Duda tampan, nasabah baruku ...

Namaku Kusnaini. Biasa di panggil Kus.

Aku bekerja di sebuah bank negara. Aku bekerja sebagai seorang account officer, yang berperan sebagai sales dan marketing.

Duda tampan, nasabah baruku...

Tugas saya adalah mencari nasabah dan menawarkan produk bank kepada masyarakat. Saya juga yang menentukan kelayakan nasabah yang sesuai dengan kriteria peraturan bank. Selain itu, saya juga menilai, mengevaluasi dan mengusulkan berapa kredit yang akan di berikan kepada nasabah.

Secara umum tugas saya adalah mengelola kredit nasabah, menyurvei nasabah yang mengajukan pinjaman kredit kepada bank.

Saya yang berhubungan langsung dengan para nasabah yang mengajukan pinjaman kredit.

Dengan segala tugas tersebut, saya sudah bertemu banyak orang, dengan berbagai karakter dan kriteria yang bermacam-macam.

Ada yang menurut saya mereka layak di beri pinjaman, dan ada yang tidak layak.

Berdasarkan hasil survei saya tersebut, bank akan menyetujui pengajuan pinjaman nasabah.

Dan ini bukanlah tugas yang mudah, karena untuk menilai karakter seseorang hanya dalam beberapa jam bukanlah hal yang gampang.

Namun tentu saja, untuk menjalankan pekerjaan saya ini, saya sudah diberi bekal yang cukup.

Dan saya bukan satu-satunya, yang bertugas sebagai account afficer di bank tempat saya bekerja.

Kami ada tiga orang, dengan pembagian wilayah tertentu. Dan tentu saja tugas kami hanya meliputi wilayah di sekitar cabang bank tempat kami bertugas.

Bertemu berbagai karakter orang, membuat saya mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang berbeda setiap hari.

Karena tugas inilah akhirnya saya bertemu mas Eri, seorang calon nasabah baru.

Dan beginilah cerita saya di mulai.

*****

Cerita berawal, katika mas Eri menghubungi saya melalui telepon genggam. Tantu saja ia mendapatkan nomor saya, melalui brosur-brosur yang sengaja kami bagikan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Seperti pertanyaan para calon nasabah baru pada umumnya, mas Eri pun mempertanyakan tentang syarat-syarat untuk pengajuan pinjaman.

Saya pun menjelaskan secara profesional kepada mas Eri tentang prosedur dan syarat-syarat yang harus ia penuhi.

Beberapa hari kemudian, mas Eri pun datang ke kantor untuk mengantar berkas syarat-syarat tersebut.

Saat itu, saya tidak bertemu dengan mas Eri secara langsung, karena saya sedang ada tugas lapangan.

Mas Eri hanya menitipkan berkasnya kepada satpam bank, sesuai dengan pesan yang saya sampaikan padanya melalui pesan singkat.

Keesokan harinya, saya pun melihat berkas-berkas yang masuk ke meja kerja saya, salah satunya adalah berkas dari mas Eri.

Siangnya, saya pun meluncur menuju alamat rumah mas Eri, untuk melakukan survei, sesuai dengan prosedur yang ada.

Kesan pertama yang saya rasakan, ketika pertama kali bertemu mas Eri di rumahnya, adalah sebuah keramahan. Dan hal itu sudah biasa saya hadapi.

Setiap calon nasabah baru yang saya temui, pasti akan bersikap ramah, karena mereka tahu, saya datang untuk menilai karakter mereka.

Namun dibalik keramahan mas Eri siang itu, tersimpan sebuah senyum yang begitu indah.

Harus saya akui, kalau mas Eri memang memiliki wajah yang tampan, dengan postur tubuh yang atletis.

Jantung saya sempat berdegup tak karuan beberapa saat. Jarang-jarang saya bertemu nasabah seperti mas Eri.

Apa lagi kebanyakan dari nasabah saya adalah para ibu-ibu.

Namun saya memang harus tetap bersikap profesional, apa lagi saya belum begitu mengenal mas Eri.

"jadi mas Eri punya usaha kebun sawit?" tanyaku, ketika akhirnya mas Eri mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamunya.

"iya, bang.." jawab mas Eri dengan suara yang sangat maskulin.

"oke. Kalau boleh tahu, kebun sawitnya berada di mana, mas?" tanyaku lagi, berusaha setenang mungkin.

"ada di belakang kampung ini, bang. Sekitar lima kiloan dari sini.." jelas mas Eri, masih dengan suara maskulinnya.

Terus terang saya suka mendengar karakter suara mas Eri yang terkesan sangat jantan. Dan hal itu membuat saya sedikit grogi.

"bisa kita melihatnya sekarang kesana, mas?" saya melanjutkan lagi.

"bisa, bang. Kita berangkat sekarang?" balas mas Eri kemudian.

"iya, mas. Takutnya nanti kesorean.." ucapku.

"tapi masnya gak usah panggil abang, panggil Kus aja, saya masih 27 tahun." lanjutku kemudian, mencoba sedikit akrab.

"oh, oke." jawab mas Eri singkat, sambil sedikit membulatkan bibir.

"kita perginya pake satu motor aja ya, mas. Soalnya saya gak tahu jalannya.." ujarku selanjutnya menawarkan.

Entah mengapa kali ini aku punya ide seperti itu. Padahal biasanya aku selalu naik motor sendiri untuk survei ke kebun nasabah.

Mungkin karena mas Eri terlalu mempesona bagiku. Dan aku ingin selalu dekat dengannya.

Akh, kesan pertama yang begitu menggoda.

*****

Kami akhirnya berangkat menuju kebun sawit milik mas Eri, dengan menggunakan motor mas Eri. Motorku sendiri ku titipkan di rumahnya.

Mas Eri yang menyetir, dan aku berboncengan di belakangnya.

Aroma khas mas Eri tercium di hidungku, ketika motor itu mulai berjalan.

Jantungku kian berdegup tak karuan. Apa lagi sepanjang perjalanan, dadaku sering bersentuhan dengan punggung mas Eri.

"jadi sudah berapa lama istrinya meninggal, mas?" tanyaku berbasa-basi, sekedar menghilangkan rasa grogi-ku.

"sudah hampir empat bulan, Kus." jawab mas Eri, mulai terdengar akrab.

"anaknya udah berapa, mas?" tanyaku lagi.

"udah dua, Kus. Yang satu udah sembilan tahun, satunya lagi baru dua tahun." mas Eri menjawab lagi.

"wah, kasihan juga ya, mas. Masih kecil udah di tinggal ibunya." ucapku prihatin.

"yah, mau gimana lagi, Kus. Mungkin ini udah jalannya.." jawab mas Eri terdengar pasrah.

"Sekarang mas Eri usia berapa?" aku bertanya kembali, setelah beberapa saat kami terdiam.

"38 tahun." jawab mas Eri singkat.

"masih muda ya, mas. Apa lagi mas Eri masih kelihatan tampan dan gagah." ucapku jujur,

"masih ada rencana mau nikah lagi gak, mas?" tanyaku melanjutkan.

Kali ini mas Eri terdiam. Ia fokus mengendarai motornya.

Aku pun tidak berkata apa-apa lagi. Aku sadar, mungkin pertanyaanku terlalu pribadi.

Beberapa menit kemudian, kami pun sampai ke kebun sawit mas Eri.

Sebuah kebun sawit yang cukup luas, namun tidak terawat dengan baik. Semak-semak menyelimuti kebun tersebut.

"beginilah kondisi kebun tersebut, Kus. Tidak terawat. Makanya saya mengajukan pinjaman, untuk biaya perawatannya, agar hasilnya jauh lebih meningkat nantinya.." jelas mas Eri, saat kami sudah berada di dalam kebun tersebut.

"apa lagi sekarang, saya tidak bisa bekerja seperti biasa, karena juga harus mengurus anak-anak. Jadi penghasilan dari kebun inilah yang saya harapkan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami nantinya." lanjut mas Eri.

"sebelumnya mas Eri kerja dimana?" tanyaku pelan.

"saya kerja serabutan, Kus. Kadang cari ikan di sungai, kadang ikut jadi kuli bangunan, dan kadang ya merawat kebun ini.." jawab mas Eri.

Aku hanya manggut-manggut mendengarkannya.

Menurut data dari berkas mas Eri yang aku terima, kebun ini cukup lumayan hasilnya. Apa lagi nanti kalau mas Eri merawat dan memupuknya lebih baik.

Namun masalahnya, selain kebun ini, mas Eri tidak punya penghasilan tetap lainnya. Yang membuat saya jadi ragu, untuk meloloskannya.

"jadi gimana, Kus. Kira-kira bisa lolos gak?" tanya mas Eri memecah keheningan.

Aku menatap mas Eri dengan sedikit tersenyum. Aku gak tahu harus menjelaskan apa padanya.

"tolong ya, Kus. Saya sangat membutuhkan uang tersebut.." mas Eri berucap lagi dengan suara lirih.

Oh, aku terenyuh mendengarnya, suara mas Eri benar-benar menghiba.

"saya akan lakukan apa saja, Kus. Supaya kamu mau meloloskan pinjaman saya.." mas Eri melanjutkan, masih dengan suara lirih.

Ingin rasanya aku menganggukan kepala saat itu, tapi sikap profesionalku segera mencegahnya.

"kita lihat nanti aja ya,mas." jawabku akhirnya.

"apa itu artinya, tidak ada harapan sama sekali, Kus." suara itu semakin lirih.

"saya sangat membutuhkan uang itu, Kus. Tolong saya, ya.." mas Eri melanjutkan, kali ini ia melangkah kian mendekat.

Mas Eri berdiri tepat di hadapanku, jaraknya hanya setengah meter. Wajah tampannya menatapku, dengan pandangan sendu matanya yang indah.

Oh, aku tak tahan di tatap seperti itu. Mas Eri terlalu mempesona. Hati tiba-tiba saja luluh.

Sebagai manusia biasa, aku juga punya batas keprofesionalan dalam bekerja.

"mas Eri mau saya loloskan?" tanyaku, suaraku bergetar. Dadaku berdebar hebat.

Namun pesona mas Eri benar-benar membuatku rapuh. Tak berdaya melawan diriku sendiri.

Apa lagi suasana di kebun itu sangat sepi. Apa lagi mas Eri berdiri hanya satu langkah di depanku.

"iya, Kus. Kamu mau apa dari saya? pasti akan saya penuhi, asal kamu bisa tolong untuk meloloskan saya.." kali ini mas Eri bersuara sedikir berbisik.

Repleks tanganku pun bergerak untuk menyentuh wajah tampan itu.

"mas Eri sangat tampan. Saya suka sama mas Eri.." pelan suaraku bergetar.

Mas Eri terlihat kaget, namun ia tetap membiarkanku melakukannya.

Aku tahu, kepasrahan mas Eri bukan karena ia menyukai hal tersebut, tapi karena ia sangat berharap aku mau memenuhi permintaannya untuk meloloskan pinjamannya.

Sontak aku pun menarik tanganku kembali. Bukan karena aku tidak menginginkan hal tersebut, tapi biar bagaimana pun aku harus tetap profesional dalam bekerja.

"saya suka mas Eri. Tapi saya gak mungkin memanfaatkan jabatan saya untuk mendapatkan keinginan saya. Jadi maaf, mas Eri. Saya belum bisa memutuskannya sekarang. Nanti akan saya kabari lagi. Sekarang mari kita pulang.." ucapku panjang lebar akhirnya.

Mas Eri terlihat murung tiba-tiba. Ia terlihat seperti kehilangan harapan.

"sudah empat bulan istri saya meninggal. Sebelum meninggal istri saya sempat sakit berat selama setahun. Artinya sudah lebih dari setahun, saya tidak mendapatkan kebutuhan bathin dari istri saya." tiba-tiba mas Eri membuka suara.

"jika kamu mau melakukannya dengan saya sekarang, saya bersedia, kok. Bukan karena saya berharap kamu meloloskan saya, tapi lebih karena saya sangat ingin merasakan hal tersebut lagi, setelah sekian lama saya memendamnya.." mas Eri melanjutkan kalimatnya.

Mas Eri melangkah kian mendekat lagi. Kali ini benar-benar dekat.

Jantungku semakin berdegup tak karuan.

Akh, aku tak mampu menolak pesona mas Eri. Apa lagi sepertinya ia sangat menginginkan hal tersebut.

Dan aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kapan lagi bisa melakukan hal tersebut, dengan seorang duda setampan mas Eri.

Untuk itu, aku pun mulai melakukan aksiku, dan mas Eri pun mulai membuka diri untukku.

Sore itu, kami pun melakukan hal tersebut untuk pertama kalinya.

Sebuah kesan yang sangat indah bagiku, dan sepertinya mas Eri juga menikmati hal tersebut.

Setelah sama-sama melepas lelah, kami pun sepakat untuk segera pulang.

Sepanjang perjalanan aku merasa begitu lega. Tak kusangka sore ini, aku bisa merasakan sebuah keindahan bersama mas Eri.

Sang Duda tampan, nasabah baruku...

******

Beberapa hari kemudian, aku pun meminta mas Eri untuk datang ke kantor.

"pengajuan kredit mas Eri udah di terima, sekarang mas Eri bisa datang ke kantor untuk tanda tangan akad dan sekalian pencarian dana pinjaman.." jelasku di ponsel.

Setengah jam kemudian, mas Eri pun datang. Ia tersenyum manis padaku.

Aku menatap mas Eri dengan senyum termanisku.

Semenjak kejadian sore itu di kebun sawit, aku memang jadi sering mengkhayalkan mas Eri.

Dan tak kusangka juga, kalau mas Eri juga jadi sering menghubungiku.

Kami pun akhirnya menjadi kian dekat dan akrab.

Kehadiran mas Eri telah memberi warna tersendiri dalam perjalanan hidupku.

Kini hari-hariku jadi lebih bermakna. Mas Eri sekarang bukan hanya sekedar nasabah bagiku. Tapi juga jadi bagian dari hidupku.

Kami memang akhirnya menjalin hubungan asmara secara diam-diam. Mas Eri sering memintaku untuk datang ke rumahnya.

Kami sering melakukan hal tersebut, di kamar mas Eri ,terutama saat anak-anaknya ia titipkan di rumah ibunya.

Bukan hanya di rumahnya, mas Eri juga sering mengajakku untuk bertemu di kebun sawitnya.

"di sini kita pertama kali melakukannya, Kus. Dan aku ingin terus melakukannya di sini bersama kamu, selamanya.." bisik mas Eri suatu hari, ketika kami bertemu lagi di kebunnya, untuk yang kesekian kalinya.

Oh, rasanya semua itu sangat indah bagiku. Hubungan cintaku bersama mas Eri benar-benar membuatku terlena.

Aku jadi takut kehilangan mas Eri. Aku ingin selalu bersamanya. Sampai kapan pun.

Semoga saja hubungan kami, bisa terus bertahan. Tanpa jangka waktu, tanpa batas waktu.

Bukan seperti jangka waktu pinjaman para nasabah, yang hanya terbatas pada waktu tertentu.

Satu tahun, dua tahun, tiga tahu atau lima tahun.

Tapi aku ingin hubungan kami bertahan selamanya, sampai maut memisahkan kami.

Sekian...

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate