Karena istri ku mandul

Nama ku Andi, dan ini adalah kisah ku.

Kisah ini berawal dari sejak aku menikah, dengan gadis cantik yang sangat aku cintai. Namanya Echa, setidaknya begitulah ia di panggil.

Aku dan Echa sudah pacaran hampir lima tahun, sejak kami masih sama-sama kuliah. Hingga akhirnya kami pun sama-sama mulai bekerja. Aku bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan kecil di kota kami, sementara Echa juga bekerja sebagai karyawan di perusahaan lain.

Setelah berpacaran selama tahun, dan karena sudah punya pekerjaan tetap juga, kami pun akhirnya memutuskan untuk menikah. Tentu saja, atas persetujuan kedua keluarga kami.

Setelah menikah, sesuai perjanjian kami dari awal, kami pun memutuskan untuk membeli rumah sendiri. Dan hidup mandiri. Serta memulai kehidupan baru kami sebagai sepasang suami istri.

Sejak awal, pernikahan kami baik-baik saja, bahkan kami sangat bahagia menjalani hari-hari kami bersama. Karena kami memang menikah atas dasar saling cinta. Dan terlebih lagi, kehidupan kami secara ekonomi, juga lumayan mapan.

Jadi, jarang ada persoalan yang timbul di antara kami berdua. Apa lagi, karena sudah lama pacaran, kami pun sudah saling mengenal karakter masing-masing. Selain itu, kami juga punya kesibukan bekerja, dari pagi sampai sore.

Namun setelah lebih dari tiga tahun menikah, kami belum juga di karuniai anak. Padahal, kami sudah sepakat, untuk tidak menunda punya anak. Kami ingin sekali segera punya anak. Tapi kenyataannya, sekuat apa pun kami berusaha, tetap saja, sampai saat ini, kami istri ku belum juga hamil.

Hal itu pun, cukup menarik perhatian dari semua keluarga besar kami, terutama kedua orang tua kami. Mereka tentu saja, sangat ingin punya keturunan dari kami. Apa lagi, Echa merupakan anak pertama dalam keluarganya. Sementara dua adik laki-laki nya belum menikah.

Aku sendiri merupakan anak tunggal. Yang membuat kedua orangtua ku sangat berharap, aku segera punya anak. Hal itu sering mereka sampaikan, saat ada acara kumpul keluarga.

Aku juga sudah sering membahas hal tersebut dengan Echa. Aku pun mulai merasa ada yang salah dengan kami. Aku bahkan pernah membujuk Echa, untuk memeriksakan diri ke dokter ahli. Tapi sampai saat itu, Echa masih menolak. Ia masih berharap, ia akan segera hamil.

****

Lima tahun pun berlalu, dari sejak awal pernikahan kami. Namun Echa tak kunjung jua memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Hal itu membuat aku mulai merasa sedikit putus asa. Harapan ku untuk segera punya keturunan, sepertinya mulai menipis.

Hingga akhirnya, aku pun berhasil, membujuk Echa, untuk memeriksakan diri ke dokter. Kami pun sama-sama menemui dokter ahli, yang merupakan seorang dokter kenalan dekat keluarga kami.

"hasil akan keluar dua atau tiga hari ke depan, nanti akan kami hubungi.." jelas sang dokter, saat kami berdua sudah menjalani pemeriksaan.

Dengan hasil yang masih penuh tanda tanya tersebut, kami pun kembali pulang ke rumah. Perasaan ku sendiri menjadi tak karuan. Teringat kembali dalam pikiran tentang perdebatan dengan Echa, saat aku berusaha membujuknya untuk menemui dokter.

"kalau seandainya nanti hasilnya, salah satu dari kita ada yang tidak sehat atau di vonis mandul, apa mas siap menghadapi kenyataan tersebut?" tanya istri ku waktu itu.

"yah.. mungkin aku gak bakal pernah siap, Cha. Tapi setidaknya kita sudah tahu penyebabnya, dan mungkin akan ada cara untuk bisa mengatasinya..." balasku pelan.

"ya udah... terserah mas aja.." balas istri ku akhirnya pasrah.

Dan begitulah, setelah lima tahun menikah, tanpa keturunan, kami pun akhirnya memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter.

****

Dua hari kemudian, aku pun mendapat telepon dari dokter yang memeriksa kami beberapa dua hari yang lalu. Ia meminta kami untuk datang ke tempatnya, hari itu.

"tapi aku ada meeting penting hari ini, mas. Aku gak bisa ikut ke dokter. Mas aja ya, yang kesana.." pinta istri ku, saat aku menyampaikan hal tersebut padanya.

"baiklah.." kata ku, "nanti aku kabari hasilnya ya.." lanjutku.

"kabari aja, kalau kita sudah di rumah nanti ya, mas. Jangan saat kerja, takutnya nanti malah mengganggu pekerjaan kita.." balas istri ku kemudian.

Dan dengan perasaan tak karuan, aku pun segera melarikan mobil ku menuju tempat praktek dokter tersebut sendirian.

Sesampai di sana, sang dokter pun menyambut kedatangan ku dengan penuh keramahan. Dan setelah berbincang basa basi, dokter itu pun memberikan hasilnya kepada ku.

Aku sempat terguncang, melihat hasil pemeriksaan tersebut. Aku benar-benar tidak percaya, namun dokter itu, berusaha meyakinkan ku, bahwa itu adalah hasilyang maksimal. Dan tak perlu diragukan lagi.

Aku tidak bisa terima hal tersebut. Karena itu, aku pun meminta sang dokter, untuk mengubah hasilnya. Aku tak ingin istri ku kecewa, jika ia tahu hasil yang sebenarnya.

"saya bersedia mengubah hasilnya, tapi.. apa pun yang terjadi setelah ini, itu semua di luar tanggungjawab saya... saya harap kamu bisa mengerti.." begitu ucap dokter tersebut akhirnya, setelah dengan sangat memohon aku memintanya, untuk mengubah hasil tersebut.

****

Saat itu, jam tujuh malam, aku dan istri ku sudah selesai makan malam. Kami memang belum membahas tentang hasil yang aku dapatkan dari dokter tersebut.

"jadi gimana, mas? Hasilnya?" tanya istriku, ketika kami sudah berada di dalam kamar.

Aku pun dengan sangat berat, memberikan amplop berisi catatan hasil pemeriksaan tersebut, kepada istri ku. Tentu saja, dengan hasil yang sudah di rekayasa oleh dokter tadi.

Istri ku mulai membuka dan membacanya. Aku lihat raut keterkejutan yang luar biasa di wajah istri ku, saat ia membaca hasil pemeriksaan tersebut.

"maafkan, aku..." suara ku berat.

"kamu gak perlu minta maaf, mas.." timpal istri ku. "aku akan tetap mencintai kamu, apa pun keadaannya.." lanjutnya.

"tapi... aku tidak akan pernah bisa memberi kamu keturunan, Cha.." ucapku lagi.

"aku gak peduli, mas. Yang penting kita tetap bersama selamanya.." balas istri ku.

"lalu bagaimana dengan keluarga besar kita? Apa mereka bisa menerima semua ini?" tanya ku kemudian.

"mas tenang aja... Mereka pasti bisa mengerti, kok.." balas istri ku pelan.

Aku tahu, istri ku kecewa dengan hasil pemeriksaan tersebut. Ia pasti merasa kecewa, karena tahu, suaminya sudah di vonis mandul. Namun ia akan semakin merasa kecewa, jika ia tahu hasil yang sebenarnya. Ia pasti tidak akan bisa menerima, kalau sebenarnya dia lah yang di vonis mandul.

Aku tahu, aku salah, karena telah membohongi istriku. Tapi, rasanya itu jauh lebih baik. Setidaknya, ia tidak akan terbebani dengan rasa bersalah, karena tidak bisa memberi aku keturunan. Dan bagiku, itu adalah salah satu bentuk, betapa aku sangat mencintai istri ku.

****

Sejak mengetahui hasil tersebut, keadaan rumah tangga kami tiba-tiba saja berubah. Istri ku sudah mulai berubah. Ia jadi sering lembur kerja, bahkan juga sering mengadakan meeting di luar kota. Ia jadi jarang berada di rumah.

Sejujurnya aku kecewa dengan perubahan istri ku tersebut. Aku pikir, ia justru akan semakin perhatian padaku, karena tahu, kalau aku ini mandul. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, ia semakin menjauh dari ku.

Hari-hari berlalu, tanpa ada warna lagi dalam kehidupan rumah tangga kami. Tidak ada lagi suasana romantis yang tercipta di antara kami berdua. Bahkan kami hampir kehilangan komunikasi di antara kami. Istri ku selalu mencari cara untuk menghindar dari ku.

Sampai akhirnya, ia pun meminta aku untuk menceraikannya.

"karena aku mandul?" tanya ku penuh emosi, saat permintaan cerai ia sampaikan padaku malam itu.

"salah satunya itu.. Dan lagi pula, aku sudah tidak rasa apa-apa lagi sama kamu, mas. Jadi lebih baik kita berpisah saja. Dari pada kita terus bertahan, dan hanya menyiksa diri.." balas istri ku.

Aku hanya bisa terdiam pada akhirnya. Mungkin istri ku memang tidak bisa menerima, kalau aku ini mandul. Mungkin ia merasa kecewa pada ku. Padahal, seandainya dia tahu yang sebenanya...

Tapi.. ya sudah lah... Aku tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya. Hal itu pasti akan membuat ia semakin marah pada ku. Mungkin memang lebih baik, kalau kami tidak hidup bersama lagi. Karena sepertinya, istri ku sudah bulat dengan keputusannya untuk bercerai dari ku.

****

Lima bulan berlalu, setelah proses perceraian kami. Aku kembali ke rumah orangtua ku, Echa juga. Kami sepakat untuk menjual rumah kami, dan membagi harta gono gini lainnya.

Keputusan kami tentu saja, membuat kecewa kedua orangtua kami, terutama orangtua ku. Meski mereka tidak pernah tahu alasan yang sebenarnya.

Dan setelah lima bulan bercerai, tiba-tiba aku mendapat kabar, kalau Echa, mantan istri ku tersebut, memutuskan untuk pindah kerja ke luar negeri, ke Jerman tepatnya. Hal itu aku ketahui, dari salah seorang sahabat Echa.

"kamu yakin?" tanya ku melalui telepon genggam, kepada Mitha, yang merupakan sahabat dekat Echa tersebut.

"iya, Ndi. Bahkan Echa titip pesan padaku. Dan harus aku sampaikan sama kamu.." balas Mitha di seberang sana.

"pesan apa?" tanya ku sedikit penasaran.

"mungkin lebih baik, kalau kita bertemu saja langsung, Ndi. Karena rasanya gak mungkin aku menyampaikan hal ini melalui telepon.." balas Mitha lagi.

"oke.. kapan? Dimana?" tanyaku kemudian.

Mitha pun menyebutkan waktu dan tempat pertemuan kami, lalu segera ia menutup teleponnya.

Terus terang aku pun merasa penasaran dengan pesan yang di titipkan Echa melalui Mitha, sahabatnya tersebut. Mengapa Echa tidak menyampaikannya langsung padaku? Tanya ku membathin.

Meski pun memang, sejak sidang perceraian kami, aku dan Echa hampir tidak pernah berkomunikasi lagi. Bahkan nomor ku saja, mungkin sudah di blokirnya.

****

Sesuai dengan jadwal dan tempat yang telah kami sepakati bersama Mitha, kami pun akhirnya bertemu di sebuah kafe. Mitha sengaja memilih tempat duduk paling pojok, agar pembicaraan kami tidak terganggu dengan pengunjung lain.

"sebenarnya ini sangat rahasia, Ndi. Tapi.. aku memang harus menyampaikannya.." Mitha memulai pembicaraan.

"aku menyimak, Mit.." balasku serius.

"sebenarnya Echa tahu, kalau kamu berbohong.." mulai Mitha lagi.

"berbohong? Berbohong tentang apa?" tanyaku jadi penasaran.

"Echa tahu, kalau yang mandul itu dia, bukan kamu, Ndi. Echa sengaja mendatangi dokter yang memeriksa kalian tersebut ke esokan hari nya. Karena ia merasa penasaran. Dan dokter tersebut, tidak bisa bohong pada Echa. Dokter tersebut mengatakan yang sebenarnya.." Mitha menarik napas sejenak.

"Echa tahu, kamu melakukan semua itu, karena kamu sangat mencintainya. Tapi... mungkin cinta Echa buat kamu lebih besar dari itu, Ndi. Karena itu, ia terus berpura-pura tidak mengetahui hal tersebut. Ia pun berniat untuk melepaskan kamu, Ndi.." sekali lagi Mitha menarik napas.

"Echa sadar, kalau ia tidak akan pernah bisa memberi kamu keturunan. Karena itu, Echa pun merubah sifatnya. Jadi tidak perhatian sama kamu. Jadi jarang pulang. Sampai akhirnya ia pun meminta cerai dari kamu. Itu semua ia lakukan, agar kamu mau meninggalkannya. Agar kamu bisa menikah dengan gadis lain, yang bisa memberi kamu keturunan.." kali ini Mitha menarik napas lebih lama.

"lalu kenapa ia harus pindah ke Jerman?" tanyaku tanpa sadar, suara ku pun mulai parau.

"karena jika ia terus di sini, ia merasa tidak sanggup, jika melihat kamu hidup bersama orang lain. Dan lagi pula, Echa pikir, jika ia masih di sini, kamu akan sulit untuk melupakannya dan mencari penggantinya.." balas Mitha menjelaskan lagi.

Oh.. kali ini aku terdiam. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa saat ini. Sebegitu besarnya pengorbana Echa untuk ku. Dan aku tidak pernah  menyadari hal tersebut selama ini.

"kini semua terserah kamu, Ndi. Jika kamu memang benar-benar mencintainya, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.." ucap Mitha selanjutnya.

"ini alamat Echa di Jerman.." Mitha berucap lagi, sambil menyerahkan secarik kertas berisi catatan sebuah alamat.

"ini hanya ide ku saja, Echa tidak tahu kalau aku memberikan alamat ini sama kamu. Bahkan sebenarnya, Echa tidak ingin kamu tahu, dimana ia berada sekarang, karena ia ingin kamu benar-benar melupakannya. Tapi... aku adalah saksi hidup perjalanan cinta kalian berdua, Ndi. Dan aku selalu ingin yang terbaik untuk kalian berdua.." begitu Mitha mengakhiri kalimatnya.

Lalu kemudian, Mitha pun segera pamit padaku. Sementara aku masih termangu, menatap kertas berisi alamat tersebut, dengan penuh kebimbangan.

Sebenarnya, aku sudah mulai belajar untuk melupakan Echa. Bukan karena ia mandul, tapi karena aku pikir, Echa tidak mencintai ku sedalam itu. Namun sekarang, aku sudah tahu semuanya. Cinta Echa terlalu besar untuk aku lepaskan begitu saja.

Aku hanya berharap, apa pun keputusan yang aku ambil untuk hidupku selanjutnya, adalah keputusan yang terbaik, yang tidak akan menyakiti siapa pun.

Yah... semoga saja..

****

Ku pinjam istri mu satu malam

Malam mulai larut, ketika terdengar deringan sesaat. Aku melirik ke meja kecil di samping tempat tidurku, mengambil telepon genggamku. Ada pesan singkat dari Arjun, sahabatku dari semasa kuliah. Seperti biasa, ia hanya melontarkan sejuta keluh kesah.

Ku hela nafas panjang. Di kepala ku sendiri masalah pun rasanya sudah segudang. Namun aku tetap berusaha untuk menanggapinya, walaupun hanya sekedar basa-basi saja.

“Perkawinanku sudah di ambang batas. Aku tahu aku salah, aku menyesal. Aku ingin mencoba memperbaikinya, tapi Berliana tak pernah mau memberi aku kesempatan,” begitu bunyi pesannya.

“Kau telpon aku saja lah.., sedang malas aku mengetik,” singkat, aku menjawab.

Aku sendiri sedang sibuk mempersiapkan draft replik perceraianku dengan Elsa.

Ya, aku memang tidak memakai pengacara untuk mengurus masalahku ini. Percuma membuang-buang uang untuk sesuatu yang telah telanjur menjadi ampas dan sama sekali tak ada gunanya.

Segala rasa berkecamuk dalam diri ku, namun deraan banyak hal sepertinya tak henti-hentinya berdatangan, menambah sesak dada.

Termasuk urusan sahabat ku ini, yang sepertinya hidupnya hanya diisi dengan mengeluh saja, dan aku yang selalu menjadi penampungannya. Seakan-akan tidak ada satu kesenanganpun yang pernah diberikan Tuhan untuknya dan dunia ini hanya penuh dengan problemanya saja.

Tak lama kemudian, meluncurlah kata-kata panjang tanpa titik koma dari suara di seberang. Suara Arjun. Aku hanya bisa menyimak sepintas, mengambil intinya.

Kepala ku sudah terlalu penuh untuk menyimpan berbagai masalah. Jangankan untuk orang lain, untuk diri ku sendiri saja sebagian keluh kesah kepahitan hidup ku sudah aku buang ke tong sampah. Tak ingin diingat lagi atau diucap.

Diiringi dengan nada suara yang cukup serius, Arjun mengutarakan apa yang diinginkannya dari ku.

“Kau tolonglah aku. Coba bicara dengan Berliana, agar dia bisa menerima aku kembali. Posisi mu kan sama dengannya, teraniaya. Mungkin dia bisa mengambil pelajaran dari apa yang terjadi denganmu, sehingga dia mau kembali padaku, demi anak,” pinta Arjun memelas pada ku.
 

Aku menghela nafas panjang sekali lagi. Ku singkirkan sejenak batu besar yang serasa menindih benak ku, berusaha berempati.

“Ok, kapan aku harus menemuinya..??” tanya ku pada Arjun.

“Besok malam. Aku beri kau nomor telpon genggamnya. Tolong hubungi dia secepatnya. Aku percayakan urusan ini padamu,” pasrah suara Arjun terdengar.

****


Sore itu, di sudut sebuah café bernuansa Italy. Aku menunggu Berliana, menyeruput segelas cappuccino dingin sambil mata ku sesekali menyapu ke luar jendela. Empat potong roti yang tadi aku pesan pun sudah ludes ku santap. Namun tak juga ku lihat sosok yang ku nanti.

Aku pun mulai merasa kesal. Untunglah beberapa menit kemudian pesan singkat dari Berliana masuk.

“Sudah dekat, maaf tadi keluar kantor agak terlambat,” begitu katanya.

Selang seperempat jam setelah itu, kami pun telah duduk berhadapan. Berliana memesan minuman yang sama dengan yang aku pilih.

“Kamu gak pesan makanan..??” tawar ku.

Berliana menggeleng. “Masih agak kenyang. Tadi makan siang agak terlambat,” jawabnya, sambil meletakkan tasnya di atas meja.

Matanya setelah itu justru sibuk mengamati ku, dari atas ke bawah, sambil tersenyum sedikit nakal.

”Lain kau sekarang,” katanya.

Terkekeh aku mendengarnya.

“Kenapa..??" tanya ku sedikit heran.

"terlihat lebih keren dan tampan.” jawabnya yang diikuti dengan derai tawa kencang.

 Aku pun mencoba untuk ikut terbahak.

“Awal yang baik memulai pembicaraan”, pikir ku.

Suasana yang tadinya ku kira akan kaku karena sudah sekian lama aku tak bertemu dengan istri sahabat karib ku ini, ternyata tak terjadi.

Sudah tiga tahun lebih kalau tak salah, sejak Arjun membawa Berliana ke rumah ku, mengantarkan undangan perkawinan mereka kala itu. Wajar, jika aku sempat kuatir apa yang diamanatkan pada ku akhirnya gagal.

“Akan lancar sepertinya misiku,” ujar ku lagi dalam hati.

Namun perkiraan ku salah. Susah betul meyakinkan perempuan itu untuk menerima suaminya kembali. Dianggapnya semua tingkah dan penyesalan yang diperlihatkan suaminya, itu hanya kepalsuan sesaat yang akan kembali lagi kala lelaki yang sudah memberinya satu anak itu kelelahan memakai topengnya. 

Oh.., paham betul aku akan perasaan itu. Tak jauh lebih baik dari yang aku alami. Hidup dalam kepalsuan yang kurang lebih sama, pengkhianatan-pengkhianatan dan rekayasa mimpi-mimpi dalam keterkurungan sebuah sangkar besi yang dinamakan perkawinan, berakhir dengan terbongkarnya maksud dan tujuan Elsa mau menikah dengan ku dahulu, yang tak pernah terbayangkan olehku, lalu tersadar telah membuang sekian belas tahun penuh pengorbanan tanpa pernah ada hitungan.

Pengkhianatan paling menyakitkan yang pernah ada, manakala pada akhirnya aku tahu bahwa keberadaan diriku ternyata dinilai sebatas materi saja.

Mungkin akan lebih baik bagiku melihat Elsa berselingkuh dengan 1000 laki-laki, daripada setelah sekian lama mata ku baru terbuka, bahwa Elsa mau menjadi istri ku, hanya karena harta.

Mengingat itu, seketika seperti ada yang terlepas sumbatannya. Cerita kelam dari lubuk hati ku pun bagai banjir bandang, tumpah ruah membludak diiringi penyesalan yang sudah tak terbendung lagi, tanpa bisa diredam.

Terlalu lama semua kepahitan itu aku simpan sendirian, tanpa pernah aku bagikan barang sedikit pada siapapun, walau hanya untuk sekedar meringankan pikiran.

Sudah tak ku ingat lagi tugas yang ku emban, terkubur oleh himpitan beban yang menggerus ketahanan mental ku. Saat itu, yang tinggal hanyalah diri ku dan segala penyesalan.

Mungkin karena melihat pemandangan nelangsa di depan matanya, tangan lembut Berliana itupun spontan menggenggam tangan ku yang sedikit gemetar, menahan emosi.

“Sudahlah..sabar saja,” kata Berliana, mencoba menghibur. Hmm.., memang apa lagi yang bisa aku lakukan selain itu..?? Menangis hanyalah pelampiasan sesaat untuk membuang beban. Menjadikan butiran-butiran air mata itu sebagai tiang-tiang pembangun kekuatan diri ku untuk bangkit dari keterpurukan. Bukan untuk memperlihatkan kelemahan.

Kami pun sama-sama terdiam, dalam hening. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Lalu mata kami pun saling beradu. Satu sama lain seperti mengerti apa yang kami mau, walau tanpa suara. Hanya bahasa tubuh kami yang saling bicara.

“Yuk,” ajak Berliana.

Dan tak perlu banyak kata, kami pun keluar dari café itu, mencari sebuah tempat pelampiasan. Puaskan segala amarah, kegetiran, luka dan ketercampakan. Dua orang dewasa dalam satu nasib. Beradu salurkan energi negatif. Mengamuk rasa dalam gelora sesaat tanpa cinta. Sisakan peluh penuh kenikmatan dalam dekapan dosa.

“Maafkan aku, teman..”, ucap ku lirih, dalam ketel4n-j*ngan yang masih menyisakan r3ng-kuh*n hangat Berliana di t*buhku. Pulas terlelap usai h4s-r*tnya terurai. Tak peduli ada keinginan yang masih menggantung tanpa penyelesaian. Sesuatu yang sudah sangat biasa aku terima dalam pendaman kecewa. Kesepihakan. Dan ketakacuhan atas apa yang aku rasakan.

****

Selama lebih dari delapan bulan, aku merasa lelah terjebak dalam kebohongan. Tak sanggup lagi aku menahannya. Memang tak perlu diumbar, namun aku pun tak mau lagi menyimpannya. Beban berat bagi ku, walau aku sadari bahwa yang tahu hanya aku, Berliana dan Tuhan.

Memang, belasan tahun yang lalu Arjun pernah melakukan hal yang sama pada diri ku. Diam-diam di belakang ku, ia menjalin hubungan dengan Gladis, wanita yang dulu aku harapkan bisa mejadi pelabuhan terakhirku.

Namun demi Tuhan, apa yang aku lakukan dengan Berliana sama sekali bukan sebagai pembalasan, tapi karena tergelincirnya aku dalam kebodohan. Kebodohan akan pemuasan n*fsu sesaat yang pada ujungnya sangat aku sesalkan.

Ku kirim sebuah pesan berisi pengakuan kepada Arjun. Sudah siap aku terima segala makian dan hujatan dengan lapang dada. Menerima getah dari nangka yang sama sekali tak manis namun terlanjur rakus aku makan, hingga habis tak bersisa.

Benar saja, balasan pesan itu aku terima hanya dalam hitungan detik, dengan huruf-huruf kapital. Singkat, namun padat makna.

“DASAR GIG*LO..!! PENGKHIANAT..!!”, itu yang terpampang di layar telpon genggam ku. Dari Arjun.

Aku mencoba tersenyum, sadar gelar itu memang pantas untuk ku.

Ya, aku adalah pengkhianat dengan nurani mati, berdarah dingin. Gi-gol* jah4nam, walau tanpa pernah ada bayaran.

Penyesalan memang selalu datang belakangan. Kini aku telah kehilangan semuanya. istri ku dan juga sahabat ku. Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Karena saat ini, aku ingin memulai hidup ku yang baru.

Aku akan melupakan semua yang terjadi di masa lalu ku. Melupakan semua kepahitan-kepahitan yang pernah aku rasakan selama ini.

Aku hanya berharap, semoga aku tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari.

Yah... semoga saja.

****

Bersama Mahasiswi KKN

Nama ku Aji Susanto, biasa di panggil mas Aji. Saat ini aku sudah berusia 36 tahun lebih. Aku sudah menikah dan juga sudah punya dua anak.

Anak pertama ku perempuan, sekarang sudah duduk di kelas 5 SD, sedangkan anak bungsu ku, laki-laki, masih TK.

Rumah tangga ku sebenarnya baik-baik saja. Aku, istri ku dan anak-anak ku, hidup cukup bahagia. Kehidupan kami secara ekonomi juga cukup mapan.

Aku bekerja sebagai salah seorang staff di kantor desa, tempat aku dan keluarga ku tinggal. Sedangkan istri ku adalah seorang guru TK. Selain itu, kami juga punya beberapa hektar kebun sawit, yang kami kelola sendiri.

Aku bekerja di kantor desa sudah bertahun-tahun, bahkan jauh sebelum aku dan istri ku menikah. Sejak lulus kuliah, orang tua ku memang tidak memperbolehkan aku untuk bekerja di luar desa kami. Karena itulah, aku pun memutuskan untuk melamar pekerjaan di kantor desa tersebut.

Orang tua ku juga mewariskan beberapa bidang tanah, untuk aku kelola menjadi kebun sawit. Dan sejak menikah dengan istri ku, kami pun berusaha mengumpulkan modal, untuk membuka usaha kebun sawit tersebut. Hingga sekarang kami sudah bisa menikmati hasilnya.

Aku dan istri ku sudah saling kenal sejak lama, bahkan sejak masih sama-sama SD. Tapi kami baru menjadi dekat, ketika aku sudah lulus kuliah, dan mulai bekerja di kantor desa. Kami sempat pacaran selama beberapa tahun, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menikah.

Rumah tangga kami berjalan cukup baik, meski tentu saja, selalu saja ada masalah yang datang dalam kehidupan rumah tangga kami. Namun selama ini, kami selalu berhasil mengatasi nya. Apa lagi istri ku adalah sosok wanita yang cukup sabar dan penuh perhatian.

****

Sebagai sebuah desa yang letaknya cukup jauh dari kota, desa kami memang sering menjadi sasaran untuk dijadikan tempat KKN bagi para mahasiswa dari berbagai kampus.

Hampir setiap tahun, selalu saja ada mahasiswa KKN yang datang ke desa kami. Baik itu dari universitas negeri mau pun universitas swasta. Ada yang melaksanakan KKN sampai dua bulan, namun tak jarang juga hanya beberapa minggu.

Sebagai seseorang yang bekerja di kantor desa, tentu saja, aku sering berurusan dengan para mahasiswa KKN yang datang ke desa kami tersebut, setiap tahunnya.

Aku sudah terbiasa menghadapi mereka semua, berkenalan, memberikan pelayanan yang terbaik, dan tentu saja bekerja sama dengan mereka, untuk melakukan kegiatan-kegiatan di desa kami.

Selama ini, semua itu berjalan dengan baik. Aku selalu menganggap, semua mahasiswa KKN tersebut, baik itu yang laki-laki maupun yang perempuannya, sebagai adik-adik atau pun teman-teman baru bagi ku.

Namun, untung tak dapat di raih, malang tak dapat di tolak. Siapa yang bakal tahu, apa yang akan terjadi ke depannya. Karena, terkadang hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Dan hal itu lah yang terjadi dalam perjalanan hidup ku.

Berawal dari kedatang serombongan mahasiswa KKN dari salah satu kampus ternama di kota. Mereka berjumlah 14 orang. Lima orang laki-laki dan sembilan orang perempuan.

Seperti biasa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, kami pun menyambut kehadiran mereka dengan antusias. Apa lagi para pemuda dan pemudi di desa kami. Kehadiran mahasiswa KKN cukup memberi suasana baru di desa kami.

Dan sebagaimana biasa juga, para mahasiswa KKN yang laki-laki kami tempatkan di salah satu ruangan yang ada di kantor desa, sementara yang perempuan selalu kami tempatkan di salah satu rumah warga.

Hari pertama kami habiskan dengan saling berkenalan, antara mahasiswa dengan perangkat yang ada. Selain itu tentunya, mereka juga menyampaikan beberapa agenda mereka selama berada di desa kami. Kebetulan juga kali ini, mereka mengadakan KKN selama dua bulan penuh.

Awalnya semua berjalan seperti biasa. Benar-benar biasa. Kami para pekerja kantor desa tetap menjalankan rutinitas kami seperti biasa. Para mahasiswa tersebut, juga sudah mulai melakukan aktivitas mereka.

Mereka saling berbagi tugas, ada yang membantu guru di sekolah SD dan SMP yang ada di desa kami. Ada yang melakukan kegiatan di Mesjid, dan tentu saja ada yang stand by di kantor desa, untuk membantu beberapa pekerjaan kami.

Dari situlah aku mengenal Diana. Salah seorang mahasiswi KKN tersebut. Kebetulan Diana memang sering ditugaskan di kantor desa, untuk membantu kami.

Selain memiliki wajah yang cantik, Diana juga terlihat pintar dan cukup aktif. Dia juga mudah akrab dengan siapa saja. Hampir semua kami yang bekerja di kantor desa, sudah mengenal dan dikenal Diana.

Aku bahkan dengan Diana, sudah sering mengobrol. Meski pun awal-awalnya kami hanya mengobrol biasa. Obrolan basa-basi, antara dua orang yang baru saja saling kenal.

Namun lama kelamaan, obrolan kami mulai menjurus ke arah pribadi. Diana cukup terbuka, bercerita tentang kehidupannya dan juga tentang keluarganya. Dan hal itu, membuat kami jadi semakin dekat dan akrab.

Diana sudah tahu, kalau aku sudah menikah dan sudah punya anak. Tentu saja, aku yang bercerita padanya. Tapi sepertinya hal itu, tidak menyurutkan langkah kami, untuk lebih saling mengenal.

Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa nyaman, ngobrol bersama Diana. Aku jadi betah berlama-lama di kantor, hanya untuk sekedar menghabiskan waktu mengobrol berdua bersama Diana.

Kedekatan kami, memang cukup menarik perhatian orang-orang di sekeliling kami. Terutama teman-teman kerja ku.

Sebenarnya teman-teman kantor ku yang lain, sudah sering memperingatkan aku akan hal tersebut. Tapi, aku selalu beralasan bahwa aku sudah menganggap Diana seperti adik ku sendiri.

****

Waktu pun terus berlalu, tanpa bisa di cegah atau pun di pacu. Semua berjalan sesuai kodratnya. Kita hanya bisa berencana, tanpa selalu bisa merealisasikannya. Dan begitulah kehidupan.

Sungguh, tidak pernah aku rencanakan sama sekali, kalau aku akan mengenal Diana dalam perjalanan hidupku. Aku juga tidak menyangka sama sekali, kalau aku akan jatuh cinta pada Diana pada akhrinya.

Yah, semua itu baru aku sadari, setelah lama kami bersama. Kebersamaan kami telah mampu membelenggu hati ku. Merobohkan pagar-pagar di hatiku, yang telah susah payah aku bangun selama ini, setidaknya sejak aku mengucapkan akad nikah untuk istri ku.

Sekarang hati ku seakan terbuka begitu saja, untuk menerima kehadiran seorang Diana di dalamnya. Dan anehnya, Diana seperti sengaja memberikan aku harapan-harapan, yang membuat aku semakin sulit untuk melepaskan diri dari perasaan ku padanya.

Menurut ceritanya, Diana adalah anak bungsu dari empat bersaudara, dan semua saudaranya perempuan. Ayahnya juga sudah lama meninggal dunia, sejak ia masih SMP. Kerinduannya akan sosok seorang ayah, yang membuat ia jadi ingin dekat dengan ku. Setidaknya begitulah pengakuan Diana padaku.

Sebagai seseorang yang sedang jatuh cinta, nasehat seperti apa pun, sudah tidak bisa lagi di terima oleh akan sehat ku. Aku sudah terlanjur sayang pada Diana, dan keinginan untuk bisa memilikinya semakin tumbuh subur di hatiku.

"hati-hati loh, mas Aji.. jangan main api, nanti kamu terbakar sendiri..." begitu salah satu nasehat dari salah seorang teman kerja ku. Tapi hal itu, tidak membuat aku surut untuk tetap mendekati Diana.

Sampai akhirnya, kabar burung tentang kedekatan ku dengan Diana, mulai sampai ke telinga istri ku. Istri ku pun sudah mulai curiga, apa lagi akhir-akhir ini, aku selalu terlambat pulang kantor. Aku juga jadi rajin membantu kegiatan para mahasiswa KKN tersebut.

Teman-teman KKN Diana juga mulai mencurigai kedekatan kami. Tapi kami tetap tidak peduli.

Hingga suatu waktu, aku pun memberani kan diri, untuk menyatakan perasaan ku pada Diana. Dan gayung bersambut. Meski pun Diana tahu, kalau aku sudah menikah, dia tetap saja nekat menerima cinta ku.

Kami pun akhirnya resmi berpacaran. Kami menjalin hubungan diam-diam. Meski pun di depan orang-orang, kami berusaha bersikap biasa saja, berlagak tidak terjadi apa-apa di antara kami.

****

Pada suatu malam, istri dan anak-anak ku,sedang berada di rumah pamannya yang berada di desa tetangga, desa tersebut berjarak lebih kurang 10 km dari desa kami. Kebetulan saat itu, ada acara pesta pernikahan teman istri ku di sana.

Aku sengaja tidak ikut, karena harus menjaga rumah dan juga karena aku lagi banyak pekerjaan. Setidaknya begitulah alasan ku kepada istri ku waktu itu.

Karena hanya sendirian di rumah, terbersit di benak ku, untuk mengundang Diana datang ke rumah ku. Aku pun mencoba mengirimkan pesan padanya.

Dan di luar dugaan ku, Diana pun bersedia untuk datang.

Ia datang diam-diam ke rumah ku. Aku pun mempersilahkan ia masuk. Kami ngobrol sejenak, sebelum akhirnya aku nekat mengajak Diana masuk ke kamar ku. Dan Diana pun tidak menolak sama sekali.

Di dalam kamar itulah, akhirnya semuanya terjadi. Tak ku sangka Diana menyambut kehadiran ku dengan penuh harap. Ia  menerima semua perlakuan ku padanya. Kami pun melakukan hal tersebut.

Dan aku pun akhirnya menyadari, kalau Diana sudah tidak suci lagi. Ini bukan pertama kali bagi Diana melakukan hal tersebut. Bahkan menurut ku, Diana sudah terbiasa melakukan hal tersebut. Semua itu dapat aku rasakan, dari caranya memperlakukan ku. Ia terlihat sudah berpengalaman.

Sejujurnya, aku sedikit merasa kecewa menyadari hal itu. Penilaian ku terhadap Diana pun berubah. Ternyata Diana bukan gadis baik-baik, seperti yang aku harapkan.

Aku merasa sedikit tertipu. Tapi aku tetap berpura-pura, kalau semuanya baik-baik saja. Aku tetap berpura-pura tidak menyadari hal tersebut. Apa lagi tindakan Diana waktu itu, sungguh membuat aku merasa terkesan.

****

Hari-hari selanjutnya, hubungan ku dan Diana kian erat dan tak terkendali. Kami selalu mencari-cari waktu dan mencuri-curi kesempatan, untuk kami bisa menghabiskan waktu berdua. Dan bahkan, pernah beberapa kali, aku nekat membawa Diana ke kota, dengan menggunakan mobil ku. Tentu saja, tanpa di ketahui oleh siapa pun.

Meski pun aku tahu, kalau Diana bukanlah gadis baik-baik seperti yang aku harapkan, tapi aku sudah tidak peduli lagi. Aku sudah terlanjur terlena dengan perasaan cinta ku pada Diana.

Hubungan ku dan istri ku pun semakin memburuk. Kami hampir tidak saling berbicara lagi. Aku tahu, kalau istri ku sedang marah pada ku. Aku tahu, kalau ia pasti sedang mencurigai hubungan ku dengan Diana.

Tapi, sekali lagi, aku sudah tidak peduli. Saat ini, prioritas ku hanyalah Diana. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama Diana. Aku hanya ingin menikmati indahnya cinta ku bersama Diana. Hanya itu.

Hingga tak terasa, dua bulan pun berlalu, sejak Diana datang ke desa kami. Hampir sebulan pula lamanya, sejak aku dan Diana menjalin hubungan asmara.

Dan kini tibalah waktunya, bagi Diana dan teman-teman KKN nya untuk segera pergi dari desa kami.

Pada malam perpisahan, aku dan Diana pun kembali bertemu. Kali ini, kami bertemu di sebuah pondok, di tengah-tengah kebun sawit. Aku berharap, malam itu, akan menjadi malam paling indah bagi kami berdua, sebelum kami akan berpisah esok harinya.

"aku ingin kita putus, mas Aji.." begitu ucap Diana, saat kami sudah duduk di dalam pondok tersebut.

"putus? Kenapa?" tanya ku sedikit heran, kening ku berkerut.

"karena memang sudah saatnya kita mengakhiri semua ini. Karena besok saya akan pergi dari desa ini.." balas Diana, terdengar tenang.

"jadi kita putus begitu aja? Setelah semua yang kita lakukan bersama?" tanya ku lagi msih dengan nada heran.

"lalu apa yang mas Aji harapkan dari semua ini?" balas Diana, "mas sendiri kan tahu, kalau mas sudah punya istri dan anak?" lanjutnya, "jadi hubungan kita ini gak mungkin bisa di lanjutkan lagi.." lanjutnya kemudian.

"jadi kamu hanya memanfaatkan saya selama di sini?" suara ku mulai gusar.

"selama ini, saya juga tidak meminta apa-apa dari mas Aji, kan? Jadi bagian mana menurut mas Aji, saya memanfaatkan mas Aji?" balas Diana dengan penuh tanya.

"tapi karena hubungan kita ini, aku dan istri ku jadi sering bertengkar. Kami sudah tidak akur lagi seperti dulu.." ucapku sedikit kesal.

"itu bukan urusan saya, mas. Mas sendiri kan yang mulai?" balas Diana santai.

"tapi kamu yang memberi aku peluang, Diana. Kalau saja, dari awal kamu tidak memberi aku harapan, semua ini pasti tidak akan terjadi.." ucapku kemudian, masih dengan nada kesal.

"sudahlah, mas. Saya tidak mau berdebat tentan hal ini lagi. Bagi saya, hubungan kita sudah berakhir mulai malam ini.. terserah mas mau terima atau tidak.." balas Diana, sedikit kasar.

Dan setelah berkata demikian, Diana pun segera pergi meninggalkan ku sendirian dalam kekalutan yang tak menentu.

Aku hanya bisa termangu memikirkan semua itu. Sekali lagi, aku merasa tertipu. Betapa bodohnya aku selama ini, membiarkan semua itu terjadi.

***

Keesokan paginya, Diana benar-benar pergi. Ia pergi dari desa kami, bahkan mungkin juga dari hidup ku. Dia pergi, tanpa meninggalkan pesan apa pun untuk ku. Sepertinya ia memang tidak punya perasaan apa-apa pada ku. Aku mungkin hanya sebuah pelarian bagi nya. Untuk mengisi kesepiannya.

Dan ketika keesokan harinya lagi, aku coba menghubungi Diana. Ternyata nomornya sudah tidak aktif lagi. Bahkan di semua media sosialnya, ia juga telah memblokir ku. Diana benar-benar menghilang.

Sementara hubungan ku dan istriku pun sudah di ujung tanduk. Istri ku semakin mendiam ku. Ia sudah tidak mau lagi, berbicara dengan ku.

Sampai akhirnya, kami pun bertengkar hebat. Dan istri ku pun mengungkapkan semuanya. Ia sebenarnya sudah tahu, kalau aku dan Diana telah menjalin hubungan selama ini.

Aku pun berusaha untuk memberi penjelasan pada istri ku, dan mengaku kalau aku dan Diana tidak ada hubungan apa-apa. Tapi tetap saja, istri ku tak percaya.

"aku ingin kita cerai, mas.." ucap istri ku akhirnya, "aku sudah tidak tahan lagi, hidup bersama seorang pengkhianat.." lanjutnya sedikit histeris.

Aku mencoba memohon dan meminta maaf pada istri ku, tapi ia sudah tidak peduli.

"kita pernah berjanji, mas. Kalau salah satu dari kita berkhianat, maka hubungan kita pun berakhir." ucap istri ku kemudian.

"aku sengaja tidak meminta cerai pada mas, saat Diana masih di sini, karena dengan begitu ia akan merasa menang. Meski aku tidak tahu, apa alasan Diana sebenarnya, mendekati mas. Tapi sekarang, Diana sudah tidak di sini, dan ini saat yang tepat bagi ku, untuk minta cerai.." ucap istri ku melanjutkan.

Segala rasa bersalah semakin menghantui ku. Sebuah penyesalan menghujam di jantung ku. Rasanya hati ku begitu hancur. Saat ini, aku bukan hanya kehilangan Diana. Tapi aku juga akan kehilangan istri ku, bahkan juga anak-anak ku.

"aku mohon, kamu jangan pergi, ya.. aku akan memperbaiki semuanya, dan aku berjanji tidak akan pernah mengulanginya lagi..." ucapku akhirnya, setelah tidak tahu lagi harus berkata apa.

"sudah terlambat, mas. Aku sudah terlanjut sakit hati.. Dan aku tidak sudi lagi hidup bersama laki-laki pembohong seperti kamu. Pokoknya, aku tetap ingin kita bercerai..." balas istri, dengan suara tertahan.

Dan setelah berkata demikian, istri ku pun segera pergi meninggalkan ku sendirian. Kini aku benar-benar kehilangan semuanya.

Aku hanya berharap, semoga semua kejadian ini, bisa memberi aku pelajaran yang berarti dalam hidupku. Semoga aku tidak lagi melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari.

Yah... semoga saja.

****

Pembantu ku yang cantik (kisah nyata)

Namanya Bi Ijah, dan dia sudah berusia 45 tahun lebih. Bi Ijah juga sudah menikah dan juga sudah punya dua orang anak. Tapi suami dan anak-anaknya tinggal di kampung. Bi Ijah hanya pulang ke kampungnya, dua kali dalam setahun. Yakni saat lebaran dan juga tahun baru.

Bi Ijah sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja menjadi pembantu di rumah kami. Saat itu, aku masih berusia sembilan tahun. Dan sekarang aku sudah berusia sembilan belas tahun, dan juga sudah kuliah.

Aku dan bi Ijah cukup dekat, karena sejak kecil, aku sudah sering tinggal bersamanya di rumah kami. Papa dan mama ku adalah dua orang yang super sibuk. Bahkan mereka hanya punya satu orang anak, yaitu aku, sebagai anak semata wayang mereka.

Secara ekonomi, kehidupan kami memang terbilang sangat mapan. Bahkan aku sendiri, juga sangat di manja. Segala keinginan ku selalu terpenuhi oelh kedua orangtua ku.

Namun begitu, sebagai seorang anak, aku selalu merasa kesepian. Karena mama dan papa jarang berada di rumah. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Mungkin karena itu juga, aku jadi sangat dekat dengan bi Ijah.

Aku lebih sering ngobrol bersama bi Ijah, dan menceritakan segala keluh kesah ku kepadanya. Bi Ijah juga sangat perhatian padaku. Beliau sudah menganggap ku seperti anak sendiri. Apa lagi bi Ijah juga berada jauh dari keluarganya.

Mulanya kedekatan ku dengan bi Ijah, hanya terkesan biasa saja. Hanya antara seorang pembantu dan anak majikannya. Atau hanya sekedar antara anak dan ibu nya.

Namun belakangan ini, terutama sejak aku mulai kuliah, entah mengapa, aku jadi sering memikirkan bi Ijah. Segala kasih sayang dan perhatiannya selama ini padaku, telah mampu membuat aku jadi mulai menyukainya.

Aku memang menyayangi bi Ijah, sebagai sosok seorang ibu dalam hidup ku. Namun sekarang, rasa itu tidak lagi sama. Aku mulai sering mengkhayalkan hal yang aneh-aneh tentang bi Ijah. Terutama saat malam menjelang aku tertidur.

Secara fisik, bi Ijah memang masih cantik dan juga masih terlihat seksi. Meski pun ia sudah berusia lebih 45 tahun. Tapi bi Ijah masih cukup menarik. Apa lagi bi Ijah, juga cukup pandai merawat diri.

****

Aku berusaha menepis segala rasa suka ku pada bi Ijah. Aku tidak ingin terlarut dalam perasaan tersebut. Karena aku tahu, itu adalah sebuah kesalahan. Lagi pula, bi Ijah juga gak mungkin bakal suka pada ku. Mengingat aku ini masih terlalu muda, dan juga karena aku adalah anak majikannya.

Tapi justru karena itu, aku jadi semakin penasaran dengan bi Ijah. Apa lagi, seumur hidup, aku belum pernah pacaran sama sekali. Tidak ada seorang cewek pun yang mau menjadi pacar ku, meski aku sudah sering berusaha mendekati para cewek-cewek.

Sejujurnya, meski pun aku tergolong anak orang berada, tapi aku kurang beruntung untuk urusan cinta. Karena secara fisik, aku meman kurang menarik. Aku tidak tampan, tidak gagah, dan tidak juga termasuk anak yang pintar.

Selain kehidupan yang mewah, aku tidak punya daya tarik lain, yang membuat cewek-cewek jadi menyukai ku. Bahkan aku juga tidak suka olahraga. Aku juga tidak tergolong seorang kutu buku. Aku benar-benar laki-laki biasa, yang hampir tidak punya daya tarik.

Pernah sih, ada cewek yang mau aku dekati, tapi pada akhirnya aku tahu, kalau dia hanya sekedar memanfaatkan ku saja. Hanya untuk menguras uang saku ku. Dan aku pun memilih untuk meninggalkannya.

Sadar akan segala kekurangan ku, aku pun jadi sering menutup diri. Aku lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Aku lebih sering menghabiskan waktu, untuk sekedar mengobrol bersama bi Ijah di rumah.

Dan karena terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Perlahan rasa suka itu pun tumbuh di hati ku untuk bi Ijah. Aku bahkan mungkin telah jatuh cinta padanya. Namun aku masih berusaha, untuk bersikap biasa saja, terutama di depan bi Ijah.

Hingga pada suatu pagi. Saat itu, mama dan papa, seperti biasa, sudah berangkat kerja. Di rumah hanya tinggal aku dan bi Ijah. Aku sengaja bangun agak telat pagi itu. Aku merasa lagi malas untuk berangkat kuliah.

Karena aku yang tak kunjung bangun dan keluar dari kamar, tiba-tiba bi Ijah mengetuk pintu kamar ku. Ia mengetuk beberapa kali, sambil terus memanggil dan membangunkan ku.

Aku yang sudah berniat untuk tidak kuliah pagi itu, terpaksa bangun dan segera membuka pintu, karena bi Ijah masih terus berusaha memanggil ku.

"ada apa sih, bik?" tanyaku dengan nada malas.

Saat itu, aku hanya memakai selimut yang aku lilitkan di pinggang ku.

"bangun, Den. Sudah siang.. nanti aden telat loh, kuliahnya.." balas bi Ijah, dengan sedikit tertunduk, karena melihat aku yang tanpa baju.

"saya lagi malas kuliah, bik. Jadi jangan ganggu ya.. saya mau tidur seharian..." ucap ku kemudian, masih dengan nada malas.

"tapi... nanti kalau mama aden nelpon dan nanya, saya harus jawab apa?" balas bi Ijah, dengan sedikit bertanya.

"bilang aja, kalau saya udah berangkat kuliah.." balas ku.

"tapi, den..." bi Ijah berusaha berucap lagi.

"sudahlah, bik... sekali-kali.. gak masuk kuliah gak apa-apa, kan.." balas ku cepat, memotong ucapan bi Ijah.

"ya udah.. terserah aden aja... kalau begtiu saya ke bawah dulu.. Permisi, den.." akhrinya bi Ijah pun segera meninggalkan kamar ku.

Sementara aku, tiba-tiba saja, mulai memikirkan bi Ijah kembali. Aku membayangkan, jika bi Ijah mau aku ajak masuk ke kamar ku, dan .....

Ah.. sudahlah... rasanya hal itu sangat tidak pantas.

Tapi... bukankah saat ini, hanya kami berdua di rumah. Jadi apa salahnya aku mencobanya? Siapa tahu, bi Ijah juga mau. Dan lagi pula, kalau ia menolak, aku kan bisa memaksanya. Aku kan anak majikannya. Mau tidak mau, bi Ijah memang harus mau menuruti keinginan ku.

*****

Akhirnya dengan hanya memakai celana pendek, aku pun segera turun ke bawah, untuk menemui bi Ijah yang sedang berada di dapur. Ia sedang mencuci piring saat itu.

Gejolak jiwa muda ku tengah bergelora saat itu. Setan telah menguasai pikiran ku. Aku tidak lagi berpikir panjang. Aku harus bisa menyalurkan keinginan ku terhadap bi Ijah.

"ada apa, den? Aden mau sarapan?" tanya bi Ijah setengah kaget akan kedatangan ku. Apa lagi aku hanya memakai celana pendek, tanpa baju.

"saya mau bi Ijah.." balasku dengan suara parau.

"maksud den Bima apa?" bi Ijah berucap, sambil menghentikan kegiatannya mencuci piring tersebut.

"bi Ijah sangat cantik sekali. Saya suka sama bi Ijah. Dan saya menginginkan bi Ijah pagi ini.." ucapku, suara ku makin parau.

"den Bima ngomong apa, sih? Saya jadi takut loh, den." balas bi Ijah, dengan sedikit melangkah mundur.

"saya jelek banget ya, bik? Sampai bi Ijah setakut itu sama saya?" tanyaku gusar.

"bukan... bukan itu maksud saya, den. Tapi... saya... saya sudah menganggap den Bima itu seperti anak bibik sendiri.. jadi aden jangan salah paham.." jelas bi Ijah, suaranya terdengar sedikit bergetar.

"saya suka sama bi Ijah. Saya ingin kita menjalin hubungan yang lebih..." ucapku mulai tak karuan.

"den Bima jangan macam-macam. Saya..." ucapan bi Ijah terputus.

"bi Ijah berani menolak saya? Bi Ijah gak mau menuruti keinginan saya?" balasku memotong ucapan bi Ijah barusan.

"tapi, den... ini.. ini gak boleh terjadi. Den Bima jangan memaksa saya.." suara bi Ijah semakin bergetar.

"kalau bi Ijah gak mau, saya akan bilang sama mama, untuk memecat bi Ijah dari sini.." ancam ku akhirnya, setelah tak tahu lagi harus berkata apa. Setan benar-benar telah menguasai ku saat itu.

Apa lagi bi Ijah juga sudah tahu perasaan ku padanya, jadi.. aku harus bisa mendapatkannya, apa pun caranya.

"kenapa harus bibik sih, den. Bibik ini sudah tua.. masih banyak gadis-gadis cantik di luar sana.." ucap bi Ijah kemudian, dalam usahanya menghindari ku.

"aku sudah terlanjur jatuh cinta sama bi Ijah.. aku gak butuh gadis-gadis lain, aku hanya menginginkan bi Ijah... jadi bi Ijah, jangan coba-coba menolak permintaan ku.." aku berucap dengan setengah berteriak. Aku benci penolakan, apapun alasannya.

"tapi.. den... bibik gak bisa... bibik sudah punya suami dan juga sudah punya anak... Saya mohon, den. Jangan paksa saya, ya..." kali ini, suara bi Ijah cukup menghiba.

Tapi aku sudah tidak peduli dengan semua itu. Aku harus mendapatkannya. Aku harus mendapatkan bi Ijah. Aku sudah tidak bisa menahan diri ku lagi.

"pokoknya bi Ijah harus mau menuruti keinginan saya. Kalau tidak, saya jamin besok bi Ijah akan di pecat, dan saya juga akan katakan, kalau bi Ijah sudah mencuri di rumah ini.. Saya yakin, mama pasti lebih percaya sama saya.." ucapku dengan nada kasar.

Kali ini bi Ijah mulai terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras. Aku yakin, ancarman ku cukup membuat ia merasa takut. Karena bi Ijah, pasti sangat membutuhkan pekerjaan ini. Apa lagi saat ini, anak-anaknya sedang butuh biaya banyak, untuk sekolah mereka.

"kalau bi Ijah mau, saya akan berikan uang saku saya buat bi Ijah setiap harinya.." aku berucap lagi, dalam upaya ku untuk mendapatkan apa yang aku inginkan.

"baiklah, den. Kalau den Bima memaksa. Saya juga gak mau kehilangan pekerjaan ini. Dan jika den Bima mau memberi saya uang, saya akan turuti semua keinginan den Bima.." bi Ijah berucap juga akhirnya, setelah cukup lama ia terdiam.

"ya udah... saya tunggu bi Ijah di kamar saya sekarang..." ucapku kemudian, sambil mulai melangkah untuk menuju lantai atas. Menuju kamar ku.

Dan tak lama kemudian, bi Ijah pun datang menyusul dari belakang. Aku sedikit memaksa bi Ijah untuk masuk ke kamar ku. Aku yang sudah di kuasia oleh n4fs* ku, sudah tidak bisa menahan diri lagi. Aku pun segera menarik bi Ijah ke atas r4nj**g.

****

Begitulah awalnya. Dan sejak saat itu, aku selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, untuk bisa bersama bi Ijah. Aku juga selalu memberi bi Ijah uang, setiap kali kamu selesai melakukan hal tersebut.

Semakin hari, aku justru semakin sayang sama bi Ijah. Aku semakin mencintainya. Aku semakin tidak ingin melepaskannya. Meski pun bi Ijah, selalu mengingatkan ku, agar segera mengakhiri hal tersebut.

Tapi aku sudah terlanjur terlena dengan semua itu. Aku merasa hidup ku semakin indah dan penuh warna. Aku jadi punya semangat untuk melanjutkan hidup ku lagi.

Namun.. tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tidak ada yang abadi dalam hidup ini. Sesuatu yang indah pun, pada saatnya pasti akan berakhir. Dan demikina dengan semua keindahan yang aku rasa. Semuanya harus berakhir.

Ternyata diam-diam, setelah lebih dari enam bulan, mama dan papa sudah mengetahui hubungan terl4r*ng ku bersama bi Ijah. Mereka pun kemudian, meminta bi Ijah untuk berhenti bekerja di rumah kami. Mereka juga meminta aku untuk pindah kuliah ke luar negeri.

Karena merasa takut akan hukuman yang lebih berat, aku pun terpaksa menuruti keingian kedua orangtua ku. Aku terpaksa pindah kuliah ke luar negeri. Sementara bi Ijah, harus rela kehilangan pekerjaannya, dan kembali ke kampung halamannya.

Terus terang, aku merasa bersalah pada bi Ijah. Biar bagaimana pun, dalam hal ini, bi Ijah tidak bersalah. Aku yang memaksanya.

Aku mencoba menjelaskan hal tersebut pada mama dan papa. Tapi mereka sudah tidak peduli, dengan penjelasan apa pun dari ku. Bagi mereka, kami berdua sama-sama bersalah, dan sama-sama harus mendapatkan ganjarannya.

Aku merasa menyesal. Tapi bukan karena hubungan ku dengan bi Ijah. Aku menyesal, karena telah memaksakan kehendak ku pada bi Ijah. Karena perbuatan ku tersebut, bi Ijah jadi ikut menanggung akibatnya.

Namun semua sudah terjadi. Aku tidak mungkin bisa memutar waktu lagi. Kini aku harus menanggung akibat dari semua perbuatan ku. Meski pun hukuman yang aku terima dari mama dan papa, tidaklah terlalu berat. Tapi tetap saja, aku terus di hantui rasa bersalah pada bi Ijah.

Berada di luar negeri sendirian, tanpa siapa-siapa, merupakan hal yang cukup berat bagiku. Apa lagi, uang yang mama papa kirimkan padaku, sangat terbatas. Hingga aku merasa, kalau aku hampir tidak punya orangtua lagi.

Kini, aku hanya bisa menyesali semuanya. Kejadian tersebut, menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi ku. Semoga saja, aku bisa memperbaiki diri. Dan semoga aku tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama..

Yah.... semoga saja..

****

Kisah lainnya :

Bersama Kakak ipar ku

Bersama mama mertua ku

Kakak Ipar ku (kisah nyata)

Aku seorang suami dari seorang istri, dan seorang ayah dari seorang putri cantik yang merupakan anak pertama kami. Pernikahan kami sudah berlansgsung selama lebih kurang empat tahun.

Istri ku adalah seorang wanita karir, yang saat ini masih bekerja di sebuah perusahaan elite di kota tempat kami tinggal. Sementara aku sendiri hanyalah seorang dosen di sebuah kampus swasta.

Karena sama-sama sibuk bekerja, kami pun sepakat untuk memperkerjakan seorang pembantu di rumah kami, dan juga seorang pengasuh anak.

Istri ku berangkat kerja sebelum jam tujuh pagi, dan selalu pulang lewat jam lima sore. Sementara aku sendiri, biasanya selalu pulang lebih awal. Sekitar jam dua siang, aku sudah kembali ke rumah.

Jadi aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama putri kami, ketimbang istri ku. Tapi hal itu tidak pernah jadi masalah diantara kami.

Satu-satunya hal yang masih selalu mengganggu pikiran ku adalah, tentang pendapatan istri ku yang tentunya jauh lebih besar dari pendapatan ku sendiri. Meski istri ku tidak pernah sama mempermasalahkan hal tersebut, bahkan ia juga tidak pernah mau membahas hal tersebut.

Terlepas dari itu semua, sejujurnya aku merasa bahagia dengan hidup yang aku jalani saat ini, terutama sejak kehadiran putri kecil kami. Hari-hari yang aku lalui jadi lebih berwarna.

Istri ku sendiri, juga sering di tugaskan ke luar kota oleh pihak perusahaan. Terkadang ia harus bermalam di luar kota selama beberapa hari. Kadang ia sengaja membawa putri kami bersama pengasuhnya untuk ikut dengannya ke luar kota.

Saat-saat seperti itulah, yang kadang membuat aku sering merasa kesepian, karena hanya sendirian di rumah.

Hingga pada suatu saat...

*****

Yola, kakak iparku, yang usianya hanya terpaut tiga tahun lebih tua dari istri ku. Tiba-tiba datang ke rumah kami. Katanya ia sedang bermasalah dengan suaminya.

Istri ku tentu saja menerima kehadiran kakaknya tersebut di rumah kami, dengan senang hati. Untuk tinggal sementara bersama kami.

Kak Yola memang sudah menikah lebih dari enam tahun yang lalu. Tapi ia dan suaminya belum memiliki anak. Aku tak tahu pasti penyebabnya. Namun yang pasti, saat ini, pernikahan mereka sedang dalam masalah.

Istri ku dan kak Yola memang cukup dekat. Sejak kecil mereka selalu bersama-sama. Kedua orangtua mereka saat ini, masih tinggal di kampung halamannya.

Kak Yola memang sengaja tidak pulang ke rumah orangtua nya di kampung, karena tidak ingin orangtuanya tahu tentang masalah rumah tangganya. Karena itulah ia memilih untuk tinggal bersama kami sementara waktu. Setidaknya menjelang masalahnya bersama suaminya terselesaikan.

Aku dan kak Yola juga lumayan dekat. Kami sudah sering ngobrol bersama.

Berbeda dengan istriku, kak Yola, bukanlah wanita karir. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Sejak menikah, ia memutuskan untuk berhenti bekerja, adn berupaya menjadi istri yang baik bagi suaminya.

Sejak kak Yola tinggal bersama kami, aku jadi punya teman ngobrol. Terutama saat istri ku belum pulang kerja. Atau bahkan saat istri ku, mendapat tugas ke luar kota.

"suami ku selalu memojokkan ku dan selalu menyalahkan ku karena kami belum juga punya keturunan.." cerita kak Yola, suatu sore.

Saat itu hanya kami berdua di rumah. Istri dan anak ku, juga pengasuhnya sedang berada di luar kota. Pembantu kami satu-satunya juga sedang pulang kampung.

"apa kalian sudah pernah periksa ke dokter?" tanya ku bersimpati.

"suami ku gak mau, kalau harus memeriksakan diri ke dokter. Katanya hanya buang-buang waktu saja. Ia tetap bersikeras, kalau penyebab ketidakhamilan ku adalah diriku sendiri, bukan dia.." jelas kak Yola.

"lalu kak Yola, apa pernah memeriksakan diri ke dokter?" tanya ku lagi.

"pernah.. dan kata dokter, semuanya baik-baik saja. Justru aku jadi curiga, jangan-jangan suami ku yang tidak sehat.." balas kak Yola.

"lalu apa rencana kak Yola sekarang?" aku bertanya lagi.

"gak tahu, Jef.. Aku juga lagi bingung. Aku sebenarnya tidak ingin bercerai dari suami ku. Tapi jika aku memaksakan diri untuk tetap bertahan, aku justru semakin tersiksa karenanya. Seandainya saja, aku bisa memberikan suami ku keturunan, rumah tangga kami pasti akan baik-baik saja.." ucap kak Yola, terdengar sedikit lirih.

"lalu apa kalian gak pengen coba angkat anak misalnya?" tanya ku selanjutnya.

"suami ku gak mau, Jef. Dia ingin punya anak dari kandungan ku sendiri. Sementara dia sendiri, gak mau berusaha untuk berobat atau sekedar mendatangi dokter.. Itu yang membuat aku semakin bingung.." terang kak Yola lagi.

Untuk beberapa saat kami pun hanya saling terdiam. Terus terang aku merasa prihatin melihat kak Yola saat ini. Aku tahu, betapa bingungnya ia saat ini.

"kita main tiktok yuk, Jef.." tiba-tiba kak Yola berucap demikian. Wajahnya yang tadi terlihat murung, kini tiba-tiba ceria kembali.

"aku gak pernah main tiktok, kak.." balasku jujur.

"ayolah.. sekali ini aja... aku tuh butuh hiburan, Jef. Dan biasanya pelarian ku ya hanya main tiktok.." ucap kak Yola, sedikit memohon.

"ya udah.. terserah kak Yola aja.. Saya ikut aja..." balasku akhirnya, tak tega melihat wajah memohon kak Yola.

Lalu sore itu, kami pun bermain tiktok bersama. Tak ku sangka hal itu cukup menyenangkan. Apa lagi kak Yola terlihat sudah mahir bermain tiktok. Ia terlihat sudah jago melakukan goyangan-goyangan yang ada di aplikasi tersebut.

Aku coba mengikutinya, walau pun masih terlihat kaku. Kak Yola, beberapa kali terlihat tertawa melihat goyangan ku yang masih sering salah.

Tapi.. harus aku akui, kalau kak Yola memang jago bergoyang.

****

Malam itu, sehabis bermain tiktok dan mandi, kami pun makan malam berdua. Selama berada di rumah kami, kak Yola memang rajin memasak. Dan harus aku akui, kalau masakannaya juga enak.

"Jef... aku mau ngomong sesuatu... tapi kamu jangan tersinggung.. ya..." tiba-tiba kak Yola berucapa, saat kami baru aja selesai makan.

"kak Yola ngomong aja.. ada apa?" tanya ku jadi penasaran.

"kamu .... kamu mau gak... kalau... aku minta tolong sama kamu..." suara kak Yola sedikit terbata.

"kak Yola mau minta tolong apa?" tanyaku semakin penasaran.

"saya ingin menyelamatkan rumah tangga saya. Karena saya sangat mencintai suami saya. Saya gak ingin kehilangan dia. Tapi... satu-satunya cara, agar saya bisa membuat suami saya bahagia, hanyalah dengan kehamilan saya..." jelas kak Yola, masih sedikit terbata.

"lalu apa yang bisa saya lakukan untuk kak Yola.?" tanya ku lagi.

"saya ingin kamu mengh4mili saya.." balas kak Yola dengan suara lemah.

"apa?" kening ku berkerut dua kali lipat dari biasanya.

"saya tahu ini salah, Jef. Saya tahu ini terdengar bodoh.. tapi... kalau saya bisa hamil, rumah tangga kami pasti akan baik-baik kembali... dan ... saya tidak ingin melakukannya dengan orang lain, karena resiko nya terlalu besar.. karena itu lah saya minta tolong sama kamu..." kak Yola berucap kembali dengan suara terdengar mulai serak.

"tapi... saya ini... suami adik mu loh, kak Yola..." suara ku sedikit bergetar.

"iya.. saya tahu.. justru itu.. saya ingin kamu yang melakukannya... setidaknya saya tidak akan terlalu merasa bersalah..." balas kak Yola.

"tapi.. justru saya yang akan merasa bersalah, Kak. Terutama pada istri ku.." ucapku kemudian.

"aku mohon, Jef... aku... aku gak tahu lagi, bagaimana caranya untuk bisa menyelamatkan rumah tangga ku... hanya kamu satu-satunya harapan ku, Jef... jadi... aku mohon sama kamu..." suara kak Yola semakin menghiba, air matanya pun perlahan mulai berjatuhan, dan aku gak tega melihatnya.

"apa kak Yola yakin, dengan semua ini?" tanya ku akhirnya.

"saya sangat yakin, Jef..." balas kak Yola, masih terdengar terisak.

"baiklah... tapi kalau sendainya hal ini tidak berhasil, aku harap kak Yola tidak akan pernah menyesalinya.." ucapku kemudian.

"apa pun resikonya, Jef. Aku akan siap menanggung semuannya. Dan aku harap, ini hanya akan menjadi rahasia diantara kita berdua.." balas kak Yola, terdengar mulai sedikit tenang.

Dan begitulah, malam itu, aku berusaha untuk memenuhi keinginan kak Yola. Aku tahu ini salah, tapi aku juga tidak tega melihat kak Yola memohon seperti itu.

****

Beberapa kali kami melakukan hal tersebut, terutama saat hanya kami berdua di rumah. Kak Yola juga sudah kembali ke rumahnya. Ia kembali bersama suaminya. Aku tahu, hal itu ia lakukan, hanya agar suaminya tidak curiga. Hanya sewaktu-waktu kak Yola datang ke rumah, untuk melakukan rutinitas kami.

Dan setelah sekian bulan berlalu, akhirnya keinginan kak Yola pun terwujud. Ia pun hamil. Dan kabar itu, membuat perubahan yang sangat besar bagi rumah tangga kak Yola dan suaminya.

Bahkan sejak hamil, kak Yola hampir tidak pernah lagi datang ke rumah kami. Hubungan kami pun terputus begitu saja. Tapi aku tidak mempermasalahkan hal tersebut. Selama kak Yola bahagia, aku turut bahagia.

Dan kisah itu, hanya menjadi rahasia diantara kami berdua. Kami berusaha bersikap sewajarnya, terutama saat kami harus bertemu kembali. Sejak kehamilan kak Yola, istri ku jadi sering mengajak ku mengunjunginya.

Begitulah kisah ku yang terjadi antara aku dan kakak iparku. Sebuah kisah yang akan tetap aku simpan rapi di dalam lubuk hati ku.

Semoga saja, rahasia itu, tetap terpendam selamanya. Tanpa siapa pun yang akan tahu, kecuali hanya kami berdua.

Yah.... semoga saja...

****

Kisah lainnya :

Bersama mama mertua ku

Cari Blog Ini

Layanan

Translate