Namaku Farida, biasa dipanggil Ida (bukan nama sebenarnya).
Dan aku seorang janda.
Aku menjadi janda semenjak suamiku meninggal pada sebuah kecelakaan kerja, di sebuah pabrik.
Usiaku sudah 32 tahun, dan sudah memiliki dua orang anak.
Anak pertamaku sudah berusia sembilan tahun, sedangkan anak kedua ku masih berumur lima tahun.
Aku hanya seorang wanita biasa. Aku sekolah hanya sampai lulus SMA.
Dulu aku pernah bekerja di sebuah butik, membantu menjahit pakaian.
Namun semenjak menikah dengan suamiku, aku hanya menjadi seorang ibu rumah tangga biasa.
Setelah suamiku meninggal, secara otomatis aku menjadi sedikit linglung.
Aku tidak punya keterampilan apa-apa, selain menjahit.
Karena itu, setelah lebih dua bulan suamiku meninggal, aku pun memutuskan untuk menggunakan uang pesangon suamiku untuk membeli sebuah mesin jahit, dan perlengkapan menjahit lainnya.
Aku juga harus pindah ke rumah kotrakan yang lebih murah.
Aku pindah ke sebuah rumah petak, tak begitu jauh dari perumahan tempat aku tinggal sebelumnya.
Rumah petak itu, berderet sebanyak lima pintu. Dan hanya dibatasi oleh sebuah tembok.
Tempat aku dan anak-anak ku tinggal berada yang paling ujung, karena hanya itu yang masih kosong.
Di tempat baru itulah aku memulai usaha menjahitku.
Dan ternyata itu tidak semudah yang aku bayangkan. Karena untuk mencari pelanggan ternyata sangat sulit. Apa lagi aku yang masih sangat baru. Orang-orang tidak begitu saja percaya dengan hasil kerjaku, karena belum terbukti.
Namun demi anak-anak dan demi biaya hidup kami, aku tidak berputus asa. Berbagai cara aku lakukan untuk meyakinkan orang-orang agar mau menjahitkan pakaiannya di tempatku.
Di tempat baruku itu juga, aku bertemu dengan seorang laki-laki, yang menurutku lumayan tampan.
Namanya Kamal (bukan nama sebenarnya).
Kamal seorang suami dari seorang istri bernama Rahma, dan juga seorang ayah dari seorang anak berusia enam tahun.
Kamal dua tahun lebih muda dariku. Ia bekerja sebagai seorang satpam di sebuah bank swasta.
Rahma, istri Kamal, bekerja sebagai pedagang kue keliling.
Setiap pagi, sambil mengantar anaknya sekolah, Rahma berjualan kue di sekelilig komplek. Dan ia biasanya pulang ketika hari menjelang siang.
Kamal sendiri, bekerja secara shift atau bergiliran. Kadang Kamal masuk kerja malam dan pulang pagi, atau kadang ia masuk kerja pagi dan pulang tengah malam.
Aku mengenal Kamal, karena ia ikut membantu mengangkuti barang-barangku dari mobil ke dalam rumah, ketika aku pindahan dulu.
Kamal seorang laki-laki yang jangkung, tingginya mungkin mencapai 180 cm. Tubuhnya kekar dan berotot.
Meski berkulit sedikti gelap, namun Kamal terlihat bersih. Ia juga memiliki paras yang manis.
Sebagai seorang janda yang sudah lebih dari empat bulan di tinggal suami, kehadiran Kamal cukup menggugah hatiku.
Namun aku cukup sadar, kalau Kamal adalah suami orang. Aku tak mungkin berharap lebih padanya.
Hanya saja, terkadang sosok Kamal sering hadir dalam imajinasi liarku.
Rumah Kamal dan Rahma memang berdempetan dengan rumahku, jadi hampir setiap hari aku selalu melihat Kamal.
Apa lagi Kamal sering duduk di teras rumahnya dengan hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada.
Sehingga dada nya yang memang bidang itu sering aku lihat tanpa sengaja.
Pada suatu pagi, saat itu Kamal baru saja pulang kerja, dan Rahma sudah pergi bersama anaknya untuk berjualan kue.
Pagi itu aku sedang menyapu teras rumahku, yang sudah dua hari tidak dibersihkan.
Karena habis mandi, aku hanya memakai baju tidur tipis.
"pagi mbak Ida.." sapa Kamal ramah.
"pagi, Mal.." jawabku dengan sedikit gugup.
Suasan pagi itu memang sedikit sepi, mengingat semua orang sudah berangkat kerja.
Aku melihat Kamal mencari-cari sesuatu di terasnya.
"maaf, mbak. Apa tadi Rahma menitipkan kunci rumah kami sama mbak Ida?" tanya Kamal kemudian, setelah cukup lama ia mencoba mencari kunci tersebut.
"wah, gak ada tuh, Mal. Kamu coba cari lagi, deh.." balasku, sambil menghentikan kegiatanku menyapu.
"udah saya cari, mbak. Gak ketemu. Padahal biasanya ia teruh disini.." jawab Kamal, sambil menunjuk sebuah pot bunga.
"mungkin ia lupa, Mal. Dan pasti kebawa sama Rahma.." ucapku spontan.
"iya mungkin, mbak. Padahal saya udah ngantuk banget, semalaman harus terjaga.." ucap Kamal, ia terlihat menahan kantuknya.
Matanya memerah dan terlihat sedikit kucel. Meski hal itu tidak mengurangi pesona Kamal di mataku.
"kalau kamu ngantuk, kamu istirahat saja dulu di rumahku, Mal.." tawarku tiba-tiba, melihat Kamal yang seperti kebingungan.
"gak sah mbak. Saya tunggu Rahma aja.." jawab Kamal pelan.
"Rahma pulangnya masih lama, Mal. Kamu istirahat aja dulu di rumahku.." balasku sedikit bersikeras.
Aku hanya merasa kasihan melihat Kamal, yang terlihat sangat mengantuk.
"tapi apa gak merepotkan, mbak?" ucap Kamal selanjutnya.
"gak apa-apa, Mal. Kamu masuk aja.." balasku meyakinkan.
Meski dengan sedikit berat, Kamal akhirnya melangkahkan kaki untuk masuk ke rumahku.
Aku segera masuk ke kamar, untuk mengambilkan sebuah bantal buat Kamal.
Kamal segera berbaring di ruang tamu kecil rumahku.
Aku memang lagi sendirian di rumah, anak-anakku sudah berangkat sekolah sejak tadi.
"maaf, Mal. Tempatnya berantakan.." ucapku sambil menyerahkan bantal tersebut kepada Kamal.
Ruang tamu itu, memang aku gunakan untuk tempat aku menjahit. Segala peralatan menjahitku termasuk juga mesin jahit, memang berada di sana.
"atau kalau kamu mau, kamu bisa tidurnya di kamarku aja.." tawarku, melihat Kamal yang kesulitan menyesuaikan posisi tidurnya, karena ruangan itu memang sempit.
"gak apa-apa nih, mbak. Aku tidur di kamar?" tanya Kamal kemudian.
"gak apa-apa, Mal. Dari pada di sini, kamu pasti gak bisa tidur dengan nyenyak.." jawabku yakin.
Kamal kemudian berdiri, lalu segera melangkah untuk masuk ke kamarku.
Repleks aku ikut masuk, niatku untuk memastikan Kamal bisa tertidur dengan baik.
"aku boleh buka baju ya, mbak. Gerah soalnya.." ucap Kamal, saat ia sudah duduk di atas ranjangku.
"iya, gak apa-apa, Mal." balasku dengan suara bergetar.
Aku tidak bisa membayangkan tubuh kekar Kamal yang bertelanjang dada.
Jantungku berdebar seketika. Perasaanku menjadi berkecamuk.
Kamal mulai membuka baju seragam satpam-nya. Perlahan dada bidang itu mulai terlihat.
Kamal terlihat santai melakukan hal tersebut. Lalu ia pun berbaring di atas ranjang.
"mbak kok melihatnya seperti itu?" suara Kamal membuatku terkaget, karena memang dari tadi mataku tidak lepas dari tubuh Kamal tersebut.
Merasa malu aku pun tertunduk.
"mbak suka ya..?" ucap Kamal lagi, yang membuatku kembali mendongak.
"kalau mbak suka, boleh kok dipeluk.." Kamal terus saja melanjutkan ucapannya, melihat aku yang jadi serba salah.
"mbak gak usah malu, aku sering melihat mbak Ida memperhatikanku, kalau aku lagi duduk-duduk di teras tanpa baju.." ucap Kamal lagi.
Sebagai seorang wanita yang sudah sangat lama tidak melihat hal tersebut, tentu saja aku menjadi sedikit tergoda.
Apa lagi selama ini Kamal memang selalu menghiasi fantasiku.
"ayolah, mbak. gak usah malu. Mumpung hanya kita berdua sekarang.." Kamal kembali berucap, kali ini suaranya benar-benar menggoda.
Kamal sepertinya tahu, kalau aku ini seorang wanita kesepian. Aku juga masih cukup muda, untuk bisa menolak tawaran yang sangat menggoda tersebut.
Kemudian tanpa sadar, aku pun menutup dan mengunci pintu kamar. Lalu melangkah dengan pelan mendekati Kamal, yang sedang terbaring tersebut.
"nanti istrimu pulang loh, Mal.." aku berucap, sambil mulai duduk di samping Kamal.
"udah.... mbak tenang aja. Rahma pulang biasanya kan siang, sekarang masih jam delapan pagi. Masih banyak waktu untuk kita berudaan." suara Kamal benar-benar menggoda.
Apa lagi ia berucap, sambil tangannya mulai menyentuh pahaku.
Tubuhku bergetar tiba-tiba, sudah sangat lama aku tidak merasakan hal tersebut.
Kamal pun dengan cekatan, mulai melakukan aksinya.
Ia memperlakukanku dengan sangat lembut.
Aku benar-benar terbuat terlena oleh Kamal.
Segala imajinasiku tentang Kamal selama ini, seakan terwujud pagi itu.
Kamal memang laki-laki yang hebat, ia bisa membuatku melayang berkali-kali pagi itu.
Kamal berhasil membawaku berlayar dalam lautan keindahan penuh warna.
Aku yang sudah sangat lama tidak merasakan hal tersebut, semakin dibuatnya melayang.
Aku yang sudah sangat lama menginginkan hal tersebut, berusaha mengimbangi permainan Kamal.
Namun sekali lagi, Kamal memang sosok laki-laki yang luar biasa. Ia tidak mudah ditaklukkan.
Pengalamanku sebagai seorang janda, tidak bisa mengimbangi tingkah liar Kamal.
Aku akhirnya menyerah dan pasrah, hingga Kamal pun kemudian terhempas, setelah pendakian yang panjang.
Kami berlabuh hampir bersamaan di tepian mahligai keindahan yang terasa begitu sempurna bagiku.
Dan aku benar-benar terkesan dengan Kamal, karena ia berhasil membuatku berlabuh beberapa kali.
****
Sejak kejadian indah pagi itu, aku dan Kamal jadi semakin sering melakukannya.
Setiap Kamal masuk kerja malam dan pulang pagi, kami pasti akan melakukan hal tersebut lagi.
Aku sendiri sudah merasa ketagihan dengan Kamal. Ia memang seorang laki-laki yang perkasa.
Semakin lama aku semakin terlena dengan hubungan terlarangku bersama Kamal.
Berbulan-bulan hal itu terus terjadi.
Tapi semua tak berjalan seperti yang kami inginkan.
Seuatu yang busuk memang tidak bisa disembunyikan lama.
Istri Kamal, akhirnya mengetahui hubungan kami.
Bahkan semua tetangga akhirnya mengetahui hubungan kami.
Mereka sebenarnya sudah cukup lama mencurigai kami. Tapi kami selalu mengabaikannya.
Kami terlalu terlena dengan keindahan yang kami rasakan.
Namun kini, kami tidak bisa menutupinya lagi.
Rahma yang mengetahui hal tersebut, segera menghasut para tetangga untuk mengusirku dari situ.
Sampai pak Rt pun turun tangan, dan meminta aku untuk segera pindah dari rumah tersebut.
Aku dengan sangat berat terpaksa pindah dari sana.
Sementara Kamal tidak berbuat apa-apa. Ia seolah-olah bukanlah orang yang bersalah saat itu.
Semua orang menghujatku, tapi tidak satu pun yang menyalahkan Kamal.
Seakan-akan perselingkuhan tersebut seratus persen adalah salahku. Seakan-akan aku lah yang berusaha menggoda Kamal.
Tapi aku memang tidak bisa membela diri. Di mata orang-orang aku lah satu-satu nya yang bersalah atas kejadian tersebut.
Aku harus bisa menerimanya. Biar bagaimana pun aku memang telah melakukan kesalahan besar.
Perlahan rasa penyesalan pun datang menghantui hatiku. Apa lagi melihat anak-anak ku yang belum mengerti apa-apa, ikut jadi korban.
Aku akhirnya membawa anak-anak ku pindah ke tempat yang lebih jauh.
Ke tempat dimana orang-orang tidak ada yang mengenali ku.
Aku ingin memulai hidup baru, dan aku bertekad dalam hati untuk tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.
Aku harus berubah. Aku harus bisa memperbaiki diri, setidaknya demi anak-anak ku.
Semoga saja, aku mampu menghindari godaan dari laki-laki yang tidak bertanggungjawab seperti Kamal.
Ya, semoga saja.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar