Curahan hati seorang duda keren ...

Namaku Dodi dan aku seorang duda.

Istriku meninggal sekitar setahun yang lalu, dengan meninggalkan dua orang anak yang masih kecil-kecil.

Anak pertamaku perempuan masih berusia 10 tahun dan yang kedua laki-laki masih berusia 6 tahun.

Aku sendiri sudah berusia 40 tahun, dan bekerja di sebuah perusahaan kontraktor.

sang penuai mimpi

Setahun istriku meninggal, aku memutuskan untuk pindah rumah agak sedikit jauh dari kota tempat aku berasal.

Salah satu alasanku untuk pindah ialah agar aku dan anak-anakku tidak lagi dibayang-bayangi oleh almarhumah istriku.

Aku berharap, denganp indah kami bisa memulai kehidupan kami yang baru.

Kami pindah ke sebuah komplek perumahan yang berada di pinggiran kota.

Jarak dari kantor tempat aku bekerja memang cukup jauh, setidaknya butuh perjalanan setengah jam naik mobil.

Kedua anak-anakku sudah sekolah, tempat sekolah mereka berada tepat di jalan menuju kantor tempat aku bekerja.

Setiap hari, aku mengantar anak-anakku ke sekolah, lalu kemudian aku langsung menuju kantorku.

Beruntunglah sekolah tersebut juga menyediakan tempat penitipan anak, hingga sore.

Jadi kedua anak-anakku sekalian aku titipkan di sana, menjelang aku pulang kerja.

Kecuali pada hari sabtu dan minggu, karena aku libur kerja dan juga anak-anak libur sekolah.

Hari sabtu dan minggu kami menghabiskan waktu di rumah.

Aku punya seorang tetangga, seorang laki-laki yang masih lajang.

Namanya Ari, masih muda dan sepengakuannya ia juga bekerja di sebuah perusahaan.

Aku dan Ari sering mengobrol, terutama saat belanja sayur-sayuran di warung dalam komplek perumahan tersebut.

Karena sama-sama lajang, meski dengan status yang berbeda, aku dan Ari jadi lebih cepat untuk akrab.

Apa lagi Ari sendiri sering main ke rumah kami, terutama saat malam hari menjelang tidur.

Ari sendiri adalah seorang perantau. Orangtua dan semua keluarganya tinggal di kampung.

Menurut cerita Ari, ia memang sudah terbiasa hidup merantau sejak kuliah.

Sebenarnya rumah yang Ari tempati tersebut adalah rumah sewaan.

"mas Dodi gak berniat untuk menikah lagi, nih?" tanya Ari pada suatu malam, saat kami ngobrol berdua seperti biasa.

Sesaat aku hanya terdiam, namun segera aku menjawab,

"untuk saat ini sih belum. Saya harus memikirkan anak-anak. Mereka baru saja kehilangan Ibunya. Takkan mudah bagi mereka untuk menerima kehadiran orang baru dalam hidup mereka." ucapku terdengar bijak.

"tapi apa mas Dodi gak kesepian tidur sendirian? Apa mas Dodi gak kerepotan mengurus pekerjaan rumah sendirian? Mas Dodi, kan harus kerja juga...." Ari bertanya lagi, cukup blak-blakan, sih, menurut saya. Namun karena kami memang sudah dekat, aku tidak harus mempermasalahkan hal tersebut.

"Kesepian sih pasti, ya. Kadang suka kangen juga, pengen ngerasain lagi, tidur bareng seseorang. Tapi demi anak-anak, saya harus kuat menahannya..." jawabku, lalu kemudian ia menarik napas panjang.

"kalau soal kerepotan mengurus pekerjaan rumah, gak juga ya. Karena ketika almarhum istri saya masih hidup, saya juga sering membantu ia menyelesaikan pekerjaan rumah. Apa lagi sekarang, semuanya serba pakai mesin. Dan lagi pula kalau lagi malas masak, saya tinggal pesan online. Begitu juga kalau mau cuci pakaian, kan sudah ada loundry..." aku melanjutkan kalimatku, yang membuat Ari manggut-manggut setuju.

******

Hari berlalu, bulan pun berganti. Hingga tibalah saatnya musim liburan sekolah. Tentu saja hal ini membuat aku jadi sedikit kesulitan, karena anak-anak tidak bisa dititipkan di sekolah seperti biasa. Sekolah libur, tempat penitipan itu pun libur.

Aku tidak punya keluarga lain di kota ini. Hampir semua keluargaku dan keluarga almarhumah istriku tinggal di kota lain, yang cukup jauh.

"bagaimana kalau anak-anak dititip sama saya aja, mas?" tawar Ari, ketika aku menceritakan kesulitan yang aku alami tersebut.

"tapi kamu kan kerja, Ri..." balasku.

"sebenarnya saya udah berhenti kerja, mas. Saya di PHK, pengurangan karyawan katanya..." jawab Ari terdengar jujur.

Saya sedikit kaget mendengar hal tersebut, karena Ari tidak pernah cerita tentang hal tersebut.

"saya memang sudah dipecat, beberapa hari yang lalu, mas. Saat ini, saya sudah mencoba mengajukan lamaran ke beberapa tempat, tapi belum ada panggilan. Untunglah uang tabungan dan uang pesangon saya masih ada. Setidaknya cukuplah untuk saya bertahan hidup beberapa bulan ke depan. Sebelum saya mendapatkan pekerjaan yang baru." lanjut Ari menjelaskan.

"kok kamu gak cerita?" tanyaku dengan nada keheranannya.

"ini saya cerita, mas..." jawab Ari, dengan nada sedikit bercanda. "sekarang saya lagi nunggu panggilan kerja. Jadi sekarang saya nganggur..." lanjutnya lagi, seakan mencoba menebak pertanyaanku selanjutnya.

"oh..." ucapku membulatkan bibir. "tapi kamu gak apa-apa kan? Saya titipkan anak-anak?" lanjutku.

"udah, gak apa-apa, mas. Santai aja kali..." balas Ari terdengar sangat akrab.

Jadilah Ari selama hampir dua minggu, jadi pengasuh anak-anakku. Ari sepertinya sangat menyukai anak-anak. Ia dan anak-anak menjadi sangat dekat, dan aku merasa sangat terbantu dengan kehadiran Ari di rumah kami.

"makasih ya, Ri. Kamu sudah sangat membantu saya..." ucapku suatu malam, setelah masa liburan anak-anak usai.

Malam itu aku hanya memakai celana pendek dan baju singletnya. Kali ini kami mengobrol di ruang tamu rumahku. Anak-anak sudah tertidur. Kalau tak salah saat itu sudah hampir jam sepuluh malam.

"udah... santai, mas. Saya malah senang dititipi anak-anak. Jadi ada teman saya. Dari pada bengong sendirian di rumah..." balas Ari ringan.

Saya sempat memergoki Ari yang menatap saya dengan pandangan yang tidak aku mengerti.

"jadi kamu udah ada panggilan kerja?" tanyaku, setelah kami terdiam sesaat.

"belum sih, mas. Tapi saya yakin, sebentar lagi pasti ada, kok.." jawabnya, lebih terdengar seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Kemudian aku merogoh saku celana pendekku dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu.

"ini, sebagai tanda ucapan terima kasih saya..." ucapku, sambil menyerahkan uang tersebut, "gak seberapa sih, dibanding kerepotan kamu, mengurusi anak-anak.." lanjutku.

Ari terlihat menatap lembaran uang yang berwarna merah transparan itu. Ada beberapa lembar.

Aku memang berniat untuk memberi Ari sedikit upah, sebagai ucapan terima kasih karena telah mengurusi anak-anak, apa lagi yang aku tahu, saat ini Ari sudah tidak bekerja, ia pasti sangat butuh uang.

"aduh... gak usah, mas..." ucap Ari akhirnya, sambil sedikit mendorong tanganku.

"udah... gak apa-apa. Terima aja..ya..!" ujarku dengan nada sedikit memohon.

Namun Ari dengan lebih memohon, terus menolaknya.

"saya gak tahu lagi, bagaimana caranya lagi berterima kasih sama kamu, Ri..." ucapku akhirnya menyerah.

"gak harus pake uang, mas..." balas Ari, dengan sedikit menekan suaranya.

"kalau gak pake uang? Lalu harus pake apa saya membayar kamu?"tanyaku merasa sedikit bingung.

Ari tidak menjawab, ia memperlihatkan senyum dan tatapan yang masih tidak aku mengerti.

"kamu yakin?" tanyaku kemudian, melihat Ari hanya terdiam.

"yakin maksudnya?" Ari malah balik bertanya, yang membuatku semakin bingung, dan sedikit mengerutkan kening.

"kamu yakin, gak mau terima uang ini..?" tanyaku lagi lebih jelas.

"iya, saya yakin, mas. gak apa-apa..." suara Ari sedikit parau.

"lalu saya harus bayar kamu pakai apa?" aku mengulangi pertanyaan itu kembali.

Tiba-tiba Ari terlihat sedikit salah tingkah. Entah mengapa aku melihat Ari agak sedikit berbeda.

Padahal kami sudah biasa ngobrol-ngobrol seperti ini setiap malam.

Tapi malam ini Ari terlihat agak sedikit gelisah dan terkesan cukup aneh.

Dia sering menatapku diam-diam, terutama di bagian dadaku yang hanya memakai baju singlet tersebut.

Dan saat aku memergokinya, Ari akan kelihatan salah tingkah.

Aku jadi tidak mengerti, ada apa dengan Ari sebenarnya?

*****

Lama suasana hening. Kulihat Ari menghirup kopi yang memang sengaja saya hidangkan sejak tadi. Kopi itu sudah mulai dingin, sebenarnya. Ari menghirupnya beberapa kali. Sikapnya terlihat sangat grogi.

"saya boleh menginap malam ini disini, mas?" tanya Ari akhirnya setelah ia menghabiskan kopi tersebut.

"menginap? kenapa emangnya? kok, kamu tiba-tiba ingin menginap disini?" tanyaku dengan kening berkerut.

"lampu di rumah mati, mas. Pulsa PLN-ku habis, lupa tadi belinya..." jawab Ari, dengan nada tidak begitu yakin.

"oh, ya. gak apa-apa, sih. Tapi kamu mau tidur dimana? Rumah ini cuma punya dua kamar, satu kamar anak-anak satu kamar saya..." aku berujar sambil menatap Ari.

"saya tidur di kamar mas Dodi aja. Gak apa-apa kan, mas?" ucap Ari, suaranya sedikit bergetar.

"emang kamu mau tidur sekamar dengan saya?" tanyaku lagi, tanpa mengalihkan tatapanku.

Ari terlihat semakin salah tingkah mendengar pertanyaanku barusan. Entah apa yang salah dengan pertanyaan tersebut.

"iya. Mau, mas. Kalau mas Dodi gak keberatan, sih..." ucap Ari akhirnya.

"ya udah, mari kita masuk. Udah ngantuk juga ini..." balasku ringan, tak sengaja aku melihat Ari tersenyum senang. Entah apa maknanya?

Aku mulai menutup dan mengunci pintu kamar. Kulihat Ari langsung merebahkan tubuhnya ke atas ranjang.

"kamu tidur seperti itu aja? Maksud saya, kamu bisa tertidur dengan pakaian lengkap seperti itu?" aku bertanya sambil aku mulai membuka singlet dan celana pendekku.

Aku hanya memakai celana dalam yang berwarna hitam. Aku memang terbias tidur seperti itu.

"saya...saya... saya gak apa-apa, buka pakaian ini?" tiba-tiba Ari berucap dengan suara sedikit tergagap.

"yah, terserah kamu, sih. Senyamannya kamu aja..." balasku, sambil mulai merebahkan tubuhku.

Ari segera bangkit dan membuka baju kaos dan celana jeans-nya. Ia hanya memakai celana pendek kaos warna pink, sebuah pilihan warna yang cukup aneh menurutku.

Lalu ia berbaring kembali di samping ku, yang hanya berjarak tidak lebih dari sejengkal.

"badan kamu bagus juga ya, Ri..." ucapanku tanpa sadar mengungkapkan kekagumanku dengan postur tubuh Ari yang memang terlihat atletis dan berotot. Selain itu kulitnya putih, bersih dan terawat.

Wajah Ari juga tampan sebenarnya, hanya saja selama ini aku memang tidak memperhatikan hal tersebut.

Matanya bening, hidungnya mancung dengan belahan tipis di dagunya, yang membuat ia jadi semakin manis saat tersenyum.

"gak ah, mas. Biasa aja. Justru badan mas Dodi yang bagus banget. Padat, berotot dan kekar." balas Ari, terdengar sedikit polos.

Aku tersenyum mendengar pujian tersebut. Ari tiba-tiba memutar kepalanya menatapku.

"kamu udah punya pacar, Ri?" tanyaku sekedar berbasa-basi.

"belum, mas." jawab Ari terdengar jujur.

"kenapa belum? Padahal kamu cakep, lho!" kali ini aku berujar, sambil memutar kepala menatapnya. Mata kami bersirobok pandang. Entah mengapa kali ini, jantungku tiba-tiba berdegup tak karuan.

"entahlah, mas. Aku masih ingin fokus untuk memikirkan masa depanku.." jawab Ari seadanya.

Mata kami masih saling tatap, Ari seakan enggan mengalihkan pandangannya, demikian juga aku.

Aku yang sudah sangat lama tidak tidur berdua dengan siapa pun, semenjak istriku meninggal, tiba-tiba merasa kehadiran Ari malam itu membuatku jadi sedikit tak karuan.

Ari terbaring di sampingku dengan tatapannya yang penuh senyum, yang membuatku merasakan sesuatu yang sudah sangat lama tidak aku rasakan.

Tiba-tiba saja keinginan itu muncul. Rasa kesepianku selama ini, seakan butuh tempat untuk diLtumpahkan, dan malam itu Ari seakan memberiku kesempatan untuk menumpahkannya.

Segala pikiran liar mulai menghantuiku. Sebagai seseorang yang sudah lama menduda, aku memang selalu berusaha memendam segala keinginan tersebut.

Namun kehadiran Ari selama ini, mampu membuatku seakan menemukan sesuatu yang baru dalam hidupku. Ari sangat baik padaku dan juga kepada kedua anakku.

Aku tahu, selama ini Ari sering memperhatikanku diam-diam. Menatapku dari kejauhan.

Aku juga tahu, kalau Ari sebenarnya berbuat baik padaku hanya untuk menarik perhatianku padanya.

Mana ada seorang laki-laki setampan Ari yang belum punya pasangan?

Mana ada seorang laki-laki yang rela menghabiskan waktunya hanya untuk menjaga anak-anakku?

Apa lagi selama ini, Ari sangat perhatian padaku dan juga anak-anakku.

Aku juga tidak cukup bodoh untuk bisa menebak apa yang Ari inginkan dariku.

Dan sebagai seorang duda kesepian, tak ada salahnya aku memberi Ari kesempatan.

"kamu suka gak sama saya, Ri?" ucapku akhirnya, meski dengan suara yang sedikit bergetar.

Tatapan mataku semakin tajam menghujam mata Ari, yang terlihat sedikit gugup mendengar pertanyaanku barusan. Aku yakin, Ari tidak akan menyangka kalau aku akan bertanya demikian.

"maksud... maksud mas Dodi apa?" tanya Ari tergagap, antara terdengar polos atau takut salah paham.

"saya kesepian, Ri. Sejak istri saya meninggal, kamu satu-satunya orang yang paling dekat dengan saya. Selain anak-anak tentunya. Setiap hari ngobrol sama kamu, entah mengapa saya semakin merasa nyaman. Kamu orang yang baik..." aku berucap lagi, kali ini aku mulai menyentuh pipi mulus milik Ari.

Kulihat Ari tersenyum menang. Aku tahu, Ari pasti sangat bahagia mendengar ucapanku barusan.

Aku tahu, Ari selama ini diam-diam menyukaiku.

Meski awalnya aku merasa sedikit risih akan kehadiran Ari, tapi lama-kelamaan aku mulai merasa nyaman, terlebih karena aku memang membutuhkan Ari.

Dan lagi pula anak-anak juga menyukainya. Jadi tak ada salahnya, aku memberi Ari kesempatan. Toh aku juga diuntungkan disini. Aku bisa menumpahkan segala kesepianku selama ini kepada Ari.

"aku... aku memang menyukai mas Dodi sejak lama..." ucap Ari akhirnya, sambil ia meraih tanganku kemudian menggenggamnya erat.

Malanm itu, aku mencoba mengikuti segala keinganan Ari. Memberinya sebuah keindahan, setidaknya sebagai bentuk ucapan terima kasih atas kebaikannya selama ini.

Kalau aku tidak bisa membayarnya dengan uang, mungkin dengan inilah aku bisa membayarnya.

Dan Ari terlihat sangat bahagia malam itu.

******

Sejak kejadian malam itu, aku dan Ari jadi semakin dekat dan sangat akrab. Ari yang sudah resmi jadi pengangguran, karena tak kunjung jua mendapatkan panggilan kerja, jadi sering menghabiskan waktu bersama keluarga kecilku.

Ari juga jadi sering menginap di rumahku. Ari hanya mandi dan berganti pakaian di rumah, lalu kemudian akan kembali ke rumahku. Ari juga memasak untuk aku dan anak-anak, membersihkan rumah dan sesekali mencuci pakaian.

"sudah lebih dari dua bulan aku menggangur, mas. Aku merasa sangat beruntung bisa mengenal keluarga mas Dodi, setidaknya aku jadi punya kesibukan setiap harinya. Namun sekarang uang tabunganku sudah menipis. Aku tidak tahu lagi, bagaimana caranya bisa mendapatkan pekerjaan, atau setidaknya bisa menghasilkan uang."

"sudah dua bulan aku tidak membayar sewa rumah. Kalau sampai bulan depan aku belum juga dapat membayar, mau tidak mau, aku harus pindah dari rumah tersebut, mas.." cerita Ari suatu malam padaku.

"udah.. kamu tinggal di rumahku aja dulu..." ucapku, ketika Ari menceritakan semuanya padaku. Ari memang semakin terbuka kepadaku, bukan cuma pakaiannya saja yang dibuka di depanku, tapi juga seluruh cerita kehidupannya.

"tapi aku gak mau jadi beban buat mas Dodi dan anak-anak.." balas Ari dengan nada sedih.

"kamu bukan beban, Ri. Justru saya merasa sangat terbantu, dengan adanya kamu di rumah ini. Nanti kamu bisa sekalian antar jemput anak-anak ke sekolah, kan motormu masih ada. Jadi saya gak perlu lagi membayar lebih untuk menitipkan anak-anak di sekolah." aku berucap lagi, kali ini dengan nada yang sangat serius.

"kalau mas Dodi gak keberatan, aku mau, mas.." balas Ari setuju.

"tapi aku gak bisa bayar kamu pakai uang, loh.." ucapku lagi.

"gak apa-apa, mas. Gak di bayar pakai uang, tapi bayar pakai itu aja, ya.." ucap Ari dengan nada menggoda, sambil menunjuk sesuatu di bawah perutku.

"ah, kamu bisa aja. Kalau untuk itu, saya selalu siap buat kamu, Ri. Kapan pun..." aku membalas dengan nada lebih menggoda lagi. Ari hanya tersenyum.

Jadilah sejak saat itu, Ari tinggal satu atap denganku, tentu saja dengan anak-anakku juga. Kami harus bisa juga menjaga sikap, terutama saat di depan anak-anak. Kami tak ingin mereka curiga, kalau aku ada apa-apa dengan Ari. Setiap hari Ari mengantar dan menjemput anak-anak ke sekolah.

Setiap hari Ari memasak, membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Dan hampir setiap malam, Ari juga melayaniku di ranjang. Aku dan Ari sudah hidup, bak sepasang suami istri.

Sungguh sebuah kehidupan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dulu waktu kecil, aku bercita-cita menjadi seorang pengusaha sukses dan hidup bahagia dengan sebuah keluarga kecil. Tapi itu dulu, sebelum saya mengenal Ari. Tapi semenjak kehadiran Ari, aku tidak lagi memikirkan tentang masa depanku, aku hanya ingin menikmati setiap keindahan yang diberikan Ari padaku.

Mungkin ini bukanlah kehidupan yang baik yang harus aku jalani, namun saat ini kehadiran Ari benar-benar membuatku terlena.

Hubungan kami mungkin memang indah, bahkan sangat indah bagiku. Menjadi bagian dari kehidupan Ari, si pria tampan tersebut, adalah sebuah keindahan. Ia memasak untukku, dan melayaniku di ranjang, adalah sesuatu yang luar biasa. Aku begitu menikmati hal tersebut.

Namun, harus aku akui, ini semua adalah sebuah kesalahan. Kami mungkin saja tetap bisa menutupi hubungan kami di depan orang-orang. Tapi sampai kapan?

Sampai kapan, kami mampu menjaga rahasia ini?

*****

Waktu masih terus bergulir, tanpa bisa dicegah atau pun dipacu.

Ari masih saja terus melakukan semua aktivitasnya bersama keluarga kecilku. Berbulan-bulan, Ari masih belum juga mendapatkan pekerjaan. Aku memang selalu memberi Ari sejumlah uang, untuk kebutuhannya.

Meski pun aku merasa bahagia dengan semua itu, tapi tetap saja, aku mulai merasa kurang nyaman tinggal serumah dengan Ari.

Berita-berita tak sedap tentang kami, sudah mulai menyebar. Aku dan Ari, sepakat untuk mengabaikan hal tersebut. Namun yang aku pikirkan, efeknya bisa saja mempengaruhi anak-anak.

Hinga suatu saat, kedua orangtuaku datang berkunjung. Mereka begitu gembira bertemu denganku dan juga cucu-cucunya. Setelah lebih dari setahun mereka tidak bertemu.

Aku terpaksa memperkenalkan Ari kepada orangtuaku, sebagai pengasuh anak-anakku.

"kalau pengasuhnya perempuan, takutnya malah dicurigai, karena aku yang seorang duda.." jelasku, ketika orangtuaku mempertanyakan kenapa pengasuh anak-anak justru seorang laki-laki.

Orantuaku, menginap beberapa malam di rumah kami. Selama itu, aku harus bisa menjaga sikap. Terutama pada malam hari, aku harus bisa menahan keinginanku untuk bisa tidur bersama Ari.

Setelah orangtuaku pulang, keadaan kembali seperti sedia kala. Malam itu, aku pun memanfaatkan kesempatan untuk bisa tidur dengan Ari lagi. Setelah beberapa malam tak mendapatkan 'jatah', Ari menjadi sangat liar di ranjang, yang membuatku sedikit kewalahan.

Kami sama-sama menumpahkan segala kerinduan kami selama beberapa hari ini.

Harus aku akui, kalau Ari memang sangat mahir melakukan hal tersebut, aku selalu saja dibuatnya terbuai dan terlena dengan segala permainan indahnya.

Dan sebenarnya hal itulah yang membuatku semakin menyukai Ari. Ia selalu mampu membuatku merasa puas dan lega.

*******

Setahun kemudian berlalu, Ari pun akhirnya mendapatkan sebuah pekerjaan. Hal itu tentu saja, merubah semua rutinitasnya. Anak-anak kembali aku titipkan di sekolah.

Ari pun memutuskan untuk mencari tempat tinggal sendiri. Aku pun dengan terpaksa menyetujuinya.

"Aku bukannya gak mau, tetap tinggal seatap dengan mas Dodi, tapi kecurigaan para tetangga membuatku harus bisa menjaga jarak dari keluarga mas Dodi. Apa lagi sekarang aku sudah punya kerja, jika terus tinggal bersama mas Dodi, jelas hal itu, akan membuat orang-orang semakin curiga." begitu alasan Ari untuk segera pindah dari rumah kami.

Dan dengan perasaan berat aku pun harus merelakan kepindahan Ari.

Terus terang aku memang merasa kehilangan, tak ada lagi yanga akan memasak untuk kami, mencuci pakaian kami dan juga membersihkan rumah.

Tapi biar bagaimana pun itu adalah pilihan hidup Ari, aku tak mungkin mencegahnya.

Ari masih rutin mengunjungiku, terutama pada malam hari. Tapi tentu saja, ia tidak pernah lagi menginap. Ari dirumahku hanya beberapa jam, hanya sekedar untuk melaksanakan kegiatan rutinitas malam kami. Dan aku akan menyambutnya dengan perasaan senang.

Hal itu terus berlanjut. Aku dan Ari masih terus menjalin hubungan. Aku mungkin telah jatuh cinta pada Ari. Tapi untuk tetap berharap agar selalu bersamanya, rasanya itu terasa mustahil.

Biar bagaimana pun, aku dan Ari sama-sama laki-laki, kami tidak mungkin bisa menikah. Kalau boleh jujur, seandainya saja bisa, aku ingin menjadikan Ari sebagai pengganti istriku.

Tapi siapa yang bisa melawan takdir, tak satu pun. Tak terkecuali kami berdua.

Aku memang menyayangi Ari, tapi aku juga harus realisistis. Ari tidak akan sepenuhnya bisa menggantikan sosok istriku, meski sebenarnya kami berdua sangat menginginkannya.

Di satu sisi, aku harus menjalani kehidupan sebagaimana layaknya seorang laki-laki, dan menjadi ayah bagi anak-anakku. Apa lagi sekarang kedua anakku hanya mengandalkanku sebagai satu-satunya orangtua mereka.

Namun di sisi lain, aku juga membutuhkan Ari. Aku juga mencintainya. Aku tak ingin berpisah darinya. Aku ingin selalu bersamanya. Menikmati setiap keindahan yang terjadi diantara kami. Meski aku sendiri tidak pernah tahu pasti, seperti apa sebenarnya perasaan Ari padaku.

Selama ini ia hanya melayaniku, meski aku tahu ia sangat menyayangiku, tapi Ari tak pernah benar-benar mengungkapkan perasaannya padaku.

Aku tak tahu pasti, apa ia benar-benar mencintaiku. Atau ia hanya sekedar memanfaatkan kesepianku selama ini? Atau sebenarnya ia hanya kasihan padaku?

Pada awalnya aku memang tidak peduli tentang perasaan Ari padaku, tapi sekarang aku justru semakin tenggelam dengan rasa yang hadir dihatiku untuknya.

******

Namun beginilah takdir, kita tidak terkadang tak bisa menebaknya. Semua yang terjadi terkadang di luar kendali kita.

Ari bercerita padaku, bahwa ia akan dinikahkan dengan gadis pilihan orangtuanya di kampung.

Terus terang aku sangat kecewa mendengar hal tersebut. Tapi sebagai laki-laki tentu saja aku tidak ingin terlihat lemah. Karena itu aku berusaha bersikap sewajar mungkin, dan memberi dukungan penuh atas pernikahan Ari.

Biar bagaimana pun Ari memang harus menjalankan takdirnya sebagai seorang laki-laki, menikah, punya anak dan menjadi kepala rumah tangga.

Ari berhak untuk bahagia, meski bukan denganku.

Antara kecewa dan pasrah, aku pun berusaha menghadiri pesta pernikahan Ari. Aku jauh-jauh datang ke kampungnya hanya untuk mengucapkan selamat padanya.

Namun saat aku kembali ke kota, aku akhirnya memutuskan untuk pindah.

Aku tidak ingin lagi terus berada di rumah ini, terlalu banyak kenangan di rumah ini.

Aku tidak ingin lagi mengingatnya. Biar bagaimana pun Ari sekarang sudah punya seorang istri, dan aku harus belajar untuk melupakannya.

Namun jika aku terus disini, aku pasti tidak akan bisa menghindari pertemuanku dengan Ari nantinya, ketika ia kembali ke kota.

Karena itu aku pindah rumah, pindah kota dan bahkan juga pindah tempat kerja.

Aku sebenarnya diam-diam terus mencari info tentang kehidupan Ari setelah ia menikah. Dan menurut kabar yang aku terima, Ari sudah bahagia dengan hidupnya yang baru.

Ia bahkan sudah mempunyai seorang anak perempuan.

Meski hatiku terasa perih, tapi aku turut bahagia untuknya.

Sampai akhirnya aku pun memutuskan untuk menikah lagi, kali ini dengan seorang janda tanpa anak.

Meski sebenarnya aku tidak mencintainya, tapi biar bagaimana pun anak-anakku butuh kasih sayang seorang ibu, dan aku berharap wanita yang aku nikahi ini mampu memberikannya pada anak-anakku.

Aku dan Ari, memang tidak pernah bertemu lagi. Tapi segala kenangan yang terjadi diantara kami, selalu kusimpan rapi di sudut hatiku.

Ari adalah salah satu hal terindah yang pernah singgah di perjalanan hidupku. Dan aku yakin, Ari, juga merasakan hal yang sama.

Tapi kami harus menjalani hidup kami, sebagaimana kodrat kami sebagai seorang laki-laki.

*****

Aku yakin mungkin ada dari kalian yang pernah mendengar tentang kisah ini dengan versi yang berbeda. Versi cerita dari sudut pandang Ari sendiri.

Karena ini memang balasan untuk kisah Ari tersebut. Aku hanya ingin Ari tahu, bahwa aku juga mencintainya. Meski ia tahu hanya melalui sebuah tulisan.

Terima kasih, telah sudi mendengarkan kisah ini. Semoga terhibur, dan semoga ada hikmah yang bisa diambil dari kisah sederhana ini.

Salam santun dari saya...

*****

Selesai ...

Nasib cowok kampung (part 1 & 2)

Masa depan itu seperti hantu! Menakutkan!

Kalimat itu terus membayangiku setiap saat.

Aku memang merasa sudah tidak punya masa depan lagi, terutama sejak aku berhubungan dengan om Zainan suami tante Ratna.

Siapa sebenarnya om Zainan?

Bagaimana kami bisa terjerat hubungan terlarang?

Dan bagaimana pula hubungan kami akhirnya?

Simak kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya, bagi yang baru mampir jangan lupa untuk subscribe channel ini dan klik tanda lonceng untuk menyaksikan video-video menarik lainnya.

Buat seluruh subscriber setia CKP channel, terima kasih atas segala saran, masukan dan dukungannya selama ini.

Terima kasih atas kesetiaannya dan selamat menikmati.

*****

Namaku Sabri. Saat kisah ini terjadi aku masih kuliah semester tiga.

Aku berasal dari kampung. Orangtua dan kakak-kakakku tinggal di kampung.

Aku seorang anak bungsu, karena itu juga kedua orangtuaku sangat ingin aku kuliah.

Karena ketiga kakak-kakakku semuanya perempuan dan sudah menikah. Tak satu pun dari mereka yang sempat duduk di bangku kuliah.

"anak perempuan, untuk apa sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya juga jadi ibu rumah tangga.." begitu ucapan ayahku, sebagai alasan kenapa ketiga kakak-kakakku tidak diperbolehkan untuk kuliah.

"dan kamu Sabri, sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarga kita, kamu harus bisa mengangkat derajat keluarga ini. Karena itu ayah ingin kamu kuliah dan sukses nantinya.." ucap ayah melanjutkan.

Tak satu pun dari kami yang bisa membantah setiap ucapan yang terlontar dari mulut ayah.

Ayah memang terkenal sangat tegas kepada kami, anak-anaknya.

Dan terus terang aku memang selalu merasa takut kepada ayah. Terutama aku merasa takut untuk mengecewakannya.

Karena itu, aku selalu berusaha belajar dengan sungguh-sungguh, supaya bisa memenuhi permintaan ayah.

Hingga akhirnya aku bisa lulus SMA dengan hasil yang memuaskan, dan juga mendapatkan bantuan beasiswa untuk kuliah.

Namun untuk kuliah aku memang harus tinggal di kota, karena jarak kampus tempat aku kuliah sangat jauh dari kampung halamanku.

Beruntunglah ayahku punya seorang adik perempuan yang tinggal di kota. Aku memanggilnya tante Ratna.

Tante Ratna punya seorang suami yang bekerja sebagai security di kampus tempat aku kuliah.

Suami tante Ratna namanya om Zainan. Ia sudah bekerja sebagai security sudah lebih sepuluh tahun.

Rumah mereka juga tidak begitu jauh dari kampus, bisa ditempuh dengan hanya berjalan kaki.

Rumah tante Ratna tidak terlalu besar, hanya ada dua kamar tidur, ruang tengah dan sebuah dapur kecil di bagian belakang.

Namun mereka, walau sudah lebih sepuluh tahun menikah, belum juga mempunyai seorang anak.

Tante Ratna sendiri juga bekerja di sebuah mini market tak seberapa jauh dari rumahnya.

"karena belum punya anak, tante sering merasa kesepian di rumah, karena itu juga om kamu mengizinkan tante untuk tetap bekerja.." jelas tante Ratna suatu hari.

Usia tante Ratna sudah 33 tahun lebih, sedangkan om Zainan sudah berumur 38 tahun.

Harapan mereka untuk bisa punya keturunan sebenarnya masih cukup banyak, tapi sepertinya mereka berdua sudah pasrah akan keadaan mereka saat ini.

Apa lagi kesibukan kerja membuat mereka berdua, seakan bisa melupakan hal tersebut.

Tante Ratna dan om Zainan terlihat sangat senang, ketika aku akhirnya tinggal bersama mereka.

Sebuah kamar kosong, yang selama ini tidak ditempati, mereka berikan padaku, untuk tempat aku tinggal.

"kamu anggap aja ini seperti rumah kamu sendiri.." begitu ucap om Zainan, ketika pertama kali aku tinggal disana.

Karena keterbukaan mereka berdua menerima aku disana, aku menjadi cukup betah dan merasa nyaman.

Setidaknya hal ini cukup mengurangi biaya untuk tempat tinggalku, karena tidak perlu lagi menyewa sebuah kost.

Biar bagaimana pun, penghasilan ayahku di kampung memang terbilang cukup pas-pasan.

"kalau untuk makan dan tempat tinggal, kamu gak usah khawtir. Selama kami masih bekerja, kami akan menanggung semuanya. Tapi untuk biaya kuliah, tante dan om gak bisa banyak membantu.." ucap tante Ratna.

"iya, tante. Saya udah dikasih tempat tinggal dan makan aja, udah lebih dari cukup kok, tante.." balasku.

*****

 Hari berlalu, bulan berganti, sudah hampir satu semester aku tinggal bersama tante Ratna dan om Zainan.

Awalnya semua berjalan dengan sangat baik. Tante Ratna dan om Zainan sangat baik padaku.

Aku dan mereka berdua sudah semakin dekat dan akrab, terutama dengan om Zainan.

Bukan saja karena kami sama-sama laki-laki, tapi juga karena hampir setiap hari kami pergi ke kampus bersama-sama, meski dengan tujuan yang berbeda.

Om Zainan ke kampus untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang security, dan aku sendiri ke kampus untuk kuliah.

Aku dan om Zainan jadi sering ngobrol.

Sikap om Zainan sangat lembut padaku, jauh berbeda dengan perlakuan ayahku padaku.

Ayahku sangat tegas dan terkesan sedikit kasar, sementara om Zainan begitu perhatian dan memperlakukanku dengan baik.

Aku mulai menyukai sosok om Zainan, setidaknya sebagai sosok yang mampu melindungiku.

Kasih sayang yang om Zainan berikan, membuatku merasa nyaman dan merasa diperhatikan.

Om Zainan selalu bertanya tentang segala kegiatanku di kampus, dan selalu memberikan aku supprot saat aku merasa kehilangan semangat.

Perhatian dan kasih sayang yang om Zainan berikan, semakin lama ternyata semakin menumbuhkan rasa sayang di hatiku kepada om Zainan.

Perlahan benih cinta pun tumbuh di hatiku untuknya.

Ya, tanpa pernah aku sangka sebelumnya aku ternyata telah jatuh cinta pada om Zainan.

Sebenarnya om Zainan memang menarik secara fisik. Tubuhnya padat berisi dan berotot.

Perutnya sedikit membuncit, namun hal itu justru membuatnya terlihat gagah.

Wajahnya cukup tampan, meski sudah sedikit mengerut karena termakan usia.

Saya suka memperhatikannya diam-diam. Memikirkannya di hampir setiap malamku.

Aku seakan menemukan sosok yang aku kagumi pada diri om Zainan.

Semakin hari perasaan cintaku pada om Zainan semakin tumbuh dan kian membesar.

Aku tak sanggup lagi menahannya.

Hingga pada suatu malam, saat itu hanya aku dan om Zainan yang berada di rumah.

Sementara tante Ratna masih di mini market, ia mendapat giliran shift malam.

"om Zainan sangat baik padaku, om Zainan juga tampan dan gagah. Saya.. saya.. jadi suka.. sama om.." suaraku terbata, saat itu kami sedang duduk di ruang tamu rumah tersebut.

Om Zainan repleks menatapku tajam. Keningnya mengerut, ia seperti mencoba memahami maksud dari pernyataanku barusan.

"sebenarnya om sudah tahu, meski om belum begitu yakin.. tapi dari sikapmu akhir-akhir ini, om mulai percaya kalau kamu memang menginginkan om.." om Zainan berucap juga akhirnya setelah cukup lama ia menatapku.

Meski merasa sedikit kaget akan pengakuan om Zainan barusan, tapi aku berusaha bersikap setenang mungkin.

Aku percaya, bahwa tingkahku selama ini kepada om Zainan sebenarnya cukup menggambarkan perasaanku padanya.

Hanya saja aku tidak menyangka kalau om Zainan akan berucap begitu santai akan hal tersebut.

Aku kira awalnya, om Zainan akan marah karena pengakuanku.

Tapi...

"om juga suka sama kamu, Sab..." tegas suara om Zainan, yang membuatku semakin merasa kaget.

"selama ini om selalu berusaha memberi perhatian lebih sama kamu. Om berharap kamu bisa mengerti akan hal tersebut..." om Zainan melanjutkan kalimatnya.

"dan sekarang setelah pengakuan jujur kamu barusan, om jadi sangat berani untuk mengungkapkan perasaan om padamu.." lanjutnya lagi, sambil terus menatapku.

"lalu... sekarang kita harus bagaimana, om?" tanyaku kemudian.

"kalau memang kita saling suka, bukankah sebaiknya kita mencoba menjalin hubungan yang lebih serius?!" balas om Zainan dengan nada sedikit bertanya.

"tapi bagaimana dengan tante Ratna, om?" tanyaku lagi.

"biar bagaimana pun hubungan kita adalah sebuah rahasia, Sab. Kita harus menjalin hubungan secara diam-diam tanpa diketahui siapa pun, terutama oleh tante kamu.." jawab om Zainan.

Aku mengangguk setuju.

Dan tak lama berselang, om Zainan pun mengajak masuk ke kamarku.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku pun melakukan hal tersebut bersama om Zainan.

Hatiku terasa berbunga. Semuanya terasa indah malam itu.

Om Zainan benar-benar membuatku terlena akan sebuah hubungan cinta yang indah.

Apa lagi aku yang baru pertama kali merasakan hal tersebut.

Aku merasa terkesan. Sungguh sebuah pengalaman yang begitu indah dalam hidupku.

*****

"sebenarnya om menikah dengan tante kamu, bukan karena om jatuh cinta padanya. Tapi karena kodrat om sebagai laki-laki." cerita om Zainan, saat suatu malam kami kembali melakukan hal tersebut.

Aku dan om Zainan memang selalu berusaha mengatur waktu agar kami bisa berduaan, terutama saat tante Ratna pergi bekerja.

"om sudah berusaha sekuat mungkin untuk bisa mencintai tante kamu, tapi om tetap merasa biasa saja. Meski tentu saja om harus tetap menjalankan kewajiban om sebagai seorang suami."

"bertahun-tahun menikah, kami belum juga dikaruniai anak. Dan hal itu membuat om jadi sering merasa frustasi dan kesepian. Hingga kehadiran kamu di rumah ini, mampu mengubah segalanya.."

"om jadi punya teman untuk bercerita. Dan semakin hari om jadi semakin suka sama kamu. Karena itu juga om berusaha bersikap sebaik mungkin sama kamu, dan berharap kamu juga bisa menyukai om.."

"sekarang semua mimpi om tentang kamu telah menjadi nyata. Om merasa bahagia saat ini. Selama ini hidup om terasa hampa."

"sejak menikah dengan tante kamu, om tidak pernah lagi berhubungan dengan laki-laki, meski keinginan itu selalu ada. Tapi om selalu berusaha menepisnya.."

"namun ketika bersama kamu, om tidak bisa lagi menahannya. Apa lagi ketika om tahu, kalau kamu juga menyukai om.." cerita om Zainan panjang lebar.

Aku tidak begitu peduli tentang masa lalu om Zainan. Tapi terus terang ada rasa bersalah, ketika aku ingat akan tante Ratna.

Biar bagaimana pun, aku tanpa sengaja telah merebut om Zainan darinya.

Meski hubungan mereka berdua tetap terlihat baik-baik saja.

****

Waktu tetap terus berlalu, sudah hampir setahun hubungan terlarangku dengan om Zainan terjalin.

Setahun hubungan kami, semua berjalan baik-baik saja. Aku merasa bahagia dengan semua itu.

Karena biar bagaimana pun, om Zainan lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku.

Tapi sepandai apa pun kami menyimpan bangkai, pada akhirnya akan tercium juga.

Suatu malam, saat kami sedang bermesraan, tiba-tiba tante Ratna datang dan memergoki kami yang sedang mendaki bersama.

Tante Ratna tertegun. Ia terlihat sangat syok.

Kami berdua segera saling melepaskan diri, dan dengan tergesa memakai pakaian kami lagi.

Tapi tante Ratna sudah terlanjur jatuh pingsan. Tubuhnya ambruk tiba-tiba, beruntunglah om Zainan dengan cekatan segara menyambut tubuh itu, sehingga tidak sampai menyentuh lantai.

Aku sendiri tidak tahu, bagaimana perasaanku saat itu.

Antara malu, takut, dan merasa sangat bersalah.

Om Zainan membaringkan tante Ratna di ranjang, kemudian berusaha membuat tante Ratna sadar dari pingsannya.

Separuh hatiku tidak ingin tante Ratna segera sadar, aku belum siap menghadapinya.

Tapi tentu saja ada kekhawatiran, bagaimana kalau tante Ratna benar-benar tidak siuman lagi?

Rasa bersalah pasti akan menghantuiku sepanjang hidupku.

"sebaiknya kamu pergi aja dulu dari rumah ini, Sab. Biar om yang akan menjelaskan semuanya pada tantemu kalau ia sadar nanti.." ucap om Zainan, sambil memegang kedua pundakku.

"tapi saya takut, om. Bagaimana kalau tante Ratna cerita pada ayah? Habislah aku, om.." balasku terdengar pilu.

"kamu tenang ya, Sab. Kita akan lewati semua ini bersama-sama. Tapi sekarang kamu harus pergi dulu, om akan berusaha meyakin tante kamu, agar tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun, terutama kepada ayahmu.." ucap om Zainan lagi, kali ini ia melepaskan tangannya.

Mungkin memang sebaiknya aku menghindar dulu dari sini, karena jika tante Ratna siuman, dan ia melihatku disini, ia pasti akan meluahkan semua kekecewaannya pada kami.

Mungkin memang sebaiknya, aku biarkan om Zainan yang akan menjelaskan semuanya.

Karena itu, aku pun perlahan mulai melangkah meninggalkan rumah tersebut, walau perasaanku sendiri masih terasa tak karuan.

*****

Antara perasaan malu, takut dan rasa bersalah aku melangkah dalam kegelapan malam.

Pikiranku melayang jauh, memutar kembali kejadian tragis yang baru saja aku alami.

Entah bagaimana keadaan tante Ratna saat ini. Aku berharap ia akan baik-baik saja.

Meski dengan begitu, resikonya sangat besar bagiku. Tante Ratna bisa saja menceritakan hal tersebut kepada ayah dan ibuku.

Dan jika hal itu terjadi, aku tidak akan pernah sanggup lagi untuk pulang.

Sementara om Zainan sendiri, belum mengabari sampai saat ini.

Aku duduk di sebuah bangku taman, dengan pikiranku yang kacau balau.

Hingga pagi menjelang aku bahkan tidak tidur sedetik pun.

Aku ingin segera menghubungi om Zainan, aku ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tapi aku merasa takut.

Ahk... aku benar-benar merasa bingung.

Mengapa hal ini harus terjadi padaku?

Tiba-tiba rasa penyesalan menyeruak ke dalam rongga dadaku.

Aku menyesal mengapa aku tidak bisa menahan perasaanku.

Mengapa aku dengan begitu saja menerima kehadiran om Zainan di dalam hatiku?

Sementara aku tahu, kalau ia adalah suami dari tanteku sendiri.

Aku merasa jahat. Aku merasa tak berguna. Dan masa depan sudah semakin tidak jelas.

Masa depanku benar-benar seperti hantu. Menakutkan!

Apa jadinya kehidupanku ke depannya?

Bagaimana masa depanku?

Akankah semuanya akan baik-baik saja?

Mungkinkah om Zainan bisa mengatasi ini semua?

Beribu pertanyaan berserakan di benakku.

Aku tak sanggup lagi memikirkannya.

Aku putus asa...!

****

Dering handphone mengagetkanku tiba-tiba. Aku menatap layar handphone itu.

Itu nomor ayahku!

Tiba-tiba perasaan takut kembali menghantuiku.

Mungkin tante Ratna sudah menghubungi ayahku dan menceritakan semuanya. Pikirku.

Aku tidak ingin menjawab telepon tersebut. Aku takut. Aku takut menghadapi kenyataan.

Handphone-ku kembali berdering untuk yang ketiga kalinya. Masih dari ayah.

Aku masih tidak mengangkatnya. Aku bahkan berniat untuk mematikan handphone segera.

Saat sebuah pesan masuk ke wa-ku.

'angkat telepon dari ayahmu, Sabri. Kamu tenang aja, semuanya baik-baik saja, kok..'

pesan itu berasal dari om Zainan.

Meski aku tidak begitu mengerti arti maksud dari kalimat baik-baik saja tersebut, tapi setidaknya aku merasa sedikit lega.

Karena itu juga, aku pun segera mengangkat telepon dari ayahku, ketika untuk keempat kalinya ia menghubungiku.

"kamu dimana?" itu kalimat pertama ayahku tanpa basa-basi, suaranya terdengar sangat marah.

"saya... saya.. saya di rumah teman, Yah.." jawabku terbata.

"kamu kembali ke rumah tante kamu sekarang dan kemasi semua barang-barang kamu dan segera kamu pulang ke kampung.." suara Ayah terdengar sangat tegas.

Kemudian tanpa basa-basi ia pun menutup telepon-nya.

Seperti biasa aku tidak pernah berani membantah permintaan ayah. Aku segera kembali ke rumah tante Ratna.

Sesampainya disana aku tidak menemukan siapa-siapa disana. Tidak ada tante Ratna dan juga tidak ada om Zainan.

Beribu pertanyaan kembali menghantui pikiranku.

Kemana mereka berdua? Dan apa yang terjadi sebenarnya?

Tapi aku segera mengabaikan segala pertanyaan tersebut. Aku bergegas mengemasi beberapa barangku dan segera keluar dari rumah tersebut.

Aku segera menuju terminal dan mencari kendaraan umum yang menuju kampungku.

Meski perasaanku sangat terasa tidak nyaman, tapi aku memang harus pulang.

Tak peduli apa pun yang akan terjadi nanti. Tak peduli sekali pun ayah membunuhku.

Aku memang bersalah dan aku pantas untuk dihukum.

Aku tak ingin lari lagi. Aku harus menghadapi kenyataan ini, meski terasa begitu menyakitkan.

*****

Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang serba salah.

Ayah menatapku dengan tatapan penuh kemarahan.

"ayah kecewa sama kamu, Sabri! Kamu satu-satunay harapan ayah untuk bisa mengubah nasib kita. Tapi apa yang kamu lakukan benar-benar membuat ayah merasa malu." suara ayah terdengar sangat tajam di telingaku.

"padahal selama ini ayah selalu membanggakan kamu di depan orang-orang. Tapi apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu harus melakukan hal yang sangat memalukan tersebut?!" suara ayah semakin ketus.

Aku hanya tertunduk. Aku tak sanggup menatap wajah kemarahan ayah. Sementara ibuku hanya menatapku dengan perasaan iba.

Aku tahu, betapa malunya ayah dan juga keluargaku saat ini, karena telah mengetahui perbuatanku.

"kita memang miskin, nak. Tapi Ibu dan ayah tidak pernah mengajarkan kalian untuk jadi seorang pencuri.." ibu berucap dengan suara terisak.

Sementara ayah masih menatapku dengan tajam.

"mencuri?" suaraku pelan, penuh dengan tanda tanya.

"kamu tidak usah mengelak lagi, Sabri. Tante kamu udah cerita semuanya. Kamu telah mencuri uang tabungan tante kamu.." kali ini ayah yang berbicara lagi.

Oh, antara lega dan kecewa aku mendengar semua itu.

Lega, karena ternyata tante Ratna tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya. Kecewa karena aku harus kehilangan kesempatan untuk kuliah.

"ayah tahu, uang yang ayah kirimkan tidak cukup untuk biaya kamu kuliah. Tapi bukan berarti kamu harus mencuri, Sab. Setidaknya kamu bisa cerita sama ayah atau sama ibu kamu, kalau kamu memang butuh uang.." ayah berucap lagi.

Untuk selanjutnya aku tidak begitu menyimak setiap kalimat dari ayah mau pun dari ibuku.

Mereka sangat marah karena aku yang dikatakan telah mencuri oleh tante Ratna. Tapi itu tidak masalah. Setidaknya itu jauh lebih baik, dari pada mereka mengetahui cerita yang sebenarnya.

Aku biarkan mereka memarahiku habis-habisan. Aku tidak begitu peduli.

Namun yang menjadi tanda tanya bagiku, apa yang sebenarnya terjadi, hingga tante Ratna harus menceritakan kejadian bohong kepada ayah?

Berhasilkah om Zainan membujuk tante Ratna untuk tidak menceritakannya kepada ayah?

Jika benar, lalu mengapa aku harus dipaksa kembali ke kampung?

Lalu bagaimana dengan hubungan tante Ratna dan Om Zainan?

Akankah mereka masih hidup bersama?

Dan bagaimana pula dengan hubunganku dan om Zainan selanjutnya?

Akankah aku masih punya kesempatan untuk bertemu om Zainan kembali?

Setidaknya untuk mendapatkan penjelasan dari semua pertanyaan yang ada di benakku saat ini...

******

Part 2

(Bersama sang duda)

Jumpa lagi dengan saya, masih di channel yang sama dan dengan kisah yang berbeda.

Terima kasih udah mampir, udah subscribe, udah like dan udah komen.

Buat seluruh subscriber setia saya, terima kasih atas segala masukannya, terima atas saran dan dukungannya selama ini.

Bagi yang baru mampir, seperti biasa jangan lupa Subscribe channel ini dan klik tanda lonceng untuk menyaksikan video-video menarik lainnya di channel ini.

Sekali lagi terima kasih dan selamat menikmati.

****

 Masa depan itu seperti hantu. Menakutkan!

Huh.. aku menghembuskan napas berat.

Sekarang aku mau tidak mau harus berhenti kuliah, dan harus bekerja di kampung.

Setelah semua yang terjadi.

Yah, akhirnya aku tahu. Aku tahu semuanya. Setiap pertanyaan yang tersimpan di dalam benakku akhirnya terjawab.

Setelah kejadian tragis yang menimpaku di rumah tante Ratna, dimana ia memergoki-ku sedang bercumbu dengan suaminya om Zainan, hingga beliau pingsan.

Kemudian ayahku menghubungiku untuk memintaku segera pulang. Aku pulang dengan perasaan berat.

Dan bersiap dicaci maki ayahku, yang ternyata hanya mengetahui kalau aku dilaporkan oleh tante Ratna telah mencuri di rumahnya.

Tante Ratna memang tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya, tapi aku tidak lagi bisa kuliah dan harus kembali tinggal di kampung.

Seminggu setelah kejadian tersebut, aku pun memberanikan diri untuk menghubungi om Zainan dan mengajaknya bertemu.

Meski berat, om Zainan pun menyetujuinya.

Saat itulah om Zainan menceritakan semuanya.

Om Zainan ternyata berhasil membujuk tante Ratna untuk tidak menceritakan kejadian tersebut kepada ayahku, dengan syarat om Zainan harus menceraikannya.

Om Zainan dan tante Ratna bercerai dan berpisah, sehingga aku tidak bisa lagi tinggal di rumah mereka untuk melanjutkan kuliah.

Sebagai pelajarannya untukku atas keinginan tante Ratna, ia melaporkan kepada ayahku kalau aku telah mencuri di rumahnya.

"tante kamu tak ingin kamu terus kuliah dan tinggal di kota, karena menurutnya jika kamu masih tinggal di kota, kamu akan terus berhubungan dengan om, dan tante kamu tidak ingin masa depanmu rusak karena om.."

"lagi pula menurutnya, sekalipun kita tidak lagi berhubungan, akan banyak laki-laki homo lain yang akan menjalin hubungan dengan kamu, Sab."

"dan menurut tante kamu juga, jika kamu kembali tinggal di desa, kamu tidak akan lagi terjerumus dalam hubungan sesama jenis, karena kamu akan selalu diawasi oleh ayahmu.."

Begitu penjelasan om Zainan padaku. Yang membuatku tertegun.

Ternyata tante Ratna tidak marah padaku. Ia tetap memikirkan pilihan terbaik untuk hidupku.

Meski pun aku tidak bisa lagi untuk kuliah, tapi setidaknya ia berharap jika aku tinggal bersama keluargaku, aku pasti akan lebih hati-hati dalam melangkah.

Menurutku, ada benarnya juga tindakan dari tante Ratna padaku. Aku menganggapnya sebagai sebuah hukuman.

Jika aku tetap tinggal di kota, aku tidak akan bisa menahan keinginanku untuk bertemu dengan om Zainan. Atau setidak-tidaknya, akan banyak kesempatan bagiku untuk terus tenggelam dalam dunia gay.

Dan lagi pula, tante Ratna sudah memutuskan untuk bercerai dari om Zainan dan menjual rumah mereka. Dengan begitu, jika aku tetap kuliah aku harus mencari tempat kost sendiri.

Sementara aku cukup tahu, kalau ayah tidak akan sanggup membiayai itu semua, tanpa bantuan dari tante Ratna.

Jadilah aku sekarang, berada kembali di kampung halamanku, dengan cap seorang pencuri dari mata ayah dan keluargaku.

Tapi sekali lagi, itu jauh lebih baik dari pada mereka mengetahui, kalau aku adalah seorang gay.

*****

Waktu terus berlalu, dan aku masih dalam ketakutan akan sebuah masa depan yang tak pasti.

Aku mulai belajar untuk melupakan sosok om Zainan.

Biar bagaimana pun aku tidak mungkin bisa lagi mengharapkan om Zainan tetap bersamaku.

Selain karena itu adalah salah satu syarat dari tante Ratna, tapi juga karena jarak diantara kami terlalu jauh.

Meski sebenarnya aku tidak sepenuhnya berubah. Tidak mudah untuk berubah, apa lagi aku sudah merasakan manisnya hal tersebut.

Hanya saja aku harus selalu bisa memendam setiap kali keinginan itu datang. Karena untuk saat ini, ayahku masih terus mengawasi setiap tindakanku.

Berbulan-bulan pun berlalu, aku sudah tidak memikirkan tentang om Zainan.

Hubunganku dengan om Zainan berakhir begitu saja. Semua bagiku hanyalah seuntai cerita yang telah menjadi masa lalu.

Sekarang aku harus menjalani kehidupanku kembali. Ayah juga sudah mulai mempercayaiku lagi, ia terlihat yakin kalau aku sudah tidak akan melakukan kesalahan lagi.

Karena itu ia akhirnya memberi aku izin untuk ikut bersama pak Anwar untuk bekerja di kota menjadi seorang pegawai di sebuah supermarket.

Pak Anwar adalah seorang manager di supermarket tersebut, dan ia sedang mencari karyawan-karyawan baru untuk dipekerjakan di supermarket tersebut.

Kebetulan pak Anwar dan ayah sudah kenal sejak lama, sehingga pak Anwar menawarkanku untuk bekerja bersamanya di kota.

Di kota aku tinggal bersama pak Anwar, yang ternyata adalah seorang duda yang ditinggal mati istrinya.

Pak Anwar hanya tinggal berdua bersama putranya yang masih remaja. Karena itu ia menawarkanku untuk tinggal bersamanya.

Pak Anwar sangat baik padaku, mungkin karena ia adalah teman ayahku.

Pak Anwar sudah berusia sekitar 42 tahun, namun ia masih terlihat tampan dan gagah.

Pak Anwar memang selalu rajin berolahraga. Bahkan di rumahnya terdapat beberapa alat olahraga, yang ia pakai ketika waktu senggangnya.

Diam-diam aku mulai mengagumi sosok pak Anwar.

Wajahnya yang tampan dan postur tubuhnya yang berotot membuatku jadi sering mengkhayalkannya.

Tapi aku selalu berusaha untuk bersikap wajar di hadapan pak Anwar. Aku tidak ingin pak Anwar tahu, kalau adalah seorang gay.

Karena jika ia tahu, aku sudah pasti akan diusirnya dari rumah dan akan dipecat dari pekerjaanku. Dan yang lebih parahnya, ia bisa saja menceritakan hal tersebut kepada ayahku.

Untuk itu aku tidak berani berharap banyak pada pak Anwar. Aku hanya bisa memendam perasaanku padanya.

Menikmati setiap khayalan indahku tentangnya.

Menjadikannya salah satu inspirasiku untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Aku hanya berharap, semoga masa depanku tak lagi seperti hantu.

Aku harus bekerja keras, agar bisa menjadi orang yang suskes seperti harapan ayah.

"apa kamu gak berniat untuk kuliah lagi, Sab?" tanya pak Anwar suatu malam, saat kami sedang duduk-duduk berdua di ruang tamu rumahnya.

"pengen sih, pak. Tapi kalau aku kuliah pasti butuh biaya besar dan aku juga tidak bisa lagi bekerja seperti ini.." jawabku pelan.

"kamu kan bisa kuliah sambil kerja, Sab. Banyak loh, orang yang bisa sukses dengan kuliah sambil kerja.." ucap pak Anwar lagi.

"iya sih, pak. Tapi kan jadwal kerja-ku cukup padat, aku takut tidak bisa mengatur waktu dengan baik.." balasku.

"kalau kamu mau, saya bisa ajukan agar kamu masuk kerjanya hanya sore sampai malam, jadi paginya kamu bisa fokus kuliah.." pak Anwar berujar sambil kali ini ia menatapku.

"emang bisa seperti itu, pak?" tanyaku.

"sebenarnya sih gak bisa, Sab. Tapi saya akan usahakan, jika kamu memang benar-benar berniat untuk kuliah lagi.." balas pak Anwar.

Setelah berpikir cukup panjang, aku akhirnya menyetujui tawaran dari pak Anwar.

"saya bisa bantu kamu, Sab. Tapi saya punya satu permintaan padamu..." ucap pak Anwar kemudian.

"permintaan? permintaan apa, pak?" tanyaku penasaran.

"saya.... saya... ingin kamu mulai malam ini menemani saya tidur...." terbata suara pak Anwar, namun mampu membuatku sedikit membelalakkan mata.

"maksud... maksud pak Anwar apa?" tanyaku.

"aku sudah lama menduda, Sab. Dan selama ini aku selalu merasa kesepian. Ingin rasanya aku menikah lagi. Tapi aku sudah terlanjur berjanji pada almarhumah istriku, bahwa aku tidak akan menikah lagi sampai setidaknya anakku kuliah nanti.." pak Anwar berujar.

"dan jika aku menjalin hubungan dengan perempuan tanpa menikah, aku takut ia akan menuntutku untuk segera menikahinya. Sementara aku belum bisa untuk itu."

"dan ketika aku tahu, kalau kamu diam-diam sering memperhatikanku. Aku jadi tertarik untuk bisa mencobanya bersama kamu. Setidaknya dengan begitu, jelas sangat tidak mungkin kamu bisa hamil dan menuntutku untuk menikahimu.."

"walau pun aku tidak tahu, apa aku bisa menikmati hal tersebut, tapi setidaknya dengan begitu segala kesepianku selama ini akan tercurahkan.."

pak Anwar mengakhiri kalimatnya, yang membuatku kian tertegun.

Sebenarnya aku memang menyukai pak Anwar. Aku sudah tertarik padanya. Dan aku memang ingin bersamanya.

Tapi ...

"bagaimana dengan anak pak Anwar sendiri? Apa ia gak bakal curiga kalau kita tidur sekamar?" tanyaku akhirnya.

"kamu hanya akan masuk kamarku, jika anakku sudah tertidur dan akan keluar sebelum ia bangun.." jelas pak Anwar.

Aku pun kemudian menyetujui tawaran dari pak Anwar tersebut.

Bukan saja karena aku memang menyukainya, tapi juga karena aku berharap, agar aku segera bisa kuliah kembali.

Jadilah semenjak saat itu, aku dan pak Anwar menjalin hubungan asmara secara diam-diam.

Aku juga mulai kuliah kembali dan sambil tetap bekerja di supermarket.

Seperti janji pak Anwar, aku bisa kuliah di pagi harinya dan masuk kerja dari sore hingga malam.

Saat aku pulang kerja, otomatis anak pak Anwar sudah masuk ke kamarnya dan tertidur.

Saat itulah aku akan menyelinap masuk ke dalam kamar pak Anwar.

Hubunganku dengan pak Anwar terasa begitu indah bagiku.

Aku sangat menikmati hal tersebut, demikian juga dengan pak Anwar sendiri.

Hingga berbulan-bulan hal itu terus terjadi.

Sampai akhirnya aku mengetahui sebuah rahasia.

Pak Anwar ternyata sebenarnya memang seorang gay sejak awal.

Aku mengetahuinya dari salah seorang rekan kerjaku.

"kamu terlihat nyaman tinggal serumah dengan pak Anwar.." ucap temanku itu.

"iya. Kenapa emangnya?" balasku bertanya.

"aku tahu siapa pak Anwar. Dulu ia pernah mengajakku tinggal di rumahnya. Tapi setelah sebulan, tiba-tiba ia menawarkanku untuk kuliah dan menjanjikanku untuk bisa mengatur jadwal kerjaku."

"aku merasa senang awalnya. Tapi kemudian ia mengajukan sebuah syarat, jika aku memang ingin kuliah sambil kerja, aku harus bersedia menemaninya tidur setiap malam.."

begitu cerita dari temanku tersebut.

"tapi karena aku yang masih normal, tentu saja merasa jijik mendengar hal tersebut dan memutuskan untuk menolak tawarannya." lanjutnya lagi.

"pak Anwar sempat marah karena aku menolaknya dan juga mengusirku dari rumahnya. Ia juga mengancam akan memecatku jika aku menceritakan tentang dirinya pada siapa pun.." temanku melanjutkan ceritanya.

"lalu mengapa sekarang kamu cerita sama saya?" tanyaku berusaha bersikap seolah-olah aku baru mengetahui hal tersebut.

"karena aku tidak ingin kamu menjadi korban selanjutnya, Sab. Jadi sebelum hal itu terjadi, sebaiknya kamu pindah saja dari sana.." balas lelaki yang berwajah cukup tampan itu.

Untuk selanjutnya aku hanya terdiam.

Terus terang aku memang merasa kaget mendengar cerita temanku tersebut. Setidaknya aku baru tahu, kalau pak Anwar adalah seorang gay.

Tapi hal tersebut tidak akan mengubah apa pun bagiku.

Karena pada dasarnya aku memang menyukai pak Anwar, terlepas dia seorang gay atau bukan.

Terlepas ia berbohong atau tidak padaku, aku juga tidak peduli.

Yang penting saat ini, aku bisa kuliah sambil kerja, dan sekaligus bisa menikmati malam bersama laki-laki yang aku cintai.

Setidaknya aku sedikit punya harapan tentang masa depan yang lebih baik.

Semoga saja masa depanku tidak seperti hantu. Menakutkan..

Ya, semoga saja..

****

Sekian...

Istriku pergi saat aku sedang terpuruk.. (part 4) sahabatku menggantikannya

Semenjak anakku, aznah yang baru berusia empat tahun itu meninggal, kehidupan rumah tanggaku dan Airin benar-benar menjadi kacau.

Aku kehilangan gairah. Aku kehilangan semangat hidup. Begitu juga istriku, Airin.

Airin sekarang jadi jarang berada di rumah. Ia banyak menghabiskan waktunya untuk berkumpul bersama teman-temannya di luar.

Sang Penuai mimpi

Airin benar-benar berubah, ia tak lagi selembut dulu. Kami bahkan sangat jarang berbicara.

Kami takut setiap kata yang keluar hanya akan membangkitkan kenangan kami akan kematian anak kami yang tiba-tiba.

"sampai kapan kamu akan seperti ini, Lif?" suara Bayu sahabatku yang selalu ada menemaniku, bahkan di saat-saat terpahit dalam hidupku.

Aku hanya menatapnya dengan mata yang memerah. Hatiku memang selalu terasa perih.

"setiap orang pernah gagal, Lif. Setiap orang pernah kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Namun itu bukan alasan untuk mereka berhenti dan menyerah.." Bayu melanjutkan.

"aku tahu ini semua sangat berat bagimu, Lif. Tapi sudah saatnya kamu bangkit lagi, Lif. Memulai lagi semuanya dari awal. Kamu pernah melewati yang lebih menyakitkan dari ini, Lif. Dan saya yakin kamu pasti bisa bangkit.."

Aku hanya menghela napas berat. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan saat ini. Kegagalan demi kegagalan terus menghantui sepanjang perjalanan hidupku.

Aku putus asa.

Hingga akhirnya aku dan Airin memutuskan untuk berpisah. Kami memilih untuk menjalani kehidupan kami masing-masing.

Semua itu kami lakukan, agar kami bisa melupakan tentang kematian anak kami satu-satunya.

Mungkin ini bukan yang terbaik, tapi aku sendiri tidak benar-benar tahu apa yang terbaik untuk hidupku sebenarnya.

"kamu yakin ingin berpisah dari istrimu, Lif?" serak suara Bayu menanyaiku.

"iya, Bay. Karena setiap kali aku melihat istriku hanya rasa sakit yang aku rasakan.." suaraku lirih.

"kami juga memutuskan untuk menjual rumah kami. Dan sekarang aku tidak punya tempat untuk sekedar berteduh.." lanjutku masih dengan nada lirih.

"kamu tahu, Lif. Aku akan selalu ada untuk kamu. Rumahku juga selalu terbuka buat kamu.." balas Bayu ringan.

"tapi saya gak enak sama istri kamu, Bay. Saya gak mungkin tinggal bersama kalian." jawabku.

"jadi apa rencana kamu sekarang?" Bayu bertanya kembali.

"saya gak tahu pasti, Bay. Namun saya akan mencoba mencari rumah kontrakan, untuk sementara.." jawabku lagi.

Aku memang masih bekerja bersama Bayu. Meski akhir-akhir ini aku jarang berada di tempat kerja. Dan beruntunglah Bayu sangat mengerti keadaanku.

Bayu membantuku mencarikan rumah kontrakan, yang berada tidak terlalu jauh dari tempat aku bekerja.

Bayu memang selalu ada untukku. Ia selalu bisa memberikan jalan keluar dari setiap persoalan yang aku hadapi.

Bayu selalu baik padaku. Kadang aku merasa tidak enak hati, harus selalu menerima bantuan darinya.

"itulah gunanya sahabat, Lif. Saling membantu dan saling menguatkan.." begitu selalu alasan Bayu, setiap kali aku membahas tentang segala kebaikannya.

Kadang aku merasa kebaikan Bayu padaku, sedikit berlebihan. Tapi sekali lagi, aku memang selalu membutuhkan Bayu.

Hingga suatu saat, Bayu mendapat sebuah musibah yang cukup tragis.

Istrinya mengalami sebuah kecelakaan dan akhirnya meninggal.

Sebagai sahabat tentu saja aku turut berduka dan berusaha menghibur Bayu.

"sekarang aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan selama ini, Lif..." ratap Bayu terdengar pilu.

"sekarang aku bisa merasakan bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Sakit, Lif.." lanjutnya.

Aku merasa perihatin melihat kondisi Bayu. Namun ia masih cukup beruntung, anaknya masih bersamanya dan kedua orangtuanya selalu memberi dukungan lebih padanya.

Meski demikian, terlihat sekali kalau Bayu begitu terpukul dengan kematian istrinya.

****

Hari-hari berlalu, tanpa bisa dicegah atau pun dipacu.

Aku dan Bayu sudah mulai pulih kembali. Kami sama-sama saling menguatkan agar bisa bangkit dari segala keterpurukan kami.

Hubunganku dengan Bayu juga terasa semakin erat. Kami sering menghabiskan waktu berdua.

Sebagai dua orang yang sama-sama kesepian, kami memang saling membutuhkan.

Semakin lama kedekatan kami seperti sudah melebihi kedekatan dua orang sahabat.

Aku selalu merasa nyaman saat berada di dekat Bayu. Aku merasa bahagia bisa selalu bersamanya.

Perasaan itu kian hari kian berkembang dan semakin membuatku bingung.

Aku selalu merasakan getar-getar aneh, saat dekat-dekat dengan Bayu.

Tiba-tiba saja wajah Bayu jadi begitu tampan di mataku. Tiba-tiba saja wajah itu selalu menghiasi angan dan mimpiku.

Oh, tidak. Apa yang aku rasakan ini?

Kenapa Bayu selalu jadi buah pikiranku?

Kenapa aku selalu memikirkannya?

Mungkinkah karena selama ini Bayu begitu baik padaku?

Mungkinkah karena selama ini Bayu selalu ada untukku?

Munkinkah karena aku yang telah dua kali ditinggal istriku dan selalu merasa kesepian?

Atau sebenarnya perasaan ini sudah ada sejak lama, bahkan mungkin sejak kami masih sama-sama SMA?

Ahk, aku benar-benar bingung dengan perasaanku saat ini.

*****

Suatu saat, aku dan Bayu merencanakan sebuah perjalanan ke sebuah daerah yang sama-sama belum pernah kami kunjungi.

Hanya kami berdua..

"sekedar untuk melepas penat, karena telah lelah bekerja beberapa bulan ini.." begitu alasan Bayu, dalam rangka usahanya untuk mengajakku.

Aku pun akhirnya setuju. Dan kami pun berangkat dengan menggunakan mobil Bayu.

Selama perjalanan Bayu terus bercerita tentang kisah-kisah kami di masa SMA dulu.

Kami menginap di sebuah hotel, sebelum esoknya kami merencanakan perjalanan kami di sebuah pantai.

Malam itu, sebelum tidur Bayu kembali mengajakku ngobrol, sambil berbaring di ranjang.

"dulu, aku sangat mengagumi kamu, Lif.." ucap Bayu di sela-sela ceritanya.

"hingga sekarang.." lanjutnya pelan.

Aku melirik Bayu. Aku ingat dulu Bayu pernah cerita kalau aku salah satu inspirasinya untuk belajar, hingga ia bisa lulus kuliah di luar negeri.

Aku pikir Bayu mengagumiku karena aku memang termasuk anak yang pintar ketika sekolah dulu.

"aku mengagumi kamu, Lif. Bukan saja karena kamu pintar, tapi juga karena kamu selalu terlihat keren. Kamu tampan dan terlihat macho. Kadang aku iri sama kamu, yang disukai banyak orang dan begitu mudah mendapatkan pacar."

Tiba-tiba Bayu terdengar menarik napas dalam.

"saya mau jujur sama kamu, Lif." ucapnya pelan.

"sebenarnya sudah sejak SMA aku suka sama kamu, Lif." suara Bayu masih pelan, namun mampu membuatku sedikit kaget dengan kalimatnya barusan.

"aku suka sama kamu dengan segala kelebihanmu itu, Lif. Dan diam-diam aku jatuh cinta sama kamu.." Bayu terus melanjutkan kalimatnya.

"namun kemudian aku sadar, bahwa apa yang aku rasakan padamu, adalah sebuah kesalahan. Karena itu setelah lulus SMA, aku pun memutuskan untuk menerima tawaran papa, untuk aku kuliah di luar negeri."

"aku berharap dengan tidak pernah bertemu kamu lagi, segala rasa cintaku padamu akan ikut sirna."

"namun aku salah, setiap hari yang ada dalam anganku hanyalah dirimu, Lif. Dan ketika akhirnya kita bisa bertemu lagi tanpa sengaja, perasaan itu kian kuat aku rasakan."

"namun aku selalu berusaha memendamnya sekuat mungkin. Apa lagi ketika kita bertemu kembali, saat itu aku sudah ditunangkan dan kamu sendiri juga sudah menikah dan memiliki anak."

"aku mencoba mengabaikan segala perasaanku padamu. Berusaha menganggap kamu hanyalah seorang sahabat.."

Bayu mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas berat.

Aku terdiam. Benar-benar terdiam. Aku tidak tahu, apa yang harus yang aku katakan saat itu.

Tapi yang pasti segala kejujuran Bayu barusan, benar-benar membuatku tergugah.

"lalu mengapa saat itu, kamu malah menjodohkanku dengan Airin?" tanyaku akhirnya, setelah kami terdiam beberapa menit.

"sejujurnya setiap hari aku selalu berusaha untuk bisa memupus segala harapanku padamu, Lif. Aku tidak ingin kamu tahu, tentang bagaimana perasaanku padamu. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski kadang aku harus menelan kepahitan karenanya.." suara Bayu terdengar serak.

Aku menarik napas berat. Aku benar-benar tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini.

Aku memang merasa nyaman saat bersama Bayu. Aku merasa bahagia saat bersamanya.

Tapi apakah itu cinta?

"aku minta maaf, Lif. Karena telah jatuh cinta padamu. Hal ini tentu saja akan merusak persahabatan kita. Tapi aku tidak mampu lagi memendamnya. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengungkap ini semua padamu, Lif."

"setelah bertahun-tahun aku berusaha memendamnya. Maafkan aku untuk semuanya.." lirih suara bayu, yang membuatku merasa tersentuh.

"lalu sekarang, kamu mau aku bagaimana, Bay?" tanyaku kemudian.

"aku mengatakan ini hanya sekedar ingin kamu tahu, Lif. Aku mengatakan ini, hanya untuk membuat hatiku menjadi lega, karena sudah jujur padamu. Meski sejujurnya aku juga berharap, kamu bisa mencintaiku dan kita bisa menjalin hubungan yang lebih erat dari sekedar sebuah persahabatan.." jawab Bayu.

"maksud kamu, kamu ingin kita pacaran?" tanyaku terdengar lugu.

"begitulah tepatnya, Lif. Tapi aku tidak akan memaksa kamu. Semua terserah padamu, Lif. Namun yang pasti, aku sangat mencintamu dan berharap bisa memilikimu lebih dari sekedar sahabat..." jawab Bayu lagi.

Sekali lagi aku menarik napas dalam.

"sebenarnya.... sebenarnya... akhir-akhir ini aku memang sering memikirkan kedekatan kita, Bay. Aku memang mulai merasa nyaman saat bersama kamu. Aku juga sering berkhayal tentang kamu. Tapi aku sendiri tidak yakin, apa yang sebenarnya aku rasakan.."

"selama ini kamu begitu baik padaku, Bay. Kamu selalu ada untukku. Hal itulah yang akhirnya menyadarkanku bahwa sebenarnya aku sangat membutuhkanmu, bahkan mungkin lebih dari sekedar sahabat.." ucapku kemudian dengan nada sedikit terbata.

Bayu tiba-tiba duduk dari rebahannya, kemudian ia menatapku dengan pandangan yang sulit aku pahami.

Tapi yang pasti mata itu terlihat begitu indah. Apa lagi Bayu menatapku dengan mengembangkan senyumnya. Senyum yang tiba-tiba terlihat begitu manis di mataku.

Ahk, mengapa semua harus seperti ini?

Setelah semua yang terjadi dalam perjalanan hidupku yang panjang. Sekarang aku justru terjebak dalam cinta pada sahabatku sendiri.

Mungkin kebersamaan kami selama ini dan segala kebaikan Bayu padaku telah mampu mengubah perasaanku yang sesungguhnya.

Atau mungkin inilah aku yang sebenarnya?

Aku memejamkan mataku beberapa saat, membayangkan hari-hari yang telah aku lewati.

Tak pernah aku sangka, setelah kegagalan demi kegagalan yang aku lalui dengan para mantan istri-istriku, justru sekarang aku jadi tertarik dengan laki-laki.

Sebenarnya aku cukup dilema.

Antara menerima ajakan Bayu untuk menjalin hubungan asmara dengannya atau berusaha menghindar dari pesona Bayu yang terus saja membayangiku.

Aku tahu, aku tidak bisa begitu saja menghindar dari Bayu. Biar bagaimana pun hingga saat ini aku masih bekerja bersama Bayu.

Dan harus aku akui, kalau Bayu adalah satu-satunya orang yang paling dekat denganku saat ini.

Selain Bayu, aku memang tidak punya siapa-siapa lagi di sini.

Kecuali kak Ning, kakakku satu-satunya yang masih tinggal di kampung. Namun kehidupannya tidaklah cukup baik, aku bahkan sering mengiriminya uang untuk membantu kehidupannya.

Jika aku harus melepaskan Bayu dan memilih jalanku sendiri, itu artinya aku harus siap kehilangan segalanya.

Aku tidak ingin terpuruk lagi. Aku tidak ingin merasakan lagi pahitnya sebuah penderitaan.

Jika dengan menerima ajakan Bayu bisa menyelamatkan hidupku, tak ada salahnya aku memberi Bayu kesempatan.

Dan lagi pula sebenarnya perasaanku pada Bayu, juga sudah mulai berkembang.

Hanya saja aku takut, jika kami menjalin hubungan asmara, lalu bagaimana masa depan kami?

Mungkinkah kami akan tinggal serumah layaknya kehidupan sepasang suami istri?

Lalu bagaimana dengan anak-anak kami?

Berbagai pertanyaan terus menghantui pikiranku.

Namun pada akhirnya aku hanya bisa pasrah. Membiarkan perjalanan nasib membawaku pada sebuah kenyataan.

Kenyataan bahwa aku dan Bayu memang sudah ditakdirkan untuk tetap bersama.

Semoga saja ini adalah yang terbaik.

Dan aku sadar, bahwa ini bukanlah akhir dari perjalanan hidupku.

Akan begitu banyak peristiwa yang akan terus terjadi sepanjang perjalanan hidupku ke depannya.

Semoga saja aku selalu kuat menghadapinya.

Ya, semoga saja..

****

Sekian...

Om Johan, pacar papaku ...

Aku memanggilnya om Johan, dan dia adalah pacar papaku.

Siapa sebenarnya om Johan?

Apa yang terjadi antara aku dan om Johan?

Dan seperti apa akhir dari kisah kami bertiga?

Simak cerita ini sampai selesai ya..

Sang penuai mimpi

Namaku Syaiful Bahrianto, orang-orang biasa memanggilku Ipul.

Dan saat ini aku sudah kuliah tahun pertama.

Aku hidup bersama seorang papa dan tinggal di sebuah rumah yang boleh dibilang cukup mewah.

Sejak aku kecil papa dan mama sudah berpisah. Aku tidak tahu apa penyebabnya dan aku tidak pernah berani bertanya kepada papa.

Namun yang pasti semenjak mereka berpisah aku tidak pernah lagi bertemu dengan mama.

Aku dibesarkan oleh papa sendirian.

Papa bekerja sebagai seorang pegawai di sebuah lembaga pemerintahan. Dan secara ekonomi kehidupan kami cukup mapan.

Namun tentu saja sebagai anak korban dari perceraian kedua orangtuaku, hidupku jadi tidak teratur.

Aku selalu merasa kekurangan kasih sayang. Aku selalu merasa kurang perhatian. Terutama dari sosok seorang ibu.

Karena itu aku jadi seorang anak yang sangat pendiam dan sedikit penakut.

*****

Sejak aku kecil dan sejak papa bercerai dari mama, papa sering mengajak om Johan datang ke rumah, bahkan om Johan juga sering menginap di rumah kami.

Om Johan mengaku, kalau ia adalah salah seorang rekan kerja papa.

Awalnya aku menganggap kehadirang om Johan di rumah kami adalah hal yang biasa.

Namun lama kelamaan, aku sering melihat mereka berdua bermesraan.

Awalnya aku tidak mengerti apa yang mereka lakukan sebenarnya.

Namun beriring bertambahnya usiaku, aku mulai paham apa yang terjadi antara om Johan dan papaku.

Apa lagi mereka selalu terlihat mesra, terutama ketika om Johan menginap di rumah kami.

Aku sering memergoki mereka melakukan hubungan layaknya sepasang suami istri.

Tapi mereka terlihat santai, dan seolah-olah menganggap aku tidak pernah tahu.

Ingin rasanya aku protes kepada papa akan hal tersebut. Tapi aku tidak pernah berani.

Hingga akhirnya aku tumbuh dan besar, dalam bayang-bayang kemesraan dua orang laki-laki dewasa.

Saat aku mulai puber, aku justru sering mengkhayalkan hal tersebut.

Aku selalu membayangkan bisa melakukan hal tersebut dengan om Johan.

Aku mulai sering memikirkan om Johan. Aku juga sering memperhatikannya diam-diam.

Mengintip papa dan om Johan sudah menjadi rutinitas bagiku, setidaknya setiap malam om Johan menginap.

Hingga aku menyelesaikan masa SMA-ku dan mulai masuk dunia perkuliahan.

Aku masih saja selalu berkhayal tentang om Johan.

Aku memang telah jatuh cinta padanya. Om Johan adalah cinta pertamaku.

*****

Suatu hari, saat aku baru saja pulang kuliah. Aku menemukan om Johan sendirian di rumah kami.

"om Johan? Kenapa disini? Dan mana papa?" tanyaku dengan nada sedikit canggung.

Aku dan om Johan memang jarang mengobrol. Karena setiap kali kesini, beliau hanya ngobrol dengan papaku.

Bahkan sebenarnya aku dan papaku juga tidak begitu dekat.

"papa kamu sedang ada tugas ke luar kota. Jadi ia memintaku untuk menemani kamu malam ini.." jawab om Johan terdengar santai.

Aku terdiam beberapa saat. Biasanya kalau papa ada tugas ke luar kota, ia selalu memintaku untuk tidur di rumah temanku atau juga di rumah tetangga kami.

Tapi entah mengapa kali ini, papa justru meminta om Johan menemaniku.

Selanjutnya aku langsung menuju kamarku, tak sanggup lebih lama lagi berduaan dengan om Johan di ruang keluarga.

Aku memang selalu berdebar-debar setiap kali menatap wajah om Johan. Aku selalu marasa gugup, saat dekat-dekat dengan om Johan.

Sebenarnya om Johan tidak terlalu tampan. Wajahnya biasa saja, tapi ia punya tubuh yang atletis dan kekar.

Aku selalu membayangkan bisa berada dalam pelukan hangat tubuh atletis itu.

Saat aku selesai mandi dan berganti pakaian, aku mendengar suara ketukan di pintu kamarku.

"siapa?" tanyaku dari dalam.

"saya. Om Johan.." balas suara tersebut dari balik pintu kamarku.

"ada apa, om?" tanyaku masih dari dalam dan berusaha berucap dengan nada sewajar mungkin.

"saya boleh masuk?" tanya om Johan lagi. "ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan kamu, Pul.." lanjutnya.

Aku terdiam. Hal penting apa yang ingin om Johan bicarakan denganku. Padahal selama ini, kami bahkan hampir tidak pernah berbicara berdua.

Namun karena penasaran, aku akhirnya membuka pintu untuk om Johan dan mempersilahkannya masuk.

Om Johan duduk dengan santai di pinggiran ranjang tidurku. Aku dengan perasaan gugup duduk sedikit jauh di sampingnya.

"om mau ngomong apa?" tanyaku akhirnya setelah kami terdiam beberapa saat.

Om Johan menatapku dengan mata sendunya. Debaran di jantungku kian menjadi-jadi. Aku buru-buru menunduk, tak berani lebih lama menatap mata indah itu.

"om tahu, kalau sebenarnya kamu sudah tahu tentang hubungan om dengan papa kamu." suara om Johan sedikit serak.

Aku mendongak kembali mendengar kalimat tersebut, menatap kembali wajah setengah tampan milik om Johan.

"om juga tahu, kalau kamu sering mengintip kami dari lobang kunci pintu. Dan om juga tahu, kalau kamu sering diam-diam memperhatikan om.." lelaki yang berusia sekitar 46 tahun itu melanjutkan kalimatnya.

Kali ini aku menunduk kembali. Aku benar-benar tidak menyangka kalau om Johan akan berkata demikian.

"sebenarnya sudah sejak lama om ingin mengatakan ini pada kamu, Pul. Tapi om merasa tidak enak hati kepada papa kamu." om Johan terus berucap, melihat aku yang hanya tertunduk.

Hening sejenak. Tiba-tiba aku merasa om Johan bangkit dari duduknya, lalu kemudian ia berpindah duduk berdempetan denganku.

"om suka sama kamu, Pul. Kamu tampan dan begitu bersih. Om sangat menyukai kamu, bahkan sudah sejak lama.." om Johan berucap sambil meraih jemariku.

Tanganku bergetar hebat. Seumur hidup aku belum pernah sedekat ini dengan seorang laki-laki.

Apa lagi saat ini, laki-laki yang ada di dekatku adalah laki-laki yang selalu menghiasi fantasi liarku selama ini.

Aku memejamkan, berharap semua itu bukanlah sebuah mimpi.

Aku menarik napas berkali-kali, sekedar menenangkan pikiran dan hatiku.

"aku... aku.. aku.. juga suka ... sama.. om..." ucapku akhirnya dengan nada terbata.

"aku ingin selalu bersama om Johan. Aku ingin merasakan hal tersebut bersama om Johan.." aku melanjutkan dengan cukup berani.

Untuk sesaat mata kami saling tatap. Om Johan menyunggingkan sebuah senyum manis.

"kamu yakin ingin melakukannya dengan om?" tanya om Johan kemudian.

Aku mengangguk yakin. Seyakin perasaanku pada om Johan.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, malam itu aku akhirnya bisa merasakan hal tersebut dengan om Johan.

Om Johan sangat tangguh, dan aku sangat menyukainya.

Itu adalah pengalaman pertama terindah dalam hidupku.

*****

Sejak kejadian malam itu, aku dan om Johan jadi semakin sering melakukannya.

Om Johan selalu bisa mengatur waktu, agar pertemuan kami tidak diketahui oleh papaku.

Kadang aku memang merasa cemburu, setiap kali melihat om Johan dan papa.

Tapi om Johan selalu berhasil meyakinkanku setiap kali kami punya kesempatan untuk berduaan.

Om Johan bahkan berjanji akan segera mengakhiri hubungannya dengan papaku, dan akan fokus dengan hubungannya bersamaku.

Aku yang memang telah jatuh cinta dan terlanjur bahagia dengan kehadiran om Johan dalam hidupku, tentu saja percaya dengan semua janji om Johan.

Namun setelah hampir setahun hubungan segitiga itu terjalin, om Johan masih saja terus berhubungan dengan kami berdua.

"hubungan om dan papa kamu, sudah terjalin bertahun-tahun lamanya, Pul. Om belum menemukan alasan yang tepat untuk memutuskan hubungan kami saat ini.." begitu alasan om Johan setiap kali aku mempertanyakan hal tersebut.

"kamu sabar, ya.." bujuknya melanjutkan.

Seperti biasa aku hanya bisa terdiam. Setiap kali om Johan berkata demikian. Dia akan berusaha membuatku terlena dengan kemesraannya yang indah.\

Aku juga tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Setidaknya aku masih bisa bersama om Johan, meski harus berbagi dengan papaku sendiri.

Hingga akhirnya hubunganku dengan om Johan diketahui oleh papaku.

Papa marah pastinya, tapi ia tak berani memarahiku. Segala kemarahannya justru ia tumpahkan kepada om Johan.

Mereka bertengkar hebat di depanku. Aku pun segera berlalu dari sana.

Aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Setidaknya sampai keadaan kembali membaik.

Aku merasa sakit sebenarnya. Namun aku tak mampu berbuat apa-apa saat ini.

Aku kecewa karena hubunganku dengan om Johan akhirnya diketahui oleh papaku. Namun kekecewaanku yang paling dalam ialah menyadari bahwa hubunganku dengan om Johan pasti tidak akan bisa dilanjutkan lagi.

Aku akan kehilangan lelaki cinta pertamaku itu. Aku tidak akan bisa lagi merasakan kehangatan darinya.

Padahal cintaku pada om Johan sudah sangat dalam dan terasa begitu kuat.

*****

Aku menginap beberapa malam di rumah salah seorang teman kuliahku. Sampai akhirnya papa menemukanku.

"papa minta maaf, Pul." ujar papa, ketika kami sudah berada di rumah kembali.

Aku tak tahu, entah bagian mana sebenarnya yang membuat papa harus meminta maaf padaku.

Bukankah seharusnya aku yang meminta maaf padanya, karena telah merebut om Johan darinya.

"papa minta maaf untuk semuanya, Pul. Papa bukanlah ayah yang baik buat kamu. Seharusnya papa tidak membiarkan om Johan masuk ke dalam kehidupan kita. Seharusnya papa tidak melakukan hal tersebut, terutama di depan kamu.." papa beujar lagi, kemudian menarik napas berat.

"papa sangat menyesali semuanya, Pul. Papa tahu ini sudah terlambat. Tapi papa janji akan memperbaiki semuanya lagi.."

"papa sudah putuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan om Johan. Papa harap kamu juga melakukannya, demi papa dan demi kehidupan kita yang lebih baik ke depannya.." suara papa mulai parau.

Aku terhenyak. Entah bagian mana dari ucapan papa barusan yang membuat hatiku terenyuh.

Entah karena papa yang telah sadar akan kesalahannya, atau mungkin karena papa memintaku untuk melepaskan om Johan, orang yang telah memberi warna dalam hidupku.

"papa harap, kamu mau memberikan papa kesempatan kedua, Pul." papa berujar lagi.

"papa akan menemui mama kamu, dan memintanya untuk kembali lagi ke rumah kita. Dan kita akan memulai hidup baru, Pul. Memulai semuanya lagi dari awal.." lanjut papa.

"sebenarnya apa yang terjadi antara papa dan mama?" tanyaku akhirnya, setelah untuk beberapa menit kami terdiam.

Papa menatapku sekilas, kemudian berujar :

"papa dan om Johan sudah pacaran, jauh sebelum papa dan mama kamu menikah. Papa menikah dengan mama kamu, bukan karena kami saling cinta. Tapi sebenarnya kami dijodohkan."

"namun setelah menikah dengan mama kamu, papa masih terus berhubungan dengan om Johan."

"hingga akhirnya, mama kamu mengetahuinya, dan memilih untuk pergi meninggalkan papa.."

Papa sekali lagi menarik napas berat.

"sebenarnya mama kamu ingin sekali membawa kamu pergi, tapi papa berhasil mencegahnya dan sedikit mengancamnya agar tidak lagi berusaha menemui kamu.."

"karena itu juga, mama kamu tidak pernah berani untuk datang menemui kamu." papa berujar dengan suara lirih.

"bagaimana kalau ternyata mama sudah menikah lagi, dan bagaimana kalau ia tidak mau kembali lagi?" ucapku bertanya.

"selama ini sebenarnya papa dan mama masih sering saling berhubungan. Papa tahu persis kalau mama kamu belum menikah dan ia pasti mau kembali lagi, jika ia tahu kalau papa sudah tidak berhubungan lagi dengan om Johan.." jawab papa terdengar yakin.

"papa tahu, ini tidak akan semudah yang papa bayangkan. Tapi setidaknya papa akan berusaha semampu papa untuk memperbaikinya.." papa melanjutkan.

"tapi papa butuh dukungan kamu, Pul. Dan papa ingin agar kamu juga bisa berubah.." lanjutnya lagi.

Aku merenung beberapa saat.

Setiap orang punya masa lalu dan setiap orang berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua.

Meski sudah sangat terlambat, tak ada salahnya jika aku bersedia memberi papa kesempatan tersebut.

Dan tak ada salahnya juga, kalau aku mencoba untuk berubah.

Selama ini sebenarnya aku hanya kekurangan kasih sayang dan juga perhatian, sehingga kehadiran om Johan benar-benar membuatku terlena.

Jika papa dan mama bisa bersatu lagi, aku yakin aku pasti bisa berubah.

Segala kejadian dan kenangan ku bersama om Johan, akan menjadi sepenggal cerita di masa laluku.

Aku dan papa akan sama-sama berjuang untuk memulai kehidupan yang jauh lebih baik dan jauh lebih normal.

Semoga saja mama juga bersedia memaafkan papa dan mau memulai semuanya lagi dari awal.

Semoga saja aku dan papa benar-benar bisa berubah selamanya..

Ya, semoga saja..

*****

Sekian..

Cari Blog Ini

Layanan

Translate