Lampu merah lagi!
Aku mengumpat kesal dalam hati. Aku turunkan kaca mobil setengah, untuk mengurangi panas di mobil.
Aku terus menggerutu panjang - pendek di dalam hati.
Bakalan telat lagi, nih! Padahal minggu lalu aku juga terlambat untuk mata kuliah yang satu ini. Sehingga dengan amat terpaksa aku harus mengikuti kuliah kewiraan dari luar kelas.
"Tissue, mas.." sebuah suara mengagetkanku tiba-tiba.
Hampir saja aku memaki cowok penjual tissue di lampu merah itu. Kalau saja aku tidak melihat tampang cowok itu.
"jeff!" desisku setengah tak percaya. Kekucelan cowok itu sedikit meragukanku.
Cowok itu menatapku sesaat, lalu tergesa meninggalkanku. Hal tersebut semakin meyakinkanku, kalau cowok itu memang Jeff.
Tapi kenapa penampilan Jeff begitu berbeda. Kurus, hitam dan tak terawat.
Dua tahun memang bukan waktu yang singkat. Rentang waktu selama itu bisa merubah penampilan seseorang, tapi tidak sedrastis itu.
"Jeff! Jeff!" aku berteriak mengeluarkan separoh badan dari mobil. Tapi Jeff menoleh pun tidak, justru langkahnya semakin lebar.
Sayang sudah lampu hijau, kalau tidak aku akan nekat mengejar Jeff.
****
Esok siangnya, aku tidak ada kuliah.
Aku putuskan untuk datang lagi ke perempatan kemarin. Agar lebih mudah, sengaja aku tidak membawa mobil.
Semalam aku tidak bisa tidur. Pertemuanku dengan Jeff kemarin telah membangkitkan kenangan lama yang telah dengan susah payah aku timpah di dasar hatiku.
Tapi pertemuan tak terduga itu telah mengobrak-abrik semuanya. Siapa sangka mereka justru bertemu di sini.
Saat Jeff menghilang, seluruh pelosok Pekanbaru sudah aku jelajahi. Pantas gak ketemu. Gak tahunya ia di Medan.
Aku berbaur diantara pedagang asongan yang banyak itu. Mataku jelalatan mencari Jeff. Matahari tepat berada di atas kepala. Tapi aku tidak peduli, asal aku dapat bertemu dengan Jeff.
Nah itu dia! Bathinku saat melihat Jeff dari kejauhan.
Langkahku lebar. Jeff berdiri di pinggir jalan dengan tumpukan tissue di tangan. Menunggu lampu merah tiba, lalu akan bergerak cepat menjajakan dagangannya dari mobil ke mobil, begitu lampu kuning berganti merah.
Sekarang Jeff ada di depanku.
Lampu merah. Aku mengurungkan niatku untuk memanggilnya.
Ku perhatikan Jeff yang menawarkan dagangannya ke beberapa mobil yang kacanya terbuka. Bukan membeli, justru kaca itu semakin menutup penuh.
Tak satu pun dagangan Jeff terjual.
Jeff mengusap peluh di wajahnya yang hitam. Tersentuh rasa hatiku melihat hal tersebut.
Aku tahu siapa Jeff, cowok pemalu yang tak biasa hidup keras dan susah.
"Jeff.." aku memanggil pelan.
Jeff menatapku. Mengernyit sesaat lalu membuang muka. Langkahnya berbalik menjauhiku.
Aku berusaha mengejar dari belakang, "Jeff!" seruku lagi.
Ku sentuh pundak Jeff dari belakang. Cowok itu berbalik menatapku lagi.
"maaf, kamu salah orang. Aku bukan Jeff!" parau suara laki-laki itu.
"kalau bukan Jeff, lalu kamu siapa?" tanyaku meyakinkan.
"kurasa itu bukan urusan kamu," ujar Jeff tanpa menatapku. Lalu kemudian ia berbalik dan berjalan menjauh.
"kamu pengecut, Jeff! Pergi tanpa pamit. Lalu sekarang kamu pura-pura gak kenal. Apa salahku?" teriakku parau.
Di luar dugaanku, Jeff berhenti, berbalik menatapku.
******
"kamu gak salah. Aku juga gak salah. Keadaanlah yang memaksaku harus pergi..." pelan suara Jeff. Kami duduk di halte tak jauh dari lampu merah tersebut.
"berarti kamu tak mengenal aku seutuhnya. Perbuatan papamu itu tak akan mengubah hubungan kita.." balasku selembut mungkin.
"bagimu mungkin. Tapi tidak dengan keluargamu..." suara Jeff masih pelan.
"apa maksudmu?" keningku berkerut.
"lupakan saja..." balas Jeff, lebih terdengar seperti sebuah desahan.
"jangan membuatku bingung, Jeff." timpalku.
"tak ada gunanya, Jim! Jika ku katakan, tak akan merubah apapun yang sudah terjadi.." lirih suara itu.
"tapi setidaknya bisa membuatku mengerti mengapa kamu harus pergi tanpa pamit." balasku lagi.
"aku tak ingin mengingat semua itu lagi. Bagiku itu merupakan masa lalu yang sudah terkubur dalam-dalam.."
Miris hatiku mendengarnya. Tragis sekali. Bagi Jeff diriku cuma masa lalu yang sudah terkubur. Sementara aku selalu mengais-ngais masa lalu itu. Berharap suatu hari kami akan kembali bertemu.
"semudah itu kamu melupakanku?" tanyaku akhirnya, suaraku terdengar serak.
"kita sudah berbeda, Jim. Lihat saja, aku bagai gelandangan dekil. Sementara kamu bagai sang pangeran..." Jeff membalas ringan.
"semua mungkin sudah berubah. Tapi tidak dengan hatiku.." ucapku pelan.
"waktu akan mengubah segalanya, Jim..." Jeff membalas lagi.
"takkan ada yang mampu merubah perasaanku padamu Jeff.." balasku sengit.
Ku lihat Jeff menghela napas berat.
Aku menatap wajah Jeff dalam. Wajah itu masih sangat tampan, meski sekarang terbalut kulit yang menghitam.
Mencintai Jeff adalah hal yang menyenangkan, dan memiliki cinta cowok itu merupakan hal terindah dalam hidupku.
Tapi itu dulu. Sebelum semuanya berubah.
Bukan salah Jeff, jika semuanya harus berakhir seperti ini.
Bukan salah papanya Jeff, yang memanipulasi uang perusahaan, yang menyebabkan Jeff jadi hina di mata siapa saja.
Jeff tak berhak menghakimi papanya. Sudah terlalu banyak yang menghakiminya. Apa lagi papa Jeff sudah menebusnya dengan masuk bui, dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, karena tidak tahan hidup di dalam sel.
Bukan salah mamanya Jeff juga, yang memilih mengakhiri hidupnya dan meninggalkan Jeff sendirian, karena tak sanggup hidup melarat dan menanggung malu.
Bukan salah siapa-siapa sebenarnya. Dan aku juga tidak peduli dengan semua itu.
Aku tetap mencintai Jeff, seperti apa pun kondisinya.
Namun ternyata bagi Jeff, semuanya telah berbeda.
Perbedaan di antara kami, kian terasa, saat papa justru menunjukkan ketidaksukaannya akan hubunganku dengan Jeff.
Tapi kami coba mengabaikannya. Kami diam-diam terus menjalin hubungan asmara.
Namun tiba-tiba Jeff menghilang tanpa kabar. Dan di sini lah akhirnya aku bertemu Jeff kembali.
"aku sayang kamu, Jeff! Selalu dan untuk selamanya.." ucapku tegas.
"jangan katakan itu, Jim. Terlalu sakit buatku.." Jeff berucap sambil menggeleng dengan pandangan miris.
"kenapa?" tanyaku pelan.
"karena papamu sudah menegaskan padaku, Jim. Bahwa aku harus menjauhi kamu. Dan sampai kapan pun beliau tidak akan pernah rela, menerima aku sebagai bagian dari hidupmu..."
Setelah berucap demikian, Jeff berdiri, memutar langkah dengan cepat pergi meninggalkanku, yang masih kebingungan mendengar penuturannya.
Aku tahu, semenjak papa mengetahui tentang keluarga Jeff yang berantakan, papa memang tidak mengizinkanku untuk sekedar berteman dengan Jeff.
Hanya saja, aku tidak menyangka, kalau papa akan mengatakannya langsung kepada Jeff. Yang membuat Jeff akhirnya pergi.
******
Lebih dari seminggu aku tak lagi pernah melihat Jeff berjualan di lampu merah tempatnya biasa berjualan.
Pikiranku mulai tak enak. Memikirkan hal buruk yang bisa saja terjadi pada Jeff.
"kamu kenal, Jeff?" tanyaku pada seorang penjual rokok di lampu merah itu.
"yang hitam tinggi itu?" tanya remaja itu balik.
"yang agak kurusan." tambahku, "kamu ada liat dia?"
Remaja itu menggeleng.
"kamu tahu rumahnya?" tanyaku lagi.
"dia kost di Juanda baru. Dekat jembatan itu." jawab remaja itu, sambil mengarahkan telunjuknya.
"bisa antar saya. Saya temannya di Pekanbaru dulu.." pintaku.
Remaja itu membulatkan bibir.
Kami hanya berjalan kaki, karena katanya tempat kost Jeff tak jauh dari situ. Lagi pula jalannya sempit dan becek. hingga mobil takkan bisa masuk.
Kami melewati rumah-rumah kecil dan sembrawut. Tiang-tiang jemuran melintang tak teratur. Beberapa bocah bertelanjang dada penuh ingus di hidung saling berlarian.
"masih jauh?" tanyaku sambil terus melangkah pelan, menghindari jalan yang becek dan tergenang air.
"itu rumahnya. Yang cat hijau.." jawab remaja itu. Yang ditunjuknya merupakan rumah paling jelek dari rumah lainnya
"perlu saya tunggu, mas?" tanya remaja itu selanjutnya.
Aku mengangguk. Aku merasa tak nyaman berada sendirian di tempat seperti ini.
"assalamualaikum..." ucapku sedikit berteriak.
Tak ada sahutan. Aku mengetuk pintu yang terbuat dari tripleks itu pelan, sambil mengucapkan salam. Sepi.
Aku menoleh ke belakang. Ke tempat remaja pria itu berdiri. "benar ini rumahnya?" tanyaku meyakinkan.
"benar, mas! Coba panggil lebih keras." balas remaja itu lagi.
"assalamu ..."
"cari siapa?" belum usai salam ku, seorang Ibu keluar dari rumah sebelahnya.
"ada Jeff, Bu?" tanyaku dalam kekagetan.
Wanita tua itu menatapku dengan mata memicing. Membuatku berdiri kian kikuk.
"benar ini tempat kost Jeff, Bu?" ulangku memastikan.
"Jeff udah pergi seminggu yang lalu." jawab wanita itu.
Aku tercekat. "pergi kemana?" suaraku serak.
"saya kurang tahu. Tapi dia bilang ingin mencoba mengadu nasib ke Batam atau Jakarta." wanita itu menjawab lagi.
Lemas seluruh tubuhku. Untuk kedua kalinya Jeff pergi tanpa kata perpisahan. Teganya!
Padahal, asaku yang selama ini sudah berkarat, baru saja aku asah kembali. Tapi ternyata...
Setelah mengucapkan kata permisi, aku berbalik langkah. Sekuat hati, aku menahan agar tangisku tak tumpah.
"nak, tunggu dulu!" wanita tua itu menahan langkahku.
"Ibu sepertinya sering melihat kamu. Tapi entah dimana," wanita itu terlihat seperti berpikir keras, lantas mengambil sebuah kunci dari balik bajunya yang usang.
"kemari, nak!" panggilnya setelah membuka pintu kamar kost Jeff.
Aku melangkah masuk. Mataku terbelalak. Photo-photo yang aku berikan pada Jeff waktu di Pekanbaru, tertempel di segala sisi.
"ini photo-photo kamu, kan?" tanya wanita itu lagi.
Aku hanya mengangguk.
"Jeff pernah cerita, karena orang di photo inilah dia tetap semangat untuk hidup." wanita itu melanjutkan.
"tapi kenapa dia pergi lagi?" suaraku serak.
"saya juga heran. Jeff pergi begitu tiba-tiba. Ketika saya tanya kenapa dia tak membawa photo-photo ini, dia bilang; dia juga pergi untuk melupakannya. Karena dia semakin sadar, katanya bagai mengharap bintang untuk kembali memiliki orang itu."
Aku terisak. Berkelebat bayangan wajah Jeff dimataku.
Tak ada yang berubah, Jeff.
Andai saja kamu terbuka padaku. Rintihku dalam hati.
****
Sekian ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar