Misteri gadis yang hilang .....

Lila Kurnia membuka matanya pelan, cahaya lampu sedikit membuatnya silau. Lila mengusap-usap matanya beberapa kali. Pandangannya tertuju pada lampu yang berada tepat diatasnya. Untuk sesaat Lila memfokuskan pikirannya. Hal terakhir yang ia ingat, ketika seorang laki-laki berbadan tegap memukul kepalanya hingga ia terjerembab dan tak sadarkan diri.
Lila memutar kepalanya ke kiri, ia melihat seorang gadis tersenyum sinis padanya. Gadis itu duduk di atas sebuah dipan kecil dengan menyilangkan kedua kakinya. Rok mini yang dipakainya sedikit terbuka.
Dengan spontan Lila coba menggerakkan tubuhnya untuk bangkit. Sorot matanya tak henti menatap gadis yang berada tak jauh dari sampingnya.

"saya dimana?" tanya Lila akhirnya, setelah ia berhasil duduk diatas dipan tempat ia terbaring tadi. Tubuhnya ia arahkan pada gadis cantik yang masih saja tersenyum kecut menatapnya.
Gadis itu menurunkan kakinya dengan santai.
"saya dimana?" tanya Lila lagi lebih keras, "dan kamu siapa?" lanjutnya dengan napas sedikit terengah.
Gadis yang duduk di depannya menyunggingkan bibirnya sambil merangkai kedua jemarinya.
"di neraka..." jawabnya dengan nada kasar.
Lila mengernyitkan kening, ia bergidik.
"maksdu kamu?" tanya Lila bergetar.
"nanti kamu juga bakal tahu..." kali ini gadis di depannya berkata sedikit lembut.
Lila mengalihkan pandangannya menatap seisi ruangan itu. Hanya ada dua tempat tidur di situ dan dua buah lemari pakaian yang tertutup. Ruangan itu seperti sebuah kamar dengan ukuran 3 x 4 meter menurut perkiraan Lila. Tidak ada jendela, hanya sebuah pintu yang tertutup rapat.
Sebuah kamar mandi kecil berada di sudut ruangan.

"saya Atika..." suara gadis itu sedikit mengagetkan Lila, "sudah hampir empat bulan saya berada disini.." lanjutnya.
Gadis itu berdiri dan berjalan menuju lemari, ia mengambil sebuah handuk.
"kamu sebaiknya mandi sekarang, sebentar lagi makan siang kita akan datang.." ucapnya lagi, ia melemparkan handuk tersebut ke tubuh Lila yang memang terlihat dekil.
Dengan sedikit terlonjak Lila menyambut handuk tersebut. Lila menatap gadis itu beberapa saat. Tubuhnya memang terasa sangat gerah dan kotor. Rambutnya awut-awutan. Lila tidak begitu ingat entah sudah berapa lama ia tidak mandi.
Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Lila coba berdiri dan melangkah menuju kamar mandi.
Pikirannya masih menerawang. Semua masih menjadi tanda tanya bagi Lila.
Ia benar-benar tidak tahu dimana ia berada saat ini.
Mungkin dengan mandi bisa sedikit meringankan rasa sakit di kepalanya, pikir Lila sambil mengunci pintu kamar mandi itu dari dalam.


*******

"kalian yakin akan ikut?" tanya Akmal lagi pada Piter dan Alena. Kali ini Akmal yang menyetir dan Alena berada di sampingnya, sedangkan Piter duduk di kursi belakang mobil panther itu.
Mobil itu berjalan pelan menyelusuri jalan menuju ke arah pinggiran kota.
Alena melirik sekilas, lalu mengangguk pelan.
Walau sebenarnya ia merasa takut, tapi biar bagaimana pun Lila adalah temannya, ia merasa ingin membantu menemukannya.
Sementara Piter hanya terdiam, ia merasa tak harus menjawab pertanyaan tersebut. Baginya Lila bukan hanya sekedar teman dekat, ia telah jatuh cinta pada gadis itu. Ia harus bisa menemukan Lila. Hanya itu keinginannya saat ini.
"biasanya saya bekerja sendirian. Jadi saya tidak menjamin keselamatan kalian berdua. Jika terjadi sesuatu pada kalian, itu bukan tanggungjawab saya. Kalian yang bersikeras untuk ikut..." ucap Akmal tegas.

"sebenarnya kita akan kemana?" tanya Alena, setelah cukup lama mereka terdiam.
"di daerah pinggiran sana ada sebuah rumah bordir. Saya perkirakan teman kalian telah diculik oleh orang-orang yang berada di sana. Teman kalian mungkin akan dijadikan salah seorang pelacur disana.." ucap Akmal menjelaskan.
Alena tiba-tiba merinding, perutnya terasa mual mendengar ucapan Akmal barusan.
"kenapa anda begitu yakin?" suara Piter dari belakang.
"saya pernah menangani kasus seperti ini sebelumnya." balas Akmal terdengar santai.
"kalau begitu kita bisa lapor polisi saja.." ucap Alena.
"rumah bordir itu milik seorang pengusaha kaya yang sangat berpengaruh di kota ini. Mereka kebal hukum. Tidak ada polisi atau pun pejabat yang berani menutup tempat tersebut. Jadi percuma kalau kita lapor polisi, mereka seolah tutup mata akan keberadaan tempat tersebut." jelas Akmal.

"jadi bagaimana kasus sebelumnya?" tanya Piter penasaran.
"saya belum sempat menyelesaikannya. Saat saya berhasil masuk ke dalam, gadis tersebut sudah tidak berada di sana. Ia mencoba kabur. Tapi sehari kemudian gadis tersebut ditemukan tewas terbawa arus sungai. Ada luka tusuk di perutnya. Pihak berwajib sengaja menutupi hal tersebut dan menyatakan kejadian tersebut hanya sebuah kecelakaan. Meski kedua orangtua gadis tersebut tidak bisa terima, namun pihak polisi sudah menutup kasus tersebut.." jelas Akmal lagi.
Ia memarkir mobilnya di pinggiran jalan. Hari sudah sangat gelap.
Tak jauh di depan mereka terdapat sebuah bangunan yang sangat luas. Bangunan empat tingkat tersebut seperti sebuah hotel, yang di kelilingi pagar tembok cukup tinggi.
Mobil-mobil mewah ramai terparkir di halaman depan bangunan tersebut.
Untuk memasuki gedung, ada sebuah gerbang khusus di bagian depan yang dijaga oleh dua orang laki-laki yang berbadan besar dan tegap.
Setiap mobil yang masuk akan di identifikasi oleh petugas tersebut.

"bagaimana caranya kita masuk ke dalam?" tanya Alena sambil terus memperhatikan ke arah gerbang tersebut.
"saya yang akan masuk ke dalam. Kalian berdua tunggu di mobil. Saya akan menyelinap masuk lewat belakang. Saat saya sudah temukan teman kalian, saya akan membawanya keluar. Dan kamu Piter, harus segera menghidupkan mobil untuk kabur secepatnya sebelum kita ketahuan. Saya harap kalian paham.."
Piter dan Alena hanya mengangguk-angguk.

************

Detektif Akmal menyusuri pagar tembok yang tingginya lebih kurang 2 meter tersebut ke arah belakang bangunan. Ia mencoba mencari posisi terbaik untuk bisa masuk ke dalam tanpa terlihat. Keadaan sekitar sangat gelap, namun detektif Akmal sudah terbiasa berada dalam kegelapan malam seperti itu. Matanya cukup jernih untuk dapat melihat dengan jelas setiap langkahnya. Bias cahaya lampu dari gedung tersebut cukup membantu Akmal hingga ia sampai di area belakang gedung yang memang terlihat sepi.
Ia pernah berada di sana sebelumnya. Ia tahu, di tengah tembok ada sebuah pintu masuk kecil yang terkunci dari dalam.
Akmal berhenti di depan pintu tesebut, lalu dengan hati-hati ia mendobrak pintu tersebut. Ia tahu, pada jam-jam seperti ini, para penjaga sedang sibuk di depan, jadi tidak akan ada yang mendengar suara dobrakannya.

Krak!
Pintu itu akhirnya berhasil terbuka. Akmal menyelinap ke dalam dengan langkah hati-hati. Ia melangkah menuju bagian belakang gedung dengan sedikit tertunduk, menghindari pantulan cahaya lampu.
Pohon akasia tersusun acak berdiri di halaman belakang gedung tersebut, cukup membantu Akmal untuk menyelinap dengan aman. Ia sampai di dinding tembok gedung bagian belakang. Di telusurinya dinding itu sambil terus berlindung dengan merapatkan tubuhnya ke dinding tersebut.
Sebuah pintu terdapat disana. Akmal memperhatikan sekeliling dengan dada bergemuruh.
Pelan ia menyentuh gagang pintu tersebut. Terkunci!
Ia tidak mungkin mendobrak pintu itu juga, karena suaranya pasti akan terdengar ke dalam. Dan Akmal tidak bisa memperkirakan apa yang ada di sebalik pintu tersebut.

Akmal mengambil sebuah kunci dari dalam saku jaket hitamnya. Sebuah kunci serba guna yang sengaja dibawa Akmal untuk keperluan mendesak seperti saat ini.
Dengan hati-hati Akmal memasukan kunci tersebut ke dalam lobang kecil pintu, lalu memutarnya perlahan.
Krek!
Kunci berhasil terbuka. Akmal menekan pintu ke dalam, sambil mengintip dengan cermat. Ia masuk dengan hati-hati dan memperhatikan ruangan tesebut. Gelap!
Akmal mengeluarkan lagi dari saku jaketnya sebuah senter kecil.
Ternyata itu adalah sebuah gudang. Disana terdapat banyak sekali barang-barang rongsokan.
Di bagian sudut ruangan tersebut terdapat sebuah pintu.
Akmal yakin, pintu tersebut adalah pintu menuju salah satu ruangan lainnya di gedung tersebut.
Detektif Akmal sudah mendapat info, kalau para gadis tersebut di kurung di kamar yang berada di lantai bawah.

Akmal membuka pintu tersebut dengan menggunakan kunci yang ia bawa. Bias cahaya masuk ke dalam ruangan tersebut, Akmal mematikan senternya segera.
Akmal dapat melihat dengan leluasa ke dalam. Terdapat sebuah koridor yang panjang. Disepanjang koridor ada begitu banyak kamar yang terdapat di bagian kiri kanannya.
Benar-benar seperti sebuah hotel, pikir Akmal.
Tiba-tiba diujung lorong, Akmal melihat ada tiga bayangan menuju ke arahnya. Dengan segera Akmal kembali menutup pintu gudang tersebut.
Suara langkah kaki semakin jelas terdengar. Akmal menahan napas. Dipeganginya sebuah pistol yang berada di pinggangnya, hanya untuk berjaga-jaga. Kalau-kalau ia ketahuan.
Langkah-langkah itu semakin jelas dan mendekat. Akmal menyandarkan tubuh ke dinding di dekat pintu, sedikit bersiap-siap.

"saya mau dibawa kemana?" suara serak seorang gadis terdengar diantara derap langkah tersebut.
Akmal mencoba mengintip dari lobang kunci. Samar-samar ia melihat tiga orang yang sedang berjalan. Seorang perempuan berada ditengah, diapit oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap. Kedua tangan perempuan tersebut dipegang paksa oleh kedua laki-laki tersebut.
Perempuan itu sedikit meronta, namun jelas terlihat kalau ia sudah tidak berdaya melawan tenaga kedua laki-laki itu.
"kamu diam atau peluru ini akan menembus kepalamu.." suara kasar laki-laki yang berada disamping kanan gadis itu, sambil mengacungkan sebuah pistol.
Langkah mereka semakin mendekat. Saat mereka bertiga berada di depan pintu gudang, Akmal dapat melihat dengan jelas, kalau perempuan yang sedang berjalan tersebut sangat mirip dengan gadis yang ada di photo.
Itu dia! bathin Akmal.

Bersambung ...

Misteri gadis yang hilang ....

Laki-laki berusia sekitar 38 tahun itu, menatap kedua muda-mudi yang berdiri di hadapannya secara bergantian, lalu kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke selembar photo yang berada di tangan kirinya.
"kalian yakin, teman kalian diculik?" tanya laki-laki itu dengan suara khas yang terdengar sedikit serak.
"sepertinya begitu, tuan." si laki-laki muda menjawab dengan suara tertekan.
Dan wanita yang disampingknya hanya mengangguk meyakinkan.
"selain karena dia sudah hampir tiga hari tidak ada kabar, apa yang mendasari kalian untuk menyimpulkan kalau gadis di dalam photo ini ternyata diculik..?" suara serak laki-laki paroh baya itu terdengar lagi. Ia meletakkan photo yang tadi ia pegang ke atas meja yang berada di sampingnya.

Piter mengeluarkan jepitan rambut yang ia dapat kemarin siang,
"ini.." ucapnya sambil menyerahkan benda tersebut kepada laki-laki itu.
Laki-laki yang bernama lengkap Akmal Hadi itu, mengambil benda tersebut. Kemudian menatapnya sejenak.
"ini apa?" tanyanya ringan.
"jepitan rambut.." kali ini si wanita yang sejak tadi hanya terdiam spontan menjawab.
Akmal menatap tajam ke arah wanita itu.
"iya saya tahu ini jepitan rambut!" ucapnya sedikit kasar, "maksud saya mengapa kalian perlihatkan benda ini sama saya.." suaranya mulai pelan.
Wanita itu, Alena, tertunduk. Tubuhnya sedikit gemetar. Rasa takut merasuki pikirannya tiba-tiba, mendengar suara kasar laki-laki yang ada di depannya.

"itu adalah jepitan rambut yang dipakai Lila pada hari terakhir ia terlihat.." Piter akhirnya bersuara lagi.
"Lila?"
"gadis yang hilang. Gadis yang di photo.." jawab Piter cepat.
Akmal membulatkan bibir.
"kamu dapat dari mana?" tanyanya.
"saya kemarin coba telusuri gang tempat Lila biasa lewat, saya menemukan itu di semak-semak pinggiran jalan." jawab Piter lagi. Suaranya bergetar.
"kalian sudah lapor polisi?"
"sudah.." itu suara Alena yang mencoba memberanikan diri lagi untuk menatap wajah laki-laki itu.
Laki-laki yang mereka temui itu terlihat menyunggingkan senyum tipis. Bekas-bekas ketampanan masih terlihat jelas di wajahnya. Tatapan matanya tajam.

"soal ini.." Akmal mengacungkan benda yang dipegangnya keatas.
Piter dan Alena hanya menggeleng ringan.
"kenapa?" tanya Akmal. Kali ini tatapannya ditujukan pada Piter.
"karena menurut saya, anda lebih membutuhkan benda tersebut..." Piter menjawab.
Laki-laki itu manggut-manggut, ia berjalan mengelilingi meja yang ada di ruangan kecil itu.
Ruangan itu berukuran sekitar 3 x 4 meter persegi, di dalamnya hanya terdapat dua buah lemari yang berisi berkas-berkas. Lalu di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah meja dan sebuah kursi.
Ruangan itu adalah ruang kerja Akmal sebagai detektif bayaran. Sudah banyak kasus yang pernah ia tangani. Biasanya ia selalu bisa menyelesaikannya.
"saya akan bantu kalian," ucapnya pelan, "tapi kalian harus bayar mahal untuk kasus ini..."
"yah, kami pasti akan bayar." balas Piter.
Sementara Alena hanya terdiam, ia tidak tahu pasti berapa bayaran yang diminta oleh laki-laki itu.
Alena tahu, kalau Piter memang punya banyak uang.
Sebegitu besarkah pengorbanan Piter untuk Lila? bathin Alena.

*************

Mereka bertiga berjalan menyelusuri gang di belakang kampus itu, sebuah gang yang masih tertimbun tanah. Sehingga jika hujan terkadang jalan menjadi becek.
"ngapain kita kesini?" tanya Piter. "saya sudah kesini kemarin, selain jepitan itu, tidak ada apa-apa lagi disini.." lanjutnya.
"jika benar teman kalian diculik, itu berarti si penculik pasti menggunakan kendaraan. Karena sangat tidak mungkin si penculik memopong tubuh teman kalian untuk melewati rumah-rumah yang ada di gang ini. Jadi kita harus perhatikan jejak kendaraannya disini." jawab Akmal, sambil terus berjalan pelan.
Piter dan Alena mengangguk-angguk pelan.
"tapi disini begitu banyak jejak kendaraan.." balas Piter lagi.
"yah, untuk itu kita harus mencari jejak kendaraan yang benar-benar baru. Atau setidaknya jejak kendaraan yang berbeda dari kendaraan-kendaraan yang biasa melewati jalan ini.."

"ini pasti akan sulit.." bisik Alena pelan.
"tidak ada yang sulit." balas Akmal lagi, "jika kita memperhatikannya dengan seksama. Yang terpenting kita perhatikan adalah, yang pertama pastikan jejak kendaraan itu ialah jejak sebuah mobil, karena tidak mungkin si penculik membawa teman kalian dengan sepeda motor." lanjutnya dengan sedikit menarik napas, "kemudian pastikan jejak mobil tersebut, terlihat seperti sebuah jejak yang terkesan buru-buru, karena sudah pasti si penculik mengendarai kendaraannya dengan buru-buru setelah berhasil membawa teman kalian di dalamnya..."
Sekali lagi Piter dan Alena manggut-manggut.
Sebuah analisa yang cerdas. Pantas Piter begitu yakin dengan orang ini, pikir Alena.

"nah itu dia!" ucap Akmal menghentikan langkahnya.
Piter dan Alena yang berada di belakangnya turut berhenti dan memperhatikan arah telunjuk Akmal.
Alena mengerutkan kening, ia tidak begitu paham apa yang ditunjuk oleh Akmal barusan.
"jejak mobil itu terlihat sangat berantakan.." jelas Akmal, sambil berjalan mendekati jejak mobil tersebut.
Piter dan Alena mengikuti dari belakang.
"sekarang kita harus bertanya pada orang yang tinggal di rumah itu.." Akmal berkata lagi, kali ini ia acungkan tangannya ke arah sebuah rumah yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"saya sudah bertanya kemarin.." ucap Piter tiba-tiba.
"dan mereka jawab apa?" Akmal bertanya sambil terus melangkah mendekati rumah tersebut.
"mereka bilang mereka tidak tahu.." jawab Piter.
"itu karena pertanyaanmu kurang tepat.."
Piter hanya mengerutkan kening, tidak mengerti.

Akmal melangkah mendekati pagar rumah tersebut, kemudian membukanya dengan sedikit kasar.
Piter dan Alena hanya diam mengikuti langkah laki-laki itu.
Akmal mengetuk pintu rumah itu, seorang wanita tua keluar dengan wajah sedikit heran.
"permisi.." suara Akmal lembut, "bolehkah saya bertanya?" lanjutnya.
"yah, ada apa ya..?" wanita itu mengerutkan keningnya yang memang mulai terlihat mulai keriput.
"maaf, apakah anda kemarin lusa atau dua hari yang lalu berada di rumah?"
"saya selalu berada di rumah sepanjang hari. Kenapa?"
"apakah dua hari yang lalu anda melihat sebuah mobil yang menurut anda cukup asing, atau bahkan belum pernah melewati jalan ini?"
Wanita tua itu terdiam sejenak, terlihat berpikir keras.
"ini tentang gadis yang hilang itu?" tanya wanita itu.
"yah," jawab Akmal mengangguk.

"pagi tadi dua orang polisi juga datang kesini dan bertanya pada saya. Mereka bertanya apakah saya mendengar suara teriakan pada dua hari yang lalu. Saya tentu saja menjawab tidak, karena saya memeng tidak mendengar suara teriakan." wanita itu menarik napas sejenak.
"dan pertanyaan anda menurut saya sangat menarik, karena di gang ini memang jarang sekali orang yang lewat. Tidak banyak yang tahu ada gang disini yang bisa tembus ke arah kampus, kecuali bagi mereka yang sudah lama tinggal disini." wanita itu berhenti beberapa saat, sambil memperhatikan ketiga tamu yang berdiri di depannya.
"saya sudah hafal betul kendaraan apa saja yang sering lewat disini, karena saya memang sudah tinggal disini sejak saya menikah. Dan pada dua hari yang lalu saya memang melihat sebuah mobil yang belum pernah lewat disini. Sepintas saya melihat mobil tersebut berhenti disana.." wanita itu menunjuk arah tak jauh dari tempat Akmal menemukan jejak mobil yang dicurigainya tadi.
"apa anda masih ingat kira-kira mobilnya seperti apa?" tanya Akmal dengan wajah penasaran.
"saya tidak tahu pasti merk mobilnya apa. Warnanya hitam pekat, itu seperti sebuah mobil carry tua, kalau saya tidak salah lihat.."

Setelah mengucapkan terima kasih, mereka bertiga pun bergegas menuju mobil Piter yang mereka parkir di halaman kampus.
Diam-diam Piter dan Alena mulai mengagumi sosok Akmal yang memang cerdas dan berpengalaman. Mereka berdua sangat berharap kalau Lila bisa segera mereka temukan, sebelum kejadian yang paling buruk menimpa Lila.

*****
Bersambung ...

Misteri gadis yang hilang ...

Esoknya Piter dan Alena, akhirnya melaporkan ke pihak berwajib, tentang Lila yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
"kami belum bisa menyimpulkan bahwa gadis ini dinyatakan hilang.." seorang polisi muda mencoba memberi penjelasan kepada mereka. "karena ini belum dua puluh empat jam. Seperti yang kalian katakan, Lila terakhir kali terlihat yakni pada saat makan siang di kampus. Namun jika sampai siang nanti belum juga ada kabar, kami akan segera mengusut dan mengumumkan kasus ini. Untuk saat ini sebaiknya kalian mencoba menghubungi orang-orang yang selama ini sering berhubungan dengan Lila. Terutama dari pihak keluarganya..." lanjut polisi yang dilabel namanya tertulis 'Martin Dirga'.
"oke. Baik, pak. Terima kasih.." balas Piter datar. Ia tidak begitu yakin, pihak berwajib akan segera mengusut akan hilangnya Lila. Meski belum sampai dua puluh empat jam, Piter sudah bisa memutuskan bahwa sudah terjadi sesuatu yang tidak baik pada Lila. Namun Piter belum bisa menyimpulkan hal seperti apa yang telah terjadi dengan Lila.

"lalu sekarang kita harus bagaimana?" tanya Alena, setelah mereka berada di luar. "apa kita harus mengabarkan orangtua Lila di kampung?"
Sesaat Piter hanya terdiam.
"Bagaimana caranya mengabari mereka, kita kan gak punya satu pun nomor dari keluarga Lila. Bahkan kita juga tidak tahu pasti dimana kampung Lila sebenarnya.." ucap Piter akhirnya.
Lila memang jarang sekali bercerita tentang orangtua dan keluarganya di kampung. Lila juga selama ini sangat jarang pulang kampung.
Yang Piter tahu, Lila berasal dari sebuah kampung yang sangat jauh dari kota ini. Menurut cerita Lila untuk sampai ke kampungnya, bisa menghabiskan waktu lebih dari dua puluh empat jam dengan menggunakan sepeda motor.

"lalu kita harus bagaimana?" tanya Alena lagi dengan nada cemas.
"yah, kita tunggu saja kabar dari pihak yang berwajib. Siapa tahu nanti, kalau sudah diumumkan tentang hilangnya Lila, akan ada kabar baik dari Lila..." jawab Piter sedikit pesimis.
Alena terdiam, ia juga tidak yakin dengan apa yang harus ia lakukan. Selama ini mereka boleh dibilang cukup dekat.  Alena sering berkunjung ke kamar Lila, hanya sekedar untuk ngobrol-ngobrol. Karena kebetulan kamar kost mereka memang bersebelahan. Menurut Alena, Lila adalah sosok cewek yang asyik untuk diajak ngobrol dan dijadikan tempat curhat.

"menurutmu apa yang sebenarnya terjadi pada Lila?" tanya Alena dengan hati-hati. Ia dan Piter duduk di sebuah kafe tak jauh dari kantor polisi yang mereka datangi tadi.
Piter hanya menghembuskan napas. Ia juga tidak tahu pasti apa yang terjadi. Ia juga tidak tahu harus menjelaskan apa pada Alena saat ini.
"apa Lila diculik?" tanya Alena lagi, setelah melihat Piter hanya terdiam.
Piter menatap Alena dengan mengernyitkan kening.
"segala kemungkinan bisa saja terjadi, Alena. Kita belum bisa menyimpulkan apa-apa. Tapi saya akan coba menyelidikinya.." ucap Piter tegas.
Kali ini giliran Alena yang mengerutkan dahinya.
"tapi kita kan sudah melaporkan ke polisi, Piter. Biarkanlah pihak polisi yang mengusutnya."
"yah. Tapi saya gak mungkin berdiam diri saja hanya menunggu kabar dari pihak polisi.."
"lalu apa yang akan kamu lakukan?" tanya Alena penasaran.


**************

Lila terbangun tiba-tiba. Sebuah suara membangunkannya. Matanya membuka, sebuah cahaya cukup menyilaukan matanya. Cahaya itu berasal dari pintu yang terbuka.
Lila segera bangkit dan mencoba untuk berdiri. Seorang laki-laki telah berdiri di ambang pintu, membuat ruangan yang pengap itu menjadi gelap kembali.
Lila menatap laki-laki itu dalam remang-remang cahaya. Tapi ia tahu persis, kalau laki-laki yang berdiri dihadapannya sekarang, bukan laki-laki kemarin yang membiusnya.
Laki-laki ini lebih tegap dan lebih muda, dengan tubuh yang jangkung dan berotot.
"kamu mau apa?" hanya itu pertanyaan yang keluar dari mulut Lila yang kering.
Laki-laki itu tidak menjawab, ia melangkah mendekati Lila.
"tolooong...!!!" tiba-tiba Lila berteriak. Suaranya terdengar serak. Ia mencoba memanfaatkan kesempatan saat pintu terbuka, berharap ada orang yang mendengar teriakannya.

Tapi laki-laki itu dengan cekatan, membekap mulut Lila dengan tangannya.
Lila coba meronta. Melepaskan diri. Namun tenaga laki-laki itu sangat kuat, ia mendekap tubuh Lila dari belakang.
Lila membuka mulutnya dan spontan menggigit tangan laki-laki itu.
Laki-laki itu menarik tangannya, namun segera melepaskan sebuah pukulan keras pada tengkuk Lila.
"aahhhhkkk...." Lila menjerit tertahan. Tengkuknya terasa sangat sakit. Namun sebelum rasa sakit itu hilang, sebuah pukulan mengenai kepala bagian belakang Lila, yang mengakibatkan ia terjerembab dan akhirnya tak sadarkan diri.
Laki-laki itu segera memopong tubuh Lila yang tak sadarkan diri itu, keluar dari ruangan. Seorang temannya telah menunggu di mobil yang parkir tak jauh dari bangunan mungil tersebut.

*************

Keesokan harinya, sebuah pengumuman sudah disiarkan. Tentang hilangnya Lila. Sebuah siaran radio mengabarkan bahwa telah hilang seorang gadis berusia kira-kira 20 tahun, dengan ciri-ciri berambut panjang lurus sebahu, berkulit putih dengan bentuk wajah sedikit oval.....
Di sebuah siaran televisi juga mengabarkan hal tersebut dengan memajang photo Lila.
Pihak polisi juga sudah mulai menyelidiki tentang hilangnya Lila.
Polisi sudah mewawancarai beberapa orang yang melihat Lila di kampus pada hari terakhir Lila terlihat.
Namun sampai siang itu, belum ada perkembangan apa pun.

Piter melangkah pelan menyelesuri gang tempat biasa Lila berjalan menuju kampus.
Gang itu cukup sepi.
Menurut Andini, kemarin Lila pulang melewati gang ini. Bathin Piter, sambil terus memperhatikan dengan seksama kearah kiri kanan jalan.
Tiba-tiba Piter melihat sebuah jepitan rambut berwarna pink tergeletak dipinggiran jalan. Piter melihat disekitar jalan tersebut terdapat semak-semak yang semrawutan, seperti habis diinjak-injak oleh beberapa orang.
Piter mengambil jepitan tersabut lalu memperhatikannya dengan cermat. Segera ia menyimpan jepitan tersebut ke dalam sakunya. Kemudian ia melangkah pelan menuju kampus.

************

"kamu tahu ini?" Piter memperlihatkan jepitan yang ia temukan siang tadi pada Alena, setelah mereka membuat janji untuk bertemu malamnya, di sebuah warung pinggiran tak jauh dari tempat kost Alena.
Alena menatap sejenak, lalu mengambil jepitan itu kemudian mengamatinya.
"kamu dapat ini dari mana?" tanya Alena penasaran.
Piter menjelaskannya secara perlahan, "kenapa?" tanya Piter, melihat Alena yang terbengong.
"saya yakin sekali, ini adalah jepitan milik Lila." ucap Alena sedikit berbisik, "dan saya yakin, Lila memakainya pada hari ia menghilang..." lanjutnya.
Piter sedikit membeliakkan mata. Meski ia sudah bisa mengira hal tersebut, namun pernyataan Alena cukup membuatnya semakin yakin, kalau Lila memang diculik.
Tapi oleh siapa? dan kenapa? pikirnya keras.

"sebaiknya kamu serahkan ini ke polisi..." ucap Alena, sambil menyerahkan jepitan tersebut ke tangan Piter.
Piter menggeleng lemah, "polisi pasti gak bakal percaya. Mereka pasti akan berpikir kalau kita mengada-ada.." ucapnya.
"lalu bagaimana?" tanya Alena.
"saya tahu orang yang bisa menyelidiki kasus ini. Saya yakin ia pasti mau bantu kita..." balas Piter.
"siapa?" tanya Alena dengan raut penasaran.
"namanya Akmal, dia seorang detektif bayaran. Beliau sudah biasa menangani kasus seperti ini. Kita harus mendatanginya.." jawab Piter pelan.

*****
Bersambung ...

Misteri gadis yang hilang...

"toloooong....!! toloooong...!!!" Lila berteriak sekeras-kerasnya berkali-kali, tapi suara teriakannya hanya menggema kembali ke gendang telinganya.
Hampir satu jam ia terkurung disana, di dalam sebuah ruang pengap nan gelap.
Ruangan itu persegi empat, berukuran sekitar 2 x 3 meter persegi, dengan dinding tembok yang kokoh. Di bagian atasnya terdapat plafon dari kayu yang keras. Tinggi ruangan itu tidak kurang dari 2 meter.
Tidak ada sedikitpun cahaya yang masuk ke dalam, kecuali dari sebuah lubang kecil kunci pintu.
Pintu yang terbuat dari baja itu bertaut rapi dengan tembok pada setiap sisinya.
Pintu itu sudah terkunci dari luar sejak Lila sadarkan diri tadi.
Lila tidak begitu ingat kenapa dan bagaimana ia bisa berada di dalam ruangan sempit tersebut. Yang ia ingat, ia menjalani hari ini seperti hari-hari biasanya.

Sekitar jam enam pagi, alarm Lila berbunyi dan ia pun terbangun. Segera Lila mandi, sarapan dan berangkat kuliah.
Lila tinggal di sebuah rumah kost. Ia menyewa sebuah kamar disana. Sendirian. Karena memang kamar kost tersebut dirancang hanya untuk ditempati oleh satu orang.
Ada terdapat banyak kamar kost disana, menurut Lila ada sekitar lebih dari lima puluh kamar.
Setiap kamar di huni oleh satu orang, yang berasal dari berbagai daerah dan juga berbagai profesi.
Semua penghuni kost adalah cewek, karena memang disewakan khusus untuk cewek.
Lila menuju kampus dengan hanya berjalan kaki, seperti biasa. Karena memang jarak tempat kost Lila hanya berjarak lebih kurang tiga ratus meter dari kampus tempat ia kuliah.
Sudah lebih dari dua tahun Lila berada di kota tersebut, sementara kedua orangtua dan keluarganya tinggal di sebuah desa yang berjarak sangat jauh dari kota.

Sesampai di kampus Lila langsung menuju kelasnya. Ia mengikuti pelajaran seperti biasa. Pada jam istirahat, Lila berkumpul dengan teman-temannya, lalu membaca beberapa buku di perpustakaan.
Hingga siang Lila berada di kampus, lalu memutuskan untuk pulang setelah ia makan siang di kantin kampus.
'setidaknya sesampainya di kost, saya bisa langsung tidur' pikirnya. Karena Lila memang paling malas masak di kost. Bukan karena Lila malas masak, tapi Lila paling enggan harus berebut tempat masak dengan teman-teman kost lainnya, karena rumah kost itu hanya punya dua ruang untuk tempat masak. Satu berada di lantai atas dan satu lagi berada di lantai bawah cukup jauh dari kamar Lila.
Diperjalanan pulang, Lila bertemu dengan seorang laki-laki paroh baya, yang sedang atau menurut Lila seperti kebingungan.

"maaf, pak. Bapak mau kemana?" tanya Lila sedikit hati-hati.
Gang tempat biasa Lila lewat menuju kampus memang sedikit sepi. Hanya terdapat beberapa buah rumah disana, dan jarak setiap rumah cukup berjauhan. Jalannya kecil dan berlobang-lobang. Jarang ada orang yang lewat disana, kecuali bagi mereka yang ingin jalan pintas menuju kampus.
Laki-laki itu menatap Lila cukup lama,
"saya... saya... mungkin tersesat..." suara laki-laki itu terdengar berat dan sedikit serak.
"oh.." desah Lila, sambil berjalan mendekati laki-laki itu tanpa rasa curiga.
"emangnya Bapak mau kemana?" tanya Lila lagi, setelah cukup dekat.

Laki-laki itu hanya menatap sekeliling, lalu kemudian tiba-tiba tangannya yang sedari tadi berada di dalam saku jaketnya, ia keluarkan. Sebuah sapu tangan biru berada di tangan kanannya. Kemudian dengan sangat cepat, tangan itu mengarah ke wajah Lila.
Lila spontan kaget, namun ia sudah cukup terlambat untuk menyadarinya. Tangan laki-laki itu sudah berada di mulutnya, sapu tangan itu menutup mulut dan hidungnya.
Lalu tiba-tiba Lila merasa pusing, hingga tak lama kemudian ia tak sadarkan diri.
Setelah itu Lila tidak ingat apa-apa lagi.

************

Lila memegang keningnya, kepalanya terasa sangat sakit. Tubuhnya terasa lemas. Lila benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi.
Ia menyentuh hampir setiap jengkal tubuhnya, ia merasa semuanya masih baik-baik saja, terlepas dari kondisi dimana ia berada sekarang. Setidaknya laki-laki itu, tidak atau belum melakukan hal-hal buruk yang ia takutkan, padanya.
Lila mencoba menarik napas panjang, sekedar menenangkan pikirannya. Mencoba berpikir lebih jarnih. Namun suasana ruangan yang sangat gelap dan juga sempit, membuat Lila tidak bisa benar-benar berpikir.
Lila mencoba menggedor-gedor lagi pintu baja itu, tangannya sudah terasa sangat sakit. Suaranya sudah hampir hilang. Sudah tidak terhitung jeritan minta tolong yang Lila teriakan, namun semuanya hanya sia-sia. Laki-laki itu benar-benar mengurungnya sendirian disana.
Tiba-tiba Lila merasa sangat takut. Ia memeriksa kembali setiap saku celananya, namun ia tidak menemukan apa-apa. Semua, tas, handphone dan juga dompetnya sudah diambil laki-laki tersebut.

Lila menghempaskan tubuhnya di lantai keramik itu, ia merasa sangat lelah. Menurutnya mungkin sudah lebih dari enam jam ia berada di sana sendirian. Lila dapat merasakan hal itu, karena perutnya sudah mulai terasa lapar. Itu artinya sekarang hari sudah mulai malam, bathin Lila meringis.
Tiba-tiba ia merasa kangen dengan kamar kost-nya. Lila ingin istirahat dan tertidur lelap.
Tapi kenyataannya ia berada disini sekarang. Berada di sebuah ruangan yang sempit dan pengap, dengan perut yang semakin lapar.

Lila menatap sekeliling dalam gelap. Tidak ada ruangan lain disitu. Lila terpaksa menahan sesak dari dalam perutnya untuk buang air kecil yang tiba-tiba ia rasakan.
Lila benar-benar merasa tidak nyaman dan sangat tesiksa.
Air matanya terasa seakan kering karena menangis dari tadi.
Tapi Lila cukup sadar, saat ini tidak ada gunanya ia menangis atau pun berteriak. Karena mungkin menurut Lila, laki-laki itu mengurungnya disebuah tempat yang sangat jauh dari keramaian.
Karena menurut Lila, laki-laki tersebut tidak mengikatnya dan juga tidak membekap mulutnya dengan lakban, seperti yang pernah Lila lihat di film-film, itu artinya laki-laki itu yakin, bahwa teriakan sekeras apa pun sudah pasti tidak ada yang akan mendengarnya, apa lagi suara teriakan Lila harus tertahan oleh dinding tembok yang menurut Lila sangat tebal dan kokoh.
Saat ini tidak ada yang bisa ia lakukan, selain menunggu kedatangan laki-laki tersebut dan menunggu apa yang akan dilakukan laki-laki tersebut selanjutnya.
Lila sudah pasrah, hingga tanpa sadar ia pun tertidur.

***********

Piter adalah seorang laki-laki yang memiliki bentuk tubuh yang kekar. Tentu saja karena ia sangat suka olahraga. Ia juga seorang pelatih dan instruktur di sebuah tempat fitnes.
Ia seorang mahasiswa tingkat akhir. Piter mengenal Lila sudah cukup lama, sejak Lila mulai kuliah.
Selama ini Piter memang diam-diam menyukai sosok Lila, meski ia belum pernah mengungkapkan hal tersebut. Hubungan mereka selama cukup baik dan sangat dekat.
"kamu yakin tidak melihat ia pulang ke kost?" Piter bertanya pada Alena, salah seorang teman kost Lila yang paling dekat. Alena bekerja di sebuah super market.
"terakhir saya melihat Lila pagi tadi, saat ia berangkat ke kampus.." balas Alena yakin.
"kamu sudah coba hubungi handphone-nya?" lanjut Alena.
"sudah beberapa kali, tapi tidak pernah aktif.." jawab Piter.
"kamu gak jumpa Lila di kampus hari ini?" tanya Alena lagi, ia juga merasa cukup khawatir, karena hari sudah menunjukkan jam sembilan malam. Biasanya Lila tak pernah pulang lewat dari jam delapan malam.
Piter menggeleng, "hari ini saya cukup sibuk di tempat latihan. Dan saat saya sudah di kampus, Lila sudah tidak berada di sana. Kupikir ia sudah pulang.." ucapnya.

"lalu sekarang gimana?" tanya Alena lagi, "apa kita harus lapor polisi?"
"tidak! jangan dulu.." balas Piter cepat, "Lila hilang belum sampai dua puluh empat jam. Lagi pula kita tidak tahu pasti apa yang terjadi. Bisa saja Lila pergi bersama teman kampusnya dan mematikan handphone-nya karena tak ingin terganggu.." lanjutnya, meski tatapannya menyiratkan ke khawatiran.
Piter dan Alena duduk di bangku depan rumah kost, tempat biasanya mereka nongkrong malam-malam.
Sampai saat itu mereka belum berani menyimpulkan kemana Lila pergi. Mereka masih berharap Lila tiba-tiba muncul dan menjelaskan semuanya.
Namun jam sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam, Piter dan Alena mencoba menghubungi teman-teman Lila yang mereka tahu. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang tahu keberadaan Lila.
"tadi Lila pulang lebih awal kayaknya deh, Ter..." suara Andini dari seberang, "emangnya Lila gak ada di kost-nya ya..?" lanjutnya bertanya.
"itu dia masalahnya, Din. Lila belum pulang ke kost sejak pagi tadi. Gak ada seorang pun yang tahu ia kemana.." balas Piter dengan nada hati-hati.
"atau apa mungkin Lila pulang kampung?" lanjut Andini lagi.
"gak mungkin Lila pulang kampung tanpa membawa apa-apa. Menurut keterangan Alena, Lila ke kampus hanya membawa tas kecil. Lagi pula kalau Lila pulang kampung ia pasti cerita sama saya atau Alena. Dan gak mungkin juga handphone-nya gak aktif..." jelas Piter lagi panjang lebar.
"kamu udah coba hubungi orangtuanya di kampung?"
"kami gak punya nomor mereka, Din..." jawab Piter sedikit lemas. Pikiran Piter mulai merasa tidak enak, Ia merasa ada yang tidak beres. Lila gak mungkin menghilang begitu saja. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Pikir Piter berprasangka.

"kita harus segera lapor polisi, Ter.." ucapan Alena membuat Piter sedikit kaget.
Ia menoleh kearah Alena sejenak, kemudian menarik napas dalam. Kedua tangannya mendekap erat di dadanya. Pikirannya menerawang, mencoba menebak kemana Lila pergi. Tapi rasanya semua terasa buntu. Selama ini Lila selalu terbuka padanya. Lila tak pernah pergi kemana-mana tanpa mengabarinya. Tapi sekarang Lila menghilang begitu saja, tanpa kabar!
Kemana dia? Piter membathin lagi.

****

Bersambung ...

Meraih asa, menggapai senja (part 2)

"mohon perhatian semuanya!" suara pak Nardi, bos kami, menggema di ruang kerja kami, spontan kami semua mengalihkan pandangan ke arah beliau.
"hari ini saya mau memperkenalkan seorang gadis cantik nan menawan, namanya Arini. Dan mulai hari ini ia akan magang di kantor kita..." lanjutnya dengan senyum sumringah.
Seorang gadis yang memang cantik berdiri di sampingnya juga ikut tersenyum.
"dan... saya mohon kerja sama semua pihak untuk bisa membimbing Arini, terutama kamu Jhon..." kali ini ia mengarahkan telunjuk kanannya padaku.
Sesaat aku hanya terpaku. Bukan karena pak Nardi mengarahkan telunjuknya padaku. Terlebih kepada senyum Arini yang memikat. Aku terpana. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.

"oke... siap bos!" suara Doni memecah keheningan yang tercipta sejenak. "Jhon pasti akan bimbing Arini dengan sebaik-baiknya pak.." Doni melanjutkan, seperti biasa dengan nada sindirannya.
Mendengar itu, hampir semua orang yang berada dalam ruangan itu tertawa, kecuali saya tentunya.
"sudah! sudah! cukup tertawanya!" pak Nardi berkata dengan suara tinggi, "sekarang lanjutkan bekerja.. Dan kamu Arini, selamat datang di kantor kami dan semoga nyaman.." lanjutnya lagi.
Kulihat Arini mengangguk anggun dengan bibir yang masih tersenyum.
"baik pak.. terima kasih.." ucapnya lembut dengan suara yang ehm merdu.
Deg! jantungku berdetak lagi lebih kencang.

************

Hampir dua minggu Arini melaksanakan magang di kantor kami. Tentunya kami sudah sedikit akrab. Dan seperti biasa teman-teman kantor, sibuk memperhatikan dan mengomentari kami berdua. Yah, mau gimana lagi, di kantor ini, terutama di ruang ini, satu-satunya laki-laki yang lajang ya cuma saya. Jadi mau gak mau saya harus terima konsekuensi-nya.
Namun berkat itu semua juga, akhirnya Arini tahu kalau saya masih lajang. Meski awalnya ia sempat tak percaya, mengingat usia saya yang menurutnya sudah sangat matang.
Tapi saya berhasil meyakinkannya, dengan sedikit drama tentunya. Dan dengan menceritakan beberapa bagian kisah kasih masa lalu saya.
Saya mulai menyukai Arini. Bukan. Saya semakin menyukai Arini, karena dari pertama kali melihatnya saya sudah menyukainya.
Selain wajahnya yang cantik dan senyumnya yang menawan, Arini juga seorang gadis yang sopan dan ramah. Meski untuk beberapa hal ia sering terlihat ceroboh...


"maaf bang Jhon, saya gak bisa..." itu jawaban Arini, setelah lebih dari sebulan kami saling akrab. Setelah, tentu saja, dengan cukup berani aku mengungkapkan perasaanku padanya.
"kenapa?" tanyaku lesuh.
Arini hanya terdiam.
"karena saya udah tua..."
"bukan!" Arini spontan menjawab, "bukan karena itu..." lanjutnya terdengar hati-hati. Suasana kafe memang sedikit ramai saat itu. Saya memang sengaja mengajak Arini makan malam, yah untuk mengungkapkan perasaanku padanya.
"tapi karena...?"
"saya harus menyelesaikan kuliah dulu, bang. Saya ingin menjadi wanita karir yang sukses. Dan itu butuh waktu bertahun-tahun. Saya rasa bang Jhon gak harus menunggu selama itu untuk berkeluarga.." balas Arini dengan nada terkesan datar.
Yah, itu sama saja dengan 'aku masih terlalu muda untukmu, bang Jhon.' bathinku lirih.

Arini menolak saya dengan sangat sopan, menurut saya sih. Tapi tetap saja masih terasa menyakitkan bagi saya.
Tapi saya coba menerimanya dengan lapang dada. Jarak usia kami memang terlalu jauh. Arini masih 23 tahun, perjalanannya masih sangat panjang.
Tapi aku menyukainya! Aku menyukai Arini.
Setelah hampir lima tahun, pintu hati saya tertutup. Setelah bertahun-tahun hati saya membeku.
Dan kehadiran Arini telah mampu mencairkan hatiku, membukanya perlahan-lahan.
Namun apa hendak dikata, Arini tidak punya perasaan apa-apa padaku.
Untuk kesekian kalinya aku merasa terluka.....

*********

"Jhon, kamu masih ingat Gadis?" tanya Emak, saat kami makan malam.
"Gadis mana sih, mak?" tanyaku sedikit menggerutu, Mak pasti mau bahas soal jodoh lagi.
"Gadis, anak paman Akom, yang dulu kuliah dan jadi guru di Bandung. Sekarang sudah pindah lagi kesini. Pindah tugas, katanya."
Aku berpikir sejenak, mengingat Gadis, teman masa kecilku. Ketika kecil Gadis sangat dekil dan sedikit jorok. Tapi anaknya asyik, gak neko-neko. Periang dan selalu gembira. Dulu kami sering main bersama. Sungguh, masa-masa yang indah untuk di kenang.
"kamu masih ingat, gak?" suara Mak mengagetkanku.
Spontan aku mengangguk, "ingat, Mak. Emang kenapa sih, Mak? Dia sudah menikah juga? Terus kenapa saya masih belum?" gerutuku sedikit kesal.
"itu dia masalahnya, Jhon. Ternyata Gadis sama dengan kamu. Masih belum laku juga.." suara Mak terdengar sedikit riang.

"ya iyalah, Mak. Gadis kan orangnya emang sedikit jorok dekil. Mana ada yang mau.." ucapku kasar.
"lah, kamu sendiri juga belum laku toh.." balas Mak, tak kalah kasar.
"saya bukannya gak laku, Mak. Tapi memang belum ketemu jodoh aja..." timpalku cepat.
"apa bedanya, Jhon... Jhon... sama aja kamu belum laku. Itu intinya." balas Mak.
Aku terdiam kembali. Aku tahu Mak gak bermaksud meledekku. Ia hanya coba memotivasi, meski dengan cara yang tidak aku inginkan.
"nanti malam kamu jalan ke rumah paman Akom ya..." ucap Mak lagi. "ketemu sama Gadis, mana tahu kalian cocok.." lanjut Mak.
Aku menatap Mak dengan sedikit melotot.
"udah kamu tenang saja. Mak gak maksa kamu untuk menikah dengan Gadis, kok. Tapi kalau kamu nanti tertarik, Mak sangat setuju..." ujar Mak sambil ia berdiri.
Aku menghempaskan napas. Perjuangan Mak untuk membuatku segera menikah, memang tak pernah pudar.

************

Tok! tok! tok!
Aku mengetuk pintu rumah paman Akom. Seperti permintaan Mak, aku akhirnya setuju untuk sekedar bersilahturrahmi ke rumah paman Akom. Sudah cukup lama juga aku tidak datang ke sini. Rasanya kangen juga mendengar pituah dari paman Akom yang memang bijak.
Seorang perempuan tiba-tiba membukakan pintu. Perempuan itu memakai hijab yang cukup panjang terurai ke bawah. Dan ia tersenyum dengan sedikit mengernyitkan kening.
"Jhon?" ucapnya setengah ragu.
Aku mengangguk pelan, "kamu..?" ucapku sangat ragu.
"Gadis!" balas perempuan itu tegas. "kenapa? udah lupa?" tanyanya.
"hmm... iya, sih. Sedikit pangling. Kamu sekarang berhijab?" aku berucap sambil menatap Gadis lama. Aku masih tak percaya, kalau Gadis sekarang sudah sangat jauh berbeda.
Gadis udah gak kelihatan jorok dan dekil lagi. Wajahnya terlihat bersih terawat. Sangat cantik malah.

"masuk, Jhon.." tawar Gadis mengagetkanku.
Dengan sedikit canggung aku melangkah masuk ke ruang tamu rumah itu.
"paman Akom ada?" tanyaku berbasa-basi.
"Ayah dan Ibu lagi pergi ke pasar, Jhon. Dirumah hanya ada saya dan Bi Ijah.." jawab Gadis terlihat santai, "oh, ya. Kamu mau minum apa, sambil nunggu Ayah pulang? Sebentar lagi saya rasa mereka akan datang.." lanjutnya sambil melangkah menuju dapur.
"apa aja. Yang penting dingin..." balasku mengeraskan suara, karena kulihat Gadis sudah masuk ke dalam.
"oke... tunggu sebentar ya..." ku dengar suara Gadis sayup-sayup.

"kamu apa kabar sekarang?" tanyaku, Gadis duduk di hadapanku, setelah menghidangkanku segelas minuman dingin.
"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri gimana kabarnya?"
"yah... baik juga sih.." jawabku sedikit tergagap.
"syukurlah ... " ucap Gadis pelan.
"kamu katanya pindah tugas kesini ya..?"
Gadis mengangguk, "yah, pengen deket aja sama keluarga, Jhon. Udah bertahun-tahun aku hidup di rantau. Rasanya kangen aja pengen bareng keluarga lagi.." ucapnya.
"baguslah..." suaraku pelan.
"kamu sendiri gimana, Jhon? Udah berapa anaknya?" pertanyaan Gadis membuatku terdiam beberapa saat.
"saya belum nikah, Dis..." suaraku perlahan.
"oh..." Gadis itu hanya membulatkan bibir.

*********

Bersambung lagi...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate