Bersama mbak Lidya (kisah nyata)

Nama ku Aris. Dan aku seorang penjual sayur keliling. Aku jadi penjual sayur keliling sudah 5 tahun lebih. Aku berjualan sayur keliling sudah sejak aku masih lajang, hingga sekarang aku sudah menikah. Istri ku juga saat ini sedang hamil anak pertama kami.

Aku dan istri ku tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana. Sebuah rumah kontrakan kecil, yang mulai kami sewa sejak kami memutuskan untuk menikah. Rumah itu sangat sederhana, namun cukup untuk bisa aku tempati bersama istri ku.

Istri ku sendiri tidak bekerja. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Dulu, sebelum menikah dengan ku, istri ku pernah bekerja di sebuah mini market. Namun karena sudah menikah, ia terpaksa berhenti bekerja.

Kehidupan kami sangat sederhana. Tapi kami saling cinta. Kami bahagia dengan pernikahan kami. Apa lagi semenjak kehamilan pertama istri ku. Kehidupan rumah tangga kami berjalan dengan baik. Meski secara ekonomi kami masih sering merasa kekurangan.

Kami berdua, sama-sama merantau ke kota ini. Kami tidak punya keluarga dekat atau pun kerabat di kota ini. Kami sudah hidup mandiri, bahkan sejak kami belum saling kenal sebelumnya. Semua keluarga kami berada di kampung.

Pernikahan kami sudah berjalan hampir dua tahun lamanya. Dan sekarang istri ku sedang mengandung anak pertama kami. Kandungannya sudah memasuki bulan ke delapan saat ini.

Hal itu cukup menjadi beban bagiku. Karena menurut keterangan dokter, istri ku tidak bisa melahirkan normal. Ia harus menjalani operasi. Dan itu butuh biaya banyak. Sementara kami tidak punya tabungan sama sekali. Karena pendapatan ku sebagai penjual sayur keliling selama ini, hanya cukup untuk biaya hidup dan membayar sewa rumah kami.

Di tambah pula, sejak hamil, istri ku jadi sering sakit-sakitan dan harus sering di bawa ke dokter. Semakin banyak biaya yang harus kami tanggung. Sementara penghasilan ku sebagai penjual sayur keliling, tidak kunjung meningkat. Meski aku sudah berusaha untuk berjualan lebih banyak dan lebih lama dari biasanya.

****

Aku berjualan sayuran, dari pagi hingga siang hari. Aku berkeliling dari satu kompleks perumahan ke kompleks perumahan lainnya, dengan hanya memakai gerobak dorong. Rasa letih tidak membuat aku menyerah, untuk terus berjuang mendapatkan rupiah yang aku kumpulkan dari satu pembeli ke pembeli lainnya.

Setiap hari, aku terus saja berkeliling untuk menjual sayur-sayur yang aku dapatkan dari agen. Setiap hari aku terus berusaha, agar semua dagangan ku habis. Meski tak jarang, masih banyak sisa-sisa dagangan ku, yang harus aku bawa pulang kembali, karena tak habis terjual.

Perjuangan ku tak hanya sampai di situ. Sepulang berjualan sayuran, aku juga nyambi kerja di sebuah tempat cucian motor. Tempat cucian motor tersebut, memang milik salah seorang teman ku. Ia sengaja mengajak aku bekerja di tempat cuciannya, karena ia tahu, aku butuh tambahan uang. Meski aku hanya bekerja di sana, dari siang sampai sore hari.

Namun setelah berbulan-bulan berjuang, dan berusaha sekuat kemampuanku, uang yang aku kumpulkan belum juga cukup, untuk biaya operasi melahirkan istri ku. Sementara, waktunya hanya tinggal beberpa minggu lagi.

Pernah temanku menyarankan agar aku menggunakan BPJS saja. Namun karena kami hanya merantau ke kota ini, kami tidak punya BPJS. Pernah aku coba datang ke Kelurahan untuk mengurus hal tersebut, tapi pengajuan kami di tolak, karena kata mereka tidak memenuhi syarat. Meski aku tidak tahu pasti, syarat apa yang tidak terpenuhi tersebut, tapi aku memang tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Aku juga pernah ingin mengajukan pinjaman ke pihak bank, tapi aku gak punya agunan untuk jadi jaminan, dan sudah pasti pihak bank tidak akan mengabulkan permohonan pinjaman kami. Karena itu, aku hanya bisa pasrah pada akhirnya.

Aku tidak punya teman atau kenalan yang kehidupan ekonominya lebih baik dari kami, yang bisa aku jadikan tempat untuk aku meminjam uang. Kalau pun ada, mereka juga pasti tidak mau, karena mereka tahu, aku tidak akan mampu membayarnya.

Sementara dari pihak keluarga ku sendiri, yang jauh berada di kampung sana, juga tidak ada untuk tempat aku mengadu. Karena kehidupan mereka di kampung, juga sangat kekurangan. Apa lagi, sejak kedua orangtua ku meninggal, beberapa tahun lalu, hampir tidak ada pihak keluarga yang peduli lagi sama kami.

Dari pihak keluarga istri ku sendiri, juga tidak ada yang peduli dengan kehidupan kami. Sejak istri ku memutuskan untuk menikah dengan ku, pihak keluarganya sudah tidak pernah lagi menghubungi kami. Bahkan jika pun kami hubungi, tanggapan mereka sangat dingin. Karena memang, dari awal, mereka sudah tidak setuju akan pernikahan kami.

Istri ku merupakan anak ketiga dari mereka lima bersaudara. Mereka lima bersaudara, empat orang perempuan, dan satu orang laki-laki. Orangtua istri ku sangat ingin kalau anak-anak perempuannya menikah dengan orang yang punya kehidupan ekonomi yang baik, dan punya masa depan yang jelas.

Namun istri ku waktu itu, tetap bersikeras untuk menikah dengan ku, meski tanpa restu kedua orangtuanya. Hal itu membuat ia harus diasingkan oleh keluarganya sendiri, terutama oleh orangtuanya. Ia sudah tidak dianggap sebagai bagian dari keluarganya lagi.

Memikirkan hal tersebut, terus terang aku jadi merasa bersalah terhadap istri ku. Hanya demi bisa menikah dengan ku, istri ku rela, harus terbuang dari keluarga besarnya. Dan hal itu, cukup menjadi beban tanggungjawab yang sangat besar bagi ku. Hal itu juga yang membuat aku jadi tidak pernah berhenti berjuang.

****

Sebagai seorang penjual sayur keliling, aku memang punya banyak pelanggan. Terutama dari ibu-ibu kompleks perumahan yang aku datangi setiap harinya. Apa lagi aku sudah berjualan sayur keliling, sejak lama. Sudah bertahun-tahun.

Dari sekian banyak pelanggan sayuran ku, yang rata-rata nya adalah ibu rumah tangga, ada satu orang pelanggan, yang baru beberapa bulan ini menjadi pelanggan ku. Namanya mbak Lidya.

Menurut ceritanya, ia juga baru pindah ke kompleks perumahan tersebut. Dan ia seorang janda.

Karena sudah bercerai dari suaminya, mbak Lidya memang sengaja pindah ke perumahan tersebut. Ia sebenarnya juga sudah punya dua orang anak, yang ia tinggalkan bersama mantan suaminya.

Karena itu, mbak Lidya hanya tinggal sendiri di rumahnya yang sederhana itu. Ia juga masak sendiri. Ia bekerja di sebuah showroom mobil di kota tersebut. Penghasilannya juga lumayan besar. Setidaknya begitulah cerita yang aku dengar dari mulut mbak Lidya sendiri.

Mbak Lidya memang cukup supel orangnya, ia juga sedikit humoris. Ia suka bercerita banyak hal, ketika ia berbelanja sayuran pada ku. Hal itu cukup membuat kami jadi cepat akrab.

Mbak Lidya juga orang yang baik, ia suka memberi uang kembaliannya padaku, setiap kali ia berbelanja.

Kedekatan ku dangan mbak Lidya, cukup membuat aku merasa sedikit nyaman. Mbak Lidya mampu menghiburku, saat aku sedang merasa letih. Ia juga sering menawarkan ku, untuk mampir ke rumahnya. Namun selama ini, aku selalu menolaknya. Karena selain merasa tidak enak, aku juga harus berkeliling untuk berjualan.

Mbak Lidya memang langganan khusus bagi ku. Hanya ia satu-satunya pelanggan ku, yang aku langsung masuk ke halaman rumahnya, tentu saja atas permintaan mbak Lidya sendiri.

"aku malu, kalau belanja bareng ibu-ibu kompleks lainnya. Soalnya aku ini kan janda, dan aku juga baru pindah kesini, aku takut jadi bahan gosip buat mereka." begitu alasan mbak Lidya waktu itu, saat aku tanya, kenapa ia meminta aku langsung masuk ke halaman rumahnya.

Karena itu, setiap kali melewati rumah mbak Lidya, aku langsung saja masuk ke pekarangan rumahnya. Dan pasti ada aja yang mbak Lidya akan beli dari ku. Ia memang termasuk orang yang hobi masak. Kadang, ia juga pernah menawarkan aku makanan yang ia buat sendiri.

Mbak Lidya memang orang yang baik. Hal itu, membuat aku jadi merasa terkesan dengannya. Aku kadang jadi betah berlama-lama berada di halaman rumahnya, hanya untuk mendengarkan ia bercerita, sekaligus untuk aku bisa beristirahat sejenak di sana.

****

"kamu kok kelihatan murung banget hari ini, Ris? Capek ya?" tanya mbak Lidya suatu pagi, saat aku sudah berada di depan rumahnya, membawa barang dagangan ku. Saat itu tinggal menghitung hari, istri ku akan menjalani operasi melahirkan anak kami.

"masih pagi kok udah capek aja?" lanjut mbak Lidya lagi, tanpa menunggu jawaban ku.

"tubuh ku sih gak terlalu capek, tapi pikiran ku yang capek banget, mbak." jawab ku akhirnya, asal.

Usia mbak Lidya memang lebih tua empat tahun dari ku. Aku sendiri masih berusia 31 tahun, sedangkan mbak Lidya sudah berumur 35 tahun.

"capek pikirannya kenapa, Ris?" tanya mbak Lidya lagi, sambil ia mulai memilah sayuran yang ingin ia beli.

"yah.. biasalah, mbak. Persoalan hidup.." balasku lemah.

"emang apa persoalan hidup yang sedang Aris alami saat ini? Kamu cerita aja, siapa tahu saya bisa bantu.." ucap mbak Lidya lagi.

"persoalan hidup orang miskin kayak saya ini, yah.. gak jauh-jauh lah dari masalah uang, mbak." balasku masih dengan nada lemah.

"emangnya Aris lagi butuh uang buat apa?" mbak Lidya bertanya kembali.

"istri ku tiga hari lagi mau melahirkan, mbak. Dan ia harus di operasi, tapi saya belum punya cukup uang untuk biaya operasi tersebut. Saya jadi bingung mau cari uang kemana lagi. Segala usaha sudah saya lakukan, tapi tetap saja, uangnya belum cukup.." balasku apa adanya.

"Aris butuh uang berapa?" tanya mbak Lidya kemudian, sambil ia memasukan sayuran yang sudah ia pilih ke dalam kantong plastik.

"biaya operasi nya sih hampir 15 jutaan, tapi uang yang sudah saya kumpulkan baru sekitar tujuh juta. Masih ada separohnya lagi yang harus saya cari, sementara waktunya kian mepet.." jelasku, tanpa bermaksud apa-apa.

"ya udah, kamu pake uang ku aja dulu. Kebetulan aku punya beberapa tabungan yang belum aku pakai.. jadi kamu bisa pinjam dulu." ucap mbak Lidya terdengar serius.

"gak usah, mbak. Saya gak yakin akan bisa bayar dalam waktu dekat ini.." balasku spontan.

"gak apa-apa, Ris. Kamu pake aja dulu. Bayarnya bisa kapan aja, kok. Gak usah terlalu di pikirkan juga..." ucap mbak Lidya sedikit bersikeras.

"tapi.. aku jadi gak enak loh, mbak. Padahal kita kan juga baru saling kenal. Tapi mbak Lidya sudah sangat baik padaku. Selama ini aja, mbak Lidya juga sudah selalu baik pada ku, sekarang malah di pinjamkan uang. Aku ..." aku sengaja menggantung kalimatku, karena tidak tahu lagi harus berkata apa.

"kamu tenang aja. Dan gak usah merasa berhutang budi seperti itu. Meski pun kita baru kenal, tapi aku yakin, kamu pasti orang baik. Lagi pula, bukankah sudah seharusnya sebagai sesama manusia, memang harus saling bantu. Selama saya mampu kenapa gak?" mbak Lidya berucap kemudian.

Untuk selanjutnya aku hanya bisa terdiam. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus berkata apa. Sebenarnya aku juga tidak ingin menerima bantuan dari mbak Lidya tersebut, karena aku tidak yakin akan bisa mengembalikannya.

Tapi, aku juga merasa tidak enak hati jika harus menolak hal tersebut. Aku takut mbak Lidya tersinggung. Dan lagi pula, aku memang butuh uang tersebut. Aku juga gak tahu, harus mencari uang kemana lagi. Jadi gak ada salahnya, kalau aku menerima tawaran mbak Lidya tersebut. Toh, ia juga terlihat tulus ingin membantu, tanpa mengharapkan apa-apa dari ku.

"ya udah, kalau mbak Lidya memang mau meminjamkan saya uang, saya akan terima. Tapi.. saya gak bisa janji, akan bisa membayarnya dalam waktu dekat ini.." ucapku akhirnya.

"oke, gak apa-apa. Kamu bisa bayar kapan kamu punya uang aja nanti." balas mbak Lidya, "kamu tunggu di sini dulu, ya. Saya mau ke dalam dulu, ngambil uangnya." mbak Lidya melanjutkan ucapannya, sambil ia melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Beberapa saat kemudian, mbak Lidya pun keluar, dengan membawa uang tersebut. Ia langsung menyerahkan uang itu padaku.

"kamu hitung dulu aja, Ris." katanya ringan.

"gak usah, mbak. Aku percaya aja sama mbak Lidya. Dan.. terima kasih banyak ya.. Mbak Lidya sudah sangat baik padaku... Sekali lagi terima kasih.." ucapku sedikit bergetar, karena merasa terharu.

"iya, sama-sama, Ris. Semoga operasinya berjalan lancar ya..." balas mbak Lidya terdengar tulus.

"iya, mbak. Terima kasih sekali lagi... Kalau begitu saya pamit, ya..." ucapku akhirnya.

"oke, Ris. Oh, ya... Nanti malam kalau ada waktu, kamu jalan-jalan kesini ya, Ris. Kita ngobrol-ngobrol. Ada yang ingin saya sampaikan sama kamu." balas mbak Lidya kemudian.

"oh, oke.. saya usahakan datang nanti malam ya, mbak.." ucapku membalas, dengan perasaan sedikit bingung.

Ada apa kok mbak Lidya tiba-tiba ingin aku datang ke rumahnya malam-malam? Aku merasa jadi tidak enak, karena biar bagaimana pun, mbak Lidya itu seorang janda, dan ia tinggal sendiri. Tapi aku gak mungkin menolak hal tersebut, karena mbak Lidya sudah baik padaku.

Mungkin saja mbak Lidya hanya ingin curhat padaku. Mungkin saja ia hanya butuh teman untuk bercerita. Aku gak boleh berpikiran macam-macam tentang mbak Lidya, karena sampai saat ini, yang aku tahu, mbak Lidya itu orang baik.

Dan dengan perasaan lega, aku pun segera pergi dari rumah mbak Lidya. Aku ingin segera membawa pulang, uang yang aku dapat dari mbak Lidya barusan. Meski perasaan ku saat ini, jadi merasa kurang enak hati, terhadap mbak Lidya.

Biar bagaimana pun, aku merasa sangat berhutang budi padanya. Ia sudah sangat membantu ku. Sementara, ia bukan siapa-siapa bagi ku. Kami hanya kenalan biasa, tapi mbak Lidya sudah begitu baik padaku. Apa pun akan aku lakukan, untuk bisa membalas kebaikannya tersebut.

***

Malam itu, aku pun datang menemui mbak Lidya di rumahnya.. Mbak Lidya menyambutku dengan senyum ramahnya. Lalu kemudian, ia pun mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamu rumahnya.

Meski pun merasa sedikit sungkan, aku pun dengan sedikit berat, masuk ke rumah tersebut. Aku berusaha duduk dengan tenang di ruang tamu yang terlihat sangat rapi dan bersih itu. Rumah mbak Lidya memang terlihat terawat dengan baik.

"diminum teh nya, Ris. Mumpung masih hangat.." ucap mbak Lidya, saat ia sudah kembali dari dapur, dengan membawa dua gelas teh dan sepiring kue basah.

"iya, mbak. Makasih.." balas ku, sambil mulai meminum teh tersebut.

"kue nya juga sekalian di cicipi, ya..." ucap mbak Lidya lagi.

Aku pun mencoba mencicipi kue tersebut dengan pelan. Sementara mbak Lidya terus memperhatikan ku dengan seksama.

"gimana, Ris? Enak kue nya? Itu buatan saya sendiri loh.." tanya mbak Lidya kemudian.

"wah ini sih enak banget, mbak. Kue buatan mbak Lidya ini memang enak.." balasku apa adanya, tanpa bermaksud apa-apa.

"kamu mau coba kue yang lain gak?" tanya mbak Lidya lagi.

"gak usah, mbak. Ini aja udah cukup." balas ku terdengar polos.

"kamu yakin, gak mau coba kue yang lain?" mbak Lidya bertanya lagi, dengan nada sedikit manja.

"maksud mbak Lidya apa?" tanya ku membalas, mulai merasa kurang nyaman.

"masa' kamu gak ngerti sih, Ris? Kita sudah sama-sama dewasa loh, gak usah terlalu kaku gitu. Santai aja. Di rumah ini cuma ada kita berdua loh.." kali ini suara mbak Lidya benar-benar manja.

Pikiran ku benar-benar menjadi tak karuan. Aku mulai paham maksud mbak Lidya mengundang ku ke rumahnya malam-malam. Penilaian ku terhadap mbak Lidya pun berubah total. Ternyata ia tidak sebaik yang aku sangka kan selama ini. Segala kebaikannya padaku, ternyata punya tujuan tertentu.

"maaf, mbak. Bukan itu tujuan saya datang kesini.." ucapku akhirnya dengan sedikit bergetar.

"apa itu berarti kamu menolak saya?" suara mbak Lidya berubah sedikit meninggi.

"maaf, mbak. Saya gak bisa. Saya sudah menikah, mbak." aku berusaha berucap dengan tegas.

"saya tahu kamu udah nikah. Saya juga gak ingin mengikat kamu dengan hubungan apa pun. Saya cuma ingin kamu mengisi kesepian saya selama ini." ucap mbak Lidya kemudian.

"sebagai seorang janda yang sudah lama bercerai, saya benar-benar merasa kesepian, Ris. Dan saat saya melihat kamu pertama kali, saya sudah tertarik sama kamu. Jadi saya mohon, Ris. Kamu mau ya.. Please..." suara mbak Lidya tiba-tiba terdengar menghiba.

"maaf, mbak. Tapi saya gak bisa mengkhianati istri saya, apa pun alasannya. Ia sudah banyak berkorban untuk saya selama ini.." balasku, dengan sedikit menarik napas.

"tapi saya juga sudah banyak membantu kamu selama ini, Ris. Bahkan saya rela meminjamkan kamu uang sebanyak itu, tanpa jaminan apa-apa. Jadi wajar dong, kalau saya juga ingin mendapatkan imbalannya. Minimal untuk malam ini pun jadi lah.." suara mbak Lidya sedikit berat.

"maaf, mbak. Saya tetap gak bisa. Saya akan kembalikan uang mbak Lidya malam ini juga. Dan saya terima kasih atas kebaikan mbak selama ini sama saya. Mungkin saya gak akan bisa membalasnya, tapi jujur saja, saya gak pernah minta itu semua.." balasku tegas.

"lalu kalau kamu kembali kan uangnya, istri kamu mau kamu operasi pakai uang apa?" mbak Lidya berucap dengan sedikit kasar.

"saya rasa, itu bukan urusan, mbak Lidya. Saya pasti akan dapatkan uangnya, tapi tidak dengan cara seperti ini. Saya pamit, mbak. Nanti saya antar uangnya kesini.." balasku masih dengan suara tegas.

Lalu tanpa menunggu jawaban mbak Lidya lagi, saya pun segera keluar dari rumah tersebut. Saya memacu motor butut saya ke rumah. Lalu mengambil uang yang tadi masih saya simpan di lemari. Beruntunglah uang tersebut, belum sempat saya berikan kepada istri saya.

Dengan kecepatan yang sama, saya memacu motor saya kembali menuju rumah mbak Lidya. Lalu tanpa berkata apa-apa, saya berikan uang tersebut kepada mbak Lidya, yang masih duduk di ruang tamu rumahnya. Dan tanpa permisi, saya langsung saja keluar dari rumah itu lagi. Setelah mbak Lidya menerima uangnya dengan wajah penuh kekecewaan.

Saya gak tahu, apakah tindakan saya tersebut, benar atau salah. Tapi yang pasti, saya tidak ingin mendapatkan uang dengan cara seperti itu. Biar bagaimana pun saya masih punya harga diri. Dan saya tidak mungkin mengkhianati istri saya, walau dengan cara dan alasan apa pun.

Kini, jalan satu-satunya bagi ku, untuk mendapatkan uang tambahan, untuk biaya operasi istri ku, hanyalah dengan menjual motor butut ku satu-satunya ini. Walau pun harganya mungkin tidak seberapa, tapi saya yakin, uang itu pasti cukup, dan yang pasti halal.

Dan satu hal lagi, setidaknya saya sudah berusaha semampu saya. Meski pun hasilnya tidak semaksimal yang saya harapkan. Dan setidaknya lagi, saya masih bisa menjaga harga diri saya, dan juga kesetiaan saya terhadap istri saya. Dan saya rasa, itu semua sudah lebih dari cukup.

Saya berjanji tidak akan pernah menemui mbak Lidya lagi. Saya akan pindahkan rute perjalanan saya, untuk berjualan sayuran, agar tidak melewati rumah mbak Lidya.

Semoga saja, saya selalu mampu menolak godaan-godaan yang datang dalam kehidupan saya ke depannya. Semoga saja, saya tetap mampu mempertahankan kesetiaan saya kepada istri saya.

Yah... semoga saja..

****

Bersama tante Mirna

Nama ku Ferdy, saat ini usia ku sudah 21 tahun lebih. Aku tidak kuliah. Karena aku memang berasal dari keluarga tidak mampu. Dan lagi pula aku ini seorang yatim piatu.

Ibu ku meninggal, pada saat aku masih berusia 10 tahun. Sementara ayah ku juga meninggal lima tahun kemudian. Sejak saat itu, aku tinggal bersama kakak perempuan ku, yang terpaksa menikah muda, demi kami bisa bertahan hidup.

Abang ipar ku memang seorang karyawan di sebuah perusahaan kecil di kota tempat kami tinggal. Gajinya cukup besar. Usianya terpaut hampir tujuh tahun lebih tua dari kakak ku. Mereka menikah sekitar lima tahun yang lalu. Sekarang mereka sudah punya dua orang anak yang masih kecil-kecil.

Kami tinggal di sebuah perumahan yang berada di tengah-tengah kota. Rumah itu cukup besar, meski pun masih kredit. Kami tinggal di sana, sejak mereka menikah. Sebenarnya rumah itu, sudah mulai di kredit oleh abang ipar ku sejak ia masih lajang.

Kakak ku sendiri tidak bekerja. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Karena memang ia tidak sempat menamatkan sekolah SMA nya. Sementara aku juga belum punya pekerjaan tetap. Sejak lulus SMA beberapa tahun lalu, aku hanya bekerja serabutan.

Mulai dari jadi buruh bangunana, buruh angkut di pasar, membantu orang berjualan, jari juru parkir, hingga jadi pengamen, semuanya pernah aku lakukan. Hanya untuk mengurangi beban abang iparku, yang merupakan tulang punggung keluarganya.

****

Suatu malam, aku duduk sendirian di sebuah pos ronda. Kebetulan memang giliran aku dan dua orang teman ku yang ronda malam itu. Tapi karena hujan yang turun cukup deras, kedua temanku tersebut belum datang.

Pos ronda tersebut terletak di gerbang masuk ke perumahan tempat kami tinggal. Dari situ, kami bisa melihat lalu lalang kendaraan di jalan raya. Namun malam itu, karena hujan yang sangat deras, hampir tidak ada kendaraan yang berlalu lalang seperti biasa.

Dalam kesendirian, aku menatap rintik-rintik hujan yang jatuh begitu deras membasahi jalan. Pikiran ku melayang entah kemana. Perjalanan hidup ku begitu berat. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa, untuk mengubahnya.

Saat aku terhanyut dalam lamunan ku yang tak berarah, tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti secara mendadak di persimpangan gang menuju perumahan kami. Tak lama kemudian, seorang wanita paroh baya, turun dengan tergesa dari mobil tersebut.

Setelah wanita itu turun, mobil itu pun kembali melaju di jalan raya, dengan kecepatan tinggi. Sementara wanita tadi terus berlari menuju pos ronda tempat aku berada. Wanita itu mulai kelihatan basah kuyup, karena di timpa hujan yang begitu deras.

Sesampai di pos ronda, aku melihat wanita itu sedikit terisak. Sepertinya ia habis menangis. Matanya terlihat sedikit memerah. Wajahnya terlihat kusut dan berantakan.

"tante Mirna?" sapa ku, setengah tak yakin.

Wanita itu pun menolah pada ku. Ia berusaha mengusap air mata di pipinya. Lalu ia pun berusaha untuk tersenyum, menyadari siapa yang memanggilnya.

"eh.. kamu Ferdy... lagi giliran ronda ya?" suara tante Mirna sedikit serak.

"iya, tante.." balasku dengan seulas senyum ramah.

Tante Mirna segera duduk di atas pos ronda, lalu ia pun menyalakan sebatang rokok.

"kamu sendirian?" tanya tante Mirna kemudian, berusaha bersikap santai.

"harusnya sih bertiga, tante. Tapi karena hujan yang dua lagi belum datang, bahka mungkin gak bakalan datang.." balasku berusaha akrab.

Tante Mirna memang tinggal di perumahan tersebut. Rumahnya hanya berjarak lima buah rumah dari rumah tempat aku tinggal. Aku juga sudah cukup lama mengenal tante Mirna. Biasanya setiap kami giliran ronda, tante Mirna memang selalu mampir di pos ronda, dengan membawa beberapa makanan, untuk kami.

Sebagai wanita yang tinggal sendirian di perumahan tersebut, tante Mirna memang tidak punya seseorang yang ia utus untuk tugas ronda. Karena itu, sebagai warga yang baik, tante Mirna selalu berkontribusi dengan membelikan kami, para petugas ronda , makanan hampir setiap malamnya.

Tante Mirna memang tinggal sendiri, ia juga seorang janda tanpa anak. Usianya mungkin sudah kepala empat. Tapi tante Mirna masih kelihatan cantik dan seksi. Ia sudah lama tinggal sendirian. Setidaknya begitulah sedikit hal yang aku ketahui tentang tante Mirna, dari cerita para tetangga.

Pernah tersiar kabar, bahwa tante Mirna adalah istri simpanan seorang pejabat. Namun kabar tersebut, tidak pernah terbukti. Karena tidak pernah sekali pun, tante Mirna pernah membawa laki-laki ke rumahnya.

"tante mau saya antar pulang?" tanya ku berbasa-basi, karena aku lihat tante Mirna begitu murung. Tatapannya kosong.

"masih hujan, Fer. Nanti aja, tunggu hujannya reda.." balas tante Mirna pelan.

"tapi hujannya masih lama kayaknya, Tante. Dan ini juga sudah larut malam. Saya juga sudah mau pulang. Tante pakai aja jaket saya, biar gak terlalu basah." ucapku selanjutnya.

Jarak rumah tante Mirna dari pos ronda memang masih sekitar 500 meter lagi. Sementara rumah ku sendiri masih lima buah rumah lagi setelah rumah tante Mirna. Karena itu, aku berusaha membujuk tante Mirna untuk segera pulang.

"baiklah, Fer. Saya juga sudah mulai menggigil karena kedinginan.." balas tante Mirna akhirnya.

****

Kami berjalan beriringan dengan langkah cepat menuju rumah tante Mirna. Tante Mirna menyelimutkan jaket yang aku berikan padanya ke tubuhnya, sambil terus berlari-lari kecil. Hujan turun semakin deras. Suara gemuruh juga terdengar silih berganti di langit sana.

Tak lama kemudian, kami pun sampai di rumah tante Mirna. Ia segera membuka pintu dan langsung masuk ke rumahnya. Aku jadi ragu, mau langsung pulang atau harus menunggu jaket ku yang di pinjam tante Mirna?

Saat aku hendak melangkah pergi, tiba-tiba tante Mirna muncul kembali di ambang pintu. Kali ini ia membawa sebuah handuk, baju kaos dan celana kering.

"ini.. kamu ganti pakaian mu dulu..." ucap tante Mirna, sambil menyodorkan pakaian tersebut pada ku.

"gak usah, tante. Saya langusng pulang aja. Saya ganti baju di rumah aja.." balas ku cepat.

"ayolah, Fer. Kamu temani tante ngobrol dulu. Nanti kalau hujannya udah reda, kamu baru pulang, ya.." ucap tante Mirna, dengan nada sedikit memohon.

Karena merasa tidak enak menolak hal tersebut, aku pun segera mengambil pakaian dan handuk tersebut. Lalu kemudian aku melangkah menuju kamar mandi yang berada di belakang. Sementara tante Mirna juga masuk ke kamarnya, untuk berganti pakaian.

Setelah berganti pakaian, aku pun kembali ke ruang tamu. Di situ sudah ada tante Mirna duduk dengan santai di kursi tamu. Di atas meja terdapat beberapa cemilan dan juga dua gelas teh hangat. Tante Mirna ternyata sudah mempersiapkan semuanya.

Tanpa menunggu perintah dari tante Mirna, aku pun segera duduk di hadapan tante Mirna, dengan senyum kikuk. Terus terang aku merasa sedikit grogi. Apa lagi tante Mirna hanya memakai baju tidur. Rambutnya yang panjang sebahu, ia biarkan terurai, karena masih basah. Senyumnya terlihat penuh pesona.

"maaf ya, Fer. Harus menahan kamu sebentar dulu di sini, karena tante lagi butuh teman untuk bercerita, setelah kejadian pahit yang baru saja tante alami tadi..." ucap tante Mirna, setelah ia mempersilahkan aku meminum teh nya.

"iya, tante. Gak apa-apa. Tapi kejadian pahit apa yang baru saja tante alami?" tanyaku jadi penasaran.

Lalu tante Mirna pun bercerita, bahwa ia baru saja putus dari pacarnya. Pacarnya yang seornga pengusaha tersebut, ternyata telah membohonginya selama ini. Pacarnya mengaku kalau ia sudah bercerai dari istrinya, tapi ternyata tidak. Ia hanya sekedar memanfaatkan tante Mirna. Menjadikan tante Mirna, hanya sebagai pelampiasannya semata.

"begitulah, Fer. Setelah tante tahu semua itu, tante pun meminta putus darinya. Tapi ia tidak terima, dan malah marah-marah padaku." tante Mirna mengakhiri ceritanya.

"jadi yang antar tante tadi orang itu?" tanya ku kemudian.

"iya, Fer. Karena itu, ia tidak mau mengantar tante sampai ke rumah. Ia marah, karena aku minta putus darinya." balas tante Mirna.

Hujan di luar pun mulai reda. Jam sudah menunjukan pukul satu malam.

"terima kasih ya, Fer. Sudah mau mendengarkan cerita saya.." ucap tante Mirna selanjutnya.

"iya, tante. Sama-sama. Kalau begitu saya pamit dulu ya, tante. Mumpung hujannya udah mulai reda." balasku kemudian.

"kamu gak menginap di sini aja?" tawar tante Mirna.

"gak usah tante. Gak enak dilihat tetangga, saya bangun pagi-pagi disini.." balasku polos.

"ya udah.. kamu hati-hati, ya.." ucap tante Mirna lagi.

Lalu kemudian aku pun pamit. Meninggalkan tante Mirna, yang masih terlihat sedih.

****

Sejak malam itu, aku dan tante Mirna jadi sering ngobrol. Ia jadi sering menelpon ku. Ia jadi sering bercerita banyak hal padaku. Kami pun menjadi dekat.

Setiap pulang kerja, tante Mirna selalu mampir di pos ronda, terutama saat aku giliran ronda. Ia sengaja membelikan makanan spesial untuk ku. Hal itu membuat aku menjadi merasa di perhatikan.

Bahkan bukan cuma itu. Tante Mirna juga sering membelikan aku barang-barang mewah. Seperti jam tangan, sepatu, atau pun baju.

Aku tidak pernah tahu, apa pekerjaan tante Mirna sebenarnya. Aku juga tidak berani mempertanyakan hal tersebut padanya. Dan aku juga tidak peduli, karena itu bukan urusan ku. Hanya saja aku merasa, tante Mirna sudah terlalu baik padaku.

"kenapa tante begitu baik padaku?" tanyaku suatu malam, saat itu kami ngobrol berdua lagi di pos ronda. Kebetulan malam itu, teman-teman ronda ku belum datang.

"karena kamu orang baik, Ferdy. Tante suka pemuda seperti kamu. Tidak pernah memandang rendah orang lain, dan tidak pernah mau ikut campur urusan orang lain.." balas tante Mirna.

"tapi saya jadi gak enak sama tante, saya gak bisa balas apa-apa.." ucapku lagi.

"sebenarnya tanpa kamu sadari, kamu sudah membalas semuanya, Ferdy. Kamu sudah mampu membuat aku melupakan segala kejadian pahit yang aku alami. Kamu selalu ada saat aku butuh. Kamu mampu mengusir rasa kesepian ku, selama ini.." balas tante Mirna terdengar tulus.

"tapi tetap saja, aku merasa berhutan budi sama tante.." ucapku pelan.

"kalau begitu, bagaimana kalau nanti malam, sepulang ronda, kamu mampir ke rumah tante.." balas tante Mirna.

"ada apa, tante? Kenapa aku harus mampir?" ucapku penuh tanya.

"kamu benar-benar lugu, Ferdy. Hal itu yang membuat tante jadi semakin suka sama kamu.." balas tante Mirna.

Kali ini aku hanya terdiam. Tidak tahu harus berkata apa.

"kalau kamu memang merasa berhutang budi, ada satu hal harus kamu lakukan untuk tante." ucap tante Mirna kemudian.

"apa?" tanya ku benar-benar polos.

"makanya nanti kamu harus mampir ke rumah tante, biar kamu tahu, ya.." balas tante Mirna, seperti penuh harap.

"baiklah, tante. Nanti saya akan mampir.." ucapku akhirnya.

****

Malam itu, dengan perasaan yang tak karuan, aku pun mampir ke rumah tante Mirna. Ia menyambutku dengan penuh senyum.

"jadi... apa yang harus saya lakukan, tante? Untuk membalas semua kebaikan tante selama ini?" tanya ku langsung, saat kami sudah duduk di ruang tamu rumah tante Mirna.

"kamu benar-benar tidak mengerti apa yang tante inginkan dari kamu, Fer?" tante Mirna balas bertanya.

"saya benar-benar tidak mengerti, tante.." balasku polos.

"oke.. jadi gini... sebenarnya... tante suka sama kamu, Ferdy. Kamu tampan dan gagah. Kamu juga masih begitu polos. Tante jadi penasaran sama kamu. Apa kamu mau, jadi pacar tante?" ucap tante Mirna dengan sangat blak-blakan.

Aku terdiam sesaat. Aku bukanya tidak tahu, akan hal tersebut. Dari awal aku sudah menduganya. Tapi.. aku sendiri tidak mengerti dengan perasaanku terhadap tante Mirna. Ia begitu baik padaku. Namun, ia juga sudah cukup tua, untuk aku jadikan pacar. Rasanya hal itu gak mungkin.

"kalau kamu memang merasa keberatan untuk jadi pacar tante, gak apa-apa kok, Fer. Tapi.. izinkan malam ini saja. Sekali ini saja, kamu mau ya... t!dur sama tante. Setelah itu terserah kamu. Karena tante memang benar-benar merasa penasaran sama kamu, Fer. Tante mohon, ya.." ucap tante Mirna lagi, dengan nada penuh harap.

"saya tidak tahu bagaimana perasaan saya terhadap tante. Jujur, di mata saya, tante terlihat masih sangat cantik. Tapi.... kalau untuk jadi pacar, rasanya saya belum siap... Namun.. karena tante sudah sangat baik sama saya selama ini, saya mau, kok. Tapi hanya sekali ini saja. Bukan sebagai pacar, hanya sebagai ucapan terima kasih saya.." balasku akhirnya.

Dan begitulah, malam itu, tante Mirna berhasil membuat saya harus melepaskan kep3r-j*kaan saya, sesuatu yang selama ini berusaha untuk saya pertahankan.

Aku memang masih lugu, aku memang masih polos, karena itu aku pun membiarkan saja semua itu terjadi. Setidaknya hal itu, cukup menambah pengalaman bagi ku. Sebuah pengalaman baru dalam hidupku.

****

Sudah lebih dari seminggu, sejak kejadian malam itu, tante Mirna tidak pernah lagi menghubungi ku. Ia juga tidak pernah terlihat di pos ronda seperti biasa. Tiba-tiba saja, ia menghilang, tanpa kabar.

Aku mencoba untuk tidak peduli akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, itu bukan urusan ku. Namun hati kecil, selalu bertanya-tanya, dimana tante Mirna sekarang? Kenapa dia tak pernah menghubungi ku lagi?

Ah, tiba-tiba saja, aku merasa rindu padanya. Pengalaman pertama ku dengannya, benar-benar menumbuhkan kesan yang begitu dalam di hati ku. Aku jadi sulit untuk melupakannya.

Karena itu, aku pun mencoba untuk menghubungi tante Mirna. Tapi ternyata nomornya sudah tidak aktif. Rumahnya juga sudah beberapa hari ini, tidak pernah terbuka. Aku mencoba bertanya kepada beberapa orang, namun tidak seorang pun yang tahu, kemana tante Mirna.

Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan sudah lebih dari tiga bulan berlalu, namun tetap saja tidak ada kabar apa pun dari tante Mirna. Nomornya juga tidak pernah aktif. Aku benar-benar merasa kehilangan tante Mirna. Kenapa dia pergi disaat aku mulai menyukainya?

Sampai pada suatu hari, aku menerima sebuah pesan dari nomor yang tidak aku kenal.

"buat Ferdy. Ini tante Mirna. Maafkan tante ya, Fer. Tante harus pergi. Tante pergi tanpa memberi tahu kamu. Karena tante perginya juga buru-buru waktu itu. Dan maafkan tante juga, karena baru mengabari kamu sekarang."

"saat ini, tante sudah pindah keluar kota, dan rumah yang disana dalam proses penyitaan. Tante terpaksa pindah, karena tidak mau masuk penjara, akibat hutang tante yang tidak bisa tante lunasi. Jadi mulai sekarang, kita tidak akan pernah bertemu lagi. Tante tidak akan mengganggu kamu lagi. Selamat tinggal, Ferdy..."

Begitu kira-kira pesan yang aku terima dari nomor yang tidak kenal tersebut. Aku coba menghubungi nomor tersebut, tapi sudah tidak aktif. Aku coba membalas pesan tersebut, tapi tidak terkirim.

Pada akhirnya, aku hanya bisa pasrah. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tante Mirna sudah memutuskan untuk perg. Ia pergi, saat aku mulai menyayanginya. Namun aku harus bisa melepaskan kepergiannya. Biar bagaimana pun, kami tidak akan pernah bertemu lagi. Apa lagi mengingat, kasus yang sedang di hadapinya saat ini.

Aku pun akhirnya tahu, siapa tante Mirna sebenarnya. Ternyata selama ini, ia adalah seorang penjual barang-barang antik. Tapi usahanya tidak berjalan mulus. Ia sempat menjual barang palsu, dan ketahuan. Sehingga ia harus berurusan dengan pihak berwajib.

Tante Mirna juga memiliki hutang pada pihak bank, yang mengakibatkan rumahnya harus di sita.

Kini, tiada siapa pun yang tahu dimana keberadaan tante Mirna. Berbagai pihak sedang mencarinya. Ia sangat berani, untuk sekedar mengirimkan pesan padaku. Namun hal itu, tidak pernah aku ceritakan pada siapa pun.

Biarlah apa yang terjadi antara aku dan tante Mirna, hanya akan menjadi sebuah rahasia dalam perjalanan hidupku. Akan aku jadikan sebagai pengalaman yang berharga, yang tidak akan pernah aku lupakan.

Semoga saja, tante Mirna bisa menemukan jalan keluar dari persoalan yang sedang ia hadapi. Semoga saja, aku bisa melanjutkan hidupku seperti biasa.

Yah.. semoga saja.

****

Istri ku adalah seorang laki-laki

Ini adalah kisah nyata yang benar-benar terjadi dalam perjalanan hidup ku. Kisah yang telah aku pendam selama bertahun-tahun. Kisah yang hanya menjadi rahasia dalam hidup ku.

Nama ku Aryo Danu Saputra. Orang-orang ada yang memanggil ku Aryo, dan sebagian besar memanggil ku Danu. Aku sendiri lebih suka di panggil Danu. Karena itulah panggilan ku sejak kecil.

Aku terlahir dari sebuah keluarga yang cukup fanatik. Ayah ku seorang kyai, sedangkan ibu ku seorang guru agama di sebuah madrasah. Aku di besarkan di keluarga yang taat beragama.

Aku adalah anak pertama dari kami empat bersaudara. Aku mempunyai dua orang adik perempuan, dan satu orang adik laki-laki.

Sejak kecil, aku didik oleh orang tua ku dengan pelajaran agama yang kuat. Aku di sekolah kan di sekolah pesantren, hingga lulus tingkat Aliyah.

Kemudian aku kuliah di sebuah kampus dengan latar belakang Islami, dan juga mengambil jurusan Agama Islam. Tentu saja, itu semua atas permintaan ke dua orangtua ku.

Sejak kecil, aku memang selalu patuh dan selalu mengikuti semua keinginan orang tua ku. Apa lagi aku ini adalah sulung, yang harus menjadi contoh bagi adik-adik ku.

Sebagai seseorang yang memang fanatik terhadap Agama yang aku anut, aku memang belum pernah pacaran sama sekali. Aku selalu menjaga keutuhan ku sebagai lelaki muslim.

Hingga akhirnya aku lulus kuliah, dan bekerja di sebuah sekolah Madrasah Aliyah, yang ada di kota tempat aku tinggal.

Karena sudah lulus kuliah, dan juga sudah punya pekerjaan tetap, kedua orang tua ku, mulai menuntut aku untuk segera menikah.

Aku pun mulai mencoba mencari pasangan hidup yang cocok untuk ku. Aku mulai berkelana di dunia maya. Mencoba mencari wanita baik-baik melalui media sosial.

Meski pun orangtua ku sangat ingin aku segera menikah, namun untuk urusan jodoh, mereka serahkan sepenuhnya pada ku. Yang penting seiman, dan soleha. Dan yang paling penting, bagi mereka, aku segera menikah. Agar tidak menimbulkan fitnah, begitu alasan mereka pada ku.

Setelah beberapa bulan aku mencoba berselancar di dunia maya, akhirnya aku menemukan sebuah akun di media sosial. Pemilik akun itu adalah seorang gadis berhijab dan selalu memakai cadar pada setiap gambar yan ia unggah di media sosial tersebut.

Aku pun memberanikan diri, untuk memulai pembicaraan dengan gadis tersebut, melalui pesan pribadi pada akun nya.

Gadis itu mengaku bernama Imelda. Meski pun aku tidak melihat wajahnya secara utuh, namun dari tatapan matanya, aku dapat melihat kalau Imelda adalah gadis yang cantik, dan yang pasti ia juga seorang gadis yang soleha.

Pada akhirnya, aku dan Imelda pun jadi sering chattingan, melalui media sosial. Kami mulai saling berkenalan. Sebagai seoran laki-laki yang bahkan belum pernah berteman dekat dengan seorang wanita, aku memang terbilang masih sangat lugu.

Sampai akhirnya, Imelda sendiri yang mengajak aku untuk bertemu langsung. Aku tentu saja sangat menyetujui hal tersebut. Karena aku ingin segera mengenal Imelda lebih dekat. Dan tentu saja, aku ingin segera menjadikannya pasangan hidup ku. Karena orangtua ku sudah tidak sabar untuk segera melihat aku menikah.

****

Akhirnya aku dan Imelda pun bertemu. Kami bertemu di sebuah kafe, seperti yang sama-sama sudah kami sepakati berdua, melalui pesan pribadi.

Meski pun memakai cadar, aku dapat melihat betapa Imelda memiliki wajah yang cantik. Kesan pertama dari pertemuan kami, sudah membuat aku merasa jatuh cinta padanya.

Imelda pun bercerita, kalau ia adalah seorang yatim piatu. Ayah dan ibu nya sudah lama meninggal, karena kecelakaan. Sekarang ia hanya tinggal berdua, bersama kakak laki-laki nya, yang juga masih lajang.

Menurut pengakuan Imelda juga, ia dulu adalah lulusan sebuah Pondok pesantren. Namun ia tidak bisa kuliah, karena orangtua nya telah tiada. Dan sekarang ia bekerja di sebuah perpustakaan. Sementara kakak laki-laki nya, bekerja sebagai karyawan di sebuah SPBU. Setidaknya begitulah pengakuan Imelda pada ku, waktu itu.

Sejak pertemuan pertama kami tersebut, aku jadi semakin sering mengajak Imelda ketemuan. Aku benar-benar ingin mengenalnya lebih dekat. Aku benar-benar telah jatuh hati padanya.

Hingga akhirnya, aku pun memperkenalkan Imelda pada kedua orantua ku. Sebagai bukti kalau aku memang berniat untuk serius bersama Imelda. Dan juga sebagai bukti kepada orangtua ku, kalau aku juga serius untuk memenuhi keinginan mereka.

Dan keseriusan ku pun semakin aku bukti kan, dengan datang menemui abang Imelda, untuk menyampaikan niat ku, untuk melamar Imelda. Dan hal itu pun, juga aku utara kan langsung pada Imelda.

"aku bukannya gak mau, mas Danu. Tapi.. bukan kah kita baru saja saling kenal? Apa ini tidak terlalu cepat?" tanya Imelda waktu itu.

"aku merasa sudah cukup mengenal kamu, Imelda. Aku memang sedang mencari calon istri, bukan calon pacar. Lagi pula, kedua orangtua aku, sudah sangat ingin untuk aku segera menikah. Dan aku merasa, kamu adalah pasangan yang cocok untuk aku jadi kan pendamping hidup ku.." balas ku terdenar serius.

"tapi.. bagaimana kalau ternyata, aku tidak seperti yang mas Danu harapkan?" tanya Imelda lagi.

"aku hanya gadis miskin, dan yatim piatu. Apa yang mas Danu harapkan dari ku?" Imelda melanjutkan pertanyaannya.

"aku gak peduli siapa kamu, Imelda. Di mata ku, kamu adalah gadis yang sempurna. Dan kamu juga soleha. Jadi tidak ada keraguan lagi di dalam hati ku, untuk menjadi kan kamu sebagai istri ku." balasku kemudian.

"tapi kalau seandainya mas Danu tahu siapa aku sebenarnya? Apa mas Danu masih tetap ingin menjadi kan aku istri?" Imelda kembali bertanya.

"emangnya, siapa kamu sebenarnya, Imelda? Apa yang belum aku ketahui tentang kamu?" aku balas bertanya.

Kali ini Imelda terlihat terdiam. Ia seolah ragu, untuk mengatakan sesuatu padaku.

"jika kamu punya masa lalu yang kelam, aku tidak akan peduli, Imelda. Masa lalu biarkanlah berlalu, aku tidak ingin mengetahuinya. Yang penting saat ini, kamu harus siap menjalani masa depan bersama ku.." aku berucap akhirnya, karena ku lihat, Imelda masih terdiam.

"aku sangat mencintai kamu, Imelda. Dan aku berjanji, akan selalu membuat kamu bahagia.." lanjutku kemudian.

"aku juga sangat mencintai mas Danu. Aku merasa bahagia, karena mas Danu melamar ku saat ini. Aku juga sangat ingin menjadi istri mas Danu.. Tapi..." Imelda seperti sengaja menggantung kalimatnya.

"sudahlah, Imelda. Tak perlu kamu ragu kan lagi hal ini, kita memang di takdirkan untuk berjodoh.." balasku berusaha meyakinkan Imelda akan keseriusan ku.

"aku takut mas Danu kecewa nantinya.." pelan suara Imelda, ia seperti berbicara dengan diri nya sendiri.

"aku akan terima kamu apa adanya, Imelda. Jadi aku mohon, kamu mau ya, jadi istri ku.." ucapku penuh harap.

"baiklah, mas Danu. Aku terima lamaran mas Danu." balas Imelda akhirnya.

Aku pun tersenyum bahagia mendengar hal tersebut. Akhirnya aku bisa menikahi gadis yang aku inginkan. Akhirnya aku bisa memenuhi keinginan kedua orangtua ku.

****

Singkat cerita, setelah semua persiapan, aku dan Imelda pun akhirnya resmi menikah. Dengan di wali kan oleh lelaki yang di akui Imelda sebagai abang kandungnya tersebut, Imelda pun akhirnya resmi menjadi istri ku.

Pesta pernikahan kami berlangsung sangat sederhana. Tidak banyak tamu yang kami undang. Hal itu atas permintaan Imelda sendiri. Kedua orangtua ku juga tidak ingin melangsungkan pernikahan ku dengan pesta yang berlebihan. Untuk itu, tamu yang di undang hanya lah keluarga dekat kami saja.

Setelah pesta pernikahan usai, setelah semua tamu pun pulang. Aku dan Imelda, segera masuk ke dalam kamar pengantin. Malam pun sudah mulai larut. Saatnya kami beristirahat, dari segala kelelahan selama beberapa hari, mempersiapkan pernikahan kami. Dan juga kelelahan, karena seharian harus duduk dan berdiri di atas pelaminan.

"terima kasih ya, Imelda. Kamu sudah mau menjadi istri ku.." ucapku lembut, saat kami sudah berada di dalam kamar hanya berdua.

Aku berbaring di dekat Imelda, yang masih duduk di sisi ranjang, dengan pakaian yang masih utuh.

Tiba-tiba aku melihat, wajah Imelda menjadi murung. Awalnya aku mengira, kalau ia mungkin sangat kelelahan. Namun tak lama kemudian, aku melihat beberapa bulir air mata jatuh membasahi pipinya.

"kamu kenapa?" tanya ku masih dengan suara lembut, sambil aku mulai duduk  di dekatnya.

"maafkan aku, mas..." ucap Imelda, dengan di iringi suara isak tangisnya yang kian menjadi.

"kamu kenapa, Imelda? Kalau kamu gak cerita, gimana aku bisa memaafkan kamu?" kali ini suara sedikit tinggi, karena merasa bingung. Kenapa Imelda jadi terlihat begitu sedih dan merasa bersalah.

"awalnya aku kira, kalau mas Danu mendekati ku, hanya karena iseng semata. Karena itu, aku pun membuka diri untuk menerima kehadiran mas Danu dalam hidup ku. Tapi semakin lama, mas Danu terlihat semakin serius. Aku mulai merasa takut.." Imelda memulai cerita, dengan masih meneteskan air mata.

"sampai akhirnya mas Danu melamar saya, dan hal itu, semakin membuat aku merasa takut. Aku mulai ragu. Aku ingin menceritakan siapa aku sebenarnya pada mas Danu. Tapi jujur saja, aku juga takut kehilangan mas Danu. Jika aku mengatakan yang sebenarnya, mas Danu pasti akan pergi meninggalkan ku." lanjut Imelda, dengan suara serak.

"kamu ngomong apa sih, Mel? Aku semakin gak ngerti.." ucapku tiba-tiba.

"sebenarnya aku ingin menolak lamaran mas Danu, tapi aku takut mas Danu kecewa.." ucap Imelda lagi, seakan tidak peduli dengan pertanyaan ku barusan.

"kenapa kamu ingin menolak lamaran ku, kalau kamu juga mencintai ku?" aku bertanya lagi.

"aku ini seorang transgender, mas." pelan suara Imelda berucap, namun mampu membuat aku merasa syok seketika.

"maksud kamu?" tanya ku tak percaya.

"iya, mas. Sebenarnya aku ini seorang laki-laki. Tapi sejak kedua orangtua ku meninggal, aku memutuskan untuk menjadi seorang wanita, melalui sebuah operasi. Kini, sebagian dari diri ku adalah perempuan, tapi sebagian besarnya masih laki-laki.." jelas Imelda kemudian.

Oh, bagai mendengar suara petir di siang hari, aku mendengar itu semua.

Tidak! Imelda pasti hanya sekedar menguji ku, ia pasti sedang mengerjai ku. Bathin ku meronta.

"kamu tidak lagi becanda kan, Mel?" suara ku tertahan.

"aku serius, mas. Mungkin aku terlihat sempurna di mata mas Danu, tapi sebenarnya masih ada bagian dari diri ku yang belum mas Danu ketahui. Aku bisa membuktikannya sekarang, kalau mas Danu ingin melihatnya.." ucap Imelda kemudian.

"kamu jangan gila, ya. Kalau kamu memang bukan wanita tulen, aku tidak sudi melanjutkan pernikahan ini. Tega kamu, Mel.." nada suara ku antara kecewa dan marah.

"aku ingin mas Danu bisa menerima aku apa adanya.." suara Imelda terisak kembali.

"najis... Mana sudi aku punya istri seorang laki-laki.. Bangsat memang.." cacian itu, muncul tiba-tiba dari mulut ku.

Aku kecewa, marah, dan tak tahu lagi harus berkata apa.

Aku menikah dengan laki-laki?! Gila.. gila.. gila.. gila..

Dosa apa yang telah aku perbuat, hingga aku harus terjebak dengan pernikahan haram ini?

"aku akan laporkan hal ini, kepada pihak berwajib. Biar bagaimana pun, aku merasa telah di tipu oleh kamu.." ucapku kemudian, dengan nada sengit.

"aku mohon, mas. Maafkan aku... jangan ceritakan hal ini pada siapa pun.." suara Imelda terdengar sangat menghiba.

"aku tahu, aku salah. Seharusnya telah aku katakan hal ini dari awal. Tapi mas Danu tidak pernah memberikan aku kesempatan.." lanjutnya masih dengan nada penuh hiba.

Terus terang aku kecewa, marah, malu dan berbagai perasaan menghantui ku saat ini. Tapi orangtua ku selalu mengajarkan ku untuk selalu memaafkan. Dan tidak membalas kelakuan jahat orang lain, dengan kejahatan pula.

"oke.. aku tidak akan menceritakan hal ini pada siapa pun. Aku juga tidak mau memperpanjang persoalan ini. Aku juga tidak mau, membuat keluarga ku malu. Tapi.. aku ingin, mulai malam ini, kita bercerai. Dan aku ingin, kamu segera pergi dari rumah ini.." ucapku akhirnya, setelah berpikir cukup panjang.

"lalu bagaimana dengan orang tua mas Danu? Mereka pasti akan bertanya-tanya, kenapa aku tiba-tiba pergi.." balas Imelda.

"itu urusan ku. Tapi, yang pasti, aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya ingin kamu pergi, dan jangan pernah bermimpi untuk kembali lagi padaku.." ucapku dengan nada sedikit tinggi.

"apa mas tidak ingin mencoba menjalani pernikahan kita? Setidaknya untuk membuat orangtua mas merasa senang?" ucap Imelda.

"kamu jangan mimpi, ya.. Aku gak sudi punya istri seorang laki-laki. Aku gak sudi menjalani pernikahan palsu seperti ini. Sudah untung aku tidak memperkarakan hal ini. Jadi, sebalum aku berubah pikiran, lebih baik kamu segera angkat kaki dari rumah ini..." balasku dengan cukup kasar.

****

Malam itu juga, Imelda pun pergi diam-diam dari rumah ku. Aku memang tak sudi lagi melihat wajahnya. Sungguh aku sangat merasa menyesal, dengan keputusan ku untuk menikahinya. Namun semau sudah terjadi. Kini aku harus memikirkan, alasan apa yang akan aku berikan pada orangtua ku, jika mereka bertanya, kenapa Imelda pergi.

Sungguh tidak aku sangka, aku akan menikah dengan seorang laki-laki. Sungguh tidak aku sangka, pernikahan ku hanya bertahan selama satu malam.

Ternyata bukan kebahagiaan yang aku dapat. Namun kepahitan yang sangat luar biasa terasa sakit. Begitu perih rasanya. Kenapa Imelda tega berbuat seperti itu padaku?

Kalau saja aku tidak di latih untuk bersabar sejak kecil, mungkin aku akan membuat Imelda merasa menyesal telah melakukan semua ini pada ku. Aku pasti akan memperkarakannya.

Tapi.. ya sudahlah...

Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Aku hanya berharap, semoga kejadian ini, bisa memberikan pelajaran berharga dalam hidup ku. Agar aku lebih berhati-hati lagi dalam mengenal wanita.

Aku hanya berharap, semoga aku bisa menemukan wanita yang pantas untuk ku, dan bisa membuat aku bahagia nantinya. Dan semoga wanita itu adalah wanita yang utuh, bukan hanya setengah.

Yah... semoga saja.

****

Karena istri ku mandul

Nama ku Andi, dan ini adalah kisah ku.

Kisah ini berawal dari sejak aku menikah, dengan gadis cantik yang sangat aku cintai. Namanya Echa, setidaknya begitulah ia di panggil.

Aku dan Echa sudah pacaran hampir lima tahun, sejak kami masih sama-sama kuliah. Hingga akhirnya kami pun sama-sama mulai bekerja. Aku bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan kecil di kota kami, sementara Echa juga bekerja sebagai karyawan di perusahaan lain.

Setelah berpacaran selama tahun, dan karena sudah punya pekerjaan tetap juga, kami pun akhirnya memutuskan untuk menikah. Tentu saja, atas persetujuan kedua keluarga kami.

Setelah menikah, sesuai perjanjian kami dari awal, kami pun memutuskan untuk membeli rumah sendiri. Dan hidup mandiri. Serta memulai kehidupan baru kami sebagai sepasang suami istri.

Sejak awal, pernikahan kami baik-baik saja, bahkan kami sangat bahagia menjalani hari-hari kami bersama. Karena kami memang menikah atas dasar saling cinta. Dan terlebih lagi, kehidupan kami secara ekonomi, juga lumayan mapan.

Jadi, jarang ada persoalan yang timbul di antara kami berdua. Apa lagi, karena sudah lama pacaran, kami pun sudah saling mengenal karakter masing-masing. Selain itu, kami juga punya kesibukan bekerja, dari pagi sampai sore.

Namun setelah lebih dari tiga tahun menikah, kami belum juga di karuniai anak. Padahal, kami sudah sepakat, untuk tidak menunda punya anak. Kami ingin sekali segera punya anak. Tapi kenyataannya, sekuat apa pun kami berusaha, tetap saja, sampai saat ini, kami istri ku belum juga hamil.

Hal itu pun, cukup menarik perhatian dari semua keluarga besar kami, terutama kedua orang tua kami. Mereka tentu saja, sangat ingin punya keturunan dari kami. Apa lagi, Echa merupakan anak pertama dalam keluarganya. Sementara dua adik laki-laki nya belum menikah.

Aku sendiri merupakan anak tunggal. Yang membuat kedua orangtua ku sangat berharap, aku segera punya anak. Hal itu sering mereka sampaikan, saat ada acara kumpul keluarga.

Aku juga sudah sering membahas hal tersebut dengan Echa. Aku pun mulai merasa ada yang salah dengan kami. Aku bahkan pernah membujuk Echa, untuk memeriksakan diri ke dokter ahli. Tapi sampai saat itu, Echa masih menolak. Ia masih berharap, ia akan segera hamil.

****

Lima tahun pun berlalu, dari sejak awal pernikahan kami. Namun Echa tak kunjung jua memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Hal itu membuat aku mulai merasa sedikit putus asa. Harapan ku untuk segera punya keturunan, sepertinya mulai menipis.

Hingga akhirnya, aku pun berhasil, membujuk Echa, untuk memeriksakan diri ke dokter. Kami pun sama-sama menemui dokter ahli, yang merupakan seorang dokter kenalan dekat keluarga kami.

"hasil akan keluar dua atau tiga hari ke depan, nanti akan kami hubungi.." jelas sang dokter, saat kami berdua sudah menjalani pemeriksaan.

Dengan hasil yang masih penuh tanda tanya tersebut, kami pun kembali pulang ke rumah. Perasaan ku sendiri menjadi tak karuan. Teringat kembali dalam pikiran tentang perdebatan dengan Echa, saat aku berusaha membujuknya untuk menemui dokter.

"kalau seandainya nanti hasilnya, salah satu dari kita ada yang tidak sehat atau di vonis mandul, apa mas siap menghadapi kenyataan tersebut?" tanya istri ku waktu itu.

"yah.. mungkin aku gak bakal pernah siap, Cha. Tapi setidaknya kita sudah tahu penyebabnya, dan mungkin akan ada cara untuk bisa mengatasinya..." balasku pelan.

"ya udah... terserah mas aja.." balas istri ku akhirnya pasrah.

Dan begitulah, setelah lima tahun menikah, tanpa keturunan, kami pun akhirnya memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter.

****

Dua hari kemudian, aku pun mendapat telepon dari dokter yang memeriksa kami beberapa dua hari yang lalu. Ia meminta kami untuk datang ke tempatnya, hari itu.

"tapi aku ada meeting penting hari ini, mas. Aku gak bisa ikut ke dokter. Mas aja ya, yang kesana.." pinta istri ku, saat aku menyampaikan hal tersebut padanya.

"baiklah.." kata ku, "nanti aku kabari hasilnya ya.." lanjutku.

"kabari aja, kalau kita sudah di rumah nanti ya, mas. Jangan saat kerja, takutnya nanti malah mengganggu pekerjaan kita.." balas istri ku kemudian.

Dan dengan perasaan tak karuan, aku pun segera melarikan mobil ku menuju tempat praktek dokter tersebut sendirian.

Sesampai di sana, sang dokter pun menyambut kedatangan ku dengan penuh keramahan. Dan setelah berbincang basa basi, dokter itu pun memberikan hasilnya kepada ku.

Aku sempat terguncang, melihat hasil pemeriksaan tersebut. Aku benar-benar tidak percaya, namun dokter itu, berusaha meyakinkan ku, bahwa itu adalah hasilyang maksimal. Dan tak perlu diragukan lagi.

Aku tidak bisa terima hal tersebut. Karena itu, aku pun meminta sang dokter, untuk mengubah hasilnya. Aku tak ingin istri ku kecewa, jika ia tahu hasil yang sebenarnya.

"saya bersedia mengubah hasilnya, tapi.. apa pun yang terjadi setelah ini, itu semua di luar tanggungjawab saya... saya harap kamu bisa mengerti.." begitu ucap dokter tersebut akhirnya, setelah dengan sangat memohon aku memintanya, untuk mengubah hasil tersebut.

****

Saat itu, jam tujuh malam, aku dan istri ku sudah selesai makan malam. Kami memang belum membahas tentang hasil yang aku dapatkan dari dokter tersebut.

"jadi gimana, mas? Hasilnya?" tanya istriku, ketika kami sudah berada di dalam kamar.

Aku pun dengan sangat berat, memberikan amplop berisi catatan hasil pemeriksaan tersebut, kepada istri ku. Tentu saja, dengan hasil yang sudah di rekayasa oleh dokter tadi.

Istri ku mulai membuka dan membacanya. Aku lihat raut keterkejutan yang luar biasa di wajah istri ku, saat ia membaca hasil pemeriksaan tersebut.

"maafkan, aku..." suara ku berat.

"kamu gak perlu minta maaf, mas.." timpal istri ku. "aku akan tetap mencintai kamu, apa pun keadaannya.." lanjutnya.

"tapi... aku tidak akan pernah bisa memberi kamu keturunan, Cha.." ucapku lagi.

"aku gak peduli, mas. Yang penting kita tetap bersama selamanya.." balas istri ku.

"lalu bagaimana dengan keluarga besar kita? Apa mereka bisa menerima semua ini?" tanya ku kemudian.

"mas tenang aja... Mereka pasti bisa mengerti, kok.." balas istri ku pelan.

Aku tahu, istri ku kecewa dengan hasil pemeriksaan tersebut. Ia pasti merasa kecewa, karena tahu, suaminya sudah di vonis mandul. Namun ia akan semakin merasa kecewa, jika ia tahu hasil yang sebenarnya. Ia pasti tidak akan bisa menerima, kalau sebenarnya dia lah yang di vonis mandul.

Aku tahu, aku salah, karena telah membohongi istriku. Tapi, rasanya itu jauh lebih baik. Setidaknya, ia tidak akan terbebani dengan rasa bersalah, karena tidak bisa memberi aku keturunan. Dan bagiku, itu adalah salah satu bentuk, betapa aku sangat mencintai istri ku.

****

Sejak mengetahui hasil tersebut, keadaan rumah tangga kami tiba-tiba saja berubah. Istri ku sudah mulai berubah. Ia jadi sering lembur kerja, bahkan juga sering mengadakan meeting di luar kota. Ia jadi jarang berada di rumah.

Sejujurnya aku kecewa dengan perubahan istri ku tersebut. Aku pikir, ia justru akan semakin perhatian padaku, karena tahu, kalau aku ini mandul. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, ia semakin menjauh dari ku.

Hari-hari berlalu, tanpa ada warna lagi dalam kehidupan rumah tangga kami. Tidak ada lagi suasana romantis yang tercipta di antara kami berdua. Bahkan kami hampir kehilangan komunikasi di antara kami. Istri ku selalu mencari cara untuk menghindar dari ku.

Sampai akhirnya, ia pun meminta aku untuk menceraikannya.

"karena aku mandul?" tanya ku penuh emosi, saat permintaan cerai ia sampaikan padaku malam itu.

"salah satunya itu.. Dan lagi pula, aku sudah tidak rasa apa-apa lagi sama kamu, mas. Jadi lebih baik kita berpisah saja. Dari pada kita terus bertahan, dan hanya menyiksa diri.." balas istri ku.

Aku hanya bisa terdiam pada akhirnya. Mungkin istri ku memang tidak bisa menerima, kalau aku ini mandul. Mungkin ia merasa kecewa pada ku. Padahal, seandainya dia tahu yang sebenanya...

Tapi.. ya sudah lah... Aku tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya. Hal itu pasti akan membuat ia semakin marah pada ku. Mungkin memang lebih baik, kalau kami tidak hidup bersama lagi. Karena sepertinya, istri ku sudah bulat dengan keputusannya untuk bercerai dari ku.

****

Lima bulan berlalu, setelah proses perceraian kami. Aku kembali ke rumah orangtua ku, Echa juga. Kami sepakat untuk menjual rumah kami, dan membagi harta gono gini lainnya.

Keputusan kami tentu saja, membuat kecewa kedua orangtua kami, terutama orangtua ku. Meski mereka tidak pernah tahu alasan yang sebenarnya.

Dan setelah lima bulan bercerai, tiba-tiba aku mendapat kabar, kalau Echa, mantan istri ku tersebut, memutuskan untuk pindah kerja ke luar negeri, ke Jerman tepatnya. Hal itu aku ketahui, dari salah seorang sahabat Echa.

"kamu yakin?" tanya ku melalui telepon genggam, kepada Mitha, yang merupakan sahabat dekat Echa tersebut.

"iya, Ndi. Bahkan Echa titip pesan padaku. Dan harus aku sampaikan sama kamu.." balas Mitha di seberang sana.

"pesan apa?" tanya ku sedikit penasaran.

"mungkin lebih baik, kalau kita bertemu saja langsung, Ndi. Karena rasanya gak mungkin aku menyampaikan hal ini melalui telepon.." balas Mitha lagi.

"oke.. kapan? Dimana?" tanyaku kemudian.

Mitha pun menyebutkan waktu dan tempat pertemuan kami, lalu segera ia menutup teleponnya.

Terus terang aku pun merasa penasaran dengan pesan yang di titipkan Echa melalui Mitha, sahabatnya tersebut. Mengapa Echa tidak menyampaikannya langsung padaku? Tanya ku membathin.

Meski pun memang, sejak sidang perceraian kami, aku dan Echa hampir tidak pernah berkomunikasi lagi. Bahkan nomor ku saja, mungkin sudah di blokirnya.

****

Sesuai dengan jadwal dan tempat yang telah kami sepakati bersama Mitha, kami pun akhirnya bertemu di sebuah kafe. Mitha sengaja memilih tempat duduk paling pojok, agar pembicaraan kami tidak terganggu dengan pengunjung lain.

"sebenarnya ini sangat rahasia, Ndi. Tapi.. aku memang harus menyampaikannya.." Mitha memulai pembicaraan.

"aku menyimak, Mit.." balasku serius.

"sebenarnya Echa tahu, kalau kamu berbohong.." mulai Mitha lagi.

"berbohong? Berbohong tentang apa?" tanyaku jadi penasaran.

"Echa tahu, kalau yang mandul itu dia, bukan kamu, Ndi. Echa sengaja mendatangi dokter yang memeriksa kalian tersebut ke esokan hari nya. Karena ia merasa penasaran. Dan dokter tersebut, tidak bisa bohong pada Echa. Dokter tersebut mengatakan yang sebenarnya.." Mitha menarik napas sejenak.

"Echa tahu, kamu melakukan semua itu, karena kamu sangat mencintainya. Tapi... mungkin cinta Echa buat kamu lebih besar dari itu, Ndi. Karena itu, ia terus berpura-pura tidak mengetahui hal tersebut. Ia pun berniat untuk melepaskan kamu, Ndi.." sekali lagi Mitha menarik napas.

"Echa sadar, kalau ia tidak akan pernah bisa memberi kamu keturunan. Karena itu, Echa pun merubah sifatnya. Jadi tidak perhatian sama kamu. Jadi jarang pulang. Sampai akhirnya ia pun meminta cerai dari kamu. Itu semua ia lakukan, agar kamu mau meninggalkannya. Agar kamu bisa menikah dengan gadis lain, yang bisa memberi kamu keturunan.." kali ini Mitha menarik napas lebih lama.

"lalu kenapa ia harus pindah ke Jerman?" tanyaku tanpa sadar, suara ku pun mulai parau.

"karena jika ia terus di sini, ia merasa tidak sanggup, jika melihat kamu hidup bersama orang lain. Dan lagi pula, Echa pikir, jika ia masih di sini, kamu akan sulit untuk melupakannya dan mencari penggantinya.." balas Mitha menjelaskan lagi.

Oh.. kali ini aku terdiam. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa saat ini. Sebegitu besarnya pengorbana Echa untuk ku. Dan aku tidak pernah  menyadari hal tersebut selama ini.

"kini semua terserah kamu, Ndi. Jika kamu memang benar-benar mencintainya, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.." ucap Mitha selanjutnya.

"ini alamat Echa di Jerman.." Mitha berucap lagi, sambil menyerahkan secarik kertas berisi catatan sebuah alamat.

"ini hanya ide ku saja, Echa tidak tahu kalau aku memberikan alamat ini sama kamu. Bahkan sebenarnya, Echa tidak ingin kamu tahu, dimana ia berada sekarang, karena ia ingin kamu benar-benar melupakannya. Tapi... aku adalah saksi hidup perjalanan cinta kalian berdua, Ndi. Dan aku selalu ingin yang terbaik untuk kalian berdua.." begitu Mitha mengakhiri kalimatnya.

Lalu kemudian, Mitha pun segera pamit padaku. Sementara aku masih termangu, menatap kertas berisi alamat tersebut, dengan penuh kebimbangan.

Sebenarnya, aku sudah mulai belajar untuk melupakan Echa. Bukan karena ia mandul, tapi karena aku pikir, Echa tidak mencintai ku sedalam itu. Namun sekarang, aku sudah tahu semuanya. Cinta Echa terlalu besar untuk aku lepaskan begitu saja.

Aku hanya berharap, apa pun keputusan yang aku ambil untuk hidupku selanjutnya, adalah keputusan yang terbaik, yang tidak akan menyakiti siapa pun.

Yah... semoga saja..

****

Ku pinjam istri mu satu malam

Malam mulai larut, ketika terdengar deringan sesaat. Aku melirik ke meja kecil di samping tempat tidurku, mengambil telepon genggamku. Ada pesan singkat dari Arjun, sahabatku dari semasa kuliah. Seperti biasa, ia hanya melontarkan sejuta keluh kesah.

Ku hela nafas panjang. Di kepala ku sendiri masalah pun rasanya sudah segudang. Namun aku tetap berusaha untuk menanggapinya, walaupun hanya sekedar basa-basi saja.

“Perkawinanku sudah di ambang batas. Aku tahu aku salah, aku menyesal. Aku ingin mencoba memperbaikinya, tapi Berliana tak pernah mau memberi aku kesempatan,” begitu bunyi pesannya.

“Kau telpon aku saja lah.., sedang malas aku mengetik,” singkat, aku menjawab.

Aku sendiri sedang sibuk mempersiapkan draft replik perceraianku dengan Elsa.

Ya, aku memang tidak memakai pengacara untuk mengurus masalahku ini. Percuma membuang-buang uang untuk sesuatu yang telah telanjur menjadi ampas dan sama sekali tak ada gunanya.

Segala rasa berkecamuk dalam diri ku, namun deraan banyak hal sepertinya tak henti-hentinya berdatangan, menambah sesak dada.

Termasuk urusan sahabat ku ini, yang sepertinya hidupnya hanya diisi dengan mengeluh saja, dan aku yang selalu menjadi penampungannya. Seakan-akan tidak ada satu kesenanganpun yang pernah diberikan Tuhan untuknya dan dunia ini hanya penuh dengan problemanya saja.

Tak lama kemudian, meluncurlah kata-kata panjang tanpa titik koma dari suara di seberang. Suara Arjun. Aku hanya bisa menyimak sepintas, mengambil intinya.

Kepala ku sudah terlalu penuh untuk menyimpan berbagai masalah. Jangankan untuk orang lain, untuk diri ku sendiri saja sebagian keluh kesah kepahitan hidup ku sudah aku buang ke tong sampah. Tak ingin diingat lagi atau diucap.

Diiringi dengan nada suara yang cukup serius, Arjun mengutarakan apa yang diinginkannya dari ku.

“Kau tolonglah aku. Coba bicara dengan Berliana, agar dia bisa menerima aku kembali. Posisi mu kan sama dengannya, teraniaya. Mungkin dia bisa mengambil pelajaran dari apa yang terjadi denganmu, sehingga dia mau kembali padaku, demi anak,” pinta Arjun memelas pada ku.
 

Aku menghela nafas panjang sekali lagi. Ku singkirkan sejenak batu besar yang serasa menindih benak ku, berusaha berempati.

“Ok, kapan aku harus menemuinya..??” tanya ku pada Arjun.

“Besok malam. Aku beri kau nomor telpon genggamnya. Tolong hubungi dia secepatnya. Aku percayakan urusan ini padamu,” pasrah suara Arjun terdengar.

****


Sore itu, di sudut sebuah café bernuansa Italy. Aku menunggu Berliana, menyeruput segelas cappuccino dingin sambil mata ku sesekali menyapu ke luar jendela. Empat potong roti yang tadi aku pesan pun sudah ludes ku santap. Namun tak juga ku lihat sosok yang ku nanti.

Aku pun mulai merasa kesal. Untunglah beberapa menit kemudian pesan singkat dari Berliana masuk.

“Sudah dekat, maaf tadi keluar kantor agak terlambat,” begitu katanya.

Selang seperempat jam setelah itu, kami pun telah duduk berhadapan. Berliana memesan minuman yang sama dengan yang aku pilih.

“Kamu gak pesan makanan..??” tawar ku.

Berliana menggeleng. “Masih agak kenyang. Tadi makan siang agak terlambat,” jawabnya, sambil meletakkan tasnya di atas meja.

Matanya setelah itu justru sibuk mengamati ku, dari atas ke bawah, sambil tersenyum sedikit nakal.

”Lain kau sekarang,” katanya.

Terkekeh aku mendengarnya.

“Kenapa..??" tanya ku sedikit heran.

"terlihat lebih keren dan tampan.” jawabnya yang diikuti dengan derai tawa kencang.

 Aku pun mencoba untuk ikut terbahak.

“Awal yang baik memulai pembicaraan”, pikir ku.

Suasana yang tadinya ku kira akan kaku karena sudah sekian lama aku tak bertemu dengan istri sahabat karib ku ini, ternyata tak terjadi.

Sudah tiga tahun lebih kalau tak salah, sejak Arjun membawa Berliana ke rumah ku, mengantarkan undangan perkawinan mereka kala itu. Wajar, jika aku sempat kuatir apa yang diamanatkan pada ku akhirnya gagal.

“Akan lancar sepertinya misiku,” ujar ku lagi dalam hati.

Namun perkiraan ku salah. Susah betul meyakinkan perempuan itu untuk menerima suaminya kembali. Dianggapnya semua tingkah dan penyesalan yang diperlihatkan suaminya, itu hanya kepalsuan sesaat yang akan kembali lagi kala lelaki yang sudah memberinya satu anak itu kelelahan memakai topengnya. 

Oh.., paham betul aku akan perasaan itu. Tak jauh lebih baik dari yang aku alami. Hidup dalam kepalsuan yang kurang lebih sama, pengkhianatan-pengkhianatan dan rekayasa mimpi-mimpi dalam keterkurungan sebuah sangkar besi yang dinamakan perkawinan, berakhir dengan terbongkarnya maksud dan tujuan Elsa mau menikah dengan ku dahulu, yang tak pernah terbayangkan olehku, lalu tersadar telah membuang sekian belas tahun penuh pengorbanan tanpa pernah ada hitungan.

Pengkhianatan paling menyakitkan yang pernah ada, manakala pada akhirnya aku tahu bahwa keberadaan diriku ternyata dinilai sebatas materi saja.

Mungkin akan lebih baik bagiku melihat Elsa berselingkuh dengan 1000 laki-laki, daripada setelah sekian lama mata ku baru terbuka, bahwa Elsa mau menjadi istri ku, hanya karena harta.

Mengingat itu, seketika seperti ada yang terlepas sumbatannya. Cerita kelam dari lubuk hati ku pun bagai banjir bandang, tumpah ruah membludak diiringi penyesalan yang sudah tak terbendung lagi, tanpa bisa diredam.

Terlalu lama semua kepahitan itu aku simpan sendirian, tanpa pernah aku bagikan barang sedikit pada siapapun, walau hanya untuk sekedar meringankan pikiran.

Sudah tak ku ingat lagi tugas yang ku emban, terkubur oleh himpitan beban yang menggerus ketahanan mental ku. Saat itu, yang tinggal hanyalah diri ku dan segala penyesalan.

Mungkin karena melihat pemandangan nelangsa di depan matanya, tangan lembut Berliana itupun spontan menggenggam tangan ku yang sedikit gemetar, menahan emosi.

“Sudahlah..sabar saja,” kata Berliana, mencoba menghibur. Hmm.., memang apa lagi yang bisa aku lakukan selain itu..?? Menangis hanyalah pelampiasan sesaat untuk membuang beban. Menjadikan butiran-butiran air mata itu sebagai tiang-tiang pembangun kekuatan diri ku untuk bangkit dari keterpurukan. Bukan untuk memperlihatkan kelemahan.

Kami pun sama-sama terdiam, dalam hening. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Lalu mata kami pun saling beradu. Satu sama lain seperti mengerti apa yang kami mau, walau tanpa suara. Hanya bahasa tubuh kami yang saling bicara.

“Yuk,” ajak Berliana.

Dan tak perlu banyak kata, kami pun keluar dari café itu, mencari sebuah tempat pelampiasan. Puaskan segala amarah, kegetiran, luka dan ketercampakan. Dua orang dewasa dalam satu nasib. Beradu salurkan energi negatif. Mengamuk rasa dalam gelora sesaat tanpa cinta. Sisakan peluh penuh kenikmatan dalam dekapan dosa.

“Maafkan aku, teman..”, ucap ku lirih, dalam ketel4n-j*ngan yang masih menyisakan r3ng-kuh*n hangat Berliana di t*buhku. Pulas terlelap usai h4s-r*tnya terurai. Tak peduli ada keinginan yang masih menggantung tanpa penyelesaian. Sesuatu yang sudah sangat biasa aku terima dalam pendaman kecewa. Kesepihakan. Dan ketakacuhan atas apa yang aku rasakan.

****

Selama lebih dari delapan bulan, aku merasa lelah terjebak dalam kebohongan. Tak sanggup lagi aku menahannya. Memang tak perlu diumbar, namun aku pun tak mau lagi menyimpannya. Beban berat bagi ku, walau aku sadari bahwa yang tahu hanya aku, Berliana dan Tuhan.

Memang, belasan tahun yang lalu Arjun pernah melakukan hal yang sama pada diri ku. Diam-diam di belakang ku, ia menjalin hubungan dengan Gladis, wanita yang dulu aku harapkan bisa mejadi pelabuhan terakhirku.

Namun demi Tuhan, apa yang aku lakukan dengan Berliana sama sekali bukan sebagai pembalasan, tapi karena tergelincirnya aku dalam kebodohan. Kebodohan akan pemuasan n*fsu sesaat yang pada ujungnya sangat aku sesalkan.

Ku kirim sebuah pesan berisi pengakuan kepada Arjun. Sudah siap aku terima segala makian dan hujatan dengan lapang dada. Menerima getah dari nangka yang sama sekali tak manis namun terlanjur rakus aku makan, hingga habis tak bersisa.

Benar saja, balasan pesan itu aku terima hanya dalam hitungan detik, dengan huruf-huruf kapital. Singkat, namun padat makna.

“DASAR GIG*LO..!! PENGKHIANAT..!!”, itu yang terpampang di layar telpon genggam ku. Dari Arjun.

Aku mencoba tersenyum, sadar gelar itu memang pantas untuk ku.

Ya, aku adalah pengkhianat dengan nurani mati, berdarah dingin. Gi-gol* jah4nam, walau tanpa pernah ada bayaran.

Penyesalan memang selalu datang belakangan. Kini aku telah kehilangan semuanya. istri ku dan juga sahabat ku. Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Karena saat ini, aku ingin memulai hidup ku yang baru.

Aku akan melupakan semua yang terjadi di masa lalu ku. Melupakan semua kepahitan-kepahitan yang pernah aku rasakan selama ini.

Aku hanya berharap, semoga aku tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari.

Yah... semoga saja.

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate