Jarum suntik sang dokter hewan...

 Namaku Daffa. Sebut saja begitu.

Aku bekerja sebagai salah seorang staff di kantor Camat. Aku bekerja disana sudah hampir dua tahunan, sejak aku lulus kuliah.

Sebagai anak baru di kantor tersebut, dan juga sebagai seorang honorer, aku memang sering jadi orang yang di suruh-suruh, terutama oleh para seniorku.

Jarum suntik sang dokter hewan

Aku sering mendampingi pak Camat untuk turun ke desa-desa.

Dan jika ada tamu dari Kabupaten atau pun pusat, yang ingin berkunjung ke desa-desa, biasanya mereka akan mampir di Kecamatan.

Saya sering di suruh oleh pak Camat untuk menemani para tamu tersebut turun ke desa-desa.

Pada suatu hari, seorang dokter hewan ingin berkunjung ke sebuah desa di Kecamatan kami.

Namanya dokter Mulyono.

"panggil dokter Mul aja.." ucap pria paroh baya itu, saat ia memperkenalkan dirinya padaku.

Seperti biasa, pak Camat kali ini juga memintaku untuk menemani dokter tersebut.

"kita pakai mobil saya aja.." dokter itu berucap lagi, ketika kami hendak berangkat.

Jarak desa yang ingin dituju oleh dokter Mul, sekitar 15 kilo meter dari kantor Camat.

"dalam rangka apa dokter Mul ingin berkunjung ke desa itu?" tanyaku berbasa-basi, saat kami sudah berada di dalam mobil.

"sebenarnya ini kunjungan rutin. Tapi kali ini, dokter yang biasa datang sudah pindah. Jadi saya diminta untuk menggantikan dokter tersebut." jelas dokter Mul pelan.

"kami punya jadwal kunjungan ke desa-desa, terutama desa-desa yang memiliki banyak hewan ternak." dokter Mul melanjutkan.

Ya, sebenarnya saya juga sudah tahu hal tersebut. Tapi biasanya dokter yang berkunjung akan langsung datang ke desa, tanpa melalui Kecamatan.

Tapi mungkin karena dokter Mul baru di daerah ini, ia meminta pihak Kecamatan untuk menemaninya.

Berada berdua di dalam mobil bersama dokter Mul, membuat jantung saya tiba-tiba berdegup kencang.

Bukan karena aku yang baru pertama bertemu dokter Mul, tapi karena memang dokter Mul memiliki tampang yang sangat menarik.

Wajah dokter Mul cukup tampan. Meski usianya tidak lagi muda.

Hidungnya mancung, matanya teduh dengan bibirnya yang tipis.

Rahangnya kokoh dengan kulit wajahnya yang putih terawat.

Badannya tegap dengan postur tubuhnya yang terlihat atletis.

Jarang-jarang saya bertemu pria paroh baya seperti dokter Mul.

"dokter Mul... udah berapa anaknya?" tanyaku berbasi-basi lagi sekedar menghilangkan debaran di jantungku.

"oh, saya belum menikah.." jawab dokter Mul dengan suara sedikit pelan.

Saya terdiam kembali. Saya tidak menyangka kalau dokter Mul yang katanya sudah berusia 40 tahun itu belum pernah menikah.

Padahal menurut saya, dokter Mul sangat menarik secara fisik. Apa lagi kehidupannya juga sudah sangat mapan.

Tapi kenapa ia belum manikah? tanyaku membathin.

Ingin rasanya aku mempertanyakan hal tersebut, tapi karena kami baru saja saling kenal, rasanya kurang sopan harus bertanya hal pribadi seperti itu. Untuk itu saya hanya terdiam.

"kamu gak percaya kalau saya belum menikah?" tiba-tiba dokter Mul berucap, setelah untuk beberapa saat kami saling terdiam.

"ya... emang gak bisa dipercaya, sih.." jawabku jujur.

"kenapa kamu gak percaya? Karena saya udah kelihatan tua ya?" dokter Mul bertanya lagi.

"bukan. Bukan karena itu. Tapi menurut saya dokter Mul kan orangnya ganteng, gagah, kehidupannya juga udah mapan. Masa' iya orang seperti dokter Mul belum menikah?!" ujarku sedikit blak-blakan.

"banyak yang bilang seperti itu, sih. Tapi kenyataannya saya memang belum menikah sampai saat ini." balas dokter Mul terlihat santai.

"kalau boleh tahu, kenapa dokter masih betah melajang?" tanyaku akhirnya memberanikan diri.

Dokter Mul melirikku sekilas, sambil ia tetap fokus menyetir mobilnya.

Kudengar dokter Mul menarik napas panjang, lalu ia pun berucap,

"saya juga gak tahu kenapa. Tapi setiap kali saya mencoba menjalin hubungan yang serius dengan perempuan, hubungan saya selalu kandas." suara itu terdengar serius.

"sudah berkali-kali saya patah hati karena perempuan. Dan sepertinya saya mulai lelah mencari jodoh saya." lanjutnya lagi.

"sekarang saya sudah mulai pasrah. Dan sepertinya saya juga sangat menikmati kesendirian saya saat ini. Hidup saya baik-baik saja, meski tanpa seorang pendamping.." dokter Mul berucap lagi.

Beberapa saat kemudian, kami pun sampai ke desa yang kami tuju. Kami mampir di kantor desa, untuk memperkenalkan dokter Mul pada aparat desa yang ada di kantor.

Setelah perbincangan basa-basi, kami pun mohon izin untuk mendatangi penduduk yang memiliki hewan ternak di desa tersebut.

Ada beberapa orang warga yang kami kunjungi sekedar wawancara formal untuk menanyakan keadaan hewan ternak mereka.

Dari beberapa orang tersebut, ada satu orang peternak yang mengadu bahwa ada seekor sapinya yang sedang sakit.

Dokter Mul mengajak orang tersebut untuk menengok sapi yang sakit itu.

Sesampai di tempat peternakan, dokter Mul terlihat sangat cekatan memeriksa sapi tersebut.

Dokter Mul mengeluarkan peralatan medisnya. Sebuah jarum suntik dikeluarkan dokter Mul.

Sebuah jarum suntik yang cukup besar.

Saya baru tahu, kalau jarum suntik untuk hewan ternyata berbeda dengan jarum suntik yang digunakan untuk manusia.

Saya hanya berani memperhatikannya dari kejauhan.

Setelah selesai memeriksa sapi tersebut, dan sedikit memberi penjelasan kepada si peternak, kami pun segera pamit.

Hari sudah mulai sore waktu itu. Dokter Mul menyetir mobilnya dengan mulai terlihat lelah.

Kami memang memutuskan untuk segera kembali ke Kecamatan.

******

"ternyata jarum suntik untuk hewan itu besar ya, dok.." ucapku sekedar memecah keheningan.

"kenapa? kamu takut di suntik ya?" tanya dokter Mul menjawab basa-basiku.

"kalau jarumnya sebesar itu, ya... saya takutlah, dok." balasku ringan.

"jarum saya lebih besar dari itu, kamu takut gak?" ucapan dokter Mul itu membuat saya memutar kepala untuk menatapnya.

"jarum yang mana maksudnya, dok?" tanyaku dengan sedikit tersenyum.

Bukannya menjawab, dokter Mul justru menghentikan mobilnya.

Suasana di jalan saat itu memang sedang sepi, tidak ada kendaraan yang berlalu lalang. Apa lagi saat itu sudah menjelang senja.

"jarum yang ini.." ucap dokter Mul kemudian, sambil ia mengarahkan telunjuknya ke bawah.

"ah, dokter bisa aja.." balasku tersipu.

"tapi kamu suka kan?" suara dokter Mul menggoda.

Aku tersipu kembali. Tidak sanggup menentang tatapan mata teduh milik dokter Mul.

"udah... kamu gak usah malu. Saya tahu, dari tadi kamu sering memperhatikan saya, kan?!" dokter Mul berucap lagi.

"kalau kamu suka, saya mau, kok.." lanjut dokter Mul, yang membuat saya mendongak kembali untuk menatap wajahnya.

Kali ini saya beranikan diri untuk menentang mata teduh itu. Saya hanya ingin memastikan, kalau dokter Mul serius dengan ucapannya barusan.

"dokter Mul serius?" tanyaku sekedar meyakinkan diriku sendiri.

"menurut kamu saya belum menikah hingga saat ini, itu karena saya gak laku?" tanya dokter Mul balik.

Repleks saya pun mengangguk menjawab pertanyaannya.

"jelas bukanlah. Salah satu penyebab hubunganku dengan perempuan sering kandas, itu karena aku sebenarnya tidak pernah benar-benar tertarik pada perempuan." ucap dokter Mul lagi.

"dan yang membuatku patah hati sebenarnya bukan karena hubunganku yang selalu kandas, tapi terlebih karena aku yang tak kunjung bisa jatuh cinta sama perempuan.." lanjutnya.

Aku terdiam kembali. Mencoba mencerna penjelasan dokter Mul barusan.

Meski aku tidak begitu paham. Tapi setidaknya aku bisa menyimpulkan, bahwa dokter Mul sebenarnya adalah seorang gay.

Dan kesimpulan itu, membuat hati berteriak senang.

Amat jarang saya bisa bertemu laki-laki setampan dan segagah dokter Mul.

Dan yang membuatku semakin merasa senang ialah ketika dokter Mul dengan terang-terangan menawarkan dirinya padaku.

"jadi gimana? Kamu mau gak?" pertanyaan dokter Mul itu membuatku sedikit terkaget.

Namun repleks aku pun menganggukkan kepala, pertanda aku memang menginginkannya.

Ku lihat dokter Mul menyunggingkan senyum manis. Lalu ia pun perlahan mulai menarik tanganku mendekatinya.

"kita melakukannya di dalam mobil ini, dok?" tanyaku ragu.

Aku bukannya gak mau melakukan hal tersebut di dalam mobil dokter Mul. Tapi aku takut, bisa saja ada orang yang lewat dan memergoki kami.

"tenang aja. Gak bakal ada yang lewat, kok. Kan udah hampir malam juga. Lagi pula kalau pun ada yang lewat mereka gak bakal berani untuk singgah." ucap dokter Mul mencoba meyakinkan saya.

Saya cukup setuju dengan ucapannya. Karena biasanya, kalau sudah malam, hampir tidak ada lagi orang yang lewat di jalan ini.

Dan lagi pula, kami melakukannya di dalam mobil. Sudah pasti tidak akan kelihatan dari luar, kalau orang cuma sekedar lewat.

Karena itu akhirnya aku pun membiarkan dokter Mul terus menarik tanganku.

"kamu gak takut di suntik, kan?" tanya dokter Mul tiba-tiba, saat tanganku mulai beraksi.

"kalau jarumnya seperti ini, saya gak bakalan takut, dok." balasku sambil tersenyum manja.

Dokter Mul kembali tersenyum. Ia terlihat memejamkan mata, mencoba menikmati apa yang aku lakukan padanya.

Perlahan namun pasti, kami akhirnya benar-benar terlena. Kami tak pedulikan lagi keadaan di sekeliling kami yang mulai gelap.

Dan senja itu, untuk pertama kalinya, aku dan dokter Mul yang tampan itu, pun melakukan hal tersebut.

Sebuah pengalaman yang sangat indah bagiku.

Sebuah pengalaman yang luar biasa.

Dokter Mul pun sepertinya sangat menyukai hal tersebut.

******

Sejak kejadian senja itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengan dokter Mul.

Aku juga tidak berani untuk menghubunginya.

Aku cukup sadar diri, kejadian itu hanyalah sebuah kebetulan belaka.

Dokter Mul melakukannya bukan karena ia tertarik padaku. Tapi karena suasana saat itu memang membuatnya sedikit bergejolak.

Dokter Mul memanfaatkanku yang memang diketahuinya sudah tertarik padanya dari awal.

Tapi aku tidak mempermasalahkannya.

Dalam dunia pelangi, hal-hal seperti itu memang sering terjadi.

Kebanyakan dari kaum gay, hanya sekedar menikmati cinta satu malam. Atas dasar suka sama suka.

Lalu kemudian saling menghilang.

Dan aku sendiri, bukan sekali dua kali mengalami hal tersebut.

Dan kejadian dengan dokter Mul, bukanlah hal yang baru bagiku.

Aku sudah terbiasa dengan semua itu. Karena itu juga, aku tidak pernah berniat untuk menjalin hubungan yang serius dengan siapa pun.

Hanya saja, kesan yang diberikan dokter Mul padaku cukup mendalam.

Apa lagi sebelumnya aku belum pernah melakukan hal tersebut, di dalam sebuah mobil.

Setiap laki-laki yang singgah dalam hidupku, selalu punya cerita tersendiri.

Dan aku harus bisa merelakan mereka pergi.

Meski kadang, ada rasa sakit di hatiku. Apa lagi jika aku sudah terlanjur suka pada laki-laki tersebut.

Seperti halnya dokter Mul.

Dokter hewan yang punya jarum suntik yang tajam dan besar itu.

*****

Selesai ...

Mentimun mas Anto ...

Aku menghirup udara segar itu beberapa kali, dengan sengaja membuka jendela kaca mobil.

Udara itu memang terasa begitu nyaman di hidungku.

Pemandangan alam yang indah mengiringi perjalananku siang itu.

Sudah hampir satu jam mobil kami meninggalkan perkotaan.

Pak Daman tersenyum-senyum kecil melihat tingkahku tersebut, sambil ia terus fokus menyetir mobil dengan pelan.

"pelan-pelan saja, pak Daman.." pintaku ketika mobil kami sudah mulai memasuki kawasan pedesaan tadi.

"saya ingin menikmati udara segar ini lebih lama." lanjutku.

Hamparan sawah yang indah dan pemukiman penduduk desa menghiasi sepanjang perjalanan itu.

"berapa lama lagi kita akan sampai, pak Daman?" tanyaku di sela-sela tarikan napasku.

"sekitar satu jam lagi, mas Dino.." jawab pak Daman pelan.

 Aku sedikit membulatkan bibir, "jadi di desa pak Daman penduduknya juga bersawah?" tanyaku kemudian.

"sebagian besarnya iya, mas. Tapi ada juga yang menanam tanaman lainnya, seperti kebun tomat, kebun cabe, atau kebun mentimun.." jelas pak Daman.

"keluarga pak Daman sendiri menanam apa?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"istri dan anak-anak saya, punya kebun mentimun di kampung, mas Dino.." jawab pak Daman lagi.

Untuk sesaat, aku kembali menikmati udara segar itu. Sekali-kali aku mengeluarkan kepala dari jendela mobil.

Aku memang jarang sekali melakukan perjalanan seperti ini.

Sejak kecil, papa dan mama selalu membawaku berliburan ke luar negeri atau sekurang-kurangnya ke kota-kota besar.

Pak Daman adalah sopir pribadiku sejak aku mulai masuk SMA, hingga sekarang aku kuliah tahun kedua. Yang berarti sudah hampir lima tahun aku mengenal pak Daman.

Pak Daman memang berasal dari desa. Semua keluarganya, istri dan anak-anaknya tinggal di desa.

Pak Daman hanya pulang jika musim liburan sekolah. Setiap bulan pak Daman selalu mengirimkan uang kepada istrinya di kampung.

Pernah beberapa kali mengajakku ikut dengannya pulang ke kampung halamannya.

Tapi selama ini, papa dan mama tidak pernah memberi izin.

Namun liburan kali ini, kebetulan papa dan mama sedang sibuk dengan bisnisnya masing-masing. Jadi mau gak mau mereka dengan terpaksa mengizinkan saya untuk ikut bersama pak Daman.

"tapi kalian perginya harus pake mobil, ya.." pesan mama.

"mama takut terjadi apa-apa, jika kalian naik bus.." lanjut mama.

Jarak desa pak Daman dengan kota tempat aku tinggal, memang harus ditempuh kurang lebih delapan jam pakai mobil.

Biasanya pak Daman pulang selalu naik bus antar kota.

"kamu hati-hati ya, Din." pesan mama lagi, saat aku sudah berada di dalam mobil.

"iya, ma. mama tenang aja. Dino kan udah gede, ma. Udah 20 tahun loh.." ucapku dengan nada sedikit manja.

Aku memang anak satu-satunya mama dan papa. Sejak kecil aku juga selalu di manja.

Mama dan papa memang sangat menyayangiku. Hingga mereka bahkan sengaja mencarikan aku seorang sopir pribadi.

Sepanjang perjalanan aku merasa lega. Ini adalah kali pertamanya aku berlibur sendirian dan dengan caraku sendiri.

Aku bahkan beberapa kali mengajak pak Daman untuk singgah, hanya sekedar untuk menikmati makanan pinggiran yang berada di sepanjang perjalanan kami.

"sekarang kita sudah memasuki desa kami.." ucap pak Daman, satu jam kemudian.

Saat itu mobil sengaja ia belokkan ke arah kanan, untuk memasuki sebuah persimpangan.

"satu kilo dari sini, kita akan melihat rumah-rumah penduduk.." pak Daman melanjutkan, setelah mobil kami memasuki persimpangan tersebut.

Aku melirik kiri dan kanan jalan. Ada banyak kebun buah-buahan dan sayur-sayuran di sepanjang jalan.

Seperti kata pak Daman, beberapa menit kemudian, aku mulai melihat rumah-rumah penduduk yang tersusun acak.

Ada banyak gang-gang kecil di sana.

Mobil pun berhenti di sebuah rumah sederhana yang berada tepat di pinggir jalan.

Rumah berwarna hijau itu terlihat sangat asri dan alami. Ada banyak bunga-bunga bermekaran di teras rumah tersebut.

"dan inilah gubuk kami, mas Dino. Kecil dan terlihat kuno.." pak Daman berucap, sambil ia mematikan mesin mobil.

"ini bukan kuno, pak. Tapi unik." ucapku jujur.

Rumah itu memang kelihatan menarik dengan bubung yang melengkung di setiap bagian ujungnya.

Rumah itu masih berbentuk rumah panggung, meski tidak terlalu tinggi. Namun bagian terasnya sudah di renovasi, tanpa tiang.

Pak Daman segera mengajakku turun. Seorang wanita tua sudah menunggu kami di teras rumah.

"ini istri saya, mas Dino." ucap pak Daman, sambil memperkenalkan wanita tua itu.

"Rusnah, mas.." suara wanita itu serak, sambil menjabat tanganku dengan sedikit menunduk.

"panggil Dino aja, bu. Gak usah pakai mas." jawabku berusaha sesopan mungkin.

Sebenarnya pak Daman sudah mengabarkan kepada keluarganya tentang kadatangan kami di perjalanan tadi.

Pak Daman juga sudah pernah cerita tentang saya kepada keluarganya, meski kami belum pernah bertemu.

Bu Rusnah dan Pak Daman segera membimbingku untuk naik ke rumah panggung tersebut.

Berada di dalam rumah tersebut, terasa begitu nyaman dan sejuk. Aku mulai merasa betah berada di sana.

Tiba-tiba seorang remaja putri muncul dari sebuah kamar. Gadis itu memakai hijab dengan memperlihatkan senyum manisnya menatapku.

"ini putri bungsu saya.." pak Daman yang berucap.

"Ratih, mas." lembut suara gadis itu berucap, sambil ia menyalimi tangan saya.

Beberapa saat kemudian seorang pemuda keluar dari kamar sebelahnya.

"nah, kalau itu namanya Anto. Dia putra sulung saya.." kali ini bu Rusnah yang angkat bicara.

"Anto, mas.." suara pemuda itu tegas.

"panggil Dino aja, mas Anto.." balasku, karena melihat dari perawakannya mas Anto lebih tua dariku.

"mas Anto calon sarjana pertanian loh, mas Dino.." tiba-tiba Ratih berceloteh di sampingnya, sambil melirik mas Anto, yang terlihat sedikit tersipu.

"iya, mas Dino. Ini tahun terakhir ia kuliah.." pak Daman ikut menimpali.

"sudah! sudah! perkenalannya.." tiba-tiba bu Rusnah membuka suara.

"mas Dino pasti capek, habis perjalanan jauh. Sekarang kamu Anto, ajak mas Dino istirahat di kamar kamu!" bu Rusnah melanjutkan, sambil mulai melangkah meninggalkan kami.

*****

Hari sudah menunjukkan jam lima sore, saat mas Anto mengajakku masuk ke kamarnya.

Kamar itu tidak terlalu luas. Ada dipan kecil di sudut ruangan, sebuah lemari pakaian di sudut lainnya dan sebuah meja belajar kecil di sisi jendela kamar.

"mas Dino istirahat aja dulu, ya." suara tegas mas Anto terdengar lagi.

"gak usah panggil mas. Saya paling tidak suka kalau dipanggil mas..." suaraku sedikit meninggi.

"iya, maaf. Kalau begitu saya permisi dulu.." ucap mas Anto pelan, sambil mulai melangkah untuk segera keluar.

"mas Anto di sini aja dulu." pintaku kemudian, "saya masih mau ngobrol.." lanjutku.

Mas Anto menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuh dan kemudian duduk di kursi meja belajar.

"mas .. eh ... kamu mau ngobrol apa?" tanya mas Anto terdengar sedikit kaku.

"yaa.. ngobrol apa aja..." ucapku berusaha ramah.

Aku menatap mas Anto cukup lama.

Mas Anto memiliki kulit sedikit gelap. Namun postur tubuhnya sangat gagah dan kekar.

Matanya teduh, hidungnya sedikit mancung dengan bibirnya yang terlihat seksi.

Secara keseluruhan mas Anto tidaklah terlalu tampan. Namun cukup menarik untuk tetap dilihat.

Dan yang paling membuatku tertarik ialah tubuh mas Anto yang terlihat sangat gagah dan atletis.

Otot lengannya terlihat kekar dengan dadanya yang terlihat bidang.

Rahangnya kokoh dengan belahan dagunya yang tipis.

"jadi mas Anto kuliah dimana?" tanyaku akhirnya, setelah merasa cukup puas menatap wajah mas Anto.

Mas Anto pun menyebutkan nama kampus tempat ia kuliah, yang katanya hanya berjarak satu jam perjalanan dari desanya tersebut.

"saya kuliah naik motor.." ucapnya lagi.

"jadi selain kuliah kegiatan mas Anto apa lagi?" tanyaku selanjutnya.

"saya berkebun. Kebetulan bapak punya lahan satu hektar, jadi kami manfaatkan untuk menanam tanaman mentimun.." jawab mas Anto.

"kebun mentimun satu hektar?" tanyaku dengan nada heran.

"selain mentimun, kami juga menanam buah dan sayuran lainnya. Sepeti tomat, umbi-umbian dan kacang-kacangan.." jelas mas Anto, mulai terlihat santai.

"besok saya mau lihat kebun mentimun mas Anto, boleh ya?" ucapku kemudian.

"bolehlah, Din. Kebetulan juga besok kami mau panen mentimun." balas mas Anto.

"mas Dino! Mas Anto! Di panggil bapak untuk makan malam!" suara teriakan Ratih dari luar kamar.

Mendengar hal tersebut, kami sama-sama segera bangkit dan keluar dari kamar itu.

*****

Keesokan harinya, pak Daman sekeluarga pergi ke kebun mentimun milik mereka dengan hanya berjalan kaki.

"kenapa gak pake mobil aja, pak Daman?" tanyaku menawarkan.

"jalannya gak bisa ditempuh mobil, mas Dino. Kita harus melalui sawah-sawah dan kebun-kebun lainnya.." jawab pak Daman tersenyum ramah.

"berapa jauh?" tanyaku kemudian.

"sekitar satu kilo dari sini.." kali ini mas Anto yang menjawab.

"kuat gak kamu? Kalau gak kuat gak usah ikut..." mas Anto melanjutkan, dengan nada sedikit merendahkan.

Saya tidak merasa tersinggung. Karena wajar mas Anto berucap demikian. Mengingat di matanya saya adalah orang kota dan anak orang kaya, yang biasa naik turun mobil.

Apa lagi, saya juga tergolong cukup kurus.

Tapi justru saya merasa tertantang untuk tetap ikut dengan mereka. Meski sebenarnya saya tidak begitu yakin, bisa berjalan kaki sejauh itu. Apa lagi medan yang harus kami tempuh penuh tanjakan, pendakian dan penurunan.

"gimana? Ikut gak?" suara mas Anto mengagetkanku. Ia masih berdiri di sampingku.

Sementara pak Daman, bu Rusnah dan Ratih sudah berjalan di depan.

"ayok! Siapa takut?!" ucapku akhirnya, sambil mulai melangkah.

******

Jalan yang kami tempuh untuk menuju kebun mentimun mas Anto penuh tanjakkan, pendakian dan penurunan.

Kami juga harus melalui kebun-kebun dan persawahan, yang jalannya sangat sempit dan sedikit becek.

Aku beberapa kali harus berhenti sejenak untuk melepas lelah. Beruntung mas Anto selalu sedia menemani saya sepanjang perjalanan tersebut.

Mas Anto selalu mengajakku mengobrol, agar aku tidak terlalu merasa jenuh.

Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan penuh tantangan, kami akhirnya sampai di kebun mentimun milik mas Anto.

Kebun tersebut memang cukup luas. Dan terlihat sangat subur.

Buah-buah mentimun terlihat bergelantungan. Buah-buah itu memang terlihat besar-besar dan segar-segar.

"kalau kamu mau cicipi boleh, kok. Kamu petik aja satu.." suara mas Anto yang masih berdiri di sampingku.

"mentimunnya besar-besar, ya. Dan terlihat segar-segar.." balasku.

"nanti setelah di petik, mau dibawa kemana, mas Anto?" tanyaku melanjutkan.

"sebenarnya buah-buah ini sudah ada yang menampungnya. Nanti sore ada yang menjemputnya ke sini. Jadi habis dipetik, kita kumpulkan aja disini." mas Anto menjelaskan, sambil mulai melangkah memasuki kebun itu.

Sementara pak Daman, bu Rusnah dan Ratih sudah sejak tadi mulai memetik mentimun-mentimun tersebut.

Saat aku hendak melangkah memasuki kebun, tiba-tiba kaki kiriku terpeleset yang mengakibatkan aku terjatuh.

Aku menjerit kecil. Kaki kiriku terasa ngilu.

Mas Anto bergegas mengejar ke arahku, demikian juga pak Daman, Bu Rusnah dan Ratih.

"kamu kenapa?" tanya mas Anto dengan nada cemas.

"kakiku sakit sekali, sepertinya terkilir.." suaraku tertahan menahan sakit.

Mas Anto dan pak Daman membantu saya untuk berdiri. Namun saat saya berdiri, kaki kiri saya terasa sangat sakit ketika diinjakkan.

"aduh!" keluhku menahan sakit.

"kamu gak apa-apa?" tanya mas Anto masih dengan nada cemas.

"kakiku sakit sekali, mas Anto.." keluhku lagi.

Pak Daman segera membimbing saya untuk duduk kembali. Kemudian ia coba mengurut bagian kaki saya yang sakit.

Beberapa kali saya menjerit kecil menahan sakit. Pak Daman segera menghentikan urutannya.

"ya udah, mas Dino pulang aja dulu. Biar Anto yang antar mas Dino ke rumah, untuk istirahat.." ucap pak Daman kemudian.

"tapi saya gak bisa berjalan, pak Daman." ucapku sambil masih menahan sakit.

"Anto yang akan menggandeng mas Dino pulang.." pak Daman berujar lagi, sambil ia meminta mas Anto untuk membantu saya bangkit kembali.

Mas Anto segera memapah saya untuk berdiri. Kemudia ia menarik tangan saya untuk melingkar di pundaknya yang kokoh.

Dengan bertopang pada tubuh kekar mas Anto, saya mulai melangkah kaki saya perlahan.

Mas Anto membantu saya dengan hati-hati.

Dada saya mulai berdegup-degup saat itu. Aroma khas tubuh mas Anto tercium di hidungku.

Tubuh itu terasa hangat berdempetan dengan tubuh kurusku.

Ah, entah mengapa aku merasa nyaman. Rasa sakit kakiku jadi sedikit berkurang menikmati hal tersebut.

Sepanjang perjalanan, orang-orang melirik kami yang berjalan bergandengan dengan tanganku merangkul pundak mas Anto, dan tangan mas Anto berada di pinggangku.

Mas Anto berusaha menjelaskan, kalau kaki saya terkilir dan tidak bisa berjalan sendiri, kepada orang-orang yang bertanya di perjalanan tersebut.

Karena merasa sangat nyaman, perjalanan sejauh itu jadi terasa singkat bagiku. Kami tiba-tiba saja sudah berada di rumah mas Anto.

Mas Anto langsung membawaku masuk ke dalam kamarnya.

"kamu istirahat aja dulu, ya.." ucap mas Anto lembut.

"mas Anto mau kemana?" tanyaku, melihat mas Anto yang hendak melangkah keluar.

"saya mau kembali ke kebun.." jawab mas Anto, "kamu gak apa-apa kan sendirian di rumah?" lanjutnya bertanya.

"jangan, mas! Saya takut sendirian di rumah.." balasku cepat.

Aku memang tak ingin mas Anto pergi. Aku ingin berduaan dengannya di rumah.

Aku sudah terlanjur suka dengan mas Anto. Dan aku ingin selalu bersamanya.

"ya udah. Kalau begitu saya ambil minuman dulu ya di dapur.." ucap mas Anto akhirnya, setelah ia terlihat berpikir sejenak.

Mas Anto segera keluar untuk mengambil minuman di dapur. Dan beberapa saat kemudia ia pun kembali dengan membawa segelas minuman untukku.

"makasih ya, mas Anto.." ucapku sambil menerima gelas minuman tersebut.

"iya. gak apa-apa. Tapi kakimu udah baikan, kan?" mas Anto berujar, sambil ia duduk di sampingku.

"udah mendingan, sih." ujarku membalas.

Untuk beberapa saat kami hanya saling terdiam. Diam-diam aku kembali memperhatikan wajah setengah tampan milik mas Anto.

Pelan, rasa kagum pun tumbuh dihatiku untuk mas Anto.

"kamu suka mentimun?" tanya mas Tiba-tiba.

"mentimun mas Anto?" tanyaku tanpa sadar.

"iya. Mentimun saya yang di kebun tadi.." jawab mas Anto terlihat santai.

"oh.." aku membulatkan bibir, "suka, sih." ucapku.

"kalau suka, kenapa tadi gak dicicipi?" tanya mas Anto lagi.

"yah, tadi kan udah mau coba dicicipi, tapi keburu kepeleset." jawabku, dengan menyunggingkan sedikit senyum.

"kalau begitu kamu cicipi mentimun yang ada di rumah aja ya.." mas Anto berucap lagi.

"emang ada mentimunnya di rumah?" tanyaku dengan nada heran.

"ada satu, kalau kamu mau, sih.." suara mas Anto pelan.

"maksudnya?" tanyaku benar-benar gak paham.

"gak, gak apa-apa. Cuma becanda, kok.." balas mas Anto selanjutnya, sambil ia tertunduk.

Ku lihat mas Anto menarik napas, kemudian kembali menatapku dengan menyunggingkan sebuah senyum manis.

Oh, aku terpesona melihat senyum itu.

"emangnya mas Anto mau, kalau saya mencicipi mentimunnya?" tanyaku akhirnya, mencoba memancing maksud dari pertanyaan mas Anto tadi.

"emangnya kamu mau mencicipinya?" mas Anto balik bertanya, dengan terus menatapku sendu.

"ya, mau lah, mas. Apa lagi mentimun mas Anto tadi kelihatannya besar-besar dan segar-segar." jawabku kembali berlagak bodoh.

"kamu suka yang besar-besar, ya?" tanya mas Anto.

"gak juga. Saya suka yang standar Indonesia aja." jawabku kemudian.

Sepertinya aku mulai mengerti maksud dari mas Anto, dan sepertinya mas Anto juga mulai memahami arah pembicaraan kami.

Tapi untuk sesaat, tidak ada seorang pun dari kami yang berani untuk memulai.

Aku sendiri masih takut salah paham. Mungkin saja maksud mas Anto tidak seperti yang aku pikirkan.

"kaki kamu masih sakit?" tanya mas Anto tiba-tiba, memecah keheningan.

"udah gak apa-apa kayaknya.." jawabku jujur.

"kalau begitu saya tinggal ya? Saya mau balik lagi ke kebun. Mau bantu-bantu disana." ucap mas Anto kemudian.

"atau kamu mau ikut lagi?" tanyanya melanjutkan.

"ikut ngapain?" tanyaku.

"katanya mau mencicipi mentimun di kebun saya.." balas mas Anto.

"tapi kata mas Anto yang di rumah ada satu tadi.." aku berujar sambil menatap mas Anto dengan muka pengenku.

"kamu yakin mau?" tanya mas Anto.

Aku tidak menjawab, namun aku mengangguk dengan mantap.

Mas Anto terlihat tersenyum kembali. Wajahnya tiba-tiba terlihat cerah. Bak anak kecil yang baru saja mendapatkan permen.

Dan kali ini mas Anto menjadi berani untuk memulainya. Saya pun menyambutnya dengan perasaan yang bahagia.

Siang itu, untuk pertama kalinya, aku dan mas Anto pun melakukan hal tersebut.

Sesuatu yang tidak pernah aku duga sama sekali.

Tadinya aku berniat ikut pak Daman, hanya untuk sekedar menghilangkan kejenuhanku di kota.

Tak kusangka di sini aku bisa bertemu dengan mas Anto.

Dan lebih tak kusangka lagi, kalau aku bisa merasakan sesuatu yang luar biasa dari mas Anto.

Siang itu menjadi hari terindah bagiku. Mas Anto benar-benar luar biasa. Aku semakin mengaguminya.

Aku semakin menginginkannya.

*****

Sejak kejadian siang itu. Aku dan mas Anto jadi semakin sering melakukannya. Apa lagi setiap malam kami tidur satu kamar.

Namun sesuai dengan perjanjianku dengan mama dan papa, seminggu kemudian aku pun harus kembali ke kota.

Aku merasa berat harus berpisah dari mas Anto. Biar bagaimana pun, setelah seminggu kami bersama, harus aku akui kalau aku mulai menyayangi mas Anto.

Benih-benih cinta mulai tumbuh di hatiku untuk mas Anto.

"aku juga sayang sama kamu, Dino." terngiang kembali ucapan lembut mas Anto, pada malam terakhir kami bersama.

"tapi kita memang tidak mungkin terus selalu bersama-sama, kan?" lanjutnya.

"nanti kalau kamu ada waktu lagi, datang aja ke sini. Aku akan selalu menunggu kamu di sini." lanjutnya lagi.

"aku pasti kangen sama mas Anto.." balasku berbisik.

"kangen sama apanya, nih?" ucap mas Anto menggoda.

"kangen sama semuanya lah, mas. Terutama sama buah mentimun mas Anto yang besar-besar dan segar-segar itu.." ucapku membalas godaan tersebut.

"ah, kamu bisa aja..." timpal mas Anto kemudian, sambil ia mengecup keningku lembut.

Aku hanya tersenyum. Walau berat, aku memang harus kembali ke kota.

Dan aku berjanji dalam hati, suatu saat aku pasti akan kembali lagi kesini.

Semoga saja mas Anto dan mentimun-mentimunnya masih setia menungguku di sini.

Ya, semoga saja...

*****

Bersambung ...

Bang Indra, sang polisi Bhabinkamtibmas desaku..

Namanya bang Indra.

Dan ia adalah seorang polisi.

Bang Indra adalah seorang Bhabinkamtibmas di desaku. Setidaknya begitulah yang aku ketahui tentang bang Indra.

Sang polisi Bhabinkamtibmas

Sebagai seorang Bhabinkamtibmas, tentu saja bang Indra sering datang ke desaku untuk menjalankan tugasnya.

Karena sering datang ke desa, aku pun jadi sering bertemu dengan bang Indra.

Dan karena sering bertemu, aku dan bang Indra pun jadi sering ngobrol dan menjadi sedikit akrab.

Bang Indra memang berwajah tampan, dengan postur tubuh yang atletis.

Matanya teduh, hidungnya sedikit mancung, dengan senyumnya yang manis dari bibirnya yang tipis.

Bang Indra terlihat sangat gagah dengan seragam polisinya.

Terus terang, sejak pertama kali melihat bang Indra, aku sudah jatuh hati padanya.

*****

Namaku Bastian. Biasanya orang-orang memanggilku Bas.

Dan saat ini aku sudah berusia 28 tahun.

Aku bekerja di kantor desa, sudah hampir lima tahun.

Karena itulah aku jadi sering bertemu bang Indra setiap kali ia berkunjung ke desa kami. Setidaknya dua atau tiga kali dalam seminggu bang Indra datang ke desaku.

Sebenarnya bang Indra orang baik, hanya saja terkadang sebagai seorang polisi, bang Indra memang terlihat sedikit angkuh.

Namun karena aku yang sudah sering ngobrol dengannya, dan karena aku juga telah jatuh hati padanya, bang Indra terlihat menjadi sosok yang sempurna di mataku.

Bang Indra sudah menikah, dan sudah punya dua orang anak. Usianya sudah hampir 35 tahun.

Bang Indra sering mengajakku naik motornya untuk berkeliling kampung dan juga berkeliling kebun masyarakat yang berada di belakang desa. Sebagai salah satu tugasnya jika ia turun ke desa.

Berada satu motor dengan bang Indra, membuat jantungku selalu berdebar-debar hebat. Walau hal itu bukan satu dua kali terjadi.

Aku memang telah jatuh kepada bang Indra.

Namun selama ini aku hanya memendamnya. Karena jelas hal itu tidak mungkin aku ungkapkan.

Meski kadang, ada saat dimana aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku, terutama saat kami sedang ngobrol berdua.

Aku sering merasa tersipu malu, saat bang Indra dengan terang-terangan memujiku.

Meski kadang sikap bang Indra sangat baik padaku, namun aku tidak berani berharap lebih padanya. Mengingat bang Indra sudah punya istri dan anak. Jelas ia adalah laki-laki normal. Setidaknya begitulah kesimpulanku pada bang Indra.

Sudah hampir enam bulan, aku dan bang Indra saling kenal.

Hingga pada suatu sore...

*****

Sore itu, seperti biasa bang Indra mengajakku berkeliling kampung naik motornya.

Kami berkeliling kampung selama beberapa menit, lalu kemudian melanjutkan untuk berkeliling kebun-kebun masyarakat yang berjarak sekitar dua kilo meter di belakang desa.

Pada sebuah kebun karet, bang Indra menghentikan motornya di dekat sebuah pondok yang berada di dalam kebun tersebut.

"saya mau buang air dulu sebentar.." jelas bang Indra, ketika motor itu sudah parkir di depan pondok tersebut.

Tanpa menunggu persetujuanku, bang Indra langsung menuju ke belakang pondok untuk menunaikan hajatnya.

Beberapa saat kemudian, bang Indra muncul kembali, sambil masih berusaha memasang celananya.

Dadaku kian berdebar menyaksikan hal tersebut. Namun bang Indra terlihat santai berjalan mendekatiku yang sudah duduk di tangga pondok tersebut.

Bang Indra kemudian turut duduk di sampingku.

Tubuh kami berdempetan, karena tangga itu memang sangat kecil.

"kamu kenapa belum nikah sih, Bas?" tanya bang Indra tiba-tiba, sambil ia menatapku tersenyum.

Aku menjadi kikuk tiba-tiba. Bukan karena pertanyaan bang Indra barusan, tapi terlebih karena tatapan matanya yang teduh itu tepat menghujam mataku.

"mungkin karena belum ketemu yang cocok, bang.." jawabku akhirnya, dengan segera memalingkan wajah.

Aku memang tidak berani menatap mata bang Indra lebih lama lagi.

Bukan saja karena ia seorang polisi, tapi juga karena mata itu terlalu indah.

"pasti karena kamu terlalu pemilih ya, Bas. Padahal kamu manis loh. Pasti banyak cewek-cewek di kampung yang naksir sama kamu..." ucap bang Indra kemudian, sambil terus menatapku.

"gak juga, bang. Biasa aja, kok." jawabku semakin grogi.

Terus terang aku memang merasa tersanjung dengan kalimat bang Indra barusan. Belum pernah sebelumnya bang Indra memujiku seperti itu.

"atau karena kamu memang tidak suka perempuan?!" ucapan bang Indra kali ini membuatku kembali menatapnya.

"maksud bang Indra apa?" tanyaku dengan suara sedikit meninggi.

Aku tidak tersinggung dengan pertanyaan bang Indra. Tapi aku justru merasa takut, kalau bang Indra sebenarnya sudah tahu tentang siapa aku sebenarnya.

"maksud saya, ya ....bisa saja kan, kalau kamu itu penyuka sesama jenis..." balas bang Indra terlihat santai.

Oh, aku terenyuh. Kenapa bang Indra bisa sampai berpikir seperti itu?

Apa karena selama ini, aku terlalu sering memperlihatkan kesukaanku terhadap bang Indra?

"udah gak usah malu. Di sini hanya ada kita berdua, kok. Kamu jujur aja, kalau sebenarnya kamu suka kan sama saya?!" bang Indra berujar kembali, setelah melihat reaksi saya yang semakin salah tingkah.

"aku tahu, kok. Selama ini, kamu sering kan memperhatikan saya diam-diam. Kamu juga jadi malu-malu, kalau kita lagi ngobrol berdua." lanjutnya.

Kali ini aku benar-benar dibuat tidak berkutik oleh bang Indra. Ternyata dari sikapku selama ini terhadap bang Indra, telah mampu menunjukkan perasaanku yang sebenarnya.

Aku hanya tertunduk. Aku benar-benar merasa malu.

Tiba-tiba bang Indra menyentuh pundakku ringan.

"kamu gak usah malu. Lebih baik kamu jujur saja dengan perasaanmu.." ucapnya pelan.

"emangnya kalau saya suka sama bang Indra, bang Indra gak marah?" tanyaku dengan suara bergetar dan masih dalam keadaan menunduk.

"kenapa saya harus marah? Justru saya suka, kalau kamu juga suka sama saya.." balas bang Indra, yang membuat saya jadi berani menatap matanya kembali.

Juga? Bukankah itu artinya bang Indra juga suka sama saya? Aku membathin.

"bang Indra juga suka sama saya?" tanyaku dengan nada ragu.

Bang Indra tersenyum manis. Tatapannya semakin sendu.

"iya. Aku juga suka sama kamu, Bas." deg! Jantungku berdegup seketika mendengat jawaban tegas bang Indra.

"tapi kan bang Indra sudah punya istri dan anak? Kok bisa?" tanyaku semakin berani.

Setidaknya saya ingin memastikan, kalau bang Indra tidak sedang mengerjai saya.

"kenapa? Kamu gak suka cowok yang udah menikah?" balas bang Indra bertanya balik.

"bukan. Bukan itu maksud saya. Tapi masa' iya bang Indra juga penyuka sesama jenis? Bukankah bang Indra sudah berkeluarga?" tanyaku lagi.

"dulu sebelum menikah, saya juga sama seperti kamu, Bas. Pernah jatuh cinta dengan seorang laki-laki. Bahkan saya pernah beberapa kali pacaran dan berhubungan dengan laki-laki." bang Indra menarik napas sejenak.

"namun sebagai laki-laki dan juga karena tuntutan keluarga, aku memang harus menikah. Bukan karena aku menginginkannya, tapi memang begitulah kodrat kita sebagai seorang laki-laki." lanjut bang Indra.

Kali ini ia tidak lagi menatapku. Pandangannya jauh ke depan, menatap jalanan yang mulai sepi.

Pondok tempat kami singgah memang berada di tengah-tengah sebuah kebun karet. Jalanan terlihat dari tempat kami duduk, namun orang-orang dari jalan tidak akan bisa melihat kami dengan jelas, karena terhalang oleh pohon-pohon karet yang tersusun acak di depan pondok tersebut.

"setelah menikah, saya memang sempat vakum dari dunia gay. Apa lagi setelah saya punya anak." bang Indra melanjutkan lagi.

"saya mulai terbiasa dengan kehidupan baru saya sebagai seorang kepala rumah tangga. Meski tidak bisa saya pungkuri, kadang keinginan untuk menjalin hubungan dengan laki-laki lagi, sering datang menghantui saya."

"tapi saya berusaha sekuat mungkin untuk melawan semua keinginan itu. Dan berharap saya bisa selamanya hidup sebagaimana layaknya laki-laki normal pada umumnya."

Bang Indra menghela napas sejenak. Ia menatapku sekilas, kemudian berujar lagi,

"namun semenjak saya bertemu kamu, semua harapan itu kian punah. Aku tidak bisa lagi menolak hadirnya rasa suka di hatiku padamu, Bas. Kamu terlalu menarik, untuk bisa saya abaikan begitu saja.."

"mulanya saya berharap, semua itu hanyalah sebuah kekaguman sesaat, yang akan segera menghilang."

"namun semakin saya mengenali kamu, rasa itu kian lama kian berkembang. Dan ketika saya melihat, bahwa kamu juga sepertinya punya perasaan yang sama. Saya semakin yakin, untuk mewujudkan impian saya tentang kamu.."

bang Indra mengakhiri kalimatnya dengan menghempaskan napas berat.

Aku tersenyum. Benar-benar tersenyum.

Aku merasa sangat bahagia. Tak kusangka kalau bang Indra juga menyukaiku selama ini.

Ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.

Repleks aku pun menyandarkan kepalaku di bahu kekar bang Indra.

"aku juga sangat mencintaimu, bang Indra.." ucapku pelan.

Bang Indra segera menarik kepalaku agar berada dalam dekapannya. Aku merasa  hangat.

Aku merasa nyaman. Sebuah kenyamanan yang belum pernah aku rasakan seumur hidupku.

"tapi aku sudah menikah loh.." ucap bang Indra tiba-tiba.

"aku tahu, bang. Dan aku tidak peduli. Bahkan jika abang menjadikan aku yang kesepuluh sekalipun, aku juga rela, asal abang masih punya waktu untukku.." ucapku jujur.

Aku memang mencintai bang Indra. Namun aku juga sadar, aku tidak mungkin bisa memilikinya seutuhnya.

Tapi setidaknya, aku masih bisa merasakan kehangatan cinta dari bang Indra.

Bang Indra semakin mengeratkan dekapannya. Perlahan sebuah kecupan singgah dirambutku.

"aku sayang kamu, Bas. Selalu dan selamanya.." bisik bang Indra mesra.

Sesaat kemudian, mata kami kembali saling tatap. Tanganku pun repleks menyentuh pipi pria tampan itu. Hal yang sudah sangat lama ingin aku lakukan.

"makasih yang, bang. Sudah memberikan aku kesempatan untuk merasakan ini semua..." ucapku lembut.

Bang Indra kembali tersenyum. Senyum yang sangat manis. Bahkan kali ini teramat manis. Karena aku melihatnya dari jarak yang sangat dekat.

Sedekat hatiku saat ini, bersama bang Indra, sang polisi ganteng itu.

*****

Aku dan bang Indra akhirnya menjalin hubungan asmara secara diam-diam. Hati kami menyatu dalam sebuah ikatan cinta yang indah.

Setiap kali bang Indra berkunjung ke desa, kami selalu bertemu.

Kami bertemu dan memadu asmara di pondok-pondok kebun masyarakat, terutama saat sore hari. Karena jika sore, orang-orang tidak lagi berasa di kebun.

Aku juga sering mengajak bang Indra ke rumahku, terutama jika keadaan rumah sedang sepi.

Kami semakin terlena dengan hubungan indah kami.

Hingga hampir setahun kami menjalin hubungan tersebut.

Sampai akhirnya bang Indra di pindah tugaskan ke daerah lain.

Daerah yang cukup jauh dari desa tempat saya tinggal.

Setelah bang Indra pindah tugas, secara otomatis hubungan kami pun terputus.

Saya sempat mengalami patah hati selama beberapa minggu, karena harus berpisah dengan bang Indra, sang polisi yang sangat saya cintai itu.

Namun kemudian saya sadar bahwa ikatan cinta kami, tidak mungkin selamanya akan bertahan.

Meski pun sebenarnya kami saling menyayangi, namun jarak yang jauh membuat kami harus bisa saling melupakan.

Kisahku bersama bang Indra, polisi bhabinkamtibmas itu, adalah sebuah kisah terindah yang pernah terukir di dalam perjalanan hidupku.

Seperti kata bang Indra, bahwa pada akhirnya, kami memang harus menjalankan kodrat kami sebagai seorang laki-laki.

Hanya saja saya tidak yakin, jika saya akan mampu menjadi laki-laki seutuhnya.

Karena setelah hampir setahun saya tidak bertemu lagi dengan bang Indra, namun saya masih terus memikirkannya. Dan masih berharap, jika suatu saat nanti kami akan bertemu kembali.

Semoga saja bang Indra masih punya harapan yang sama denganku.

Ya, semoga saja...

****

Sekian...

Kisahku bersama petugas pemutusan PLN

Namaku Dion. Dan sekarang aku berusia 36 tahun.

Ini adalah kisahku sebelas tahun yang lalu. Kisah yang terjadi saat aku masih berusia 25 tahun.

Saat itu aku baru saja bekerja di sebuah perusahaan ternama. Sebuah perusahaan yang cukup besar.

Saat kuliah, aku memang termasuk siswa yang berprestasi dan punya kemampuan otak yang lumayan.

Sehingga ketika lulus kuliah, aku langsung di promosikan untuk bisa bekerja di perusahaan ternama tersebut.

Bersama petugas PLN

Meski terbilang baru mulai bekerja, gaji yang aku terima boleh di bilang sangat besar. Karena itu, aku memutuskan untuk membeli sebuah rumah di kawasan perumahan yang cukup elite. Meski masih dengan cara kredit.

Sebagai seseorang yang masih cukup muda saat itu, aku memang sedang bersemangat untuk bekerja.

Bahkan aku lebih sering menghabiskan waktuku untuk lembur, hingga malam.

Kesibukanku sejak masih sekolah, hingga kuliah dan bahkan hingga aku bekerja, membuatku jadi hampir tak punya waktu untuk memikirkan yang namanya pacaran.

Bagiku pacaran hanya akan membuang-buang waktu. Karena itu, hingga usiaku 25 tahun tersebut, aku memang belum pernah pacaran.

Namun sebagai manusia normal, aku juga pernah jatuh cinta. Aku pernah jatuh cinta beberapa kali, saat aku SMA dan juga saat aku kuliah.

Tapi aku tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Menurutku masa depan jauh lebih penting dari itu semua.

Setelah tinggal di rumah sendiri dan hidup mandiri, aku masih sering menghabiskan waktu untuk bekerja.

Hingga pada suatu malam, aku baru saja pulang lembur malam itu.

Saat sampai di rumah aku menemukan secarik kertas yang di selipkan di kotak meteran PLN yang terpasang di samping pintu rumahku.

Kertas itu berisi peringatan dari pihak PLN, bahwa saya ternyata sudah tiga bulan menunggak pembayaran PLN.

Di bagian bawah tertulis, jika saya tidak membayar hingga esok pagi, maka meteran di rumah saya akan dicabut atau di putuskan.

Saya memang masih menggunakan PLN pascabayar waktu itu

Saya kaget menyadari hal itu. Kesibukan saya bekerja, ternyata membuat saya lupa menjalankan salah satu kewajiban saya sebagai pengguna PLN.

Dulu, membayar PLN tidaklah semudah saat ini. Dulu, untuk membayar PLN, hanya bisa di tempat-tempat tertentu dan di waktu-waktu tertentu. Kalau sekarang, kita tinggal buka HP, dan begitu banyak aplikasi yang bisa kita gunakan untuk membayar PLN secara online.

Aku melirik jam di ponselku, sudah hampir jam sebelas malam. Sudah pasti loket pembayaranPLN sudah tutup. Kalau menunggu besok, saya takut lupa lagi. Dan lagi pula, saya besok juga harus berangkat kerja pagi-pagi.

Karena itu, saya akhirnya memutuskan untuk menghubungi nomor ponsel yang tertera di kertas peringatan tadi.

Suara parau seorang laki-laki menyambut panggilanku. Aku meminta laki-laki, yang mengaku bernama Andra itu,untuk datang ke rumahku.

"saya gak punya waktu untuk membayar PLN besok, jadi saya ingin titip pembayarannya sama mas Andra aja.." jelasku di telpon.

Di luar dugaanku, Andra bersedia datang ke rumahku, meski malam sudah cukup larut.

Setengah jam kemudian, Andra pun datang dengan menaiki motor bututnya.

"maaf ya, malam-malam meminta kamu untuk datang.." ucapku menyambut kedatangan Andra.

"iya, gak apa-apa, bang. Ini juga merupakan bagian dari tugasku.." suara parau Andra membalas, sambil ia memasang senyum manis.

Jantungku tiba-tiba berdegup kencang melihat senyuman itu. Senyum itu terlalu manis.

Andra memang tampan dan juga terlihat sangat kekar.

Aku merasa terpesona menatap wajah Andra yang tampan dengan senyum manisnya itu.

Perasaanku jadi campur aduk tak karuan.

Sebagai seseorang yang selalu merasa kesepian selama ini, kehadiran Andra malam itu, benar-benar menggugah perasaanku.

"jadi gimana, bang? Mau bayar sekarang?" ucap Andra mengagetkanku.

Aku terdiam sejenak. Mulai berpikir untuk bisa menahan Andra lebih lama.

"masuk dulu aja ya, Ndra. Kita ngobrol dulu di dalam. Kebetulan tadi saya membeli makan malam dua porsi. Jadi saya pengen kamu temani saya makan sebentar.." tawarku akhirnya.

"emangnya bang Dion sendirian aja di rumah sebesar dan semewah ini?" tanya Andra sambil menatapku.

"iya, Ndra. Jadi kamu mau kan menemani saya sebentar. Kebetulan saya juga lagi butuh teman untuk ngobrol." balasku masih berusaha menawarkan.

Andra terlihat berpikir sejenak, lalu berucap...

"kalau memang bang Dion tidak merasa keberatan, saya mau aja, bang."

Saya pun tersenyum menang mendengar hal tersebut.

Singkat cerita, saya dan Andra pun makan berdua di ruang makan rumahku.

Andra mulai bercerita tentang beberapa pengalamannya menjadi petugas pemutusan PLN.

Dari Andra saya tahu, kalau Andra adalah anak kedua dari empat bersaudara. Ayahnya seorang kuli bangunan, dan sang ibu seorang buruh cuci.

Kakak pertamanya perempuan sudah menikah, sedangkan kedua adiknya masih sekolah.

Andra waktu itu masih berusia 22 tahun. Setelah tamat SMA ia langsung mulai bekerja serabutan, hingga akhirnya ia bekerja di PLN.

"orangtua saya tidak mampu untuk membiayai saya kuliah, bang. Jadi mau tidak mau, saya harus bisa mencari pekerjaan, setidaknya untuk membantu perekonomian keluarga kami.." ucap Andra lirih, mengakhiri ceritanya.

Saya cukup salut dengan perjuangan hidup Andra. Meski sampai saat itu ia masih belum punya masa depan yang jelas, namun setidaknya ia sudah bisa membantu orangtuanya.

"bang Dion lebih hebat lagi, di usia yang masih sangat muda, bang Andra sudah bisa punya rumah semewah ini dan sudah punya penghasilan yang lumayan besar." ucap Andra lagi, saat aku mengungkapkan rasa kagumku akan perjuangan hidupnya.

"yah, harus saya akui, secara materi hidupku memang sudah berkecukupan. Namun sebenarnya aku tidak benar-benar bahagia dengan semua ini.." suaraku terdengar lirih.

"kenapa?" tanya Andra dengan kening berkerut, "bukankah semua kemewahan ini seharusnya bisa membuat bang Dion merasa bahagia?" lanjutnya.

"aku selalu merasa kesepian, Ndra. Hidupku terasa hampa." suaraku masih lirih.

Andra menatapku tajam, seperti mencoba menebak maksud dari ucapanku barusan.

"kenapa bang Dion tidak menikah saja?" tanya Andra akhirnya.

"itu dia masalahnya, Ndra. Aku tidak punya rasa ketertarikan pada perempuan.." jawabku jujur.

"maksudnya bang Dion homo?" tanya Andra terdengar spontan.

Aku menatap Andra tajam. Sebenarnya aku merasa tersinggung mendengar pertanyaan Andra barusan. Tapi aku mencoba menenangkan hatiku. Apa lagi melihat wajah Andra yang tampan, membuatku tidak bisa memarahinya.

"mungkin, Ndra." jawabku akhirnya, "aku dulu memang pernah jatuh cinta pada laki-laki. Tapi sampai saat ini, aku selalu bisa memendam semua itu. Aku tidak pernah sama sekali mencoba mewujudkan impian-impianku tentang laki-laki. Meski keinginan itu terkadang sangat menyiksaku.." lanjutku, dengan nada lemah.

"lalu sekarang bang Dion ingin apa dari saya?" tanya Andra seperti mencoba memancing.

"seumur hidup aku belum pernah merasakan bagaimana rasanya bercinta dengan sesama laki-laki. Karena selama ini, aku selalu berusaha memendam semua keinginan itu." aku berucap tanpa berani menatap Andra.

"namun saat pertama kali melihat kamu tadi, entah mengapa keingina itu tiba-tiba datang." lanjutku pelan.

"apa kamu bersedia, jika saya minta kamu untuk memberikan saya kesempatan bisa merasakan hal tersebut? Dan saya bersedia membayar kamu berapa saja yang kamu minta, jika kamu mau." ucapku melanjutkan lagi.

Kali ini aku coba menatap Andra. Mencari jawaban dari pandangan matanya yang teduh itu.

"abang yakin? mau bayar saya berapa aja?" tanya Andra akhirnya, setelah cukup lama ia terlihat berpikir.

"iya, saya yakin. Tapi kamu harus benar-benar bisa membuatku merasa puas." balasku lugas.

"kalau begitu saya minta bayaran lima juta. Dan saya akan memberi pelayanan yang terbaik buat bang Dion, bahkan jika perlu saya bersedia menginap di sini malam ini."

jawaban Andra benar-benar membuatku tersenyum senang.

Uang lima juta waktu itu, memang terbilang cukup besar. Jika dibandingkan saat ini, mungkin sebesar 30 jutaan. Tapi aku tidak merasa keberatan untuk membayar Andra semahal itu.

Bukan saja karena Andra memang tampan dan kekar, yang merupakan tipe pria idaman saya selama ini. Tapi juga karena, aku memang punya banyak tabungan saat itu. Dan sebenarnya uang sebanyak itu, bahkan hanya separoh dari jumlah gaji yang aku terima tiap bulannya.

Setelah mendapatkan kesepakatan, kami pun akhirnya pindah ke kamar tidurku.

Dan malam itu, aku akhirnya bisa merasakan sesuatu yang selama ini hanya ada dalam khayalku.

Dan yang paling membuatku bahagia, aku melakukannya dengan orang yang aku sukai.

Sungguh sebuah pengalaman yang indah. Andra benar-benar laki-laki yang tangguh dan perkasa.

Seperti janjinya, ia berusaha memberikan sesuatu yang terbaik untukku malam itu.

Dan kami bahkan kami melakukannya berkali-kali hingga pagi.

*****

Sekitar jam sepuluh pagi, Andra pun terbangun dan bersegera mandi.

Aku masih dengan perasaan malas dan badan yang letih, segera memberikan uang kepada Andra sebanyak lima juta. Dan tentu saja sekalian dengan total pembayaran tunggakan PLN-ku.

Aku memang memutuskan untuk tidak masuk kerja hari itu. Tubuhku terasa lelah dan aku merasa sangat mengantuk. Karena itu, seharian aku berusaha untuk tidur, setelah Andra permisi untuk pulang.

Dan itu adalah pengalaman pertamaku melakukan hubungan intim dengan sesama laki-laki.

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi bertemu Andra. Aku juga tidak berniat untuk menemuinya. Meski sebenarnya aku bisa menghubunginya dan meminta ia untuk datang. Tapi aku tidak ingin melakukannya.

Aku tidak ingin terlarut dalam hubungan asmara sesama jenis seperti itu. Aku tidak ingin kehidupanku hancur, hanya karena mengikuti hawa nafsuku.

Harus aku akui, jika hal itu tidaklah mudah. Tidak mudah untuk memendam keinginan untuk terus merasakan hal tersebut.

Untuk menutupi keinginanku tersebut, aku semakin menyibukkan diriku dengan terus bekerja dan hanya bekerja.

Dan setahun kemudian, akupun memutuskan untuk menikah dengan seorang gadis, salah seorang bawahanku di kantor.

Sebagai seseorang yang dipandang cukup sukses secara materi, tentu saja sangat mudah bagiku mencari pasangan hidup.

Aku menikah, meski aku tidak pernah mencintai istriku sampai saat ini.

Tapi setidaknya aku tidak lagi harus melakukan hal tersebut dengan orang lain. Setiap kali keinginan itu datang, aku selalu menumpahkannya pada istriku.

Dan sekarang sudah hampir sebelas tahun aku menikah. Pernikahan kami pun sudah di karuniai dua orang anak.

Kehidupan rumah tangga ku terlihat bahagia dan baik-baik saja. Meski sebenarnya aku tidak pernah benar-benar bahagia.

Tapi aku memang harus menjalani kodratku sebagai seorang laki-laki.

Menikah, punya anak dan menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami.

Kenaganku bersama Andra masih terus tersimpan di relung hatiku. Itu adalah kenangan terindah dalam perjalanan hidupku. Setidaknya aku pernah merasakan hal tersebut.

Dan aku berharap, itu adalah terakhir kalinya aku melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki.

Apa lagi saat ini, aku sudah punya istri dan anak.

Semoga saja, aku mampu bertahan hidup dalam kepura-puraan ini selamanya.

Ya, semoga saja!

*****

Selesai..

Duda tampan, nasabah baruku ...

Namaku Kusnaini. Biasa di panggil Kus.

Aku bekerja di sebuah bank negara. Aku bekerja sebagai seorang account officer, yang berperan sebagai sales dan marketing.

Duda tampan, nasabah baruku...

Tugas saya adalah mencari nasabah dan menawarkan produk bank kepada masyarakat. Saya juga yang menentukan kelayakan nasabah yang sesuai dengan kriteria peraturan bank. Selain itu, saya juga menilai, mengevaluasi dan mengusulkan berapa kredit yang akan di berikan kepada nasabah.

Secara umum tugas saya adalah mengelola kredit nasabah, menyurvei nasabah yang mengajukan pinjaman kredit kepada bank.

Saya yang berhubungan langsung dengan para nasabah yang mengajukan pinjaman kredit.

Dengan segala tugas tersebut, saya sudah bertemu banyak orang, dengan berbagai karakter dan kriteria yang bermacam-macam.

Ada yang menurut saya mereka layak di beri pinjaman, dan ada yang tidak layak.

Berdasarkan hasil survei saya tersebut, bank akan menyetujui pengajuan pinjaman nasabah.

Dan ini bukanlah tugas yang mudah, karena untuk menilai karakter seseorang hanya dalam beberapa jam bukanlah hal yang gampang.

Namun tentu saja, untuk menjalankan pekerjaan saya ini, saya sudah diberi bekal yang cukup.

Dan saya bukan satu-satunya, yang bertugas sebagai account afficer di bank tempat saya bekerja.

Kami ada tiga orang, dengan pembagian wilayah tertentu. Dan tentu saja tugas kami hanya meliputi wilayah di sekitar cabang bank tempat kami bertugas.

Bertemu berbagai karakter orang, membuat saya mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang berbeda setiap hari.

Karena tugas inilah akhirnya saya bertemu mas Eri, seorang calon nasabah baru.

Dan beginilah cerita saya di mulai.

*****

Cerita berawal, katika mas Eri menghubungi saya melalui telepon genggam. Tantu saja ia mendapatkan nomor saya, melalui brosur-brosur yang sengaja kami bagikan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Seperti pertanyaan para calon nasabah baru pada umumnya, mas Eri pun mempertanyakan tentang syarat-syarat untuk pengajuan pinjaman.

Saya pun menjelaskan secara profesional kepada mas Eri tentang prosedur dan syarat-syarat yang harus ia penuhi.

Beberapa hari kemudian, mas Eri pun datang ke kantor untuk mengantar berkas syarat-syarat tersebut.

Saat itu, saya tidak bertemu dengan mas Eri secara langsung, karena saya sedang ada tugas lapangan.

Mas Eri hanya menitipkan berkasnya kepada satpam bank, sesuai dengan pesan yang saya sampaikan padanya melalui pesan singkat.

Keesokan harinya, saya pun melihat berkas-berkas yang masuk ke meja kerja saya, salah satunya adalah berkas dari mas Eri.

Siangnya, saya pun meluncur menuju alamat rumah mas Eri, untuk melakukan survei, sesuai dengan prosedur yang ada.

Kesan pertama yang saya rasakan, ketika pertama kali bertemu mas Eri di rumahnya, adalah sebuah keramahan. Dan hal itu sudah biasa saya hadapi.

Setiap calon nasabah baru yang saya temui, pasti akan bersikap ramah, karena mereka tahu, saya datang untuk menilai karakter mereka.

Namun dibalik keramahan mas Eri siang itu, tersimpan sebuah senyum yang begitu indah.

Harus saya akui, kalau mas Eri memang memiliki wajah yang tampan, dengan postur tubuh yang atletis.

Jantung saya sempat berdegup tak karuan beberapa saat. Jarang-jarang saya bertemu nasabah seperti mas Eri.

Apa lagi kebanyakan dari nasabah saya adalah para ibu-ibu.

Namun saya memang harus tetap bersikap profesional, apa lagi saya belum begitu mengenal mas Eri.

"jadi mas Eri punya usaha kebun sawit?" tanyaku, ketika akhirnya mas Eri mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamunya.

"iya, bang.." jawab mas Eri dengan suara yang sangat maskulin.

"oke. Kalau boleh tahu, kebun sawitnya berada di mana, mas?" tanyaku lagi, berusaha setenang mungkin.

"ada di belakang kampung ini, bang. Sekitar lima kiloan dari sini.." jelas mas Eri, masih dengan suara maskulinnya.

Terus terang saya suka mendengar karakter suara mas Eri yang terkesan sangat jantan. Dan hal itu membuat saya sedikit grogi.

"bisa kita melihatnya sekarang kesana, mas?" saya melanjutkan lagi.

"bisa, bang. Kita berangkat sekarang?" balas mas Eri kemudian.

"iya, mas. Takutnya nanti kesorean.." ucapku.

"tapi masnya gak usah panggil abang, panggil Kus aja, saya masih 27 tahun." lanjutku kemudian, mencoba sedikit akrab.

"oh, oke." jawab mas Eri singkat, sambil sedikit membulatkan bibir.

"kita perginya pake satu motor aja ya, mas. Soalnya saya gak tahu jalannya.." ujarku selanjutnya menawarkan.

Entah mengapa kali ini aku punya ide seperti itu. Padahal biasanya aku selalu naik motor sendiri untuk survei ke kebun nasabah.

Mungkin karena mas Eri terlalu mempesona bagiku. Dan aku ingin selalu dekat dengannya.

Akh, kesan pertama yang begitu menggoda.

*****

Kami akhirnya berangkat menuju kebun sawit milik mas Eri, dengan menggunakan motor mas Eri. Motorku sendiri ku titipkan di rumahnya.

Mas Eri yang menyetir, dan aku berboncengan di belakangnya.

Aroma khas mas Eri tercium di hidungku, ketika motor itu mulai berjalan.

Jantungku kian berdegup tak karuan. Apa lagi sepanjang perjalanan, dadaku sering bersentuhan dengan punggung mas Eri.

"jadi sudah berapa lama istrinya meninggal, mas?" tanyaku berbasa-basi, sekedar menghilangkan rasa grogi-ku.

"sudah hampir empat bulan, Kus." jawab mas Eri, mulai terdengar akrab.

"anaknya udah berapa, mas?" tanyaku lagi.

"udah dua, Kus. Yang satu udah sembilan tahun, satunya lagi baru dua tahun." mas Eri menjawab lagi.

"wah, kasihan juga ya, mas. Masih kecil udah di tinggal ibunya." ucapku prihatin.

"yah, mau gimana lagi, Kus. Mungkin ini udah jalannya.." jawab mas Eri terdengar pasrah.

"Sekarang mas Eri usia berapa?" aku bertanya kembali, setelah beberapa saat kami terdiam.

"38 tahun." jawab mas Eri singkat.

"masih muda ya, mas. Apa lagi mas Eri masih kelihatan tampan dan gagah." ucapku jujur,

"masih ada rencana mau nikah lagi gak, mas?" tanyaku melanjutkan.

Kali ini mas Eri terdiam. Ia fokus mengendarai motornya.

Aku pun tidak berkata apa-apa lagi. Aku sadar, mungkin pertanyaanku terlalu pribadi.

Beberapa menit kemudian, kami pun sampai ke kebun sawit mas Eri.

Sebuah kebun sawit yang cukup luas, namun tidak terawat dengan baik. Semak-semak menyelimuti kebun tersebut.

"beginilah kondisi kebun tersebut, Kus. Tidak terawat. Makanya saya mengajukan pinjaman, untuk biaya perawatannya, agar hasilnya jauh lebih meningkat nantinya.." jelas mas Eri, saat kami sudah berada di dalam kebun tersebut.

"apa lagi sekarang, saya tidak bisa bekerja seperti biasa, karena juga harus mengurus anak-anak. Jadi penghasilan dari kebun inilah yang saya harapkan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami nantinya." lanjut mas Eri.

"sebelumnya mas Eri kerja dimana?" tanyaku pelan.

"saya kerja serabutan, Kus. Kadang cari ikan di sungai, kadang ikut jadi kuli bangunan, dan kadang ya merawat kebun ini.." jawab mas Eri.

Aku hanya manggut-manggut mendengarkannya.

Menurut data dari berkas mas Eri yang aku terima, kebun ini cukup lumayan hasilnya. Apa lagi nanti kalau mas Eri merawat dan memupuknya lebih baik.

Namun masalahnya, selain kebun ini, mas Eri tidak punya penghasilan tetap lainnya. Yang membuat saya jadi ragu, untuk meloloskannya.

"jadi gimana, Kus. Kira-kira bisa lolos gak?" tanya mas Eri memecah keheningan.

Aku menatap mas Eri dengan sedikit tersenyum. Aku gak tahu harus menjelaskan apa padanya.

"tolong ya, Kus. Saya sangat membutuhkan uang tersebut.." mas Eri berucap lagi dengan suara lirih.

Oh, aku terenyuh mendengarnya, suara mas Eri benar-benar menghiba.

"saya akan lakukan apa saja, Kus. Supaya kamu mau meloloskan pinjaman saya.." mas Eri melanjutkan, masih dengan suara lirih.

Ingin rasanya aku menganggukan kepala saat itu, tapi sikap profesionalku segera mencegahnya.

"kita lihat nanti aja ya,mas." jawabku akhirnya.

"apa itu artinya, tidak ada harapan sama sekali, Kus." suara itu semakin lirih.

"saya sangat membutuhkan uang itu, Kus. Tolong saya, ya.." mas Eri melanjutkan, kali ini ia melangkah kian mendekat.

Mas Eri berdiri tepat di hadapanku, jaraknya hanya setengah meter. Wajah tampannya menatapku, dengan pandangan sendu matanya yang indah.

Oh, aku tak tahan di tatap seperti itu. Mas Eri terlalu mempesona. Hati tiba-tiba saja luluh.

Sebagai manusia biasa, aku juga punya batas keprofesionalan dalam bekerja.

"mas Eri mau saya loloskan?" tanyaku, suaraku bergetar. Dadaku berdebar hebat.

Namun pesona mas Eri benar-benar membuatku rapuh. Tak berdaya melawan diriku sendiri.

Apa lagi suasana di kebun itu sangat sepi. Apa lagi mas Eri berdiri hanya satu langkah di depanku.

"iya, Kus. Kamu mau apa dari saya? pasti akan saya penuhi, asal kamu bisa tolong untuk meloloskan saya.." kali ini mas Eri bersuara sedikir berbisik.

Repleks tanganku pun bergerak untuk menyentuh wajah tampan itu.

"mas Eri sangat tampan. Saya suka sama mas Eri.." pelan suaraku bergetar.

Mas Eri terlihat kaget, namun ia tetap membiarkanku melakukannya.

Aku tahu, kepasrahan mas Eri bukan karena ia menyukai hal tersebut, tapi karena ia sangat berharap aku mau memenuhi permintaannya untuk meloloskan pinjamannya.

Sontak aku pun menarik tanganku kembali. Bukan karena aku tidak menginginkan hal tersebut, tapi biar bagaimana pun aku harus tetap profesional dalam bekerja.

"saya suka mas Eri. Tapi saya gak mungkin memanfaatkan jabatan saya untuk mendapatkan keinginan saya. Jadi maaf, mas Eri. Saya belum bisa memutuskannya sekarang. Nanti akan saya kabari lagi. Sekarang mari kita pulang.." ucapku panjang lebar akhirnya.

Mas Eri terlihat murung tiba-tiba. Ia terlihat seperti kehilangan harapan.

"sudah empat bulan istri saya meninggal. Sebelum meninggal istri saya sempat sakit berat selama setahun. Artinya sudah lebih dari setahun, saya tidak mendapatkan kebutuhan bathin dari istri saya." tiba-tiba mas Eri membuka suara.

"jika kamu mau melakukannya dengan saya sekarang, saya bersedia, kok. Bukan karena saya berharap kamu meloloskan saya, tapi lebih karena saya sangat ingin merasakan hal tersebut lagi, setelah sekian lama saya memendamnya.." mas Eri melanjutkan kalimatnya.

Mas Eri melangkah kian mendekat lagi. Kali ini benar-benar dekat.

Jantungku semakin berdegup tak karuan.

Akh, aku tak mampu menolak pesona mas Eri. Apa lagi sepertinya ia sangat menginginkan hal tersebut.

Dan aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kapan lagi bisa melakukan hal tersebut, dengan seorang duda setampan mas Eri.

Untuk itu, aku pun mulai melakukan aksiku, dan mas Eri pun mulai membuka diri untukku.

Sore itu, kami pun melakukan hal tersebut untuk pertama kalinya.

Sebuah kesan yang sangat indah bagiku, dan sepertinya mas Eri juga menikmati hal tersebut.

Setelah sama-sama melepas lelah, kami pun sepakat untuk segera pulang.

Sepanjang perjalanan aku merasa begitu lega. Tak kusangka sore ini, aku bisa merasakan sebuah keindahan bersama mas Eri.

Sang Duda tampan, nasabah baruku...

******

Beberapa hari kemudian, aku pun meminta mas Eri untuk datang ke kantor.

"pengajuan kredit mas Eri udah di terima, sekarang mas Eri bisa datang ke kantor untuk tanda tangan akad dan sekalian pencarian dana pinjaman.." jelasku di ponsel.

Setengah jam kemudian, mas Eri pun datang. Ia tersenyum manis padaku.

Aku menatap mas Eri dengan senyum termanisku.

Semenjak kejadian sore itu di kebun sawit, aku memang jadi sering mengkhayalkan mas Eri.

Dan tak kusangka juga, kalau mas Eri juga jadi sering menghubungiku.

Kami pun akhirnya menjadi kian dekat dan akrab.

Kehadiran mas Eri telah memberi warna tersendiri dalam perjalanan hidupku.

Kini hari-hariku jadi lebih bermakna. Mas Eri sekarang bukan hanya sekedar nasabah bagiku. Tapi juga jadi bagian dari hidupku.

Kami memang akhirnya menjalin hubungan asmara secara diam-diam. Mas Eri sering memintaku untuk datang ke rumahnya.

Kami sering melakukan hal tersebut, di kamar mas Eri ,terutama saat anak-anaknya ia titipkan di rumah ibunya.

Bukan hanya di rumahnya, mas Eri juga sering mengajakku untuk bertemu di kebun sawitnya.

"di sini kita pertama kali melakukannya, Kus. Dan aku ingin terus melakukannya di sini bersama kamu, selamanya.." bisik mas Eri suatu hari, ketika kami bertemu lagi di kebunnya, untuk yang kesekian kalinya.

Oh, rasanya semua itu sangat indah bagiku. Hubungan cintaku bersama mas Eri benar-benar membuatku terlena.

Aku jadi takut kehilangan mas Eri. Aku ingin selalu bersamanya. Sampai kapan pun.

Semoga saja hubungan kami, bisa terus bertahan. Tanpa jangka waktu, tanpa batas waktu.

Bukan seperti jangka waktu pinjaman para nasabah, yang hanya terbatas pada waktu tertentu.

Satu tahun, dua tahun, tiga tahu atau lima tahun.

Tapi aku ingin hubungan kami bertahan selamanya, sampai maut memisahkan kami.

Sekian...

****

Cowok penjual Tissue ...

Lampu merah lagi!

Aku mengumpat kesal dalam hati. Aku turunkan kaca mobil setengah, untuk mengurangi panas di mobil.

Aku terus menggerutu panjang - pendek di dalam hati.

Bakalan telat lagi, nih! Padahal minggu lalu aku juga terlambat untuk mata kuliah yang satu ini. Sehingga dengan amat terpaksa aku harus mengikuti kuliah kewiraan dari luar kelas.

Cowok penjual tissue

"Tissue, mas.." sebuah suara mengagetkanku tiba-tiba.

Hampir saja aku memaki cowok penjual tissue di lampu merah itu. Kalau saja aku tidak melihat tampang cowok itu.

"jeff!" desisku setengah tak percaya. Kekucelan cowok itu sedikit meragukanku.

Cowok itu menatapku sesaat, lalu tergesa meninggalkanku. Hal tersebut semakin meyakinkanku, kalau cowok itu memang Jeff.

Tapi kenapa penampilan Jeff begitu berbeda. Kurus, hitam dan tak terawat.

Dua tahun memang bukan waktu yang singkat. Rentang waktu selama itu bisa merubah penampilan seseorang, tapi tidak sedrastis itu.

"Jeff! Jeff!" aku berteriak mengeluarkan separoh badan dari mobil. Tapi Jeff menoleh pun tidak, justru langkahnya semakin lebar.

Sayang sudah lampu hijau, kalau tidak aku akan nekat mengejar Jeff.

****

Esok siangnya, aku tidak ada kuliah.

Aku putuskan untuk datang lagi ke perempatan kemarin. Agar lebih mudah, sengaja aku tidak membawa mobil.

Semalam aku tidak bisa tidur. Pertemuanku dengan Jeff kemarin telah membangkitkan kenangan lama yang telah dengan susah payah aku timpah di dasar hatiku.

Tapi pertemuan tak terduga itu telah mengobrak-abrik semuanya. Siapa sangka mereka justru bertemu di sini.

Saat Jeff menghilang, seluruh pelosok Pekanbaru sudah aku jelajahi. Pantas gak ketemu. Gak tahunya ia di Medan.

Aku berbaur diantara pedagang asongan yang banyak itu. Mataku jelalatan mencari Jeff. Matahari tepat berada di atas kepala. Tapi aku tidak peduli, asal aku dapat bertemu dengan Jeff.

Nah itu dia! Bathinku saat melihat Jeff dari kejauhan.

Langkahku lebar. Jeff berdiri di pinggir jalan dengan tumpukan tissue di tangan. Menunggu lampu merah tiba, lalu akan bergerak cepat menjajakan dagangannya dari mobil ke mobil, begitu lampu kuning berganti merah.

Sekarang Jeff ada di depanku.

Lampu merah. Aku mengurungkan niatku untuk memanggilnya.

Ku perhatikan Jeff yang menawarkan dagangannya ke beberapa mobil yang kacanya terbuka. Bukan membeli, justru kaca itu semakin menutup penuh.

Tak satu pun dagangan Jeff terjual.

Jeff mengusap peluh di wajahnya yang hitam. Tersentuh rasa hatiku melihat hal tersebut.

Aku tahu siapa Jeff, cowok pemalu yang tak biasa hidup keras dan susah.

"Jeff.." aku memanggil pelan.

Jeff menatapku. Mengernyit sesaat lalu membuang muka. Langkahnya berbalik menjauhiku.

Aku berusaha mengejar dari belakang, "Jeff!" seruku lagi.

Ku sentuh pundak Jeff dari belakang. Cowok itu berbalik menatapku lagi.

"maaf, kamu salah orang. Aku bukan Jeff!" parau suara laki-laki itu.

"kalau bukan Jeff, lalu kamu siapa?" tanyaku meyakinkan.

 "kurasa itu bukan urusan kamu," ujar Jeff tanpa menatapku. Lalu kemudian ia berbalik dan berjalan menjauh.

"kamu pengecut, Jeff! Pergi tanpa pamit. Lalu sekarang kamu pura-pura gak kenal. Apa salahku?" teriakku parau.

Di luar dugaanku, Jeff berhenti, berbalik menatapku.

******

"kamu gak salah. Aku juga gak salah. Keadaanlah yang memaksaku harus pergi..." pelan suara Jeff. Kami duduk di halte tak jauh dari lampu merah tersebut.

"berarti kamu tak mengenal aku seutuhnya. Perbuatan papamu itu tak akan mengubah hubungan kita.." balasku selembut mungkin.

"bagimu mungkin. Tapi tidak dengan keluargamu..." suara Jeff masih pelan.

"apa maksudmu?" keningku berkerut.

"lupakan saja..." balas Jeff, lebih terdengar seperti sebuah desahan.

"jangan membuatku bingung, Jeff." timpalku.

"tak ada gunanya, Jim! Jika ku katakan, tak akan merubah apapun yang sudah terjadi.." lirih suara itu.

"tapi setidaknya bisa membuatku mengerti mengapa kamu harus pergi tanpa pamit." balasku lagi.

"aku tak ingin mengingat semua itu lagi. Bagiku itu merupakan masa lalu yang sudah terkubur dalam-dalam.."

Miris hatiku mendengarnya. Tragis sekali. Bagi Jeff diriku cuma masa lalu yang sudah terkubur. Sementara aku selalu mengais-ngais masa lalu itu. Berharap suatu hari kami akan kembali bertemu.

"semudah itu kamu melupakanku?" tanyaku akhirnya, suaraku terdengar serak.

"kita sudah berbeda, Jim. Lihat saja, aku bagai gelandangan dekil. Sementara kamu bagai sang pangeran..." Jeff membalas ringan.

"semua mungkin sudah berubah. Tapi tidak dengan hatiku.." ucapku pelan.

"waktu akan mengubah segalanya, Jim..." Jeff membalas lagi.

"takkan ada yang mampu merubah perasaanku padamu Jeff.." balasku sengit.

Ku lihat Jeff menghela napas berat.

Aku menatap wajah Jeff dalam. Wajah itu masih sangat tampan, meski sekarang terbalut kulit yang menghitam.

Mencintai Jeff adalah hal yang menyenangkan, dan memiliki cinta cowok itu merupakan hal terindah dalam hidupku.

Tapi itu dulu. Sebelum semuanya berubah.

Bukan salah Jeff, jika semuanya harus berakhir seperti ini.

Bukan salah papanya Jeff, yang memanipulasi uang perusahaan, yang menyebabkan Jeff jadi hina di mata siapa saja.

Jeff tak berhak menghakimi papanya. Sudah terlalu banyak yang menghakiminya. Apa lagi papa Jeff sudah menebusnya dengan masuk bui, dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, karena tidak tahan hidup di dalam sel.

Bukan salah mamanya Jeff juga, yang memilih mengakhiri hidupnya dan meninggalkan Jeff sendirian, karena tak sanggup hidup melarat dan menanggung malu.

Bukan salah siapa-siapa sebenarnya. Dan aku juga tidak peduli dengan semua itu.

Aku tetap mencintai Jeff, seperti apa pun kondisinya.

Namun ternyata bagi Jeff, semuanya telah berbeda.

Perbedaan di antara kami, kian terasa, saat papa justru menunjukkan ketidaksukaannya akan hubunganku dengan Jeff.

Tapi kami coba mengabaikannya. Kami diam-diam terus menjalin hubungan asmara.

Namun tiba-tiba Jeff menghilang tanpa kabar. Dan di sini lah akhirnya aku bertemu Jeff kembali.

"aku sayang kamu, Jeff! Selalu dan untuk selamanya.." ucapku tegas.

"jangan katakan itu, Jim. Terlalu sakit buatku.." Jeff berucap sambil menggeleng dengan pandangan miris.

"kenapa?" tanyaku pelan.

"karena papamu sudah menegaskan padaku, Jim. Bahwa aku harus menjauhi kamu. Dan sampai kapan pun beliau tidak akan pernah rela, menerima aku sebagai bagian dari hidupmu..."

Setelah berucap demikian, Jeff berdiri, memutar langkah dengan cepat pergi meninggalkanku, yang masih kebingungan mendengar penuturannya.

Aku tahu, semenjak papa mengetahui tentang keluarga Jeff yang berantakan, papa memang tidak mengizinkanku untuk sekedar berteman dengan Jeff.

Hanya saja, aku tidak menyangka, kalau papa akan mengatakannya langsung kepada Jeff. Yang membuat Jeff akhirnya pergi.

******

Lebih dari seminggu aku tak lagi pernah melihat Jeff berjualan di lampu merah tempatnya biasa berjualan.

Pikiranku mulai tak enak. Memikirkan hal buruk yang bisa saja terjadi pada Jeff.

"kamu kenal, Jeff?" tanyaku pada seorang penjual rokok di lampu merah itu.

"yang hitam tinggi itu?" tanya remaja itu balik.

"yang agak kurusan." tambahku, "kamu ada liat dia?"

Remaja itu menggeleng.

"kamu tahu rumahnya?" tanyaku lagi.

"dia kost di Juanda baru. Dekat jembatan itu." jawab remaja itu, sambil mengarahkan telunjuknya.

"bisa antar saya. Saya temannya di Pekanbaru dulu.." pintaku.

Remaja itu membulatkan bibir.

Kami hanya berjalan kaki, karena katanya tempat kost Jeff tak jauh dari situ. Lagi pula jalannya sempit dan becek. hingga mobil takkan bisa masuk.

Kami melewati rumah-rumah kecil dan sembrawut. Tiang-tiang jemuran melintang tak teratur. Beberapa bocah bertelanjang dada penuh ingus di hidung saling berlarian.

"masih jauh?" tanyaku sambil terus melangkah pelan, menghindari jalan yang becek dan tergenang air.

"itu rumahnya. Yang cat hijau.." jawab remaja itu. Yang ditunjuknya merupakan rumah paling jelek dari rumah lainnya

"perlu saya tunggu, mas?" tanya remaja itu selanjutnya.

Aku mengangguk. Aku merasa tak nyaman berada sendirian di tempat seperti ini.

"assalamualaikum..." ucapku sedikit berteriak.

Tak ada sahutan. Aku mengetuk pintu yang terbuat dari tripleks itu pelan, sambil mengucapkan salam. Sepi.

Aku menoleh ke belakang. Ke tempat remaja pria itu berdiri. "benar ini rumahnya?" tanyaku meyakinkan.

"benar, mas! Coba panggil lebih keras." balas remaja itu lagi.

"assalamu ..."

"cari siapa?" belum usai salam ku, seorang Ibu keluar dari rumah sebelahnya.

"ada Jeff, Bu?" tanyaku dalam kekagetan.

Wanita tua itu menatapku dengan mata memicing. Membuatku berdiri kian kikuk.

"benar ini tempat kost Jeff, Bu?" ulangku memastikan.

"Jeff udah pergi seminggu yang lalu." jawab wanita itu.

Aku tercekat. "pergi kemana?" suaraku serak.

"saya kurang tahu. Tapi dia bilang ingin mencoba mengadu nasib ke Batam atau Jakarta." wanita itu menjawab lagi.

Lemas seluruh tubuhku. Untuk kedua kalinya Jeff pergi tanpa kata perpisahan. Teganya!

Padahal, asaku yang selama ini sudah berkarat, baru saja aku asah kembali. Tapi ternyata...

Setelah mengucapkan kata permisi, aku berbalik langkah. Sekuat hati, aku menahan agar tangisku tak tumpah.

"nak, tunggu dulu!" wanita tua itu menahan langkahku.

"Ibu sepertinya sering melihat kamu. Tapi entah dimana," wanita itu terlihat seperti berpikir keras, lantas mengambil sebuah kunci dari balik bajunya yang usang.

"kemari, nak!" panggilnya setelah membuka pintu kamar kost Jeff.

Aku melangkah masuk. Mataku terbelalak. Photo-photo yang aku berikan pada Jeff waktu di Pekanbaru, tertempel di segala sisi.

"ini photo-photo kamu, kan?" tanya wanita itu lagi.

Aku hanya mengangguk.

"Jeff pernah cerita, karena orang di photo inilah dia tetap semangat untuk hidup." wanita itu melanjutkan.

"tapi kenapa dia pergi lagi?" suaraku serak.

"saya juga heran. Jeff pergi begitu tiba-tiba. Ketika saya tanya kenapa dia tak membawa photo-photo ini, dia bilang; dia juga pergi untuk melupakannya. Karena dia semakin sadar, katanya bagai mengharap bintang untuk kembali memiliki orang itu."

Aku terisak. Berkelebat bayangan wajah Jeff dimataku.

Tak ada yang berubah, Jeff.

Andai saja kamu terbuka padaku. Rintihku dalam hati.

****

Sekian ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate