Kisah sang room service (sang manager dan sang tentara)

Aku pulang dengan tubuh yang terasa begitu letih.

Seharian aku berkeliling kota, berjalan kaki, untuk mencari lowongan pekerjaan.

Sudah seminggu aku melakukan hal tersebut.

"dapat, mas. Pekerjaannya?" suara istriku datar, menyambut kepulanganku.

Aku menggeleng lemah. Ku lihat raut wajah kecewa istriku.

"kita sudah tidak punya apa-apa lagi di rumah, mas. Kredit rumah juga sudah dua bulan menunggak." ucap istriku lagi.

Kisah seorang room service gay

Aku terus saja melangkah menuju kamar, untuk sekedar beristirahat.

"aku juga sudah tidak punya uang untuk membayar sekolah Dewa bulan ini.." istriku masih terus berucap, sambil ia mengikuti langkahku ke dalam kamar.

Aku tahu kekecewaan istriku.

Sudah lebih dari lima bulan aku jadi pengangguran. Sejak perusahaan tempat aku bekerja tutup, karena pandemi virus yang masih merajalela sampai saat ini.

Aku sudah berusaha untuk mencari pekerjaan. Namun karena memang sekarang keadaan sedang sulit, aku belum mendapatkan pekerjaan hingga saat ini.

Aku menikah dengan istriku sudah hampir tujuh tahun. Kami sudah memiliki dua orang anak dari hasil pernikahan kami.

Anak pertamaku, yang laki-laki, sekarang sudah duduk di kelas satu SD. Anak perempuan bungsuku, sekarang sudah berusia dua tahun.

Aku menikah saat aku sudah berusia 25 tahun. Saat itu, aku memang sudah bekerja di sebuah perusahaan, dengan gaji yang lumayan besar. Setidaknya cukuplah, untuk aku memenuhi kebutuhan rumah tangga kami.

Aku bahkan sudah mengambil rumah secara kredit.

Hampir tujuh tahun pernikahan kami berjalan dengan baik-baik saja.

Secara ekonomi, aku masih mampu memenuhi kebutuhan istri dan anak-anakku.

Namun sejak aku berhenti kerja, segalanya menjadi kacau.

Uang tabungan kami sudah terkuras semua, untuk biaya hidup kami, selama aku tidak lagi bekerja.

Dan sekarang, setelah hampir lima bulan tanpa pemasukan apa pun, keadaan kami semakin sulit.

Aku manarik napas dalam. Berat rasanya menjalani ini semua.

Aku tidak pernah berpikir semua ini akan terjadi dalam perjalanan hidupku. Aku pikir semua akan berjalan sesuai dengan apa yang aku harapkan.

Aku mencoba memejamkan mata. Mencoba untuk tertidur.

Namun pikiranku benar-benar kacau. Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa, agar bisa menghasilkan uang.

*****

Keesokan harinya, aku mencoba lagi untuk berkeliling mencari pekerjaan.

Aku terpaksa berjalan kaki, karena satu-satunya motor yang kami miliki, sudah terjual, untuk biaya makan kami dan membayar cicilan rumah.

Sudah beberapa tempat aku datangi. Mulai dari rumah makan, mini market, dan beberapa perusahaan.

Tapi tidak satu pun yang membutuhkan karyawan baru.

"kami baru saja memberhentikan beberapa pegawai, pak. Karena keadaan sekarang memang sedang sulit.." begitu ucap salah seorang manager perusahaan yang aku datangi.

Aku tidak bisa memungkuri hal tersebut. Saat ini memang banyak yang jadi korban PHK, aku salah satunya.

Namun aku tidak boleh menyerah. Aku harus tetap berusaha mencari pekerjaan. Setidaknya demi istri dan anak-anakku.

Menjelang sore, aku mencoba memasuki sebuah hotel mewah yang berada di pinggiran kota.

Aku bukan berniat untuk menginap disana, tapi aku ingin mencoba melamar pekerjaan.

Seorang karyawan mengarahkanku ke sebuah ruangan, untuk bertemu manager hotel tersebut.

"jadi kamu mau melamar kerja di hotel ini?" tanya sang manager, saat aku sudah dipersilahkan duduk di hadapannya.

"iya, pak." jawabku.

"emangnya kamu punya keahlian apa?" tanya manager itu lagi.

"saya ... saya memang belum pernah bekerja di hotel sebelumnya, pak. Tapi saya akan belajar, kalau bapak mau menerima saya.." jawabku jujur.

"sebelumnya kamu kerja dimana?" manager itu bertanya lagi.

Aku pun menyebutkan perusahaan tempat aku bekerja sebelumnya, dan sedikit menceritakan tentang kenapa aku harus berhenti bekerja.

"kamu sudah menikah?" tanya sang manager lagi.

"sudah, pak. Saya juga sudah punya dua orang anak. Karena itu, saya sangat membutuhkan pekerjaan ini, pak. Saya sangat berharap bapak mau menerima saya bekerja di sini.." jawabku dengan nada sedikit memohon.

"sebenarnya hotel ini tidak sedang membutuhkan karyawan baru. Tapi kalau kamu bisa meyakinkan saya, untuk bekerja dengan baik, dan tentu saja memenuhi persyaratan dari saya, saya akan mempertimbangkannya.." ucap manager itu, sambil kali ini menatap saya cukup lama.

Ia menatap saya, seakan memperhatikan saya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.

Saya merasa jengah diperhatikan seperti itu.

"saya akan melakukan apa saja, pak. Supaya bapak mau menerima saya untuk bekerja di sini.." ucapku, kali ini dengan nada sedikit menghiba.

Sebenarnya aku sudah mulai putus asa, untuk mencari pekerjaan di luar sana. Aku tidak peduli, bahkan jika aku harus mengemis kepada sang manager.

"kamu yakin, mau melakukan apa saja?" tanya sang manager itu akhirnya, setelah cukup lama ia terdiam.

"iya, pak. Saya yakin. Jika saya tidak mendapatkan pekerjaan hari ini, maka kemungkinan istri dan anak-anak saya akan kelaparan hingga esok.." jawabku, masih dengan nada penuh hiba.

Sekali lagi sang manager menatapku lama, raut wajahnya memperlihatkan rasa iba.

"sebenarnya saya harus membicarakan ini dulu sama pemilik hotel. Tapi jika kamu mau memenuhi permintaan saya, saya bisa mengambil keputusan sendiri, untuk menerima kamu.." sang manager berucap lagi.

"permintaan seperti apa yang bapak harapkan dari saya, pak. Saya pasti akan memenuhinya." balas saya dengan nada penuh keyakinan.

Ya, saya akan melakukan apa saja, yang penting saya bisa mendapatkan pekerjaan secepatnya.

"permintaan saya sebenarnya tidak terlalu berat. Dan jika kamu bersedia, saya bukan saja akan menerima kamu bekerja di sini, tapi juga akan memberi kamu sejumlah uang malam ini juga.." ucap sang manager kemudian.

"iya, saya mau, pak.." jawabku tegas.

"kamu yakin?" tanya manager itu lagi.

Kali ini aku hanya menganggukkan kepala untuk menjawab pertanyaan tersebut.

"oke. Sekarang kamu ikut saya ke lantai atas.."ucap sang manager melanjutkan.

Dengan masih menyimpan tanda tanya, saya mencoba mengikuti langkah kaki sang manager menuju lantai atas hotel tersebut.

Hotel tersebut punya enam tujuh lantai. Setiap lantai berderetan beberapa buah kamar.

Sang manager membawaku ke lantai paling atas, dengan menggunakan sebuah lift.

Sesampai di atas, sang manager mengajak saya masuk ke dalam sebuah kamar.

Kamar itu cukup luas. Di dalamnya terdapat sebuah ranjang, dan beberapa perabot lainnya.

"disini tempat biasa saya beristirahat dan tertidur, terutama kalau saya lagi malas pulang ke rumah.." manager itu berucap, sambil ia duduk di sisi ranjang.

Saya masih berdiri terpaku di hadapan sang manager.

"oh, ya. Pertama kenalkan nama saya Sutejo. Dan kamu gak usah panggil saya bapak, karena saya masih 36 tahun. Panggil mas Tejo aja, biar lebih akrab.." lanjut manager itu lagi.

"dan nama kamu siapa tadi?" tanyanya lagi.

"Derry, pak eh mas... Tejo.." jawabku sedikit tergagap.

"oke. Derry. Kamu boleh duduk di sini.." ucap mas Tejo, sambil menunjuk sisi ranjang di samping kanannya.

"tapi mas saya..." ucapku terbata.

"udah.. santai aja. Anggap aja ini tes pertama kamu.." balas mas Tejo terlihat santai.

Aku dengan cukup berat duduk di samping mas Tejo, yang terus saja menatapku tajam.

"terus terang hotel ini membuka layanan plus untuk para pengunjung yang menginap di sini. Kalau kamu mau bekerja di sini, kamu harus bersedia memberi pelayanan plus pada para pengunjung yang menginginkannya. Terutama para pengunjung laki-laki." mas Tejo berucap lagi.

"maksudnya pelayanan plus seperti apa, mas?" tanyaku penasaran. Meski aku sudah bisa membayangkan pelayanan seperti apa yang dimaksud mas Tejo.

"nah, malam ini aku akan memberikan contohnya." jawab mas Tejo.

"seperti yang saya katakan dari awal, anggap ini sebagai sebuah tes bagi kamu. Malam ini, kamu harus melayani saya." lanjutnya.

"saya harus melayani mas Tejo?" tanyaku dengan nada ragu, keningku berkerut tiba-tiba.

"iya. Kamu harus melayani saya di ranjang, seperti sepasang suami istri.." jawab mas Tejo lagi.

"apa harus seperti itu, mas?" tanyaku lagi.

"jika kamu memang ingin diterima bekerja di sini, kamu memang harus melakukannya. Dan jika kamu juga ingin mendapatkan tambahan penghasilan yang besar, kamu harus siap melayani para tamu yang menginginkannya.." jawab mas Tejo.

Kali ini aku terdiam. Membayangkan pekerjaan yang harus saya terima tersebut.

Aku tahu, cerita tentang dunia gay, yang sedang marak saat ini. Tapi tak pernah terpikir olehku, aku akan terlibat seperti ini.

"keputusannya ada sama kamu, Derry. Kalau kamu gak mau, juga gak apa-apa. Dan itu artinya kamu harus rela melihat istri dan anak-anakmu kelaparan di rumah.."

Ucapan mas Tejo barusan, membuatku jadi teringat akan keadaan anak dan istriku di rumah.

Jika aku menolak pekerjaan ini, itu artinya aku akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan.

Namun jika aku menerimanya, itu berarti aku harus rela kehilangan harga diriku sebagai seorang laki-laki. Dan artinya juga, aku akan mengkhianti istriku.

Aku menarik napas dalam. Aku merasa sangat dilema saat ini.

Ini bukanlah pilihan yang mudah bagiku. Tapi aku memang harus memilih.

Saat ini, yang penting bagiku adalah mendapatkan sebuah pekerjaan. Demi kelangsungan hidup keluargaku.

Apa pun akan aku lakukan, agar anak dan istriku bisa bertahan hidup.

"tapi mas Tejo harus janji, untuk menerima saya bekerja di sini, dan juga memberi saya uang malam ini juga..." ucapku akhirnya, setelah cukup lama aku berpikir.

Mas Tejo spontan mengangguk setuju.

*****

Mas Tejo perlahan mulai melakukan aksinya.

Aku yang dari awal memang sudah merasa geli dan jijik, mencoba memejamkan mata.

Aku merasa mual tiba-tiba. Namun sekuat mungkin aku menahan rasa geli dan rasa jijikku.

Mas Tejo sangat mengerti kalau aku tidak pernah melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki. Karena itu, ia berusaha keras untuk membangkitkan gejolakku.

Aku semakin merinding, saat mas Tejo menyentuh bagian sensitifku.

Aku ingin mencegahnya. Namun bayangan seorang pengangguran melintas di benakku, yang membuatku akhirnya pasrah.

Aku memasrahkan diriku, dengan apa yang dilakukan mas Tejo padaku.

Perlahan namun pasti, mas Tejo mulai berhasil membuatku terlena.

Gerakan liar mas Tejo, membuatku mulai bisa menikmati hal tersebut.

Beberapa kali aku bergetar, menahan hasratku yang mulai tak terkendali.

Mas Tejo sangat berpengalaman dalam hal tersebut. Aku dibuatnya tak berdaya.

Pergulatan kami cukup lama, hingga akhirnya kami pun terhempas hampir bersamaan.

Sebuah pengalaman baru dalam perjalanan hidupku.

Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu. Entah merasa menyesal, entah merasa lega.

Menyesal karena aku merasa telah mengkhianati istriku. Dan juga karena aku telah kehilangan harga diriku sebagai seorang laki-laki.

Lega karena akhirnya aku mendapatkan sebuah pekerjaan, meski dengan cara yang tidak pernah aku inginkan.

Aku membayangkan ke depannya, kalau aku akan terus melakukan hal tersebut dengan laki-laki yang berbeda-beda.

Aku merinding membayangkan hal tersebut.

Tapi sekali lagi, aku sangat membutuhkan pekerjaan ini.

****

Setelah cukup pulih kembali, aku segera mandi dan memakai pakaianku.

Seperti yang telah mas Tejo janjikan, ia segera memberiku sejumlah uang, sebelum aku pamit untuk pulang ke rumah.

"besok kamu sudah bisa mulai bekerja di sini.." ucap mas Tejo, sambil menyerahkan uang tersebut.

Aku hanya tersenyum kecut mendengar kalimat tersebut.

Sekali lagi, aku tidak benar-benar tahu, apa yang aku rasakan saat ini.

Antara merasa lega, dan merasa takut.

Lega karena aku sudah mendapatkan pekerjaan. Takut karena aku harus menjalani pekerjaan yang tidak aku inginkan sama sekali.

Namun aku hanya bisa pasrah. Mungkin ini sudah menjadi jalan takdir bagiku.

Atau mungkin saja ini adalah sebuah kesalahan.

Sebuah kesalahan yang akan membawaku pada sebuah kehancuran.

Akh.. tiba-tiba rasa bersalah semakin menggerogoti hatiku.

Aku harus menafkahi istri dan anak-anakku dengan uang hasil pergulatanku dengan laki-laki.

Tapi ya sudahlah. Aku harus menjalani ini semua sebagai sebuah takdir.

Dan aku berharap, semoga tidak selamanya aku terjebak di sini.

*****

Sesampai di rumah, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Istriku menyambutku dengan wajah lesuhnya.

Namun saat aku menyerahkan sejumlah uang, senyumnya tiba-tiba mengembang.

"alhamdulillah ya, mas." ucapnya, sambil ia melangkah menuju dapur untuk mengambil segelas air putih untukku.

"jadi mas udah dapat kerjaan?" tanya istriku, saat ia sudah kembali ke kamar kami.

Aku hanya mengangguk ringan. Aku berniat untuk segera tertidur.

Tubuhku terasa sangat capek. Seharian aku harus berjalan kaki mengelilingi kota, untuk mencari pekerjaan.

Dan sorenya aku harus melayani mas Tejo, yang sangat liar.

Istriku tiba-tiba berbaring di atas lengan tanganku.

Sudah sangat lama ia tidak melakukan hal tersebut. Setidaknya sejak aku jadi pengangguran.

Kami memang sudah sangat jarang bermesraan, sejak aku tidak bekerja lagi. Hampir setiap hari kami harus berdebat masalah keuangan.

Namun malam ini, istriku seperti menginginkan hal tersebut. Ia berusaha membuatku bergairah.

Aku yang memang sudah sangat lama tidak merasakan hal tersebut dengan istriku, segera memberikan kesempatan untuk istriku melakukan aksinya.

Aku berusaha membuat istriku melayang malam itu, walau sebenarnya tubuhku terasa sangat lelah.

Namun aku memang harus menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami.

*****

Paginya aku terbangun, dan istriku sudah menyiapkan sarapan untukku.

Setelah mandi dan sarapan, aku pun berangkat menuju hotel tempat aku bekerja.

Mas Tejo menyambut kedatanganku dengan senyum khasnya.

Ia mulai memberikan beberapa instruksi padaku, untuk beberapa hal yang harus aku kerjakan di hotel tersebut.

"jadi kalau ada tamu yang menginginkan pelayanan lebih, kamu harus siap melayaninya. Dan jangan buat mereka kecewa.." ucap mas Tejo tegas.

Aku pun mengangguk paham. Setidaknya dengan begitu, seperti kata mas Tejo, aku bisa menghasilkan uang lebih banyak dari gaji yang aku terima setiap bulan nantinya.

Dan sejak saat itulah, aku menjadi seorang room service di sebuah hotel mewah, tentu saja dengan tambahan tugas memberi pelayanan plus pada para tamu yang menginginkan pelayananku.

****

Part 2

Bersama Pak Tentara...

Ini adalah hari ketiga aku mulai bekerja di hotel sebagai seorang room service.

Hari pertama dan kedua aku lalui dengan cukup lancar dan tanpa kendala.

Pekerjaanku hanyalah melayani permintaan para tamu hotel yang menginap, seperti menerima orderan dari para tamu, menyiapkan sarapan, makan siang atau makan malam, dan mengantar pesanan ke kamar tamu hotel.

Selama dua hari ini, belum ada seorang tamu pun yang meminta saya untuk menemaninya tidur atau memberi pelayanan plus.

Diam-diam aku merasa bersyukur atas semua itu. Karena meskipun pekerjaanku cukup berat, tapi setidaknya itu semua masih dalam batas kewajaran.

"kamu antar pesanan ini ke kamar 107 ya, Der." suara Hadi, salah seorang rekan kerjaku yang senior.

"baik, mas.." balasku lugas.

Aku melangkah pelan menuju kamar 107 yang berada di lantai dua hotel tersebut, sambil membawa pesanan makanan untuk tamu kamar 107 itu.

Sesampai di depan kamar, aku mengetuk pintu itu dengan pelan.

Tak lama kemudian, seraut wajah laki-laki yang terlihat sedikit sangar muncul di balik ambang pintu.

"pesanannya, pak.." ucapku sambil menyerahkan pesanan tersebut.

Sang tamu yang berjambang cukup lebat itu, terlihat tersenyum tipis.

"kamu taruh di dalam, ya.." ucapnya dengan nada suara terdengar sangar.

Aku menuruti permintaan orang tersebut. Aku melangkah masuk ke dalam kamar dengan merasa sedikit canggung.

Selama aku bekerja di sini, baru kali ini aku masuk ke dalam kamar tamu.

"saya taruh di sini ya, mas.." ucapku, sambil menaruhnya di atas meja.

"kalau tidak ada yang dibutuhkan lagi, saya permisi, mas.." lanjutku berucap, sambil mulai melangkah menuju pintu.

Saat itulah sang tamu mencegah langkahku, yang membuatku terhenti sejenak.

"ada apa lagi ya, mas.." ucapku kemudian.

"saya butuh teman untuk ngobrol. Kamu bisa menemani saya mengobrol sebentar?" suara laki-laki itu memang aslinya sangar.

Saya terdiam beberapa saat, tidak tahu harus menjawab apa saat itu.

"kamu tenang aja, nanti saya kasih bonus yang banyak.." laki-laki itu berucap lagi.

"emangnya mas mau ngobrol apa?" tanyaku akhirnya.

"apa saja. Yang penting saya ada teman disini.." balas sang tamu tersebut.

Mempertimbangkan bonus yang akan aku dapat, aku akhirnya mengangguk setuju.

Laki-laki, yang kuperkirakan sudah berumur 40 tahun itu, mengajak aku duduk di sisi ranjang hotel.

"namaku Hendrik. Nama kamu siapa?" ucap laki-laki itu sambil menatapku.

"nama saya Derry, mas.." jawabku pelan.

"sudah berapa lama kerja di sini?" tanya mas Hendrik lagi.

"baru tiga hari, mas.." aku menjawab, sambil sedikit menunduk.

Aku tak sanggup menentang tatapan mas Hendrik yang tajam. Apa lagi ia hanya memakai handuk yang terlilit di pinggangnya, tanpa memakai baju.

Tubuh mas Hendrik memang terlihat kekar dan berotot. Dadanya bidang, dengan rahang yang kokoh.

Matanya sedikit lebar, dengan hidung yang juga terlihat besar.

Secara keseluruhan wajah mas Hendrik memang tidak tampan. Namun ia memiliki postur tubuh yang sangat kekar dan atletis.

"kamu tahu, kalau di hotel ini ada pelayanan plus-nya?" tanya mas Hendrik kemudian.

Aku terdiam lagi. Aku merasa takut untuk menjawab.

Aku bahkan tidak tahu, kalau cerita tentang adanya pelayanan plus di hotel ini, sudah di ketahui oleh para tamu.

Mungkin hotel ini memang sengaja di promosikan dengan embel-embel pelayanan plus tersebut, untuk menarik lebih banyak tamu.

"mas Hendrik tahu dari mana?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"saya bukan satu dua kali ke sini. Saya sudah tahu sejak lama. Pelayannya ada yang perempuan dan ada juga yang laki-laki.." jawab mas Hendrik terlihat santai.

"setiap kali saya ada tugas di kota ini, saya selalu menginap di hotel ini.." mas Hendrik melanjutkan.

"emangnya mas Hendrik ada tugas apa di sini?" tanyaku lagi.

"sebenarnya saya seorang angkatan. Saya seorang tentara. Saya sering di tugaskan di berbagai daerah, termasuk di kota ini." jelas mas Hendrik.

Dari bentuk tubuh mas Hendrik, aku langsung percaya kalau ia memang seorang prajurit.

Aku kemudian manggut-manggut menanggapi penjelasan mas Hendrik barusan.

"kamu belum jawab pertanyaan saya.." ucap mas Hendrik kemudian.

"pertanyaan yang mana?" tanyaku terdengar lugu, karena aku memang tidak ingat pertanyaan yang mana yang di maksud mas Hendrik.

"kamu tahu kalau di hotel ini ada pelayanan plus-nya?" mas Hendrik mengulang pertanyaannya.

Aku akhirnya mengangguk pelan, karena memang mas Tejo, sang menager pernah mengatakan hal itu padaku.

Bahkan ia yang melakukan tes padaku pada malam sebelum aku di terimanya bekerja di sini.

Sebuah tes yang membuatku harus kehilangan harga diriku sebagai seorang laki-laki.

"mas Hendrik juga mau minta pelayanan plus?" tanyaku kemudian.

"setiap menginap disini, saya selalu memesan pelayana plus. Dan kata manager kamu tadi, ada pelayan laki-laki baru di hotel ini. Saya yakin itu kamu. Makanya saya minta kamu untuk menemani saya mengobrol.." mas Hendrik menjelaskan lagi, sambil terus manatapku.

"kenapa bukan pelayan perempuna aja?" tanyaku lagi.

"karena aku lebih tertarik pada laki-laki. Apa lagi kalau laki-lakinya setampan kamu. Seperti yang manager kamu katakan, kalau kamu masih baru dan sangat tampan.." jawab mas Hendrik.

Ia mulai berani menyentuh pahaku, yang masih terbalut celana katun ketat.

"saya tidak biasa melakukan ini, mas. Saya juga sudah menikah." ucapku lirih, sambil mencoba menjauhkan tangan mas Hendrik dari pahaku.

"tapi kamu kerja di sini, kan? Dan kata menager kamu, kamu bisa melayani saya. Apa lagi, katanya, kamu juga sangat butuh uang.." mas Hendrik berkata, sambil kembali mencoba menyentuh pahaku.

"iya, mas. Tapi kalau bisa, kita ngobrol aja ya. Gak usah melakukan hal yang lebih dari itu.." aku berucap dengan nada sedikit memohon.

"kalau cuma ngobrol, mending saya ngobrol di lobi aja sama tamu lain. Buat apa saya buang-buang uang, kalau cuma untuk ngobrol sama kamu.." sela mas Hendrik cepat.

Kali ini aku terdiam. Aku ingat perjanjianku dengan mas Tejo. Jika aku memang ingin terus bekerja di hotel ini, aku harus memenuhi apa pun permintaan dari para tamu.

"lagi pula kamu di bayar, kok. Untuk melakukan itu.." ucap mas Tejo waktu itu.

"kalau cuma mengandalkan gaji bulanan, tidak akan cukup buat biaya hidup kamu sekeluarga.." lanjut mas Tejo lagi.

Aku pun dengan terpaksa menyetujui persyaratan dari mas Tejo. Setidaknya karena aku memang sangat butuh pekerjaan ini. Dan terlebih dari itu, aku memang butuh uang banyak untuk biaya keluargaku.

"kalau kamu menolak, saya bisa laporkan sama manager kamu, loh.." ucapan mas Hendrik membuatk kaget. Bukan karena ia berucap secara tiba-tiba, tapi terlebih karena kalimatnya tersebut memang mengandung ancaman.

Sekali lagi aku tidak bisa berkata apa-apa. Ini memang sudah menjadi resiko dari pekerjaanku saat ini.

Mau tidak mau, suka tidak suka, aku memang harus memenuhi keinginan mas Hendrik.

Melihat aku yang hanya terdiam, mas Hendrik mulai menyentuh pahaku kembali. Kali ini ia dengan cukup berani mulai mengelusnya.

Aku menggelinjang seketika. Rasa geli dan jijik mulai menghantuiku.

Tiba-tiba perutku terasa melilit menahan mual.

Membayangkan mas Hendrik menjamahku, membuatku menjadi terasa ingin muntah.

Meski aku sudah pernah melakukannya dengan mas Tejo, tapi tetap saja aku merasa tidak nyaman, bahkan walau hanya sekedar membayangkan.

Tapi mas Hendrik tidak pedulikan reaksi ku, ia terus saja melakukan aksinya.

Bahkan tangannya yang satu lagi sudah berada di pipiku.

"kamu memang sangat tampan, Derry. Saya sangat menginginkan kamu.." ucapnya dengan nada mendesah.

Aku memejamkan mata, mencoba membayangkan hal-hal yang membuatku jadi sedikit bergairah.

Mas Hendrik pun semakin berani. Wajahnya mulai semakin mendekat.

Aroma napasnya menyentuh hidungku, yang membuatku jadi menahan napas.

Aku mendorong dada mas Hendrik dengan tangan. Namun mas Hendrik justru semakin kuat menekan tubuhnya agar bisa mendekapku.

Tenaga mas Hendrik sangat kuat. Karena ia memang seorang tentara yang terlatih.

Aku tidak bisa melawan lagi. Aku akhirnya hanya pasrah, ketika mas Hendrik berhasil menarik tubuhku dalam dekapannya.

Aku masih terus memenjamkan. Sementara mas Hendrik semakin berani dan brutal.

Permainan mas Hendrik ternyata sangat kasar, sesuai dengan perawakannya yang sangar.

Aku berkali-kali harus kehabisan napas, karena mas Hendrik yang bringas.

Namun lama kelamaan, aku akhirnya benar-benar pasrah. Aku biarkan mas Hendrik melakukan apa pun yang ia inginkan padaku malam itu.

Aku harus menerima itu semua, setidaknya demi mendapatkan sejumlah uang.

Mas Hendrik berhasil membuatku tak berdaya dengan permainan kasarnya.

Aku pun mulai mencoba mengimbangi permainannya itu.

Setidaknya aku ingin ia merasa terpuaskan. Karena dengan begitu uang yang akan aku dapatkan pasti akan lebih banyak.

"kalau tamu merasa puas dengan pelayanan kamu, mereka pasti akan memberimu uang yang lebih banyak.." pesan mas Tejo waktu itu.

Menyadari hal itu, aku pun berusaha keras membuang segala rasa jijik dan geliku.

Aku mencoba menikmatinya. Karena sejujurnya hal itu tidaklah terlalu buruk.

Ada sensasi keindahan yang berbeda, yang aku rasakan, saat akhirnya kami sama-sama mencapai puncak keindahan itu.

Mas Hendrik terlihat tersenyum puas. Ia terbaring lemas di sampingku.

"kamu memang hebat, Der. Aku jadi semakin suka sama kamu.." ucapnya lirih di sela napasnya yang masih terengah.

Keringat mas Hendrik sudah sejak tadi membanjiri tubuh kekarnya itu. Bahkan keringat itu juga membasahi sebagian tubuhku, terutama di bagian dadaku.

Aku memejamkan mata lagi. Tak ku sangka, kalau aku akan melakukan hal itu lagi, setelah dengan mas Tejo.

Hanya saja, kali ini posisinya berbeda. Dan sensasi yang aku rasakan juga berbeda.

Pahit memang menjalani ini semua. Namun aku tidak bisa berbuat banyak saat ini.

Aku harus menikmati pekerjaanku ini. Aku harus belajar menikmatinya.

Perubahan itu memang berat dan menakutkan.

Namun dalam hidup, terkadang kita tidak bisa begitu saja menghindar dari yang namanya perubahan.

Mau tidak mau, suka tidak suka, perubahan itu memang harus terjadi. Dan kita harus siap menerimanya.

Perubahan itu bisa saja bernilai positif dan bisa juga bernilai negatif. Semua tergantung bagaimana cara kita menanggapi dan menghadapinya.

Sekali pun perubahan ini, sangat tidak aku inginkan dan sangat tidak sesuai dengan hati nurani ku.

Tapi untuk saat ini, aku memang harus menerimanya, sebagai sebuah takdir bagiku.

Aku akan mengikuti semua permainan hidup ini. Meski takdir Tuhan selalu mengombang-ambingkan langkahku.

Hanya saja, terkadang hati nurani ku tidak rela, harus menafkahi anak dan istriku dari hasil aku menjual diri.

Semoga saja semua badai ini segera berlalu dan kehidupanku kembali berjalan normal.

Semoga saja, aku bisa menemukan sebuah pekerjaan baru, yang jauh lebih baik dari ini..

Ya, semoga saja.

*****

Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate