Kisah cinta sang Penyanyi (lanjutan kisah sang pengamen)

Hampir empat bulan, usia pernikahan mas Taslim dan Devina.

Aku masih berusaha untuk sabar menunggu.

Aku masih sabar menunggu mas Taslim untuk menepati janjinya.

Kisah cinta sang pengamen

 

"aku janji, Al.. Setelah beberapa bulan pernikahanku dengan Devina, aku akan segera menceraikannya.." begitu ucap mas Taslim waktu itu.

Sebuah janji yang ia ucapkan tepat di hari persandingannya dengan Devina, yang membuatku akhirnya luluh.

Aku memutuskan untuk tetap mempertahankan hubunganku dengan mas Taslim, yang sudah terjalin lebih dari enam tahun.

Seperti yang dikatakan mas Taslim padaku, bahwa ia menikahi Devina bukan karena ia mencintai Devina, tapi hanya sekedar untuk sebuah status.

Sebagai seorang penyanyi terkenal dan juga sudah berusia hampir kepala tiga, status mas Taslim memang selalu jadi sorotan publik.

Karena itu, mas Taslim memutuskan untuk menikahi Devina, seorang penyanyi baru yang sedang naik daun. Salah satu tujuannya adalah untuk popularitas.

Aku sempat ingin kembali ke kota ku dan meninggalkan mas Taslim. Namun Mas Taslim berhasil mencegahku dan meyakinkan untuk tetap bertahan, setidaknya sampai ia bercerai dari Devina nantinya.

"sudah lebih dari tiga bulan, mas. Sampai kapan lagi aku akan menunggu?" suaraku parau, ketika suatu malam mas Taslim masuk ke kamarku.

Selama tiga bulan belakangan ini, mas Taslim memang terlihat semakin mesra dengan Devina.

Apa lagi mereka tetap tinggal di rumah yang sama denganku. Aku harus selalu memendam rasa cemburuku setiap kali melihat mereka bermesraan.

Meski mas Taslim masih rutin mengunjungiku malam-malam, setidaknya satu atau dua kali dalam seminggu. Aku masih mendapatkan jatah dari mas Taslim.

Namun aku tidak selamanya harus kuat. Aku tidak selalu sanggup melihat mas Taslim bersama Devina.

"kamu sabar ya, Al. Ini gak semudah yang kamu bayangkan.." ucap mas Taslim ringan.

"aku sudah cukup sabar, mas. Tapi sampai kapan?" balasku lagi.

Mas Taslim kembali terdiam. Sebenarnya aku juga tidak tega membuat mas Taslim berada dalam dilema tersebut.

Namun aku juga tidak ingin menyiksa diriku lebih lama lagi.

"mas harus segera mengambil keputusan. Aku tidak ingin selalu jadi yang kedua.." aku berucap lagi, sambil mulai memejamkan mata untuk tertidur.

Namun tiba-tiba mas Taslim mengecup pipiku lembut. Tangannya mulai menarik tubuhku untuk berada dalam dekapan hangatnya.

Aku selalu tidak bisa menolak, setiap kali mas Taslim menginginkan hal tersebut.

Aku pun mulai melakukan aksi ku sebagaimana biasa. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa menikmati permainanku dengan mas Taslim.

Mas Taslim selalu berhasil membuatku terbuai dengan permainan indahnya.

Kami kembali berlayar dalam lautan kemesraan penuh cinta.

Hingga kami pun akhirnya terhempas di dermaga keindahan duniawi itu.

Seperti biasa, setelah melakukan tugasnya, mas Taslim pun akan kembali ke kamarnya untuk menemui sang istri.

******

"ini udah lima bulan loh, mas. Mas Taslim malah terlihat semakin mesra dengan Devina.." suaraku cukup meninggi.

Kali ini kami bertemu di sebuah kamar hotel. Aku yang memintanya.

Karena jika di rumah, perdebatan kami pasti akan terdengar keluar.

"aku gak bisa sekarang, Al.." pelan suara mas Taslim membalas ucapanku.

"Devina sekarang sedang hamil. Aku baru tahu kemarin.." lanjutnya lagi.

Aku bak mendengar suara petir, mendapatkan kabar tersebut.

Rasanya sangat sakit. Tak ku sangka mas Taslim tega melakukan hal itu padaku.

"aku dan Devina itu suami istri, Al. Wajar kalau dia hamil.." mas Taslim berucap lagi, melihat aku yang tiba-tiba tertunduk lemas.

"bagi Devina ini adalah hal yang penting. Pernikahan kami bukan sesuatu yang bisa dipermainkan." mas Taslim melanjutkan.

"sekarang mas jadi lebih membela Devina.." suaraku tiba-tiba parau.

Aku berusaha sekuat mungkin menahan air mataku.

"aku gak peduli Devina hamil atau tidak. Aku hanya ingin mas menepati janjimu, mas. Jika mas tidak menceraikan Devina, aku akan pergi. Aku beri mas waktu seminggu untuk memutuskan ini semua." aku melanjutkan lagi, tanpa menatap mas Taslim sedetik pun.

"kamu jangan bodoh, Al. Selama kita masih bisa tetap bersama, gak ada bedanya antara aku punya istri atau tidak..." balas mas Taslim.

"aku memang bodoh, mas. Dan kebodohanku yang paling besar ialah jatuh cinta pada mas Taslim." ucapku, kali ini aku coba menatap wajah mas Taslim.

"pilihannya hanya dua, mas. Aku atau Devina?" lanjutku berusaha tegas.

Aku tidak ingin lagi menjadi orang kedua. Jika aku tidak bisa memiliki mas Taslim seutuhnya, maka aku lebih memilih untuk tidak memilikinya sama sekali. Sekali pun hal itu pasti sangat menyakitkan bagiku.

"aku mohon, Al. Kita bisa tetap menjalani ini semua.." suara mas Taslim mulai terdengar parau.

"mudah bagi mas berucap demikian, karena di sini aku yang jadi korban, mas. Bukan mas Taslim.." timpalku cepat.

"kamu jangan membuat keadaan ini semakin rumit bagiku, Al. Ini bukan pilihan yang mudah bagiku. Seandainya saja, hubungan kita diperbolehkan, mungkin aku tidak akan merasakan dilema seperti saat ini.." mas Taslim berucap lagi.

"aku tidak mempersulit apa pun, mas. Aku hanya ingin mas Taslim menepati janji." balasku.

"maafkan aku, Al. Aku belum bisa menepatinya saat ini.." suara mas Taslim pelan.

"aku benci sama kamu, mas. Aku tidak ingin bertemu mas lagi.."

Setelah berucap demikian, aku segera bangkit dan berjalan dengan terburu menuju pintu keluar.

Mas Taslim dengan cepat mencoba mencegahku.

Aku berusaha meronta, namun tenaga mas Taslim lebih kuat.

Mas Taslim berusaha menarik tubuhku dalam pelukannya.

"aku menginginkanmu malam ini, Al. Kamu jangan pergi, ya." ucapnya, sambil terus mendekapku erat.

Ia mengecup lembut pipiku. Lalu kemudian, memopong tubuhku ke atas ranjang.

Aku yang tadinya berusaha meronta, tiba-tiba jadi terhanyut.

Mas Taslim memang selalu bisa membuatku pasrah.

Ia pun mulai melakukan aksinya. Kali ini mas Taslim terasa lebih brutal dari biasanya.

Bayangan mas Taslim sedang bergumul dengan istrinya melintas tiba-tiba di pikiranku, yang membuatku jadi kehilangan selera.

"maaf, mas. Aku tidak sedang berselera saat ini..." ucapku terengah.

Mas Taslim tak pedulikan ucapanku, ia terus saja melakukan aksi brutalnya.

"aku sangat menginginkan kamu, Al. Kamu selalu buat aku bergejolak. Aku tidak bisa menahannya lagi.." ucap mas Taslim, di sela-sela usahanya untuk menjamahku.

Akhirnya aku tidak kuasa melawan. Namun aku tidak memberikan reaksi apa-apa, kecuali sebuah kepasrahan.

*****

Seminggu kemudian, aku dengan sedikit tergesa mengemasi pakaianku.

Aku harus pergi dari rumah ini. Aku harus pergi dari kehidupan mas Taslim.

Aku tidak menyiksa diriku lebih lama lagi.

Jika mas Tasli tak bersedia menceraikan Devina, maka aku yang harus pergi dari hidupnya.

"kamu mau kemana?" suara tinggi mas Taslim mengagetkanku, saat aku sedang memasukkan beberapa pakaianku ke dalam koper.

"aku harus pergi, mas. Aku gak sanggup lagi melanjutkan hidup seperti ini. Aku selalu jadi yang kedua buat, mas. Aku tidak bisa setiap hari melihat kemesraan mas dan Devina." suaraku bergetar, sambil terus menyusun pakaianku di dalam koper besar itu.

"kamu jangan bodoh, Al. Kamu tidak boleh melakukan hal ini." mas Taslim berucap sambil mulai melangkah mendekat.

"aku memang bodoh, mas. Tapi aku akan lebih bodoh lagi, jika terus menyiksa perasaanku di sini.." balasku, sambil menutup koper yang sudah terisi penuh itu.

"aku sangat membutuhkanmu, Al. Aku gak bisa hidup tanpa kamu.." mas Taslim duduk di ranjang.

"kalau begitu ceraikan Devina, mas.." ucapku tegas.

"aku gak mungkin menceraikannya sekarang, Al." balas mas Taslim.

"kalau begitu, temui aku, jika mas sudah bisa menceraikannya. Namun untuk sekarang aku memang harus pergi, mas..." 

Setelah berkata demikian, aku segera mengangkat koper ku, untuk segera keluar dari kamar itu.

Mas Taslim dengan cekatan memegang tanganku.

"aku mohon, Al. Kamu jangan pergi, ya.." suara mas Taslim memohon.

Kali ini aku mengabaikan suara penuh iba itu. Aku tidak ingin lagi terlena oleh bujukan mas Taslim. Aku harus tegas.

Jika mas Taslim memang benar-benar menginginkanku, ia harus rela kehilangan Devina.

"sebagai laki-laki, aku juga ingin merasakan hidup yang normal, Al. Aku juga ingin punya keturunan. Tapi aku juga tidak bisa, berpisah dari kamu, Al.." suara itu semakin menghiba.

"aku juga pengen punya keturunan, mas. Tapi aku rela kehilangan itu semua, hanya untuk bisa hidup bersama mas Taslim. Aku korbankan hidupku, mas. Aku rela berpisah dari keluargaku, hanya untuk bisa selalu bersamamu, mas." Aku berucap, sambil kembali melangkah menuju pintu.

Mas Taslim kembali mencegahku.

"jika mas memang mencintaiku, biarkan aku pergi, mas. Jika mas tidak bisa membuat pilihan dalam hidup ini, aku yang akan memberi mas pilihan.." lanjutku berucap lagi.

"kita harus jujur, mas. Kita harus jujur pada diri kita sendiri, kalau kita ini bukan seperti laki-laki pada umumnya. Dan sebagai seorang gay, kita tidak di haruskan untuk menikah dan punya keturunan. Kita harus menerima itu sebagai sebuah takdir, mas."

"dan jika mas ingin hidup bersamaku lebih lama lagi, mas harus tetap memilih.."

Kali ini mas Taslim terdiam. Aku melanjutkan langkah lagi.

Aku segera keluar dari kamar itu. Aku terus saja melangkah keluar dari rumah yang penuh kenangan itu.

Dina dan Devina terlihat menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya. Aku mengabaikan mereka. Tidak ada yang harus aku jelaskan kepada mereka.

Aku memang harus pergi. Karena begitulah takdir yang harus aku jalani.

Aku harus kehilangan orang yang paling aku cintai. Aku tidak bisa terus bersamanya.

Tujuh tahun, aku dan mas Taslim menjalin hubungan yang penuh makna.

Sudah sangat banyak kenangan yang kami lalui bersama.

Penuh air mata dan juga senyum kebahagiaan.

Kenangan demi kenangan melintas kembali di benakku, sepanjang perjalanan menuju kota ku.

Sekuat mungkin aku menahan perasaanku, agar tidak terlarut dalam kenangan indah itu.

*****

Sudah sebulan aku kembali ke rumahku.

Mas Taslim pernah beberapa kali mencoba menghubungiku, namun aku selalu mengabaikannya.

Bahkan aku dengan sengaja mengganti nomorku, agar mas Taslim tidak bisa lagi menghubungiku.

Setelah bertahun-tahun tidak pulang, ternyata ayah dan ibu sudah pindah ke rumah yang lebih besar.

"uang yang kamu kirimkan setiap bulan itu, ibu kumpulkan, dan kemudian ibu jadikan tambahan biaya untuk membeli rumah baru ini. Rumah lama kita sudah kami jual.." jelas ibu, saat aku pertama kali sampai ke rumah baru itu.

Rumah itu memang cukup besar, aku jadi punya kamar sendiri sekarang.

Tidak lagi satu kamar dengan adik-adikku yang sudah mulai tumbuh dewasa.

Satu bulan aku hanya berdiam diri di rumah. Dan aku mulai bosan, hidup tanpa ada kegiatan.

Aku berencana untuk membuka sebuah usaha. Uang tabunganku masih cukup untuk aku jadikan modal usaha.

Di halaman rumah yang masih kosong itu, aku membangun sebuah ruko kecil, untuk tempat aku membuka toko pakaian.

Setidaknya sekarang aku jadi punya kegiatan, dan tidak terlarut lagi dengan segala kenanganku bersama mas Taslim.

Aku ingin memulai hidup baru di sini. Aku ingin melupakan segala yang terjadi di masa laluku.

"jadi kapan kamu akan berumah tangga, Al.?" tanya Ibu suatu pagi, saat aku baru saja membuka toko.

Aku tidak menjawab pertanyaan tersebut. Karena aku juga tidak tahu, sampai kapan aku akan terus hidup melajang.

Aku tidak yakin, kalau aku akan bisa jatuh cinta pada perempuan.

"Ibu punya kenalan seorang gadis di tempat pengajian. Namanya Nurma. Ia gadis yang baik dan juga saleha." Ibu melanjutkan kalimatnya, melihat aku hanya terdiam.

"Ibu berharap bisa menimang cucu, sebelum ibu meninggalkan dunia ini.." lanjut Ibu lagi.

"ibu jangan berkata seperti..." balasku singkat.

"tapi Ibu serius, Al. Kamu juga sudah cukup dewasa. Sudah saatnya kamu mulai memikirkan hal tersebut.." ucap Ibu kemudian.

Aku kembali terdiam. Tidak tahu harus mengatakan apa pada Ibu.

Sebagai seorang Ibu, wajar rasanya jika ibu menginginkan hal tersebut. Apa lagi aku adalah anak sulungnya.

Tapi rasanya begitu berat untuk memenuhi permintaan ibu tersebut.

Aku tidak ingin menikah, jika hanya untuk menyenangkan perasaan orang lain. Sementara perasaanku  sendiri akan tersiksa.

****

Sudah hampir lima bulan, aku menjalani hidup baruku.

Bayangan mas Taslim sudah sangat jarang melintas di pikiranku. Aku bahkan hampir bisa melupakannya.

Saat tiba-tiba suatu siang, seraut wajah tampan nan manis itu, muncul di depan toko ku.

"aku kesini, bukan untuk meminta kamu untuk ikut denganku lagi. Tapi aku ke sini, untuk meminta maaf padamu atas segalanya, Al." lembut suara mas Taslim berucap, saat kami akhirnya sepakat untuk mengobrol di sebuah kafe.

"aku minta maaf, karena tidak bisa memenuhi janjiku padamu, Al." mas Taslim melanjutkan.

"kita memulainya dengan cara baik-baik, Al. Karena itu, aku juga ingin ini semua berakhir dengan cara yang baik pula. Aku tidak ingin ada dendam diantara kita. Aku tidak ingin ada rasa sakit hati yang tersisa."

"jika kita tidak bisa menyatu sebagai sepasang kekasih. Setidaknya biarkan kita tetap bisa menjalin hubungan persaudaraan.." ucap mas Taslim lagi.

Aku masih terdiam. Aku tidak membenci mas Taslim. Sama sekali tidak.

Tapi aku masih merasakan sakitnya hingga saat ini.

Mungkin mas Taslim benar. Aku tidak harus menyimpan dendam padanya. Aku tidak mungkin selamanya memendam rasa sakit hati padanya.

Biar bagaimana pun, mas Taslim tidak sepenuhnya bersalah dalam hal ini.

Dan aku juga tidak mengakui kalau aku bersalah dalam hal ini.

Kalau pun ada yang harus dipersalahkan, sekali lagi, mungkin cinta kami yang salah berlabuh.

Tidak semua kisah cinta harus berakhir bahagia.

Kebahagiaan sebuah cinta, tidak selalu tentang menyatunya dua hati dan dua raga.

Tapi kebahagiaan yang sesungguhnya, ialah ketika kita mampu merelakan orang yang kita cintai, hidup bersama orang lain.

Tidak mudah memang, mengubah kenyataan pahit menjadi sesuatu yang manis.

Namun jika kita berbicara soal realita, cintaku dan cinta mas Taslim hanyalah bagai sebuah dongeng.

Rasa itu ada, keinginan itu juga sangat kuat. Tapi semuanya sungguh tidak mungkin diwujudkan, walau dengan cara apa pun.

Jalan satu-satunya ialah merelakan.

Meski cinta itu terkadang egois.

Kisah cintaku dengan mas Taslim itu, seperti menggenggam sebuah belati tajam.

Jika kami menggenggamnya terlalu kuat, kami akan terluka parah.

Namun jika kami melepaskannya, kami akan kehilangan belati tersebut.

Bukan pilihan yang mudah sebenarnya. Tapi begitulah kehidupan, dimana segala yang terjadi terkadang tidak selalu seperti yang kita inginkan.

Bisa jadi, saat kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan saat kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu.

Takdir Tuhan tidak pernah salah. Segala yang datang dalam kehidupan ini, baik atau buruknya, tak lebih hanya sekedar ujian kehidupan belaka.

Seperti kata mas Taslim, kami memulainya dengan cara yang baik-baik, dan seharusnya kami juga bisa mengakhirinya dengan cara yang baik pula.

Aku mulai bisa merasakan makna cinta yang sesungguhnya dalam hidupku.

Karena itu juga, aku akhirnya menerima perjodohanku dengan Nurma, gadis manis pilihan ibuku.

Aku menikahi Nurma, bukan hanya untuk memenuhi permintaan Ibu. Tapi aku juga ingin belajar, hidup sebagai laki-laki normal.

Mas Taslim hadir pada acara pernikahanku tersebut.

Tapi ia hadir sebagai seorang sahabat, sebagai seorang saudara.

Dan ternyata hubungan sebuah persahabatan, jauh lebih indah dari pada hubungan cinta yang terlarang.

Aku dan mas Taslim, memang sudah sepakat untuk saling memaafkan dan saling menghapus segala perasaan cinta kami.

Kini hubungan kami hanya sekedar hubungan persahabatan. Seperti yang orang-orang percayai selama ini.

Setidaknya itu lah yang kami jalani sampai saat ini.

Aku tidak tahu, seberapa lama hubungan persahabatan kami akan mampu bertahan, saat sisa-sisa cinta masih melekat di hati kami berdua.

Semoga saja, kami selalu mampu mengendalikan perasaan kami. Agar tidak terjebak lagi, pada yang namanya cinta terlarang.

Semoga saja.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate