.
"ah, kamu bisa aja. Kalau untuk itu, saya selalu siap buat kamu, Ri. Kapan pun..." aku membalas dengan nada lebih menggoda lagi. Ari hanya tersenyum.
Jadilah sejak saat itu, Ari tinggal satu atap denganku, tentu saja dengan anak-anakku juga. Kami harus bisa juga menjaga sikap, terutama saat di depan anak-anak. Kami tak ingin mereka curiga, kalau aku ada apa-apa dengan Ari. Setiap hari Ari mengantar dan menjemput anak-anak ke sekolah.
Setiap hari Ari memasak, membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Dan hampir setiap malam, Ari juga melayaniku di ranjang. Aku dan Ari sudah hidup, bak sepasang suami istri.
Sungguh sebuah kehidupan yang tak
pernah aku bayangkan sebelumnya. Dulu waktu kecil, aku bercita-cita
menjadi seorang pengusaha sukses dan hidup bahagia dengan sebuah
keluarga kecil. Tapi itu dulu, sebelum saya mengenal Ari. Tapi semenjak kehadiran Ari, aku tidak lagi memikirkan tentang masa depanku, aku hanya ingin menikmati setiap keindahan yang diberikan Ari padaku.
Mungkin ini bukanlah kehidupan yang baik yang harus aku jalani, namun saat ini kehadiran Ari benar-benar membuatku terlena.
Hubungan kami mungkin memang indah, bahkan sangat indah bagiku. Menjadi bagian dari kehidupan Ari, si pria tampan tersebut, adalah sebuah keindahan. Ia memasak untukku, dan melayaniku di ranjang, adalah sesuatu yang luar biasa. Aku begitu menikmati hal tersebut.
Namun, harus aku akui, ini semua adalah sebuah kesalahan. Kami mungkin saja tetap bisa menutupi hubungan kami di depan orang-orang. Tapi sampai kapan?
Sampai kapan, kami mampu menjaga rahasia ini?
*****
Waktu masih terus bergulir, tanpa bisa dicegah atau pun dipacu.
Ari masih saja terus melakukan semua aktivitasnya bersama keluarga kecilku. Berbulan-bulan, Ari masih belum juga mendapatkan pekerjaan. Aku memang selalu memberi Ari sejumlah uang, untuk kebutuhannya.
Meski pun aku merasa bahagia dengan semua itu, tapi tetap saja, aku mulai merasa kurang nyaman tinggal serumah dengan Ari.
Berita-berita tak sedap tentang kami, sudah mulai menyebar. Aku dan Ari, sepakat untuk mengabaikan hal tersebut. Namun yang aku pikirkan, efeknya bisa saja mempengaruhi anak-anak.
Hinga suatu saat, kedua orangtuaku datang berkunjung. Mereka begitu gembira bertemu denganku dan juga cucu-cucunya. Setelah lebih dari setahun mereka tidak bertemu.
Aku terpaksa memperkenalkan Ari kepada orangtuaku, sebagai pengasuh anak-anakku.
"kalau pengasuhnya perempuan, takutnya malah dicurigai, karena aku yang seorang duda.." jelasku, ketika orangtuaku mempertanyakan kenapa pengasuh anak-anak justru seorang laki-laki.
Orantuaku,
menginap beberapa malam di rumah kami. Selama itu, aku harus bisa menjaga
sikap. Terutama pada malam hari, aku harus bisa menahan keinginanku
untuk bisa tidur bersama Ari.
Setelah orangtuaku pulang, keadaan kembali seperti sedia kala. Malam itu, aku pun memanfaatkan kesempatan untuk bisa tidur dengan Ari lagi. Setelah beberapa malam tak mendapatkan 'jatah', Ari menjadi sangat liar di ranjang, yang membuatku sedikit kewalahan.
Kami sama-sama menumpahkan segala kerinduan kami selama beberapa hari ini.
Harus aku akui, kalau Ari memang sangat mahir melakukan hal tersebut, aku selalu saja dibuatnya terbuai dan terlena dengan segala permainan indahnya.
Dan sebenarnya hal itulah yang membuatku semakin menyukai Ari. Ia selalu mampu membuatku merasa puas dan lega.
*******
Setahun kemudian berlalu, Ari pun akhirnya mendapatkan sebuah pekerjaan. Hal itu tentu saja, merubah semua rutinitasnya. Anak-anak kembali aku titipkan di sekolah.
Ari
pun memutuskan untuk mencari tempat tinggal sendiri. Aku pun dengan terpaksa menyetujuinya.
"Aku bukannya gak mau, tetap tinggal seatap dengan mas Dodi, tapi kecurigaan para tetangga membuatku harus bisa menjaga jarak dari keluarga mas Dodi. Apa lagi sekarang aku sudah punya kerja, jika terus tinggal bersama mas Dodi, jelas hal itu, akan membuat orang-orang semakin curiga." begitu alasan Ari untuk segera pindah dari rumah kami.
Dan dengan perasaan berat aku pun harus merelakan kepindahan Ari.
Terus terang aku memang merasa kehilangan, tak ada lagi yanga akan memasak untuk kami, mencuci pakaian kami dan juga membersihkan rumah.
Tapi biar bagaimana pun itu adalah pilihan hidup Ari, aku tak mungkin mencegahnya.
Ari masih
rutin mengunjungiku, terutama pada malam hari. Tapi tentu saja, ia tidak pernah lagi menginap. Ari dirumahku hanya beberapa jam, hanya
sekedar untuk melaksanakan kegiatan rutinitas malam kami. Dan aku akan menyambutnya dengan perasaan senang.
Hal itu terus berlanjut. Aku dan Ari masih terus menjalin hubungan. Aku mungkin telah jatuh cinta pada Ari. Tapi untuk tetap berharap agar selalu bersamanya, rasanya itu terasa mustahil.
Biar bagaimana pun, aku dan Ari sama-sama laki-laki, kami tidak mungkin bisa menikah. Kalau boleh jujur, seandainya saja bisa, aku ingin menjadikan Ari sebagai pengganti istriku.
Tapi siapa yang bisa melawan takdir, tak satu pun. Tak terkecuali kami berdua.
Aku memang menyayangi Ari, tapi aku juga harus realisistis. Ari tidak akan sepenuhnya bisa menggantikan sosok istriku, meski sebenarnya kami berdua sangat menginginkannya.
Di satu
sisi, aku harus menjalani kehidupan sebagaimana layaknya seorang
laki-laki, dan menjadi ayah bagi anak-anakku. Apa lagi sekarang kedua anakku hanya mengandalkanku sebagai satu-satunya orangtua mereka.
Namun di sisi lain, aku juga membutuhkan Ari. Aku juga mencintainya. Aku tak ingin berpisah darinya. Aku ingin selalu bersamanya. Menikmati setiap keindahan yang terjadi diantara kami. Meski aku sendiri tidak pernah tahu pasti, seperti apa sebenarnya perasaan Ari padaku.
Selama ini ia hanya melayaniku, meski aku tahu ia sangat menyayangiku, tapi Ari tak pernah benar-benar mengungkapkan perasaannya padaku.
Aku tak tahu pasti, apa ia benar-benar mencintaiku. Atau ia hanya sekedar memanfaatkan kesepianku selama ini? Atau sebenarnya ia hanya kasihan padaku?
Pada awalnya aku memang tidak peduli tentang perasaan Ari padaku, tapi sekarang aku justru semakin tenggelam dengan rasa yang hadir dihatiku untuknya.
******
Namun beginilah takdir, kita tidak terkadang tak bisa menebaknya. Semua yang terjadi terkadang di luar kendali kita.
Ari bercerita padaku, bahwa ia akan dinikahkan dengan gadis pilihan orangtuanya di kampung.
Terus terang aku sangat kecewa mendengar hal tersebut. Tapi sebagai laki-laki tentu saja aku tidak ingin terlihat lemah. Karena itu aku berusaha bersikap sewajar mungkin, dan memberi dukungan penuh atas pernikahan Ari.
Biar bagaimana pun Ari memang harus menjalankan takdirnya sebagai seorang laki-laki, menikah, punya anak dan menjadi kepala rumah tangga.
Ari berhak untuk bahagia, meski bukan denganku.
Antara kecewa dan pasrah, aku pun berusaha menghadiri pesta pernikahan Ari. Aku jauh-jauh datang ke kampungnya hanya untuk mengucapkan selamat padanya.
Namun saat aku kembali ke kota, aku akhirnya memutuskan untuk pindah.
Aku tidak ingin lagi terus berada di rumah ini, terlalu banyak kenangan di rumah ini.
Aku tidak ingin lagi mengingatnya. Biar bagaimana pun Ari sekarang sudah punya seorang istri, dan aku harus belajar untuk melupakannya.
Namun jika aku terus disini, aku pasti tidak akan bisa menghindari pertemuanku dengan Ari nantinya, ketika ia kembali ke kota.
Karena itu aku pindah rumah, pindah kota dan bahkan juga pindah tempat kerja.
Aku sebenarnya diam-diam terus mencari info tentang kehidupan Ari setelah ia menikah. Dan menurut kabar yang aku terima, Ari sudah bahagia dengan hidupnya yang baru.
Ia bahkan sudah mempunyai seorang anak perempuan.
Meski hatiku terasa perih, tapi aku turut bahagia untuknya.
Sampai akhirnya aku pun memutuskan untuk menikah lagi, kali ini dengan seorang janda tanpa anak.
Meski sebenarnya aku tidak mencintainya, tapi biar bagaimana pun anak-anakku butuh kasih sayang seorang ibu, dan aku berharap wanita yang aku nikahi ini mampu memberikannya pada anak-anakku.
Aku dan Ari, memang tidak pernah bertemu lagi. Tapi segala kenangan yang terjadi diantara kami, selalu kusimpan rapi di sudut hatiku.
Ari adalah salah satu hal terindah yang pernah singgah di perjalanan hidupku. Dan aku yakin, Ari, juga merasakan hal yang sama.
Tapi kami harus menjalani hidup kami, sebagaimana kodrat kami sebagai seorang laki-laki.
*****
Aku yakin mungkin ada dari kalian yang pernah mendengar tentang kisah ini dengan versi yang berbeda. Versi cerita dari sudut pandang Ari sendiri.
Karena ini memang balasan untuk kisah Ari tersebut. Aku hanya ingin Ari tahu, bahwa aku juga mencintainya. Meski ia tahu hanya melalui sebuah tulisan.
Terima
kasih, telah sudi mendengarkan kisah ini. Semoga terhibur, dan semoga
ada hikmah yang bisa diambil dari kisah sederhana ini.
*****
Selesai ...